• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya era Otonomi Daerah pasca berlakunya Undang-Undang (UU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya era Otonomi Daerah pasca berlakunya Undang-Undang (UU)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1.1.1 Pendahuluan

Lahirnya era Otonomi Daerah pasca berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa implikasi yang sangat signifikan terhadap berlangsungnya proses pemerintahan di daerah. Spektrum otonomi yang luas dan nyata di daerah telah memungkinkan daerah berwenang mengambil inisiatif, mengelola, dan menentukan arah serta intensitas perkembangan wilayahnya secara mandiri dan kuat. Salah satu unsur utama wilayah yang terkait erat dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah kejelasan batas daerah.

Pada era Otonomi Daerah, kejelasan batas daerah begitu penting karena akan menentukan cakupan pengelolaan dan pelayanan yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah daerah. Hal ini berbeda jauh dibandingkan pada era Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1966-1998), dimana pemerintahan bersifat sentralistrik dan kewenangan daerah sangat terbatas, sehingga batas daerah tidak berperan penting di dalamnya (Joyosumarto, 2013).

Kejelasan dan ketegasan batas daerah akan membawa implikasi setidaknya terhadap: 1) kejelasan dan kepastian cakupan wilayah administrasi suatu pemerintahan daerah; 2) efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat; 3) kejelasan luas wilayah; 4) kejelasan administrasi kependudukan; 5) kejelasan daftar pemilih dalam Pemilu maupun Pilkada; 6) kejelasan administrasi

(2)

pertanahan; 7) kejelasan perijinan pengelolaan SDA; dan 8) menghindari tumpangtindih pengaturan tata ruang daerah (Subowo, 2012).

Kejelasan batas daerah memiliki kaitan sangat erat dengan kegiatan perencanaan wilayah. Batas daerah yang jelas akan mendukung proses perencanaan wilayah, dan sebaliknya, terjadinya permasalahan batas dapat menjadi kendala dalam kegiatan perencanaan dan penataan wilayah.

Pentingnya kejelasan batas daerah ini sejalan dengan amanat pada setiap Undang-Undang Pembentukan Daerah (UUPD), yang memberikan wewenang pada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk melakukan penegasan batas daerah. Dalam setiap UUPD disebutkan bahwa penegasan batas daerah harus sudah dilakukan maksimal 5 tahun setelah pembentukan daerah disahkan. Selain dilakukan terhadap daerah otonom baru, penegasan batas daerah juga dilakukan terhadap daerah otonom lama.

Mekanisme penegasan batas daerah secara khusus diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah menggantikan Permendagri Nomor 1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Penegasan batas daerah secara nasional bukan hal yang mudah untuk diselesaikan. Selain karena jumlah segmen batas daerah yang sangat banyak, terdapat beberapa permasalahan atau konflik yang mengiringi proses penegasan batas tersebut. Merujuk pada data Kemendagri (2014), dari sebanyak 970 segmen batas daerah, yang sudah ditetapkan dengan Permendagri baru 193 segmen (19.9%), yang sudah dilacak dan diukur sebanyak 425 segmen (43.8%), yang

(3)

sedang dalam proses penyusunan draft permendagri sebanyak 90 segmen (9.3%), dan yang belum ditegaskan sebanyak 262 segmen (27%). Diantara yang sudah dilacak dan diukur terdapat 55 segmen (12.9%) yang terlaporkan ke pusat dengan status bermasalah atau konflik. Sisanya masih terdapat segmen bermasalah yang tidak terlapor ke pusat karena ditangani oleh pemerintah provinsi. Selain itu pada segmen yang belum ditegaskan diduga juga masih memiliki potensi bermasalah.

Kajian mengenai konflik pada proses penegasan batas menjadi menarik karena dimensi dan penyebab konflik yang beragam. Menurut Joyosumarto, dkk., (2013), konflik batas daerah dapat terjadi antar daerah otonom baru, antara daerah otonom baru dengan daerah otonom lama, serta antar daerah otonom lama yang terjadi pada era Otonomi Daerah. Faktor penyebab konflik batas antara lain: konflik struktural, faktor kepentingan, konflik nilai, konflik hubungan, dan konflik data/informasi. Kesekian konflik tersebut mengerucut menjadi dua konflik utama, yakni: 1) konflik data/informasi, dan 2) kombinasi antara konflik data/informasi dengan faktor kepentingan memperebutkan sumber daya wilayah.

Dengan beragam problematika penegasan batas daerah tersebut, proses penyelesaian konflik merupakan salah satu titik yang penting untuk dikaji. Masih banyaknya konflik batas daerah khususnya antar kabupaten/kota yang belum selesai menjadi suatu pemicu untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah provinsi. Kajian penyelesaian konflik batas daerah pada satu kejadian dapat untuk menjadi contoh bagi penyelesaian konflik di lokasi lain dengan karakter konflik serupa/hampir sama.

(4)

1.1.2 Konflik batas daerah antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Konflik batas daerah antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang merupakan salah satu contoh konflik batas yang berlangsung lama dan belum bisa diselesaikan. Sebagaimana diteliti oleh Kristiyono (2008), konflik antara kedua daerah ini dilatarbelakangi oleh faktor struktural, sejarah, peraturan-peraturan yang berpengaruh pada eksistensi daerah, serta perbedaan kepentingan. Lokasi konflik meliputi tiga desa di perbatasan antara kedua daerah (Bulurejo, Banyurojo, dan Mertoyudan). Ketiga desa ini merupakan wilayah strategis perkotaan dengan potensi ekonomi tinggi.

Konflik bermula pada tahun 1990-an dengan isu utama perluasan wilayah Kota Magelang yang bermuara pada perbedaan persepsi cakupan wilayah khususnya terhadap tiga desa tersebut. Meski terjadi permasalahan namun tingkat masalah tidak terlalu signifikan. Konflik ini mengalir dan semakin menguat pada era otonomi daerah yakni pada tahun 2001 dengan adanya upaya penataan batas daerah. Setelah otonomi daerah, maka klaim terhadap batas wilayah menjadi lebih kuat daripada sebelumnya, akibatnya konflik batas daerah pun semakin kuat.

Kristiyono (2008) menambahkan, konflik ini setidaknya telah membawa dampak pada dualisme sertifikasi tanah khususnya di tingkat desa /kelurahan pada lokasi konflik, dan adanya ketidakpastian kewenangan dalam pelayanan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Selain itu terjadi dualisme kewenangan dalam perijinan investasi dan pajak/retribusi. Penyusunan RTRW juga terkendala dan menunggu kepastian penyelesaian masalah batas ini.

(5)

Konflik batas ini telah diupayakan untuk diselesaikan oleh kedua daerah sejak tahun 2001, namun karena tidak kunjung selesai maka pada tahun 2009 konflik ini diserahkan ke tingkat provinsi untuk diselesaikan. Penyerahan ini sejalan dengan telah terbitnya pedoman tentang penegasan batas melalui Permendagri Nomor 1 Tahun 2006. Sejak saat itu hingga sekarang proses mediasi terus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan melibatkan berbagai pihak yang kompeten. Namun hingga saat ini belum dicapai kesepakatan. Masing-masing daerah masih bertahan dengan kepentingannya.

Proses dan problematika mediasi konflik batas oleh pemerintah provinsi menarik untuk dikaji. Bagaimana langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah provinsi dalam menjalankan mediasi, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, merupakan esensi yang relevan untuk diteliti. Selain itu pihak yang terlibat dalam konflik, dokumentasi, dan data dukung dalam proses mediasi masih bisa ditemui, sehingga penelitian ini masih relevan dilakukan. Berdasarkan kondisi di atas, penulis mengambil judul penelitian “Proses Mediasi Konflik Batas Daerah Antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang Provinsi Jawa Tengah”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan kondisi tersebut, maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana proses mediasi konflik batas daerah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah?

(6)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Mengidentifikasi proses mediasi konflik batas daerah yang telah dilakukan

oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah;

b. Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses mediasi tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: a. Manfaat secara akademis

Memberikan khasanah pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana proses mediasi dalam rangka penyelesaian konflik batas daerah beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

b. Manfaat secara umum

Sebagai salah satu bahan dalam kajian penyelesaian konflik batas daerah, baik bagi pemerintah maupun kalangan umum. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi bagi upaya penyelesaian permasalahan batas daerah.

1.5 Keaslian Penelitian:

Penelitian tentang problematika konflik batas daerah telah dilakukan oleh beberapa penulis. Diantara yang relevan untuk digunakan sebagai pembanding adalah penelitian yang dilakukan oleh Nanang Kristiyono (2008), Wahyono (2011), dan Yanuarius Boko (2013) sebagaimana diuraikan secara singkat dalam tabel berikut:

(7)

Tabel 1. Penelitian yang pernah dilakukan

No Penulis Judul Substansi Keterangan

1 Nanang Kristiyono (2008)

Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah Antara Kota Magelang Dengan Kabupaten Magelang (Analisis Terhadap Faktor-Faktor Penyebab dan Dampaknya) Penyebab dan dampak konflik batas daerah Lokasi sama, namun fokus berbeda. Tidak menyentuh upaya mediasi. Penelitian berakhir 2008. 2 Wahyono (2011) Analisis Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah Antara Kabupaten Sleman Dan Kabupaten Bantul di Provinsi DIY Tahapan penyelesaian perselisihan batas daerah. Fokus pada proses penyelesaian secara teknis bukan pada teori mediasi, dengan lokasi berbeda 3 Yanuarius

Boko (2013)

Efektifitas Mediasi Dalam Penyelesaian Konflik Batas Wilayah Administrasi Pemerintahan Antara Kabupaten Belu dan Timor Tengah Selatan pada Segmen Lotas Efektifitas mediasi yang dilakukan. Fokus hampir sama, namun lokasi dan kondisi berbeda.

Sumber: Sintesis penulis, 2014

Penelitian yang dilakukan oleh Kristiyono (2008) meskipun memiliki lokus yang sama, namun fokus penelitian berbeda yakni identifikasi penyebab dan dampak konflik yang terjadi, serta tidak menguraikan proses penyelesainnya. Selain itu penelitian ini selesai pada tahun 2008 dimana pelimpahan proses penyelesaian konflik ke tingkat provinsi belum berlangsung. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Wahyono (2011), selain lokasi yang berbeda yakni di DIY, fokus penelitian lebih kepada potret proses penyelesaian konflik tanpa kajian yang lebih mendalam pada aspek mediasi. Penelitian lain oleh Yanuarius Boko (2013) memiliki kemiripan fokus yakni pada efektifitas mediasi dalam proses penyelesaian konflik, namun dengan lokasi dan kondisi konflik yang berbeda.

(8)

Berdasarkan identifikasi pada masing-masing penelitian tersebut, penelitian tentang mediasi dalam penyelesaian konflik batas daerah antara Kabupaten Magelang dan Kota Magelang belum pernah dilakukan. Meskipun demikian, jika ada beberapa bagian penulisan yang diambilkan dari penelitian yang pernah ada sebagai referensi, penulis tetap mengedepankan etika penulisan ilmiah dengan mencantumkan sumber rujukan serta berusaha menghindari sejauh mungkin plagiarisme.

1.6 Batasan penelitian

Penelitian dilakukan dalam batasan proses mediasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara formal. Adapun upaya informal mediasi dan faktor non formal yang mempengaruhi meskipun tidak bisa dikesampingkan arti pentingnya namun tidak menjadi fokus penelitian ini. Meskipun demikian, observasi terhadap keseluruhan aspek tetap dilakukan (formal dan informal) sejauh yang bisa diakomodasi oleh penulis dengan pertimbangan waktu penelitian serta ketersediaan dan validitas data/informasi.

Gambar

Tabel 1. Penelitian yang pernah dilakukan

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena sebagian besar peternak di dusun Getasan memberikan makan sapi dengan rumput gajah, peternak menggunakan tali yang berasal dari karung bagor bekas

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Sejak lahirnya agama Islam, lahirlah pendidikan dan pengajaran Islam, pendidikan dan pengajaran Islam itu akan terus tumbuh dan berkembang, Islam sebagai sebuah

Sungai yang menjadi fokus penelitian ini adalah sungai di sepanjang jalan Veteran yang juga di kenal sebagai sungai Tapekong, sungai ini berfungsi sebagai saluran drainase

Perkembangan kota-kota di Indonesia pada umumnya bermuara pada meningkatnya jumlah penduduk, dan meningkatnya berbagai kebutuhan akan fasilitas kehidupan. Perkembangan

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pengendalian intern adalah keandalan informasi keuangan, dimana pengendalian intern ditujukan untuk

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi survivin dengan subtipe molekuler karsinoma mammae invasif namun Triple-negative adalah subtipe yang paling

Kali ini kita akan membahas sebuah materi pembelajaran bahasa indonesia yeitu tentang teks drama, berikut ini adalah 5 contoh teks/naskah drama bahasa