• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN DAN LINTAS BIDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN DAN LINTAS BIDANG"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

Pembangunan nasional direncanakan dan dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya pencapaian pembangunan tersebut, dilaksanakan melalui pembangunan di masing-masing bidang, dengan upaya penguatan melalui pengarusutamaan dan koordinasi lintas bidang, yang satu sama lain saling terkait.

Dalam pelaksanaan pembangunan, pengarusutamaan menjadi prinsip yang mewarnai berbagai kebijakan di setiap bidang pembangunan. Pelaksanaan prinsip-prinsip pengarusutamaan merupakan usaha sinergis yang diarahkan dan tercermin pada keluaran kebijakan pembangunan. Pengarusutamaan mencakup tiga isu besar yaitu: (1) Pembangunan Berkelanjutan, (2) Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, dan (3) Gender.

Kebijakan pengarusutamaan dilaksanakan secara terstruktur dengan kriteria: (1) Pengarusutamaan bukanlah merupakan upaya yang terpisah dari kegiatan pembangunan sektoral; (2) Pengarusutamaan tidak mengimplikasikan adanya tambahan pendanaan (investasi) yang signifikan; dan (3) Pengarusutamaan dilakukan pada semua sektor yang terkait, tetapi diprioritaskan pada sektor penting yang terkait langsung dengan isu-isu pengarustamaan.

Selain kebijakan pengarusutamaan pelaksanaan pembangunan perlu pula dilakukan dengan pendekatan lintas bidang. Hal ini perlu dilakukan mengingat permasalahan dan isu-isu pembangunan

(2)

tertentu sifatnya sedemikian kompleks dan memerlukan keterlibatan berbagai bidang dan sektor pembangunan sehingga tidak dapat ditangani oleh kebijakan yang terfokus pada bidang tertentu saja. Permasalahan pembangunan yang bersifat lintas bidang tersebut perlu ditangani secara holistik dan tidak terfragmentasi sehingga dapat menyelesaikan persoalan yang sebenarnya dengan tepat sasaran. Untuk itu dalam RPJM 2010-2014 telah ditetapkan empat isu pembangunan yang ditangani dengan pendekatan lintas bidang, yaitu: (1) Penanggulangan Kemiskinan, (2) Perubahan Iklim, (3) Pembangunan Kelautan Berdimensi Kepulauan, (4) Perlindungan Anak, dan (5) Pembangunan Karakter Bangsa.

Kebijakan lintas bidang akan menjadi suatu rangkaian kebijakan antarbidang yang terpadu dan meliputi Prioritas, Fokus Prioritas serta Kegiatan prioritas lintas bidang; untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan yang semakin kompleks.

3.1 KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN

3.1.1 PENGARUSUTAMAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Konsep pembangunan berkelanjutan telah dicanangkan sejak tahun 1987 oleh The World Commission on Environment and Development dalam dokumen laporan yang dikenal sebagai Brundlant Report dan terus berkembang sejak Earth Summit pada tahun 1992 di Rio de Janeiro. Di Indonesia penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dimulai pada tahun 1997 melalui penyusunan dokumen National Sustainable Development Strategy (Agenda 21) yang berisi rekomendasi kepada sektor dalam penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan hingga tahun 2020 yang selanjutnya ditetapkan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu prinsip dalam Rencana Kerja Pemerintah setiap tahun pada RPJMN 2004-2009 dan 2010-2014.

Pembangunan berkelanjutan tidak hanya memprioritaskan kepentingan sesaat dalam periode tertentu saja, namun juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kepentingan bangsa khususnya generasi di masa yang akan datang. Untuk mencapai keberlanjutan yang menyeluruh, diperlukan keterpaduan antara 3

(3)

(tiga) pilar utama pembangunan, yaitu keberlanjutan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berintegrasi dan saling memperkuat satu dengan yang lain. Selain ketiga pilar tersebut, untuk menjaga dan menjamin pencapaian pembangunan berkelanjutan, diperlukan pula aspek kelembagaan yang meliputi kerangka kerja kelembagaan dan kemampuan lembaga.

3.1.1.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah diupayakan melalui berbagai kebijakan dan program pembangunan, namun belum secara nyata mencapai tujuan yang diharapkan. Saat ini masih diperlukan metode yang efektif untuk melakukan pengintegrasian isu pembangunan berkelanjutan tersebut ke dalam implementasi program-program pembangunan secara terpadu dan terarah.

Penerapan pembangunan berkelanjutan menghadapi tantangan utama dalam memenuhi kebutuhan manusia akan pertumbuhan pembangunan ekonomi yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat; masalah kesenjangan dan pemerataan pembangunan, serta ketimpangan sosial; serta perilaku dominasi penggunaan sumber daya alam secara berlebihan. Adanya benturan kepentingan pemanfaatan ekonomi dan kepentingan pelestarian lingkungan merupakan hal yang dilematis bagi bangsa Indonesia. Permasalahan sumber daya alam tidak saja mengenai terkurasnya sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi dan penggunaan teknologi yang belum efisien dan tidak ramah lingkungan, namun juga berkurangnya kemampuan lingkungan dalam menetralisir bahan-bahan pencemar, atau menyebabkan turunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jika sumber daya alam dan lingkungan hidup tidak dikelola dengan baik, serta tidak memperhatikan keberlanjutan dan daya dukungnya, maka pada akhirnya kekayaan bangsa akan terus terkuras yang pada akhirnya kepentingan kesejahteraan rakyat tidak dapat terpenuhi.

Permasalahan lain yang dihadapi adalah belum adanya ukuran nasional yang dipakai untuk mengetahui perkembangan kondisi dan

(4)

kualitas lingkungan di Indonesia. Ukuran juga harus dapat mencerminkan keterkaitan antara proses pembangunan ekonomi dan sosial serta dampaknya terhadap lingkungan hidup. Meskipun telah disusun Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), data serta konsep indikator, namun indeks yang bersifat komposit tersebut masih perlu dipertajam dan disederhanakan.

Banyaknya pemangku kepentingan yang berperan dalam pembangunan berkelanjutan, memerlukan koordinasi serta sinergi yang baik antar berbagai pihak agar memiliki peran dan fungsi dalam menggerakkan subsistem yang membentuk sistem pembangunan berkelanjutan. Langkah awal yang perlu ditekankan adalah konsep pembangunan berkelanjutan harus bersifat transparan dan membuka akses ke seluruh/bagi pemangku kepentingan (masyarakat, swasta dan pemerintah) untuk berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

3.1.1.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI

Langkah-langkah Kebijakan

Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam menyusun kerangka strategis, struktur kelembagaan, strategi dan kebijakan nasional, sektoral dan wilayah, serta dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan juga harus dilakukan dengan memperhatikan permasalahan strategis lingkungan dan sosial yang ada.

Langkah-langkah kebijakan dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan antara lain: (1) Melanjutkan proses internalisasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam 3 (tiga) pilar utama pembangunan berkelanjutan; (2) Menjabarkan hal-hal konkrit dalam pilar kerangka kelembagaan terutama untuk memastikan berbagai pemangku kepentingan dalam kerangka kelembagaan yang tepat dan dapat mempercepat internalisasi 3 (tiga)

(5)

prinsip pembangunan berkelanjutan; dan (3) Menyepakati ukuran-ukuran untuk pembangunan berkelanjutan yang tepat dan dapat digunakan baik di tingkat nasional dan daerah sehingga prinsip pembangunan berkelanjutan dapat berjalan nyata di lapangan.

Ke depan, kebijakan pembangunan diarahkan untuk mendorong pembangunan ekonomi yang efisien dan adil dalam mendistribusikan sumber daya. Selain itu, upaya untuk memelihara ekosistem alam, dan upaya menekan ketergantungan pada bahan-bahan yang merugikan alam perlu terus ditingkatkan, sehingga perbaikan ekonomi nasional dapat tetap lestari dan berkelanjutan.

Hasil-hasil yang dicapai

Berbagai upaya dalam penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan telah diupayakan mulai dari RPJMN tahap pertama (2004-2009), yang dilanjutkan dengan RPJMN tahap kedua (2010-2014), dimana pembangunan berkelanjutan menjadi prioritas untuk memperkuat sinergi antar bidang dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Adapun upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, antara lain dilakukan dengan penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu kebijakan pengarusutamaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, RPJMN 2004-2009, RPJMN 2010-2014 serta Rencana Kerja Tahunannya. Selain itu pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia memfokuskan kebijakan pembangunannya yang selaras dengan arah pencapaian pembangunan berkelanjutan, yaitu dengan ditetapkannya 4 (four) track strategy: pembangunan yang pro-growth, pro-job, pro-poor dan pro-environment. Ini menunjukkan bahwa pilar-pilar pembangunan berkelanjutan mendapatkan perhatian yang sejajar dan perlu dilakukan secara sinergis.

Pada aspek ekonomi, pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan diupayakan dengan penerapan model pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan atau disebut sebagai Green Economy, yang menitikberatkan pada efisiensi penggunaan sumber

(6)

daya alam termasuk energi terutama sumber daya alam tidak terbarukan, penurunan emisi karbon serta pengembangan eko-produk dan teknologi bersih dan rendah karbon. Perubahan struktur ekonomi, pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan dilakukan untuk menerapkan konsep ini (penerapan efisiensi energi, pemakaian energi terbarukan, penerapan mekanisme pembangunan bersih, subsidi dan pajak lingkungan, peningkatan transportasi massal yang rendah karbon, penerapan penangkapan ikan berkelanjutan, penerapan pola pertanian berkelanjutan, serta pemanfaatan hasil hutan yang lestari).

Selanjutnya, pada aspek sosial telah diupayakan diprioritaskannya pembangunan kesehatan, pendidikan, perumahan, keamanan, dan kependudukan, dengan mengedepankan prinsip kesetaraan. Tujuan pembangunan berkelanjutan juga telah disinergikan dalam pencapaian 8 (delapan) tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals-MDGs) pada tahun 2015. Pada aspek lingkungan hidup, aspek keberlanjutan dilakukan dengan upaya-upaya pengendalian daya dukung dan daya tampung lingkungan, yang juga meliputi upaya perlindungan terhadap atmosfer, pengendalian pencemaran dan kerusakan air, laut dan pesisir, udara, serta perlindungan terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) dengan penyusunan serta evaluasi dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP). Selain itu telah disusun langkah-langkah konkrit untuk menurunkan dampak perubahan iklim dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN), yang juga akan diikuti dengan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Penyusuan RAN/RAD GRK ini merupakan momentum yang tepat untuk mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk upaya yang nyata.

3.1.1.3 TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Untuk melaksanakan dan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut di atas, diperlukan upaya tindak lanjut ke depan baik dalam bentuk kebijakan maupun langkah nyata yaitu: (1) Penyusunan sistem, serta mekanisme yang andal untuk

(7)

melakukan pengintegrasian isu pembangunan berkelanjutan ke dalam program-program pembangunan secara terarah; (2) Peningkatan sinergi antar pemangku kepentingan dalam menjalankan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan secara serasi dengan mengembangkan dan menerapkan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di setiap sektor; (3) Perluasan kesempatan akses seluruh pihak atau subsistem pembangunan untuk menggerakkan dan membentuk sistem pembangunan berkelanjutan; (4) Penerapan konsep green economy dalam pembangunan nasional dan daerah; (5) Penerapan metode partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan dan program pembangunan, termasuk keterlibatan masyarakat terutama masyarakat marjinal (miskin, perempuan, pemuda dan anak-anak); (6) Penerapan pertimbangan struktur dan nilai sosial kemasyarakatan untuk pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam kegiatan/program pembangunan; (7) Penyusunan peraturan-peraturan operasional di bidang lingkungan hidup yang akan diprioritaskan pada: (a) pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi mulai dari hulu ke hilir dan lintas sektoral, yang dititikberatkan pada penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan, (b) KLHS, (c) pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, serta (d) penyusunan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup dan indeks kualitas lingkungan hidup; dan (8) Penerapan sistem dan instrumen pengendalian dan pengelolaan lingkungan untuk menahan meningkatnya laju degradasi lahan, meningkatkan kualitas air dan udara, serta pelestarian struktur dan nilai-nilai masyarakat.

3.1.2 TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tatanan manajemen pemerintahan yang ditandai dengan penerapan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi. Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik secara konsisten dan berkelanjutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi terwujudnya visi pembangunan nasional yaitu Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Terbangunnya tata kelola yang baik dalam manajemen pemerintahan, tercermin dari berkurangnya angka korupsi, meningkatnya

(8)

keberhasilan pembangunan di berbagai bidang, meningkatnya kualitas pelayanan publik, dan terbentuknya birokrasi pemerintahan yang profesional dan berkinerja tinggi. Selain itu, tata kelola pemerintahan yang baik mendesak untuk segera diimplementasikan mengingat beberapa permasalahan hingga saat ini belum juga dapat teratasi.

3.1.2.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Dalam upaya melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik masih dihadapi berbagai permasalahan baik dalam tataran perencanaan dan perumusan kebijakan, maupun dalam implementasinya. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu segera diatasi guna mendukung dan mempercepat pencapaian sasaran pembangunan nasional. Secara umum permasalahan yang dihadapi diuraikan berikut ini.

Dalam aspek penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, permasalahan yang muncul antara lain, belum tuntasnya peraturan yang mengatur pengawasan nasional, kualitas pengelolaan keuangan negara belum sepenuhnya akuntabel dan transparan sesuai standar akuntansi pemerintah, praktek pengadaan barang dan jasa pemerintah belum transparan; kualitas dan kompetensi aparat pengawas internal pemerintah belum memadai, dan masih rendahnya penerapan sistem integritas di lingkungan instansi pemerintah.

Dari sisi pelayanan publik, penyelenggaraan pelayanan publik belum berjalan secara maksimal, yang ditandai dengan sistem perizinan yang masih berbelit-belit; profesionalisme dan integritas SDM ujung tombak pelayanan masih rendah, belum diterapkannya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) secara optimal dalam manajemen pelayanan, belum diterapkannya standar pelayanan minimal (SPM) secara konsisten; dan belum ditindaklanjutinya berbagai pengaduan masyarakat sebagai bahan evaluasi guna perbaikan kualitas pelayanan.

Terkait dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, beberapa permasalahan yang muncul sangat terkait dengan

(9)

kelembagaan dan ketatalaksanan. Dari sisi kelembagaan, masih terjadi tumpang tindih kewenangan, tugas pokok dan fungsi, dan pelaksanaan program/kegiatan antar Kementerian/Lembaga (K/L). Dari sisi ketatalaksanaan, bisnis proses instansi pemerintah belum disertai dengan standard operating procedure (SOP) utama yang mencerminkan tugas pokok dan pelayanan. Pada aspek SDM aparatur, penerapan sistem merit dalam manajemen kepegawaian belum diterapkan secara maksimal. Dari segi akuntabilitas kinerja, sistem yang ada sekarang, mulai dari proses perencanaan, penganggaran, penilaian kinerja, manajemen kinerja, hingga sistem ganjaran dan sanksi (reward and punishment) belum terintegrasi dengan baik.

3.1.2.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI

Langkah-langkah Kebijakan

Untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas dan dalam upaya untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, langkah kebijakan yang harus ditempuh oleh K/L adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN, melalui penegakan disiplin PNS di seluruh instansi pemerintah; penerapan pakta integritas bagi pejabat pemerintah; kepatuhan penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), kebijakan antikorupsi, penyelenggaraan sistem pengendalian internal pemerintah (SPIP), pengembangan sistem e-procurement nasional; pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK, peningkatan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, serta pengembangan sistem pengaduan masyarakat.

2. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, melalui penerapan standar pelayanan pada unit penyelenggara pelayanan publik; penerapan maklumat pelayanan; penerapan pelayanan terpadu satu pintu; penerapan manajemen pengaduan; percepatan

(10)

peningkatan kualitas pelayanan publik; serta pelaksanaan evaluasi dan penilaian terhadap kinerja pelayanan publik. 3. Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi,

melalui penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan instansi pemerintah; pemantapan kualitas manajemen SDM; pengembangan dan penerapan e-government; pengembangan sistem kearsipan dan dokumentasi berbasis TIK; serta penyelenggaraan sistem akuntabilitas kinerja aparatur.

Hasil-hasil yang dicapai

Dalam upaya untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, langkah-langkah strategis yang telah dan sedang dilaksanakan oleh setiap K/L, beserta hasil-hasil yang telah dicapai adalah sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah telah memperlihatkan kemajuan yang berarti. Terkait sistem pengendalian intern, sampai dengan Juni 2011, di tingkat pusat terdapat 6 K/L yang telah memiliki peraturan internal tentang SPIP, sedangkan di tingkat daerah terdapat 348 pemda yang telah memiliki Perkada tentang penerapan SPIP. Selanjutnya, untuk mengakselerasi implementasi SPIP di berbagai instansi, telah diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan Kualitas Akuntabilitas Keuangan Negara. Selain itu, BPKP telah mengadakan diklat SPIP terhadap 7.170 peserta dari K/L/Pemda; penyusunan 26 pedoman teknis penyelenggaraan SPIP; sosialisasi SPIP kepada 432 K/L/Pemda; pemberian konsultasi dan bimbingan teknis SPIP kepada 48 K/L/Pemda; pemetaan (diagnostic assesment) pada 63 K/L/Pemda, serta pemberian bimbingan teknis penyusunan Perkada SPIP kepada 348 pemda. Terkait dengan sistem penegakan disiplin PNS, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala BKN No. 21/2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Sedangkan terkait dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa, pemerintah telah menerbitkan Perpres 54 Tahun 2010 tentang

(11)

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagai pengganti Keppres Nomor 80 Tahun 2003, yang kemudian akan diperkuat melalui penyusunan RUU Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang saat ini telah dibahas dengan Tim Antar Kementerian/Lembaga. Langkah-langkah untuk mengurangi praktek KKN dalam pengadaan barang dan jasa diperkuat dengan penerapan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), yang diatur melalui Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010, dimana saat ini telah tersedia 262 LPSE yang tersebar di 32 provinsi dan melayani 445 instansi pusat dan daerah. 2. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Beberapa langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah,

antara lain penyusunan peraturan turunan UU 25 tahun 2009

tentang Pelayanan Publik, yaitu PP tentang penerapan sistem

pelayanan terpadu, standar pelayanan publik, tata cara peran

serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dan

manajemen pengaduan. Terkait standar pelayanan, sampai

dengan tahun 2010 telah ditetapkan 8 SPM, yaitu SPM Bidang

Kesehatan, SPM Bidang Lingkungan Hidup, SPM Bidang

Sosial, SPM Bidang Perumahan Rakyat, SPM Bidang

Pemerintahan Dalam Negeri, SPM Bidang Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak, SPM Bidang Pendidikan

dan SPM Bidang Keluarga Berencana. Selain itu, sampai

dengan akhir 2010 telah terdapat 394 pemerintah daerah

(provinsi/kabupaten/kota) yang telah membentuk unit

pelayanan terpadu satu pintu (OSS). Jumlah hari yang

dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia juga telah

mengalami peningkatan, dari 76 hari (2009) menjadi 46 hari

pada tahun 2011.

3. Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi Pemerintah telah menyusun berbagai RUU sebagai landasan penataan birokrasi pemerintah, yang meliputi RUU Administrasi Pemerintahan; RUU Etika Penyelenggara Negara; RUU SDM Aparatur; dan RUU Akuntabilitas Penyelenggara Negara. Seiring dengan hal tersebut, pada tahun 2011 akan diterbitkan Grand Design

(12)

Sistem Kelembagaan Pemerintah, yang diharapkan dapat menjadi pedoman bagi penataan kelembagaan di seluruh instansi pemerintah. Dari sisi akuntabilitas, berdasarkan hasil evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah pusat tahun 2010, tercatat 50 K/L atau 63,29 persen mendapatkan kategori cukup dan baik. Persentase ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya 47,37 persen. Capaian tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah berkomitmen untuk senantiasa mendorong upaya-upaya meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas birokrasi, sebagai langkah untuk mengembangkan manajemen pemerintahan berbasis kinerja.

Untuk melihat perkembangan implementasi kebijakan pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik pada K/L, pada awal tahun 2011 telah disampaikan edaran kepada seluruh K/L agar dapat menyampaikan data dan informasi kemajuan pelaksanaan kebijakan pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik di masing-masing instansinya. Sampai dengan awal Juni 2011, terdapat 42 K/L (54 persen) yang telah menyampaikan kemajuannya. Ringkasan hasil implementasi kebijakan pengarusutamaan tata kelola yang baik sebagai berikut:

a) Implementasi indikator sasaran penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, rata-rata untuk seluruh K/L adalah sebesar 60 persen telah diimplementasikan baik dalam bentuk kebijakan yang harus diatur pada level instansi maupun penerapan dari kebijakan yang sifatnya nasional. Indikator yang diukur, antara lain penegakan disiplin, penerapan pakta integritas, kepatuhan penyampaian LHPKN, penerapan SPIP, dan lainnya.

b) Implementasi indikator sasaran peningkatan kualitas pelayanan publik, rata-rata untuk seluruh K/L adalah sebesar 41 persen. Indikator yang diukur antara lain penerapan standar pelayanan, penerapan maklumat pelayanan, penerapan manajemen pengaduan, dan lainnya.

c) Implementasi indikator sasaran peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, rata-rata untuk seluruh K/L

(13)

adalah sebesar 49 persen. Indikator yang diukur antara lain penataan kelembagaan, penyusunan SOP utama, manajemen SDM aparatur, penerapan SAKIP, dan lainnya.

Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa telah terdapat kemajuan dalam implementasi indikator-indikator dari kebijakan pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang baik pada seluruh K/L, sesuai mandat RPJMN 2010-2014. Namun demikian, kemajuan tersebut harus terus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya, mengingat tahun 2014 diharapkan seluruh K/L telah sepenuhnya mengimplementasikan indikator-indikator tersebut, sebagai salah satu upaya perluasan dan peningkatan kualitas reformasi birokrasi nasional.

3.1.2.3 TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Langkah-langkah tindak lanjut dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, khususnya implementasi pada seluruh K/L adalah menegakkan dan mengimplementasikan sistem disiplin PNS, mengembangkan dan menerapkan pakta integritas, mewajibkan pejabat untuk menyampaikan LHKPN dan melaporkan gratifikasi, meningkatkan penerapan SPIP, meningkatkan penerapan pelaksanaan e-procurement, menindaklanjuti temuan pemeriksaan BPK, meningkatkan akuntabilitas pengelolaan anggaran dan pelaporannya, dan meningkatkan penerapan sistem pengaduan masyarakat.

Tindak lanjut yang diperlukan dalam peningkatan kualitas pelayanan publik, khususnya implementasi pada seluruh K/L, ialah meningkatkan penerapan standar pelayanan, meningkatkan penerapan maklumat pelayanan, memperluas penerapan pelayanan terpadu satu pintu di lingkungan pemda; meningkatkan penerapan manajemen pengaduan pada unit pelayanan publik di lingkungan K/L, menyusun dan melaksanakan rencana peningkatan kualitas pelayanan publik, serta menyusun dan mengimplementasikan sistem evaluasi kinerja pelayanan publik pada unit pelayanan di lingkungan K/L.

Tindak lanjut dalam peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, khususnya implementasi pada seluruh

(14)

K/L ialah meningkatkan upaya restrukturisasi organisasi dan tata kerja instansi pemerintah; menyusun SOP di tiap K/L sesuai dengan proses bisnis yang lebih sederhana; meningkatkan kualitas manajemen SDM melalui sistem rekrutmen pegawai yang transparan dan berbasis merit/kompetensi; sistem penilaian kinerja yang terukur; sistem promosi dan penempatan dalam jabatan struktural yang terbuka, transparan, berbasis merit/kompetensi; sistem diklat berbasis merit dan kompetensi; menyusun rencana penerapan e-government; serta menyediakan dan mengimplementasikan sistem kearsipan dan dokumentasi berbasis TIK.

3.1.3 PENGARUSUTAMAAN GENDER

Kesetaraan gender merupakan salah satu bagian penting dalam upaya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam kaitan itu, pembangunan nasional harus memenuhi prinsip pemenuhan hak asasi manusia dan selayaknya memberikan akses yang memadai bagi orang dewasa dan anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki, untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, serta turut mempunyai andil dalam proses pengendalian/kontrol pembangunan. Dengan demikian, pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan merupakan strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. Penerapan pengarusutamaan gender ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk, baik laki-laki maupun perempuan.

3.1.3.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Upaya dalam mewujudkan kesetaraan gender Indonesia antara lain dapat diukur dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) atau Gender-related Development Index (GDI), yang merupakan indikator komposit yang diukur melalui variabel angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pendapatan,

(15)

yang dihitung berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA), IPG Indonesia mengalami peningkatan dari 0,664 pada tahun 2008 menjadi 0,668 pada tahun 2009. Namun, jika dilihat dari indikator-indikator komposit penyusun IPG, akan terlihat adanya kesenjangan yang cukup signifikan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam hal pendapatan karena jumlah upah pekerja perempuan hanya sekitar 50 persen dari jumlah upah yang diterima oleh pekerja laki-laki.

Di samping itu, kesetaraan gender juga dapat ditunjukkan dengan indikator Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) atau Gender Empowerment Measurement (GEM), yang diukur melalui partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan. Nilai IDG Indonesia berdasarkan data BPS-KPP&PA menunjukkan peningkatan, dari 0,623 pada tahun 2008 menjadi 0,635 pada tahun 2009. Walaupun demikian, peningkatan nilai IDG yang relatif kecil setiap tahunnya mengindikasikan bahwa peningkatan kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan, ekonomi, dan politik belum signifikan.

Kedua indikator di atas menunjukkan sebagian dari berbagai permasalahan yang masih dihadapi dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan di Indonesia, yakni sebagai berikut. Pertama, meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan. Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, antara lain disebabkan oleh terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi, baik di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; serta rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit.

Pada lembaga yudikatif, data tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 7.974 hakim yang ada, terdapat 1.869 hakim perempuan (23,4 persen), dan dari 39 hakim agung, 6 diantaranya adalah perempuan (15,4 persen). Sementara itu, data Kejaksaan RI menunjukkan bahwa pada tahun 2010, jumlah jaksa perempuan sebanyak 2.357 orang (29,50 persen), sedangkan laki-laki sebanyak 5.632 orang (70,50

(16)

persen). Di lembaga eksekutif, walaupun terjadi peningkatan partisipasi perempuan yang menduduki jabatan eselon, namun jabatan yang diduduki perempuan masih berpusat pada eselon IV. Dari uraian tersebut terlihat bahwa posisi, komposisi, serta peran perempuan di lembaga yudikatif dan eksekutif masih relatif kecil. Di samping itu, marginalisasi perempuan di sektor informal merupakan masalah yang masih harus dihadapi, mengingat bahwa sektor informal ini menyerap perempuan tenaga kerja terbesar, dan telah terbukti menjadi 'sabuk pengaman' perekonomian keluarga.

Partisipasi politik aktif perempuan dalam lembaga perwakilan menghadapi tantangan berkenaan dengan masih belum optimalnya peran dan fungsi yang diberikan kepada perempuan dalam memperjuangkan aspirasi pada konstituennya. Tantangan yang dihadapi perempuan dalam politik adalah mengikis budaya patriakal yang masih berpotensi menghambat kemajuan bagi perempuan. Selain itu, perempuan juga masih belum dianggap sebagai kelompok yang berhak memiliki peran independen dalam melakukan aktualisasi diri di bidang sosial dan politik, serta masih belum memiliki akses yang memeadai terhadap sumber-sumber informasi publik.

Kedua, meningkatkan perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan. Hal ini terlihat dari masih belum memadainya jumlah dan kualitas tempat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan karena banyaknya jumlah korban yang harus dilayani dan luasnya cakupan wilayah yang harus dijangkau. Data Susenas 2006 menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3,1 persen atau sekitar 3-4 juta perempuan mengalami kekerasan setiap tahun. Namun, hingga saat ini, pusat krisis terpadu (PKT) untuk penanggulangan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan perempuan hanya tersedia di 3 provinsi dan 5 kabupaten. Di samping itu, masih terdapat ketidaksesuaian antarproduk hukum yang dihasilkan, termasuk antara produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan daerah, sehingga perlindungan terhadap perempuan belum dapat terlaksana secara komprehensif.

Ketiga, meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan. Permasalahan yang muncul dalam

(17)

meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan serta perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, antara lain, disebabkan oleh belum efektifnya kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan. Hal ini terlihat dari: (1) belum optimalnya penerapan piranti hukum, piranti analisis, dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender sebagai prioritas pembangunan; (2) belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan PUG, terutama sumber daya manusia, serta ketersediaan dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin dalam siklus pembangunan; dan (3) masih rendahnya pemahaman mengenai konsep dan isu gender serta manfaat PUG dalam pembangunan, terutama di kabupaten/kota.

3.1.3.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL YANG TELAH DICAPAI

Langkah-langkah Kebijakan

Dengan memperhatikan berbagai permasalahan tersebut, maka sasaran pembangunan pengarusutamaan gender yang hendak dicapai pada tahun 2011 adalah meningkatnya kesetaraan gender, yang ditandai oleh: a) meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan terutama di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi termasuk akses terhadap penguasaan sumber daya, serta politik dan pengambilan keputusan; (b) meningkatnya persentase cakupan perempuan korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan; dan (c) meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender di tingkat nasional dan daerah. Dalam mengupayakan pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditetapkan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang dilakukan adalah: (1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, melalui peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas serta harmonisasi peraturan perundangan dan pelaksanaannya di semua tingkat pemerintahan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan; (2) perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, melalui upaya-upaya

(18)

pencegahan, pelayanan, dan pemberdayaan; dan (3) peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.

Hasil-hasil yang dicapai

Hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai dalam upaya peningkatan kesetaraan gender sampai dengan Juni 2011 diuraikan di bawah ini.

1.

Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan peran

perempuan:

(a) Di bidang pendidikan, kemajuan yang dicapai dapat dilihat dari peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG) angka partisipasi murni (APM), yakni rasio nilai APM perempuan terhadap APM laki-laki. Pada tahun 2010, IPG APM pada tingkat sekolah dasar termasuk madrasah ibtidaiyah (SD/MI) adalah sekitar 99,86; di tingkat sekolah menengah pertama termasuk madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) sebesar 102,03; di tingkat sekolah menengah atas termasuk madrasah aliyah (SMA/MA) sebesar 96,00; dan di tingkat perguruan tinggi 102,11. Hal ini menunjukkan semakin meratanya akses terhadap pendidikan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Demikian juga dengan angka melek huruf perempuan dan laki-laki berusia 15 tahun ke atas yang mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 89,10 persen dan 95,38 persen pada tahun 2008, menjadi 99,52 persen dan 99,35 persen pada tahun 2010.

(b) Di bidang kesehatan, data BPS menunjukkan adanya peningkatan angka harapan hidup, baik laki-laki maupun perempuan, dari masing-masing 66,8 tahun dan 70,7 tahun pada tahun 2007 menjadi 67,5 tahun dan 71,4 tahun pada tahun 2009. Selain itu, terjadi penurunan yang signifikan pada angka kematian ibu melahirkan, dari 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003) menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka menurunkan angka kematian ibu,

(19)

antara lain melalui penerapan pedoman revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI) di 294 kecamatan dari 147 kabupaten/kota di 33 provinsi. Di samping itu, yang perlu diperhatikan adalah peningkatan upaya pelibatan laki-laki untuk berperan aktif dalam upaya penurunan AKI, baik secara langsung maupun tidak, dalam proses penyelamatan ibu melahirkan. Hal yang sama juga perlu dicermati untuk kesehatan reproduksi, tidak hanya menyangkut kesehatan reproduksi perempuan, namun juga pentingnya partisipasi laki-laki. Data SDKI menunjukkan bahwa prevalensi pemakaian kontrasepsi laki-laki telah meningkat, dari 1,30 persen (2002/03) menjadi 1,50 persen (2007), sedangkan untuk perempuan telah meningkat dari 55,4 persen menjadi 55,9 persen pada periode yang sama.

(c) Di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, peningkatan akses lapangan kerja bagi perempuan ditunjukkan oleh penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan, dari 9,29 persen pada tahun 2008 menjadi 7,38 persen pada tahun 2011 (Sakernas, Februari). Hal yang sama juga terjadi pada TPT laki-laki, yang mengalami penurunan dari sebesar 7,94 persen pada tahun 2008 menjadi 6,42 persen pada tahun 2011. Di samping itu, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan juga mengalami peningkatan, dari 51,25 persen pada tahun 2008, menjadi 55,13 persen pada tahun 2011, walaupun jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sebesar 84,86 persen (2011). Hal ini disebabkan oleh lebih banyaknya perempuan yang memilih untuk mengurus rumah tangga jika dibandingkan dengan laki-laki, sehingga perempuan lebih banyak berada di luar angkatan kerja. Sebagai gambaran, pada Februari 2011 perempuan yang mengurus rumah tangga mencapai sekitar 28,63 juta, sementara laki-laki hanya 1,4 juta orang.

(d) Dalam jabatan publik, terdapat peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, terutama perempuan yang menduduki jabatan eselon II sampai eselon IV. Pada tahun 2009, persentase perempuan yang menjabat eselon II sampai eselon IV, masing-masing adalah 7,57

(20)

persen; 15,24 persen; dan 24,49 persen. Pada tahun 2010, persentase tersebut mengalami perubahan masing-masing menjadi 7,55 persen; 15,70 persen; dan 24,90 persen. Sedangkan persentase perempuan yang menduduki jabatan eselon I berubah dari 8,13 persen (51 orang dari total 627 orang) pada tahun 2009 menjadi 8,70 persen (47 orang dari total 540 orang) pada tahun 2010.

(e) Di bidang politik, kemajuan yang dicapai antara lain ditunjukkan dengan ditetapkan dan disosialisasikannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik  dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang tersebut mengamanatkan dengan jelas 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik di tingkat pusat dan daerah dalam daftar yang diajukan untuk calon anggota legislatif, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Ayat 2 UU No. 2/2011 dan Pasal 8 Ayat d UU No.10/2008. Di samping itu, hasil pemilu 2009 juga menunjukkan peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, yaitu dari 11,30 persen pada pemilu tahun 2004, menjadi 17,90 persen pada tahun 2009. Demikian pula halnya dengan anggota DPD perempuan, yang meningkat dari 19,80 persen pada tahun 2004 menjadi 27,30 persen pada tahun 2009.

2. Dalam rangka meningkatkan perlindungan perempuan.

Dari berbagai tindak kekerasan, kemajuan yang dicapai hingga saat ini antara lain adalah (a) Dibentuknya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 20 provinsi dan 117 kabupaten/kota, (b) Pusat Krisis Terpadu (PKT) bagi perempuan korban kekerasan berbasis rumah sakit di 22 rumah sakit umum daerah dan vertikal, (c) Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di 42 rumah sakit Polri, (d) Selain itu, Kepolisian RI juga telah menyediakan 305 Unit Pelayanan

(21)

Perempuan dan Anak (UPPA) yang berlokasi di Polda dan Polres, dan (e) Selanjutnya, telah pula dibentuk dan berfungsinya Women Crisis Centre/Women Trauma Centre yang jumlahnya mencapai 42 buah, dan tersebar di seluruh Indonesia.

3. Dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan serta perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan.

Melalui peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan, baik di tingkat nasional maupun daerah telah dilakukan berbagai kegiatan. Kemajuan yang telah dicapai antara lain adalah: (a) telah dibentuknya ASEAN Committee on Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) dalam rangka memajukan dan melindungi HAM dan kebebasan fundamental perempuan dan anak serta mendukung, memajukan, melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan dan anak di ASEAN, (b) tersusunnya laporan Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) VI dan VII periode 2004-2009, (c) Dalam hal perencanaan dan penganggaran yang responsif gender, sebagai kelanjutan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 2010, yang merupakan dasar penerapan Anggaran Responsif Gender (ARG) tahun 2010, telah ditetapkan pula PMK Nomor 104/PMK.02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2011, sebagai dasar pelaksanaan ARG tahun 2011. Lebih lanjut, telah ditetapkan pula PMK Nomor 93/PMK.02/2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, sebagai dasar pelaksanaan ARG tahun 2012 dan tahun-tahun selanjutnya. Di samping itu, berbagai upaya peningkatan kapasitas kelembagaan-PUG telah dilakukan untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam pendidikan agama, antara lain dengan

(22)

ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan PUG di Madrasah pada Kementerian Agama RI dan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender pada Pendidikan Islam. Di bidang kesehatan, kemajuan yang telah dicapai adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 9 Tahun 2010 tentang Perencanaan dan Penganggaran dalam Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS yang Responsif Gender; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Perencanaan dan Penganggaran Keluarga Berencana yang Responsif Gender; dan dikeluarkannya Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Bidang Kesehatan, yang ditindaklanjuti dengan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1459/MENKES/SK/X/2010 tentang Panduan Perencanaan dan Anggaran Responsif Gender.

Selain itu, dalam upaya peningkatan kesetaraan gender di bidang politik dan pengambilan keputusan, telah ditetapkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 25 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender di Kementerian PAN dan RB dan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 27 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pendidikan Politik pada Pemilihan Umum. Lebih lanjut, telah ditetapkan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 1 Tahun 2011 tentang Strategi Nasional (Stranas) Sosial Budaya untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender. Stranas tersebut dikeluarkan sebagai strategi pendukung keberhasilan strategi PUG dengan pendekatan kultural, yaitu mencari akar permasalahan ketidaksetaraan gender melalui aspek sosial budaya.

Berbagai upaya juga telah dilakukan untuk meningkatkan kesetaraan gender di bidang ekonomi, ketenagakerjaan, dan infrastruktur. Upaya-upaya tersebut antara lain adalah (1) ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif

(23)

Gender (PPRG) di Bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 16 Tahun 2010 tentang Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 17 Tahun 2010 tentang Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Bidang Perdagangan; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 18 Tahun 2010 tentang Panduan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di Bidang Perindustrian; Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 19 Tahun 2010 tentang Model Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah Bidang Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah; (2) dikeluarkannya Pedoman Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP), Pedoman Penyusunan Model Penanggulangan Kemiskinan yang Responsif Gender di Wilayah Perdesaan; dan Pedoman Pengintegrasian Isu Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Keuangan.

Dalam rangka perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, kemajuan yang dicapai adalah dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 20 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Bina Keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Selain itu, telah ditetapkan pula Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 23 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Pembentukan Pusat Informasi dan Konsultasi Bagi Perempuan Penyandang Cacat dan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 24 Tahun 2010 tentang Model Perlindungan Perempuan Lanjut Usia yang Responsif Gender. Ditetapkannya peraturan perundang-undangan tersebut sekaligus menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk meningkatkan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan melalui upaya pencegahan, pelayanan, dan pemberdayaan. Upaya peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan juga telah melibatkan lembaga

(24)

masyarakat, baik dalam hal peningkatan kualitas hidup, maupun perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan.

3.1.3.3 TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang masih akan dihadapi, maka tindak lanjut yang akan dilaksanakan ke depan adalah:

1. meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, antara lain melalui: (a) penyediaan layanan pendidikan masyarakat; (b) pembinaan pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi; (c) penyehatan lingkungan; (d) peningkatan advokasi dan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) Program Kependudukan dan KB; (e) fasilitasi politik dalam negeri, termasuk di dalamnya peningkatan kualitas kemampuan perempuan dalam lembaga perwakilan dan peningkatan pelaksanaan pendidikan politik bagi perempuan; dan (f) bina ideologi dan wawasan kebangsaan;

2. meningkatkan perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, antara lain melalui: (a) penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan; (b) peningkatan perlindungan dan pelayanan Warga Negara Indonesia (WNI)/Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri; (c) peningkatan perlindungan pekerja perempuan dan penghapusan pekerja anak; serta (d) pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak korban; dan

3. meningkatkan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan, antara lain melalui: (a) penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang pendidikan yang responsif gender; (b) penyusunan dan harmonisasi kebijakan penyusunan data gender; dan (c) perancangan peraturan perundang-undangan.

(25)

3.2 KEBIJAKAN LINTAS BIDANG 3.2.1 PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 mengamanatkan bahwa pelaksanaan pembangunan harus dilaksanaan secara inklusif dan berkeadilan dalam upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan inklusif dan berkeadilan dilakukan dengan melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat, termasuk masyarakat miskin, serta berbagai pihak lainnya dalam proses pembangunan dan pemanfaatan hasil pembangunan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Pembangunan inklusif dan berkeadilan dilaksanakan dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor growth). Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi harus dapat diterjemahkan kedalam berbagai kegiatan yang dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin serta memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, yaitu melalui upaya menjaga kestabilan ekonomi serta upaya keberpihakan (affirmative action).

3.2.1.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Pemerintah melalui berbagai kebijakan dan upaya konkrit telah berhasil menurunkan angka kemiskinan. Akan tetapi diakui adanya pelambatan penurunan kemiskinan, dibandingkan tahun sebelumnya. Berbagai permasalahan dihadapi pemerintah dalam rangka percepatan upaya penanggulangan kemiskinan demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Permasalahan secara makro adalah menjaga stabilitas ekonomi makro agar dapat menjaga tingkat inflasi untuk tidak naik secara tajam, terutama untuk bahan-bahan pokok, yang dapat menurunkan daya beli masyarakat. Arus globalisasi juga menjadi tantangan yang tidak mudah untuk diatasi dalam rangka meningkatkan daya saing Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Selain itu, perubahan iklim juga berpengaruh pada pendapatan petani dan nelayan yang sebagian besar adalah masyarakat miskin.

(26)

Dilain pihak, upaya keberpihakan Pemerintah kepada masyarakat miskin juga menghadapi permasalahan yang tidak sederhana. Dalam pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan di dalam Klaster I mengenai program bantuan sosial, keakuratan data sasaran program masih menjadi tantangan yang cukup berat. Penggunaan single database untuk rumah tangga sasaran program bantuan sosial sudah mulai dapat dilaksanakan akan tetapi pemutakhiran data secara kontinu agar dapat memperoleh gambaran kondisi riil di lapangan masih menjadi tantangan agar dapat dilaksanakan secara cepat, tepat waktu dan akurat, terutama mengingat perkembangan penduduk miskin yang sangat dinamis, serta keberagaman program bantuan sosial yang akan mempengaruhi target sasaran program. Peran aktif pemerintah daerah menjadi salah satu alternatif yang dapat ditawarkan untuk meningkatkan keakuratan pendataan. Selain itu, koordinasi antar program maupun didalam pelaksanaan di pusat maupun daerah juga masih menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan program bantuan sosial, agar dapat meningkatkan efektivitas program dalam menurunkan kemiskinan. Pelayanan dan penyediaan jaminan sosial khususnya bagi masyarakat lanjut usia yang tidak produktif juga menjadi hal yang masih perlu diperhatikan, demikian juga dalam hal penyediaan fasilitas dan lapangan kerja bagi masyarakat penyandang cacat.

Pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang tergabung dalam Klaster II, juga menghadapi permasalahan yang tidak sederhana. Sinkronisasi program-program sektoral yang berbasis pemberdayaan termasuk juga program-program di daerah dengan PNPM Mandiri, walaupun sudah mulai dijalankan, tetapi masih belum terlaksana secara optimal. Pemanfaatan kelembagaan di tingkat masyarakat yang telah terbentuk melalui PNPM mandiri juga masih belum optimal dilakukan oleh program-program sektoral atau daerah berbasis pemberdayaan masyarakat. Selain itu, integrasi perencanaan partisipatif melalui PNPM Mandiri dengan perencanaan reguler juga masih belum berjalan baik, sehingga sinkronisasi antara kegiatan yang menjadi usulan masyarakat dengan program/kegiatan di daerah masih sangat terbatas. Kegiatan dalam PNPM Mandiri juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat salah satunya melalui penciptaan lapangan kerja. Akan tetapi lapangan

(27)

kerja yang tercipta masih belum berkelanjutan bagi masyarakat miskin di perdesaan dan perkotaan, sehingga menjadi tantangan bagi Pemerintah agar PNPM Mandiri dapat memberikan kesempatan kerja yang berkelanjutan melalui kegiatan ekonomi produktif. Selanjutnya, PNPM Mandiri memberikan dampak yang relatif signifikansinya lebih kecil pada kecamatan-kecamatan yang tidak miskin dan juga proses pembangunan partisipasi masyarakat belum seutuhnya berjalan secara optimal terutama bagi masyarakat di daerah terpencil maupun tertinggal. Dengan demikian, menjadi tantangan Pemerintah untuk terus memperbaiki rancangan PNPM Mandiri khususnya untuk dapat mengakomodasi berbagai hal tersebut.

Adapun permasalahan utama dalam pelaksanaan Klaster Ketiga Program Penanggulangan Kemiskinan yang berupa pemberdayaan UMKM adalah jangkauan program-program Pemerintah yang masih terbatas. Meskipun jangkauan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah diperluas baik dari sisi bank penyalur maupun keterlibatan aktif Pemerintah Daerah, namun masih banyak UMKM dan koperasi yang belum bisa mengakses KUR, terutama UMKM dan koperasi di sektor-sektor produktif seperti pertanian, perikanan, kehutanan, dan industri kecil. Hal ini di satu sisi disebabkan kelayakan UMKM di sektor-sektor tersebut yang masih rendah, di sisi lain disebabkan oleh persepsi resiko kredit yang tinggi dari perbankan dan keterbatasan informasi. Kurangnya sosialisasi mengenai KUR juga menyebabkan masyarakat belum memiliki pemahaman mengenai KUR yang lengkap. Penyediaan bantuan dana bagi UMKM juga belum mampu meningkatkan akses UMKM kepada sumber permodalan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, khususnya untuk usaha baru. Oleh sebab itu, program-program dukungan akses pembiayaan di dalam Klaster Ketiga Penanggulangan Kemiskinan juga perlu dipadukan dengan upaya-upaya peningkatan kapasitas dan kelembagaan sehingga mampu mendorong peningkatan skala usaha dan pendapatan usaha mikro dan kecil secara berkelanjutan.

Pemerintah juga terus berupaya untuk meningkatkan lapangan kerja bagi masyarakat. Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi dan perlu menjadi perhatian adalah peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia yang masuk ke pasar kerja

(28)

rendah sehingga belum mampu bersaing di dalam era globalisasi. Oleh sebab itu, upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi calon pekerja menjadi hal penting untuk diperhatikan.

3.2.1.2 LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL YANG TELAH DICAPAI

Langkah-langkah Kebijakan

Berbagai kebijakan telah dilaksanakan untuk menjaga kestabilan ekonomi dan hal ini telah berhasil mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 persen pada triwulan pertama tahun 2011 (year on year) dari 6,1 persen pada tahun 2010 dan 4,5 persen tahun 2009. Selanjutnya, pada bulan Februari 2011, tingkat pengangguran terbuka telah berhasil diturunkan menjadi 6,8 persen dari 7,41 persen pada bulan Februari 2010. Penurunan tingkat pengangguran ini dapat menjadi indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi telah berhasil meningkatkan kesempatan kerja.

Selain kebijakan yang bersifat makro ekonomi, Pemerintah juga telah menyusun kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin atau pro-poor, melalui 3 (tiga) Klaster Program Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2010. Upaya pengelompokan program penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk mengefektifkan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Ketiga Klaster program penanggulangan kemiskinan ini adalah: (i) klaster program bantuan sosial berbasis keluarga, meliputi Program Keluarga Harapan (PKH), jaminan kesehatan masyarakat miskin (Jamkesmas), beasiswa miskin, program subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin) dan program bantuan sosial lainnya; (ii) klaster program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang tergabung dalam payung kebijakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri; dan (iii) klaster program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan UMKM, melalui penyaluran Kredit Untuk Rakyat (KUR) dan

(29)

program-program untuk peningkatan akses pada pemodalan lainnya. Melalui pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan serta didukung dengan upaya menjaga stabilitas ekonomi makro, angka kemiskinan telah berhasil diturunkan menjadi 12,49 persen pada bulan Maret 2011, dari 13,33 persen pada tahun 2010. Selanjutnya, melalui Perpres ini, juga diupayakan untuk meningkatkan sinkronisasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, serta harmonisasi antar pelaku dan para pihak terkait baik di pusat maupun di daerah agar efektif dalam menurunkan angka kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat.

Hasil-hasil yang dicapai

Upaya keberpihakan yang dilakukan Pemerintah telah berhasil memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat. Dalam satu tahun terakhir, jumlah lapangan kerja yang tercipta mencapai 3,87 juta orang, sehingga jumlah pengangguran terbuka telah berhasil diturunkan sekitar 472.000 orang. Sebagian besar lapangan kerja yang tercipta adalah lapangan kerja sektor jasa (3,57 juta orang) dan disusul oleh sektor industri (657 ribu orang), sedangkan lapangan kerja sektor pertanian berkurang 355 ribu orang. Selain kuantitasnya meningkat, kualitas lapangan kerja yang tercipta pun membaik. Jumlah lapangan kerja formal meningkat 4,36 juta orang, sedangkan lapangan kerja informal menurun 485 ribu orang. Dari sisi pendidikan, 49,53 persen orang yang bekerja masih berpendidikan SD dan SD ke bawah, dan persentase ini cenderung tidak berubah.

Program-program bantuan sosial telah dilaksanakan secara terpadu dengan menggunakan basis data yang seragam, yaitu data rumah tangga sasaran hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008 dan saat ini sedang dimutakhirkan melalui PPLS 2011 oleh Badan Pusat Statistik. Koordinasi antar kementerian dan lembaga maupun antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan program bantuan sosial juga telah diupayakan untuk ditingkatkan salah satunya melalui pelaksanaan Program Keluarga Harapan dan program subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin) yang ditujukan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin. PKH yang ditujukan untuk menurunkan angka

(30)

kemiskinan dengan sasaran rumah tangga sangat miskin (RTSM) dan melalui pendekatan pada sektor pendidikan dan kesehatan telah berhasil diperluas ke 88 kabupaten/kota pada 20 provinsi dengan penerima sebanyak 772.830 RTSM pada tahun 2010. Direncanakan untuk tahun 2011, PKH akan dilaksanakan di 118 kabupaten/kota pada 25 provinsi dengan penerima manfaat sebanyak 1.116.000 RTSM. Secara umum, PKH telah memberikan dampak berupa peningkatan daya beli RTSM untuk komponen kesehatan dan pendidikan, peningkatan kesehatan RTSM berupa peningkatan cakupan imunisasi dan penurunan status malnutrisi, serta peningkatan siswa miskin yang terdaftar di satuan pendidikan setingkat SMP. Selanjutnya, Raskin pada tahun 2010 telah disalurkan kepada 17.488.007 rumah tangga sasaran dengan alokasi 15 kg per rumah tangga selama 12 bulan. Realisasi penyaluran Raskin pada tahun 2010 mencapai 98,67 persen meningkat dari tahun 2009 yang hanya 97,74 persen. Bahkan pada tahun 2010 juga telah dibagikan Raskin ke-13 dalam rangka mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat lojakan harga. Untuk tahun 2011, realisasi Raskin sampai dengan Juni 2011 yang diberikan kepada 17.488.007 rumah tangga sasaran telah mencapai 50,87 persen.

Selain PKH, Pemerintah juga menyelenggarakan kegiatan bantuan dan pelayanan sosial bagi anak, lanjut usia, dan penyandang cacat telantar. Hasil evaluasi Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) tahun 2010, telah berhasil meningkatkan kesejahteraan anak-anak yang sebelumnya berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, termarjinalkan dan tidak memiliki akses ke dalam sistem pelayanan sosial dasar. Beberapa kegiatan pelayanan sosial bagi lanjut usia dilaksanakan dalam bentuk pemberian Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU), bantuan kebutuhan dasar, pendampingan dan perawatan bagi lanjut usia, dan peningkatan keterampilan, serta bantuan pengembangan usaha. Untuk meningkatkan kualitas hidup dan akses, serta perlindungan sosial para penyandang cacat atau orang dengan kecacatan berat, dilaksanakan pemberian bantuan JSPC (Jaminan Sosial Penyandang Cacat) sejak tahun 2006, saat ini telah mencapai 19.500 orang.

(31)

Upaya keberpihakan pemerintah kepada masyarakat miskin tidak hanya dilakukan melalui pemberian bantuan sosial, tetapi juga dengan melakukan pemberdayaan masyarakat miskin sehingga mereka memiliki keberdayaan dan kemandirian untuk terlibat aktif di dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, pemerintah telah memberikan bantuan langsung masyarakat (BLM) melalui kecamatan dan kelurahan untuk menjadi insentif bagi pembangunan modal sosial maupun untuk memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat setempat. Pada tahun 2011, PNPM Mandiri telah menjangkau seluruh kecamatan sebanyak 6.622 kecamatan dengan alokasi pendanaan sebesar Rp 14,98 triliun, meningkat dari alokasi tahun 2010 yang sebesar Rp 11,41 triliun. Penambahan anggaran dilakukan untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan PNPM Mandiri melalui pemenuhan BLM bagi lokasi-lokasi PNPM Perdesaan dan Perkotaan, serta untuk meningkatkan kesempatan kerja melalui usaha ekonomi produktif terutama di kecamatan-kecamatan dengan potensi tenaga kerja Indonesia yang tinggi. Melalui pelaksanaan PNPM Mandiri pada tahun 2010 telah terserap 5,22 juta tenaga kerja dengan jumlah sebesar 66,72 juta hari orang kerja (HOK), sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Kesinambungan pelaksanaan PNPM Mandiri juga sudah dilakukan dengan mulai mengintegrasikan program-program sektoral kedalam PNPM Mandiri Inti sebagai PNPM Penguatan, diantaranya adalah PNPM Mandiri Keluatan dan Perikanan, PNPM PUAP, PNPM Pariwisata, PNPM Permukiman, PNPM SANIMAS, PNPM LMP, PNPM Generasi, dan PNPM integrasi (P2SPP). Diharapkan dengan integrasi PNPM Penguatan dengan PNPM Mandiri Inti akan semakin meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program-program sektoral berbasis pemberdayaan masyarakat.

Percepatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif juga ditunjukkan oleh semakin berkembangnya usaha-usaha produktif sehingga pendapatan masyarakat ikut meningkat. Kemajuan ini dicapai sebagai hasil dari keberpihakan Pemerintah dalam mendorong pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta koperasi, sebagai basis dari sebagian besar kegiatan ekonomi masyarakat. Salah satu keberpihakan Pemerintah tersebut

(32)

diwujudkan dalam penyediaan penjaminan kredit/pembiayaan bagi UMKM dan koperasi melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Volume penyaluran KUR sejak tahun 2007 terus meningkat sehingga sampai semester satu tahun 2011 telah mencapai Rp 48,99 triliun. Dengan jumlah debitur KUR mencapai 4,80 juta debitur, KUR saat ini merupakan salah satu program penjaminan kredit bagi usaha mikro dan kecil terbesar di dunia. Namun peningkatan akses UMKM dan koperasi kepada sumber pembiayaan belum cukup untuk memampukan UMKM dan koperasi untuk semakin produktif dan berdaya saing. Oleh karena itu, Pemerintah juga mengupayakan perbaikan iklim usaha bagi UMKM dan koperasi, penyediaan dukungan untuk meningkatkan keterampilan berwirausaha dan manajemen, peningkatan jangkauan pasar, serta perbaikan kualitas kelembagaan koperasi.

3.2.1.3 TINDAK LANJUT YANG MASIH DIPERLUKAN Dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan serta mendukung percepatan penurunan kemiskinan, Pemerintah telah menetapkan untuk melakukan perluasan program-program pro-rakyat melalui pelaksanaan 6 (enam) program-program di bawah Klaster IV program pro-rakyat, meliputi: 1) pembangunan rumah murah dan sangat murah bagi masyarakat sangat miskin dan miskin, 2) penyediaan angkutan umum murah, 3) penyediaan air bersih untuk rakyat, 4) penyediaan listrik murah dan hemat serta terjangkau bagi masyarakat miskin, 5) peningkatan kehidupan nelayan yang diarahkan pada sejumlah pangkalan pendaratan ikan (PPI), dan 6) peningkatan kehidupan masyarakat terpinggirkan perkotaan. Perluasan program pro-rakyat ini ditujukan untuk melengkapi berbagai program dan kegiatan yang telah dijalankan melalui tiga klaster program penanggulangan kemiskinan. Melalui program pro-rakyat, diharapkan akan semakin memperdalam fokus program-program sektoral bagi upaya penurunan kemiskinan termasuk memperluas cakupan sasaran, program dan kegiatan yang akan dimasukkan serta keterlibatan berbagai pihak dalam pendanaan dan pelaksanaannya. Selain itu, diharapkan pula akan terjadi koordinasi dan sinkronisasi program dan kegiatan. Untuk tahun 2012 telah

(33)

dianggarkan dana sebesar Rp 5,3 triliun untuk pelaksanaan program pro-rakyat di bawah Klaster IV. Dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan program Klaster 4, telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 1 tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat yang diketuai oleh Menko Perekonomian dengan wakil, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Tim ini bertugas untuk: (1) menyusun kebijakan dan Rencana Aksi (Renaksi) Nasional Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat; (2) mengsinkronisasikan kebijakan dan Rencana Aksi Nasional Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat; (3) menyiapkan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat; dan (4) memastikan pelaksanaan seluruh Rencana Aksi Nasional Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat, berjalan sesuai kebijakan yang telah ditetapkan.

Pelaksanaan bantuan sosial melalui berbagai program dan kegiatan akan terus dilaksanakan dengan memperbaiki data dasar penerima program melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang saat ini sedang dilaksanakan. Diharapkan melalui perbaikan data penerima, ketepatan sasaran program dapat ditingkatkan. Selain itu, upaya koordinasi antar sektor dan antara Pusat dan daerah akan terus ditingkatkan termasuk juga peningkatan kualitas para pelaksana program dan kegiatan sehingga diharapkan dapat semakin meningkatkan efektivitas pelaksanaan program-program bantuan sosial. Perluasan sasaran dan lokasi program-program bantuan sosial juga akan ditingkatkan, salah satunya adalah PKH yang akan dilaksanakan di 166 Kabupaten/Kota di 33 Provinsi dengan jumlah peserta meningkat menjadi 1.516.000 RTSM.

Pemberdayaan masyarakat tetap masih mejadi fokus dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan melalui peningkatan kualitas pelaksanaan PNPM Mandiri. Perbaikan disain PNPM Mandiri akan dilakukan agar dapat benar-benar menjadi media bagi peningkatan keberdayaan dan kemandirian masyarakat serta memiliki dampak yang signifikan bagi pengurangan kemiskinan. Sikronisasi dan koordinasi antar sektor juga akan ditingkatkan dan dalam hal ini peran Tim Pengendali PNPM maupun Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD)

(34)

perlu terus ditingkatkan. Integrasi PNPM Mandiri dengan PNPM Penguatan akan terus dilakukan secara selektif, terutama bagi sektor-sektor yang memiliki program berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemerintah juga terus melakukan upaya untuk mensinkronkan perencanaan partisipatif dengan perencanaan reguler melalui beberapa kegiatan uji coba yang memberikan gambaran positif. Sehingga diharapkan usulan dari masyarakat dapat diakomodasi dalam perencanaan sektoral di daerah dan pusat. Untuk meningkatkan keberlanjutan dari kelembagaan yang telah terbentuk di tingkat masyarakat, khususnya kelembagaan keuangan di tingkat masyarakat masih perlu dilakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan kelembagaan keuangan mikro lainnya. Upaya untuk mengaitkan program dan kegiatan pada Klaster II dengan Klaster III, terkait dengan peningkatakan usaha ekonomi produktif akan terus dilakukan sehingga terjadi kesinambungan program penanggulangan kemiskinan.

Kebijakan pembangunan yang inklusif perlu diperkuat melalui pengembangan usaha-usaha produktif yang dijalankan oleh rakyat miskin yang difasilitasi dalam kelembagaan koperasi. Upaya ini juga perlu didukung dengan penyediaan kesempatan usaha sehingga mampu mendorong tumbuhnya usaha baru skala mikro dan kecil yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi usaha yang lebih besar. Dukungan juga perlu diberikan dalam rangka perbaikan kebijakan perijinan dan perlindungan usaha, serta penguatan struktur usaha UMKM dan koperasi baik dari aspek kapasitas sumber daya manusia, produksi, pemasaran, maupun sistem pendukungnya. Pemerintah juga menyediakan pendampingan dan bantuan usaha bagi usaha mikro yang masih tergolong kelompok masyarakat miskin agar usahanya dapat tumbuh menjadi usaha yang layak dan berkelanjutan.

3.2.2 PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim saat ini telah menjadi isu penting yang mendapat perhatian besar di kalangan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Perhatian terhadap perubahan iklim tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan nasional. Hal ini karena perubahan iklim akan sangat berpengaruh secara signifikan terhadap

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dengan menggunakan metode CAMELS dan RGEC ini menunjukkan predikat

akan mempermudah pengguna dalam melakukan pencarian hardcopy dari arsip yang diinginkannya. Komputer akan memberikan data lokasi penempatan dokumen secara lengkap. d) Fasilitas

Tidak hanya pengaruh positif tetapi turnover memiliki pengaruh negatif bagi perusahaan yaitu banyaknya biaya yang perlu di keluarkan untuk pelatihan dan pengembangan karyawan

Peserta yang karena sesuatu hal tidak dapat hadir memenuhi panggilan PLPG ini, harap menyampaikan surat ijin/pengunduran diri kepada Ketua PSG Rayon 115 UM yang disertai

s halom, hidup kita tidak ternilai harganya semahal darah Yesus, belajarlah menghargai orang lain sewajarnya, sebab mereka masih belum tahu harga hidup mereka, sementara jika

Analisis data bivariat adalah analisa yang dilakukan lebih dari dua variabel (Notoadmodjo, 2005).Analisa ini digunakan untuk menguji pengaruh terapi akupresur dalam

unsigned long atau unsigned long int float double Sebutan Tipe Data Bentuk penulisan dalam Bahasa C Jumlah Byte yang diperlukan Jangkauan nilai numerik 1 1 2 2 4 4 4 8 -128

Diantara bukti-buktinya yang dapat kita saksikan tentang wujudnya Allah ialah bahwa para nabi dan rasul yang terpilih dari sekian banyak hamba-hambaNya, mereka itu semua adalah