Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Disusun oleh:
Hakimah 111504300000120
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv
Putusan NO. 13/PID.SUS-Anak/2019/PN.Srg). Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum (PMH), Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2019 M. + 55 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Tindak Pidana Kekerasan Seksual Oleh
Anak dalam Putusan Hakim NO. 13/PID.SUS Anak/2019/PN.Srg dalam
pandangan Hukum Islam. Jenis penelitian ini adalah kualitatif-normatif, sedangkan
sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder yaitu Putusan
Pengadilan Negeri Serang No. 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg, KUHP, kitab-kitab
fikih, jurnal, artikel, internet, buku-buku yang membahas perkara pidana di
Indonesia, serta materi kuliah yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, Putusan Hakim Nomor
13/PID.SUS-Anak/2019/PN.Srg benar sesuai dengan Hukum Positif, tetapi dalam
Hukum Islam berbeda, Aries Naziullah Bin Syam’un tidak bisa dikatakan sebagai
anak dan perbuatannya tidak termasuk kategori perkosaan dengan mengancam
tanpa senjata, tetapi kategori jarimah zina ghair muhshan dengan hukuman 100 kali
dera dan diasingkan selama 1 tahun, dengan alasan yaitu pertama, Aries Naziullah
Bin Syam’un ketika melakukan perbuatannya berusia 17 tahun yaitu telah mencapai
balig dan memiliki kemampuan akal yang sempurna, oleh karena itu telah
memenuhi syarat-syarat mukalaf. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah. Kedua, Aries Naziullah Bin Syam’un melakukan perbuatan seksual
tersebut dalam keadaan sadar. Dan ketiga faktanya perbuatan tersebut terjadi
berkali-kali sehingga ancaman verbal itu sesungguhnya tidak berpengaruh.
Kata kunci: tindak pidana, kekerasan seksual oleh anak, Hukum Islam.
Pembimbing I: Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag
v
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
ب
b
be
ت
t
te
ث
ts
te dan es
ج
j
Je
ح
h
ha dengan garis bawah
خ
kh
ka dan ha
د
d
de
ذ
dz
de dan zet
ر
r
Er
ز
z
zet
س
s
es
ش
sy
es dan ye
vi
ط
t
te dengan garis bawah
ظ
z
zet dengan garis bawah
ع
koma terbalik di atas
hadap kanan
غ
gh
ge dan ha
ف
f
ef
ق
q
Qo
ك
k
ka
ل
l
el
م
m
em
ن
n
en
و
w
we
ه
h
ha
ء
apostrop
ي
y
ya
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
vii
ـــــَـــــ
a
fathah
ـــــِـــــ
i
kasrah
ـــــُـــــ
u
dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
َي
ـــــَـــــ
ai
a dan i
و
ـــــَـــــ
au
a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ــــَـا
â
a dengan topi diatas
ــــِـى
î
i dengan topi atas
viii
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:
داهثجلإا
= al-ijtihâd
ا
ةصخرل
= al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
ةعفشلا
= al-syuî
‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah.
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi
huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
No
Kata Arab
Alih Aksara
1
ةعيرش
syarî ‘ah
2
ةيملاسلإا ةعيرشلا
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah
ix
يراخبلا
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No
Kata Arab
Alih Aksara
1
تاروظلمحا حيبت ةرورضلا
al-darûrah tubîhu almahzûrât
2
يملاسلإا داصتقلإا
al-iqtisâd al-islâmî
3
هقفلا لوصأ
usûl al-fiqh
4
فى لصلأا ةحابلإا ءايشلأا
al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah
x
hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL OLEH ANAK DALAM
PANDANGAN HUKUM ISLAM (Studi Putusan NO.
13/PID.SUS-Anak/2019/PN.Srg)”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah mengantarkan umatnya dari kegelapan ke zaman peradaban ilmu
pengetahuan.
Penulis sangat bersyukur dan bahagia karena dapat menyelesaikan tugas akhir
di jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh, telah selesai. Penulis
tidak lupa untuk meminta maaf apabila di dalam penulisan skripsi ini terdapat hal
yang kurang berkenan dihati para pembaca karena penulis menyadari bahwa
penulis masih jauh dari kesempurnaan.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat
tercapai tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
rasa hormat yang mendalam, penulis mengucapkan terima kasih
Kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi. M.A., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta para
Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Siti Hanna, S.Ag, Lc., M.A. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab
dan Hidayatulloh, M.H. Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab.
4. Dra. Afidah Wahyuni. M. Ag Dosen Penasehat Akademik.
5. Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag dan Kamal Fiqri Musa, Lc., M.A. Dosen
Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya, arahan, saran dan
petunjuk demi kelancaran penulisan skripsi ini.
6. Dr. Muhammad Taufiki, S.Ag, M.Ag dan M. Ainul Syamsu, S.H., M.H
telah bersedia menjadi penguji sidang Munaqasyah.
xi
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Seluruh Staff dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Fakultas Syari’ah dan
Hukum atas pelayanan yang baik saat penulis melengkapi bahan-bahan
skripsi ini.
9. Seluruh Staff Pengadilan Negeri Serang.
10. Seluruh keluarga tercinta khususnya orang tua yaitu Bapak KH. Abdul
Mu’thi (Alm) dan Ibu Aisah, Aam, Uuf Rouf, Harun Rosyadi, Holid Sopian,
Listiani, Neneng, Ilham, Ibnu Hamdun, Khusnul Khotimah, Lukmanul
Hakim sebagai keluarga yang telah memberikan arahan dan motivasi dalam
penyelesaian skripsi ini.
11. Sahabat terbaik dan seperjuangan selama perkuliahan yang telah
memberikan motivasi, berbagi tempat tinggal, berbagi ilmu dan menerima
saya sebagai sahabat terkhusus untuk Wilda Nurkhalisah, Een Furaerah,
Elvita Hasanah M, Sri Wahyuni, Dwi Setyo Rini, Fitria Ramadhani, Mirna
Lestari, Nadia Wulandari, Imas Masruroh, Nur Afnah dan Raodatul Aini
12. Teman yang selalu ada dan seperjuangan di kos mouse hunter yaitu
Qurrotul Uyun, Santri Eka, Ratih Purnamasari dan Qori Maulidini.
13. Seluruh Donatur Karya Salemba Empat (KSE) dan Keluarga Besar Karya
Salemba Empat (KSE) UIN Jakarta yang telah membantu dana perkuliahan
dan memberikan semangat dalam perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.
14. Seluruh keluarga besar FAMAN dan PMH Angkatan 2015 yang telah
memberikan semangat dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.
15. Terima kasih saya berikan kepada anda yang telah membaca tulisan saya,
tanpa anda, tulisan ini hanyalah kumpulan kertas yang telah dicetak, semoga
bermanfaat amiin.
Semoga semua bantuan, ilmu, bimbingan dan do’a yang diberikan
mendapatkan balasan dari Allah SWT.
xii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Pokok Permasalahan ... 5
1. Identifikasi masalah ... 5
2. Pembatasan masalah ... 5
3. Rumusan masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 5
1. Tujuan Penelitian ... 6
2. Manfaat Penelitian ... 6
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 6
1. Jenis Penelitian ... 6
2. Pendekatan penelitian ... 6
3. Sumber Data ... 6
4. Teknik Pengumpulan Data ... 7
5. Teknik Analisa Data ... 7
6. Teknik Penulisan ... 7
E. Kajian Terdahulu ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II ANAK DAN KEKERASAN SEKSUAL
A. Pengertian Anak ... ... 11
B. Kekerasan Seksual ... 14
xiii
3. Macam-Macam Zina ... 21
4. Pembuktian Had Zina ... 25
E. Perkosaan ... 27
1. Pengertian Perkosaan ... 27
2. Jenis-Jenis Dan Sanksi Perkosaan ... 28
F. Kaidah Fikih ... 31
BAB III GAMBARAN UMUM PUTUSAN NO 13/PID.SUS-Anak/2019/PN.Srg
A. Deskripsi Terjadinya Kekerasan Seksual Dalam Putusan No
13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg ... 32
BAB IV TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL OLEH ANAK PUTUSAN
HAKIM NO. 13/PID.SUS-Anak/2019/PN.Sr DALAM PANDANGAN HUKUM
ISLAM
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Hakim Nomor 13/PID.SUS
Anak/2019/PN.Srg Tentang Anak ... 41
B. Kekerasan Seksual Dalam Putusan No 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg
Menurut Hukum Islam ... 46
C. Dampak Putusan Hakim Nomor 13/PID.SUS Anak/2019/PN.Srg Terhadap
Masyarakat ... . 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 53
B. Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 54
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam dapat dipahami sebagai sebuah hukum yang bersumber dari
al-Qur’an dan as-Sunnah.
1Fiqh Jinayah adalah bidang ilmu yang membahas
berbagai bentuk perbuatan (tindak) pidana yang diancam dengan hukuman had
dan takzir.
2Ditinjau dari segi objeknya, bahwa yang menjadi objek pembahasan
fikih jinayah ini secara garis besar terdapat dua yaitu: jarimah (tindak pidana)
dan uqubah (hukuman)
3. Jarimah yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam
Allah SWT dengan hukuman had atau takzir.
4Larangan tersebut bermaksud
agar menjauhi segala bentuk yang di larang oleh Allah SWT dan mengerjakan
segala bentuk perintah-Nya, karena perintah dan larangan itu datangnya dari
Allah SWT yang tertuang dalam syara’ maka segala bentuk perintah dan
larangan itu hanya berlaku bagi orang yang mukalaf saja.
Adapun dalam jarimah itu memiliki beberapa yaitu unsur umum dan unsur
khusus. Unsur umum jarimah adalah unsur-unsur yang terdapat pada setiap
jenis jarimah, sedangkan unsur khusus jarimah adalah unsur-unsur yang hanya
terdapat pada beberapa jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat dalam jarimah
yang lain. Adapun unsur-unsur umum dalam jarimah seperti unsur formal
(al-Rukn al-Syar’i) yaitu telah ada aturannya, (al-(al-Rukn al-Madi) yaitu telah ada
perbuatannya, (al-Rukn al-Adabi) yaitu ada pelakunya. Karena setiap jarimah
hanya dapat dihukum jika memenuhi unsur umum di atas. Adapun unsur khusus
dalam jarimah ini yaitu unsur yang berada dalam jarimah, namun tidak ada
dalam jarimah yang lain, sebagai contohnya yaitu mengambil harta orang lain
secara diam-diam dari tempatnya dalam jarimah pencurian.
5
1 R. Saija dan Iqbal Taufik, Dinamika Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish,
2016), h., 1
2 Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Pranadamedia Grup, 2019). H., 12. 3 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., ix. 4 Djazuli, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1997), h., 1.
Jarimah dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek
yang ditonjolkan, pada umumnya para ulama membagi jarimah berdasarkan
aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh
al-Qur’an atau al-Hadis. Atas dasar ini, mereka membaginya menjadi tiga macam
yaitu jarimah hudud, jarimah qishash/diyat dan jarimah takzir.
6Namun dalam
persidangan sebelum adanya bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan, seseorang
harus dianggap tidak bersalah sebelum diputus oleh majelis hakim.
Allah SWT memberikan empat nafsu bagi manusia yaitu al-syahwaniyyah
al-bahimiyyah (nafsu kebinatangan), al-ghadlabiyyah al-sabuiyyah (nafsu
kebuasan), al-wahmiyyah al-syaithaniyyah (nafsu khayalan iblis), al-‘aqliyyah
al-malikiyyah (nafsu malaikat), menurut pengamatan al-Baidlawi sumber
kejahatan yang dilakukan oleh manusia tidak lepas dari ketiga nafsu yaitu
al-syahwaniyyah al-bahimiyyah, al-ghadlabiyyah al-sabuiyyah dan al-wahmiyyah
al-syaithaniyyah sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nahl (16): 90.
7َّنِإ
هللا
اهتيِإهو ِناهسْحِْلْٱهو ِلْدهعْلٱِب ُرُمْأهي
ِئ
ىِذ
ىهبْرُقْلٱ
ىىههْ نه يهو
ِنهع
ِءاهشْحهفْلٱ
ِرهكنُمْلٱهو
ِىْغه بْلٱهو
هي
ْمُكُظِع
ْمُكَّلهعهل
هنوُرَّكهذهت
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah SWT melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Segala bentuk hubungan seksual yang dilakukan tidak sah dalam segala
bentuk atau manifestasinya adalah suatu tindak pidana dan dilarang, bagi syariat
Islam perbuatan itu merupakan kejahatan yang sangat keji yang menggerogoti
nilai-nilai moral.
8Setiap hubungan seksual yang diharamkan itu termasuk zina
baik dilakukan oleh yang sudah berkeluarga atau yang lajang asal ia tergolong
orang mukalaf, meskipun dilakukan atas dasar rela sama rela atau suka sama
suka tetap saja merupakan tindak pidana. Konsep ini bertujuan untuk mencegah
adanya perbuatan menyebarluaskan kecabulan dan kerusakan akhlak serta
menumbuhkan pandangan bahwa perzinaan itu tidak hanya mengorbankan
6 Djazuli, Fiqih Jinayah, h., 13.
7 Forum Kajian Ilmiah (FKI) Ahla Shuffah 103, Tafsir Maqashidi Kajian Tematik Maqashid Al-Syari’ah, ( Lirboyo: Lirboyo Press, 2013) h., 190.
8 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas, (Bandung: Asy Syaamil Press & Grafika, 200)1 h., 79.
kepentingan perorangan tetapi kepentingan masyarakat pula.
9Kemudian,
apakah kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak itu terbukti dan dalam
Hukum Islam apakah termasuk pada had zina atau termasuk pada kategori takzir
yang hukumannya di serahkan pada penguasa sehingga berat atau ringannya
hukuman diserahkan pada pemerintah atau pengadilan.
Kekerasan seksual adalah kontak seksual yang tidak dikehendaki oleh salah
satu pihak. Terdapat dua unsur dalam kekerasan seksual yaitu kekerasan dalam
bentuk verbal yaitu dengan mengancam dan kekerasan dalam bentuk tindakan
konkret yaitu memaksa dan memperkosa.
10Kekerasan seksual menjadi
perhatian khusus di Negara Indonesia ini, berdasarkan catatan kekerasan
terhadap perempuan tahun 2018 Komnas Perempuan bahwa pelaku kekerasan
seksual ranah pribadi yang tertinggi dilakukan oleh pacar, sementara dalam
KDRT menjadi kedua terbesar adalah ayah kandung, paman, suami, sepupu dan
saudara atau kerabat, sedangkan dalam bentuk dan jenis kekerasan di ranah
publik dan komunitas adalah pencabulan 1.136 kasus dan pelecehan seksual 394
kasus kemudian persetubuhan sebanyak 156 kasus yang pelaku tertingginya
adalah tetangga.
11Data catatan tahunan Komnas Perempuan di atas dapat disimpulkan bahwa
pencabulan, pelecehan seksual dan persetubuhan masih banyak terjadi di
Indonesia, sebagai bentuk prihatin atas kasus tersebut dan upaya untuk
mengurangi kasus ini serta ingin memberikan efek jera bagi pelaku karena dari
tahun ke tahun kasusnya semakin meningkat dan itu artinya belum memiliki efek
jera bagi pelaku. Oleh karena itu pemerintah mengesahkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang yang menambahkan beberapa
9 Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi, h., 36.
10 Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, (Yogyakarta: Medproses Digital, 2015), h., 2.
11 Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Artikel Ini Diakses Dari
pasal.
12Kemudian dalam Hukum Positif, apakah kekerasan seksual yang pelaku
lakukan itu termasuk kategori tindak pidana atau hanya kenakalan remaja saja
yang hukumannya hanya dikembalikan pada orang tua tanpa mementingkan
korban yang telah mempengaruhi psikologis korban seperti merasa minder, tidak
punya masa depan yang cerah, malu dan adanya labelisasi yang negatif kepada
korban dari masyarakat, sehingga mungkin saja kasus-kasus seperti ini akan
banyak terjadi lagi pada masa mendatang sehingga membuat para korban
semakin enggan untuk melaporkan kasus-kasus seperti ini kepada pemerintah.
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak di bawah umur yang di
laporkan pada Pengadilan Negeri Serang ini sangat menarik untuk di teliti, selain
pelakunya masih di bawah umur, korban dari kasus ini juga masih di bawah
umur, tindakan seksual antara pelaku dan korban disaksikan atau ditonton oleh
teman-temannya beberapa kali serta hakim dalam pertimbangannya
menganggap bahwa tindakan yang dilakukan pelaku yang berusia 17 tahun
hanya dianggap sebagai kenakalan remaja karena masih berada pada masa
pubertas sehingga hakim memberikan hukuman dengan diberikan tindakan
pengembalian kepada orang tua berdasarkan keputusan dari Pengadilan Negeri
Serang dengan Nomor 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Serang pada bulan Mei 2019,
namun apakah dengan dikembalikannya pelaku kepada orang tua dapat
memberikan kemaslahatan bagi pelaku, korban dan lingkungan sekitarnya,
padahal pelaku yang masih di bawah umur menurut Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa anak di pandang
sebagai korban dari lingkungan bukan pelaku, maka apakah dengan
dikembalikannya kepada orang tua berarti dia kembali pada lingkungan yang
salah atau seharusnya diberikan pembelajaran kepada pelaku dengan
memberikan pengetahuan tentang seks bebas dan dampaknya serta tidak
mengulangi tindakannya.
13
12 Raynaldo Ghiffari Lubabah, DPR sahkan Perppu Kebiri menjadi Undang-Undang,
Artikel Ini Diakses Dari https://www.merdeka.com/politik/dpr-sahkan-perppu-kebiri-menjadi-undang-undang.html Diakses Pada Tanggal 13 Agustus 2019 Pukul 20.00 WIB
13 Imam B Carito, Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak Divonis Bebas, Hakim PN Serang Tuai Kecaman, Artikel Ini Diakses Dari
http:/satubanten.com/pelaku-kekerasan-seksual-pada-B. Pokok Permasalahan
1. Identifikasi masalah
a. Bagaimana ketetapan hukum tindak pidana kekerasan seksual oleh anak
menurut Hukum Positif dan Hukum Islam?
b. Bagaimana hukum tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh
anak di bawah umur menurut Hukum Positif dan Hukum Islam?
c. Apakah Putusan Hakim Nomor 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg telah
sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif?
2. Pembatasan masalah
a. Hukum Islam yang dimaksud adalah Hukum Pidana Islam
b. Hukum Positif yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menjadi Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
c. Difokuskan untuk mengetahui tentang tindak pidana kekerasan seksual
antar anak. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan ini dalam bentuk penelitian, sehingga peneliti menetapkan
judul “Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh Anak Dalam Pandangan
Hukum Islam (Studi Putusan Nomor 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg)”
3. Rumusan masalah
a. Apakah Putusan Hakim Nomor 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg telah
sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah:
anak-divonis-bebas-hakim-pn-serang-tuai-kecaman/ Diakses Pada Tanggal 18 Juli 2019 Pukul 13.30 WIB
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui
kesesuaian
Putusan
Hakim
Nomor
13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan hal yang
baru dalam perkembangan Hukum Islam dan Hukum Positif khususnya
terkait bidang Hukum Pidana Islam dan Positif. Penelitian ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang kekerasan seksual
oleh anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Putusan No.
13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg).
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan hasil
pemikiran tentang kekerasan seksual oleh anak menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif (Studi Putusan No. 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg) bagi
umat Islam
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif-normatif yaitu
penelitian yang digunakan deskriptif analisis, yaitu mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam Hukum Positif dan Hukum Islam.
142. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang penulis lakukan dalam menganalisis data ini adalah
pendekatan perbandingan (comparative approach) yaitu kegiatan untuk
membandingkan hukum dalam suatu negara yaitu Hukum Islam dan Hukum
Positif seperti di Indonesia.
153. Sumber Data
a. Data Primer
14 Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Hukum Positif, (Bandung: Bayu Media, 2006), h.,
295.
Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer adalah sumber data utama yang dapat dijadikan jawaban terhadap
masalah penelitian.
16Buku-buku yang berkaitan dengan bahan penulisan
antara lain yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kitab-kitab fikih,
buku-buku yang membahas perkara pidana di Indonesia, Putusan Pengadilan
Negeri Serang Nomor 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg sebagai data primer
penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum.
17Penulis
menggunakan data penelitian ini dengan mempelajari buku kepustakaan,
media cetak, internet, serta materi kuliah yang berkaitan dengan
pembahasan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang
dikemukakan dilakukan melalui metode penelitian kepustakaan (library
research), yaitu data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,
buku-buku, dokumen resmi, jurnal dan hasil penelitian.
185. Teknik Analisa Data
Analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap
data primer dan sekunder.
196. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan penulisan proposal skripsi ini, penulis merujuk pada
buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang Diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.
16 Beni Ahmad Sabeni, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h., 138. 17 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal 54 18 Zainuddin Ali, Metode Penelitian, h., 107.
E. Kajian Terdahulu
1. Musyafa Abdul Munim, 12210022, Program Studi Ahwal
Al-Syakhshiyyah, Tahun 2016, UIN Maulana Malik Malang, dengan judul
skripsi Perlindungan Anak Dari Pelaku Kekerasan Seksual (Studi Pandangan
Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Malang serta Kantor Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Malang Terhadap Pasal 81
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Perlindungan Anak ). Dalam skripsi ini hasil penelitiannya adalah
seluruh informan setuju terhadap hukuman yang tertuang dalam Pasal 81
PERPU No. 1 Tahun 2016. Hukuman penjara seumur hidup, hukuman mati,
dan pengumuman identitas pelaku menurut sebagian informan sudah sesuai
dengan Jinayah Islam, namun seluruh informan tidak setuju dengan hukuman
kebiri. MUI tidak setuju dengan adanya efek yang timbul yakni perubahan
sifat dan karakter ke arah perempuan, sedangkan KP3A tidak setuju dengan
hukuman kebiri apabila hasrat seksualnya tidak dapat hilang secara
permanen. Hukuman bagi pelaku dan dilihat dari dampak yang dialami
korban, maka mereka lebih setuju hukuman penjara seumur hidup dan
hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual anak. Adapun perbedaannya
dengan penulis yaitu objek kajian penulis adalah kekerasan seksual oleh anak
dalam pandangan Hukum Islam dengan menggunakan Studi Putusan
No.13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg.
2. Nurliza Fitriyani Brangkat, 130200397, Fakultas Hukum, Universitas
Sumatera Utara, dengan judul Tindakan Kebiri Kimia (Chemical Castration)
Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak Menurut Persepsi Aparat
Penegak Hukum Dan Hukum Islam. Dalam skripsi ini hasil penelitiannya
adalah aparat penegak hukum menyatakan hukuman kebiri adalah hukuman
yang tepat diberikan bagi kejahatan seksual yang telah dilakukannya.
Beberapa kesulitannya yaitu dalam eksekusinya sulit ditemukan eksekutor
tindakan ini, sulit untuk bekerja sama dengan masyarakat serta sinergi antara
sesama aparat penegak hukum, sementara dalam Hukum Islam berbeda
dengan Hukum Positif Indonesia, Hukum Islam dengan tegas bahwa semua
bentuk kebiri yang dilaksanakan kepada manusia adalah haram hukumnya,
karena Islam juga sudah memiliki pengaturan dan hukuman yang jelas atas
segala bentuk kejahatan kesusilaan. Adapun perbedaannya dengan penulis
adalah objek kajian penulis adalah kekerasan seksual oleh anak dalam
pandangan Hukum Islam dengan menggunakan Studi Putusan
No.13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg.
3. Azmi, 03110021, Depatement Of Islamic Religion Education, Faculty Of
Islamic Studies, Tahun 2007, Universitas Muhammadiyah Malang, dengan
judul tesis Child Abuse (Kekerasan seksual) Dalam Perspektif Pendidikan
Islam (Studi Deskriptif Terhadap Kekerasan Pada Anak Dalam Perspektif
Pendidikan Islam). Hasil penelitian dalam tesis ini adalah bahwa akibat Child
Abuse (Kekerasan seksual) ada dua yaitu faktor internal yang bersumber pada
pribadi anak seperti sters, dan faktor eksternal yang bersumber dari luar
pribadi anak sepeti dari pendidik dalam hal ini adalah guru, orang tua, dan
pengasuh. Adapun perbedaannya dengan penulis adalah kajian penulis dalam
skripsi ini yaitu kekerasan seksual oleh anak dalam pandangan Hukum Islam
dengan menggunakan Studi Putusan Nomor 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg.
4. Fachria Muntihani, Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, Fakultas
Syariah dan Hukum, 2017, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,
dengan judul skripsi Implementasi UU No.35 Tahun 2014 dalam Tindak
Pidana Kekerasan Seksual yang Melibatkan Anak Sebagai Pelaku dan
Korban (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Sungguminasa). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa Aturan hukum mengenai perlindungan anak di
Indonesia dibahas pada UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak
yang memberikan penjelasan mengenai perlindungan anak secara jelas, baik
hak, kewajiban dan segala hal yang berhubungan dengan anak. Implementasi
dari UU No. 35 tahun 2014 dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan
anak di PN Sungguminasa dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dalam hukum Islam, kekerasan seksual yang melibatkan anak dikategorikan
jarimah yang dihukum dengan ta’zir. Hukuman ta’zir ini diberikan berupa
penjilidan yang jumlah jilidnya ditentukan oleh pemerintah dan tidak lebih
dari sepuluh kali dera. Selain itu takzir juga memberikan hukuman ta’zir yang
hukumannya lebih ringan dari hukuman. Adapun perbedaannya dengan
penulis adalah objek kajian penulis dengan menggunakan Studi Putusan
No.13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg menurut Hukum Islam saja.
F. Sistematika Penulisan
BAB I, pada bab ini penulis menjelaskan pendahuluan yaitu latar belakang,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan, tinjauan pustaka
dan sistematika penulisan.
BAB II, pada bab ini penulis menjelaskan tentang tindak pidana kekerasan
seksual oleh anak dalam pandangan Hukum Islam yaitu pengertian anak,
pembebanan hukum, pengertian zina, syarat-syarat had zina, macam-macam
zina, pembuktian zina, pengertian perkosaan, dan jenis-jenis perkosaan.
BAB III, pada bab ini penulis menjelaskan tentang gambaran Putusan
Hakim Nomor 13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg yaitu deskripsi.
BAB IV, pada bab ini penulis menjelaskan tentang analisis terhadap putusan
hakim No.13/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Srg dalam pandangan Hukum
BAB V, bab ini merupakan bab terakhir dari pembahasan ini, yaitu penulis
menjelaskan tentang penutup yaitu kesimpulan dan saran-saran.
11
A. Pengertian Anak
Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keturunan yang kedua, manusia yang masih kecil, yang berada dalam masa perkembangan tertentu dan berpotensi menjadi orang dewasa.1 Anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.2 Anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran penting dalam pembangunan nasional, wajib mendapatkan perlindungan dari negara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan dari kekerasan. Menurut pengetahuan umum, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan yang diartikan anak-anak atau Juvenele adalah seorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.3 Apabila ditinjau dari aspek psikologi, anak adalah apabila ia berada pada masa bayi hingga masa remaja awal (masa bayi hingga usia antara 16-17 tahun).4
Konvensi Hak-Hak Anak secara tegas menyatakan bahwa “for the purposes of
the convention, a child, majority is attained earlier” yang dimaksud dengan anak
menurut konvensi ini adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun.6
1 Anton M. Moelino, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.,
30.
2 Wagianti Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h., 5. 3 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak serta Penerapannya, h., 1.
4 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak seta Penerapannya, h., 4.
5 Laurensius Arliman S, Komnas HAM Dan Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana,
(Yogyakarta: Deepublish, 2015), h., 11.
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah seorang yang belum berumur 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.7 Dalam pasal 45 KUHP seseorang yang dikategorikan berada di bawah umur atau belum dewasa apabila ia belum mencapai umur 16 tahun.8 Sedangkan dalam Pasal 283 KUHP menentukan batas kedewasaan apabila sudah mencapai umur 17 tahun9 sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 287 KUHP batas umur dewasa bagi seorang wanita adalah 15 tahun.10
Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan pada Pasal 330 KUH Perdata bahwa setiap orang yang belum menikah dan belum mencapai usia 21 tahun.11 Adapun menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yaitu seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin sebagaimana dijelaskan dalam butir 1 dan 2.12 Dalam Hukum Positif memang terjadi keberagaman mengenai batas usia anak, namun dalam hal ini yang digunakan yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan sangat erat kaitannya dengan pertanggungjawaban.
Sementara dalam Al-Qur'an menyebut anak dengan istilah yang beragam yaitu istilah al-basyar yang mengandung pengertian manusia secara fisik yang terikat oleh hukum-hukum yang menempati ruang dan waktu. Sedangkan istilah al-insan berarti manusia yang tumbuh dan berkembang, dengan kata lain, al-insan merujuk pada kualitas kesadaran dan pemikiran manusia terhadap kehidupan.13 Ada juga yang disebut dengan istilah al-tifl yaitu anak yang belum mencapai usia balig atau
7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h., 3.
8 Andi Hamzah, KUHP&KUHAP, h., 23. 9 Andi Hamzah, KUHP&KUHAP, h., 113.
10 Andi Hamzah, KUHP&KUHAP, h., 15. Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak seta Penerapannya, h., 7.
11 Subekti dan Tjitrosubdibo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Pradaya Paramita, 2002), h., 90.
12 Redaksi Sinar Grafika, UU Kesejahteraan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h., 52.
13 Musa Asy'ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an, (Yogyakarta: LESFI,
menjelang usia balig.14 Adapun istilah ibn yang berarti anak,15 sedangkan istilah
zurriyah diartikan sebagai anak, cucu dan keturunan.16 Istilah lain yaitu walad berarti anak-anak yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an.17 Ada juga istilah gulam berarti seorang anak muda.18 Oleh karena itu anak yang digunakan dalam hal ini adalah anak yang secara fisik ada di dunia ini mulai dari manusia itu baru lahir sampai mencapai usia dewasa.
Anak dalam Hukum Islam sangat berkaitan erat dengan aqil dan balig,
mengenai
pembatasan usai aqil balig menurut para ulama yaitu pertama, mayoritas ulama
berpendapat bahwa ketika anak telah bermimpi sehingga mengeluarkan air
mani untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan yaitu haid serta usia anak
telah mencapai usia genap 15 tahun berdasarkan hadis di bawah ini.
19اَنَ ثَّدَح ،ٍرْيَمُن ِنْب ِللها ِدْبَع ُنْب ُدَّمَحُم اَنَ ثَّدَح
ٍعِفاَن ْنَع ،ِللها ُدْيَ بُع اَنَ ثَّدَح ،يِبَأ
ِنَع ،
" :َلاَق ،َرَمُع ِنْبا
ُأ َمْوَ ي َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها ىَّلَص ِللها ُلوُسَر يِنَضَرَع
َعَبْرَأ ُنْبا اَنَأَو ،ِلاَتِقْلا يِف ٍدُح
َع
،يِنْزِجُي ْمَلَ ف ،ًةَنَس َةَرْش
َس َةَرْشَع َسْمَخ ُنْبا اَنَأَو ، ِقَدْنَخْلا َمْوَ ي يِنَضَرَعَو
َلاَق ،يِنَزاَجَأَف ،ًةَن
ُتْمِدَقَ ف :ٌعِفاَن
ِدْبَع ِنْب َرَمُع ىَلَع
ٍذِئَمْوَ ي َوُهَو ِزيِزَعْلا
َحْلا اَذَه ُهُتْ ثَّدَحَف ،ٌةَفيِلَخ
:َلاَقَ ف ،َثيِد
«
دَحَل اَذَه َّنِإ
ِريِغَّصلا
،ِريِبَكْلاَو
ىَلِإ َبَتَكَف
َةَرْشَع َسْمَخ َنْبا َناَك ْنَمِل اوُضِرْفَ ي ْنَأ ِهِلاَّمُع
ِلاَيِعْلا يِف ُهوُلَعْجاَف َكِلَذ َنوُد َناَك ْنَمَو ،ًةَنَس
»
20Artinya: “Aku menawarkan diriku kepada Rasulullah SAW untuk ikut
berperang dalam perang uhud, waktu itu aku berumur empat belas tahun, tetapi
Rasulullah SAW tidak memperkenankan diriku. Dan aku kembali
menawarkan diriku pada waktu perang khandaq sedangkan aku (pada saat itu)
14 Muḥammad Fuād Abdul Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahrasyli Alfāẓ Al-Qur'ān al-Karīm
(Beirut: Dār al-Kutb al-Miṣriyah, 2008), hal.427
15 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1980),
h., 444.
16 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h., 22.
17 Muḥammad Fuād Abdul Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahrasyli Alfāẓ Al-Qur'ān al-Karīm,
h., 126-139.
18 Muḥammad Fuād Abdul Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahrasyli Alfāẓ Al-Qur'ān al-Karīm,
h., 505.
19 Al Imam Jalaludin Al Mahaly Dan Jalaludin As Syuyuthi, Tafsir Al-Qur’an Al Karim Juz 1, (Beirut: Daar al Fikr, 1998), h., 98.
20 Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah; Bab Thalaq Mu’tawihu Al-Shaghir wa al-Naim, (Kairo: Dar Al-Ihya al-Kutub, 1997), h., 568
berumur lima belas tahun, maka Rasulullah SAW memperkenankan diriku.
Nafi’ menceritakan, “lalu aku datang kepada Umar Ibnu Abdul Aziz pada saat
itu menjabat sebagai khalifah dan aku ceritakan kepadanya hadis ini, maka ia
berkata “sesungguhnya hal ini merupakan batas antara usia anak-anak dengan
usia dewasa” Oleh karena itu berdasarkan hadis di atas bahwa seseorang
dianggap dewasa ketika telah mencapai umur 15 tahun, sehingga segala
perbuatannya dapat dimintai pertanggungjawaban. (HR. Ibnu Majah)
Kedua, menurut Imam Abu Hanifah batas usia balig minimal 12 tahun
bagi laki-laki dengan kriteria ihtilam yaitu mimpi keluar mani dalam keadaan
tidur atau terjaga, dan bagi perempuan sudah mencapai usia 9 tahun (usia
perempuan yang pada umumnya sudah haid).
21Ketiga, menurut Imam Malik
batas usia balig bagi laki-laki dan perempuan yaitu genap 18 tahun atau genap
17 tahun memasuki usia 18 tahun, adapun tanda-tanda balig bagi perempuan
yaitu haid dan hamil sedangkan untuk laki-laki adalah keluar air mani baik
dalam keadaan tidur atau terjaga, tumbuhnya rambut di sekitar organ intim,
tumbuhnya rambut di ketiak, indra penciuman hidung menjadi peka dan
perubahan pita suara. Keempat, menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali untuk
laki dan perempuan apabila telah sempurna 15 tahun, kecuali bagi
laki-laki telah ihtilam dan perempuan telah haid sebelum usia genap 15 tahun maka
keduanya dinyatakan telah balig.
22Oleh karena itu orang yang gila atau cacat
akal, orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai dewasa belum bisa
bertanggungjawab terhadap hal-hal tertentu, sehingga menjadi penghalang
dalam pertanggungjawaban seseorang.
B. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual menurut Irsyad Thamrin dan Farid adalah semua
bentuk ancaman dan pemaksaan seksual.
23Wahid dan Irfan menyatakan
21 Abu Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an Jilid V, (Beirut: Daar al Fikr, 1967), h., 37.
22 Muhammad Ali Sabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Fi Ayat Ahkam Min Al-Qur’an, Saleh Mahfud, Tafsir Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Al-Qur’an, (Bandung: Al-Ma’arif,
1994), h., 362.
23 Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, (Yogyakarta: Medpress Digital, 2015), h., 1.
kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual
deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban
dan merusak kedamaian di tengah masyarakat.
24Rusmil mengemukakan kekerasan seksual yaitu bila anak mendapat
perlakuan seksual oleh orang dewasa, termasuk di dalamnya merayu anak
untuk menyentuh atau disentuh genitalianya, hubungan kelamin dalam semua
bentuk baik genital, oral atau sodomi.
25Kekerasan seksual menurut WHO
Consultation On Child Abuse Prevention yaitu pelibatan anak dalam kegiatan
seksual, di mana anak sendiri tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu
memberi persetujuan atau oleh karena perkembangannya belum siap atau tidak
dapat memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau pantangan
masyarakat.
26Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan pengertian
tentang kekerasan seksual dalam pasal 285, disebutkan bahwa barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan
istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum karena memperkosa,
dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Sedangkan di dalam pasal
289 KUHP disebutkan barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya
perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman
penjara selama-lamanya sembilan tahun.
27Kekerasan seksual dalam Hukum Islam kekerasan itu berarti aniaya
(dhalim), apabila padankan dengan seksual maka dapat diketahui bahwa
24 Zahrotul Uyun, Kekerasan Seksual Pada Anak: Stres Pasca Trauma, Proceeding
Seminar Nasional: Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal, (Fakultas Psikologi: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015), h., 299. Diakses dari https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/ diakses pada tanggal 14 September 2019 pukul 13.00 WIB
25 Zahrotul Uyun, Kekerasan Seksual Pada Anak: Stres Pasca Trauma, Proceeding
Seminar Nasional: Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal, (Fakultas Psikologi: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015), h., 230. Diakses dari https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bitstream/handle/11617/ diakses pada tanggal 14 September 2019 pukul 13.00 WIB
26 Kordi, M.Ghufran, Durhaka Kepada Anak, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015), h.,
93.
kekerasan seksual yaitu seluruh tindakan yang berorientasi pada seksual yang
mengandung unsur aniaya, unsur aniaya di sini yaitu pemaksaan (ikrah) seperti
pemerkosaan namun apabila keduanya saling menikmati maka itu termasuk
kategori zina. hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT di bawah ini.
ِجاَوْزَأ ََٰىَلَع َّلَِّإ َنوُظِفاَح ْمِهِجوُرُفِل ْمُه َنيِذَّلاَو
ْمُهَّ نِإَف ْمُهُ ناَمْيَأ ْتَكَلَم اَم ْوَأ ْمِه
َغ
يغتبا نمف َنيِموُلَم ُرْ ي
مه كئلوأف كلذ ءآرو
نوداعلا
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari dibalik itu, maka
mereka adalah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Mukminun:
5-7).
28C. Pembebanan Hukum
Seseorang yang dianggap mampu bertindak hukum baik itu larangan atau
perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya serta dapat
diminta
pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat merupakan orang
yang mukalaf. Adapun pengertian mukalaf adalah "لقاعلاو غلابلا", maka anak
kecil dan orang gila tidak dibebani perintah dan larangan dalam syari’at.
29Pengertian lebih luas mukalaf yaitu orang yang dianggap mampu bertindak
hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan
larangan-Nya dan seluruh tindakan hukumnya dapat dipertanggungjawabkan,
yang apabila dia mengerjakan perintah Allah SWT maka akan dapat pahala
serta kewajibannya terpenuhi dan apabila mengerjakan larangan-Nya maka
akan mendapat dosa dan kewajibannya tidak terpenuhi.
30Adapun syarat-syarat mukalaf harus memenuhi dua syarat sebagai
berikut:
28 Muhammad Syamsudin, Kekerasan Seksual Dalam Fiqih (2) Definisi Pelecehan Seksual, diakses darihttps://islam.nu.or.id/ diakses pada pukul 19.00 WIB pada tanggal 27 Januari 2020
29 Abdul Mandzur Mahmud bin Muhammad, Al-Syarhu al-Kabir LI Mukhtashar al-Ushul
min ‘Ilmi al-Ushul, (Mesir: Al-Maktabah al-Syamilah, 2011), h., 222
a. Mampu memahami dalil-dalil taklif.
31Kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklif ini hanya bisa
dibuktikan degan akal dan keberadaan nash yang ditaklifkan kepada
orang-orang yang berakal dalam kapasitas jangkauan mereka untuk
memahaminya. Sebab akal merupakan alat untuk memahami dan
dengan akal keinginan untuk mengikuti perintah akan terarah, tetapi
karena akal itu bersifat abstrak, maka syari’ mengaitkan dengan hal
konkret yaitu keadaan balig seseorang. Jadi jika seseorang telah
mencapai usia balig, tanpa adanya hal-hal yang dapat merusak
kemampuan akal, maka ia telah memenuhi syarat untuk dikenakan
taklif.
ِرْكَب وُبَأ اَنَ ثَّدَح
ِنْب ِدِلاَخ ُنْب ُدَّمَحُم اَنَ ثَّدَحو ح ،َنوُراَه ُنْب ُديِزَي اَنَ ثَّدَح :َلاَق َةَبْيَش يِبَأ ُنْب
َمَلَس ُنْب ُداَّمَح اَنَ ثَّدَح :َلاَق ٍّيِدْهَم ُنْب ِنَمْحَّرلا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح : َلَّاَق ،ىَيْحَي ُنْب ُدَّمَحُمَو ،ٍشاَدِخ
،َة
ْ بِإ ْنَع ،ٍداَّمَح ْنَع
:َلاَق ،َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها ىَّلَص ِهَّللا َلوُسَر َّنَأ ،َةَشِئاَع ْنَع ،ِدَوْسَْلْا ِنَع ،َميِهاَر
ِنوُنْجَمْلا ِنَعَو ،َرَ بْكَي ىَّتَح ِريِغَّصلا ِنَعَو ،َظِقْيَ تْسَي ىَّتَح ِمِئاَّنلا ِنَع :ٍةَث َلََث ْنَع ُمَلَقْلا َعِفُر "
32َأَرْ بَ ي ىَّتَح ىَلَ تْبُمْلا ِنَعَو :ِهِثيِدَح يِف ٍرْكَب وُبَأ َلاَق ،" َقيِفُي ْوَأ ،َلِقْعَ ي ىَّتَح
Artinya: ”pena diangkat karena tiga hal, yaitu orang yang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sampai ia dewasa dan orang yang gila
sampai berakal” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, berdasarkan hadis di atas maka orang gila dan
anak kecil tidak termasuk orang yang mukalaf karena tidak adanya
kemampuan akal yang cukup untuk memahami dalil-dalil taklif, begitu
juga dengan orang yang tidur, lalai dan mabuk.
b. Seseorang yang telah mampu bertindak hukum (Ahliyah)
33
31 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Maktabah Da’wah
Al-Islamiyah, 1942), h., 134-135.
32 Muslim Ibn Al-Hujjaj Al-Naisabur, Musnad al Shahih; Bab Bayan al-Sinna al Bulugh,
(Beirut: Dar al-Ihya al-Turats), Juz. 3, h., 1490.
Ahliyah merupakan yang menunjukkan sifat seseorang yang
telah sempurna baik secara jasmani maupun akalnya, sehingga orang
yang telah memiliki sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu
tindakan hukum. Tetapi kemampuan bertindak hukum itu tidak datang
secara sekaligus, tapi melalui tahapan-tahapan tertentu sesuai dengan
perkembangan jasmani dan akalnya. Adapun pembagiannya sebagai
berikut:
1) Ahliyah al-wujub yaitu kelayakan untuk menerima hak-hak
dan dikenai kewajiban.
34Ahliyah al-wujub ini terbagi dua
yaitu pertama, Ahliyah al-wujub secara lemah, yaitu
kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak
menerima kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.
Contohnya yaitu bayi dalam kandungan ibunya, bayi atau
janin itu berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan
wasiat meskipun ia belum lahir. Realisasi dari hak itu berlaku
setelah dia lahir dalam keadaan hidup, bayi dalam kandungan
tidak dibebani apa-apa, karena secara jelas belum bernama
manusia. Kedua, Ahliyah al wujub secara sempurna, yaitu
kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk
menerima hak. Contohnya anak yang baru lahir, di samping
pasti menerima warisan dari orang tuanya atau kerabatnya, ia
juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah yang
pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya.
352) Ahliyah Ada’ yaitu kelayakan seseorang yang diperhitungkan
segala tindakannya menurut hukum baik ucapan maupun
perbuatan.
36Jadi Ahliyah Ada’ adalah orang yang dapat
34 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.,
426. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, h., 3.
35 Sapiudin Shidiq. Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h., 149.
36 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, h., 137. Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h., 72. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, h., 2.
dimintai
pertanggungjawaban
karena
telah
mampu
membedakan dengan akal yang ia miliki.
Adapun Ahliyah Ada’ terbagi dalam tiga bagian yaitu:
37pertama, terkadang manusia sama sekali tidak mempunyai
Ahliyah Ada’. Hal ini terjadi pada anak kecil dan orang gila pada
usia berapa pun. Karena keadaannya tidak mempunyai akal,
sehingga tidak memiliki konsekuensi hukum syara’. Kedua,
adakalanya manusia kurang Ahliyah Ada’ yaitu orang yang
telah pintar tapi belum balig. Hal ini berkenaan dengan
anak-anak pada periode tamyiz (pandai membedakan baik dan buruk
tetapi belum balig), termasuk juga orang yang kurang akal,
karena orang yang kurang akal termasuk cacat akalnya, artinya
bukan dia tidak berakal tetapi akalnya lemah atau kurang
sempurna jadi hukumnya disamakan dengan anak kecil yang
mumayiz. Contohnya seseorang yang termasuk anak-anak pada
periode tamyiz (pandai membedakan baik dan buruk tetapi
belum balig), termasuk juga orang yang kurang akal atau cacat
akalnya dalam melakukan sebuah transaksi, maka sahnya suatu
akad dan transaksi yang dilakukan seseorang yang mumayiz dan
kurang sempurna akalnya tergantung pada izin walinya karena
didasarkan pada kurangnya sifat Ahliyah Ada’ yang mereka
miliki. Ketiga, adakalanya memiliki Ahliyah Ada’ yang
sempurna seperti orang yang telah mencapai akil balig. Jadi
orang yang telah balig dengan memiliki akal yang sempurna,
maka orang yang balig karena usia atau tanda yang
menunjukkannya maka dia dianggap berakal dan Ahliyah
(memiliki sifat layak) untuk melaksanakan berbagai transaksi
dan dikategorikan sempurna Ahliyahnya selama tidak ada yang
menunjukkan rusak atau kurangnya akal.
37 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.,
D. Zina
1. Pengertian Zina
Zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena
pernikahan yang sah, bukan karena syubhat dan bukan pula karena
pemilikan (budak).
38Berikut ini pengertian zina menurut para ulama:
Menurut ulama Malikiyah
انزلا
ءطو
لكم
جرفف
ىمدأ
دمعت قافتاب هيف هل كلملإ
Artinya: “Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang
mukalaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara
disepakati dengan kesengajaan”.
39Adapun menurut ulama Hanafiah
انزلأ
ؤهف
مسا
ىف مأرحلا ءطولل
بق
ل
ا
ةأرمل
ةيحلا
ىف
ةلاح
رايتخلْأ
ف
ى
راد
لدعلا
نمم
مزتلا
ماكحأ
ملإسلَّا
نع ىراعلا
كلملااةقيقح
و
نع
هتهبش
Artinya: “Zina adalah nama dari persetubuhan yang haram dalam
qubul (kemaluan) seseorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan
ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh
orang-orang kepadanya berlaku hukum islam dan wanita tersebut bukan
miliknya dan tidak ada subhat dalam miliknya”.
40Menurut pendapat ulama Syafi’iyah
انزلا
وه
لا جلآيا
ذ
رك
نم لاخ هنيعل مرحم جرفب
ىهتشم ةهبشلا
بط
اع
Artinya: “Zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang
diharamkan karena zatnya tanpa ada subhat dan menurut tabiatnya
menimbulkan syahwat".
41Sedangkan menurut ulama Hambali yaitu:
انزلا
ؤه
لعف
ةشحافلا
ىف
لبق
رب د ؤأ
38 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Jilid 3, (Kairo: Daar
Al-Hadis, 2004), h.,219.. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz 6, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1985), h., 26. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h., 2026. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus
Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2005), h., 362.
39Abd Qadir Audah, At-Tasyri’ Al Jinaiy Al –Islamy Juz II, (Beirut: Dar Kitab
Al-Arabi, T Thn), h., 349.
40 ‘Ala’ Ad Din Al Khasani, Kitab Badai’Ash Shanai fi Tartib Asy-Asyarai Juz VII,
(Beirut: Dar Al Fikr, 1996), h., 49.
Artinya: "Zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuhan),
baik terhadap qubul (farji) atau dubur".
422. Syarat-Syarat Had Zina
Terdapat beberapa syarat had zina yang harus terpenuhi yaitu sebagai
berikut:
43a) Pelaku adalah orang balig
b) Pelaku adalah orang yang berakal
c) Pelaku adalah orang muslim menurut Ulama Malikiyah
d) Pelaku melakukan perzinaan atas kemauan sendiri, tidak dalam
keadaan terpaksa
e) Perzinaan yang dilakukan adalah dengan manusia
f) Perempuan yang dizinai harus perempuan yang memang sudah
bisa disetubuhi
g) Perzinaan yang dilakukan tanpa ada unsur syubhat di dalamnya
h) Pelaku mengetahui hukum keharaman berzina
i) Perempuan yang dizinai bukan perempuan harbi di daarul harb
(kawasan negeri musuh) atau daarul baghyi (kawasan yang
dikuasai oleh kelompok pemberontak)
j) Perempuan yang dizinai adalah orang hidup
3. Macam-Macam Zina
Adapun macam-macam zina terbagi menjadi tiga bagian, diantaranya
sebagai berikut:
a) Pezina Muhsan Merdeka dan Sudah Kawin
44Kaum muslimin sepakat bahwa hukuman para pezina
terebut adalah rajam. Menurut jumhur fuqaha hukuman mereka
itu adalah rajam karena berpedoman pada keshahihan hadis yang
42Abdullah Ibn Muhammad Ibnu Qudamah, Al Mugni, Juz VIII, (Dar Al Manar, 1368
H), h., 181.
43 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz 6, (Damaskus: Daar Al-Fikr,
1985), h., 36-38.
44 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz 6, (Damaskus: Daar Al-Fikr,
terkait dengan rajam. Jadi, mereka mentakhsiskan al-Qur’an
dengan al-hadis, yakni firman Allah SWT:
45اَمُهْ نِم ٍدِحاَو َّلُك اْوُدِلْج اَف ْيِناَّزْلاَو ُةَيِنَّزلا
ٍةَدْلَج َةىَءاِم
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali
dera” (QS, an-Nur: 2).
لَّ ينازلا نإف ،ليصفت هيف ءاملعللو دحلا يف ينازلا مكح اهيف ةميركلا ةيلآا هذه ينعي
حاكن يف ئطو يذلا وهو اًنصحم وأ ،جوزتي مل يذلا وهو ًاركب نوكي نأ امإ ولخي
لج ةئام هدح نإف جوزتي مل ًاركب ناك اذإ امأف ،لقاع غلاب رح وهو حيحص
يف امك ةد
يبلْ ًافلَخ ،ءاملعلا روهمج دنع هدلب نع ًاماع برغي نأ امإ كلذ ىلع دازيو ،ةيلآا
مل ءاش نإو بّرغ ءاش نإ ماملإا يأر ىلإ بيرغتلا نأ هدنع نإف هّللا همحر ةفينح
46برغي
Ayat yang di atas (QS, an-Nur: 2) menjelaskan tentang had
pezina, dan para ulama dalam hal ini memiliki perincian. Yang
dinamakan pezina, tidak mengenyampingkan kondisi yang
kadangkala pelakunya adalah perempuan yang masih perawan
dan belum menikah, dan adakalanya merupakan orang yang
terjaga kehormatannya, yaitu orang yang melakukan pernikahan
secara shahih sementara ia adalah seorang yang merdeka, baligh
dan berakal. Jika pelaku adalah perempuan yang masih perawan
dan belum menikah, maka had baginya adalah 100 kali cambukan
sebagaimana bunyi ayat. Had ini ditambah adakalanya dengan
cara mengasingkannya selama satu tahun dari negaranya,
sebagaimana hal ini adalah kesepakatan jumhur ulama kecuali
Imam Abu Hanîfah. Menurut Abu Hanifah, pandangan perlu
diasingkan atau tidak adalah mengikut pada pandangan Imam.
Jika imam memutus perlu pengasingan maka diasingkan, namun
jika diputus tidak perlu, maka tidak diasingkan.
47
45 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Jilid 3, h., 218. Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu Jilid 6, h., 42. Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar,
Maqashid Syariah, (Jakarta: Amzah, 2009), h., 138.
46 Ismâ’îl ibn Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-‘Adhîm Juz 6, (Beirut: Dâr Thayibah,
2002), h., 10.