• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Merek 1. Pengertian Merek

Secara yuridis, pengertian merek diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menyatakan bahwa:

“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan dipergunakan dalam kegiatan perdagangan atau jasa.”

Kemudian penjelasan merek berdasarkan undang-undang terbaru yaitu Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menyatakan bahwa:

“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”

(2)

20 2. Fungsi Merek

Merek memegang peranan penting dalam perdagangan. Fungsi merek dibagi menjadi 3, yaitu:22

1. Fungsi tanda untuk membedakan (distintive function)

Suatu merek memberikan identitas pada barang-barang atau jasa- jasa yang ditandai merek dan sekaligus juga membedakan barang-barang atau jasa-jasa tersebut dengan barang-barang atau jasa-jasa yang diproduksi dan diperdagangkan oleh produsen lain.

2. Fungsi jaminan mutu (quality product function)

Suatu merek dagang yang dibeli oleh konsumen, akan membentuk kesan dalam ingatan konsumen bahwa merek dagang tersebut merupakan lambang dari mutu barangbarangnya. Lambang dari mutu barng memberikan konsekuensi bahwa merek sebagai jaminan kepada para konsumen bahwa barang yang dibeli akan sama kualitas mutunya.

3. Fungsi daya tarik dan promosi (promotion and impression function) Merek berfungsi sebagai pemberi daya tarik pada barangbarang dan jasa-jasa, serta sebagai reklame atau iklan bagi barang-barang atau jasa- jasa yang ditandai dengan merek tersebut. Daya tarik suatu merek sangat penting untuk menarik perhatian pembeli, sehingga merek biasanya dibuat dengan warna-warna yang menarik dan mudah diingat konsumen. Selain

22 Tim Lindsey et.al.,Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2002, hlm. 140

(3)

21

itu, kemasan dari produk tersebut merupakan media promosi yang langsung dapat dilihat oleh konsumen sendiri.

3. Jenis Merek

Merek dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dibagi menjadi 2, yaitu merek dagang dan merek jasa. Pengaturan tersebut tercantum pada Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 3.

Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan merek dagang adalah:

Merek yang dipergunakan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan merek jasa adalah:

Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa lainnya.

Selain kedua merek tersebut, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menjelaskan pula mengenai merek kolektif, seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 sebagai berikut:

Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama atau badan hukum secara

(4)

22

bersamasama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.

4. Pendaftaran dan Pembatalan Merek a. Prosedur Pendaftaran Merek

Perlindungan hukum terhadap merek diberikan melalui proses pendaftaran. Pendaftaran memberikan hak eksklusif kepada perusahaan pemilik merek dengan terbitnya sertifikat hak atas merek guna mencegah pihak-pihak lain untuk menggunakan produk- produk yang mirip dengan merek yang dimiliki oleh perusahaan bersangkutan karena dapat menyesatkan konsumen.

Prosedur pendaftaran merek diatur dalam Pasal 7 Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menentukan bahwa:

(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan:

a. tanggal, bulan, tahun;

b. nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemohon;

c. nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonancdiajukan melalui kuasa;

d. warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna;

e. nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas.

(2) Permohonan ditandatangani pemohon atau kuasanya.

(5)

23

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum.

(4) Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya

(5) Dalam hal permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka.

(6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan.

(7) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak atas yang berhak atas merek tersebut.

(8) Kuasa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.

(9) Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden.

(6)

24

b. Prosedur dan Akibat Hukum Pembatalan Merek

Pembatalan pendaftaran merek terdaftar dapat dilakukan oleh pemilik merek dengan mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan atau merasa dirugikan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Pemilik merek tersebut juga dapat dilakukan oleh pemilik merek terkenal walaupun tidak terdaftar, hal itu berdasarkan Pasal 76 Ayat (2) UU Merek. Gugatan dapat diajukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak tanggalpendaftaran merek. Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan atau ketertiban umum.

Putusan Pengadilan Niaga yang memutuskan gugatan pembatalan hanya dapat diajukan Kasasi. Isi putusan badan peradilan itu segera disampaikan oleh panitera yang bersangkutan kepada Direktorat Jenderal setelah tanggal putusan diucapkan.

Direktorat Jenderal melaksanakan pembatalan pendaftaran merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek setelah putusan badan peradilan diterima dan mempunyai hukum tetap.

Pembatalan pendaftaran merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar

(7)

25

Umum Merek dengan memberi catatan tentang alasan dan tanggal pembatalan tersebut. Pembatalan pendaftaran itu diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasan pembatalan dan penegasan bahwa sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek, sertifikat merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pencoretan pendaftaran suatu merek dari Daftar Umum Merek diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Pembatalan dan pencoretan pendaftaran merek mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan.

Selain alasan pembatalan tersebut, terhadap merek kolektif terdaftar dapat pula dimohonkan pembatalannya kepada Pengadilan Niaga apabila penggunaan merek kolektif tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa pada ketentuan Pasal 5 dan 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan pembaharuan belaka dari ketentuan Pasal 5 Undang- undang Merek tahun 1961, bahkan ketentuan Pasal 5 Undang- undang Merek 1961 lebih jelas dan terperinci serta penerapannya telah pula “diukir” sedemikian rupa oleh yurisprudensi kita. Namun demikian dalam Pasal 6 Ayat (3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek tersebut terdapat elemen tambahan berupa : nama orang terkenal; foto; merek dan nama badan hukum merek

(8)

26

orang lain yang sudah terkenal; dan ciptaan orang lain yang dilindungi oleh hak cipta tanpa persetujuan dari yang berhak, permintaan pendaftaran merek akan ditolak. Jika ternyata sudah sempat diterima permohonannya maka itu akan menjadi alasan untuk pembatalannya.

B. Tinajuan Umum Tentang Merek Terkenal 1. Pengertian Merek Terkenal

Pengertian merek terkenal sampai saat ini belum memiliki definisi yang tetap, karena sampai saat ini masih menjadi perdebatan mengenai merek terkenal terkait definisi dan kriterianya. Suatu merek yang sudah menjadi merek terkenal memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik sehingga tercipta kemasyhuran dalam suatu merek tersebut.

Berdasarkan tingkat sentuhan kemasyhuran atau tingkat keterkenalan yang dimiliki berbagai merek dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:23 1. Merek Biasa

Merek biasa atau normal marks adalah merek yang tidak memiliki reputasi tinggi dan jangkauan pemasarannya sangat sempit. Merek normal tidak menjadi incaran pengusaha untuk ditiru karena dianggap kurang memberi pancaran simbolis baik dari segi pemakaian maupun teknologi.

2. Merek Terkenal

23 Anne Gunawati, Perlindungan Merek Terkenal Barang dan Jasa Tidak Sejenis Terhadap Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung: PT. Alumni, 2015, hlm. 140.

(9)

27

Merek terkenal atau well-known mark memiliki reputasi tinggi karena lambangnya memiliki kekuatan untuk menarik perhatian dan menjadi idaman serta pilihan utama bagi semua konsumen.

Lambangnya memiliki kekuatan yang menarik sehingga barang apapun yang berada dibawah merek itu memiliki ikatan mitos bagi segala lapisan konsumen.

3. Merek Termasyhur

Tingkat derajat merek yang tertinggi adalah merek termashur atau famous mark. Famous mark dan well-known mark pada umumnya susah dibedakan namun famous mark pemasarannya hampir seluruh dunia dengan reputasi internasional, produksinya hanya untuk golongan tertentu saja dengan harga yang sangat mahal.

Justifikasi perlindungan hak atas merek terkenal menurut Bently and Sherman yaitu:24

1. Perlindungan merek sebagai imbalan kreatifitas. Dengan demikian, hukum merek mendorong produksi akan produk-produk bermutu dan secara berlanjut menekan mereka yang berharap dapat menjual barang-barang bermutu rendah dengan cara memanfaatkan kelemahan konsumen untuk menilai mutu barang secara cepat.

2. Informasi ini merupakan justifikasi utama perlindungan merek terkenal, karena merek terkenal digunakan dalam meningkatkan

24 Bently and Sherman, Hak Merek Indonesia, http://haki2008.wordpress.com, diakses pada tanggal 30 Mei 2019, Pukul 13.30 WIB.

(10)

28

pasokan informasi kepada konsumen dan dengan demikian meningkatkan efisiensi pasar. Merek terkenal sebagai cara singkat komunikasi informasi pemilik merek terkenal dengan pembeli dilakukan dalam rangka membuat pilihan belanja. Dengan melindungi merek terkenal, lewat pencegahan pemalsuan oleh pihak lain, maka akan menekan biaya belanja. Belanja dan pilihan dapat dilakukan secara lebih singkat, karena seorang konsumen akan yakin merek yang dilihatnya memang berasal dari produsen yang diperkirakannya. Peran iklan dalam dunia industri yang semakin dominan menjadikan perlindungan merek terkenal menjadi semakin penting.

3. Teori Etis, dasar perlindungan hak atas merek terkenal yang landasannya adalah keadilan (justice). Secara khusus prinsipnya adalah seseorang tidak boleh menuai dari yang tidak ditanamnya.

Secara lebih khusus, bahwa dengan mengambil merek milik orang lain, seseorang telah menngambil keuntungan dari nama baik (goodwill) yang dihasilkan oleh pemilik merek yang asli. Kaitannya ke lingkup yang lebih luas dari kegiatan perdagangan adalah perlindungan dari persaingan curang dan pengayaan diri sendiri secara tidak adil.

(11)

29 2. Kriteria Merek Terkenal

a. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek sebagai berikut:

“ Merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.”

Menurut penjelasan tersebut merek untuk barang dan/atau jasa sejenis dapat dikatakan terkenal apabila:

1. Melihat pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan.

2. Reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran.

(12)

30

3. Investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa Negara.

b. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis

Dalam penjelasan pasal 21 huruf b Undang-undang Nomor 20 tahuun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Terkait dengan merek terkenal mempunyai persamaan dengan bagian Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi Merek tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek dimaksud di beberapa negara. Jika hal tersebut belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.

Menurut penjelasan tersebut merek untuk barang dan/atau jasa sejenis dapat dikatakan terkenal apabila:

(13)

31

1. Melihat pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan

2. Reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran

3. Investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa Negara

c. Berdasarkan Konvensi-Konvensi Internasional

Pengaturan mengenai pengertian dan kriteria merek terkenal menurut konvensi konvensi didunia Internasional:

a) Konvensi Paris (diratifikasi melalui KEPPRES No. 15 Tahun1997 Tentang Perubahan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979 Tentang Pengesahan Paris Convention For The Protection of Industrial Property dan Convention Establishing In The World Intellectual Property). Pasal 6bis Konvensi Paris berbunyi:

(1) The countries of the union undertake, ex officio if their legislation so permit or the request on an interset party, to refuse or to cancel the registration and to prohibit the use of trademark which constitutes a reproduction, an imitation or a translation, laible to create confunsion, of a mark considered by the competent authority of the country registration or to use well-known in that country

(14)

32

as being already the marks of person entiled to benefit of this convention and used for identical or similiar goods.

These provisionshall also apply when the essential part of the marks constitutes a reproduction of any such well- known mark or imitation liable to create confusion therewith.

(2) A period of at least five years from the date of registration shall be allowed for requesting cancellation of such marks. The countries of the unionprovided for a period within which the prohibition of use must requested.

(3) No time limit shall be fixed for seaking the cencelletation of the prohibitition of use of marks registered or usein bad faith.

Negara Peserta diminta menolak permintaan pendaftaran atau melakukan pembatalan pendaftaran dan melarang pengunaan merek yang sama dengan, atau merupakan tiruan dan atau dapat menimbulkan kebingungan dari suatu merek dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Negara peserta diminta menolak permintaan atau melakukan pembatalan pendaftaran dan melarang penggunaan merek yang sama dengan atau 9merupakaan

(15)

33

tiruan dan atau dapat menimbulakan kebingungan dari suatu merek dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Menurut pertimbangan pihak yang berwenang di negara penerima pendaftaran merek terkenal atau telah dikenal luas sebagai merek merek milik orang lain yang berhak memperoleh perlindungan sebagaimana yang diatur dalam konvensi;

b. Digunaaan pada produk yang sama atau sejenis.

2. Jangka waktu permintaan pembatalan setidaknya lima tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran.

3. Kalau pendaftaran dilakukan dengan itikad tidak baik, tidak ada batas waktu untuk memintakaan pembatalan pendaftaran.

Konvensi Paris tidak mengatur pengertian atau kriteria baku tentang merek terkenal. Pasal 6bis menyebutkan bentuk perlindungan merek terkenal sebatas bahwa masing masing anggota atau competen authority di suatu negara harus menolak permohonan pendaftaran yang sama atau mirip dengan merek yang dianggap terkenal di suatu negara itu.

Kriteria untuk menyatakan suatu merek sebagai sebuah merek

(16)

34

terkenal merupakaan suatu hal yang ditentikan oleh negara masing masing.25

b. Menurut TRIPs Agreement (diratifikasi melalui Undang- Undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Esthablising The Word Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)

Pasal 6bis Konvensi Paris itu kemudian diadopsi dalam Pasal 16 ayat (3) TRIPs Agreement. Pasal 16 Ayat (3) TRIPs menyebutkan bahwa Pasal 6bis Konvensi Paris juga berlaku terhadap barang dan jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarakan, sepanjang penggunaanya dari merek dagang tersebut secara tidak wajar akan memberikan indikasi adanya hubungan antara barang dan jasa tersebut dengan pemilik dari merek dagang terdaftar yang bersangkutan. Pasal ini menyebutkan pula bahwa negara akan memberikan perlindungan terhadap merek terdaftar dan merek tidak terdaftar serta merek sejenis dan tidak sejenis. Pasal 16 Ayat (3) TRIPs:

“Artcles 6bis of the Paris Paris Convention (1967) ) shall apply, mutatis mutandis, to services which are not similiar to those in respect of which not similiar to those

25 Jeremi Philip, Trade Mark Law, A Practical Anatomy, (New York:Oxford University Press, 2003), hal.405

(17)

35

in respectof which a trademark is registered, provided that use of that trademark in relation to those goods or service would indicate a connection between those goods or services and the owner of the registered trademark and provide that the interst of the owner of the registered trademark are likely to be damaged by such use”.

3. Merek yang Harus Ditolak Pendaftarannya Menurut Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Pasal 6 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa:

“ Peromohonan harus ditolak oleh Direktur Jenderal apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya.”

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa: “ Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”

Berdasarkan Pasal 6 ayat 2 jo Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001, maka pembatalan pendaftaran merek untuk barang atau jasa harus terpenuhi beberapa unsur, yakni:

1) Persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya

(18)

36 2) Merek terkenal

3) Barang atau jasa tidak sejenis

4) Ketentuan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah 3.1. Persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya

Faktor persamaan antara dua merek, baik dalam bentuk persamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhannya. UU Nomor 15 Tahun 2001 tidak memberikan pengertian mengenai persamaan pada keseluruhannya. Namun sebagaimana dalam doktrin “entireties similiar”.

Persamaan pada keseluruhannya dapat diketahui dengan melakukan perbandingan secara menyeluruh. Perbandingan secara menyeluruh dapat dilakukan dengan cara terpenuhinya:26

1) Adanya tindakan peniruan atau imitasi merek milik orang lain dengan cara mengcopy dari aslinya atau mereproduksi dari aslinya 2) Adanya persamaan jenis barang

3) Adanya persamaan jalur pemasaran, yakni meliputi geografi pemasaran sama dengan tujuan lapisan konsumen yang sama Dalam dunia bisnis seringkali pelaku usaha memiliki berbagai macam cara dalam berperilaku curang sehingg menguntungkan diri sendiri dengan merugikan pihak lain, baik pelaku usaha lainnya maupun konsumen. Untuk melakukan kecurangan itu, pelaku usaha yang bertikad tidak baik meniru merek milik orang lain secara tidak menyeluruh, atau

26 Sudargo Gautama, Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional: TRIPs, GATT, Putaran Uruguay 1994, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1994, hlm 21

(19)

37

dengan kata lain tidak mengandung adanya persamaan pada keseluruhannya. Maka selain persamaan pada keseluruhannya, UU Nomor 15 Tahun 2001 memberikan konsep persamaan pada pokoknya agar dapat menjerat pelaku usaha yang beritikad tidak baik.

Persamaan pada pokoknya terdapat pada Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2001. Persamaan pada pokoknya telah terpenuhi ketika adanya kemiripan yang disebabkan adanya persamaan bentuk, persamaan komposisi melalui cara penempatan, persamaan dalam cara penulisan, persamaan kombinasi dari dua atau tiga persamaan sebelumnya (bentuk, cara penempatan, dan cara penulisan), persamaan bunyi (sound similarity), dan persamaan ucapan (phonetic similarity).

Selain oleh UU Nomor 15 Tahun 2001, para ahli hukum juga memberikan pemahaman mengenai konsep persamaan pada pokoknya.

Pertama adalah Sudargo Gautama yang menyatakan bahwa hal terpenting dalam persamaan ini adalah dengan menilainya menurut realita. Dalam praktik, suatu persamaan pada pokoknya telah terpenuhi ketika persamaan tersebut menimbulkan kekeliruan dari pihak konsumen atau dengan kata lain konsumen telah salah sangka dengan mengira dirinya membeli merek terkenal, padahal merek yang dibelinya merupakan merek pihak lain.27

Ahli hukum lainya yang memberikan pandangan mengenai persamaan pada pokoknya adalah Yahya Harahap, adanya kemiripan agar

27 Ibid, hlm 51

(20)

38

terpenuhinya unsur persamaan pada pokoknya juga dapat ditentukan berdasarkan:

i) Kemiripan persamaan gambar (logo)

ii) Adanya kata, warna, bunyi yang hampir sama atau tidak persis betul iii) Tidak mesti dalam barang yang sejenis dan satu kelas

iv) Menimbulkan kebingungan nyata atau menyesatkan konsumen seolah-olah merek tersebut dianggap memiliki sumber produksi dan sumber asal geografis yang sama dengan merek milik orang lain.28 Pandangan ahli hukum terhadap konsep persamaan pada pokoknya selanjutnya adalah sebagaimana yang diberikan oleh Agus Sardjono. Dua merek yang diperbandingkan dapat dikatakan memiliki persamaan pada pokoknya dalam hal kedua kata-kata yang dijadikan sebagai merek memang mempunyai kemiripan satu sama lain, walaupun ada perbedaan juga disana-sini. Kemiripan itu terletak pada unsur bunya ketika kata-kata itu dibaca. Apabila kedua kata tersebut digunakan sebagai merek barang, maka keduanya dapat menimbulakan kesan adanya persamaan yang dapat membingungkan konsumen.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2001 dan beberapa pendapat ahli hukum seperti Yahya Harahap, Sudargo Gautama, dan Agus Sardjono, maka dapat diketahui cara untuk menentukan adanya persamaan pada pokoknya antar dua merek yang diperbandingkan. Yaitu, kedua merek harus menimbulkan adanya kesan

28 Ibid, hlm 60

(21)

39

persamaan. Faktor persamaan ini merupakan faktor yang ditekankan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2001.

Selain itu, adanya kesan persamaan ini mengakibatkan konsumen keliru mengenai barang atau jasa yang dibelinya.

3.2.Merek Terkenal

Kriteria merek terkenal yang digunakan oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam memeriksa dan mengadili gugatan pembatalan pendaftaran merek adalah kriteria yang terdapat dalam UU Nomor 15 Tahun 2001. Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Nomor 15 Tahun 2001, maka yang menjadi kriteria merek terkenal adalah:

1) Pengetahuan umum masyarakat di bidang usaha yang bersangkutan 2) Reputasi merek berdasarkan promosi dan investasi

3) Pendaftaran merek di berbagai negara

Menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Nomor 15 Tahun 2001, dalam hal dipandang perlu, pengadilan niaga dapat memerintahkan lembaga mandiri untuk melakukan survei pasaran. Dalam rangka memperoleh kesimpulan mengenai keterkenalan suatu merek, pengadilan niaga memiliki kewenangan untuk memerintahkan lembaga mandiri melakukan survei. Mengenai pelaksanaan survei pasaran ini masih mengandung persoalan dalam praktik berkaitan dengan ketidaklengkapan ketentuan baik yang diberikan oleh UU Nomor 15 Tahun 2001 dalam memori penjelasannya maupun karena belum juga terbentuk Peraturan

(22)

40

Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2001.

3.3.Perbedaan Jenis Barang atau Jasa

Definisi mengenai jenis barang atau jasa tidak ditemukan dalam UU Nomor 15 Tahun 2001. Meski tidak ditentukan oleh peraturan perundang- undangan dalam bidang merek, namun selalu dapat menentukan adanya persamaan atau perbedaan jenis barang dengan melakukan penelitian berdasarkan beberapa hal, yakni:29

1. Tujuan penggunaan barang 2. Material penggunaan barang 3. Core bussiness

4. Segmen pasar 5. Lapisan konsumen

Dalam menentukan dua barang adalah tidak sejenis, tidak harus terdapat perbedaan antara kedua barang berdasarkan kelima faktor tersebut (atau tidak bersifat kumulatif). Atau dengan kata lain, tidak harus dua barang yang diperbandingkan itu memiliki perbedaan dalam tujuan penggunaan barang, material penggunaan barang, core bussiness, segmen pasar dan lapisan konsumen. Dengan demikian dapat saja dua barang dianggap sebagai barang tidak sejenis meski hanya terdapat perbedaan

29 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Undang-undang Merek Baru Tahun 2001, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 65

(23)

41

misalnya dalam material penggunaan, namun memiliki persamaan pada core bussiness.30

Lebih lanjut untuk merek jasa, penentuan terhadap perbedaan jenis jasa didasarkan pada adanya perbedaan unsur “core bussiness” antara kedua produk jasa yang dilekatkan oleh merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya. Misalnya saja antara produk jasa pasar modal dengan bursa, keduanya memiliki core bussiness yang sama sehingga dianggap sebagai jasa sejenis. Atau contoh lainnya antara pasar modal dan restoran keduanya memiliki core bussuness yang berbeda sehingga dianggap sebagai jasa tidak sejenis. 31

Mengenai barang atau jasa yang tidak sejenis memiliki pengertian yang lebih luas dengan barang atau jasa yang sejenis. Dapat dikatakan bahwa barang atau jasa yang tidak sejenis memiliki cakupan pengertian yang paling luas, yakni meliputi semua macam atau golongan barang atau jasa atau bahkan semua barang atau jasa yang ada dalam perdagangan.

Misalnya saja pada kasus merek Dunhill yang merupakan merek terkenal untuk sigaret dan filter. Kemudian ada pihak lain yang memproduksi barang jenis jaam seperti jam tangan (arloji), jam dinding, dan lain-lain dengan merek Dunhill. Antara sigaret dan filter dengan jam tangan dan jam dinding merupakan dua jenis barang yang berbeda.32

30 Ibid.

31 Ibid.

32 Otto Cornelis, Teori dan Praktik Hukum Merek Indonesia, Bandung:Alumni, 2008, hlm 33

(24)

42

Pengelompokkan kelas barang atau jasa terdapat dalam Lampiran PP No.24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek LN No.31 Tahun 1993. Namun, pada praktiknya Direktorat Merek menggunakan klasifikasi sebagaimana yang ditentukan dalam Nice Agreement Ed. 10 mengenai International Classification of Goods and Services for the Purpose of the Registration of Marks. Indonesia memang belum meratifikasi Nice Agrement, namun Indonesia telah meratifikasi Trademark Law Treaty dan berdasarkan Pasal 1 huruf Viii peserta Trademark Law Treaty dapat menggunakan klasifikasi Nice atau Klasifikasi sebagaimana yang ditentukan dalam Nice Agrement.33

Ad.4.Persyaratan Tertentu Lainyya yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

Unsur persyaratan tertentu lainnya yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah mengandung persoalan karena Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2001 belum juga terbentuk.

Pendekatan untuk memberikan batasan pengertian merek terkenal yang telah diberikan oleh Memori Penjelasan UU Nomor 15 Tahun 2001 dinilai belum cukup. Di samping itu, pembatalan pendaftaran merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal untuk barang atau jasa tidak sejenis mengandung ketidakpastian

33 Ibid.

(25)

43

karena Peraturan Pemerintah yang belum terbentuk sebagaimana yang diamanatkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2001.

4. Merek yang Harus Ditolak Pendaftarannya Menurut Pasal 20 s/d 22 UU Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis jo Permenkumham No. 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek

Pada Pasal 20 sampai Pasal 22 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis berbunyi :

Merek tidak dapat didaftar jika:

a. Bertentangan dengan ideologi negara,peraturan perundang- undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;

b. Sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;

c. Memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

d. Memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi; e. tidak memiliki daya pembeda; dan/atau

e. Merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum.

Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis berbunyi :

(26)

44

(1) Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:

a. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

b. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau d. Indikasi Geografis terdaftar.

(2) Permohonan ditolak jika Merek tersebut:

a. merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;

b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;

c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

(3) Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik.

(27)

45

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penolakan Permohonan Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.”

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis berbunyi :

“Terhadap Merek terdaftar yang kemudian menjadi nama generik, setiap Orang dapat mengajukan Permohonan Merek dengan menggunakan nama generik dimaksud dengan tambahan kata lain sepanjang ada unsur pembeda.”

Beradasarkan penjelasan dalam Pasal 20 sampai Pasal 22 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, apabila pendaftaran merek yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan maka pihak yang berwenang atau Dirjen HKI harus menolak pendaftaran merek tersebut.

Dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu. Pasal 21 ayat (1) huruf c diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek.

Pada Pasal 16 ayat (2) Permenkumham No. 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek menyebutkan bahwa:

(28)

46

“Permohonan ditolak oleh Menteri dalam hal merek yang dimihonkan mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:

a. Merek terdaftar pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis;

b. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis;

c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu;

d. Indikasi geografis terdaftar.”

Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 17 Permenkumham No. 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek menyebutkan bahwa:

(1) Penilaian persamaan pada pokoknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan kemiripan yang disebabkan oleh adanaya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam merek tersebut.

(2) Kriteria penentuan barang dan/atau jasa sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b dapat

(29)

47

berupa barang dengan barang, barang dengan jasa atau jasa dengan ditentukan berdasarkan:

a. Sifat dari barang dan/atau jasa;

b. Tujuan dan metode penggunaan barang;

c. Komplementaritas barang dan/jasa;

d. Kompetisi barang dan/jasa;

e. Saluran distribusi barang atau jasa;

f. Konsumen yang relevan atau g. Asal produksi barang dan atau jasa

Terkait kriteria terkenal Pasal 18 Permenkumham No. 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek menyebutkan bahwa:

(1) Kriteria penentuan merek terkenal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan

(2) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan masyarakat konsumen atau masyarakat pada umumnya yang memiliki hubungan baik pada tingkat produksi, promosi, distribusi, maupun penjualan terhadap barang dan/atau jasa yang dilindungi oleh Merek terkenal dimaksud.

(3) Dalam menentukan kriteria merek sebagai merek terkenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

(30)

48

a. Tingkat pengetahuan atau pengakuan masyarakat terhadap merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan sebagai merek terkenal;

b. Volume penjualan barang atau jasa dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan merek tersebut oleh pemilliknya;

c. Pangsa pasar yang dikuasai oleh merek tersebut dalam hubungannya dengan peredaran barang dan/atau jasa di masyarakat;

d. Jangkauan daerah penggunaan merek;

e. Jangka waktu penggunaan merek;

f. Intensitas dan prmosi merek, termasuk nilai investasi yang dipergunakan untuk promosi ;

g. Pendaftaran merek atau permohonan pendaftaran merek di negara lain;

h. Tingkat keberhasilan penegakan hukum di bidang merek khususnya mengenai pengakuan merek tersebut sebagai merek terkenal oleh lembaga yang berwenang;atau

i. Nilai yang melekat pada merek yang diperoleh karena reputasi dan jaminan kualitas barang dan atau jasa yang dilindungi oleh merek tersebut.

Penolakan permohonan berdasarkan merek terkenal menurut Pasal 19 Permenkumham No. 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek menyebutkan bahwa:

(31)

49

(1) Permohonan ditolak jika mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

(2) Penolakan permohonan dilakukan berdasarkan merek terkenal untuk barang dan atau jasa yang tidak sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c harus memenuhi persyaratan tertentu

(3) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Adanya keberatan yang diajukan secara tertulis oleh pemilik merek terkenal terhadap permohonan, dan

b. Merek terkenal yang sudah terdaftar.

(4) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus memuat alasan dan disertai bukti yang cukup bahwa permohonan oleh pihak lain tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/ jasa yang tidak sejenis dengan merek milik pemohon keberatan yang dimohonkan oleh pihak lain merupakan merek terkenal.

(32)

50

C. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim 1. Asas-asas Putusan Hakim

Asas - asas Putusan Hakim dijelaskan dalam pasal 1778 HIR, Pasal 189 Rbg dan pasal 19 yang terdapat dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

a. Memuat Dasar Alasan Yang Jelas dan Rinci

Berdasarkan asas ini setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup karena putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd (insuffcient judgement). Alasan – alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan : pasal – pasal tertentu peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, Yurisprudensil, atau Doktrin hukum.

Hal ini ditegaskan dalam pasal 23 UU No.14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam pasal 25 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004, yang menegaskan bahwa segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan peraturan perundang-undangan tertentu yang disangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum. Bahkan menurut pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatannya atau secara ex offcio, wajib mencukupkan segala

(33)

51

cara alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara.24

Untuk memenuhi kewajiban itu, pasal 27 ayat (1) UU No.14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 1999, sekarang dalam pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 memerintahkan hakim dalam kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut penjelasan pasal ini, hakim berperan dan bertindak sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan masyarakat.

b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas kedua, digariskan dalam pasal 178 ayat (2) HIR, pasal 189 ayat (2) RBG, dan pasal 50 Rv. Putusan harus total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutuskan sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan undang- undang.34

c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larang ini disebut ultra petitum partium. Asas ini ditegaskan dalam pasal 178 ayat (3) H.I.R., pasal

34 M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm 789

(34)

52

189 ayat (3) R.Bg, dan pasal 50 Rv . pada asas ini hakim tidak boleh mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya (beyond the powers of his authority).

Apabila suatu putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invailid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan baik ( good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest). Hal ini mengingat bahwa peradilan perdata semata-mata hanya sebagai sarana penyelsaian sengketa antara kedua belah pihak guna melindungi kepentingan para pihak yang bersengketa, bukan untuk kepentingan umum(public interest). R. Soepomo menganggap peradilan perdata sebagai urusan kedua belah pihak semata-mata, dimana hakim bertindak pasif.35

Asas tersebut tidak hanya melarang hakim untuk menjatuhkan putusan yang mengabulkan melebihi tuntutan, melainkan juga putusan yang mengabulkan sesuatu yang sama sekali tidak diminta dalam tuntutan, karena hal tersebut nyata-nyata melanggar asas ultra petitum, sehingga mengakibatkan putusan itu harus dibatalkan pada tingkat selanjutnya.36

35 Ibid, hlm 800

36 R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet.13, Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 1994, hal.92

(35)

53 d. Diucapkan dimuka umum

Prinsip putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka umum, ditegaskan dalam pasal 20 Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yaitu semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang umum.

Berdasarkan S.E.M.A. No. 4 Tahun 1974 yang dikeluarkan pada tanggal 16 september 1974 Mahkamah Agung menegaskan bahwa prinsip keterbukaan harus dilakukan di dalam ruang sidang yang berada pada lingkungan gedung pengadilan yang telah ditentukan untuk itu, bukan diruangan lainnya meskipun masih berada dalam lingkup gedung pengadilan.28 Karena hal ini merupakan pelanggaran terhadap tata tertib beracara yang digariskan pada pasal 121 ayat (1) H.I.R. dan pasal 20 Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang menentukan pengucapan putusan yang dilakukan secara terbuka didalam sidang pengadilan.

2. Mencari dan Menemukan Hukum

Dalam menyelesaikan perkara melalui proses peradilan, hakim tidak hanya berfungsi dan berperan memimpin jalannya persidangan, sehingga para pihak yang berperkara menaati aturan main sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan hukum acara. Fungsi dan kewajibaan mencari dan menemukan hukum objektif atau materil yang akan diterapkan kepada

(36)

54

perkara yang diperiksa, berkaitan dengan asas-asas yang diuraikan sebagai berikut:37

a. Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara b. Prinsip curia novit jus

c. Mencari dan menemukan hukum objektif dari sumber hukum Upaya mencari dan menemukan hukum objektif yang hendak diterapakan, harus dari sumber hukum yang benar, antara lain:38

1) Ketentuan hukum positif

2) Dari sumber hukum tidak tertulis 3) Yurisprudensil

4) Traktat 5) Doktrin

3. Pertimbangan Hukum

Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pertimbangan Hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan pelaku. Setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat terlulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek untuk mewujudkan nilai dari sebuah putusan hakim yang mengandung keadilan

37 Ibid, hlm 820

38 Theresia Ngutra, Hukum dan Sumber-sumber Hukum, Jurnal Supremasi : Volume XI Nomor 2, Oktober 2016, hlm 201-208

(37)

55

(ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, serta mengandung maanfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim harus disikapi dengan teliti,baik dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tersebut tidak teliti, baik dan cermat, maka putusan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.39

Pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :

a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.

b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

c. Adanya semua bagian dari petitum penggugat harus dipertimbangkan atau diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpuan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.40

D. Tinjauan Umum Tentang Konsep Keadilan dan Konsep Kepastian Hukum

Menurut Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa, “hukum itu harus memenuhi berbagai karya sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah keadilan, kegunaan dan kepastian hukum.” Sekalipun ketiga-tiganya itu

39 Mukti Arto , Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h.140

40 Ibid, hlm 42

(38)

56

merupakan nilai dasar dari hukum, namun antara mereka terdapat suatu ketegangan. Oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlainan, sehingga mempunyai potensi untuk saling bertentangan.41

1. Konsep Keadilan

Sesungguhnya konsep keadilan sangat sulit mencari tolak ukurnya karena adil bagi satu pihak belum tentu dirasakan oleh pihak lainnya. Kata keadilan berasal dari kata adil, yang berarti dapat diterima secara obyektif.42

Menurut Aristoteles, ada beberapa pengertian keadilan, antara lain yakni: Keadilan berbasis persamaan, distributif, dan korektif.43

1) Keadilan berbasis persamaan

Didasarkan atas prinsip bahwa hukum mengikat semua orang, sehingga keadilan yang hendak dicapai oleh hukum dipahami dalam konteks kesamaan. Kesamaan yang dimaksudkan disini terdiri dari atas kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik berprinsip kesamaan derajat atas setiap orang di hadapan hukum, sedangkan kesamaan proporsional adalah memberi kepada setiap orang apa yang sudah menjadi haknya.

2) Keadilan distributif

Hal ini identik dengan keadilan proporsional, dimana keadilan distributif berpangkal pada pemberian hak sesuai dengan besar

41 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 19.

42 Ibid.

43Aristoteles, Aristoteles Terkait Dengan Keadilan, http://id.wikipedia.org/wiki, diakses 27 Juni 2019, jam 08.00 WIB.

(39)

57

kecilnya jasa, sehingga dalam hal ini keadilan didasarkan pada persamaan, melainkan sesuai dengan porsinya masing-masing (proporsional).

3) Keadilan korektif

Pada dasarnya merupakan keadilan yang bertumpu pada pembetulan atas suatu kesalahan, misalnya apabila ada kesalahan orang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka orang yang mengakibatkan munculnya kerugian, harus memberikan ganti rugi (kompensasi) kepada pihak yang menerima kerugian untuk memulihkan keadaannya sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan.

Menurut Thomas Aquinas, keadilan dapat dibagi dua, yaitu keadilan yang bersifat umum dan keadilan yang bersifat khusus. Keadilan yang bersifat umum adalah keadilan yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang wajib ditaati demi kepentingan umum. Adapun keadilan khusus adalah keadilan yang didasarkan atas persamaan atau proporsionalitas.44

Hans Kelsen berpandangan bahwa suatu tata sosial adalah tata yang adil. Pandangan ini bermakna bahwa tata tersebut mengatur perbuatan manusia dengan tata cara yang dapat memberikan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat. Keadilan adalah kebahagiaan sosial yang tidak bisa

44Thomas Aquinas, Thomas Terkait Dengan Keadilan, http://id.wikipedia.org, diakses 27 Juni 2019, jam 08.00 WIB.

(40)

58

ditemukan manusia sebagai individu dan berusaha mencarinya dalam masyarakat. Oleh karena itu, kerinduan manusia pada keadilan pada hakekatnya adalah kerinduan terhadap kebahagiaan.45 Artinya adanya pengakuan masyarakat terhadap keadilan yang dihasilkan, keadilan tersebut hanya dapat diperoleh dari tatanan.

Keadilan menurut Socrates sebagaimana dikutip Ahmad Fadlil Sumadi mengatakan bahwa, “hakekat hukum dalam memberikan suatu keputusan yang berkeadilan haruslah: tidak berat sebelah, berpegang pada fakta yang benar, dan tidak bertindak sewenang-wenang atas kekuasaannya.46

Menurut L.J Van Apeldoorn mengatakan bahwa,”keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.” Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi seseorang belum tentu adil bagi yang lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan dimana terdapat keseimbangan antara kepentingan- kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.47

45 Hans Kelsen, Kelsen Terkait Dengan Keadilan, http://id.wikipedia.org/wiki/hans/

kelsen/keadilan, diakses 27 Juni 2019, jam 08.00 WIB.

46 Ahmad Fadlil Sumadi, Hukum dan Keadilan Sosial, http://www.suduthukum.com diakses 27 Juni 2019, jam 08.00 WIB.

47 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hlm. 11.

(41)

59

Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan.

Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Jika hukum semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan-peraturan umum. Tertib hukum yang tak mempunyai peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis adalah tidak mungkin. Tak adanya peraturan umum, berarti ketidaktentuan yang sungguh-sungguh, mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil.

Ketidaktentuan itu akan menyebabkan perselisihan. Jadi hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan. 48

Keadilan melarang menyamaratakan, keadilan menuntut supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri.makin banyak hukum memenuhi syarat, peraturan yang tetap, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum ius, summa iniuria, keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi.49

Dalam pengertian lain, menurut Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Syafruddin kalo menekankan bahwa, “merumuskan konsep keadilan bagaimana bisa menciptakan keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban.50

48 Ibid.

49 Ibid.

50 Satjipto Rahardjo, Op.cit, hlm.5

(42)

60

Menurut Ahmad Ali MD mengatakan bahwa, “keadilan sebuah putusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pencari keadilan haruslah diambil berdasatkan kebenaran substantif, memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya.51

Namun harus juga diperhatikan kesesuaian mekanisme yang digunakan oleh hukum, dengan membuat dan mengeluarkan peraturan hukum dan kemudian menerapkan sanksi terhadap para anggota masyarakat berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu, perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif. Namun juga harus dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib untuk melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat prosedural, misalnya hukum perdata (substantif) berpasangan dengan hukum acara perdata (prosedural).52

Lebih lanjut menurut Hans Kelsen hukum yang dapat memberikan keadilan adalah tatanan hukum yang positif, yaitu tatanan yang dapat bekerja secara sistematis. Dengan demikian, keadilan adalah keadilan yang sudah tertuang dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.53 Dengan kata lain adanya kesesuaian antara prosedur dengan substansi sehingga keadilan tersebut akan diterima oleh masyarakat.

Dalam kaitannya tentang keadilan juga harus diperhatikan tentang asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Sebagaimana diatur dalam pasal

51Ahmad Ali MD, “Keadilan Hukum Bagi Orang Miskin,” Jurnal Mimbar Hukum dan Keadilan, (Jogjakarta) Edisi 1, 2012, hlm. 132.

52 Satjipto Rahardjo, Op.cit, hlm 77 dan 78

53 Hans Kelsen, Opcit.

(43)

61

2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu berupa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.54

Asas cepat dimaksudkan agar dalam penanganan perkara dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, sehingga tidak memakan waktu yang lama. Mahkamah Agung dalam surat edaran No. 1 tahun 1992 memberikan batasan waktu paling lama enam (6) bulan, artinya setiap perkara harus dapat diselesaikan dalam waktu enam (6) bulan sejak perkara itu didaftarkan di kepaniteraan, kecuali jika memang menurut ketentuan hukum tidak mungkin diselesaikan dalam waktu enam bulan.55

Dalam suatu putusan yang cepat dan tepat terkandung keadilan yang bernilai lebih. Ketetapan putusan sesuai dengan hukum, kebenaran dan keadilan itu saja sudah mengandung nilai keadilan tersendiri, dan kecepatan penyelesainnya dalam putusan yang cepat dan tepat terdapat rasa keadilan yang saling mengisi dalam penegakan hukum.56

Pada asas sederhana memiliki tujuan agar dalam proses persidangan tidak berbelit-belit dan mudah diselesaikan sehingga penerapan asas cepat dapat terlaksana. Sedangkan dalam hal biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat sebagaimana Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009. Biaya ringan juga mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga peradilan tidak sekedar orang

54Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata,” Jurnal Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12 Nomor 3, September 2012, hlm. 484.

55 Ibid.

56 Romy Gumilar, Penyelesaian Perkara Dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan, http:// www.romygumilar.wordpress.com diakses 18 Juni 2019, jam 08.00 WIB

(44)

62

yang mempunyai harapan akan jaminan keadilan didalamnya tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, dan keadilan yang mandiri serta bebas dari nilai nilai lain yang merusak nilai keadilan itu sendiri.57

Lebih lanjut untuk mengukur sebuah keadilan, menurut Fence M.

Wantu mengatakan, “adil pada hakekatnya menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum (equality before the law).”58 Oleh karena itu penekanan yang lebih cenderung kepada asas keadilan dapat berarti harus mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang terdiri dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Hakim dalam alasan dan pertimbangan hukumnya harus mampu mengakomodir segala ketentuan yang hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis, manakala memilih asas keadilan sebagai dasar memutus perkara yang dihadapi.59

2. Konsep Kepastian Hukum

Menurut Syafruddin Kalo mengatakan bahwa, “kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum.” Lebih lanjut beliau memaparkan, Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat

57 Ibid.

58 Fence M. Wantu, Op.cit, hlm 484

59 Ibid.

(45)

63

dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwaperistiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbedabeda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum. Sedangkan kepastian karena hukum dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.60

Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan perundangundangan, maka salah satu akibatnya adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka hukum akan tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Oleh sebab itu dalam proses penegakan hukum perlu memperhatikan kenyataan hukum yang berlaku. Sehingga kepastian hukum dalam hal ini berguna untuk menciptakan ketertiban masyarakat.

Menurut Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Syafruddin Kalo mengatakan, Salah satu aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya, hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam

60 Ibid.

(46)

64

hubungan antar orang dalam masyarakat. Salah satu yang berhubungan erat dengan masalah kepastian tersebut adalah masalah dari mana hukum itu berasal. Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi penting sejak hukum menjadi lembaga semakin formal.61

Masyarakat mengharapkan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu tentang yang diperbuatnya sehingga akan menciptakan ketertiban, namun seringkali dalam proses peradilan masyarakat sering mengeluhkan proses yang lama dan berbelit- belit padahal tujuan daripada hukum itu untuk kepastian dan tidak berbelit- belit.

Menurut Badai Husain hasibuan dan Rahmi Purnama Melati mengatakan bahwa, dalam prakteknya di lapangan ternyata dapat kita lihat banyak sekali masyarakat pencari keadilan khususnya ekonomi lemah yang merasa tidak mendapatkan kepastian hukum. Hal ini disebabkan karena proses peradilan di Indonesia yang tergolong lama, dan biaya yang cukup mahal, padahal tujuan dibentuknya pengadilan itu salah satunya adalah untuk memperoleh kepastian hukum.62

Dalam hal ini Badai Husain hasibuan dan Rahmi Purnama Melati menghubungkan kepastian hukum dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Makna sederhana artinya caranya yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit. Yang penting disini ialah agar para pihak

61 Ibid.

62 Badai Husain Hasibuan dan Rahmi Purnama Melati, Asas Kepastian Hukum Dalam Peradilan Indonesia, http://www.suduthukum.com, diakses 27 Juli 2019, jam 08.00 WIB

(47)

65

dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan pasti (tidak berubah- ubah) dan penyelesaiannya dilakukan dengan jelas, terbuka runtut dan pasti, dengan penerapan hukum acara yang fleksibel demi kepentingan para pihak yang menghendaki acara yang sederhana. Apa yang sudah sederhana, jangan sengaja dipersulit oleh hakim kearah proses pemeriksaan yang berbelit-belit dan tersendat-sendat. Terkait dengan cepat ialah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan jangka waktu yang lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Sedangkan biaya ringan disini mengacu pada banyak atau sedikitnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya di depan pengadilan.63

Dalam hal ini berarti tidak dibutuhkan biaya lain kecuali benar-benar diperlukan secara riil untuk penyelesaian perkara. Biaya harus ada tarif yang jelas dan seringan-ringannya. Segala pembayaran di pengadilan harus jelas kegunaanya dan diberi tanda terima uang. Pengadilan harus mempertanggung jawabkan uang tersebut kepada yang bersangkutan dengan mencatatkannya dalam jurnal keuangan perkara sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya sewaktu-waktu.64

Oleh karena itu tentang apa arti dari sebuah kepastian hukum merupakan suatu hal yang sangat penting pula bagi masyarakat, Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan hasil yang

63 Ibid.

64 Ibid.

(48)

66

didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangkan dengan hati nurani. Hakim selalu dituntut untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang dijadikan dasar untuk diterapkan. Hal tersebut sangat penting, oleh karena dengan adanya kepastian hukum itu akan sangat mempengaruhi wibawa hakim dan elektabilitas pengadilan itu sendiri. Karena putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum. Hal ini disebabkan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, bukan lagi pendapat dari hakim itu sendiri yang memutuskan perkara, tetapi sudah merupakan pendapat dari institusi pengadilan dan menjadi acuan masyarakat dalam pergaulan sehari-hari.65

65 Fence M. Wantu, Op.cit, hlm 481

Referensi

Dokumen terkait

Pada pengecoran pelat beton yang tipis, vibrator boleh dimasukan ke dalam beton secara miring dalam hal ini vibrator akan menyentuh besi tulangan, tetapi harus

Pada hutan alam campuran diameter pohon inti ditetapkan menjadi 20 cm keatas dengan jumlah pohon inti 25 batang per ha (tidak 40 batang per ha lagi seperti Tabel 1

Mulai dari kurikulum sampai pada sistem penyelenggaraannya mengalami perubahan, misalnya dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kemudian menjadi Kurikulum

Penelitian ini bertujuan menganalisis penerapan PSAK 109 (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) tantang Akuntansi Zakat, Infak dan Sedekah yang di terapkan pada

Lokasi observasi untuk pelaksanaan implementasi pendidikan siaga bencana adalah di wilayah Kabupaten Malang Selatan tepatnya di desa Sitiarjo karena terletak di pesisir

Dengan menggunakan layanan informasi diharap siswa dapat mengetahui dampak narkoba dan cara menghindari narkoba.. Kudus, 4 Juni 2014

Hasil isolasi ekstrak dietil eter herba belimbing tanah (Oxalis corniculata L.) berdasarkan parameter fitokimia secara kuantitatif bahwa ekstrak dietil eter diperoleh

Paparan dan lampiran yang kami tuangkan dalam proposal ini merupakan kondisi sebenarnya SMK Negeri 6 Pontianak sebagai Pusat Layanan TIK SMK/ICT Centre Kota Pontianak,