PEMBINAAN MASA YUNIORAT BRUDER MSC
UNTUK MENGHAYATI SPIRITUALITAS HATI KUDUS YESUS
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Yohanis Yani Watti NIM: 081124021
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
v MOTTO
“IA HARUS MAKIN BESAR DAN AKU MAKIN KECIL” (Yoh 3:30)
“Di dalam Tarekat tidak seorang pun adalah orang asing, tidak seorang pun adalah pendatang, tetapi semua adalah saudara di dalam Hati Kristus”
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “PEMBINAAN MASA YUNIORAT BRUDER MSC UNTUK MENGHAYATI SPIRITUALITAS HATI KUDUS”. Penulis memilih judul ini berdasarkan fakta bahwa para bruder yunior adalah tulang punggung dan masa depan tarekat MSC. Dan, mereka diharapkan menjadi pewarta kabar baik dan kegembiraan kepada umat yang dilayani berdasarkan spiritualitas Hati Kudus Yesus.
Skripsi ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan: bagaimana pembinaan para bruder MSC Yunior dalam memahami dan menghayati spiritualitas Hati Kudus Yesus yang menjadi dasar pelayanan nanti? Bagaimana pembinaan untuk masa yunior dalam tarekat MSC? Bagaimana spiritualitas Hati dimengerti dan dihayati oleh para MSC, khususnya bruder yunior? Bagaimana spiritualitas Hati diterapkan dalam pembinaan yunior bruder MSC? Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan penelitian deskriptif analitis dengan mengajukan pertanyaan refleksi yang diberikan kepada para bruder yunior.
Permasalahan tersebut dibandingkan dengan gaya hidup Yesus. Artinya, materi tentang gaya hidup Yesus disajikan agar para bruder MSC yunior dapat bercermin dan berpatokan pada Hati Yesus yang terwujud dalam sikap, perkataan, dan perbuatan.
Hati Yesus adalah pusat dari spiritualitas Hati maka para bruder yunior yang menghayati spiritualitas Hati diharapkan mempunyai pemahaman yang jelas dan menyeluruh tentang kualitas-kualitas Hati Yesus yaitu lemah lembut, sederhana, rendah hati, berbelas kasih, dan berbelarasa. CerminanHati Yesus itu sesungguhnya menunjukkan cinta Allah Bapa. Pada Hati Yesus para bruder yunior dapat bercermin ketika mereka mewartakan cinta Allah kepada umat.
Skripsi ini bertujuan mendeskripsikan bagaimana pembinaan yang sudah dilakukan Tarekat MSC kepada para bruder yunior dengan berpatokan pada lima aspek pembinaan, yaitu kemanusiaan, afektif, religius, komunio, dan hidup membiara.
ix ABSTRACT
This thesis entitled “THE FORMATION OF THE JUNIORAT OF THE MSC BROTHERS FOR INSTILLING THE SPIRITUALITY OF THE SACRED HEART OF JESUS”. I chose this title based on the facts that the Junior brothers are the backbone and the future of the MSC congregation. They are supposedly to become ministers of the Good News and - based on the spirituality of the Sacred Heart of Jesus - to bring happiness to people wherever they are sent.
This study will try to answer some questions about: how to guide the MSC Juniorat brothers to understand and to live out the spirituality of the Sacred Heart of Jesus as their foundation for ministry? What kind of formation that is appropriate for Juniorat brothers in MSC congregation? What kind of spirituality of the Sacred Heart of Jesus that is understood and practiced by the MSC Juniorat brothers? How the spirituality of the Sacred Heart of Jesus is applied in the formation of the MSC Juniorat brothers? To answer those questions I used a descriptive analytical research by asking some reflective questions to the MSC Juniorat brothers.
Those questions were compared to Jesus’ life. How Jesus lived his life was presented to the MSC Juniorat brothers as they reflected upon Jesus’ life so that the spirituality of Jesus, the spirituality his sacred heart, could be implemented in their attitude, words, and actions.
The Heart of Jesus is the center of the spirituality of the Heart. Therefore, the MSC Juniorat brothers need to identify and to know how to internalize the values of the spirituality of the Sacred Heart of Jesus which are humble, gentle, simple, solider and full of compassion. Jesus’ heart is a sign of the love of God. When the Juniorat brothers minister to people they need to reflect the Sacred Heart of Jesus for them.
The purpose of this paper is to describe how formation is done for the MSC Juniorat brothers based on the five aspects of the formation which are humanity, affectivity, religious, community, and ministry life.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah yang Maha Esa karena kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PEMBINAAN MASA YUNIORAT BRUDER MSC UNTUK MENGHAYATI SPIRITUALITAS HATI KUDUS YESUS
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini berkat bantuan dari berbagai pihak.Maka penulis menyampaikan limpah terima kasih dan penghargaan yang setulusnya kepada:
1. Dr. J. Darminta, SJ, selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan perhatian, pendampingan dan bimbingan kepada penulis dan dengan penuh kesabaran memberikan masukan dan kritikan yang membangun sehingga penulis termotivasi untuk menuangkan ide dalam penulisan skripsi ini.
2. P. Banyu Dewa HS.,S.Ag.,M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu penuh perhatian dan setia dalam mendampingi penulis dari awal studi sampai penulis menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku dosen penguji III yang mendampingi dan memberikan semangat kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini. 4. Kaprodi IPPAK-USD Yogyakarta, Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ,
xi
5. Segenap staf dosen prodi IPPAK, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang dengan kerelaan hati dan penuh kesabaran telah mendidik dan membimbing penulis selama menempuh proses pendidikan sampai selesainya penulisan skripsi ini.
6. Segenap staf karyawan IPPAK-USD Yogyakarta yang selalu menyapa dan melayani penulis dengan sepenuh hati selama menjalani proses pendidikan sampai menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. P. Benedictus E. Untu MSC, selaku Provinsial MSC Indonesia yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis.
8. P. Yance Mangkey MSC, mantan provinsial MSC yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menimba ilmu di Prodi IPPAK, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
9. Para bruder yunior (Br. Fendy MSC, Br. Big MSC, Br. Rinto MSC dan Br. Iben MSC) yang dengan penuh kerendahan hati dan selalu siap sedia diminta bantuan terutama bantuannya dalam merefleksikan kehidupnnya sebagai bruder MSC.
10. Konfrater di Komunitas Studi Palagan Yogyakarta yang menjadi teman sekomunitas dalam studi dan hidup sehari-hari.
11. Konfrater dan Postulan di Purworejo yang mendukung dalam setiap kegiatan. 12. Teman-teman angkatan 2008 yang telah berjuang bersama-sama dari awal
sampai selesai studi.
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv
MOTTO ...v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ...vii
ABSTRAK ...viii
ABSTRACT ...ix
KATA PENGANTAR ...x
DAFTAR ISI ...xiii
DAFTAR SINGKATAN ...xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Rumusan Masalah ... 7
C.Tujuan Penulisan ... 7
D.Manfaat Penulisan ... 7
E. Metode Penulisan ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II DINAMIKA MASA YUNIORAT ... 10
A.PEMBINAAN ... 10
1. Pengertian Pembinaan ... 10
2. Tujuan Pembinaan ... 11
B.Tahap-tahap Pembinaan Para Bruder dalam Tarekat MSC ... 13
1. Postulat ... 13
2. Pranovisiat ... 14
3. Novisiat ... 15
xiv
5. Kaul Kekal ... 18
C.Pembinaan Yuniorat Bruder MSC ... 19
1. Hidup Kemanusiaan ... 20
2. Hidup Afektif ... 21
3. Hidup Religius ... 22
4. Hidup Komunitas ... 22
5. Hidup Membiara ... 23
D.Tantangan-Tantangan dalam Pembinaan ... 26
1. Budaya ... 26
2. Hidup dalam Zaman Modern ... 27
3. Keluarga ... 28
4. Pribadi ... 29
E. Pergulatan dalam Pembinaan YuniorBruder MSC ... 30
1. Program Pembinaan Belum Efektif ... 30
2. Kurangnya Tenaga Pembina ... 32
3. Pengintegrasian Antara Pembinaan dan Karya ... 33
F. Upaya Mengatasi Tantangan-Tantangan dalam Pembinaan ... 34
1. Pembinaan Bercorak Religius Misioner ... 34
2. Pembinaan Suatu Proses Interaksi Personal ... 35
3. Pembinaan Pendampingan Personal ... 35
4. Pembinaan Dialog Partisipatif ... 36
5. Pembinaan Kontekstual-Transformatif ... 37
BAB III SPIRITUALITAS HATI KUDUS YESUS DALAM TAREKAT MSC ... 38
A.Tarekat Hati Kudus Yesus ... 38
1. Pendiri Tarekat Misionaris Hati Kudus Yesus ... 38
2. Sejarah Berdirinya Tarekat MSC... 41
3. Makna Nama MSC ... 42
B.Spiritualitas Hati Kudus Yesus ... 44
xv
a. Hati dalam Kitab Suci ... 44
b. Hati Kudus Yesus ... 46
2. Pengertian Spiritualitas ... 47
a. Spiritualitas Hati dalam Kitab Suci ... 49
b. Spiritualitas Hati Menurut MSC ... 50
3. Spiritualitas Tarekat MSC Menurut Konstitusi ... 52
a. Hidup Doa ... 52
b. Hidup akan Penghayatan Kaul-kaul ... 54
1) Kaul Ketaatan ... 54
2) Kaul Kemiskinan ... 56
3) Kaul Kemurnian ... 58
c. Hidup Komunitas ... 59
d. Karya Kerasulan ... 60
e. Kepemimpinan ... 61
f. Harta Benda ... 62
g. Pembinaan ... 64
4. Spiritualitas Hati dalam Hidup MSC ... 64
C.Spiritualitas Hati dalam Panggilan Hidup Bruder MSC ... 67
1. Hidup Religius ... 67
2. Hidup Kenabian ... 68
3. Hidup Mistikus ... 69
BAB IV PENGHAYATAN SPIRITUALITAS DALAM PEMBINAAN YUNIORAT BRUDER MSC ... 71
A.Latar Belakang Pengamatan ... 71
B.Tujuan pengamatan ... 72
C.Jenis Pengamatan ... 73
D.Responden pengamatan ... 73
E. Waktu, Tempat dan Pelaksanaan Pengamatan ... 73
F. Pertanyaan Refleksi ... 74
xvi
H.Pembahasan Refleksi ... 84
I. Harapan-harapan ... 87
BAB V PENUTUP ... 89
A.Kesimpulan ... 89
B.Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 94
LAMPIRAN ... 96
Pertanyaan Refleksi untuk Para Bruder Yunior ... (1)
xvii
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci Mat : Matius Mrk : Markus
Luk : Lukas
Yoh : Yohanes
Kis : Kisah Para Rasul
Rom : Roma
1 kor : 1 Korintus Ef : Efesus Fil : Filipi Ibr : Ibrani Yeh : Yehezkiel
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), 25 Januari 1983. ET : Evangelica Testificatio, Petujuk Tentang Pembaharuan Hidup Religius, 29 Juni 1971.
VC : Vita Consecrata, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Hidup Bakti Bagi Para Religius, 25 maret 1996.
GS : Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di dunia dewasa ini, 7 Desember 1965
xviii
Tentang Pembinaan Imam dalam Situasi Zaman Sekarang, 25 Maret 1992.
PC : Perfectae Caritatis, DekritKonsili Vatikan II tentang
Pembaharuan Dan Penyesuaian Hidup Religius, 28 Oktober 1965. LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang
Gereja, 21 November 1964.
C. Singkatan Lain
MSC : Missionarii Sacratissimi Cordis Jesu (Misionaris Hati Kudus Yesus)
SJ : Societas Jesu (Serikat Yesus) Bdk : Bandingkan
Kons. : Konstitusi Art. : Artikel
No : Nomor
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembinaan merupakan suatu keharusan dalam setiap tarekat untuk
membentuk calon religius. Pembinaan dimaksudkan untuk menanamkan
nilai-nilai atau semangat Kristiani dari Gereja maupun tarekat. Namun bukan hanya
menghayati semangat Kristiani yang harus didalami tetapi juga semangat dalam
pengabdian dan pelayanan kepada sesama yang harus diajarkan. Pembinaan awal
terutama masa yuniorat adalah awal seorang religius memahami dan mampu
melaksanakan dalam karyanya.
Hidup religius adalah hidup yang dikhususkan dan disucikan untuk Allah.
Semuanya dipersembahkan hanya untuk kemuliaan Allah. Konstitusi Konsili
Vatikan II (1993 : 258) dalam dekrit PC, artikel 2 e, berbunyi :
“Tujuan hidup religius pertama-tama supaya para anggotanya mengikuti Kristus dan dipersatukan dengan Allah melalui pengikraran nesehat-nasehat Injili. Maka perlu dipertimbangkan dengan serius bahwa penyesuaian-penyesuaian yang sebaik mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan zaman kitapun tidak akan memperbuahkan hasil bila tidak dijiwai oleh pembaharuan rohani. Hendaknya pembaharuan rohani itu dalam pengembangan karya-karya di luar pun selalu diutamakan.”
Dalam hal ini manusia mendapat panggilan dari Allah untuk mampu
mengikuti kehendak-Nya. Manusia menjawab panggilan Allah dengan memulai
hidup dalam biara. Hidup membiara merupakan salah satu bentuk hidup yang
tetap, untuk mampu mengikuti kehendak Allah dan melaksanakan kehendak-Nya.
Hidup membiara juga bertujuan untuk mencapai kesempurnaan. Untuk mencapai
datang dari Allah sendiri. Dukungan dari Allah harus dibalas dengan
mencintai-Nya dengan sepenuh hati.
Menurut Jacob (1980 : 32), hidup membiara yang konkrit adalah ungkapan
dan pernyataan semangat Injil dan sekaligus tanggapan konkrit terhadap situasi
dan kebutuhan zaman. Sikap dasar adalah sikap Injil sendiri, tetapi sikap dasar itu
dikonkritkan dalam cara atau bentuk kehidupan yang sungguh sesuai dengan
kebutuhan zaman. Kebutuhan dan situasi zaman itu berganti-ganti terus-menerus.
Maka terus-menerus dibutuhkan penyesuaian dan pembaharuan hidup membiara.
Dalam hidup membiara setiap ordo/tarekat mempunyai spiritualitas yang
dijiwai dalam menjalankan misi perutusannya. Maka setiap anggota tarekat pun
harus menjiwai spiritualitas tarekatnya. Spiritualitas tarekat perlu menjadi dasar
untuk menyemangati anggotanya dalam menjalankan tugas perutusannya.
Semangat yang menjiwai tarekat MSC dalam menjalankan tugas perutusannya
terdapat dalam konstitusi dan statuta MSC tahun 2000, bab 2 artikel 6, yang
berbunyi: bersama Bapa Pendiri, kita merenungkan Yesus Kristus, yang bersatu
dengan Bapa-Nya dalam ikatan cinta kasih dan kepercayaan. Dipenuhi oleh Roh
Kudus, Yesus mengucap syukur kepada Bapa-Nya sebab Ia telah menyatakan
diri-Nya kepada orang-orang kecil karena Dia adalah hamba-Nya yang amat
melibatkan diri dengan kaum miskin dan berdosa. Dengan kata-kata Pater
Chevalier “Ia bahagia kalau Ia dapat mencurahkan kelembutan hati-Nya kepada
kaum kecil dan miskin kepada mereka yang menderita dan berdosa kepada umat
manusia dalam segala macam kesengsaraan-Nya. Bila melihat kemalangan
Semangat Bapa pendiri ini yang menjiwai setiap anggota MSC dalam
menjalankan tugas perutusannya. Warisan ini terus dikembangkan sampai dengan
zaman sekarang ini. Maka kiranya semangat ini juga harus diwarisi oleh para
anggota MSC khusunya mereka yang masih dalam pembinaan. Di tengah zaman
yang terus berubah ini kiranya semangat atau spiritualitas tarekat perlu
disesuaikan juga dengan situasi, agar pembinaan sekarang dan dulu tetap sama
dalam penghayatan spiritualitasnya sehingga tidak ada perbedaan pandangan
tentang spiritualitas tarekat dan nilai yang diperjuangkan sama.
Spiritualitas hati bukanlah hanya milik satu tarekat saja, tetapi spiritualitas
hati telah berkembang sejak abad ke dua puluh. Kapitel umum MSC tahun 1999
menyatakan bahwa anugerah berharga yang dapat disumbangkan tarekat kepada
Gereja dan masyarakat dalam milenium baru ialah kesaksiannya tentang
spiritualitas hati. Berbicara mengenai spiritualitas hati karena spiritualitas hati itu
bergerak dari dalam yaitu dari dalam “Hati” yakni dari inti kepribadian Allah,
Kristus, sesama dan dunia dan diri kita sendiri.
Tarekat MSC merupakan tarekat religius yang diharapkan ambil bagian
dalam menyebarkan cinta Allah kepada manusia lewat spiritualitas hati-Nya.
Kapitel umum tarekat MSC pada bulan Mei 1972 mengeluarkan surat umum
kepada setiap anggota tarekat untuk memahami misinya bukan untuk
menyebarkan devosi kepada Hati Kudus melainkan spiritualitas hati. Surat
tersebut mencatat bahwa kata “Hati” harus dimengerti dalam arti biblis sebagai
Untuk mampu menyebarkan spiritualitas hati diperlukan orang-orang yang
sungguh-sungguh mempunyai hati yang peduli, berbela rasa dan prihatin terhadap
perkembangan zaman. Hal ini bisa diperoleh lewat ikatan yang mesra dengan
Allah. Dengan kata lain bahwa seseorang itu harus mampu mencintai Allah
dengan hati yang tulus dan terbuka. Untuk mencapai tahap ini dibutuhkan proses
yang terus menerus yang diawali dengan pembinaan awal. Pembinaan awal
dimaksudkan agar orang itu mampu untuk mengerti, memahami dan
melaksanakan dalam kehidupanya sehari-hari dalam hidup bermasyarakat. Dalam
pembinaan ini diharapkan spiritualitas hati yang menjadi dasar dalam perutusanya
kelak mulai disadari dan dirasakan akan kehadiran-Nya dalam diri. Perlu adanya
refleksi terus-menerus untuk menghadirkan hati yang mempunyai semangat
berkorban seperti yang telah Yesus wariskan kepada manusia bahwa Ia rela
berkorban demi cinta-Nya pada manusia. Yesus telah membuktikan cinta-Nya
yang besar kepada Bapa dan manusia dengan taat menerima kematian-Nya di
kayu salib untuk keselamatan umat manusia “Di dalam Dia dan oleh darah-Nya
kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa menurut kekayaan kasih-Nya
yang dilimpahkan kepada kita” (bdk. Ef 1:7-8).
Pater Jules Chevalier dalam mendirikan tarekat MSC berusaha untuk
mewujudkan visi dan misi Gereja universal dalam mewujudkan Kerajaan Allah
di dunia ini dengan menyebarkan spiritualitas hati yang nampak dalam semboyan
tarekat MSC “Ametur Ubique Terrarum Cor Jesu Sacratissimum” (dikasihilah
membentuk kepribadian dan mentalitas seseorang dalam menyembuhkan
penyakit-penyakit zaman seperti acuh tak acuh dalam diri manusia.
Segala macam pemahaman mengenai spiritualitas hati kiranya harus
mendapat porsi yang cukup dalam pembinaan awal tarekat. Karena spiritualitas
hati menjadi dasar dan motivasi dalam menjalani hidup dan karya. Memang
pemahaman tidak cukup harus diimbangi dengan penerapan tetapi sebagai pintu
masuk hal ini harus diterapkan. Seorang yang dalam pembinaan dalam hal ini
pembinaan yuniorat masih diperlukan masukan-masukan dan pengertian yang
jelas akan semangat tarekat sehingga dalam pelaksanaan kedua hal tersebut
pengertian dan pemahaman menjadi padu. Para MSC termasuk yunior harus
mendapat pembinaan yang perlu, baik manusiawi maupun rohani yang terpadu
untuk perkembangan pribadi dan orang lain (bdk. Kosn. 2000 : no. 73).
Sebagai seorang bruder MSC yang pernah menjalani pembinaan yuniorat
merasakan betapa pentinya pemahamaan akan spiritualitas hati diberikan sejak
awal sehingga dalam karyanya nanti mampu mengintegralkan niai-nilai
spiritualitas hati dengan karyanya di tengah umat dan masyarakat. Spiritualitas
hati menjadi motor penggerak dalam berkarya, karena hal ini yang membedakan
dengan karya-karya lain artinya ada semangat di belakang dalam karya. Dalam
berkarya tidak hanya sekedar yang terpenting umat senang tetapi semangat yang
diusung yaitu spiritualitas hati harus masuk juga dalam karya sehingga umat
mampu mengikuti keteladanan yang diberikan dan terutama membawa mereka
Di tengah dunia ini yang semakin banyak masalahnya berimbas juga
kepada pembinaan. Pembinaan yang mengikuti perkembangan zaman dan mampu
mewujudnyatakan program-program pembinaan dengan mengikuti perkembangan
zaman akan semakin mudah untuk memahami permasalahan dan mampu
menciptakan program yang bermutu dan berguna bukan hanya untuk para peserta
bina namun untuk umat pada umumnya. Umat merindukan sosok atau figur yang
mampu membantu membawa mereka kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dalam hal ini perlu dihasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas yang mampu hadir
dan memahami umat bukan membebankan umat.
Spiritualitas hati adalah salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah.
Dengan spiritualitas hati orang akan melihat hati yaitu hati Kristus yang
lambung-Nya ditikam di atas kayu salib mengeluarkan darah dan air (bdk. Yoh 19:34,37).
Darah dan air merupakan lambang Yesus memberikan cinta yang besar kepada
manusia. Ia menganugerahkan Roh-Nya kepada kita, mencurahkan cinta
kasih-Nya kepada kita (bdk. Kons. No. 9).
Menyadari akan pentingnya spiritualitas hati bagi pembinaan MSC muda,
penulis mengharapkan para MSC muda khususnya para bruder untuk
meningkatkan penghayatan spiritualitas hati yang menjadi inspirasi dalam hidup
sebagai MSC dan menjadi motor pengerak dalam karyanya nanti sehingga hal
inilah yang membuat penulis merasa tergerak hati untuk menulis tentang
“PEMBINAAN MASA YUNIOR BRUDER MSC UNTUK MENGHAYATI
B. RUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang masalah yang ada maka rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pembinaan untuk masa yunior dalam tarekat MSC ?
2. Bagaimana spiritualitas hati dimengerti dan dihayati oleh para MSC
khususnya para yunior bruder MSC ?
3. Bagaimana spiritualitas hati diterapkan dalam pembinaan pada yunior bruder
MSC ?
C. TUJUAN PENULISAN Penulisan ini bertujuan :
1. Untuk memaparkan pembinaan yang dilakukan dalam tarekat MSC.
2. Untuk mendeskripsikan penghayatan spiritualitas hati yang dilakukan oleh
para MSC khususnya yunior bruder MSC.
3. Untuk menemukan hubungan penghayatan spiritualitas hati dengan
pembinaan para yunior bruder MSC.
D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan ini adalah :
1. Membantu para pembina untuk menemukan pembinaan yunior bruder MSC
sesuai dengan spiritualitas tarekat.
2. Membantu para konfrater MSC khususnya para bruder MSC untuk semakin
3. Membantu para pembina khususnya yunior untuk menerapkan pembinaan
yang berpusat pada spiritualitas tarekat.
E. METODE PENULISAN
Metode penulisan skripsi ini adalah deskriptif analisis dengan studi
kepustakaan. Dengan kata lain penulis mengumpulkan, mengolah dan
menganalisis tema-tema, tulisan atau teori-teori yang relevan. Penulis juga
mengadakan wawancara dengan para yunior bruder.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Adapun sistematika penulisan ini adalah :
Bab I : berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang
penulisan skripsi, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II : berisi tentang dinamika masa yuniorat yang meliputi pembinaan,
tahap-tahap pembinaan para bruder dalam tarekat MSC, pembinaan
yuniorat bruder MSC, tantangan-tantangan dalam pembinaan,
pergulatan dalam pembinaan yunior dan upaya mengatasi
tantangan-tantangan dalam pembinaan.
Bab III : berisi tentang spiritualitas Hati Kudus Yesus yang meliputi pendiri
tarekat MSC, sejarah berdirinya tarekat MSC, makna nama MSC,
spiritualitas hati kudus Yesus, pengertian hati, pengertian spiritualitas
dalam hidup MSC dan spiritualitas hati dalam panggilan dan hidup
bruder MSC.
Bab IV : berisi penghayatan spiritualitas dalam pembinaan masa yuniorat
bruder MSC yang meliputi latar belakang pengamatan, tujuan
pengamatan, jenis pengamatan, responden pengamatan, waktu, tempat
dan pelaksanaan pengamatan, pertanyaan refleksi, hasil refleksi,
pembahasan refleksi, harapan-harapan.
BAB II
DINAMIKA MASA YUNIORAT
A. PEMBINAAN
1. Pengertian Pembinaan
Menurut Mangunhardjana (1986 : 11-12) pembinaan dimengerti sebagai
terjemahan dari kata Inggris training, yang berarti latihan, pendidikan,
pembinaan. Sejauh berhubungan dengan pengembangan manusia, pembinaan
merupakan bagian dari pendidikan. Namun karena tekanan pengembangan dalam
pembinaan berbeda dari pengembangan dalam pendidikan, pembinaan dibedakan
dari pendidikan. Sebagaimana dipraktekan dewasa ini, pembinaan menekankan
pengembangan manusia dari segi praktis : pengembangan sikap, kemampuan dan
kecakapan. Sedang pendidikan menekankan pengembangan manusia dari segi
teoritis : pengembangan pengetahuan dan ilmu.
Dalam pembinaan, orang tidak sekedar dibantu untuk mempelajari ilmu
murni, tetapi ilmu yang dipraktekan. Tidak dibantu untuk mendapatkan
pengetahuan demi pengetahuan, tetapi pengetahuan untuk dijalankan. Dalam
pembinaan orang terutama dilatih untuk mengenal kemampuan dan
mengembangkannya, agar dapat memanfaatkannya secara penuh dalam bidang
hidup atau kerja mereka. Oleh karena itu unsur pokok dalam pembinaan adalah
mendapatkan sikap, attitude dan kecakapan, skill.
Dalam pembinaan terjadi proses melepas hal-hal yang sudah dimiliki,
delearning, berupa pengetahuan dan praktek yang sudah tidak membantu dan
baru yang meningkatkan hidup dan kerja. Tujuannya agar orang yang menjalani
pembinaan mampu mencapai tujuan hidup atau kerja yang digumuli secara lebih
efisien dan efektif daripada sebelumnya.
Kalau dirumuskan dalam bentuk definisi pembinaan adalah suatu proses
belajar dengan melepaskan hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal
yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya, untuk
membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk
mencapai tujuan hidup dan kerja, yang sedang dijalani, secara lebih efektif.
2. Tujuan Pembinaan
Setiap tarekat mempunyai tujuan dalam pembinaan anggotanya sehingga
setiap anggota mengetahui untuk apa dia dibina. Setiap tujuan pasti ada maksud
yang akan dicapai, sehingga maksud pembinaannya tidak sia-sia. Dalam Tarekat
MSC tujuan pembinaan sesuai dengan Konstitusi Tarekat MSC art. 73 berbunyi :
“Para Misionaris Hati Kudus akan mendapat pembinaan apa saja yang perlu demi suatu pertumbuhan manusiawi dan kristiani yang terpadu, baik demi perkembangan mereka pribadi, maupun demi kebaikan orang lain. Pembinaan tersebut hendaknya membantu mereka khususnya untuk memperdalam pembaktian diri mereka dengan segenap hati, memperkuat rasa keterlibatan dalam kelompok mereka, dan mendapat suatu persiapan yang memadai bagi hidup kerasulan mereka”.
Berdasarkan Konstitusi Tarekat MSC art. 73 dapat disimpulkan bahwa
pembinaan dalam tarekat MSC terbagi dalam tiga dimensi yaitu pertama dimensi
manusiawi dan kristiani terpadu, kedua dimensi perkembangan pribadi dan demi
kebaikan orang lain dan ketiga dimensi pembaktian religius yang meliputi
upaya untuk menghasilkan pembinaan yang efektif dan terarah. Ketiga dimensi ini
dilengkapi dengan pembinaan rohani dan laku tapa serta mempelajari sejarah
tarekat beserta konstitusi dan statuta tarekat agar mampu bekerja dan
bertanggungjawab dalam karya (kons. 74).
Sedangkan dalam buku Pedoman-pedoman Pembinaan dalam
Lembaga-lembaga religius (1992:10), artikel 1 tujuan pembinaan adalah :
“Pembinaan para calon yang langsung bertujuan untuk memperkenalkan mereka dengan hidup religius dan membuat mereka menyadari ciri khasnya di dalam Gereja, terutama ditujukan untuk membantu para religius pria dan wanita menyadari kesatuan hidup mereka dalam Kristus melalui Roh, dengan memadukan secara harmoni unsur-unsur rohani, apostolik, doktrinal dan praktis.”
Penegasan tentang tujuan utama pembinaan dikatakan dalam buku
Pedoman-pedoman Pembinaan dalam Lembaga-lembaga religius (1992:14),
artikel 6, berbunyi :
“Adapun tujuan utama pembinaan ialah memungkinkan para calon hidup religius dan angota-anggota muda yang sudah berprofesi, pertama-tama menemukan dan kemudian mengasimilasikan dan memperdalam apa yang merupakan jatidiri religius. Hanya dalam keadaan seperti itulah orang yang dipersembahkan kepada Allah dapat terjun ke dalam dunia sebagai saksi yang berarti, berdayaguna lagi setia. Oleh karena itu, tepatlah mengingatkan, pada awal dokumen tentang pembinaan, apa yang ditujukan oleh rahmat hidup bakti religius kepada Gereja.”
Dalam hal ini nampak jelas bahwa pembinaan itu menyeluruh dalam setiap
dimensi hidup manusia yang berupaya membangun manusia menjadi pribadi yang
B.Tahap-tahap Pembinaan Para Bruder dalam Tarekat MSC
1. Postulat
Kata postulat berasal dari bahasa latin “postulare” yang berarti
“mengajukan permohonan”. Mengajukan permohonan dapat dimengerti sebagai
permohonan awal masuk dalam biara dan mengajukan permohonan untuk dibina
dalam hidup membiara.
Masa pembinaan postulan bruder MSC merupakan suatu masa peralihan
dari cara hidup dalam keluarga ke cara hidup dalam biara khususnya
memperkenalkan tarekat MSC. Tahap peralihan ini dapat dilihat sebagai tahap
peralihan dari hidup di luar masuk ke dalam hidup membiara. Dalam tahap ini
calon perlu ditolong dalam upaya untuk memurnikan motivasi untuk menjadi
seorang Biarawan. Motivasi si calon sangat memegang peranan untuk pembinaan
selanjutnya. Motivasi seseorang untuk memasuki hidup membiara
bermacam-macam : ada motivasi tidak sadar, motivasi pribadi yang sadar dan motivasi
adikodrati (Agudo, 1989:55). Motivasi tidak sadar disebabkan karena pengalaman
yang dialami seseorang karena latar belakang keluarga, lingkungan dan juga
pengalaman intelektual dan spiritual semua dapat dipakai untuk menjalani
panggilan. Namun sulit menegaskan apakah panggilan ini asli atau buatan sendiri
saja. Kebutuhan akan rasa aman begitu kuat sehingga kebutuhan ini dijadikan
sebagai panggilan. Motivasi tidak sadar ini mempunyai akar pada kebutuhan yang
tidak diakui sedih karena kehilangan orang tercinta, perasaan kurang aman, rasa
salah, takut akan hukuman Tuhan, cemas untuk menghadapi kenyataan hidup,
motivasi yang dimiliki si calon karena adanya perkembangan yang matang dari
faktor intelektual dan emosional. Motivasi adikodrati adalah motivasi yang
dimiliki oleh si calon karena kematangan hidup rohani. Si calon mampu
mengembangakan hidup doa dan hubungan pribadinya dengan Tuhan serta
mempunyai keinginan untuk melakukan kehendak Tuhan dalam seluruh peristiwa
hidupnya. Sedangkan menurut Harjawiyata (1979:16) mengatakan mengenai
motivasi ada motivasi utama, ada motivasi samping, ada motivasi baik dan ada
motivasi yang tidak dapat dipuji. Perlu disadari juga bahwa setelah menyelesaikan
masa pembinaan ini motivasi si calon belum benar-benar murni. Oleh karena itu
dalam pembinaan postulat ini motivasi si calon mulai perlu disadarkan dan mulai
dimurnikan. Dalam hal ini juga perlu diperhatikan bahwa tiada seorangpun bisa
diterima tanpa persiapan yang memadai.
2. Pranovisiat
Maksud pranovisiat menurut Konstitusi Tarekat MSC art. 80 dikatakan
bahwa maksud pranovisiat adalah untuk membantu para calon dalam menentukan
suatu pilihan yang bebas dan masak diantara pelbagai status hidup kristiani yang
berbeda-beda, dan untuk memungkinkan komunitas menilai motivasi dan kerelaan
si calon untuk hidup religius.
Maka calon bruder MSC adalah suatu masa orientasi dan perkenalan diri
timbal balik antara calon dan tarekat. Calon perlu mengenal makna hidup bakti
pada umumnya dan hidup bakti tarekat MSC pada khusunya, yaitu sejarah,
dan latar belakangnya (keluarga dan kebudayaan), sifat dan watak, motivasi dan
kemampuannya. Adapun tujuan dari pembinaan pranovis ini adalah agar si calon
bertumbuh dan berkembang sehingga makin matang dan utuh, agar calon menjadi
pribadi yang makin matang dalam iman dan hidup kerohaniannya, agar calon
memiliki landasan yang kokoh dalam mengambil keputusan secara bebas tentang
hidup dan panggilannya.
3. Novisiat
Novisiat adalah masa yang istimewa untuk mulai masuk dalam kehidupan
membiara sebagaimana dihayati dalam tarekat. Dalam pembinaan ini dimulailah
hidup religius yang sesungguhnya. Mereka yang menjalani tahap ini di sebut
“Novis”. Kata “Novis” berasal dari kata Latin “Novicius” yang berarti : orang
baru. Tahap ini mutlak perlu. Seseorang yang mau menjalani hidup membiara
harus menjalani masa ini. Biara tempat mereka disebut “Novisiat”. Menurut
Heuken (1993:221) selama masa novisiat diharapkan. Para novis tumbuh dalam
iman dan cinta kasih akan Tuhan dan sesama manusia, mempelajari dan mulai
mengamalkan cita-cita kongregasi yang bersangkutan serta membiasakan diri
menjalankan hidup menurut nasehat injil sesuai peraturan yang berlaku dalam
Novisiat.
Masa novisiat menurut ketentuan gereja sekurang-kurangnya 1 tahun,
tetapi terbuka kemungkinan untuk menambah menjadi 2 tahun. Tahun pertama
disebut dengan masa kanonik. Dalam tahun ini para novis diajak untuk mendalami
(KHK, kanon, 646). Dengan demikian tekanan terletak pada pembentukan hidup
religius melalui pendalaman konstitusi dan pendalaman hidup rohani. Sedangkan
tahun kedua para novis diajak menghayati cita-cita kongregasi dalam hidup dan
karyanya yang kongkrit. Namun ada kongregasi yang hanya menjalankan masa
novisiat selama 1 tahun. Untuk tarekat MSC masa novisiat berlaku selama 1
tahun. Sedikit demi sedikit para novis harus belajar melepaskan segala sesuatu
yang tidak ada hubungannya dengan Kerajaan Allah artinya mereka harus belajar
untuk melakuan segala sesuatu yang berhubungan dengan Kerajaan Allah. Mereka
harus mempraktekan kerendahan hati, ketaatan, kemiskinan, doa dan persatuan
tetap dengan Allah.
Novisiat adalah suatu komunitas bina, sebagai masa pembinaan sebagai
calon anggota MSC yang telah menyelesaikan masa pembinaan pranovisiat dan
mempersiapkan diri untuk profesi pertama.
Menurut Konstitusi Tarekat MSC no. 86, maksud utama novisiat adalah
Agar menjadi masa inisiasi ke dalam kehidupan, semangat dan tugas perutusan
tarekat. Inisiasi ini harus memampukan si novis untuk bertumbuh dalam
kedewasaan, mengembangkan suatu kehidupan berdoa yang sungguh, mendalami
panggilannya sebagai seorang religius dan memperoleh suatu kepastian tentang
kemampuannya untuk menjalani hidup bakti dalam komunitas sebagai seorang
Misionaris Hati Kudus. Sedangkan dalam pedoman-pedoman pembinaan dalam
lembaga-lembaga religius (1992:43) artikel 45 berbunyi : hidup dalam lembaga
dimulai dalam novisiat. Tujuannya ialah agar para novis lebih memahami
cara hidup lembaga, serta membentuk budi dan hati dengan semangatnya, dan
agar terbuktikan niat serta kecakapan mereka.
Selama masa novisiat, para novis akan dibantu dalam menghidupi
semangat dan perutusan tarekat selama pengalaman hidup berkomunitas dan
terlibat dalam karya kerasulan yang wajar sesuai dengan peraturan-peraturan
Gereja dan tarekat. Mereka dibantu dalam hidup doa, studi dan bimbingan pribadi
agar mereka semakin mendalami kasih Allah dalam Hati Yesus, bertumbuh dan
berkembang dalam persaudaraan dengan Yesus serta mengembangkan rasa
keterlibatan dalam hidup berkomunitas, semakin membiasakan diri dengan hidup,
sejarah dan semangat bapa pendiri tarekat dan semangat mantap menjadi anggota
MSC, mengenal anggota-anggota dan karya-karya MSC.
4. Yuniorat Bruder
Yuniorat bruder adalah masa pembinaan selama tiga tahun sesudah profesi
pertama yang dijalankan dalam komunitas bina bruder-bruder dan komunitas
basis hidup bakti. Yang menjalankan masa yuniorat adalah para bruder yang
sudah mengucapkan profesi pertama.
Hidup di komunitas yuniorat berbeda dengan dengan hidup di novisiat.
Maka para yunior yang baru saja meninggalkan novisiat harus menyesuaikan diri
dengan kehidupan baru, walaupun masih dalam pembinaan. Keadaan baru ini
menyangkut hidup bersama dan kerja. Maka para yunior perlu ditolong untuk
merefleksikan, mengolah dan mengatasi tantangan-tantangan yang mereka hadapi,
Adapun tujuan dari pembinaan yuniorat bruder MSC adalah agar para
bruder yunior mendalami semangat serta cara hidup dalam komunitas basis hidup
bakti dengan memberikan kesaksian hidup sebagai bruder MSC. Para bruder
yunior diharapkan mengembangkan keterlibatannya pada perutusan Gereja
partikular dan Gereja setempat. Para bruder yunior diharapkan
mengaktualisasikan kemampuan dan mengembangkan karisma-karisma pribadi.
Sehubungan dengan masa yuniorat, Mardi Prasetya (1992:298) mengatakan masa
yuniorat adalah kelanjutan dari eksperimen dan pendalaman semangat serta cara
hidup tarekat sampai calon betul-betul mempunyai sikap mencintai tarekat secara
mendalam sehingga pihak tarekat mempunyai cukup alasan untuk menerimanya
secara definitif sebagai anggota tarekat dalam profesi kekal.
Pembinaan para bruder yunior harus memiliki daya dan kekuatan di dalam
diri mereka sendiri yang memberi mereka daya untuk berkembang. Maka para
bruder yunior jangan hanya dilihat sebagai objek pembinaan semata. Di dalam diri
mereka sudah tertanam benih hidup religius yang sudah cukup berkembang
karena sudah melalui tahap novisiat. Maka pembina harus menaruh kepercayaan
akan kekuatan-kekuatan yang terpendam di dalam diri para yunior.
5. Kaul Kekal
Pengikraran kaul kekal dilaksanakan setelah melewati masa-masa dalam
pembinaan atau melewati masa yuniorat. Pengikraran kaul kekal dilaksankan
Pengikraran kaul kekal sering disebut sebagai akhir masa pembinaan. Ia
sudah menamatkan masa-masa pembinaannya. Ia dianggap sudah dewasa dan
mampu mengolah hidup rohaninya. Dalam arti tertentu bisa juga dibenarkan tetapi
sebernarnya pengikraran kaul kekal adalah suatu lembaran baru sebagai seorang
religius. Ia masih memerlukan pembentukan. Hal ini makin disadari dengan
berbagai masalah dunia. Ia harus berhadapan dengan suasana baru di
tengah-tengah masyarakat dengan pelbagai tantangan-tantangan. J. Darminta (1983:80)
mengatakan bahwa, seseorang yang akan mengucapkan kaul kekal dapat
dipastikan memang sudah menerima bahwa ketiga nasihat injil itu sungguh
merupakan nilai yang tak dapat ditawar lagi bagi hidupnya..dia mampu secara
realistis menghayatinya menurut kondisi manusiawinya. Dengan demikian
menjadi jelas bahwa dengan penghayatan ketiga nasihat Injil ini tantangan ke
depan semakin banyak, sehingga masih dibutuhkan pembinaan yang
berkelanjutan.
C.Pembinaan Yuniorat Bruder MSC
Pembinaan yuniorat bruder adalah masa kelanjutan pembinaan setelah
novisiat. Dalam pembinaan lanjutan ini para bruder dipersiapkan dirinya untuk
persiapan kaul kekal dengan meneruskan, memperdalam dan mengembangkan
penghargaan dan pertumbuhan dalam pembinaan kemanusiaan, rohani,
intelektual, hidup bersama, apostolat dan hidup MSC demi tugas perutusan. Untuk
1. Hidup Kemanusiaan
Menurut J. Darminta (2008 : 33-34) kematangan atau kedewasaan
manusiawi berarti orang tahu melaksanakan tanggungjawabnya dengan
kompetensi, kebijaksanaan dan keteguhan. Seorang dewasa mampu menilai
manusia yang lain, peristiwanya tanpa keraguan dan banyak prasangka serta
mampu mengambil keputusan bijaksana. Tanda kebijaksanaan orang mampu
mengambil keputusan dengan tidak emosional tanpa memikirkan
kesukaran-kesukaran yang mungkin muncul belakangan. Dengan demikian orang dewasa
mampu memutuskan sendiri permasalahan yang dihadapi dan mampu
melaksanakan keputusan itu.
Belajar dari pengalaman tentang kehidupan adalah modal orang untuk
mampu bertahan akan tantangan yang dihadapi. Maka kedewasaan diharapkan
memiliki pendidikan yang integral sehingga pencapaiannya harus melalui proses
tahap demi tahap. Kedewasaan seseorang tidak langsung jadi tapi harus melalui
perjalanan umurnya, perkembangan dan pengalaman hidup. Kedewasaan akan
membuat orang untuk berani menghadapi dan mengambil segala tanggungjawab
atas tindakan dan perbuatan. Jadi dia bertindak bukan hanya ikut arus saja tetapi
karena ada sesuatu yang diperjuangkan dalam hidup. Orang yang memiliki
kedewasaan batin akan membuahkan kemerdekaan batin yang merupakan tujuan
dari seluruh perjalanan hidup. Dia mengambil keputusan karena diterangi oleh
akal dan iman. Dia mampu menggunakan kemerdekaan untuk hal-hal baik
2. Hidup Afektif
Menurut J. Darminta (2008 : 28-29) hidup afektif adalah suasana hati
beserta kecenderungan untuk menanggapi diri, hidup keadaan dan
peristiwa-peristiwa hidup. Landasan dinamika hidup afektif ialah kerinduan manusia. Tetapi
landasan hidup manusia ini dapat dibelokan oleh kuasa jahat dan kodrat manusia
karena dosa. Hidup afektif akan menimbulkan perasaan-perasaan manusia yaitu
menerima atau menolak terhadap apa yang dihadapi. Manusia akan menerima jika
membawa keuntungan bagi dirinya dan menolak jika merugikan dirinya. Ini
merupakan sifat alamiah manusia.
Perasaaan afektif akan memunculkan berbagai keutamaan seperti rasa
kagum, syukur, simpati, belaskasih ataupun rasa marah, takut, tak pantas, gentar.
Namun semua perasaan itu akan membawa manusia pada pengalaman hidup dan
memperkembangan kepribadian dan merupakan sumber kekuatan. Hidup afektif
merupakan tempat orang membangun hubungan dengan Allah dan sesama. Hidup
afektif yang matang ialah hidup yang selalu terarah kepada kebaikan ilahi . Dalam
hidup afektif orang akan teruji kelekatan dan keterpautan kepada Allah demi
Allah dan sesama.
Dalam hal hidup afektif orang perlu mengatur dan mengolah hidup
afektifnya, baik dalam relasi dengan sesama dalam persahabatan maupun dalam
permusuhan. Kematangan afektif akan nampak dalam kemampuan untuk
mencintai yang harus dicintai dengan benar atau bagaimana mencintai menurut
3. Hidup Religius
Hidup religius pada pokoknya ialah hidup yang mengikatkan diri secara
ekskusif kepada Allah. Dimensi ini secara konkrit dihayati dengan cara praksis
berdoa. Doa sendiri sebagai sarana pemupukan batin (ET no.45). Lebih dalam lagi
berdoa merupakan ungkapan kerinduan cinta untuk bertemu dengan Allah .
Praksis berdoa didasarkan oleh kerinduan cinta untuk bertemu dengan Allah (ET
no.42). Berdoa merupakan kegiatan orang Allah yang merasakan betapa dirinya
sendiri miskin dan tak mampu dari dirinya sendiri berhadapan dengan Allah (ET.
No. 43). Berdoa merupakan keberanian untuk percaya dan beriman. Doa berarti
mau membangun hidup beriman, hidup menyerahkan diri dengan penuh
kepercayaan karena merasakan dan menemukan bahwa Allah kuasa dan
sedemikian mencintai sehingga menjadikan kita baik dan utuh (Mrk 7 :37). Maka
berdoa merupakan praksis penghayatan hidup religius yang selalu mau terbuka
kepada kehendak Allah . Maka dari itu praksis berdoa seperti perayaan Ekaristi,
doa harian, doa pribadi maupun doa bersama yang sudah menjadi praksis berdoa
dalam hidup religius perlu diperhatikan. Hanya ada satu keselamatan hanya ada
satu doa. Selamat berarti semakin bebas dari rasa takut karena semakin mampu
hidup dalam kepercayaan .
4. Hidup Komunitas
Pada zaman sekarang sangat terasa kebutuhan diantara kaum religius suatu
komunitas persaudaraan yang sungguh-sungguh, terlebih dengan dibentuknya
Kristus. Pembinaan itu sebagian besar tergantung pada mutu komunitas.
Komunitas didirikan dan bertahan bukan karena para anggotanya menemukan
bahwa mereka berbahagia bersama-sama berkat persamaan pikiran, watak atau
sikap, melaikan karena Tuhan telah menghimpun dan mempersatukan mereka
oleh pembaktian bersama dan demi tugas perutusan bersama di dalam Gereja.”
(PPLR 26).
Pada masa sekarang komunitas semakin berusaha untuk meningkatkan
cara hidupnya sehingga bisa menjadi komunitas yang semakin cinta akan
persaudaraan. Komunitas yang dibangun dalam relasi persaudaraan yang erat akan
membuat komunitas itu menjadi hidup dan memiliki semangat kerendahan hati.
Dalam komunitas orang belajar saling menerima apa adanya dengan sifat positif
dan negatif, perbedaan-perbedaan dan keterbatasan-keterbatasan masing-masing.
Tiap anggota ditantang untuk memberikan yang terbaik yang ada padanya (bdk. 1
Kor 12 : 7).
Proses pertumbuhan dan perkembangan hidup beriman anggota komunitas
tergantung juga pada mutu hidup komunitas. Mutu hidup komunitas pada
umumnya merupakan buah dari iklim dan gaya hidup anggotanya. Hal ini bisa
dilihat dari semangat persaudaraan, saling menerima, saling pengertian, saling
mendukung dan juga dilihat dari cara menghayati hidup kaulnya.
5. Hidup Membiara
Dalam hidup membiara penghayatan kaul merupakan inti dari hidup
No. 13). Pengalaman mendalam bahwa Allah sedemikian besar cintaNya, sampai
memberikan Putera Tunggal-Nya mendorong orang untuk mempersembahkan diri
seutuhnya kepada Tuhan, meninggalkan segala-galanya dan taat kepada sabda dan
kehendak-Nya. Penghayatan kaul merupakan penghayatan kerohanian ekaristis
yaitu hidup syukur atas segala kebaikan dan cinta Tuhan, sehingga orang rela
mengorbankan nyawanya untuk Tuhan. Praksis hidup ekaristis dalam hidup
sehari-hari adalah penghayatan misteri salib dan kebangkitan Kristus.
Kaul kemurnian dimengerti sebagi persembahan diri seutuhnya kepada
Tuhan (ET. No. 15), maka penghayatan kaul kemurnian harus didasarkan pada
dua segi hidup religius yaitu kontemplatif dan apostolis. Segi kontemplatif hidup
kemurnian dalam mengikuti Kristus ialah memusatkan diri pada kedatangan
Kristus dan penyadaran terus menerus akan akhir jaman, karena pada saat itu
kepenuhan cinta terlaksana. Kemurnian apostolis merupakan hidup yang
memusatkan diri kepada penantian akan hari Tuhan, hari pemenuhan cinta. Dalam
VC (88), dikatakan bahwa :
“ Tanggapan Hidup Bakti terutama terletak pada penghayatan kemurnian sempurna penuh kegembiraan sebagai kesaksian tentang kekuatan cinta kasih Allah yang nampak pada kelemahan kondisi manusiawi. Kesaksian itu disajikan kepada tiap orang untuk menunjukan bahwa kekuatan cinta kasih Allah dapat melaksanakan hal-hal besar justru dalam konteks cintakasih manusiawi”.
Kaul kemiskinan merupakan kesanggupan untuk melayani dengan
kemerdekaan cinta. Kemerdekaan dalam cinta ini sering disebut miskin dalam
Roh (Mat 5 : 3). Karena itu dia sungguh-sungguh hidup miskin, artinya tidak
melekat pada sarana-sarana hidup dan tidak menjadikan sarana ini sebagai tujuan
menunjukan suatu semangat pelayanan yang sungguh-sungguh hanya ditujukan
untuk kemuliaan Kristus dan karya keselamatan Kristus. Oleh karena itu
penghayatan kaul kemiskinan berarti harus solider kepada mereka yang miskin
dan menderita ketidakadilan. Tantangan lain pada zaman sekarang yakni
materialisme yang haus akan harta milik tanpa mengindahkan
keperluan-keperluan dan penderitaan-penderitaan rakyat yang paling lemah dan tanpa
kepedulian manapun terhadap keseimbangan sumber-sumber daya alam.
Tanggapan hidup bakti terdapat dalam pengikraran kemiskinan injili yang dapat
dihayati dengan pelbagai cara dan sering dicetuskan dalam keterlibatan aktif
dalam usaha mengingatkan solidaritas dan cintakasih (VC. 89).
Kaul ketaatan merupakan kesanggupan dan kesediaan untuk melaksanakan
tuntutan cinta. Ketaatan mempunyai dasar pada Yesus (Bdk Flp 2 :1 -11).
Ketaatan pada Kristus adalah jalan menuju kepada Bapa. Ketaatan Yesus kepada
Bapa ditunjukan lewat penderitaan-Nya. Derita kepada sesama merupakan
ungkapan cinta kepada Allah dan kehendak-Nya. Ketaatan yang menderita
membuat orang untuk dekat dengan sesama yang menderita dan teraniaya.
Ketaatan ini harus dilandasi dengan semangat cinta artinya mau melakukan apa
saja demi orang yang dicintainya. Dalam VC. no. 91 dikatakan bahwa :
D.Tantangan-tantangan dalam Pembinaan
1. Budaya
Indonesia memiliki ragam budaya yang majemuk. Iklim budaya
membentuk karakter dari masing-masing orang yang hidup dalam satu
kebudayaan. Hal ini membuat karakter orang bisa berbeda karena faktor budaya.
Begitupun dalam hidup membiara, setiap individu yang masuk dalam biara
membawa budayanya masing-masing. Dalam konteks tarekat MSC, setiap
individu yang masuk dalam tarekat MSC berasal dari hampir seluruh pelosok
Indonesia, maka secara otomatis ikut membawa budayanya. Dalam hal ini budaya
sebenarnya bukan suatu halangan atau hambatan untuk masuk dalam hidup
membiara. Dalam GS. Art. 53 dikatakan bahwa budaya itu menyempurnakan dan
mengembangkan hidup manusia secara utuh. Dengan demikian budaya juga ikut
membantu mengembangkan hidup dalam hidup membiara. Begitupun dalam
PPLR no. 89 menunjuk hubungan yang erat antara hidup bakti dan kebudayaan
bahwa setiap kebudayaan haruslah diuji, artinya harus dimurnikan dan
disembuhkan dari luka-luka dosa. Serentak pula kebijaksanaan yang dikandung
oleh kebudayaan-kebudayaan itu telah diungguli, diperkaya dan disempurnakan
oleh kebijaksanaan salib.
Dalam pengertian ini mau dikatakan bahwa Yesus dan Injil-Nya mengatasi
kebudayaan. Yesus mempersatukan setiap orang dengan berbagai macam latar
belakang budayanya. Lalu yang menjadi pertanyaan dimana letak tantangannya ?
Koentjaraningrat (2005:VI-VII) membagi tantangan kebudayaan menjadi 7 yaitu,
kekerabatan, kesatuan hidup, religi dan kepercayaan. Ini menjadi landasan untuk
bisa melihat lebih mudah akan tantangan yang dihadapi dalam hal kebudayaan.
Bagi penulis sendiri seperti yang dilihat dalam kehidupan sebagai anggota MSC
yang menjadi tantangan dalam hal kebudayaan salah satu contoh adanya strata
sosial dalam suatu budaya masyarakat atau tingkatan menurut kasta sehingga
tanpa disadari atau disadari mempengaharui kehidupan baik dalam komunitas
maupun karya. Memang ini tidak mempengaharui seluruh anggota tetapi
berdampak pada sebagian anggota yang berasal dari suku tertentu.
2. Hidup dalam Zaman Modern
Generasi muda sekarang ini yang masuk dalam biara adalah generasi
modern. Artinya generasi yang hidup dalam suasana atau alam yang serba
canggih. Yang sangat menonjol sekarang ini adalah kemajuan teknologi yang
serba cepat dan canggih seperti televisi, telepon, hp, internet. Dengan peralatan ini
dunia serasa semakin sempit karena dari pelosok manapun di dunia ini bisa kita
ketahui lewat televisi dan internet dan kita juga bisa berbicara seakan
berhadap-hadapan lewat hp. Dengan demikian para biarawan muda yang masuk tarekat tahu
akan perangkat-perangkat canggih tersebut. Hal ini membawa dampak pada sifat
individualisme menjadi kuat. Dengan adanya alat-alat canggih tersebut anggota
akan asyik sendiri dengan barang-barang yang dimilikinya. Hal ini akan
berdampak pada kehidupan komunitas. Anggota komunitas tidak akan betah
berlama-lama berdoa, yang dipikirkan hanya nonton tv atau internetan ataupun
orang lain lewat hp. Hal lain yang membawa dampak yaitu menimbulkan budaya
instant. Sekarang ini banyak hal serba instant ada makanan dan minuman instant
(mie, kopi) yang disajikan cepat. Memang budaya instant bisa membuat orang untuk bisa berpikir dan bekerja cepat namun dalam konteks membiara anggota
tarekat tidak mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi masalah
sehingga cepat-cepat untuk mundur.
3. Keluarga
Keluarga adalah dasar dalam membangun iman seseorang dan keluarga
juga adalah dasar dalam pembinaan iman sehingga orang bisa tertarik menjadi
seorang biarawan. Dalam GS.art. 52, mengatakan melalui pendidikan hendaknya
anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga bila nanti sudah dewasa mereka
mampu penuh tanggungjawab mengikuti panggilan mereka, juga panggilan hidup
bakti serta memilih status hidup mereka.
Namun perlu disadari juga bahwa tidak semua keluarga memiliki
pengalaman yang membahagiakan sehingga pembinaan iman dalam keluarga
berjalan baik. Dan setiap keluarga mempunyai caranya masing-masing dalam
membangun imannya. Dalam PDV. art 44 dikatakan, ada kalanya situasi
keluarga-keluarga sendiri, tempat timbulnya panggilan-panggilan imam, akan
menampilkan tidak sedikit kelemahan bahkan kadang-kadang kekurangan yang
cukup serius.
Sebagai contoh ada yunior yang diijinkan untuk berlibur ke rumah orang
melihat kehidupan keluarga maka mengambil jalan untuk keluar dari biara. Dalam
hal ini memang perlu dilihat lagi permasalahannya tetapi bukan menjadi alasan
untuk keluar meninggalkan biara. Keluarga memang masih bisa menjadi
tantangan dalam hidup membiara apabila keluarga mendapat masalah.
4. Pribadi
Pribadi dari setiap anggota tarekat mempunyai karakter yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena anggota tarekat berasal dari budaya yang berbeda
dan tumbuh dalam suatu lingkungan yang berbeda. Namun perbedaaan ini bisa
diatasi dengan saling mengenal dan memahami budaya serta karakteristik
masing-masing orang. Namun dalam hal ini yang mau ditekankan adalah soal identitas
diri. Dalam perjalanan panggilannya si calon begitu bersemangat dalam menjalani
hidup panggilan terutama sewaktu dibina di novisiat. Banyak hal tentang
kehidupan baik jasmani dan rohani diberikan untuk memperkuat panggilan.
Namun yang diajarkan di novisiat akan berbeda setelah hidup dalam satu
komunitas karya. Di novisiat diajarkan tentang semangat berkorban tetapi dalam
komunitas karya kadang mengalami hal yang berbeda sehingga menimbulkan
pertentangan, belum lagi menghadapi anggota yang lebih senior yang kurang
menunjukan semangat tarekat. Hal-hal semacam ini akan menimbulkan
pertanyaan dalam diri dan menimbulkan tantangan mengenai identitas dirinya.
Identitas kabur menghasilkan kepribadian tidak menentu, identitas yang tidak
diterima berakibat benci akan diri sendiri yang tidak disadari dan pribadi yang
Tantangan yang dihadapi juga adalah merasa tidak mampu menjalankan
tugas perutusan tarekat walaupun sudah berusaha sekuat tenaga. Hal seperti ini
menimbulkan keraguan dalam diri. Tantangan lain juga jika melihat anggota yang
lebih senoir mampu menjalankan tugas perutusan dengan penuh semangat dan
kegembiraan sedangkan diri sendiri tidak mampu untuk melakukan seperti
annggota yang lain sehingga menimbulkan sifat minder karena tidak sanggup
melakukan apa-apa. Tantangan-tantangan seperti ini sering dijumpai dalam diri
para anggota yunior karena merasa belum dapat berbuat sesuatu untuk tarekat.
E.Pergulatan dalam Pembinaan Yunior Bruder MSC
1. Program Pembinaan Belum Efektif
Setiap tempat pembinaan pasti memiliki program pembinaan
masing-masing yang disesuaikan dengan keadaan tarekat. Program ini disusun begitu baik
dan ada hasil yang nantinya akan dicapai. Program disusun oleh orang-orang yang
mempunyai keahlian dan pengalaman dalam pembinaan. Dalam Konstitusi MSC
art. 78 dikatakan bahwa, pemimpin propinsi dan Dewannya akan memandang
sebagai salah satu kewajiban mereka yang lebih penting untuk menjamin bahwa
program-program pembinaan disusun dengan baik dan isinya sesuai dengan
kebutuhan para anggota pada masing-masing tingkat pembinaan mereka.
Semua program pembinaan berfungsi untuk mempersiapkan para yunior
dalam menghadapi hidup dan permasalahannya. Para yunior diharapkan mampu
menjadi orang yang bertanggungjawab, mandiri, sederhana, berbelaskasih
sebagaimana yang telah dibuat. Ada beberapa kendala yang membuat program
tidak berjalan.
a. Faktor pertama adalah team pembina. Di bawah akan disampaikan tentang
faktor tenaga pembina tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa team
pembina juga merupakan satu pergulatan yang besar. Di dalam yuniorat sudah
ada team pembina namun team ini tidak berjalan dengan baik karena team yang
terbentuk masih memegang jabatan lain sehingga fokus terhadap pembinaan
kurang. Waktu untuk pembinaan terbagi-bagi menyebabkan program ada
namun belum berjalan baik.
b. Faktor kedua adalah faktor jarak antara pembina dan yunior. Tarekat MSC
berkarya hampir di semua pulau di Indonesia dengan demikian tidak menutup
kemungkinan para bruder yuniorpun diutus dimana tarekat berkarya. Setelah
mereka berkarya otomatis mereka berada jauh dari tempat pembinaan yuniorat.
Padahal mereka masih dalam pembinaan walaupun setelah mereka dikaryakan
yang menjadi pembina adalah pemimpin komunitas setempat. Tidak mudah
mempertemukan para yunior yang tersebar untuk mendapat pembinaan
bersama-sama.
c. Faktor ketiga adalah komunikasi antara bruder yunior yang sedang studi
dengan pembina. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dengan kemajuan
teknologi semua bisa diatasi namun dalam pembinaan, kemajuan teknologi
tidak bisa dipakai semuanya. Misalnya dalam bimbingan tidak hanya cukup
lewat Hp (handphone) atau media elektronik lain (email). Si yunior harus
diungkapkan. Kontak antara yunior dengan pembina juga kurang. Selama ini
jarang pembina datang ke rumah studi ataupun kalau yunior yang pergi ke
yuniorat, pembinanya tidak ada ataupun kalau ada bukan maksud untuk
bertemu. Dengan kata lain saling menunggu panggilan dari pembina atau
pembina menunggu yunior datang.
Faktor-faktor di atas merupakan suatu pengalaman yang dialami dan
dilihat langsung oleh penulis tentang yuniorat. Hal ini bukan berarti melihat dari
segi negatifnya tetapi kiranya menjadi suatu masukan untuk pembina dalam
menjalankan programnya agar mampu menjangkau semua yunior.
2. Kurangnya Tenaga Pembina
Pembinaan anggota adalah suatu karya yang sangat penting, karena lewat
pembinaan maka anggota tarekat akan semakin menjadi orang yang sungguh
memahami tarekatnya dan juga anggota akan semakin menjadi orang yang lebih
dewasa, matang dan bijaksana. Dalam pembinaan juga diharapkan akan hadirnya
orang-orang yang berkualitas dalam menangani karya-karya tarekat. Dalam
Konstitusi Tarekat MSC art. 77 dikatakan bahwa, anggota-anggota yang diberi
kepercayaan untuk melakssanakan pembinaan pada segala tingkatannya harus
sudah berkaul kekal dan diangkat oleh Pemimpin Propinsi bersama Dewan.
Mereka dipilih berdasarkan kemampuan dan dipersiapkan secara memadai untuk
tugas mereka.
Namun pada kenyataanya tidak banyak orang yang mau terlibat dalam
mau. Sebenarnya masalah ini dapat diatasi karena setiap biarawan mengikrarkan
kaul ketaatan maka sudah sepantasnyalah setiap anggota untuk taat pada
perutusan tarekat. Namun demikian jika sipembina mampu ia tidak hanya diberi
kepercayaan sebagai tenaga pembina. Ia masih harus merangkap jabatan lain
misalnya masih menangani karya atau duduk dalam dewan propinsi. Hal ini tidak
bisa dihindari karena tidak ada orang lain yang mau.
Tugas pembinaan biasanya lebih dihindari daripada dicari. Anggota lebih
menghindari untuk menjadi seorang pembina karena merasa tidak mampu. Hal
lain juga yaitu ada yang bisa menjadi pembina tetapi mengundurkan diri dari
tarekat sehingga makin berkurang anggota untuk menjadi pembina yang handal.
Selain itu faktor kejenuhan dalam pembinaan. Karena hanya hal-hal dalam
pembinaan yang dihadapi sehingga merasa jenuh. Jika sampai pada titik
kejenuhan maka ia akan segera untuk pergi meninggalkan tempat pembinaan dan
mencari karya lain.
3. Pengintegrasian antara Pembinaan dan Karya
Pembinaan dan karya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena antara
pembinaan dan karya sangat berkaitan. Seorang anggota tarekat sebelum berkarya
akan melewati masa-masa pembinaan awal untuk memperkuat diri dan sebagai
bekal dalam menghadapi suka duka dalam karya. Dalam Konstitusi Tarekat MSC
art. 145.2 mengatakan kegiatan kerasulan termasuk inti hakekat kita sebagai
hidup kita harus diresapi oleh suatu semangat kerasulan, sama seperti seluruh
kegiatan kerasulan kita harus dijiwai oleh suatu semangat religius.
Pembinaaan hanya bersifat teori saja tetapi praktek sesungguhnya ada
dalam karya. Mungkin seorang anggota tarekat dalam pembinaan begitu baik dan
bersemangat tetapi setelah terjun dalam karya berubah menjadi orang yang tidak
bersemangat dan pesimistis. Hal ini mungkin saja terjadi karena apa yang dialami
dan didapatkan dalam pembinaan berbeda dengan yang dialami dalam karya.
Belum lagi faktor komunitas yang ikut mempengaharui anggota dalam karya.
Komunitas yang baik dan kondusif akan mendukung karya yang baik tapi
sebaliknya akan membuat karya dan bahkan anggotanya tidak betah dan mundur
dari karya yang dijalani. Maka dalam pembinaan perlu dimasukan program yang
menunjang karya tarekat dan mulai melibatkan subjek bina dalam pengenalan
akan karya tarekat bisa bisa seperti live-in atau ekspousure. Sehingga anggota
tarekat mulai mengenal dari awal yang menjadi karya tarekat sehingga mereka
tidak ragu dalam menjalankan karya tarekat setelah berkarya.
F. Upaya Mengatasi Tantangan - tantangan dalam Pembinaan
1. Pembinaan Bercorak Religius Misioner
Ciri dan corak pembinaan dalam tarekat adalah pembinaan religius. Ciri
dan corak religius tersebut dirumuskan secara padat dalam tiga sifat dasar hidup
bakti yakni, concecratio-communio-missio. Ciri dan corak religius ini sangat
penting dan mendasar sehingga mewarnai seluruh jenjang pembinaan dalam
concecratio-communio-missio, tidak hanya berhenti pada pembinaan awal, melainkan secara
terus-menerus diperhatikan dan dirumuskan dalam seluruh kehidupan demi tugas
perutusan tarekat.
2. Pembinaan Suatu Proses Interaksi Personal
Dalam konteks pembinaan religius, upaya pembinaan dalam tarekat
merupakan suatu proses interaksi personal bertahap dan berkesinambungan.
Maksudnya suatu proses yang memungkinkan adanya perkembangan dan
pertumbuhan dalam setiap dimensi pembinaan, kepribadian, kerohanian,
intelektual, pastoral komunitas dan ke-MSC-an demi tugas perutusan tarekat. Hal
ini berarti bahwa dalam seluruh proses pembinaan setiap tahap/jenjang pembinaan
saling melengkapi.
Selanjutnya dikatakan bahwa pembinaan suatu proses terjadi dalam suatu
interaksi personal. Maksudnya bahwa interaksi tersebut terjadi antara yang
membimbing dan yang dibimbing. Menyangkut hal ini Konstitusi Tarekat MSC
art. 76 mengatakan proses pembinaan menuntut adanya suatu keikutsertaan aktif
dari mereka yang saling dibina, dalam dialog dengan para pembimbing mereka.
3. Pembinaan Pendampingan Personal
Pendampingan merupakan pokok yang paling penting dan sentral dalam
seluruh proses pembinaan. Gagasan pendampingan, oleh konstitusi dirumuskan
secara sederhana bahwa antara yang dibina dengan pembina perlu adanya
cara pendampingan dengan adanya bimbingan rohani. Bimbingan rohani
diupayakan agar subjek bina dapat secara intensif mengungkapkan perkembangan
rohaninya agar mampu bertahan dalam menjalani hidup membiara. Dalam
bimbingan rohani diupayakan juga agar subjek bina mendaptkan kekuatan baru
baik jasmani maupun rohani sehingga perkembangan hidupnya berjalan bersama.
4. Pembinaan Dialog Partisipatif
Pembinaan bercorak partisipatif maksudnya ialah bahwa seluruh sistem
dan proses pembinaan dalam tarekat menuntut adanya suatu tanggungjawab
bersama dari para pembina dan yang dibina. Tanggungjawab bersama ini
terwujud antara lain dalam hal penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program
pembinaan. Dalam hal ini Konstitusi Tarekat MSC art. 76 dengan jelas
menegaskan bahwa : Proses pembinaan menuntut adanya suatu keikitsertaan aktif
dari mereka yang sedang dibina dalam dialog dengan para pembimbing mereka.
Ide tentang tanggungjawab bersama dalam sistem dan proses pembinaan
melahirkan gagasan tentang pendampingan personal. Tekanan terutama pada
upaya mendampingi para calon atau anggota bina dalam pengalaman hidup
rohani, yakni intimitas dengan Allah dan solidaritas dengan sesama sebagai
5. Pembinaan Kontekstual-Transformatif
Konstitusi Tarekat MSC art.77 berbunyi sepanjang seluruh masa
pembinaan hendaknya dipelihara hubungan dengan dunia nyata dan lingkungan
kultur/budaya para calon/anggota.
Konstitusi dengan demikian mengingatkan bahwa pembinaan dalam
tarekat MSC bersifat kontekstual dan kultur maksudnya pembinaan para anggota
berakar dalam budaya mereka sendiri. Pembinaan harus membantu para anggota
mampu mengerti, memahami dan menghargai kultur mereka dalam arti kata yang
luas, baik kultur asli maupun kultur modern demi tugas perutusan tarekat. Dalam
arti ini juga diharapkan pemahaman tentang kultur secara menyeluruh artinya
bukan hanya kultur sendiri yang dimengerti tapi juga mampu belajar untuk
memahami kultur oran lain.
Pembinaan yang kontekstual harus segera dihubungan dengan coraknya
yang transformatif . Disinilah ditemukan aspek misioner dan proses pembinaan.
Pembinaan tidak hanya berakar di dalam budaya melainkan juga merubah
manusia dan kebudayaannya dari dalam. Dengan kata lain pembinaan pada
BAB III
SPIRITUALITAS HATI KUDUS YESUS DALAM TAREKAT MSC
A. Tarekat Hati Kudus Yesus
1. Pendiri Tarekat Misionaris Hati Kudus
Pada tanggal 15 maret 1824 di kota Richelieu, lahirlah seorang anak yang
diberi nama Jules Chevalier. Bapaknya bernama Jean Charles Chevalier, ibunya
bernama Louise Ory. Jules mempunyai 2 orang kakak, Charles Chevalier dan
Louise Chevalier. Beda umur antara kakaknya laki-laki Charles adalah 12 tahun
sedangkan kakaknya perempuan Louise adalah 12 tahun. Keluarga Chevalier
adalah keluarga miskin namun orang tuanya dibaptis katolik dan menerima
sakramen-sakramen sampai mereka meninggal. Jules kecil mendapat pendidikan
dan kesalehan dari ibunya. Ia mendidik Jules dengan baik dalam hal nilai-nilai
kristiani dan manusiawi. Sebagai contoh ibunya mengajarinya untuk tidak
mencuri dan pendidikan itu sangat berhasil. Sebagai contoh suatu hari Jules diajak
ibunya ke pasar, di saat ibunya membelakanginya Jules mencuri apel dari seorang
pedangang. Sesampai di rumah ketika Jules memakan apel tersebut ibunya
melihat buah curiannya, maka ibunya membawa Jules kembali ke pasar dan
meminta maaf karena telah mencuri. Ibunya juga mengajarkan hal-hal mengatasi
watak yang panas dan galak yang ia warisi dari ayahnya. Ia mulai berani dan
Pada usia 12 tahun, Jules terpaksa meninggalkan dunia anak-anak karena
keluarganya miskin. Ayahnya mula-mula berdagang biji-bijian kemudian
berjualan roti. Usaha ayahnya tidak berhasil.
Pada tanggal 29 Mei 1836, Jules memberitahukan kepada kedua orang
tuanya tentang keputusannya untuk menjadi Imam. Ia meminta kepada orang
tuanya untuk membawanya ke seminari di Tours. Tetapi ibunya menasehatinya
bahwa mereka tidak mampu untuk membiayainya maka ibunya menyarankan
untuk bekerja. Dengan berat hati Jules memenuhi perkataan ibunya. Ia mulai
bekerja sebagai tukang sepatu. Sejak saat itu Jules menjadi seorang tukang
sepatu, namun demikian Jules masih menemukan waktu untuk belajar bahasa
Latin dengan bantuan Pastor Parokinya. Walaupun masih belasan tahun namun
Jules berusaha untuk mandiri dan mengambil langkah untuk masa depannya.
Pada bulan Maret 1841, keluarga Chevalier meninggalkan Richelieu dan
pindah ke Vatan dalam propinsi Berry untuk bekerja sebagai penjaga hutan.
Ketika berumur 17 tahun terbuka bagi Jules kesempatan untuk masuk Seminari
Menengah St. Gaultier dalam Keuskupan Bourges. Hal ini dikarenakan majikan
dari ayahnya mandor dari penjaga hutan bersedia menanggung uang sekolah dan
asrama Seminari Menengah untuk Jules. Maka keinginan untuk masuk seminari
yang diimpikan Jules bisa terwujud.
Di Seminari menengah keinginan berelasi dengan teman-temannya dan
serentak untuk mengejar cita-citanya diuji secara berat. Pada waktu itu umur Jules
17 tahun sedangkan teman-temannya masih berumur 12 tahun. Karena sudah lama
pelajaran. Teman-temannya rata-rata setelah tamat Sekolah Dasar langsung
melanjutkan ke seminari. Hal lain juga Jules berasal dari daerah yang berbeda
dengan teman-temannya. Ia berasal dari Richelieu sedangkan teman-tema