• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Industri Jamu sebagai Industri Warisan Budaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Industri Jamu sebagai Industri Warisan Budaya."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

1

ANALISIS INDUSTRI JAMU SEBAGAI INDUSTRI WARISAN BUDAYA

Oleh :

Jahja Hamdani Widjaja - Universitas Kristen Maranatha -

ABSTRACT

Jamu is Indonesian distinctive herbs as well as a kind of Indonesian cultural heritage that could be a source of jamu firm’s competitive advantage in global market. Global issue such as ‘back to nature’ has given a wide range of opportunities for jamu business further development. But, the real situation in Indonesia now is just as the opposite. There are some obstacles, both endogenous as well as exogenous, that threatened the sustainability of jamu industry. This paper was based on an explorative study which conducted literature study as well as field study to capture current phenomena in jamu industry and aimed to suggest further development of jamu industry. This research concluded some suggestions for both firms as players in jamu industry as well as government as industry regulator.

(12)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

2

1. PENDAHULUAN

Bisnis adalah inidividu atau organisasi yang berupaya mendapatkan laba dengan cara menyediakan produk yang memuaskan kebutuhan masyarakat [1]. Bisnis harus mampu menemukan apa yang diinginkan pelanggan, bagaimana cara penyajiannya, bagaimana perusahaan mengatur diri untuk dapat memenuhi keinginan tersebut, dan mendapatkan pembayaran yang akan menghasilkan laba bagi perusahaan [2]. Dengan demikian terdapat dua aktivitas utama bagi bisnis yaitu mencipta nilai bagi pelanggan dan menangkap nilai (laba) [3]. Aktivitas mencipta nilai mencakup mulai dari penyediaan bahan baku, pembuatan produk, hingga terciptanya kepuasan konsumen akhir. Penangkapan nilai mencakup bagaimana perusahaan mendapatkan nilai bagi dirinya hasil dari aktivitas-aktivitas penciptaan nilai bagi konsumen.

Namun, bisnis ternyata tidak hanya melihat dua buah, wirausaha dan pasar, saja. Kinerja perusahaan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di mana perusahaan itu berada [4], seperti pesaing, produk substitusi, bahkan kebijakan pemerintah dan dinamika sosiobudaya. Keberhasilan suatu perusahaan sangat bergantung pada kemampuannya untuk memberi respon yang tepat terhadap tuntutan-tuntutan lingkungannya [5]. Hal ini berlaku pula bagi perusahaan jamu.

Jamu merupakan produk warisan budaya Indonesia [6] yang dapat digunakan baik untuk perawatan kesehatan maupun untuk perawatan kecantikan (kosmetika) [7]. Kategori sebagai warisan budaya terhadap jamu didasarkan pada fenomena bahwa pada awalnya penggunaan jamu didasarkan pada kebiasaan yang ada di masyarakat. Secara peraturan, jamu untuk perawatan kesehatan dibedakan dari kosmetika. Industri kosmetika secara relatif memiliki aturan yang lebih mudah daripada industri kesehatan, karena produk kosmetika lebih bersifat penggunaan di luar tubuh manusia. Sedangkan, jamu untuk kesehatan diatur secara lebih ketat karena merupakan penggunaan di dalam tubuh (dikonsumsi). Dengan demikian, kondisi industri jamu kesehatan memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi daripada industri kosmetika.

Penelitian ini lebih fokus pada industri jamu untuk kesehatan dan bertujuan untuk mengungkap kondisi industri jamu serta memberikan masukan bagi perkembangan selanjutnya. Industri jamu dipilih karena merupakan industri khas Indonesia yang semestinya memiliki keunggulan bersaing dibandingkan industri oat farmasi. Bahkan, industri jamu dapat menjadi cikap bakal berkembangnya industri biofarmasi [8]. Namun, kenyataan di lapangan saat ini cenderung sebaliknya. Selain kurang memiliki arah yang jelas tentang perkembangannya ke depan, industri jamu saat ini mendapat tantangan kuat akibat perubahan lingkungan industri baik dari sisi pasar, pemerintah maupun pelaku industri.

2. METODE PENELITIAN

(13)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

3

Jamu maupun pengurus Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia Jawa Barat untuk

mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang industri jamu.

Populasi dalam penelitian ini adalah industri jamu. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan jamu, distributor jamu, dan organisasi Gabungan Pengusaha Jamu.

3. LANDASAN TEORI 3.1 Manajemen Strategik

Studi manajemen strategik fokus untuk mencari dan menjelaskan faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja perusahaan [10]. Manajemen strategik dipahami sebagai serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang mempengaruhi kinerja perusahaan dalam jangka panjang [11]. Untuk mendapatkan keputusan dan tindakan manajerial yang tepat maka [11] mengusulkan model dasar manajemen strategik yang diawali oleh pemindaian lingkungan, formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi serta pengendalian (gambar 1.)

Gambar 1. Model Dasar manajemen Strategi Wheelen dan Hunger (2005)

Pemindaian lingkungan merupakan aktivitas memonitor, mengevaluasi, dan menyebarkan informasi tentang lingkungan eksternal maupun internal kepada orang kunci dalam perusahaan [11]. Lingkungan eksternal merupakan kekuatan-kekuatan yang berada di luar organisasi dan dalam jangka pendek cenderung di luar kendali perusahaan serta lebih banyak memberi pengaruh bagi perusahaan daripada dipengaruhi oleh perusahaan. Lingkungan internal merupakan merupakan kekuatan-kekuatan yang berada di dalam perusahaan dan dalam jangka pendek cenderung berada di dalam kendali perusahaan serta lebih banyak ditentukan oleh perusahaan daripada mempengaruhi perusahaan.

Agar suatu perusahaan dapat meningkatkan kinerja maka menurut [12] perusahaan tersebut perlu memiliki strategi. Strategi merupakan upaya sadar dan sistematis dari perusahaan untuk membedakan dirinya dari para pesaing di pasar. Untuk melakukan hal ini maka perusahaan perlu terlebih dahulu melihat ke pasar dan menentukan posisi strategiknya. Posisis strategik ini semestinya harus memiliki kesesuaian dengan kapabilitas, kompetensi maupun sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan.

3.2 Teori Adaptasi Organisasional Terhadap Lingkungan

(14)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

4

Lingkungan organisasi terdiri dari dua elemen, yaitu kekuatan eksternal dan kekuatan internal ([15]; [11]). Menurut [15], terdapat lima kategori besar dalam kekuatan eksternal organisasi, yaitu (1) kekuatan politik, meliputi kondisi politik, sikap pemerintah, kebijakan pemerintah, regulasi dan deregulasi, undang-undang dan berbagai peraturan; (2) kekuatan ekonomi, meliputi tren PDB, suku bungan, pasokan uang, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, biaya dan ketersediaan energi, disposable income dan discretionary income, pasar barang, uang dan saham; (3) kekuatan sosial budaya, meliputi gaya hidup, tingkat pertumbuhan penduduk, distribusi usia penduduk, perilaku penduduk, kondisi lingkungan; (4) kekuatan teknologi, meliputi produk baru, perlindungan paten, perkembangan baru dalam transfer teknologi, total belanja pemerintah dalam penelitian dan pengembangan, besar belanja industri/swasta dalam penelitian dan pengembangan; (5) kekuatan persaingan, meliputi ancaman pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar menawar pemasok, daya tawar menawar pelanggan, dan persaingan antar pemain yang telah ada di industri. Kekuatan-kekuatan eksternal ini mampu mengubah permintaan konsumen terhadap barang dan jasa dalam hal jumlah, tipe, karakteristik. Sebagai contoh dalam industri jamu, sikap pemerintah yang membiarkan produk jamu asing melakukan penetrasi pasar dan tidak melakukan pembinaan terhadap perusahaan jamu lokal menyebabkan penurunan citra jamu dan memperkuat citra jamu asing.

Untuk menghadapi berbagai kekuatan lingkungan yang mempengaruhi kinerja maupun keberadaan/keberlangsungan perusahaan maka perusahaan perlu mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi. [11] menjelaskan beberapa teori terkait adaptasi organisasional yaitu, theory of population ecology, institution theory, the strategic choice

perspective, dan organizational learning theory. Menurut theory of population ecology [16]

ketika sebuah organisasi berhasil melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tertentu maka organisasi tersebut akan mengalami kelembaman untuk beradaptasi lebih lanjut. Akibatnya ketika terjadi perubahan lingkungan maka organisasi tersebut akan tergantikan oleh organisasi lainnya yang lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang ada. Teori ini belum menjelaskan apa yang dilakukan perusahaan ketika mereka melakukan adaptasi.

Menurut institution theory ([17]; [18]), suatu organisasi melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dengan cara meniru organisasi lain yang telah berhasil mengatasi perubahan tersebut. Namun, teori ini tidak menjelaskan bagaimana awal mula suatu organisasi melakukan adaptasi sebelum ada organisasi lain yang berhasil melakukan adaptasi. Untuk itu, the strategic choice perspective [19] menjelaskan bahwa terdapat peran manajer organisasi untuk mengambil keputusan strategis yang rasional dalam rangka melakukan adaptasi, bahkan mencari peluang dan kekuatan untuk membentuk lingkungan mereka. Hal ini juga didukung oleh organizational learning theory [20]. Menurut organizational learning

theory, suatu organisasi melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan untuk

(15)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

5

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Latar Belakang Industri Kesehatan

Sistem pelayanan kesehatan di berbagai tempat di dunia umumnya diawali oleh pengobatan tradisional [21]. Misalnya, di kawasan Asia, telah lama dikenal adanya

Traditional Chinese Medicine di Cina [22], di India dikenal adanya Ayurveda [23], dan di

Indonesia dikenal adanya jamu ([24]; [7]). Di Eropa maupun Amerika juga dikenal adanya

homeopathy [25]. Namun, dengan berjalannya waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan

maka pengobatan tradisional ini mulai tergeser oleh pengobatan modern (farmasi) [26]. Kemudian, dengan munculnya penggunaan bioteknologi sekitar tahun 70-an [27] maka mulai dikenal adanya biofarmasi [28].

4.2 Kajian Umum Industri Jamu

Industri pengobatan tradisional masih berperan dalam industri pengobatan modern. Hal ini terlihat dari industri jamu atau herbal medicine [29] mampu menguasai bagian pasar yang cukup besar dalam industri farmasi [30] dan memiliki peran penting dalam kesehatan global [21]. Industri jamu memiliki beberapa karakteristik seperti mengandalkan tanaman sebagai sumber obat-obatan, penggunaan tanaman sebagai obat didasarkan pada pengalaman praktis (empirical knowledge), serta keterbatasan untuk memasukan jamu tradisional ke dalam kebijakan obat nasional [30].

Dalam konteks industri pengobatan modern, industri jamu merupakan cikal bakal perkembangan industri biofarmasi [8]. Namun, produk industri jamu sering mengalami kesulitan untuk dimasukkan dalam kebijakan obat nasional [30]. Hal ini disebabkan oleh penggunaan tanaman sebagai obat didasarkan pada pengalaman praktis (empirical

knowledge) [30] sehingga kualitas, keamanan dan kemanjuran produk industri jamu masih

sering diragukan ([8]; [30]). Akibatnya, walaupun produk industri jamu telah dikenal baik di negara maju maupun negara sedang berkembang, namun pengakuan maupun penerimaan masyarakat terhadap produk industri jamu masih sangat beragam.

Di negara sedang berkembang, secara umum produk industri jamu cenderung menggantikan produk farmasi yang relatif lebih mahal ([30]; [7]). Di Eropa, produk industri jamu telah diakui dan diatur secara formal sebagai bagian dari industri farmasi. Sedangkan di Amerika Serikat, produk industri jamu masih dianggap sebagai produk suplemen makanan (dietary

supplement) dan kemanjurannya tidak diakui [30]. Untuk itu, WHO mengadakan program

berupa The Traditional Medicine Program, yang mengupayakan adanya harmonisasi dalam hal penyediaan informasi ilmiah yang akurat dan terkini tentang penggunaan produk industri jamu. Diharapkan melalui program ini maka kualitas, keamanan dan kemanjuran produk industri jamu menjadi terjamin sehingga produk industri jamu dapat dipergunakan di seluruh dunia [30].

(16)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

6

jamu dengan memperhatikan berbagai tuntutan dalam industri bioteknologi diharapkan menghasilkan revolusi dalam terapi pengobatan [32].

Industri bioteknologi merupakan elemen kritis bagi pertumbuhan ekonomi negara dan kawasan [33]. Bioteknologi merupakan bisnis yang mendasarkan pada ilmu pengetahuan (science-based business) ([32]; [34]; [27]; [35]) dan menjembatani ilmu pengetahuan dasar dan ilmu pengetahuan terapan untuk menghasilkan obat baru yang berharga [32]. Bisnis berbasis ilmu pengetahuan merupakan fenomena baru [32] karena menggabungkan domain universitas atau lembaga penelitian sebagai institusi non laba yang memiliki misi untuk memajukan ilmu pengetahuan dasar dan domain bisnis yang melakukan komersialisasi hasil riset tadi dalam bentuk pengembangan produk atau jasa untuk menangkap nilai dari pengetahuan yang diciptakannya. Hal ini diwujudkan dalam bentuk kerja sama antara perusahaan bioteknologi dan universitas maupun lembaga riset publik dan swasta lainnya. Universitas atau lembaga riset publik dan swasta lainnya melakukan riset dengan didukung dana dari perusahaan bioteknologi dan hasilnya menjadi milik perusahaan bioteknologi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk atau jasa. Ketika perusahaan bioteknologi dapat menghasilkan produk atau jasa baru maka mereka akan mempatenkan hal tersebut dan menjual hak paten tersebut ke perusahaan farmasi yang sudah mapan untuk diproduksi secara massa.

Sebagai contoh, perusahaan bioteknologi di India menerapkan model bisnis berupa

platform, product, hybrid atau vertical integrated [36]. Model bisnis platform merujuk pada

perusahaan bioteknologi yang mengembangkan seperangkat peralatan atau teknologi terintegrasi dan fokus pada pengembangan riset dasar dan pengembangan pra klinis. Model bisnis product merujuk pada perusahaan bioteknologi yang menawarkan produk seperti vaksin, terapi obat dan produk diagnostik, yang dibuat berdasarkan teknologi baru yang dimiliki atau sudah ada. Model bisnis hybrid merupakan kombinasi antara model bisnis

platform dan product dengan menawarkan jasa dalam bentuk kontrak riset atau kontrak

produksi berdasarkan teknologi-teknologi yang diketahui. Model bisnis vertical integrated mengacu pada perusahaan bioteknologi yang menawarkan penciptaan nilai dalam rentang paling luas, sejak pengembangan obat hingga akhir studi klinis dan mendapatkan persetujuan, baik dilakukan sendiri maupun melalui outsourcing. Selain itu, pengembangan perusahaan bioteknologi juga membutuhkan dukungan modal usaha (venture capital) dan kerja sama intim antara universitas dan perusahaan bioteknologi ([36]; [32]).

(17)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

7

mau membiayai perusahaan bioteknologi karena sulitnya mengukur tingkat kebutuhan investasi atas proyek riset dan pengembangan obat yang sedang berjalan dan sulitnya memastikan tingkat keberhasilan riset dan pengembangan obat.

Karakteristik kedua dari riset dan pengembangan obat adalah riset pengembangan obat tidak bisa menerapkan prinsip modularitas dengan perencanaan real options untuk memperkecil kerugian [32]. Untuk itu dibutuhkan adanya sejumlah pakar/spesialis independen yang mengintegrasikan pekerjaan mereka melalui aliansi, persetujuan lisensi dan kolaborasi [32]. Namun, hal ini sulit dilakukan karena kekayaan intelektual dalam riset dan pengembangan obat sulit dikodifikasi dan hak terhadap kekayaan intelektual dalam riset dan pengembangan obat tidak jelas dan sulit dilindungi [32]. Kesulitan kodifikasi maupun perlindungan hak atas kekayaan intelektual dalam riset dan pengembangan obat disebabkan oleh belum adanya pedoman yang diidentifikasi secara baku.

Karakteristik ketiga dari riset dan pengembangan obat adalah sulitnya dilakukan

collective learning karena kebanyakan pengetahuan yang digunakan dalam mendukung

sektor biofarmasi bersifat tacid dan intuitif [32]. Penemuan obat, selain didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan, juga didorong oleh pertimbangan/pendapat, naluri, dan pengalaman. Untuk itu dibutuhkan adanya akumulasi pembelajaran yang didapatkan dari eksperimen-eksperimen yang dibagikan guna menghasilkan collective wisdom [32].

Berdasarkan uraian tentang kondisi industri bioteknologi di atas maka kemajuan bioteknologi membutuhkan dukungan berupa pendanaan dari investor (pasar saham), kapasitas wirausaha dari ilmuwan dan insinyur yang melakukan riset dan pengembangan obat, dorongan kuat dari industri farmasi untuk membeli paten yang dihasilkan oleh industri bioteknologi ([34]; [26]), dorongan untuk melakukan integrasi vertikal yang menghubungkan keahlian tehnikal dan keahlian fungsional [32] dan kolaborasi yang lebih fokus, dekat dan bersifat jangka panjang antara universitas dan perusahaan bioteknologi ([35]; [32]).

Segmen terbesar dari industri bioteknologi adalah industri biofarmasi ([36]; [37]). Industri biofarmasi menghasilkan produk medis yang bersifat alamiah dan diproduksi dengan menggunakan bioteknologi [28]. Industri jamu dapat dikategorikan sebagai industri biofarmasi karena menghasilkan produk yang terkait dengan kesehatan atau pengobatan [7].

4.3 Gambaran Khusus Industri Jamu Indonesia

Jamu di Indonesia didefinisikan sebagai obat ramuan tradisional berbahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian, atau campuran dari bahan tersebut yang penggunaannya mengacu pada pengalaman, ketrampilan turun temurun, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat [6]. Jamu dapat berupa ramuan yang menggunakan lebih dari satu jenis tanaman/bahan (multiple compound) dan dapat juga berupa bahan tunggal (single compound).

(18)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

8

ini, omset industri jamu Indonesia diperkirakan akan menembus angka 10 triliun Rupiah pada tahun 2010 dan menyerap tenaga kerja sampai 15 juta orang [38].

Industri jamu Indonesia memiliki beberapa ciri khas berupa: (1) merupakan industri asli Indonesia karena tidak ada investor asing yang masuk ke dalam industri ini [29]; (2) terdiri dari perusahaan-perusahaan keluarga ([7]; [29]); (3) produknya dapat saling menggantikan [7]. Penelitian [7] juga menunjukkan bahwa hanya terdapat 20 perusahaan jamu yang dianggap industrial karena mempekerjakan sejumlah manajer dan karyawan. Keduapuluh perusahaan ini dikelompokkan menjadi golongan kecil dengan jumlah karyawan kurang dari 500 orang per perusahaan, golongan menengah dengan jumlah karyawan antara 500 sampai 1.000 orang per perusahaan, dan golongan besar yang mempekerjakan lebih dari 1.000 karyawan per perusahaan.

Industri jamu Indonesia memiliki beberapa faktor pendukung seperti (1) adanya Badan Pengawas Obat dan makanan (BPOM) dan Asosiasi Pengusaha Jamu yang dapat menjadi forum komunikasi dan tukar pikiran untuk mengembangkan industri jamu dan kosmetik [7] sekaligus memastikan adanya penegakan peraturan dan undang-undang kesehatan yang sudah semestinya untuk ditaati oleh para pengusaha di negara maju [39]; (2) adanya dukungan pemerintah Republik Indonesia [40] dan upaya pemerintah agar jamu nasional mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai pusaka dunia (world heritage) [41]. Namun, industri jamu Indonesia juga mengalami beberapa kesulitan seperti (1) sangat berkurangnya tanaman obat yang masih tumbuh di alam bebas ([24]; [42]); (2) banyak jenis tanaman obat yang belum diketahui atau terdaftar nama ilmiahnya [43].

Lebih lanjut, berdasarkan wawancara dengan Ketua Gabungan Pengusaha Jamu terungkap bahwa komitmen pemerintah terhadap industri jamu ternyata masih belum menunjukkan upaya nyata untuk menjelaskan bagaimana produk industri jamu dipergunakan oleh masyarakat. Peran pemerintah lebih fokus pada pengaturan produk industri jamu yang menekankan segi keamanan, mutu serta kemanjuran namun kurang memikirkan praktek pembinaan dan pengembangan industri jamu. Terdapat sekitar 20 departemen/lembaga yang terlibat dalam pengaturan industri jamu yang menyebabkan terjadinya banyak kesimpangsiuran aturan, ijin dan menghambat perkembangan industri jamu Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), misalnya, sebagai badan yang seharusnya hanya berfungsi sebagai pengawas obat dan makanan juga sering membuat aturan-aturan tentang jamu. Hal ini menjadi praktek tata kelola yang tidak baik karena tidak ada pihak yang mengawasi peraturan yang dihasilkan oleh BPOM sendiri. Selain itu, industri jamu Indonesia mengalami sejumlah masalah terkait dengan pesaing, saluran distribusi, saintifikasi jamu, standar mutu, teknologi dan gaya hidup masyarakat Indonesia.

(19)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

9

hal ini telah dilarang [44] namun sampai saat ini masih banyak beredar produk jamu yang mengandung bahan kimia obat. Keberadaan jamu yang mengandung bahan kimia obat sering dijadikan alasan bagi BPOM dan Dinas Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan (sweeping) produk jamu di outlet-outlet pedagang pengecer.

Produk jamu Indonesia juga mendapatkan ancaman dari produk jamu asing. Tidak semua produk jamu asing bebas dari bahan kimia obat. Produk jamu asing memasuki pasar Indonesia melalui praktek klinik kesehatan, pijat refleksi atau spa yang ijinnya bisa dikeluarkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah dan mereka memiliki keleluasaan melakukan iklan promosi termasuk melakukan klaim bahwa praktek mereka mampu menyembuhkan penyakit-penyakit berat. Hal ini sangat berbeda dengan produk jamu Indonesia yang tunduk terhadap aturan Kementerian Kesehatan dan BPOM dan ketika melakukan promosi tidak boleh mengklaim khasiat produk jamu tersebut. Akibatnya perusahaan jamu yang menginduk pada Kementerian Kesehatan dan BPOM banyak dirugikan. Selain itu, jika produk asing tersebut ternyata mengandung bahan kimia obat maka akan ikut merusak citra jamu sebagai ramuan herbal yang aman.

Dalam hal pemasaran, produk jamu Indonesia secara umum didistribusikan melalui dua jenis saluran, yaitu saluran informal dan saluran formal. Saluran informal adalah cara yang selama ini sudah ditempuh perusahaan jamu yaitu dengan menjual ramuan tradisional langsung ke pedagang pengecer atau konsumen. Dalam hal ini jamu digunakan langsung oleh konsumen tanpa resep dokter. Sedangkan saluran formal adalah menggunakan dokter untuk menganjurkan penggunaan produk jamu. Saluran formal diatur oleh pemerintah dengan tujuan memperluas penggunaan jamu khususnya melalui resep dokter.

(20)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

10

perusahaan jamu didorong untuk membangun saluran distribusinya sendiri agar kepercayaan

pedagang pengecer maupun masyarakat terhadap jamu dapat ditingkatkan.

Pada saluran formal, jamu membutuhkan dokter untuk menganjurkan penggunaan jamu. Hasil wawancara dengan Ketua GP Jamu maupun ketua PDHMI Jabar mengungkapkan bahwa dokter biasa bertindak berdasarkan evidence-based medicine ([45]; [46]). Untuk memenuhi kriteria evidence-based medicine maka dibutuhkan serangkaian uji terhadap jamu untuk mendapatkan data tentang penggunaan jamu atau juga disebut saintifikasi. Setelah melampaui serangkaian uji dan diperoleh data penggunaan jamu maka diharapkan dokter dapat menggunakan jamu sebagai alternatif obat dalam resep yang dibuatnya. Namun ternyata ide ini masih menimbulkan polemik karena ada sebagian dokter yang mau memakai jamu hanya sebagai upaya pemeliharaan kesehatan atau pendorong stamina dan ada juga yang menginginkan jamu sebagai tindakan pengobatan. Lebih lanjut saintifikasi jamu ini juga setidaknya menimbulkan 2 permasalahan. Pertama, untuk mendapatkan jamu yang aman dan bermutu maka perusahaan jamu harus memiliki sertifikasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Untuk mendapatkan CPOTB dibutuhkan sejumlah investasi yang tidak semua perusahaan jamu akan dapat memenuhinya. Kedua, untuk melakukan saintifikasi maka dibutuhkan uji klinis yang membutuhkan keterlibatan dokter sebagai penganjur penggunaan jamu dan kesediaan pasien untuk menggunakan produk jamu. Hal ini menjadi kendala karena jumlah dokter yang memahami proses saintifikasi jamu sangat terbatas. Akibatnya, dibutuhkan waktu yang panjang untuk mempersiapkan dokter agar terbiasa dengan proses tersebut. Dengan demikian, dibutuhkan waktu yang panjang agar suatu produk jamu tersaintifikasi.

Untuk menunjang program saintifikasi jamu maka Balitbangkes bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia untuk melakukan pelatihan prosedur pelaksanaan saintifikasi jamu selama 50 jam di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu. Hasil pelatihan ini diharapkan tersedianya dokter yang bersertifikat sebagai herbalis sehingga dapat menunjang proses saintifikasi jamu. Jamu yang digunakan pada pelatihan tersebut adalah merupakan racikan B2P2TOOT Tawangmangu. Jika program pelatihan ini berhasil maka terjadi lonjakan permintaan jamu racikan B2P2TOOT yang belum tentu B2P2TOOT dapat memenuhinya. Jika kebutuhan tersebut akan diganti dengan jamu racikan perusahaan jamu maka timbul masalah baru karena racikan B2P2TOOT tidak sama dengan racikan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan jamu. Dengan demikian, program saintifikasi disini tidak terkait langsung dengan perusahaan jamu namun lebih terkait dengan B2P2TOOT.

Jamu hasil racikan B2P2TOOT Tawangmangu yang berada di bawah Kementerian Kesehatan dapat langsung dipergunakan oleh dokter herbalis. Namun ketika racikan tersebut akan dijual ke masyarakat, maka perlu ijin dari BPOM. Selain itu, racikan B2P2TOOT lebih menekankan pada keamanan, mutu dan kemanjuran, tanpa memperhatikan rasa sehingga belum tentu hasilnya disukai oleh masyarakat. Hal ini tentunya berbeda dengan perusahaan jamu yang sangat mempedulikan rasa jamu agar produk jamunya laku di pasar.

(21)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

11

maupun multiple compound yang diakui di pasar internasional. BPOM Indonesia baru

memiliki standar nilai minimum komposisi suatu jamu single compound. Permasalahan yang muncul adalah saat ini belum jelas departemen/lembaga mana yang memiliki wewenang untuk mengurus pembuatan standar kualitas jamu yang diakui di pasar internasional. Pembenahan mutu bahan jamu (jamu single compound) dapat memberi nilai tambah lebih besar bagi perusahaan jamu daripada sekedar menjual bahan mentah jamu. Selain itu, pembenahan mutu bahan jamu juga akan meningkatkan mutu jamu racikan.

Peran teknologi dalam perusahaan jamu lebih dikaitkan dengan proses pembuatan jamu. Padahal dibutuhkan pula teknologi maju untuk mendapatkan ekstraksi bahan jamu yang berkualitas sehingga dapat membuka peluang penjualan bahan jamu ke pasar internasional. Terkait dengan belum adanya standar mutu ekstrak bahan jamu yang berkualifikasi internasional maka saat ini belum ada perusahaan jamu yang memiliki teknologi untuk ekstraksi bahan jamu single compound.

Jamu saat ini belum menjadi bagian dalam gaya hidup di Indonesia. Ketika masyarakat saat ini sudah mengenal adanya kedai kopi (coffee shop) dan kedai teh, maka kedai jamu belum banyak ditemui. Bahkan dilihat dari kacamata Kementerian Kesehatan, jamu diletakkan pada posisi terendah setelah fitofarmaka dan obat herbal terstandar [47]. Fitorarmaka merupakan kategori Obat Asli Indonesia tertinggi karena memiliki standarisasi bahan baku dan klaim khasiat yang dibuktikan melalui uji klinis. Uji klinis memberikan informasi tentang khasiat, dosis yang tepat dan perhatian pada efek samping. Uji klinis merupakan syarat agar produk (obat/jamu) dapat diresepkan oleh dokter. Obat herbal terstandar oleh pemerintah dikategorikan lebih baik daripada jamu tradisional karena obat herbal terstandar telah memiliki standar bahan baku serta klaim khasiat yang dibuktikan melalui uji praklinis. Sedangkan jamu tradisional dikategorikan paling rendah karena tidak memiliki standar bahan baku dan klaim khasiat tidak dibuktikan secara ilmiah. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa manfaat jamu yang telah digunakan di masyarakat selama puluhan tahun menjadi tidak bermakna. Walaupun begitu, masyarakat saat ini memiliki kepedulian yang tinggi tentang kesehatan. Oleh karena itu, perusahaan jamu perlu melakukan inovasi untuk dapat memanfaatkan peluang pasar di bidang kesehatan melalui produk berbasis jamu seperti minuman kesehatan dan spa. Selain itu, perusahaan jamu didorong untuk membangun saluran distribusi khusus sebagai salah satu bentuk promosi.

Industri jamu Indonesia terdiri dari perusahaan-perusahaan jamu lokal yang merupakan perusahaan keluarga ([7]; [29]). Karakteristik sebagai perusahaan keluarga ini memberikan warna tersendiri bagi perkembangan industri jamu, misalnya tidak sekedar mengejar tujuan finansial ([48]; [49]) dan sangat berorientasi pada nilai-nilai keluarga ([50]; [51]). Hal-hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan perusahaan jamu seperti pembatasan wilayah pasar yang akan dilayani dan arah pertumbuhan usaha apakah masih berkaitan dengan produk jamu atau melakukan variasi ke industri lain. Saat ini keberadaan perusahaan jamu yang fokus pada pengembangan produk jamu dan beroperasi secara nasional maupun internasional masih sangat terbatas. Untuk itu dibutuhkan dukungan dari pemerintah untuk mendorong pengembangan industri jamu dalam konteks pelestarian warisan budaya Indonesia.

(22)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

12

Tabel 1. Ringkasan Masalah dan Saran Solusi Jamu

Permasalahan Saran Solusi Kementerian/Badan

Penanggung Jawab Tidak ada standarisasi

bahan baku jamu

• Penyusunan standarisasi bahan

baku dasar jamu.

• Kementerian Kesehatan, Pertanian.

• Menyelenggarakan program

pembinaan kepada petani

empon-empon agar menghasilkan bahan baku yang

bermutu.

• Kementerian Pertanian

Belum ada sosialisasi hasil penelitian tanaman obat

• Sosialisasi hasil-hasil penelitian tanaman obat kepada industri jamu.

• Kementerian Pertanian

Tersebarnya petani bahan baku jamu

• Membentuk/menyebarluaskan

peta lokasi obat tradisional kepada pengusaha jamu

• Kementerian Pertanian

Kurangnya kemampuan manajerial dan

pemodalan petani tanaman obat

• Memberi pelatihan manajerial bagi para petani

• Menyiapkan lembaga/skema

permodalan (KUR) bagi para petani

• Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil,

• Mengusulkan adanya

pembatasan pemodal asing untuk masuk industri bahan baku jamu maupun industri jamu.

• Kementerian Perindustrian

Penerapan CPOTB 2011 • Kemudahan pelaksanaan penerapan CPOTB sesuai kemampuan industri

Pengaturan Toll Manufacturing

• BPOM

Masih beredar produk jamu Berbahan Kimia Obat

• Diadakan razia secara terus menerus dan terkoodinir terhadap penjual jamu.

• BPOM, Kementerian

Kesehatan dan Kepolisian

• GP Jamu diberi mandat untuk merekomendasikan perusahaan jamu yang akan mendaftarkan ijin BPOM sehingga GP Jamu dapat ikut mengawasi

anggotanya

• Mengadakan pembinaan kepada

(23)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

13

konsumen jamu agar tidak

mengkonsumsi obat tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat.

• Mengadakan penyuluhan bagi penjual jamu gendong maupun penjual jamu racikan tentang CPOTB.

Maraknya peredaran obat tradisional asing baik legal maupun ilegal serta produk Multi Level

Marketing yang

memasukan obat herbal

• Memperketat ijin pendirian klinik-klinik pengobatan asing.

• Kementerian pariwisata dan industri kreatif

• Perusahaan MLM diwajibkan

mendirikan pabrik di Indonesia sehingga akan memberikan manfaat yang jauh lebih besar bagi masyarakat sekitar.

• Kementerian perdagangan & Kementerian

Perindustrian

• GP Jamu dilibatkan dalam tim periklanan BPOM (baik untuk iklan produk obat tradisional dalam negeri maupun asing).

• BPOM

Kendala ekspor jamu ke luar negeri

• Ijin yang dikeluarkan oleh BPOM diharapkan bisa berlaku di seluruh dunia (khususnya di negara-negara ASEAN).

• BPOM

• Adanya fasilitas hubungan perdagangan antara pengusaha Indonesia dengan pengusaha luar negeri serta pembinaan untuk meningkatkan citra jamu di luar negeri.

• Kementerian Perdagangan & Atase Perdagangan & ITPC (Indonesian Trade

Promotion Center)

Lemahnya budaya minum jamu

• Adanya website tentang Jamu Indonesia.

• Kementerian komunikasi dan informasi

• Adanya kurikulum pendidikan/sekolah yang memperkenalkan tanaman obat Indonesia.

• Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

• Menjadikan jamu (air jahe, kunir asem, air asem, beras kencur) sebagai minuman pembukaan dalam acara resmi pemerintahan maupun di hotel berbintang.

• Kementerian pariwisata dan industri kreatif

Sedikitnya informasinya tentang jamu dan

Adanya website tentang Jamu Indonesia.

(24)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

14

khasiatnya • Mendorong industri kreatif

untuk melestarikan jamu sebagai warisan budaya misalnya

melalui pengembangan paket wisata warisan budaya

Indonesia, melakukan sinergi antar berbagai museum jamu yang ada dengan melibatkan perusahaan jamu.

• Kementerian pariwisata dan industri kreatif

5. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, dunia kesehatan global sejak tahun 1970an banyak diwarnai oleh obat farmasi yang mengandalkan pada rasionalitas pengetahuan dan uji klinis ([45]; [46]). Akibatnya praktek-praktek kesehatan lokal yang mengandalkan pada pengetahuan praktek tradisional menjadi terpinggirkan. Namun, ternyata dunia kesehatan tidak sepenuhnya rasional. Hal ini terbukti dengan adanya faktor kepercayaan (trust) yang berperan dalam dunia kesehatan seperti, orang lebih memlih untuk berobat pada dokter tertentu atau merek obat tertentu daripada fungsi terapi ilmiahnya. Fenomena ini oleh [52] sebagai ”brand trust in an age without trust”. Faktor kepercayaan (trust) ini memberi jalan bagi praktek-praktek kesehatan lokal untuk tetap hidup bahkan bertumbuh.

Kedua, status fitofarmaka masih belum mampu mendorong penjualan jamu. Sejak ketentuan tentang fitofarmaka diperkenalkan awal 1990 hingga saat ini di Indonesia baru dikenal lima buah fitofarmaka yang beredar dan hanya satu yang dimiliki oleh perusahaan jamu. Artinya, status fitofarmaka tidak mampu mengangkat citra jamu yang dianggap tradisional menjadi herbal modern maupun meningkatkan nilai jualnya.

Ketiga, untuk mengembangkan industri jamu maka pemerintah perlu menata industri jamu dengan memperhatikan sisi budaya. Dalam hal ini, pemahaman ethnopharmacy nampaknya dapat membantu. Jika jamu diatur berdasarkan pemahaman tentang farmasi modern maka dapat dipastikan terjadi konflik minat dengan industri farmasi. Selain itu, perusahaan jamu perlu diarahkan untuk menggunakan model bisnis platform [36] untuk memperkuat riset dasar dan pengembangan pra klinis.

Keempat, keberlangsungan perusahaan jamu di pasar dapat dijaga melalui dua hal. Pertama, mendorong eksploitasi pasar dengan terus menerus membangun kepercayaan konsumen melalui pemahaman bahwa jamu adalah produk warisan budaya yang telah puluhan tahun digunakan. Unsur tradisional justru perlu ditekankan untuk menghasilkan kepercayaan konsumen. Kedua, mendorong eksplorasi pasar dengan mengembangkan jamu untuk mengatasi masalah penyakit degeneratif seperti, darah tinggi, diabetes, kolesterol, dan asam urat serta kebutuhan akan anti oksidan yang diperlukan konsumen rakyat banyak. Kedua hal ini dapat dilakukan secara bersamaan sehingga dapat menghasilkan sinergi.

(25)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

15

yang telah mengenal jamu. Konsumen biasa mendatangi tempat-tempat penjualan jamu.

Namun, ketika tren meminum jamu menurun dan produk-produk selain jamu cenderung secara ekspansif mendekatkan diri ke konsumen melalui berbagai jaringan yang ada baik saluran tradisional maupun modern, maka jamu perlu memikirkan ulang cara distribusinya. Perusahaan jamu perlu membangun kembali saluran distribusinya. Selain itu, pemanfaatan

website perusahaan sebagai media penjualan online maupun sarana pendidikan tentang jamu

terhadap masyarakat luas dapat lebih ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ferrell, O. C., Geoffrey A. Hirt, & Linda Ferrell. (2011). Business: a changing world. 8th edition. New York: McGraw-Hill.

[2] Teece, David J. (2010). Business Models, Business Strategy and Innovation. Long

Range Planning. 43. 172 – 194.

[3] Chesbrough, Henry. (2007). Business Model Innovation: It’s Not Just About Technology Anymore. Strategy & Leadership. Vol.35. No.6. pp.:12 – 17.

[4] Hatch, M. J., Ann L.Cunliffe. (2006). Organization Theory. 2nd ed. New York: Oxford

University Press.

[5] Hambrick, D. C. (1983) Some tests of the effectiveness and functional attributes of Miles and Snow's strategic types. Academy of Management Journal, 26, 5-26.

[6] Kepmenkes no.1076/Menkes/SK/VII/2003

[7] Liong, Theresia C.Y. (2010). The Martha Tilaar Way. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

[8] Basu, Paroma. (2004). Trading on traditional medicines. Nature Biotechnology, Vol.22. No.3, 263 – 365.

[9] Yin, Robert K. (1994). Case Study Research, Design and Methods. 2nd edition. California: Sage Publication, Inc.

[10] Nelson, Richard R. (1991). Why Do Firms Differ, and How Does it Matter? Strategic

Management Journal, Vol.12, pp.61-74.

[11] Wheelen, T.L. & Hunger, J.D. (2004). Strategic Management and Business Policy. 9th. New Jersey: Prentice Hall.

[12] Porter, Michael E. (1996). What is Strategy? Harvard Business Review, November-December, pp.61-78.

[13] Dill, W. R. (1958). Environment as an influence on managerial autonomy.

Administrative Science Quarterly, 2, 409-443.

[14] Lenz, R.T. dan Jack L. Engledow. (1986). Environment analysis: the applicability of current theory. Strategic Management Journal, Vol.7, pp.329-346.

[15] David, Fred R. (2006). Manajemen Strategis: Konsep, Edisi 10. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Terjemahan.

[16] Baum, J. A.C. (1996). “Organizational Ecology,” in Handbook of Organization

Studies, edited by S. R. Clegg, C. Handy, and W.Nord (London: Sage), pp.77-114.

[17] Scott, W. Richard. (1987). The Adolescence of Institutional Theory. Administrative

(26)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

16

[18] Zucker, Lynne G. (1987). Institutional Theories of Organization. Annual Review of

Sociology, Vol.13, pp.443-464.

[19] Child, John. (1997). Strategic Choice in the Analysis of Action, Structure, Organizations and Environment: Retrospect and Prospect. Organization Studies, 18, pp.43-76.

[20] Fiol, C.M. dan Lyles, M.A. (1985). Organizational learning. Academy of Management

Review 10, 803-813.

[21] Tilburt, Jon C. dan Ted J.Kaptchuk. (2008). Herbal medicine research and global health: an ethical analysis. Bulletin of the World Health Organization, August, 86 (8).

[22] Siow, Yaw L., Yuewen Gong, Kathy K W Au-Yeung, Connie W H Woo. (2005). Emerging issues in traditional Chinese medicine. Canadian Journal of Physiology and Pharmacology. Vol. 83, No. 4, 321 - 334.

[23] Arogyaswamy, Bernard., dan Deepak Manchanda. (1998). A strategic balance of tradition and technology: an Ayurvedic firm in modern India. Business Horizons. November-December, pp. 41 – 48.

[24] Beers, S-J. (2001). Jamu, the ancient Indonesian art of herbal healing. Hongkong: Periplus edition Ltd.

[25] Anderson, Gary M., Dennis Halcoussis, Linda Johnston, M. D., Anton D. Lowenberg. (2000). Regulatory barriers to entry in the healthcare industry: the case of alternative medicine. The Quarterly Review of Economics and Finance 40, pp.485 – 502. [26] Galambos, Louis dan Jeffrey L.Sturchio. (1998). Pharmaceutical firms dan the

transition to biotechnology: a study in strategic innovation. The Business History Review. Vol. 72, No. 2, 250-278.

[27] Ebers, Mark. dan Walter W. Powell. (2007). Introduction – Biotechnology: Its origins, organizations, and outputs. Research Policy, 36, 433-437.

[28] Rader, Ronald A. (2008). (Re)defining biopharmaceutical. Nature Biotechnology. Vol.26, No. 7, 743-751.

[29] Rademakers, Martijn F. L. (1998). Market Organization in Indonesia: Javanese and Chinese Family Business in the Jamu Industry. Organization Studies, 19/6, 1005-1027.

[30] Mahady, Gail B. (2001). Global harmonization of herbal health claims. The Journal of Nutrition. March, 1120S – 1123S.

[31] OECD. (2006). OECD Biotechnology Statistics-2006. OECD Publishing, Paris.

[32] Pisano, Gary P. (2006). Can science be a business? (Lessons from biotechnology). Harvard Business Review. October.

[33] European Commission, Life Sciences and Biotechnology. (2002). A Strategy for Europe, Communication from the Commission to the Council, the European Parliament, the Economic and Social Committee, and the Committee of the Regions, Brussels.

(27)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

17

[35] Lemarie, S., V. Mangematin, A.Torre. (2001). Is the creation and development of

biotech SMEs localised? Conclusions drawn the French case. Small business Economics. 17: 61-76.

[36] Konde, Viren. (2009). Biotechnology business models: an Indian perspective. Journal of commercial biotechnology, 15., 215-226.

[37] Shan, Weijan., Gordon Walker, Bruce Kogut. (1994). Interfirm cooperation dan startup innovation in the biotechnology industry. Strategic Management Journal, Vol, 15, No. 5, 387-394.

[38] Kabarbisnis.com; Selasa, 04 Mei 2010 | 15:52 wib ET.

http://www.kabarbisnis.com/lain-lain/2811423-Omzet industri jamu Indonesia diperkirakan capai Rp10 triliun.html [39] Clarkson, M.B.E. (1995). A Stakeholder framework for analyzing and evaluating

corporate social performance. Academy of Management Review, No.20, 92-117. [40] Kompas (2010a). Pemerintah Kawal Industri Jamu Nasional

2010 pk.13:29 WIB.

[41] Kompas (2010b). Jamu Akan Diakui sebagai Pusaka Dunia 2010 pk.04:16 WIB.

[42] Mikail, Bramirus., dan Asep Candra. (2011). Risto, Antisipasi Kepunahan Tanaman Obat. Jumat, 21 Oktober 2011 pukul 21:12 WIB.

[43] Elfahmi, Ruslan, K., R. Bos, O. Kayser, H.j. Woerdenbag, W.j. Quax. (2006). Jamu: The Indonesian Traditional Herbal Medicine, 14-34. (ABI/INFORM Global, diakses 19 September 2007).

[44] Public Warning/ Peringatan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat Nomor : HM.03.03.1.43.08.10.8013, 2010

[45] Arle, Jeffrey E. (2011). Evidence-based medicine: Fact or Fiction? World Neurosurgery, 76 (1/2): 45-47.

[46] Marchevsky, Alberto M., MD., dan Mark R. Wick, MD. (2004). Evidence-based medicine, medical decision analysis, and pathology. Human Pathology, Vol. 35, no.10, pp.1179-1188.

[47] Keputusan Kepala BPOM RI no.HK.00.05.4.2411 tanggal 17 Mei 2004 tentang Obat Asli Indonesia

[48] Astrachan, J. H., & Jaskiewicz, P. (2008). Emotional returns and emotional cost in privately held family businesses: Advancing traditional business valuation. Family Business Review, 21, 139-149.

[49] Gomez-Mejia, L. R., Haynes, K. T., Nunez-Nickel, M., Jacobson, K. J. L., & Moyano-Fuentes, J. (2007). Socioemotional wealth and business risks in family-controlled firms: Evidence from Spanish olive oil mills. Administrative Science Quarterly, 52, 106-137.

(28)

Konferensi Nasional Riset Manajemen VIII

Denpasar 10 – 12 Oktober 2014 ISSN : 2086 - 0390

18

[51] Olson, P. D., Suiker, V. S., Danes, S. M., Stafford, K., Heck, R. K. Z., & Duncan, K. A.

(2003). The impact of the family and the business on family business sustainability. Journal of Business Venturing, 18, 639-666.

Gambar

Gambar 1. Model Dasar manajemen Strategi Wheelen dan Hunger (2005)

Referensi

Dokumen terkait

Penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan yang berguna mengenai peranan analisis biaya kualitas untuk menekan biaya produksi, serta

Metode yang digunakan yaitu metode skoring data potensi desa berdasar pada indikator-indikator untuk menentukan wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten meliputi indikator

Tujuan dari penelitian ini; (1) Mengetahui persebaran keruangan hujan di Provinsi Jawa Tengah dan DIY (2) Mengetahui efisiensi sebaran stasiun hujan di Provinsi Jawa Tengah

Adapun rancangan dalam program ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu (1) melakukan assessment komunitas, tujuan dari dilakukannya assessment ini adalah untuk menentukan

Untuk mengoptimalkan program pengembangan infrastruktur pengelolaan limbah bahan bakar bekas PLTN di atas, tidak ada salahnya jika kita belajar beberapa hal dari negara

Penyajian informasi yang utuh dalam laporan keuangan akan menciptakan transparansi dan nantinya akan mewujudkan akuntabilitas (Nordi- awan, 2010). Semakin baik

[r]

Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan humanis adalah proses pendidikan penganut aliran humanisme, yang berarti proses pendidikan