• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI DI SUMATERA UTARA OLEH TAUFIK SIREGAR /S3 HK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI DI SUMATERA UTARA OLEH TAUFIK SIREGAR /S3 HK"

Copied!
428
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI

DI SUMATERA UTARA

OLEH

TAUFIK SIREGAR 108101012/S3 HK

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI

DI SUMATERA UTARA

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Runtung., SH., M. Hum

Untuk Dipertahankan Di Hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh

TAUFIK SIREGAR 108101012/S3 HK

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi :PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI DI

SUMATERA UTARA

Nama : TAUFIK SIREGAR

Nomor Pokok : 108101012

Program :DOKTOR (S3) ILMU HUKUM

Menyetujui Komisi Pembimbing:

(Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LLM) Promotor

(Prof. Dr. Runtung, S. H, M.Hum)(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H) Co- Promotor Co – Promotor

Ketua Dekan

(Prof. Dr. Sunarmi., SH., M. Hum) (Prof. Dr. Budiman Ginting., SH., M. Hum)

(4)

KOMISI PENGUJI

Prof. Dr. Tan Kamello., SH., M.S

Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait., SH., MLI

Prof. Dr. Jamaluddin., SH., MH

(5)

PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI DI SUMATERA UTARA

Oleh:

Taufik Siregar *

Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LLM **

Prof. Dr. Runtung, S. H, M.Hum ***

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H ***

ABSTRAK

Lambatnya penyelesaian perkara dan terjadi penumpukan perkara menimbulkan rasa tidak percaya dari para pencari keadilan. Proses mediasi bukanlah suatu fenomena baru baik untuk dunia Barat dan Timur. Menggunakan mekanisme mediasi untuk menyelesaikan masalah termasuk sebagai cara untuk melaksanakan sistem peradilan yangcepat, sederhana dan biaya ringan.

Adapun permasalahan yang timbul dalam penelitian ini yaitu 1) Bagaimana peran mediator dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara? 2) Bagaimana keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara? 3) Bagaimana persfektif mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri?.

Dalam melakukan penelitian ini, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ditempuh dengan 2 (dua) metodeyaitu:Studi kepustakaan diperoleh dari asas- asas, konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan, doktrin-doktrin hukum serta isi kaidah hukum yang diperoleh dari dua referensi utama yaitu yang bersifat umum (perundang-undangan, peraturan, buku-buku teks, kamus) dan yang bersifat khusus (jurnal, laporan penelitian, dan lain-lain).Penelitian lapangandilakukan dengan cara mengambil data keberhasilan mediasi pada pengadilan negeri di Sumatera Utara serta melakukan wawancara terhadap beberapa responden serta melakukan observasi di pengadilan negeri di Sumatera Utara.

Peran mediator dalam mediasi untuk menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri adalah:mediator bertugasmemperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk saling memperkenalkan diri, menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat mediasi kepada para pihak, menjelaskan kedudukan dan peran mediator yang netral dan tidak mengambil keputusan, membuat aturan pelaksanaan mediasi bersama para pihak, menjelaskan bahwa mediator dapat

(6)

mengadakan pertemuan dengan satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus), menyusun jadwal mediasi bersama para pihak, mengisi formulir jadwal mediasi, memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan permasalahan dan usulan perdamaian, menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan berdasarkan skala proritas, memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan para pihak, mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak dan bekerja sama mencapai penyelesaian, membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan kesepakatan perdamaian, menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak dapat dilaksanakannya mediasi kepada hakim pemeriksa perkara, menyatakan salah satu atau para pihak tidak beriktikad baik dan menyampaikan kepada hakim pemeriksa perkara, tugas lain dalam menjalankan fungsinya.

________________

Kata Kunci: -Mediasi

- Perkara Perdata -Pengadilan Negeri

* Mahasiswa Program DoktorIlmuHukumFakultasHukumUniversitasSumatera Utara Medan

** Guru BesarFakultasHukumUniversitasPadjadjaran Bandung

*** GuruBesarFakultasHukumUniversitas Sumatera Utara Medan.

(7)

PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI DI SUMATERA UTARA

Oleh:

Taufik Siregar *

Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LLM **

Prof. Dr. Runtung, S. H, M.Hum ***

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H ***

ABSTRACT

The slow pace of settlement of cases and the accumulation of cases leads to the distrust of justice seekers. The mediation process is not a new phenomenon both for the West and the East. Using mediation mechanisms to solve problems include as a way to implement a fast, simple and costly judicial system.

The problems that arise in this research are 1) How is the role of mediator in solving civil cases in the district court in North Sumatra? 2) How is the success of mediation in settling civil cases in a district court in North Sumatra? 3) What is the perspective of mediation in settling civil cases in the district court ?.

In doing this research, data collecting technique in this research is taken with 2 (two) method that is: Library study obtained from the principles, conceptions, views, legal doctrines as well as legal content obtained from two main references Namely the general nature (legislation, regulations, textbooks, dictionaries) and the special nature (journal, research report, etc.). Fieldwork is conducted by taking data of mediation success at the district court in North Sumatra and Interviewed several respondents and conducted observations in the district court in North Sumatra.

The mediator's role in mediation in solving civil cases in public courts is:

the mediator is tasked with introducing himself and allowing parties to introduce themselves, explaining the purpose, purpose, and nature of mediation to the parties, explaining the position and role of a neutral mediator and not taking Making the rules of mediation with the parties, explaining that the mediator can hold meetings with one party without the presence of the other (caucus), arranging a mediation schedule with the parties, filling out the mediation schedule form, providing opportunities for the parties to address issues and peace proposals , Inventory issues and schedule discussions on a scale of priority, facilitate and encourage parties to explore and explore stakeholder interests, seek out the best possible solutions for the parties and work towards completion, assist In making

(8)

and formulating peace agreements, submitting reports of success, failure and / or non-mediation to a judge of a probationary, declaring either one or the parties not having good intentions and submitting to the judge of the court examiner, another duty in carrying out its functions.

________________

* Mahasiswa Program DoktorIlmuHukumFakultasHukumUniversitasSumatera Utara Medan

** Guru Besar FakultasHukumUniversitasPadjadjaran Bandung

*** Guru Besar FakultasHukumUniversitasSumatera Utara Medan.

Keyword: - Mediation - Civil Case

- Public Court

(9)

Puji syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT karena atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan, teriring shalawat dan salam kepada Nabi besar junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW.

Di dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian pembuatan disertasi ini penulis mendapat dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga selesainya disertasi ini, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta menjadi amal kebaikan dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat dan amat terpelajar, Prof. Dr. Huala Adolf, SH. LLM. Phd. FCB(Arb)., selaku promotor, beserta Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum dan Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH., selaku kopromotor yang telah penuh perhatian memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, motivasi serta saran dan kritik yang konstruktif kepada penulis untuk tercapainya hasil terbaik dari penulisan disertasi ini. Demikian juga ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS., selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Nigrum Natasya Sirait, SH. MLI., selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta Prof. Dr.

Jamaluddin, SH. M.Hum., selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas

(10)

Malikul Saleh selaku penguji disertasi penulis yang telah banyak memberikan kritik dan saran yang membangun dan memotivasi penulis guna lebih memperkaya isi disertasi.

Selanjutnya penulis juga menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk dapat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum dan Ketua Program Studi Magister dan Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.H., serta Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MS., atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk dapat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Seluruh staf dan pengajar pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan motivasi dalam setiap perkuliahan kepada penulis.

4. Ketua Yayasan Pendidikan Haji Agus Salim (YPHAS) Bapak Drs. H. Erwin Siregar, MBA., yang telah memberikan bantuan moril dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Studi Doktor Ilmu Hukum.

(11)

5. Bapak/ibu dosen sewaktu saya menempuh pendidikan Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak/ibu dosen sewaktu saya menempuh pendidikan Strata satu (S1) Ilmu Hukum di Fakulas Hukum Universitas Medan Area.

7. Bapak/ibu guru di SMA Negeri 10 Medan (sekarang SMA Negeri 11 Medan) sewaktu saya menempuh pendidikan di sekolah menegah atas.

8. Bapak/ibu guru di SMP Swasta Perguruan Pembangunan Nasional Medan sewaktu saya menempuh pendidikan di sekolah menegah pertama.

9. Bapak/ibu guru di SD Negeri 060913 Medan sewaktu saya menempuh pendidikan di sekolah dasar.

10. Ucapan terima kasih kepada istri tercinta Rosnah Elfina Harahap, SH., serta kepada ananda tercinta Lukman Hakim Romamora Siregar, Hana Sintia Nadenggan Siregar dan Abdul Yasser Ihutan Siregar, karena selama menempuh studi Program Doktor Ilmu Hukum ini, terkadang pernah terabaikan permintaanya dan terkadang kurang mendapat perhatian.

11. Segenap sahabat seperjuangan dalam suka dan duka yang telah banyak berjasa memberi semangat dalam menyelesaikan studi dan penulisan disertasi ini.

12. Teristimewa disertasi ini saya persembahkan kepada Panglima Kehidupan-ku ayahanda alm. H. Abdul Hakim Siregar dan Pujangga Kehidupan-ku, ibunda almh. Hj. Derhana Harahap yang telah mengajari penulis untuk tetap tegar dalam kehidupan.

(12)

Akhirnya penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang telah memiliki andil dalam proses penelitian dan penyelesaian studi ini, semoga Allah SWT membalas amal baik Bapak/Ibu sekalian.

Medan, 12 Januari 2017 Penulis,

Taufik Siregar

DAFTAR ISI

(13)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

DAFTAR ISI………...vi

BAB I PERDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ...1

B. Permasalahan ...15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penelitian ... 16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

1. Kerangka Teori ... 17

2. Konsepsional ... 53

G. Metode Penelitian... .54

1. Spesifikasi Penelitian ... 54

a. Jenis Penelitian ... 54

b. Sifat Penelitian ... 55

c. Pendekatan Masalah ... 56

2. Sumber Data ... 57

3. Teknik Pengumpulan Data ... 58

4. Populasi dan Sampel ... 59

5. Analisis Data ... 60

H. Asumsi ... 61

I. Sistematika Penulisan ... 63

BAB II PERAN MEDIATOR DAN PARA PIHAK DALAM MEDIASI ... 65

A. Sejarah Mediasi di Indonesia ... 65

B. Peran Mediator ... 101

C. Peran Para Pihak yang Bersengketa... 144

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Mediasi……….154 BAB III KEBERHASILAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA

(14)

PERDATA DI PENGADILAN NEGERI ... 163

A. Faktor-faktor Pendorong Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi……… 163

B. Efektivitas Mediasi di Pengadilan………... 185

C. Hakekat Mediasi dalam Penyelesian Perkara Perdata di Pengadilan ………... 208

D. Akta Perdamaian dan Kekuatan Mengikat Putusan Mediasi …. 274 E. Perwujudan Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan dalam Mediasi ……… 283

F. Proses Mediasi di Pengadilan ………. 286

G. Tingkat Keberhasilan Mediasi Pada Pengadilan Negeri di Sumatera Utara ………... 297

H. Perbandingan Lembaga Mediasi di Beberapa Negara ………... 319

BAB IV PERSFEKTIF MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN 9 PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI... 360

A. Asas-asas Mediasi ... 360

B. Pengaturan Mediasi... 367

C. Hukum Sebagai Sarana Penyelesaian Sengket ……….. 378

D. Permasalahan yang Timbul Dalam Pengadilan ... 395

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penengakan Hukum …….. 405

BAB V PENUTUP ... 407

A. Kesimpulan ... 409

B. Saran ... 411

C. DAFTAR PUSTAKA ……….. 412 DAFTAR LAMPIRAN : BEBERAPA MEDIASI YANG BERHASIL

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lambatnya penyelesaikan perkara dan terjadi penumpukan perkara menimbulkan rasa tidak percaya dari para pencari keadilan, karena dianggap tidak memenuhi harapan ideal (das solen). Peradilan sebagai pelaksanaan kekuasan kehakiman memiliki peran yang penting M. Yahya Harahap menyebutkan ada 2 (dua) peran penting badan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi yaitu: 1

1. Peradilan berperan sebagai katup penekan (pressure valve) atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat, dan pelanggaran ketertiban umum.

2. Peradilan sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and enforce justice).

Berdasarkan kedudukan pengadilan sebagai katup penekan dan tempat terakhir mencari keadilan, peradilan memiliki fungsi dan peran sebagai penjaga kemerdekaan masyarakat (in guarding the freedom society) dan wali masyarakat (regarding as custodian society) dan sebagai pelaksanaan penegakan hukum (judiciary as the upholder of the rule of the law). 2

1M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 237.

2Ibid, hlm. 238.

(16)

Pengadilan, semakin hari semakin banyak menerima sengketa yang diajukan para pihak untuk mencari kepastian hukum yang berkeadilan. Perkara yang menumpuk di pengadilan, membuat para pihak yang mengajukan sengketa di pengadilan harus menunggu dalam jangka waktu yang relatif lama untuk mendapatkan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).3 Jumlah Perkara perdata pada tingkat banding pengadilan-pengadilan negeri di lingkungan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara terdapat isi table berikut:

3Reksodiputro, Mardjono, 1997, HAM Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan No. Tahun Jumlah Perkara Perdata

1. 2009 452

2. 2010 412

3. 2011 444

4. 2012 375

5. 2013 401

6. 2014 430

7. 2015 459

Sumber data Pengadilan Tinggi Medan, tanggal 25 Januari 2016.

(17)

Dari Tabel tersebut, diketahui bahwa pada tahun 2009 sebanyak 452 (empat ratus lima puluh dua) perkara pada tahun 2010 terdapat sebanyak 412 (empat ratus dua belas) perkara pada tahun 2011 terdapat sebanyak 444 (empat ratus empat puluh empat) perkara, pada tahun 2012 terdapat sebanyak 375 (tiga ratus tujuh puluh lima) perkara, pada tahun 2013 sebanyak 401 (empat ratus satu) perkar, pada tahun 2014 sebanyak 430 (empat ratus tiga puluh) perkara,dan pada tahun 2015 sebanyak 459 (empat ratus lima puluh sembilan) perkara.

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa penyelesaian perkara- perkara perdata pada pengadilan-pengadilan negeri di lingkungan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara relatif masih tinggi. Diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, seyogianya menyebabkan penyelesaian perkara-perkara perdata di pengadilan berkurang karena terdapat lembaga mediasi di pengadilan untuk menyelesaikan perkara.

Penumpukan perkara dan penyelesaian sengketa yang relatif lama di pengadilan adalah tidak sesuai dengan sistem peradilan Indonesia yang berasaskan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalam Pasal 2 ayat (4) menyatakan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penyelesaian sengketa di pengadilan, melalui prosedur beracara yang tidak ada menentukan jangka waktu untuk dapat menyelesaikan suatu perkara, mengakibatkan proses pemeriksaan suatu perkara dari tahap

(18)

pendaftaran perkara, tahap pemeriksaan serta sampai tahap putusan membutuhkan waktu yang relatif lama. Mengurangi banyaknya perkara, dapat dilakukan dengan suatu proses mediasi yang efektif.

Proses mediasi bukanlah suatu fenomena baru baik untuk dunia barat dan timur. Kelompok masyarakat Yahudi, Cina terbukti menggunakan mekanisme mediasi untuk menyelesaikan masalah mereka termasuk sebagai cara untuk manangkis penetrasi sistem hukum asing. Mediasi tidak lain adalah perpanjangan dari proses negosiasi. Para pihak yang bersengketa yang tidak mampu menyelesaikan masalah memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu.

Mediator dapat dikatakan hanya bertindak sebagai penengah dan bersifat netral serta bertugas hanya untuk mengkomodasikan kebutuhan pihak yang bertikai.4

Menggunakan mediasi sebagai sarana dan strategi penyelesaian sengketa, didapatkan keuntungan yaitu keputusan yang hemat, penyelesaian secara cepat, hasil-hasil yang memuaskan bagi semua pihak, kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “customized”, praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif, tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga, pemberdayaan individu. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah, keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan, kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil

4 Gunawan Wijawa dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Seri Hukum Bisnis, PT Raja

(19)

kompromi atau prosedur menang kalah, keputusan berlaku tanpa mengenal waktu.5

Mediasi merupakan suatu proses perdamaian berlangsung dan diselenggarakan antara para pihak yang bersengketa dan dibantu penyelesaiannya oleh seorang mediator (seorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) demi tercapainya hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua Proses mediasi di pengadilan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, wajib dijalankan oleh para pihak yang berpekara. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, mewajibkan majelis hakim yang menangani suatu perkara perdata serta pihak-pihak yang berperkara untuk menempuh proses mediasi, sebelum pemeriksaan suatu perkara perdata dilanjutkan sesuai dengan prosedur acara pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.

Menjaga agar peradilan dapat tetap berjalan efektif dan efisien bagi para pihak yang berpekara serta mengurangi terjadinya penumpukan perkara di peradilan, dipandang perlu untuk adanya proses penyelesaian perkara di peradilan dengan menggunakan mediasi sekaligus sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum. Proses ini disebut dengan mediasi di pengadilan.

5 Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 83-85.

(20)

belah pihak yang bersengketa secara sukarela.6

1. Asas itikad baik, yakni keinginan para pihak untuk menentukan penyelesaian sengketa yang akan maupun sedang mereka hadapi.

Mediasi adalah suatu proses para pihak yang bersengketa menunjuk pihak ketiga (mediator) yang netral untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam mendiskusikan penyelesaian dan mencoba menggugah para pihak menegosiasikan suatu penyelesaian sengketa.

Tujuan utama mediasi adalah kompromi dalam menyelesaikan sengketa.

Mediator, berusaha mengadakan pendekatan kepada para pihak untuk meminimalkan perbedaan pendapat dalam kasus yang dihadapi untuk mencapai kesepakatan di antara mereka menuju pada pemecahan yang saling mengutungkan (win win solution). Mediator hanya berperan untuk membantu para pihak dalam mencapai penyelesaian sengketa, untuk itu mediator dapat secara langsung dan rahasia berkomunikasi dengan para pihak dan bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu kesepakatan. Pada umumnya, asas-asas yang berlaku pada alternatif penyelesaian sengketa termasuk mediasi adalah:

2. Asas kontraktual, yakni adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis mengenai cara penyelesaian sengketa.

3. Asas mengikat, yakni para pihak wajib untuk mematuhi apa yang telah disepakati.

4. Asas kebebasan berkontrak, yakni para pihak dapat dengan bebas menentukan apa saja yang hendak diatur oleh para pihak dalam perjanjian tersebut selama tidak bertentangan dengan undang-undang

6 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Fikahati

(21)

dan kesusilaan. Hal ini berarti pula kesepakatan mengenai tempat dan jenis penyelesaian sengketa yang akan dipilih.

5. Asas kerahasian, yakni penyelesaian sengketa tidak dapat disaksikan oleh orang lain karena hanya pihak yang bersengketa yang dapat menghadiri jalannya pemeriksaan atas suatu sengketa. 7

Pada hakikatnya mediasi adalah suatu proses yang bersifat pribadi, rahasia (tidak terekspos keluar), dan kooperatif yaitu seorang selaku pihak ketiga yang tidak memihak membantu para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan konflik dan mendekatkan perbedaan-perbedaannya. Mediasi juga bersifat praktis, relatif tidak formal dan tidak diatur prosedur dan teknis yang berlaku dalam proses peradilan. Dalam proses mediasi semua pihak bertemu secara pribadi atau diwakili kuasanya dengan mediator bersama-sama atau dalam pertemuan yang berbeda. Dalam pertemuan tersebut semua pihak saling memberikan informasi, keterangan, penjelasan, mengenai Permasalahan yang dihadapi dan juga saling menukar dokumen.

Mahkamah Agung berpendapat prosedur mediasi patut untuk ditempuh bagi para pihak yang beracara di pengadilan. Langkah ini dilakukan pada saat sidang pertama kali digelar. Mediasi merupakan salah satu solusi dalam mengatasi menumpuknya perkara di pengadilan. Proses ini dinilai lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang

7Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), Jakarta Visi Media, 2011, hlm. 11,

(22)

dihadapi. Di samping itu proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa selain proses peradilan yang bersifat memutus (ajudikatif).

Mediasi yang berada dalam peradilan pertama kali diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim pengadilan negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya.

Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan.

Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam PERMA No.

2 Tahun 2003 ditemukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan.

Mediasi merupakan instrument efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).

Kehadiran PERMA No. 1 Tahun 2008 dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan satu sengketa perdata. Hal ini dapat dilakukan dengan

(23)

mengintensifikasikan dan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur beperkara di pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) PERMA). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Pasal 4 No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perkara perdata yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama.

Pada prinsipnya mediasi di lingkungan pengadilan di lakukan oleh mediator yang berasal dari luar pengadilan. Namun mengingat jumlah mediator yang sangat terbatas dan tidak semua pengadilan tingkat pertama tersedia mediator, maka PERMA ini mengijinkan hakim yang menjadi mediator. Hakim yang menjadi mediator bukanlah hakim yang sedang menangani perkara yang akan dimediasikan, tetapi hakim-hakim lainnya di pengadilan tersebut. Mediator

(24)

non hakim dapat berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung RI (Pasal 5 ayat (1) PERMA).

Mediasi sebagai bagian dari proses beracara di pengadilan mengikat hakim. Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada hari sidang yang telah ditentukan yang di hadiri oleh para pihak. Mengingat pentingnya mediasi dalam proses beracara, maka ketidak hadiran tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. Hakim atau kuasa hukum berkewajiban mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim dapat menunda proses persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih mediator, ketua pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang- kurangnya 5 (lima) nama mediator yang disertai latar belakang pendidikan atau pengalaman mediator. Ketua pengadilan mengevaluasi mediator dan memperbaharui daftar mediator setiap tahun. (Pasal 9 ayat (7) PERMA). Bila para pihak yang memilih mediator hakim, maka baginya tidak dipungut biaya apa pun, sedangkan bila memilih mediator non hakim uang jasa ditanggung bersama para pihak berdasarkan kesepakatan.

Dalam Pasal 11 PERMA No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2 (dua) hari kerja sejak hari pertama sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim memberitahukan mediator untuk melaksanakan tugasnya. Bila dalam masa 2 (dua) hari sejak sidang

(25)

pertama, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada majelis hakim, dan ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.

Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 (empat puluh) hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atu ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari. Selama proses mediasi berlangsung, mediator berkewajiban menyiapkan jadwal mediasi, mendorong para pihak secara langsung berperan dalam proses mediasi, dan bila dianggap perlu dapat melakukan kaukus. Dalam proses mediasi, mediator dapat melibatkan ahli seorang atau lebih untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat para pihak. Pelibatan ahli atas dasar persetujuan para pihak dan biaya untuk jasa ahli juga ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan mereka.

Mediator berkewajiban menyatakan proses mediasi menemui kegagalan atau mencapai kesepakatan kepada ketua majelis hakim. Mediasi dinyatakan gagal bila para pihak atau salah satu pihak telah dua kali secara berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai dengan jadwal pertemuan yang disepakati, atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan yang sah. Jika para pihak mencapai kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Para pihak yang telah mencapai

(26)

kesepakatan damai, wajib menghadap kepada hakim, pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan damai. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan damai kepada hakim untuk dikuatkan dalam akta perdamaian.

Bila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam masa 40 (empat puluh) hari sejak para pihak memilih mediator, maka mediator wajib menyampaikan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal, dan memberitahukan kegagalan mediasi kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, maka melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum yang secara berlaku.

PERMA No. 1 Tahun 2008 meberikan peluang perdamaian bagi para pihak bukan hanya untuk tingkat pertama, tetapi juga untuk tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa para pihak atas dasar kesepakatan mereka dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang diperoses banding, kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang di periksa pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan tingkat pertama yang mengadili, dan ketua pengadilan tingkat pertama yang segera memberitahukan kepada ketua pengadilan tingkat banding yang berwenang, atau Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.

Majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali wajib

(27)

menunda pemerisaan perkara selama 14 (empat belas) hari kerja, sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.

Perdamaian terhadap perkara dalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut pada tingkat pertama atau ditempat lain atas persetujuan para pihak. Para pihak melalui ketua pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta prdamaian. Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding. Kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dicatat dalam register induk perkara. Surat Edaran ini dianggap hampir sama dengan Pasal 130 HIR, yang hanya menyarankan para pihak untuk berdamai, sebagaimana bunyi Pasal 130 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka.

Berdasarkan Pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg, dapat diketahui bahwa keterlibatan hakim dalam proses perdamaian tidak langsung secara efektif, tetapi sekedar formalitas dalam bentuk mengupayakan para pihak untuk berdamai.

Hakim berperan pasif, hakim mencoba mendamaikan para pihak yang berperkara.

Dalam praktik, hal ini diterapkan hanya terbatas pada tindakan menganjurkan atau menyuruh para pihak mengupayakan sendiri perdamaian tanpa keterlibatan hakim dalam pertemuan dan perundingan.

(28)

PERMA No. 1 Tahun 2008 memberikan peluang perdamaian bagi para pihak bukan hanya untuk tingkat pertama, tetapi juga untuk tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali, yang dengan berlakunya peraturan tersebut membuat upaya perdamaian di pengadilan tidak lagi hanya bertumpu pada Pasal 130 HIR.

Dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah membuat suatu perubahan fundamental dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diterima, tetapi juga berkewajiban mengupayakan perdamaian antara pihak- pihak yang berperkara. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 lebih jauh menegaskan bahwa jika dalam sebuah putusan hakim tidak disebutkan adanya upaya mediasi terlebih dahulu, maka putusan tersebut dapat dibatalkan derni hukum. Pengadilan selama ini terkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, tetapi sekarang pengadilan juga menempatkan diri sebagai lembaga yang mencari solusi damai antara pihak-pihak yang berperkara.

Pengadilan-pengadilan negeri yang berada di lingkungan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, di dalam menangani perkara perdata juga melaksanakan proses mediasi di dalam menyelesaikan perkara perdata dengan berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Nornor 1 Tahun 2008. Namun kalau diperhatikan dengan cermat, dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi di pengadilan belum maksimal. Penyelesaian perkara perdata melalui

(29)

mediasi sangat rendah sekali. Rata-rata penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perlu untuk dilakukan penelitian mengenal implementasi lembaga mediasi di pengadilan dengan Judul PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIANPERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERIDI SUMATERA UTARA.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana peran mediator dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara?

2. Bagaimana keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara?

3. Bagaimana perspektif mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran mediator dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara.

(30)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis perspektif mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian memiliki manfaat baik secara teoritis maupun secara praktik, sebagai berikut:

1. Secara teoritis menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang peran mediator dalam penyelesaian perkara perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara, keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara, serta perspektif mediasi dalam menyelesaikan peerkara perdata di pengadilan negeri.

2. Secara praktis dapat memberikan masukan bagi lembaga peradilan dan praktisi hukum tentang peran mediator dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara, keberhasilan mediasi dalam menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan negeri di Sumatera Utara, dan perspektif mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan negeri.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan terhadap hasil-hasil disertasi penelitian yang sudah ada yaitu Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo Di Kabanjahe Dan Brastagi oleh Runtung (Universitas Sumatera Utara, 2002). Mediasi Merupakan Salah Satu Cara Penyelesaian Perselisihan Pemutusan

(31)

Hubungan Kerja Pada Perusahaan Di Sumatera Utara oleh Surya Perdana (Universitas Sumatera Utara, 2008), I Made Sukadama (Universitas Brawijaya, 2006) dengan judul disertasi Mediasi Untuk Mewujudkan Proses Peradilan Seerhana, Cepat, dan Biaya Ringan, Yayah Yarotul Salamah (Universitas Indonesia, 2009) dengan judul disertasi Mediasi Dalam Proses Beracara di Pengadilan Studi Mengenai Mediasi Di Pengadilan Negeri Proyek Percontohan Mahkamah Agung RI, Disertasi Machli Riyadi (Universitas Erlangga Surabaya, 2016) dengan judul Prinsip Penyelesaian Malpraktik Medik Melalui Mediasi maupun disertasi- disertasi lainnya yang sedang dilakukan belum ada penelitian menyangkut tentang Pelaksanaan Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri di Sumatera Utara. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini adalah asli dan merupakan karya sendiri dari peneliti.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori

a. Negara Hukum

Konsep negara hukum yang menganut paham “rule of law,” menurut Dicey mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) HAM dijamin lewat Undang-undang, (2) persamaan di muka hukum (equality before the law), (3) supremasi aturan- aturan hukum dan tidak ada kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.

Menurut Emanuel Kant dan Julius Stahl negara hukum mengandung 4 (empat) unsur, yaitu: (1) Adanya pengakuan HAM, (2) Adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, (3) Pemerintahan berdasarkan peraturan-

(32)

peraturan (wetmatigheid van bestuur), (4) adanya peradilan tata usaha negara.8 A.

Gunawan Setiardja mengatakan bahwa dalam negara-negara yang demokratis terdapat ciri-ciri khas: a. Adanya pemilihan umum yang bebas dan rahasia; b.

Adanya dua atau lebih partai politik; c. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dalam batas-batas yang cukup luas; d. HAM dihargai dan dijunjung tinggi; e.

Kekuasaan para penguasa tidak tak terbatas.9

Dalam hukum diatur rambu-rambu sebagai berikut: 1. Menghormati hak- hak dan kebebasan orang lain (respects for the rights and freedoms of others);

2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui oleh umum (the

generallyaccepted moral code); 3. Menghormati ketertiban umum (public order);

4. Menghormati kesejahteraan umum (general welfare); 5. Menghormati keamanan umum (public safety); 6. Menghormati keamanan nasional dan keamanan masyarakat (national and social security); 7. Menghormati kesehatan umum (public health); 8. Menghindarkan penyalahgunaan hak (abuse of right);

9. Menghormati asas-asas demokrasi; 10. Menghormati hukum positif.10

8Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar,Yogyakarta, Liberty, 1999, hlm. 22.

9 A. Gunawan Setiardja,Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila.

Yogyakarta, Kanisius, 1993, hlm. 94.

10 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit

Dalam hukum juga diatur asas-asas yang merupakan pembatas pengaturan hak dan kewajiban warga negara, yang paling sedikit sebagai berikut: 1. Asas legalitas;

2. Asas negara hukum; 3. Asas penghormatan terhadap martabat kemanusiaan;

4. Asas bahwa segala pembatasan HAM merupakan perkecualian; 5. Asas

(33)

persamaan dan non diskriminasi; 6. Asas non-retroaktivitas (peraturan tidak berlaku surut); 7. Asas proporsionalitas.11

Pengakuan terhadap hak negara untuk mengatur dalam kerangka kebijakan sosial (social policy), baik dalam bentuk kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) maupun kebijakan keamanan sosial (social defence policy).

Negara berhak mengatur restriksi dan limitasi kekuasaan, untuk menjaga agar pengaturan tersebut tetap dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi. Dalam negara hukum, rambu-rambu pengaturan ini terbentuk dalam asas-asas hukum.

Asas-asas hukum mempunyai karakteristik antara lain: a. Merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dituntut oleh rasa susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan yang bersifat langsung dan menonjol;

b. Merupakan ungkapan-ungkapan yang sifatnya sangat umum, yang bertumpu pada perasaan yang hidup pada setiap orang; c. Merupakan pikiran-pikiran yang memberikan arah/pimpinan, menjadi dasar kepada tata hukum yang ada; d. Dapat diketemukan dengan menunjukkan hal-hal yang sama dari peraturan yang berjauhan satu sama lain; e. Merupakan sesuatu yang diyakini oleh setiap orang, apabila mereka ikut serta bekerja mewujudkan undang-undang; f. Dipositipkan baik dalam bentuk perundang-undangan maupun yurisprudensi; g. Tidak bersifat transendental atau melampaui alam kenyataan dan dapat ditangkap oleh panca indera; h. Artikulasi dan penjabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisi- kondisi sosial, sehingga open-ended, multi-interpretable dan dipengaruhi oleh

11Ibid.,hlm. 63.

(34)

perkembangan sosial dan bukannya bersifat absolut; i. Berkedudukan relatif otonom, melandasi fungsi pengendalian masyarakat dan penyelenggara ketertiban;

j. Legitimitas dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum;

k. Berkedudukan lebih tingggi dari undang-undang dan pejabat-pejabat resmi (penguasa), sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya dalam hukum positif. 12

Secara teoritis, dibedakan adanya 3 (tiga) alasan berlakunya hukum:

1. berlakunya secara yuridis, terdapat pandangan-pandangan sebagai berikut:

a. Hans Kelsen dalam teorinya: The Pure Theory of Law mengatakan bahwa hukum mempunyai keberlakuan yuridis apabila penentuannya berdasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (berdasar teori: Stufenbau des Rechts);

b. Zevenbergen dalam: Formele Encyclopaedie der Rechtswetenschap menyata- kan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai keberlakuan yuridis apabila kaidah hukum tersebut terbentuk menurut cara-cara yang telah ditetapkan; c. Logemann dalam Over de Theorie van een Stelling Staatsrecht menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berlaku apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya. 2. Berlakunya secara sosiologis, yang berintikan pada efektivitas hukum. Terdapat dua teori pokok yang menyatakan bahwa: a. teori kekuasaan yang menyatakan bahwa hukum berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, dan hal itu adalah terlepas dari masalah apakah masyarakat menerimanya atau bahkan menolak; b. teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau

(35)

pengakuan oleh masyarakat 3. berlaku secara filosofis, artinya bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.13

Ideologi dan konsepsi negara hukum yang menempatkan kekuasaan kehakiman merdeka dan bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan negara lainnya, dengan sendirinya menuntut berbagai konsekuensi antara lain:14

2. Peran dan fungsi utama kekuasaan kehakiman yang merdeka, memberi kewenangan kepada badan peradilan menjadi “katub penekan” atau “pressure valve”: atas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siapa dan pihak manapun tanpa kecuali; atas segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional (unconstitutional), ketertiban umum (public policy) dan kepatutan (reasonableness).

“1. Hukum di atas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasar rule of law. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum bukan oleh manusia. Peran rule of law dalam kehidupan masyarakat, menjadi unsur landasan (basic ingredient) tata tertib kehidupan dari pemaksaan dalam bentuk apapun. Upaya paksa yang dilakukan dalam setiap penyelesaian sengketa baik pidana maupun perdata harus sesuai dengan proses yang ditentukan oleh hukum (due process of law) berdasar atas: equal treatment before the law atau equal dealing (perlakuan yang sama di depan hukum); equal protection of the law (perlindungan yang sama di depan hukum).

13 Soerjono Soekanto,Beberapa PERMAsalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di Indonesia. Jakarta, UI Press, 1986, hlm.34-35.

14M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa.Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 33-39.

(36)

3. Sehubungan dengan peran dan fungsi serta kewenangan kekuasaan kehakiman sebagai “katub penekan” dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi, dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan-badan peradilan sebagai “tempat terakhir” atau “the last resort”

dalam upaya penegakan “kebenaran dan keadilan.” Dalam hal ini, tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice), apabila timbul sengketa atas pelanggaran hukum.

4. Peran, fungsi, kewenangan dan kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai pressure valve dan the last resort, kekuasaan kehakiman melalui peradilan diberi kekuasaan sebagai pelaksana “penegakan hukum.” Kekuasaan ini lazim diungkapkan sebagai “Judciary as the upholders of the rule of law.” Pemberian kekuasaan kepada kekuasaan kehakiman sebagai upholders of the rule of law, dengan sendirinya menempatkan kedudukan peradilan sebagai lembaga atau institusi alat negara yang bertindak sebagai: “penjaga kemerdekaan masyarakat”

(“in guarding the freedom of society”); kekuasaan kehakiman sebagai wali masyarakat (judiciary is regard as custodian of society).

5. Secara konstitusional kekuasaan kehakiman bertindak “tidak demo- kratis secara fundamental”. Sesuai dengan kemerdekaan dan kebebasan yang diberikan konstitusi kepada kekuasaan kehakiman, badan-badan peradilan dibenarkan bertindak dan mengambil putusan

“fundamentally undemocratic.” Pada saat peradilan mengambil

(37)

tindakan dan putusan: tidak membutuhkan akses dari siapapun; tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun; dan tidak perlu meminta kompromi dari pihak yang berperkara.

6. Mempunyai imunitas dalam melaksanakan fungsi dan kekuasaan peradilan. Kerangka imunitasnya, mengandung arti: imunitas para hakim dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan (the immunity of judges); sifat imunitasnya absolut dan total, dalam arti mereka tidak dapat dituntut atas pelaksanaan yustisial, meskipun tindakan yang dilakukannya malapraktik (malpractice), melampaui batas kewenangan (exceeds hisauthority) atau melakukan kesalahan proses (procedural error). “

Radbruch mengemukakan 3 (tiga) aspek dari idea hukum yaitu kepastian hukum (rechtsicherheit), kegunaan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).15 Menurut B. Arief Sidharta ketiga unsur tersebut merupakan perwujudan dari cita hukum. Cita hukum itu terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan, dan kenyataan kemasyarakatan yang diproyeksikan pada proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan.16

15 Meuwissen, Pengembanan Hukum.dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XII Nomor 1 Januari 1994, Bandung, FH Unpar, hlm. 78.

16 B. Arief Sidharta,Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung, Mandar Maju, 1999, hlm.181.

Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar

(38)

hukum dapat dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum.17

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan.18 Berkaitan dengan penegakan hukum ini, B. Arief Sidharta mengatakan bahwa tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).19

Kualitas pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi terutama kualitas materil/

substansial. Strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum harus ditujukan pada kualitas substansif seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat saat ini, yaitu antara lain: a. Adanya perlindungan HAM;

b. Tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antar sesama;

c. Tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan; d. Bersih dari praktik favoritisme (pilih kasih), korupsi, kolusi dan nepotisme dan mafia peradilan;

e. Terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka, dan

17Franz Magnis Suseno, Etika Politik. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994, hlm. 79.

18 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 2.

(39)

tegaknya kode etik/kode profesi; f. adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.20

Perumusan hak dan kedudukan warga negara di hadapan hukum merupakan penjelmaan dari salah satu sila Pancasila yaitu sila Keadilan Sosial.

Kedudukan seorang warga negara di dalam hukum di Indonesia yang merupakan republik yang demokratik berlainan sekali dengan negara yang berdasar supremasi rasial maupun berdasarkan agama, negara kerajaan (feodal) atau negara kapitalis.21 Agar hukum berkembang dan dapat berhubungan dengan bangsa lain sebagai sesama masyarakat hukum, perlu dipelihara dan dikembangkan asas-asas dan konsep hukum yang secara umum dianut umat manusia atau asas hukum yang universal.22

20 Barda Nawawi Arief,Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm.14-15.

21 Moctar Kusumaatmadja,Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan di Masa Akan Datang, dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XV Nomor 2April 1997, Bandung, FH Unpar, hlm. 3-4.

22Ibid., hlm. 5.

Asas-asas yang merupakan pencerminan dan tekad dan asosiasi sebagai bangsa yang mencapai kemerdekaannya dengan perjuangan bangsa Indonesia terkandung dalam UUD 1945 dan mukadimahnya yang merupakan pencerminan dari falsafah Pancasila. Asas persatuan dan kesatuan dan kebangsaan yang mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Hukum Nasional berfungsi mempersatukan bangsa Indonesia. Asas Ke-Tuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan terhadap agama. Asas demokrasi mengama- natkan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan harus

(40)

tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Pada analisis terakhir kekuasaan ada pada rakyat dan wakil-wakilnya. Asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum. Asas kesatuan dan persatuan tidak berarti bahwa kenyataan adanya keanekaragaman budaya tidak perlu diperhatikan. “Bhinneka Tunggal Ika”

merupakan motto negara yang mencerminkan keanekaragaman budaya itu. Lagi pula merupakan kenyataan dalam negara yang secara geografis terdiri dari beribu- ribu pulau yang tersebar dalam suatu negara yang terdiri dari darat (pulau) dan laut (air) yang meliputi tiga zona waktu. Membangun hukum berdasarkan Wawasan Nusantara berarti membangun hukum nasional dengan memadukan tujuan membangun hukum nasional yang satu atau menyatukan dengan memperhatikan keanekaragaman budaya dari penduduk yang mendiami suatu negara kepulauan.23

”Dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang- wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum.

Inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule of law”.

Sudargo Gautama mengatakan:

24

Peran hukum dalam masyarakat bangsa yang bebas (The Rule of Law in free society) adalah agar: 25

23 Ismail Sunny, Mencari Keadilan. Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 123.

24 Sudargo Gautama,Pengertian Negara Hukum. Bandung, Alumni, 1983, hlm.

35.

(41)

1. Masyarakat dan individu bebas dari penindasan, baik penindasan dari luar atau bangsa lain maupun penindasan dari dalam oleh para penguasa juga penindasan antara sesama anggota masyarakat,

2. Masyarakat tidak diperlakukan secara otoriter, penguasa tidak boleh menjadi alat kekuasaan (instrument of power), penguasa tidak boleh menjelma atau mempersonifikasi diri sebagai hukum, kebebasan dan kemerdekaan individu tidak boleh ditentukan oleh kehendak atau keinginan penguasa,

3. Keberadaan dan kedudukan penguasa berdasar aturan hukum atau

“Rule of Law,” hukum menjadi pancang dan fundamen kekuasaan dan kewenangan penguasa (under the authority of Law), penguasa tidak oleh melampaui batas kewenangan dan fungsi yang diberikan hukum kepadanya, tindakan yang seperti itu bertentangan dengan hukum (against the law) dan dapat dikualifikasi “detoernement de pouvoir.”

4. Karakteristik peran hukum yang paling esensial dalam free society hukum harus menjamin keamanan dan memperlindungi hak dan kepentingan anggota masyarakat (to safe quarded and to protect theirright) dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan dalam mengejarkebahagiaan dan kesejahteraan spritual dan material, sebaiknya setiap individu harus taat dan mematuhi hukum dan tidak dibenarkan bertindak menurut sesuka hati (arbitrary wills).

(42)

Hukum mempunyai komponen-komponen yaitu: a. Komponen substantif, berupa kaidah-kaidah yang mempunyai sifat relatif konstan; b. Komponen spritual, berupa nilai-nilai yang mempunyai tendensi dinamis; c. Komponen struktural, terdiri dari lapisan-lapisan mulai dari adat, kebiasaan, hukum dan undang-undang; d. Komponen kultural, berupa tatanan hidup manusia yang mempunyai sifat menyelaraskan diri dengan lingkungan.26

Persamaan di hadapan hukum dimaksud bahwa semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum, penundukan yang sama dari semua golongan kepada “ordinary law of the land” yang dilaksanakan oleh “ordinary court”. Hal ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat pemerintahan negara maupun warga negara biasa, berkewa-jiban untuk mentaati hukum yang sama.27The rule of law dalam pengertian ini bahwa para pejabat negara tidak bebas dari kewajiban untuk mentaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau dari yuridiksi peradilan biasa. Tidak dikenal peradilan administrasi negara dalam sistem Anglo Saxon.28

26 Andi Hamzah,Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 138-139.

27Philipus M. Hadjon,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsip, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan AdministrasiNegara.Surabaya, Bina Ilmu, 1987, hlm. 80.

28Ibid.

Dalam sistem Common Law, seperti Amerika Serikat dan Inggris, persoalan-persoalan administratif dihadapkan kepada pengadilan-pengadilan biasa (ordinary courts), dengan hakim-hakim yang independen, untuk mempertahankan salah satu unsur terpenting dari the rule of law. Dalam paham the rule of law, hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi

(43)

merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan. Pandangan Dicey dikatakan pandangan murni dan sempit, karena dari ketiga pengertian dasar yang diketengahkannya tentang the rule of law, intinya adalah “CommonLaw” sebagai dasar perlindungan kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Perlindungan Common Law hanya dapat meluas kepada kebebasan pribadi tertentu seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat ”assure the citizen’s economic orsocial well being” (menjamin kesejahteraan ekonomi atau sosial warga negara) seperti perlindungan fisik yang baik, memiliki rumah yang layak, pendidikan, pemberian jaminan sosial atau lingkungan yang layak, kesemuanya itu membutuhkan pengaturan yang kompleks. Suatu hal yang penting dari the rule of law adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Pemerintah dilarang menggunakan privilege yang bertentangan dengan aturan hukum.29

Penerapan aturan hukum yang berdaya guna tidak dapat dipisahkan dan kerangka pembentukan hukum di dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia yang menyelaraskan dan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Hukum yang dibuat haruslah disesuaikan dengan perkembangan dinamika Paham negara hukum, menjamin HAM, mengandung asas legalitas, asas pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang semuanya bertujuan untuk mengendalikan negara dari tindakan sewenang- wenang, tirani, atau penyalahgunaan kekuasaan.

b. Budaya Hukum

29Ibid.

(44)

masyarakat dan meinperbatikan aspek keadilan dan memberi perlindungan untuk mencapai tertib hukum, di sinilah fungsi hukum sebagai aturan. Hal ini sesuai dengan landasan teori sociological jurisprudence dari Roscoe Pound yang menekankan bahwa hukum merupakan alat untut membagun masyarakat (law a tool of social engineering), sejalan dengan pemikiran Roscoe Pound dan Eigen Erlich mengajukan suatu konsepsi tentang hukum yang hidup sebagai tertib hukum hukum yang demikian tidak ditemukan di dalam bahan-bahan aturan hukum formal melainkan dalam masyarakat. Untuk melihat hukum yang hidup dan berlaku dalam menyelenggarakan proses-proses dalam masyarakat, orang tidak hanya memandang kepada bahan-bahan dan dokumen formal saja melainkan perlu terjun sendiri ke dalam bidang kehidupan yang senyatanya. Prinsip teori ini hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konsep teori ini menunjukkan adanya kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi kepastiari hukum dan living law sebagai wujud penghargan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukurn. Aktualisasi dan living law tersebut hahwa hukum tidak dilihat dalarn wujud kaidah melainkan dalain masyarakat itu sendiri.

Sistem hukum yang tertulis dengan konsepsi living law inilah yang melahirkan suatu sistem hukum yang rasional bahwa untuk memprediksi efektivitas suatu kaedah hukum yang terdapt di dalam undang-undang tidak terlepas dan sistem hukum yang rasional, karena pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri hukan sistem hukum yang kharismatik yang disebut sebagai “law prophet “. Sistem hukum rasional dielaborasi melalui sistem

(45)

keadilan yang secara professional’ disusun oleh individu-individu yang mendapatkan pendidikan hukum, cara demikian membuat orang terhindar dan penafsiran hukum secara black letter rules atau penafsiran legalistik.30

1) “Tungganai” atau “mamak kepala waris” pada tingkatan “Rumah gadang”.

c. Lembaga Mediasi

Bagi masyarakat Barat yang litigous minded konsep ADR menjadi inovasi baru. Sementara untuk masyarakat timur yang didasarkan pada kultur yang menekankan keharmonisan seperti Indonesia misalnya, pendekatan dengan cara ADR adalah sebuah konsep yang dianggap bagian yang sudah lama ada dalam konteks penyelesaian masalah dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepada adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warganya.

Pada masyarakat Minangkabau yang bertindak sebagai mediator dan yang memberikan putusan atas perkara adalah sebagai berikut:

2) “Mamak kepala kaum” pada tingkat umum 3) “Penghulu suku” pada tingkat suku; dan 4) Penghulu-penghulu

Fungsionaris-fungsionaris tersebut berperan penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa, baik sebagai penengah dengan (sepadan dengan arbiter atau Hakim) atas tanpa kewenangan memutus (sebagai mediator).31

30Emmy Yuhassarie, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa Seri Dasar-dasar Hukum EkonomiArbitrase di Indonesia dalam Felix O. Subagio, Jakarta, Ghalia Indonesia, Cetakan Pertama April 1995, hlm. 11.

(46)

Demikian pula pada masyarakat di pedesaan Sulawesi Selatan, tidak hanya seorang kepala masyarakat hukum atau Kepala Desa saja yang berperan sebagai hakim (judikator), akan tetapi ia dapat pula bertindak sebagai penengah (mediator) atau wasit (arbiter).32

Cara penyelesaian sengketa tidak seperti beracara di Pengadilan negara, akan tetapi lebih banyak ditempuh melalui perundingan, musyawarah mufakat antara pihak-pihak yang bersengketa sendiri maupun melalui mediator atau arbitrator.33

Mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa (ADR) di Indonesia adalah merupakan culture bangsa Indonesia sendiri, baik dalam masyarakat tradisional maupun sebagai dasar Negara Pancasila dikenal istilah musyawarah untuk mufakat seluruh suku bangsa Indonesia pasti mengenal makna dan istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda akan tetapi mempunyai philoshopy yang sama.

Dalam klausula-klausula suatu kontrak atau perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata “Kalau terjadi suatu sengketa atau perselisihan diselesaikan dengan cara musyawarah dan apabila tidak tercapai Lebih dari pada itu, tata cara ini telah secara resmi menjadi salah satu falsafah negara-negara bangsa Indonesia yang tercermin dalam Sila IV dari Pancasila sebagai asas musyawarah mufakat.

31Takdir Rahmadi dan Achmad Romsan, Penelitian Teknik Mediasi Tradisional dalam Masyarakat Adat Minangkabau, Sumatera Barat dan masyarakat Adat di Dataran Tinggi Sumatera Selatan, Indonesia center for Environmental Law (ICEL), didukung The Ford Foundation 1997-1998.

32H.M. G. Ohorella, H.Aminuddin Salle, “Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase pada Masyarakat di Pedesaan di Sulawesi Selatan”, Seri Dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, dalam Felix O. Soebagjo, ed. Jakarta, Galia Indonesia, cetakan pertama April 1995, hlm. 108.

33Ibid.

(47)

suatu kesepakatan akan diselesaikan di Pengadilan Negeri”. Walaupun dalam masyarakat tradisional di Indonesia, Mediasi telah diterapkan dalam menyelesaikan konflik-konflik tradisional, namun pengembangan konsep dan teori penyelesaian sengketa secara kooperatif justru banyak berkembang di Negara-negara yang masyarakatnya litigous atau tidak memiliki penyclesaian konflik secara kooperatif. Dialog, musyawarah serta usaha pengakomodasian terhadap kepentingan sernua pihak sebenarnya adalah inti dan konsep proses ADR. Konsep inilah yang kemudian diarahkan untuk menjadi cara menyelesaikan sengketa tetapi dengan menggunakan prinsip legal atas yang menjadi bagian dan sistem hukum. Oleh sebab itu tantangan, terutama masyarakat hukum di Indonesia adalah mendokumentasikan pola-pola penyelesaian konflik dalam masyarakat tradisional dan secara labarotaris mengembangkan cara-cara penyelesaian sengketa yang merupakan produk Indonesia. Ungkapan yang sama, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dalam masyarakat tradisional Indonesia perlu dikembangkan ke arah penyelesaian sengketa alternatif modern untuk dapat menampung berbagai sengketa publik yang timbul dalam masyarakat Indonesia masa kini.34

Arah politik hukum35

34Runtung “Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Berastagi”, Disertasi, 2002, hlm.

141.

35Politik Hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara, lihat M.

Solly Lubis, Sistem Nasional, Bandung, Mandar Maju, 2002, hlm.117.

pemerintah Indonesia untuk mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sudah jelas, ditandai dengan lahirnya berbagai undang-undang yang memberikan tempat bagi penyelesaian sengketa alternatif

Referensi

Dokumen terkait

yang baru datang menuntut ilmu serta be- lum mempunyai dasar keilmuan keagama- an seperti membaca Al-quran maka materi yang diberikan adalah pelajaran membaca

Tujuan dari program pelatihan ini adalah 1) memberikan pengetahuan tentang mindset pada siswa, 2) memberikan pengetahuan tentang pentingnya belajar dan tujuan

Rasa bosan terhadap pelajaran, tidak memahami pengajaran yang disampaikan guru serta sering dimarahi akan mudah menjuruskan pelajar yang bermasalah itu untuk ponteng

Secara klinis ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.. Adapun

Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2010:110). Data

Kesantunan berbahasa dari aspek penggunaan kata sapaan dan bahasa persis bukan sahaja menjadi salah satu tunjang kekuatan kepada masyarakat Melayu untuk menarik perhatian

Bagi persepsi responden terhadap kemudahan sukan pula, didapati majoriti responden berpendapat bahawa kemudahan sukan untuk staf wanita di UTM adalah tidak mencukupi, kurang

Latar belakang skripsi yang berjudul ³ Partisipasi Masyarakat Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 Di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru ´ adalah mengetahui