• Tidak ada hasil yang ditemukan

SARAF PERIFER Masalah dan Penanganannya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SARAF PERIFER Masalah dan Penanganannya."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Saraf Perifer

Masalah dan Penanganannya

S

ERI BUKU AJAR

Dr. Tjokorda Gde Bagus Nahadewa, M. Kes., dr. SpBs

Editor:

Co Editor:

Tjokorda G. A. Senapathi, dr. SpAnKAR

Prakata:

Prof. Darto Satoto, dr. SpAn-KAR

(3)

v

Prakata

Di dalam buku teks yang sangat komprehensif ini pembaca

dapat mengikuti pengetahuan yang paling baru fi siologi dan anatomi

anestesia regional dan penanganan nyeri dan informasi secara evidence-based yang melingkupi banyak topik termasuk embriologi susunan saraf dan anatomi, histologi dan patologi yang relevan. Pada topik

neurofi siologi dan farmakologi dari obat-obat analgesik sangat esensial

untuk dimengerti untuk pendekatan yang optimal pada prosedur teknik anestesia regional pada pembedahan dan pencegahan nyeri pasca operasi dan sindroma nyeri kronis.

Pengetahuan mengenai terjadinya dampak penyakit-penyakit

pe-nyerta dan usia tua pada praktek anestesia regional sangat penting untuk mendapatkan teknik yang aman dan efektif terutama pada penanganan

nyeri pada kasus-kasus risiko tinggi. Pemakaian opioid dan non opioid

pada teknik penanganan nyeri multimodal juga dibahas dalam buku teks ini karena pentingnya mendapatkan hasil yang memuaskan pasien.

Kemajuan-kemajuan masa kini dalam pemakaian alat-alat modern dalam prosedur anestesia regional: stimulator saraf, jarum-jarum sti-mulasi, USG, kateter disposibel dan lain-lain, yang memungkinkan ahli anestesi lebih trampil dalam melakukan blok saraf, memperpanjang

du-rasi analgesia dengan teknik infus dan mengurangi komplikasi (trauma saraf dan infeksi). Juga dibahas prosedur anestesia regional pada

kasus-kasus spesifi k misalnya pada pasien-pasien ambulatory, geriatri,

pasien-pasien obstetri, dan nyeri akut dan kronis, dan pada kasus-kasus

emergensi.

Penulis: Dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M. Kes., dr. SpBs Penyunting: Tim Indeks

Koordinator editorial: Tjokorda G. A. Senapathi, dr. SpAnKAR Penata letak: Danish Art 77

Pemodifi kasi desain sampul: Marcella Virginia

Hak Cipta Bahasa Indonesia © 2013 PT Indeks

Permata Puri Media Jl. Topaz Raya C2 No. 16 Kembangan Utara-Jakarta Barat 11610 e-mail: indeks@indeks-penerbit.com

All rights reserved. No part of this book may be reproduced or transmitted, in any form or by any means, electronic or mechanical including photocopying, recording or by any information storage retrieval system, without permission in writing from the publisher or copyrights holder.

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memin-dahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa seizin tertulis dari penerbit atau pemegang hak cipta.

I S B N 10 9 7 9 - 0 6 2 - 13 9 7 8 - 9 7 9 - 0 6 2 -

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

(4)

vi

Saraf Perifer

vii

Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk berpartisipasi dalam buku teks ini yang diciptakan oleh para pakar muda dalam bidangnya. Menurut saya buku teks ini akan menjadi teks standar untuk para praktisi kedokteran dan spesialis.

Prof. Darto Satoto, dr. SpAn-KAR (FK UI)

Kata Pengantar

Buku ”cedera saraf tepi” ini merupakan tulisan yang membahas

berbagai topik mengenai cedera saraf tepi, aspek klinis dan

penata-laksanaannya sebagai dasar untuk mempelajari dan memahami cedera saraf tepi untuk kemudian dapat diaplikasikan secara klinis.

Buku ini disusun sebagai sajian untuk mahasiswa kedokteran,

paramedis, bahan untuk Program Profesi Dokter dan Program

Pen-didikan Dokter Spesialis I (PPDS I) Saraf, Anestesi, Bedah, Bedah Saraf, Bedah Tulang, Rehabilitasi Medik maupun disiplin ilmu lain yang ter kait dan dengan adanya bahan ini diharapkan peserta didik dapat belajar mandiri.

Mengingat perkembangan ilmu khususnya Saraf Tepi yang ma sih

nisbi, kami harapkan buku ringkas ini sebagai pelita dalam

kegelap-an sehingga selalu dapat mengikuti perkembkegelap-angkegelap-an ilmu ykegelap-ang terjadi. Harapan kami buku ini akan dapat memberikan manfaat. Terimakasih.

Denpasar, Agustus 2012

(5)

Istri tercintaTjok Indira Kusumadewi, Ananda Tjok Sri, Ananda Tjok Mahadewi, Ananda Tjok Mahaputra, Ananda Tjok Mahaputri dan Ananda Tjok Maharani.

Serta

Ayahanda dr. Tjokorda Gde Subamia Ibunda A.A. Alit Suarthi

(6)

xi

Om Swastyastu,

Pertama-tama marilah kita bersama memanjatkan puji syukur

kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya buku ini, yang merupakan kumpulan makalah, tentang cedera saraf tepi dilihat dari aspek klinis dan penatalaksanaannya.

Sebagai Rektor Universitas Udayana (UNUD), saya bangga atas apa yang telah dikerjakan oleh staf Satuan Medik Fungsional (SMF) Bedah Saraf, Anestesi, Saraf dan Rehabilitasi Medis Fakultas Kedokteran (FK)

UNUD/Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah-Denpasar. Buku ini

merupakan bukti bahwa dokter Universitas Udayana bisa memberikan sumbangsihnya untuk khasanah ilmu kedokteran.

Pada prinsipnya saya menyambut baik diterbitkannya buku ini, karena semua hal tersebut sangat penting diketahui oleh mahasiswa, paramedis, dokter umum maupun dokter residen, yang bertugas di

Puskesmas maupun Rumah Sakit Daerah. Mudah-mudahan apa yang

didapatkan dari buku ini dapat menambah pengetahuan para pembaca

dan dapat bermanfaat dalam tugas sehari-hari di tempat tugas

masing-masing.

Om Shanti Shanti Shanti Om

Prof. Dr. I Made Bakta, dr. SpPD-KHOM

Kata Sambutan Rektor

(7)

xiii

Prof. Darto Satoto, dr.SpAn-KAR

Kepala Divisi Anestesia Regional

Konsultan Anestesi Regional Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM

Prof. (Emr) Dr. Kahdar Wiriadisastra, dr. SpBS(K)

Konsultan Bagian/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran (FK UNPAD)/RS dr Hasan Sadikin-Bandung

Prof. Dr. Abdul Hafi d Bajamal, dr. SpBS(K)

Kepala Bagian/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga (FK UNAIR)/RS dr Soetomo-Surabaya

Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, dr.SpS(K)

Direktur Pascasarjana Universitas Udayana

Konsultan SMF Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

Prof. Dr. Sri Maliawan, dr. SpBS(K)

Kepala Divisi Neurofunctional Surgery

Konsultan dan Kepala SMF Bedah Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

Prof. Dr. Andi Asadul Islam, dr. SpBS(K)

Konsultan dan Kepala Bagian/SMF Bedah Saraf FK UNHAS-Makassar

(8)

xiv

Saraf Perifer

xv

Prof. Dr. Made Wiryana, dr. SpAN(KIC)

Konsultan Intensive Care dan Kepala Bagian /SMF Anestesiologi-Terapi Intensif dan Penanganan Nyeri FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

Dr. M.Z. Arifi n, dr. SpBS(K)

Kepala Bagian/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran (FK UNPAD)/RS Hasan Sadikin-Bandung

Dr. Nyoman Golden, dr. SpBS(K)

Kepala Divisi Neurooncology

Konsultan SMF Bedah Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

Dr. Tjokorda G.B. Mahadewa, M.Kes, dr. SpBS

Kepala Divisi Neurospine & Peripheral Nerve

Konsultan SMF Bedah Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

Dr. DPG Purwa Samatra, dr.SpS(K)

Kepala Bagian/SMF Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

Dr. Thomas Eko Purwata, dr.SpS(K)

Konsultan SMF Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

I Gusti Ngurah Purna Putra, dr. SpS(K)

Konsultan SMF Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

Aida Tantri, dr.SpAn-KAR

Konsultan Anestesi Regional Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM

Pryambodho,dr.SpAn-KAR

Konsultan Anestesi Regional Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM

Tjokorda Gde Agung Senapathi, dr. SpAn-KAR

Konsultan Anestesi Regional SMF/Bagian Anestesiologi-Terapi Intensif dan Penanganan Nyeri FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

Tjokorda Dalem Kurniawan, dr. SpRM

Kepala SMF Rehabilitasi Medik FK UNUD/RSUP Sanglah-Bali

Daftar Isi

Prakata ...

Kata Pengantar ... Kata Sambutan Rektor UNUD ...

Dat ar Kontributor ...

Dat ar Isi ...

1. Pendahuluan ... Abdul Hafi d Bajamal

2. Epidemiologi Cedera Saraf Tepi ... MZ Arifi n

3. Anatomi dan fi siologi saraf tepi ...

DPG Purwa Samatra

4. Patofi siologi Cedera saraf tepi ...

Nyoman Golden

5. Diagnosis Cedera saraf tepi ...

AA Raka Sudewi

6. Tatalaksana Cedera saraf tepi ...

Kahdar Wiriadisastra

7. Cervical Root Syndrome ...

(9)

8. Thoracic Outlet Syndrome ...

Tjokorda GB Mahadewa

9. Cedera Pleksus Brachialis ...

Tjokorda GB Mahadewa

10. Subscapular dan Ulnar Neuropathy ...

Tjokorda GB Mahadewa

11. Cedera Bahu dan Saraf tepi ...

Tjokorda GB Mahadewa

12. Carpal Tunnel Syndrome ...

Tjokorda GB Mahadewa

13. Ischialgia ...

Tjokorda GB Mahadewa

14. Meralgia Paresthetica ...

Tjokorda GA Senapathi

15. Peroneus dan Saphenous Neuropathy ...

Tjokorda GB Mahadewa

16. Tarsal Tunnel Syndrome ...

Tjokorda GB Mahadewa

17. Cubital Tunnel Syndrome ...

Tjokorda GB Mahadewa

18. Tumor Saraf Tepi ...

Sri Maliawan

19. Radial Nerve Entrapment ...

Andi Asadul Islam

20. Neuropati Perifer ...

Made Wiryana

21. Elektrodiagnostik pada cedera saraf tepi ...

Thomas Eko Purwata, I G N Purna Putra

22. Tatalaksana Konservatif pada Cedera saraf tepi ...

I G N Purna Putra, Thomas Eko Purwata

23. Rehabilitasi cedera saraf tepi ...

Tjokorda Dalem Kurniawan, Made Ramayani

24. Sejarah Anestesia Regional saraf tepi ...

Darto Satoto, Aida Tantri, Pryambodho

25. Dasar-dasar Anestesi Regional ...

Tjokorda GA Senapathi

26. Blok Saraf Perifer ...

Tjokorda GA Senapathi

27. Pengenalan Tehnik Regional Anestesi dengan Tuntunan USG...

Tjokorda GA Senapathi

28. Ringkasan ...

Tjokorda GB Mahadewa

(10)

xix

Dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes., dr. SpBS, putra Puri Peliatan Ubud-Gianyar,

dari pasangan Tjokorda Gde Subamia, dr., dan A.A. Alit Suarthi pada 6 September 1974. Pendidikan dokter diselesaikan di FK UNUD (1999), Magister Kesehatan dan Spesialis Bedah Saraf FK UNPAD (2005), selesai Doktor di FK UNUD (2012) dan Spine Fellow Aichi Medical University (AMU) Japan; sebagai Kepala Divisi

Neurospine and peripheral nerve di FK UNUD/

RSUP Sanglah 2005-sekarang.

Aktif berbicara di seminar ilmiah, Nasional maupun Internasional, dengan karya tulis ilmiah yang dihasilkan dan dimuat di jurnal Nasional maupun Internasional. Beberapa tulisannya berjudul: Complete Sudden Paraplegia from Lumbar Schwannoma: A case report (Journal of Neurosurgery-USA); Intramedulary Neurosarcoidosis in the medula oblongata: A case report (Surgical Neurol Journal USA); C7 fracture treated with a pedicle screw system under a navigation guidance: A case report, diterbitkan Singapore Medical Journal; A comparative study of bilateral laminotomy and laminectomy with fusion for lumbar stenosis (Neurology Asia). Menulis buku Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Tulang Belakang (Sagung Seto, 2009) dan Cedera Saraf Tulang Belakang (Udayana University Press, 2009) yang dij

adi-kan referensi kuliah para mahasiswa kedokteran dan residennya yang se dang pendidikan spesialisasi Bedah.

(11)

1

Bab 1

Pendahuluan

Abdul Hafid Bajamal

S

araf tepi terdiri dari saraf kranial dan spinal yang menghubungkan otak dan medula spinalis ke jaringan tepi. Medula spinalis terdiri

dari 31 pasang saraf spinal yang mengandung campuran

serabut-se-rabut sensorik dan motorik. Dalam saraf tepi, seserabut-se-rabut disusun dalam berkas terpisah yang dikenal dengan fascikel. Kurang dari setengah sa raf dilapisi oleh lapisan myelin. Serabut-serabut yang tak bermyelin

ber jalan sepanjang permukaan sel-sel Schwann. Tiap sel Schwann dike-li dike-li ngi jaringan serabut-serabut kolagen retikular, yaitu endoneurium. Cedera saraf tepi biasanya sebagai akibat dari kecelakaan kendara-an bermotor, laserasi oleh benda tajam, penetrasi trauma, trauma

pe-regangan dan penekanan dan fraktur, dan luka tembak. Cedera saraf

terjadi pada laki-laki muda dan sebagian besar kelompok umur pro-duktif. Cedera saraf yang berhubungan dengan trauma menjadi ber-kurang setelah umur tujuh puluhan. Cedera saraf sebagian besar

ter-jadi pada ekstremitas atas dan sebagian besar mengenai saraf ulnar, radial, dan digital. Pada negara berkembang kecelakaan kendaraan bermotor adalah penye bab tersering cedera saraf tepi, cedera saraf yang disebabkan oleh injeksi intramuscular yang kurang aman juga masih sering terjadi (Eser dkk, 2009).

Kerusakan saraf akibat trauma tergantung pada jenis, letak

ser-ta besarnya cedera pada saraf yang bersangkuser-tan. Terdapat beberapa

fak tor yang menyebabkan timbulnya cedera saraf tepi, namun tiga

pe-nyebab paling sering yang menimbulkan cedera adalah luka ter buka,

traksi, patah tulang serta cedera sendi. Lebih jarang lagi adalah ke-rusakan yang disebabkan oleh jepitan atau tekanan pada saraf

kare-na pemasangan bidai atau bebat yang terlalu kencang, torniket, atau Selain beraktivitas sebagai pendidik, dokter spesialis bedah saraf,

(12)

2

Saraf Perifer

3

Bab 2

Epidemiologi

Cedera Saraf Tepi

MZ Arifin

keadaan yang menimbulkan iskemik. Kadang bisa terjadi kerusakan akibat penyuntikan yang kebetulan masuk di dalam jaringan saraf, misalnya nervus iskhiadikus (neuropati suntikan). Cedera saraf tepi

dapat menyebabkan ketidakmampuan yang bermakna. Dalam me-nangani cedera saraf tepi membutuhkan lokasi yang akurat dan

pe-nilaian terhadap beratnya cedera (Eser dkk, 2009).

Studi pada 938 pasien di Turki dengan cedera saraf dan

distri-busi cedera saraf menunjukkan bahwa cedera saraf tepi sebesar 1165; cedera Pleksus Brakhialis sebesar 76; dan cedera Pleksus Lumbalis sebesar

7. Umur rata-rata yang terkena adalah 31,8 tahun (terentang dari 2-81 tahun) dan ratio laki-laki terhadap perempuan sebesar 2,4:1. Cedera

saraf yang paling sering adalah cedera saraf ulnar pada ekstremitas atas dan ce dera saraf iskhiadikus pada ekstremitas bawah (Eser dkk, 2009).

D

i negara berkembang, kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab tersering cedera saraf tepi, cedera saraf yang disebabkan oleh injeksi intramuscular yang kurang aman juga masih sering terjadi.

Cedera saraf terjadi pada laki-laki muda dan sebagian besar kelompok

umur produktif. Cedera saraf yang berhubungan dengan trauma menjadi berkurang setelah usia tujuh puluhan. Cedera saraf sebagian besar terjadi pada ekstremitas atas dan sebagian besar mengenai saraf ulnaris, radialis, dan digitalis.Data mengenai insiden dari cedera saraf tepi di Amerika Utara didapatkan dari populasi pasien trauma di Kanada, dimana dari 5777 pasien yang dirawat antara 1 Januari 1986 dan

30 November 1986, sebanyak 162 pasien diidentifi kasi terkena cedera

paling tidak pada satu saraf tepi, kurang lebih 2,8%. Dilaporkan insi den

rata-rata dari cedera saraf dengan fraktur suprakondilar pada anak-anak berkisar antara 12-16%. Fraktur displace medial, sering berhubungan dengan penekanan pada saraf. Beberapa penelitian menyebutkan bah-wa 86-100% dari cedera ini adalah neuropraksia (Eser dkk, 2009).

Cedera saraf sering disertai dengan dislokasi, yang disebabkan oleh tarikan ke saraf, terjadi pada 18% kasus atau lebih banyak pada dislokasi lutut dan lebih dari 13% pada dislokasi hip posterior. Cedera saraf biasanya terjadi pada dislokasi bahu dengan angka insiden 48%. Pada tahun 1967, Bado melaporkan bahwa insiden dari palsy saraf radial dengan dislokasi kepala radial lateral sebanyak 20%. Literatur menyatakan bahwa cedera saraf dari dislokasi traumatic dan fraktur dislokasi dari hip memiliki angka insiden sebanyak 10% pada orang

dewasa dan 5% pada anak-anak. Kehilangan aksonal pada dislokasi

(13)

5

Bab 3

Anatomi dan Fisiologi

Sistem Saraf Tepi

DPG Purwa Samatra

sebanyak 51% berupa cedera saraf soliter dan saraf aksilari terdapat pada 42% pasien. Cedera saraf tepi biasanya akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Sebagian besar faktor etiologi adalah trauma musculoskeletal dan penyebab tersering trauma skeletal adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera saraf kemungkinan berhubungan dengan trauma langsung dan peregangan. Penyebab tersering kedua cedera saraf tepi adalah laserasi oleh benda tajam. Trauma penetrasi oleh benda tajam atau tumpul biasanya menyebabkan transeksi atau leserasi saraf dan rekonstruksi dini diindikasikan untuk cedera saraf tepi oleh benda tajam. Pada beberapa studi 11,2% penyebab adalah iatrogenik. Setengah dari cedera saraf sciatika berhubungan dengan injeksi intragluteal atau antroplasti pinggul. Pada negara berkembang, cedera saraf yang disebabkan oleh injeksi intramuskular yang kurang aman masih sering terjadi (Eser dkk, 2009).

Mekanisme cedera saraf yang berhubungan dengan injeksi

me-liputi trauma jarum langsung, iskemia saraf, konstruksi melingkar dari jaringan parut, dan cedera serabut saraf langsung oleh agen neurotoksik.

Selama prosedur injeksi, faktor-faktor penting meliputi titik tempat

masuknya jarum, ukuran jarum, dan sudut tempat masuknya jarum. Luka tembak menyebabkan cedera saraf tepi sebesar 83,3% cedera pada studi di Pakistan dan 7,4% pada studi di Kanada dan sebesar 9,3% pada

studi di Turki. Pada negara berkembang, kecelakaan kendaraan ber -motor adalah penyebab tersering. Kecelakaan ini sebagian besar

me-nye bab kan cedera Pleksus brakhialis dan Pleksus lumbalis. Faktor lain me liputi tarikan dan tekanan pada Pleksus brakhialis dan luka tembak pada ce dera Pleksuslumbalis. Luka tembak adalah faktor penyebab lain dari cedera Pleksus brakhialis.Selain karena trauma, cedera saraf

te-pi juga dapat disebabkan oleh infeksi (dit eri, TBC, lepra), keracunan (kemoterapeutik, antibiotik, logam berat, gas CO), dan gangguan

me-tabolik (diabetes militus, leukemia) (Eser dkk, 2009; Robinson, 2005).

S

istem persarafan terdiri dari neuron dan neuroglia yang tersusun membentuk sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi merupakan sistem saraf di luar sistem saraf pusat yang membawa pesan dari dan menuju sistem saraf pusat untuk menjalankan otot dan organ tubuh. Tidak seperti sistem saraf pusat, sistem saraf tepi tidak dilindungi tulang, sehingga rentan terhadap trauma (Snell,2006).

Sistem saraf tepi terbagi menjadi sistem saraf somatik dan sistem

saraf otonomik. Saraf-saraf tersebut mengandung serabut saraf aferen

dan eferen. Pada umumnya serabut eferen terlibat dalam fungsi motorik, seperti kontraksi otot atau sekresi kelenjar sedangkan serabut aferen biasanya menghantarkan rangsang sensorik dari kulit, selaput lendir dan struktur yang lebih dalam (Groot ,1997).

Stimulasi diterima oleh reseptor sistem saraf tepi yang

(14)

6

Saraf Perifer Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi

7

III.1 ANATOMI SISTEM SARAF TEPI

Struktur serabut saraf tepi

Neuron merupakan unit fungsional dasar susunan saraf. Neuron ter-diri dari badan sel saraf dan prosesus-prosesusnya. Badan sel sa raf merupakan pusat metabolisme dari suatu neuron. Badan sel me ngan-dung nukleus dan sitoplasma. Nukleus terletak di sentral, berben-tuk bulat dan besar. Di dalam sitoplasma terdapat retikulum

endo-plasma serta mengandung organel seperti substansi Nissl, apparatus

Golgi, mitokondria, mikrofi lamen, mikrotubulus dan liso som.

Mem-bran plasma dan selubung sel membentuk memMem-bran semipermeabel

yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini dan menghambat ion-ion lainnya. Processus sel neuron terbagi menjadi dendrit-dendrit dan sebuah akson. Neuron mempunyai banyak

den-drit yang menghantarkan impuls saraf ke arah badan sel saraf. Akson merupakan processus badan sel yang paling panjang menghantarkan impuls dari segmen awal ke terminal sinaps. Segmen awal badan sel

merupakan elevasi badan sel berbentuk kerucut yang tidak

mengan-dung granula Nissl dan disebut akson hillock (Snell, 2006).

Gambar 3.1. Struktur neuron (Sumber dari http://www.brianjogrady.com/braincongeni tal. html).

NEURON

Dendrites

(receivers)

Axon Terminals

(transmitter)

Schwan’s Cells

(they make the myelin)

Myelin Sheath

(insulating fatty layer that speeds transmision)

Axon

(the conducting fi ber)

Node of

Ranvier Nucleus

Cell Body

Schwann-cell nucleus

Schwann-cell nucleus Myelin

sheath Nodes of Ranvier

Cross-section

Axon

Axon

Axon terminals Nucleus

Gambar 3.2. Serabut saraf bermielin di susunan saraf tepi (Sumber dari http://www.cell.com/

trends/biotechnology//retrieve/pii/S0167779997011657).

Neuron memiliki kemampuan metabolisme yang sangat tinggi,

tetapi tidak dapat menyimpan zat-zat makanan dan oksigen. Oleh

karena itu neuron perlu didukung oleh neuroglia yang menyuplai zat

makanan dan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Sel-sel pendukung

yang sangat penting antara lain adalah sel satelit dan sel Schwann. Sel Schwann pada susunan saraf tepi bersifat seperti oligodendroglia pada SSP. Sebagian besar akson pada susunan saraf tepi dilapisi myelin

dan membentuk segmen-segmen seperti di SSP. Tiap sel Schwann

hanya melapisi satu segmen, berbeda dengan oligondendroglia yang mengembangkan beberapa “tangan” ke tiap segmen. Sel Schwann juga

berbeda dari oligodendria dalam hal pembentukan sel baru. Bila

ter-jadi kerusakan pada saraf tepi, sel Scwhann membentuk serangkaian silin der yang berperan sebagai penunjuk arah pertumbuhan akson (Kahle,2000).

Jenis-jenis neuron diklasifi kasi berdasarkan morfologi neuron yang

(15)

Pembentukan mielin pada susunan saraf tepi

Mielin adalah campuran dari lipid dan protein. Pada susunan sa-raf tepi, selubung mielin diproduksi oleh sel Schwann dan hanya ter-dapat satu sel Schwann untuk setiap segmen serabut saraf.

Mula-mula serabut saraf atau akson membentuk lekukan di tepi sebuah sel Schwann. Lalu membran eksternal sel Schwann membentuk mesakson

yang menggantung akson di dalam sel Schwann saat akson

menya-tu dengan sel Schwann. Selanjutnya sel Schwann berotasi mengelili ngi akson sehingga membran plasma membungkus akson berbentuk se per ti

spiral. Arah spiral sesuai dengan arah jarum jam pada beberapa seg-men, dan berlawanan arah dengan jarum jam pada segmen lain.

Awal-nya selubung ini longgar, namun sitoplasma antar lapisan membran menghilang secara bertahap. Yang tertinggal hanya sitoplasma yang

ada di dekat permukaan dan daerah nukleus. Selubung menjadi

ke-tat dengan maturasi serabut saraf. Ketebalan mielin bergantung pada jumlah spiral membran sel Schwann. Selubung sel Schwann dan mielin

yang dikandungnya, diselingi setiap 1-2 mm oleh konstruksi

berben-tuk cincin yang disebut nodus Ranvier. Pada nodus Ranvier, dua sel

Gambar 3.3. Jenis neuron pada susunan saraf tepi (Sumber dari

http://dsc.discovery.com/tv-shows/curiosity/topics/nervous-system-pictures.htm).

Bipolar (Interneuron)

Unipolar (Sensory Neuron)

Multipolar (Motoneuron)

Piramidal Cell

Basic Neuron Types

Gambar 3.4. Serabut saraf bermielin yang memperlihatkan nodus Ranvier (Sumber dari http://

www.mcatzone.com/glosslet.php?letter=n&pagenum=2).

Nodes of Ravier

Schwann cell

Layers of myelin Node of Ranvier

Nucleus of Schwann cell

Axon

Schwann yang berdekatan berakhir dan selubung mielin menjadi lebih tipis. Nodus ini memainkan peranan penting dalam perkembangan

efek rangsangan dari reseptor ke medula spinalis atau sebaliknya,

de-ngan mengadakan konduksi cepat impuls melalui konduksi saltatori

dari potensial aksi. Makin tebal selubung mielin makin cepat

kon-duk si se rat saraf (Snell,2006).

Sel-sel Schwann dilapisi oleh selapis jaringan ikat, yaitu endo-neurium. Jaringan ikat yang melapisi beberapa berkas serat saraf di-sebut perineurium dan jaringan ikat yang membungkus saraf lebih be-sar disebut epineurium. Lapisan jaringan ikat ini melindungi be-saraf

da-ri cedera mekanis dan kontak langsung dengan bahan yang me rusak sa raf. Jaringan ikat membawa pembuluh darah yang memberi ma kan se rat saraf (Duus,1996).

Komponen sistem saraf tepi

Susunan saraf tepi terdiri dari susunan saraf motorik dan saraf sensorik. Susunan saraf ini dimulai dari neuron motorik dan neuron sensorik menuju ke neuromuscular junction dan otot. Terdapat 31 pasang nervus

spinalis yang meninggalkan medula spinalis dan berjalan melalui

foramina intervertebralis di kolumna vertebralis. Masing-masing nervus

spinalis berhubungan dengan medula spinalis melalui 2 radiks yaitu radiks anterior dan radiks posterior. Radiks anterior terdiri dari berkas serabut saraf yang membawa impuls saraf dari SSP (serabut eferen).

(16)

im-10

Saraf Perifer Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi

11

puls menuju SSP (serabut aferen). Badan sel serabut saraf ini terletak

da lam pembesaran radiks posterior yang disebut ganglion spinalis. Ra-diks anterior bergabung dengan raRa-diks posterior tepat di distal

gang-lion spinalis, dan keduanya membentuk saraf tepi spinalis. Jadi setiap

segmen tubuh mempunyai pasangan saraf spinalisnya masing-masing

(Snell,2007).

Dalam perjalanannya, saraf tepi bercabang dan bergabung

de-ngan saraf tepi di dekatnya sehingga membentuk jaride-ngan saraf yang di sebut pleksus nervosus. Pleksus memungkinkan redistribusi serabut saraf di dalam saraf tepi yang berbeda. Pembentukan pleksus-pleksus ini

menyebabkan serat-serat dari setiap pasang radiks bercabang menjadi saraf-saraf tepi yang berbeda, artinya setiap saraf tepi dibuat dari serat

beberapa radiks segmental yang berdekatan (Duus,1996).

Susunan saraf tepi sensorik

Susunan saraf tepi sensoris adalah sepanjang jalur sensoris antara

re-septor di kulit sampai dengan ganglion spinalis. Semua impuls yang ber asal dari reseptor di kulit, otot, sendi, dan organ dalam dikirim ke pusat melalui saraf tepi, pleksus, saraf spinalis, radiks posterior dan

ke mudian membentuk ganglion spinalis yang berada di foramen in-tervertebralis, selanjutnya menuju ke dalam medula spinalis untuk

di-teruskan ke otak. Ketika saraf mencapai ganglion spinalis, serat terbagi menjadi kelompok menurut fungsi khususnya. Hanya beberapa dari

impuls yang datang dari otot, sendi, fascia dan jaringan lain mencapai tingkat kesadaran, kebanyakan melayani kontrol otomatis aktivitas motorik yang diperlukan untuk berjalan dan berdiri (Duus,1996).

Ke arah tepi dari saraf, serat aferen yang berasal dari satu radiks

dorsalis bergabung dan mensuplai daerah segmen tertentu dari ku-lit disebut dermatom. Jumlah dermatom adalah sebanyak radiks seg-mental. Karena dermatom berhubungan dengan berbagai segmen

ra-diks medula spinalis maka mempunyai nilai diagnostik yang besar dalam menentukan tingkat ketinggian dari kerusakan medula spinalis (Duus,1996).

Serat yang membentuk saraf tepi berasal dari berbagai radiks.

Aki-batnya, hilangnya sensorik yang disebabkan oleh kerusakan saraf tepi memperlihatkan pola yang sangat berbeda dengan yang disebabkan oleh kerusakan radiks spinalis. Tumpang tindih daerah sensorik dari saraf yang berdekatan agak terbatas dibandingkan dengan tumpang tindih daerah sensorik radikular. Keadaan ini sangat mempermudah deteksi adanya gangguan sensorik (Duus,1996).

Gambar 3.5. Segmen radiks spinalis (Sumber dari http://www.med.umich.edu/lrc/coursepages/

m1/anatomy2010/html/modules/spinal_cord_module/spinalcord_12.html).

Dorsal Root Ganglion Dorsal

Root

Ventral Root Sensory

neuron Dorsal Horns

Ventral Horns

Ventral horn motor neurons

Spinal Nerve

MIXED Dorsal Ramus Ventral Ramus Sensory receptors of back

Sensory receptors of limbs and trunk Skeletal muscle of back

MIXED MIXED

Gambar 3.6. Peta Dermatom (Sumber dari

(17)

Jika saraf tepi rusak, daerah hipestesia umumnya lebih besar

da-ripada daerah hipalgesia. Yang mungkin sulit adalah membedakan gangguan sensorik yang disebabkan oleh cedera radikular C8 dari gangguan sensorik yang disebabkan oleh kerusakan saraf ulnaris, dan

gangguan sensorik cedera radikular L5-S1 dengan gangguan

senso-rik yang disebabkan oleh kerusakan saraf peronealis, karena daerah yang terlibat hampir sama. Setiap saraf sensorik tepi memiliki daerah

yang pasti untuk inervasinya memungkinkan untuk mengidentifi kasi

kerusakan saraf melalui pemeriksaan yang cermat (Duus,1996).

Serabut saraf dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan diameter-nya, kecepatan hantarandiameter-nya, dan ciri-ciri fi siologisnya. Serabut A

ada-lah serabut yang besar dan bermielin dengan hantaran yang cepat dan menghantarkan berbagai impuls motorik atau sensorik. Serabut ini

paling peka terhadap gangguan akibat tekanan mekanik atau ke

ku-rangan oksigen. Serabut B lebih kecil daripada serabut A dan ber mielin, serabut ini menghantarkan dengan lambat dan berfungsi otonom. Serabut C adalah serabut yang paling kecil dan tidak bermielin, serabut ini menghantarkan impuls paling lambat dan menghantarkan rasa nyeri dan berfungsi otonom (Snell,2007).

Serabut yang berdiameter besar paling mudah dirangsang de ngan

rangsangan listrik. Saraf itu sendiri paling peka terhadap

perangsang-an dperangsang-an otot paling kurperangsang-ang peka, sedperangsang-angkperangsang-an sambungperangsang-an mioneural

Tabel 3.1. Klasifikasi serabut saraf (Sumber dari Snell,2007).

Tipe serabut Kec.hantar (m/dt)

Diameter (µm)

Fungsi Mielin

Serabut tipe A

Alfa 70-120 12-20 Motorik,otot rangka Ya

Beta 40-70 5-12 Sensoris, raba, tekan,

getar

Ya

Gamma 10-15 3-6 Muscle spindle Ya

Delta 6-30 2-5 Nyeri (tajam, lo kal),

suhu, raba

Ya

Serabut tipe B 3-15 <3 Otonom pra ganglion Ya

Serabut tipe C 0,5-2,0 0,4-1,2 Nyeri (difus, da lam), suhu, otonom post-ganglion

Tidak

mempunyai tingkat kepekaan di antara keduanya. Kecepatan hantar-an saraf yhantar-ang normal 50-60 m/d pada nervus ulnaris dan nervus me

dia-nus dan 45-55 m/d pada nervus peronealis komunis. Kecepatan

han-taran saraf dapat melambat secara mencolok akibat penurunan suhu, kompresi dan kondisi yang lain. Kecepatannya mungkin berkurang 2 m/d setiap penurunan suhu 1 derajat celcius. Kecepatan hantaran paling cepat terjadi pada serabut bermielin (sampai 50 kali lebih cepat daripada serabut yang tidak bermielin) (Groot,1997).

Susunan saraf tepi motorik

Susunan saraf tepi motorik dimulai dari motor neuron di kornu an-terior medula spinalis. Neuron-neuron yang menyalurkan impuls

mo-torik dari medula spinalis ke sel otot skeletal dinamakan lower motor neuron. LMN dengan aksonnya dinamakan fi nal common pathway im-puls motorik. LMN dibedakan menjadi alfa motorneuron (berukuran

besar dan menjulurkan aksonnya yang tebal ke serabut otot

ekstrafu-sal) dan gamma motorneuron (berukuran kecil, aksonnya halus dan

mensarafi otot intrafusal). Tiap motorneuron menjulurkan hanya satu akson yang ujungnya bercabang-cabang sehingga setiap akson dapat

berhubungan dengan sejumlah serabut otot. Penghambatan gerakan dilakukan oleh interneuron (sel Renshaw). Akson menghubungi sel

serabut otot melalui sinaps. Bagian otot yang bersinap itu dikenal

se-bagai motor end plate, yang merupakan penghubung antar neuron dan otot. Setiap serabut otot memiliki satu motor end plate. Ujung-ujung

terminal dari akson mengandung mitokondria dan

gelembung-ge-lembung sinaptik yang mengandung asetilkolin. Pelepasan asetilkolin

melalui membran presinaptik terjadi saat potensial aksi tiba di

mem-bran tersebut. Terlepasnya asetilkolin mengakibatkan depolarisasi pa da membran postsinaptik. Interaksi antara asetilkolin dengan reseptor nya menghasilkan perubahan pada konduktans di membran postsinap tik, yang mempermudah permeabilitas bagi ion natrium dan kalium.

Ion- ion mengalir melalui kanal yang dibuka oleh interaksi reseptor

asetil kolin mengakibatkan depolarisasi setempat pada motor end plate, se hing ga melepaskan potensial aksi yang membuat serabut

otot berkontrak si. Aksi asetilkolin pada membran postsinaptik ber-langsung sangat ce pat. Penghentian aksi dilakukan oleh enzim asetil-kolinesterase yang mem belah molekul menjadi 2 bagian kolin dan

(18)

14

Saraf Perifer Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi

15

Otot-otot individual dipersarafi oleh beberapa serat-serat

ra-diks spinalis ventral (persarafan plurisegmental). Akibatnya, jika satu radiks dipotong, tidak ada kehilangan fungsi yang nyata. Paralisis pola radikular hanya tampak bila beberapa radiks yang berdekatan

rusak. Setiap radiks motorik mempunyai otot indikatornya sendiri, se-hingga memungkinkan untuk mendiagnosis kerusakan radiks de-ngan elektromiogram, terutama jika daerah servikal atau lumbal

ter-libat (Duus,1996).

Radiks ventralis dan dorsalis bergabung di foramen

interverte-brale sehingga menjadi satu berkas saraf spinal dan dinamakan sesuai foramen intervertebrale yang dilewati. Di tingkat torakal dan lumbal atas, saraf spinal langsung berlanjut sebagai saraf tepi. Saraf tepi yang

berasal dari radiks C2-C4 membentuk PleksusServikalis dan saraf tepi

dari C5-T1 membentuk PleksusBrakhialis, terdiri dari 3 trunkus utama yaitu trunkus superior (C5,C6), medial (C7) dan inferior (C8,T1). Saraf

yang berasal dari T12-L4 membentuk PleksusLumbalis dan saraf yang

berasal dari L5-S3 membentuk Pleksus Sakralis. Pleksus Servikalis dan

PleksusBrakhialis terdapat pada pangkal ekstremitas atas, dan Pleksus Lumbalis serta PleksusSakralis terdapat pada pangkal ekstremitas bawah. Sehingga serabut saraf yang berasal dari berbagai segmen medula

spinalis disusun dan didistribusikan secara efi sien di dalam trunkus saraf, yang berbeda menuju berbagai bagian ekstremitas atas dan

ba-wah (Mardjono,2006).

Pleksus Brakhialis membentuk 3 berkas yaitu fasikulus lateralis,

posterior dan medialis sesuai dengan topografi nya terhadap a.aksilaris.

Fasikulus posterior merupakan induk n.radialis, fasikulus medialis menjadi pangkal n.ulnaris, sedangkan n.medianus disusun oleh serabut dari fasikulus lateralis dan medialis. Sindrom horner berkorelasi dengan cedera di PleksusBrakhialis karena sindrom horner dihasilkan oleh

ter-putusnya hubungan ortosimpatetik dari ganglion servikale superior yang terletak di daerah PleksusBrakhialis. Enam saraf tepi penting keluar dari Pleksus Brakhialis yaitu n.torakalis longus, n.aksilaris, n.radialis, n.muskulokutaneus, n.medianus dan n.ulnaris. Pada sindrom Pleksus Brakhialis akibat proses difus terdapat gejala motorik dan sensorik

ter-utama di area C5 dan C6. Sindrom kelumpuhan akibat cedera Pleksus Brakhialis yaitu sindrom kelumpuhan Erb-Duchene (bagian atas Pleksus Brakhialis) dan sindrom kelumpuhan Klumpke (bagian bawah Pleksus Brakhialis) (Mardjono,2006).

Penataan Pleksus Lumbosakralis lebih sederhana daripada Pleksus Brakhialis. Pleksus Lumbosakralis terdiri dari PleksusLumbalis dan Pleksus

Sakralis. Pleksus Lumbalis disusun oleh cabang anterior saraf spinal L1,2,3 dan sebagian L4. Saraf tepi yang berinduk pada PleksusLumbalis

adalah n. kutaneus femoralis lateralis, n.femoralis, n.genitofemoralis dan n.obturatorius. Pleksus Sakralis disusun oleh cabang anterior saraf

spinal L4-S3. Saraf tepi kutan yang berasal dari PleksusSakralis adalah n.gluteus superior dan inferior, n.kutaneus femoralis posterior dan n.iskiadikus. Saraf tepi kutan yang mengurus kulit daerah inguinal ialah n.ilioinguinalis, sedangkan daerah kulit tungkai atas lainnya

disarafi n.kutaneus femoralis lateralis dan n.kutaneus femoralis

ante-rior. Persarafan kutan tungkai bawah, bagian medial diurus cabang

PleksusLumbalis dan bagian lateral posterior diurus oleh cabang Plek-susSakralis. Seluruh kulit kaki, kecuali yang menutupi maleolus me

dia-lis, diurus cabang PleksusSakralis. N.iskiadikus merupakan kelanjutan

Pleksus Sakralis, pada fosa poplitea n.iskiadikus bercabang dua yaitu n.tibialis dan n.peroneus komunis. Cabang kutan n.tibialis adalah n.kutaneus surae medialis, n.plantaris dan n.plantaris medialis. Cabang kutan n.peroneus komunis ialah n.kutaneus surae lateralis, n.peroneus

profundus dan superfi sialis, n.kutaneus dorsalis pedis intermedius dan n.kutaneus dorsalis pedis medialis (Net er,2002).

Gambar 3.7. Pleksus Brakhialis (Sumber dari http://www.medicalook.com/human_anatomy/

organs/Brachial_nerve_plexus.html).

(19)

Reaksi neuron terhadap cedera saraf tepi

Degenerasi akson merupakan perubahan yang terjadi pada sebuah sel saraf jika aksonnya terpotong atau mengalami cedera. Perubahan mulai

timbul dalam 24-48 jam setelah cedera, besarnya perubahan tergantung

pada beratnya cedera terhadap akson dan akan lebih besar jika cedera terjadi di dekat badan sel. Sel saraf membengkak dan menjadi bulat,

nukleus membengkak dan terletak eksentrik serta granula Nissl

ter-sebar ke arah pinggir sitoplasma. Ketahanan sitoplasma suatu neuron terhadap cedera bergantung pada adanya hubungan dengan nukleus meski secara tidak langsung. Nukleus berperan penting pada sintesis

protein yang akan dibawa ke dalam proses sel dan menggantikan

pro-tein yang telah dimetabolisme oleh aktivitas sel. Akibatnya sitoplasma ak son dan dendrit akan ssegera megalami degenerasi jika prosesus ini terpisah dari badan sel saraf. Neuron yang hancur dikeluarkan oleh aktivitas fagosit yaitu oleh sistem retikuloendotelial pada susunan saraf tepi. Pada susunan saraf tepi, terpotongnya sebuah akson diikuti oleh usaha untuk regenerasi dan perubahan reparatif badan sel. Jika akson sel saraf terputus, akan terjadi perubahan degeneratif pada segmen

dis tal dari tempat cedera, termasuk ujungujungnya yang disebut de

-generasi Wallerian. Pada susunan saraf tepi, akson membengkak dan

ber bentuk ireguler pada hari pertama, dan akson terpecah menjadi frag-men-fragmen pada hati ketiga atau keempat serta debris dicerna oleh sel

Schwann dan makrofag jaringan yang ada di sekitarnya. Seluruh akson akan hancur dalam waktu seminggu. Sementara itu selubung mielin

akan terurai menjadi butir-butir lemak yang akan difagosit oleh

ma-krofag jaringan (Snell,2006).

Pertumbuhan kembali akson (motorik, sensorik dan otonom)

mung-kin terjadi pada susunan saraf tepi, bergantung pada adanya ta bung endoneurial serta kemampuan khusus yang dimiliki oleh sel Schwann. Sel Schwann yang telah mengalami mitosis akan mengisi ruang di dalam membrana basalis tabung endoneurial potongan proksimal sampai ke nodus Ranvier berikutnya, potongan distal, hingga mencapai ujung akhir organ. Bila terdapat celah kecil antara potongan proksimal dan

distal, sel Schwann yang telah memperbanyak diri membentuk

se-jumlah pita untuk menjembatani celah tersebut. Dibutuhkan beberapa

Gambar 3.8. PleksusLumbosakralis (Sumber dari http://www.seifmedgraphics.com/seifstore/

index.php?main_page=product_info&cPath=7&products_id=58).

Lumbosacral spine

Femoral nerve

Sympathetic chain Lateral femoral

cutaneous nerve

Common peroneal nerve

Genitofemoral nerve Tibial

nerve Sciatic

nerve

Nerve roots

Femoral nerve

Pudendal nerve Sacrum

Selatic nerve

LUMBOSACRAL PLEXUS

ANTERIOR VIEW

Gambar 3.9. Reaksi neuron terhadap cedera saraf (Sumber dari http://www.medscape.com/

(20)

18

Saraf Perifer Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi

19

bulan agar akson mencapai organ akhir yang sesuai, tergantung pada

tempat cedera. Kecepatan pertumbuhan diperkirakan sekitar 2-4 mm per

hari. Filamen akson yang membesar dalam tabung endoneurial hanya mencapai sekitar 80% dari diameter awalnya. Akibatnya kecepatan konduksi saraf tidak sebesar kecepatan konduksi semula (Sukardi,1985).

III.2 FISIOLOGI SARAF TEPI

Transmisi Sinaptik

Neuron menghasilkan dan menghantarkan potensial aksi ke neu ron lain melalui sinaps. Bentuk yang paling umum adalah sinaps yang terjadi antara akson sebuah neuron dengan dendrit atau badan sel neuron kedua. Ketika akson mendekati sinaps, maka dapat terjadi pe lebaran terminal (bouton terminal) atau perluasan serial yang mem bentuk

hubungan sinaps. Transmisi impuls pada sebagian besar sinaps

me-libatkan pelepasan dari neurotransmiter (Groot,1997).

Pada keadaan istirahat dan tidak dirangsang, sebuah serabut

sa raf berada terpolarisasi dengan perbedaan potensial sekitar -80 Mv

de ngan bagian dalam lebih negatif daripada bagian luar. Potensial membran istirahat ini disebabkan oleh difusi ion natrium dan kalium

melalui kanal pada membran plasma dan dipertahankan oleh pom-pa Natrium-Kalium (Na-K) dengan melibatkan transpor aktif yang

membutuhkan Adenosine Tri Phospate (ATP) (Snell,2006).

Sebuah potensial aksi dimulai oleh sebuah stimulus yang adekuat pada permukaan neuron pada segmen inisial akson yang merupakan bagian akson yang paling peka. Stimulus mengubah permeabilitas membran terhadap ion Na sehingga ion Na masuk ke akson dengan

cepat. Ion-ion positif diluar aksolema berkurang dengan cepat hingga mencapai nol disebut dengan depolarisasi. Potensial istirahat -80 mV

dengan bagian luar membran lebih positif daripada bagian dalam,

potensial aksi sekitar +40 mV dengan bagian luar membran lebih negatif daripada bagian dalam. Potensial aksi saat ini bergerak sepanjang se-rabut saraf, ion Na yang masuk kedalam akson berkurang dan

permea-bilitas aksolema terhadap ion K meningkat. Sekarang ion K berdifusi

keluar akson dengan cepat sehingga potensial membran istirahat

kem-bali seperti semula ion Na keluar akson dan ion K kedalam akson. Per mukaan luar aksolema kembali lebih positif daripada permuka an

dalamnya (Hacket ,1992).

Kecepatan konduksi serabut saraf sebanding dengan daerah pe-nampang melintang akson, serabut saraf yang lebih tebal meng

hantar-kan saraf lebih cepat daripada yang berdiameter lebih kecil. Serabut

motorik besar (serabut alfa) dapat mencapai kecepatan 70-120 meter

per detik. Pada serabut saraf yang bermielin, selubung mielin berfungsi

sebagai insulator. Akibatnya serabut saraf bermielin hanya dapat

di-stimulasi pada nodus ranvier tempat akson terbuka dan po tensial aksi melompat dari satu nodus ke nodus berikutnya (saltatory conduction). Mekanisme ini lebih cepat daripada mekanisme kon duksi pada saraf yang tidak bermielin (Ganong,2003).

Neurotransmiter yang digunakan untuk melanjutkan impuls ke otot skletal adalah asetilkolin. Asetilkolin dibentuk dalam mitokondria

dari persenyawaan kolin dan asetil-koA, dengan bantuan asetil kolin transferase. Asetil kolin disimpan dalam vesikel sinaptik pada

ujung-ujung saraf. Bila suatu impuls sampai pada membran presinaptik maka permeabilitas dari membran tersebut akan bertambah untuk Ca++. In-fl uks dari Ca++ inimenyebabkan terlepasnya asetilkolin di dalam celah sinap tik. Dalam waktu singkat asetilkolin itu dapat sampai pada

mem-bran postsinaptik dan diterima oleh reseptor tertentu. Tertangkapnya asetilkolin oleh membran postsinap itu menyebabkan permeabilitas dari membran itu bertambah untuk ion Na dan K. Meningkatnya ion Na di dalam otot akan menimbulkan depolarisasi yang kemudian meluas keseluruh otot dan terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin kemudian diuraikan oleh asetilkolinesterase menjadi kolin dan asetat, sehingga membran post sinaptik itu menjadi sensitif kembali terhadap rangsang

yang berikutnya. Selain neurotransmiter utama, dari membran pra-sinaps ke celah pra-sinaps juga dikeluarkan zat-zat yang mampu me-modulasi dan memodifi kasi aktivitas neuron postsinaps dan disebut

neuromo dulator, seperti: asetilkolin (muskarinik), serotonin, histamin, neuropeptida, dan adenosin. Fungsi neuromodulator ini menguatkan, memperpanjang, menghambat atau membatasi efek neurotransmiter utama di membran postsinaps (Ngoerah,1991; Ganong,2003).

Inhibisi presinaptik dan postsinaptik biasanya disebabkan oleh adanya perangsangan pada sistem tertentu yang bersinap konvergen

pada suatu neuron post sinaptik (inhibisi aferen). Neuron-neuron ju-ga dapat menghambat dirinya sendiri dalam bentuk umpan balik

ne-gatif (inhibisi umpan balik nene-gatif). Setiap neuron motorik spinal

biasanya memberikan satu cabang kolateral yang bersinap dengan

(21)

Renshaw dan disimpan dalam vesikel sinaptik pada ujung-ujung akson

sel itu. Bila ada impuls yang sampai pada ujung akson, maka GABA dilepas dicelah sinap dan menyebrang ke membran postsinap. GABA menambah permeabilitas dari membran postsinaptik, tapi hanya bagi ion kalium dan tidak bagi ion natrium. Kadar kalium dalam sel otot

akan menurun sehingga potensial membran dari otot itu akan

me-ningkat (hiperpolarisasi). Impuls yang berasal dari neuron motorik meng giatkan interneuron inhibisi untuk melepaskan mediator inhibisi, yang memperlambat atau menghentikan pelepasan impuls dari neu ron

motorik. Inhibisi presinaptik yang disebabkan oleh adanya jalur

de-senden yang berakhir di jalur aferen kornu dorsalis mungkin ber peran dalam pengaturan gerbang pada transmisi nyeri (Ganong,2003).

Setiap serabut saraf bermielin alfa besar yang masuk ke otot

rang ka bercabang-cabang dan selanjutnya berakhir pada sambungan

neuromuskular atau motor end plate. Impuls saraf (potensial aksi) mencapai membran prasinaps motor end plate, membuka kanal-kanal voltage gate calcium (Ca) yang memungkinkan ion Ca masuk kedalam

akson. Keadaan ini menstimulasi penggabungan beberapa vesikel

si-nap tik yang menyebabkan pelepasan asetilkolin ke celah sisi-nap. Ji ka

saraf tepi campuran terganggu, hanya otot yang dipersarafi oleh sa-raf ini yang mengalami paralisis, dan paralisis akan berhubungan

de-ngan gangguan sensorik yang disebabkan oleh interupsi serat aferen.

Paralisisnya bersifat fl aksid. Otot tidak hanya paralisis, tapi juga hipo-tonik dan arefl eks, karena interupsi dari refl eks regangan mono sinap-tik. Atrofi dari otot yang paralisis dimulai setelah beberapa minggu,

menggambarkan bahwa sel kornu anterior mempunyai pengaruh pada serat otot, yang merupakan dasar dalam mempertahankan fungsi otot

normal. Dengan menggunakan Electromyography (EMG) untuk me-nilai kerusakan, memungkinkan untuk menentukan apakah kornu

an-te rior, radiks anan-terior, pleksus atau saraf tepi yang terlibat (Snell, 2006).

Lengkung Refleks

Refleks Monosinaptik (Refleks Regang)

Refl eks adalah suatu respons involunter terhadap suatu stimu-lus. Refl eks bergantung pada keutuhan lengkung refl eks. Dalam bentuk yang paling sederhana, sebuah lengkung refl eks terdiri dari struktur anatomi: organ reseptor, neuron aferen, neuron efektor dan organ efek-tor. Lengkung refl eks seperti ini hanya memiliki satu sinaps di sebut lengkung refl eks monosinaptik. Bila suatu otot rangka dengan

per-sarafan yang utuh diregangkan maka akan timbul kontraksi yang di-sebut refl eks regang. Rangsangannya adalah regangan pada otot dan

responsnya berupa kontraksi otot yang diregangkan. Reseptornya ada lah kumparan otot (muscle spindle). Impuls yang timbul akibat peregang an dihantarkan ke SSP melalui serat saraf sensorik cepat yang langsung bersinap dengan neuron motorik otot yang teregang (Ganong, 2003).

Beberapa persarafan segmental menimbulkan refl eks otot seder-hana yaitu: refl eks tendon biceps brakhii C5-6 (fl eksi sendi siku), refl eks tendon triceps C7-8 (ekstensi sendi siku), refl eks abdominalis super-fi sial atas (T6-7), tengah (T8-9), bawah (T10-12), refl eks tendon patella (KPR) L2,3,4 (ekstensi sendi lutut), refl eks tendon achilles (APR) S1-2 (plantar fl eksi) (Duus,1996).

Serat otot ekstrafusal berada dalam panjang yang tetap selama istirahat. Bila otot teregang, demikian juga gelendong otot, maka ujung

saraf anulospiral segera bereaksi terhadap peregangan dengan

me-ngirimkan potensial aksi ke motoneuron besar dalam medulla spinalis melalui serat aferen Ia konduksi cepat dan serat eferen tebal alfa1 yang konduksinya juga cepat ke otot ekstrafusal. Begitu otot berkontraksi,

maka panjang asalnya akan kembali. Setiap regangan otot akan sege-ra mencetuskan mekanisme ini. Dengan dikirimnya impuls ke

moto-Gambar 3.10. Refleks Monosinaptik (Sumber dari http://psychology.wikia.com/wiki/Reflex_arc).

Sensory (aff erent) neuron patella (knee cap)

motor (eff erent)

neuron ventral root

Spinal Nerve

dorsal root

cerebro-spinal ruid

muscle

spinal cord

ligament

relay neuron

(22)

22

Saraf Perifer Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf Tepi

23

Afferent

fiber Efferent fiber

interneurons

Efferent fiber

Arm movements Extensor

inhibited Flexor inhibited Flexor

stimulated

Key:

+ Excitatory synapse Right arm Left arm (site of – Inhibitory synapse (site of stimulus) reciprocal activation)

Extensor stimulated

neuron kornu anterior, perangsangan ini segera menyebabkan kon-traksi singkat. Arkus refl eks melibatkan tidak lebih dari 1 atau 2

seg-men medulla spinalis, sehingga merupakan nilai diagnostik yang nyata dalam menentukan lokasi cedera (Duus, 1996).

Refleks Polisinaptik: Refleks Fleksor (Withdrawal Reflex)

Jalur refl eks polisinaps bercabang secara kompleks dan jumlah sinaps di tiap cabang bermacam-macam. Refl eks fl eksor merupakan refl eks polisinaps khas yang terjadi sebagai jawaban terhadap rangsang

nosiseptif dan biasanya nyeri di kulit, jaringan subkutan serta otot.

Respons yang timbul berupa kontraksi otot fl eksor dan inhibisi otot ekstensor, sehingga bagian yang terkena melakukan fl eksi dan tertarik

dari rangsang tersebut. Respons ekstensor menyilang (crossed extensor response) merupakan bagian dari refl eks fl eksor. Refl eks ekstensor silang

menunjukkan stimulasi aferen pada lengkung refl eks menyebabkan fl eksi pada ekstremitas ipsilateral dan ekstensi pada ekstremitas sisi

kontralateral (Ganong, 2003).

Berjalan di atas batu yang tajam dan runcing akan

menyebab-kan rasa sakit yang segera menimbulmenyebab-kan geramenyebab-kan terprogram. Kaki

yang tangkas diangkat (fl eksi) dan berat badan dipindahkan ke tung-kai lain. Perpindahan segera akan menyebabkan jatuh bila otot-otot tubuh, bahu, leher dan lengan tidak segera mengkompensasi

ke-tidak seimbangan dan memastikan posisi tegak dari tubuh. Peristiwa ini membutuhkan sirkuit yang agak rumit di medula spinalis yang berhubungan dengan daerah di pusat otak dan serebelum. Seluruh urutan ini terjadi dalam waktu 1 detik, dan tidak terjadi sampai terasa adanya nyeri. Bagian impuls dari otot, tendon, sendi dan jaringan yang lebih dalam, menuju serebelum melalui traktus spinoserebelaris (Duus,1996).

Suatu refl eks yang dibangkitkan pada satu sisi tubuh akan me-nyebabkan reaksi yang berlawanan pada ekstremitas sisi kontrala-teral. Refl eks ekstensor silang menunjukkan stimulasi aferen pada leng kung refl eks, menyebabkan fl eksi pada ekstremitas ipsilateral dan

ekstensi pada ekstremitas sisi kontralateral (Duus,1996).

���

Gambar 3.11. Refleks Polisinaptik (Sumber dari http://apbrwww5.apsu.edu/thompsonj/Anatomy

&Physiology/2010).

(23)

25

PATOFISIOLOGI CEDERA

SARAF TEPI

Nyoman Golden

Struktur Mikroskopis Saraf

Serabut-serabut saraf tepi diklasifi kasikan dalam hubungannya de ngan

kemampuan konduksinya, dimana umumnya diproporsikan dengan

ukuran dan fungsi. Grup A terdiri dari serabut-serabut yang berdia-meter di atas 20µm (dibagi menjadi α, β, γ, dan δ), grup B berdiaberdia-meter di atas 3µm, dan grup C di atas 2µm. serabut-serabut yang paling tebal menunjukkan kemampuan konduksi yang lebih cepat. Serabut-serabut bermyelin yang terbesar kemungkinan merupakan motorik atau pro-prioset if, dan yang terkecil baik yang bermyelin ataupun tidak me-rupakan autonomik atau sensori. Namun bagaimanapun, tidak mung-kin menentukan serabut-serabut individual hanya berdasarkan

tanda-tanda struktural saja (Osbourne, 2007).

Dalam saraf tepi, serabut disusun dalam berkas terpisah yang dikenal dengan fasikulus. Kurang dari setengah saraf dilapisi oleh

lapisan myelin. Serabut-serabut yang tak bermyelin berjalan sepanjang permukaan sel-sel Schwann. Tiap sel Schwann dikelilingi jaringan se-rabut-serabut kolagen retikular, yaitu endoneurium. Tiap fascikel

di-tutupi oleh epithelium, yaitu perineurium. Semua fascikel dikelilingi oleh epineurium (jaringan vascular longgar) yang menutupi saraf

individual. Secara umum arteri regional mensuplai saraf dengan per-cabangan longitudinal yang beranastomosis secara bebas dalam epi-nerium, sehingga saraf-saraf tersebut dapat ditempatkan secara luas

(24)

26

Saraf Perifer Patofisiologi Cedera Saraf Tepi

27

Patofisiologi

Respon saraf terhadap cedera tidak hanya pada tempat cedera, namun

juga meliputi tubuh sel yang terdapat pada medula spinalis dan

gang-lion. Di mana yang paling berperan adalah sel Schwann, makrofag

dan sel-sel infl amasi (Burnet dan Zager, 2004).

Dasar Tipe Cedera

Cedera yang berhubungan dengan peregangan merupakan tipe cedera

yang umum terjadi. Saraf tepi secara herediter elastis karena endoneu-rium kolagennya, namun saat tarikan memaksa secara berlebihan

ka-pasitas saraf untuk meregang, maka akan terjadi cedera. Jika paksaan tersebut besar, akan terjadi hilangnya kontinuitas secara komplet pada robekan terbuka Pleksus Brakhialis. Cedera pada tipe ini dapat dilihat pada isolasi (sebagai contoh pada Erb palsy dan cedera PleksusBrakhialis

saat lahir) atau dalam hubungannya dengan fraktur ekstremitas pada tempat di mana saraf dan tulang sangat berdekatan (sebagai contoh,

cedera saraf radial setelah fraktur humeral) (Burnet dan Zager, 2004).

Laserasi seperti yang disebabkan oleh goresan pisau merupakan tipe cedera saraf tepi yang sering lainnya, meliputi 30% cedera serius. Di mana cedera ini dapat dilakukan transeksi komplet, sehingga lebih sering beberapa elemen saraf masih ada yang mamiliki kontinuitas. Kompresi merupakan tipe tersering ketiga dari cedera saraf tepi. Cedera

Gambar 4.1. Struktur mikroskopis saraf grup A, B, dan C (Sumber dari Osbourne, 2007).

Blood supply Epineurium Perineurium

Perineurium

Endoneurium

Schwann cell

Schwann cell Myelin Axon

Axon

ini meliputi ‘Saturday Night palsy’ yang disebabkan oleh kompresi saraf radialis dan juga entrapment neuropathi dan tidak meliputi pemotongan atau robekan elemen saraf. Kehilangan total fungsi motorik dan sensorik

dapat terjadi, namun patofi siologi terjadinya hal ini masih belum

jelas karena kontinuitas saraf masih terjaga. Dua mekanisme patologi dipercaya berperan pada cedera ini: kompresi mekanik dan iskemia. Setidaknya kompresi dalam waktu yang singkat, iskemia dan tidak

hanya penekanan saja yang menyebabkan blokade konduksi fi siologikal

secara resultan. Secara nyata iskemia jangka pendek dapat meningkatkan

blokade yang tidak dapat ditentukan, namun serabut-serabut besar bermyelin terlihat lebih rentan terhadap efek iskemik daripada

serabut-serabut kecil tak bermyelin. Terjadi sedikit atau tidak terjadi perubahan histologikal pada cedera ini, dan efeknya reversibel kecuali jika iskemia

menetap selama lebih dari kira-kira 8 jam (Burnet dan Zager, 2004). Deformasi mekanik merupakan mekanisme primer pada

kasus-kasus yang lebih berat pada cedera kompresi seperti Saturday Night palsy yang mana fungsinya dapat hilang selama beberapa minggu

dan penyembuhan secara penuh tidak selalu terjadi. Eksperimen

de-ngan pneumatic cuff untuk membuat cedera kompresi jangka pendek memperlihatkan bahwa saraf menglami perubahan degeneratif pada pinggir area kompresi dan tidak di bawah pusat cuff di mana iskemia

lebih berat. Pemeriksaan ultrastruktural dari saraf memperlihatkan

bah-wa aksoplasma dan myelin di babah-wah cuff terdorong menjauhi tempat kompresi yang terbesar dan menuju pinggir cuff , deformasi mekanik

bertanggung jawab terhadap cedera ini (Burnet dan Zager, 2004).

Klasifikasi Cedera Saraf

Cedera saraf tepi dapat diklasifi kasikan dengan menggunakan klasi fi kasi Seddon. Seddon membagi cedera saraf berdasar tingkat keparah -an nya menjadi tiga kategori: neurapraksia, aksonotmesis, d-an

neurot-mesis.

Neuropraksia

Neurapraksia, yaitu tipe cedera paling ringan. Dimana terjadi sedikit atau tidak terjadi cedera struktural karena tidak adanya kehilangan

kontinuitas saraf, sehingga tidak terjadi kehilangan kemampuan fung-sional. Gejala-gejalanya bersifat sementara dan sebagian besar di sebab-kan oleh blokade konduksi lokal yang diinduksi oleh ion pada

(25)

sebagai akibat dari kombinasi kompresi mekanik dan iskemia. Tidak

ada pemotongan atau robekan pada elemen-elemen neural dan terdapat

sedikit atau tidak ada terlihat perubahan histologikal. Efeknya bersifat reversibel, kecuali jika iskemia menetap selama kurang lebih 8 jam. Sebagai contoh dari tipe cedera ini meliputi entrapment neuropathi, seperti

carpal tunnel syndrome, dan Saturday night palsy, yaitu paralisis saraf radial yang disebabkan oleh penekanan pada lengan setelah seseorang terjatuh pada posisi tidur. Terjadi penyembuhan yang sempurna dari neuropraksia yang secara normal dalam beberapa minggu atau bulan

(Robinson, 2005; Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004).

Aksonotmesis

Adalah istilah yang digunakan saat terjadi intrupsi komplet dari saraf

akson dan lapisan myelinnya, namun struktur-struktur mesenkimal

seperti perineurium dan epineurium seluruhnya atau sebagian utuh. Ti pe cedera ini kemungkinan terlihat pada isolasi, seperti pada cedera

Pleks usBrakhialis dihubungkan dengan kelahiran, atau dalam

hubung-an nya denghubung-an fraktur seperti cedera saraf radial sekunderi terhadap fraktur humerus. Laserasi seperti yang disebabkan oleh pecahan kaca, juga merupakan tipe cedera yang sering menyebabkan aksonotmesis.

Prognosis dari aksonotmesis tergantung dari luasnya cedera.

De generasi akson dan myelin terjadi di bagian distal dari cedera,

me-nye babkan tidak terjadinya inervasi secara komplet. Peme-nyembuhan un tuk kedepannya sangatlah bagus pada cedera tersebut karena sisa mesenkimal yang tidak mengalami cedera menyediakan bagian untuk tunas akson selanjutnya untuk menginervasi kembali organ targetnya

(Robinson, 2005; Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004).

Neurotmesis

Terjadi saat saraf, bersama dengan stroma yang mengelilinginya

ter-putus. Kehilangan fungsi terjadi secara komplet. Pada tipe ini tidak terjadi kesembuhan spontan dan bahkan setelah operasi prognosisnya buruk karena pembentukan jaringan parut dan hilangnya mesenkimal dan penyembuhan tanpa operasi biasanya tidak terjadi. Tipe cedera ini hanya terlihat pada trauma mayor.

Sistem klasifi kasi Sunderland menyesuaikan tiga tipe cedera oleh Seddon dengan lima kategori berdasarkan tingkat keparahannya. Ce-dera tingkat pertama sama dengan neurapraksia Seddon dan ce

de-ra tingkat kedua sama dengan aksonotmesis. Cedede-ra sade-raf tingkat

ke tiga tejadi saat terjadi disrupsi akson (aksonotmesis) dan juga ce-dera parsial pada endoneurium. Kategori ini menempati tingkat

ke-tiga antara aksonotmesis dan neurotmesis Seddon. Tergantung dari

Gambar 4.2. Neuropraksia(Sumber dari www.fotosearch.com). Gambar 4.3. Aksonotmesis (Sumber dari www.fotosearch.com).

Gambar 4.4. Neurotmesis(Sumber dari www.fotosearch.com).

Endoneurium

(26)

30

Saraf Perifer Patofisiologi Cedera Saraf Tepi

31

luasnya cedera endoneurial, penyembuhan fungsi kemingkinan terjadi. Sunderland membagi neurotmesis Seddon menjadi cedera tingkat keempat dan kelima. Pada cedera tingkat keempat, seluruh bagian dari saraf mengalami disrupsi kecuali epineurium. Penyembuhannya tidak mungkin tanpa operasi. Cedera tingkat kelima meliputi semua bagian

saraf secara lengkap (Robinson, 2005; Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004).

Respon Jaringan Saraf Terhadap Cedera

Sebelum regenerasi serabut-serabut saraf terjadi, beberapa proses

de-generasi harus terjadi, di antaranya direct prelude menuju regenerasi. Keberhasilan dari regenarasi sangat tergantung pada beratnya cedera awal dan perubahan degenerasi yang terjadi selanjutnya. Perubahan patologikal yang terjadi ringan atau tidak ada pada cedera tingkat pertama dimana mekanismenya yaitu hanya blokade konduksi, dan tidak ada degenerasi atau regenerasi yang nyata. Pada cedera tingkat kedua (aksonotmesis) terjadi sedikit perbahan histologikal pada atau bagian proksimal tempat cedera. Pada bagian distal dari tempat cedera terjadi proses yang dimediai kalsium yang dikenal dengan degerasi Wallerian (atau anterograd) (Osbourne, 2007)

Pada degenerasi Wallerian, perubahan histologikal meliputi frag-mentasi fi sikal dari akson dan myelin, di mana proses ini terjadi dalam beberapa jam setelah cedera. Secara ultrastruktur, neurotubulus dan

neurofi lamen akan menjadi kacau dan bentuk akson menjadi tidak

rata, dimana ini disebabkan oleh pembengkakan varicose. Dalam 48

sampai 96 jam setelah cedera, kontinuitas akson menghilan dan

kon-duksi dari rangsangan tidak dimungkinkan terjadi dalam waktu lama. Disintegrasi myelin sedikit terlambat di bawah akson namun masih baik pada 36 sampai 48 jam.Sel-sel Schwann mempunyai peranan da-lam degenerasi Wallerian. Secara dini sel ini akan aktif dada-lam 24 jam setelah cedera, menunjukkan pembesaran nuclear dan sitoplasma

dan juga peningkatan mitosis. Se-sel ini membelah secara cepat untuk mem bentuk sel anak dediferensiasi yang meng-up-regulasi ekspresi

gen untuk memperbanyak molekul agar dapat membantu degenerasi

dan proses perbaikan. Peran awal sel Schwann adalah membantu

me-min dahkan akson yang mengalami degenerasi dan debris myelin dan ke mudian membawanya ke makrofag. Makrofag bermigrasi menuju bagian yang mengalami trauma, terutama melalui jalur hematopoietik,

melintas melalui dinding kapiler-kepiler, dimana menjadi permeabel pada zona cedera. Sel-sel Schwann dan makrofag bekerja bersama-sama

untuk memfagosit dan membersihkan tempat cedera dalam proses yang membutuhkan waktu 1 minggu sampai beberpa bulan (Osbourne, 2007;

Burnet dan Zager, 2004).

Sel-sel mast endoneural juga sangat berperan penting dalam pro-ses ini, berproliferasi secara nyata dalam 2 minggu pertama setelah ce-dera. Sel ini melepaskan histamine dan serotonin, dimana mening

kat-kan permeabilitas kapiler dan memfasilitasi migrasi makrofag. Selama

stadium awal, tubulus endoneurial membengkak sebagai respons

ter-hadap trauma, namun setelah 2 minggu pertama diameternya akan me ngecil. Dalam 5 sampai 8 minggu, proses degeratif biasanya sudah

leng kap, dan sisa serabut saraf terdiri dari sel-sel Schwann dalam

la-pisan endoneurial.Pada cedera tingkat ketiga, terjadi reaksi lokal yang

diinduksi trauma yang lebih bermakna. Cedera intravascikular me li-puti retraksi dari ujung-ujung serabut saraf karena endoneurium yang

elas tis. Trauma vaskular local akan menyebabkan pendarahan dan

edema, yang akan menyebabkan respons peradangan yang berat. Pro-li ferasi fi broblas, dan dense fi brous scar menyebabkan pembengkakan

fusiform dari segmen yang cedera. Jaringan parut interfascikular juga

terjadi (Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004).

(27)

1. Segmen distal

Bagian distal dari segmen yang cedera, degenerasi Wallerian sa-ngat mirip dengan yang terjadi pada cedera tingkat kedua. Satu

per-bedaan penting adalah dimana cedera intrafascikular mengganggu regenerasiaksonal dan oleh karena itu tubulus endoneurial tetap tidak

mendapatkan inervasi dalam periode yang lama. Saat tidak men

da-pat kan inervasi, tubulus endoneural mulai mengkerut dalam proses

yang mencapai maksimum kira-kira 3 sampai 4 bulan setelah cedera. Lapisan endoneurial secara progresif menebal secara sekunder tar-hadap penumpukan kolagen sepanjang permukaan terluar dari

mem-brane basal sel Schwann. Jika tubulus endoneurial tidak mendapatkan

regenerasi akson, fi brosis progresif menyebabkan terjadinya obliterasi

pada tubulus.Susunan proses-proses sel Schwann menunjukkan me-ngempisnya tubulus endoneurial yang terlihat secara mikroskopis pada

progresi degenerasi Wallerian pada cedera yang lebih bermakna.

Kolum-kolum sel Schwann yang dikenal dengan band of Bungner dan menjadi pedoman penting untuk tunas akson selama inervasi kembali. Band

menyediakan ilustrasi awal peranan kedua dari sel-sel Schwann setelah

cedera saraf, yaitu yang berperan neurosuportif untuk pertumbuhan

kembali akson (Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004).

Pada cedera tingkat keempat dan kelima adalah reaksi lokal

terhadap trauma berat. Tubulus endoneurial, dan juga fascikuli meng-alami disrupsi. Epineurium juga mengmeng-alami cedera dan fi broblas

epi-neurial reaktif juga terdapat pada ujung potongan saraf dalam 24 jam.

Ini diikuti oleh proliferasi sel-sel Schwann dan fi broblas perineurial dan epineurial. Puncak proliferasi selular dalam 1 minggu dan berlanjut

se-lama periode yang panjang. Seperti cedera ringan, permeabilitas kapiler mengalami peningkatan, kemungkinan sebagai akibat dari degranulasi

sel mast, dan edema serta infi ltrasi makrofag yang mengikuti. Besarnya

respons ini berhubungan dengan beratnya trauma saraf dan jaringan

sekelilingnya (Burnet dan Zager, 2004).

Pada cedera tingkat keempat dan kelima, ujung-ujung saraf menjadi masa yang membengkak dari selsel Schwann, kapilerkapiler, fi -broblas, makrofag, dan serabut kolagen yang tidak terorganisir.

Re-generasi akson mencapai ujung proksimal yang membengkak dan membuat barier yang hebat untuk pertumbuhan selanjutnya. Beberapa akson membentuk lingkaran dalan jaringan parut atau membelok ke belakang sepanjang segmen proksimal atau keluar menuju jaringan sekitar. Beberapa akson yang mengalami regenerasi dapat mencapai ujung distal, hasilnya tergantung dari banyak faktor, meliputi beratnya

cedera asli, perluasan pembentukan jaringan parut, dan perlambatan sebelum akson mencapai tempat cedera. Seperti pada cedera tingkat ketiga, tubulus endoneural tidak ditempati selama periode yang panjang

yang akan berlanjut menjadi berkerut dan fi brosis secara progresif, dan akan secara komplet mengalami obliterasi oleh adanya serabut-serabut kolagen (Osbourne, 2007; Burnet dan Zager, 2004).

2. Segmen proksimal dan tubuh sel

Perubahan tubuh sel neuronal dan dalam serabut-serabut saraf

proksimal terhadap tempat cedera tergantung pada beratnya cedera dan

dekatnya segmen cedera dengan tubuh sel. Sel-sel Schwann mengalami degradasi sepanjang segmen proksimal dekat area cedera, dan

akson-akson serta myelin diameternya mengecil. Degradasi proksimal ini da pat minimal (terentang dari tempat cedera sampai kembali ke nodus Ranvier berikutnya) atau dapat meluas ke semua jalur dan kembali

ke tubuh sel. Jika tubuh sel secara aktual mengalami degenerasi,

di-mana dapat ter jadi pada trauma yang beat, segmen proksimal akan mengalami dege ne rasi Wallerian dan akan difagosit.Setelah terjadi ce-dera bermakna, seg men proksimal akson di

Gambar

Gambar 3.1. Struktur neuron (Sumber dari http://www.brianjogrady.com/braincongeni tal
Gambar 3.4.  Serabut saraf bermielin yang memperlihatkan nodus Ranvier (Sumber dari http://www.mcatzone.com/glosslet.php?letter=n&pagenum=2).
Gambar 3.5. Segmen radiks spinalis (Sumber dari http://www.med.umich.edu/lrc/coursepages/m1/anatomy2010/html/modules/spinal_cord_module/spinalcord_12.html).
Tabel 3.1.    Klasifikasi serabut saraf (Sumber dari Snell,2007).
+7

Referensi

Dokumen terkait

mobilisasi saraf pada kasus ischialgia akibat hernia nucleus pulposus.

I nfek si pada susunan saraf pusat t erj adi pada 50% dari infeksi candidiasis sist em ik, dan m encapai 80% pada kasus candida endocardit is dengan dist ribusi y ang sam a

Persentase ini juga mendukung tingginya prevalensi apendisitis akut dengan inflamasi tunggal pada anak-anak, karena serabut saraf ektopik yang lebih sering ditemukan pada

Sendi yang sering mengalami cedera ringan pada atlet beladiri yaitu engkel, lutut, panggul, pergelangan tangan, siku, dan bahu3. Seperti yang diuraikan

Pada laki-laki penurunan masa tulang lebih disebabkan karena penurunan pembentukan tulang daripada resorpsi, terjadi penipisan trabekula tetapi perforasi trabekula tidak berat dan

FISIOTERAPI PADA KASUS FRACTURE CAPUT HUMERI DISERTAI DISLOKASI BAHU DEXTRA DENGAN MODALITAS INFRA RED DAN TERAPI LATIHAN’’ Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini

“ Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan sistem saraf pusat yang disebabkan karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf

Pendahuluan Benda asing hidung merupakan kasus yang sering dijumpai pada kunjungan di Instalasi Gawat Darurat IGD, sebagian besar kasus tidak hanya terjadi pada populasi anak-anak