• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Alat bukti dalam Hukum Acara Pidana dan Sistim Pembuktian di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Alat bukti dalam Hukum Acara Pidana dan Sistim Pembuktian di Indonesia"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum

1. Alat bukti dalam Hukum Acara Pidana dan Sistim Pembuktian di Indonesia

Di Indonesia, hukum acara pidananya membutuhkan pembuktian yang digunakan sebagai kekuatan untuk pemeriksaan perkara di pengadilan.

Perihal tersebut dikarenakan dengan melalui tahapan pembuktian ini akan terjadi sebuah proses, cara serta membuktikan perbuatan si terdakwa tersebut salah ataupun benar terhadap perkara pidana yang sedang dihadapi dalam persidangan. Hukum pembuktian ialah pembuktian yang diatur oleh seperangkat kaidah hukum, diantaranya semua proses yang mempergunakan alat bukti yang sah, serta beberapa tindakan yang dilakukan menggunakan prosedur yang khusus untuk mengetahui fakta yuridis dalam persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktiannya, tata cara serta beberapa syarat untuk pengajuan bukti tersebut dan hakim berwenang secara penuh untuk menilai, menolak serta menerima pembuktian tersebut.9 dalam hukum acara pidana yang sebagaimana diketahui bahwasanya kebenaran materiil merupakan kebenaran yang ingin dicapai. Adanya alat bukti yang sah menurut perundang-undangan sangat diperlukan guna tercapainya kebenaran materiil tersebut.

9 Alfitra, Hukum Pembuktian dalam beracara pidana, perdata, dan korupsi di indonesia, (Jakarta:

Penebar Swadaya Group, 2011), hlm. 21.

(2)

Sistem pembuktian secara negatif dianut oleh KUHAP (Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana) yang dijelaskan dalam Pasal 183 KUHAP bahwasanya:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi bahwa terdakwalah bersalah melakukannya”. 10

Berdasarkan pernyataan tersebut, terdapat kenyataan bahwasanya undang- undang (KUHAP) harus mendasari sebuah pembuktian, yakni alat bukti yang dinyatakan sah pada Pasal 184 KUHAP, dan disertai keyakinan hakim yang didapatkan dari beberapa alat bukti tersebut.11

Apabila melihat ketentuan lebih lanjut Undang-undang No. 4 Tahun 2004 dalam Pasal 6 ayat (2) mengenai pokok kekuasaan kehakiman menjelaskan bahwasanya: “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undangundang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atastindak pidana yang didakwakan atas dirinya”.

Pembuktian unsur-unsur tindak pidana perkosaan diatur dan diancamkan pidana seperti yang tercantum dalam pasal 285 KUHP yaitu:

a. Unsur barang siapa.

b. Unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia. Unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan tenaga dan badan yang dapat membuat seseorang pingsan

10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP.

11 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2008), hlm. 254.

(3)

12 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2007, Hlm 69

atau tidak berdaya, luka atau tertekan sehingga membuat seseorang mengalami rasa takut yang mendalam. Untuk membuktikan ada tidaknya tindak pidana pemerkosaan berpedoman terhadap alat-alat bukti yang telah diautr dalam pasal 184 KUHP yaitu:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Alat bukti surat

d. Alat bukti petunjuk e. Keterangan terdakwa.

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang telah diatur oleh aturan hukum dan ancamannya yaitu dikenakan sanksi pidana. Asal dari kata tindak pidana yaitu dari istilah hukum pidana Belanda strafbaar feit atau istilah yang terkadang juga digunakan yakni dilict dari bahasa latin delictum. Untuk maksud yang sama, hukum pidana beberapa negara Angxlo-Saxon mempergunakan istilah criminal act atau offense.12 Oleh karenanya sumber dari KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) di Indonesia berasal dari W.v.S Belanda, sehingga istilah aslinya juga sama yakni strafbaar feit (perbuatan yang dilarang oleh perundang-undangan dengan ancaman hukuman). Beberapa negara Eropa mengenal istilah dari criminal act atau offence dengan istilah strafbaar feit atau delict.

(4)

Secara harfiah penjabaran dari istilah strafbaar feit pada dasarnya dibagi menjadi 3 kata. Kata Straf yang apabila diterjemahkan berarti hukum serta pidana. Kemudian terjemahan dari baar yang berarti boleh serta dapat. Terakhir yaitu terjemahan dari kata feit yang berarti perbuatan, pelanggaran, peristiwa serta tindak. Sehingga secara singkat pengertian dari istilah strafbaar feit ialah perbuatan yang diperbolehkan untuk dihukum. Tetapi dalam kajian berikutnya tidak sesederhana seperti ini, dikarenakan yang bisa dihukum itu orang yang melakukan pelanggaran aturan hukum bukan perbuatannya.13 Beberapa rumusan berikutnya perlu untuk dikemukakan mengenai tindak pidana menurut ahli dalam bidang hukum pidana. Menurut Simons, yang dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan bahwasanya tindak pidana atau strafbaar feit ialah perbuatan yang sifatnya melawan hukum dengan ancaman pidana yang berhubungan terhadap kelakuan ataupun kesalahan orang tersebut untuk dipertanggung jawabkan. Dalam hukum pidana perihal tersebut erat kaitannya terhadap dua aliran yaitu dualisme serta monisme.

3. Pengertian Tindak Pidana Umum

Tindak pidana umum ini ialah suatu perbuatan pidana yang pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang terdiri dari:

a. Tindak Pidana Umum ialah suatu perbuatan pidana yang pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(5)

21 b. Kejahatan adalah perbuatan melanggar larangan yang telah ditetapkan oleh kaidah hukum serta melawan perintah ataupun tidak memenuhi kaidah hukum yang telah ditetapkan dalam masyarakat.

c. Dalam KUHP pelanggaran diatur pada Pasal 489-59/BAB I-IX.

Pelanggaran ialah “Wetsdelichten” yakni beberapa perbuatan yang sifat hukumnya baru bisa diketahui sesudah ada yang menentukan. Sehingga penganiayaan, pencurian, pembunuhan serta beberapa peristiwa semacam itu merupakan rechtsdelicten atau kejahatan dikarenakan dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil serta terpisah dari ketegasan aturan pidana.

Sementara itu Wetsdelicten meliputi peristiwa berkendara ke jurusan yang dilarang atau berkendara tanpa lampu dan pelarangan bersepeda diatas jalan karena merupakan pelanggaran undang-undang/kejahatan dikarenakan kesadaran hukum kita masih kurang dan kita beranggapan beberapa hal tersebut tidak dipidanakan, namun baru bisa dirasakan karena diancam pidana oleh undang-undang.14

A. Tindak Pidana Anak

1. Pada dasarnya pengertian Tindak Pidana Anak tidak dijelaskan dalam Undang- undang Sistem Peradilan Pidana Anak tentang pengertian tindak pidana anak, tetapi hanya berbentuk sistem peradilan pidananya anak bukan tindak pidananya yakni anak yang menajdi pelaku tindak pidana sudah diatur dalam Undang-Undang

14 Renggong Ruslan. “Hukum Pidana Khusus Memahami DelikDelik di Luar KUHP”, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2016), 26-27

(6)

No. 11 Tahun 2012 mengenai sistem peradilan pidana anak Pasal 1 ayat (1),(2),dan (3) yakni :

ayat (1) ialah “Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana”

ayat (2) ialah “Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”,

ayat (3) ialah “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”15

1. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Anak

Seorang Anak yang melakukan tindak pidana biasa disebut dengan anak nakal. Kenakalan anak menurut Kartini Kartono adalah perilaku jahat /dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.16 Kenakalan anak adalah reaksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh anak, namun tidak segera ditanggulangi, sehingga menimbulkan akibat yang berbahaya baik untuk dirinya maupun bagi orang lain. Menurut Romli Atmasasmita:

15 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak

16 Kartini Kartono. Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja. Raja Wali Pers. Jakarta. 1992

(7)

23

“Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan peribadi anak yang bersangkutan.”17 Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan anak dikategorikan sebagai berikut : 1. Kenakalan Anak sebagai status offences, yaitu segala prilaku anak yang dianggap menyimpang, tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai tindak pidana, misalnya membolos sekolah, melawan orang tua, lari dari rumah, dan lain-lain.

2. Kenakalan anak sebagai tindak pidana (Juvenile delinquency), yaitu segala prilaku anak yang dianggap melanggar aturan hukum dan apabila dilakukan oleh orang dewasa juga merupakan tindak pidana, tetapi pada anak dianggap belum bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.18

3. Dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur hukum anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan, terkhususnya sanksi yang diberikan kepada anak telah ditentukan berdasarkan perbedaan usia anak yakni, dalam Pasal 69 ayat (1) berbunyi tindakan hanya dikenakan bagi anak yang belum berumur 14 tahun, sementara itu pidana dijatuhkan terhadap anak yang sudah mencapai umur diatas dua belas (12) hingga delapan belas (18) tahun. Pasal 70 menyatakan bahwasanya:

“ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau

17 Romli Atmasasmita. Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja. Armico. Bandung. 1983

18 Rachmayanthy, Litmas Pengadilan Anak Berkaitan Dengan Proses Penyidikan,

Sumber:http://bimkemas.kemenkumham.go.id/attachments/article/247/LITMAS%20PENGADIL AN%20ANAK%20BERKAITAN%20DENGAN%20PROSES%20PENYIDIKAN.pdf, diakses pada tanggal

10 januari 2022

(8)

mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.19 Pada prinsipnya, tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah tanggung jawab anak itu sendiri, akan tetapi oleh karena terdakwa adalah seorang anak, maka tidak dapat dipisahkan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya. Tanggung jawab anak dalam melakukan tindak pidana adalah anak tersebut bertanggung jawab dan bersedia untuk disidik, dituntut dan diadili pengadilan, hanya saja, terdapat ketentuan-ketentuan dimana seorang anak tidak diproses sama halnya dengan memproses orang dewasa. Hal ini dijelaskan dalam asas di dalam pemeriksaan anak, yaitu:

a. Azas praduga tak bersalah anak dalam proses pemeriksaan;

b. Dalam suasana kekeluargaan;

c. Anak sebagai korban;

d. Didampingi oleh orang tua, wali atau penasehat hukum, minimal wali yang mengasuh;

e. Penangkapan, penahanan sebagai upaya terakhir setelah dilakukan pertimbangan dengan catatan penahanan dipisahkan dari orang dewasa.

Pertanggungjawaban pidana dari anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana akan dilihat dari aturan yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP. Jika di dalam KUHP diatur dalam pasl 10 KUHP. Menurut Pasal 10 KUHP hukuman itu terdiri dari hukuman pokok dan hukuman tambahan.

Hukuman pokok terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara yang dapat berupa hukuman seumur hidup dan hukuman sementara waktu, hukuman

19 Hadi Setia Tunggal, UU RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Harvarindo, Jakarta, 2013,hlm 38

(9)

kurungan dan hukuman denda.20 Sementara hukuman tambahan dapat berupa:

pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Bila melihat dari ketentuan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak sesuai dengan KUHP tetapi sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana terdapat dalam Pasal 71 sampai 81, Dalam Pasal 71 pada intinya menjelaskan mengenai pidana-pidana pokok yang diterima oleh anak yang melakukan tindak pidana termasuk jenis pidana pokok pelatihan kerja yang diatur dalam Pasal 78 dan pembinaan dalam lembaga yang diatur dalam Pasal 80 serta pidana penjara yang diatur dalam Pasal 81 , dalam Pasal 72 hanya mencakup pidana peringatan yang merupakan pidana ringan , mengenai syarat-syarat pidana sudah diatur dalam pasl 73 sampai Pasal 77 yang menjelaskan mengenai persyaratan pidananya.

21 Dari ketentuan diatas dapat dilihat bahwa bila seorang anak melakukan tindak pidan pembunuhan atau sejenis sanksi-sanksi tersebut tetap diputus berdasarkan pertimbangan hakim.

B. TINJAUAN UMUM TENTANG ABORSI 1. Pengertian Aborsi Secara Medis

Aborsi ialah gugur atau berakhirnya kehamilan sebelum kandungannya berusia 20 minggu atau berat bayinya kurang dari 500 gr, yakni sebelum janinnya bisa hidup secara mandiri diluar kandungan.

20 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

21 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 71-81

(10)

Arti lain dari aborsi yaitu terjadinya kehamilan diantara sel telur yang telah (blastosit) ketika tertanam dirahim hingga kehamilan yang berusia 28 minggu. Abortus ialah janin yang keluar sebelum viabilitasnya tercapai, dimana masa gestasinya belum mencapai usia 22 minggu serta beratnya kurang dari 500 gr.22 Yang dimaksud keluarnya, terhentinya janin dalam aborsi adalah suatu masalah dalam kandungan yang terjadi dengan campur tangan dan niat manusia lain bahkan orang yang mengandung. Aborsi dapat dilakukan oleh siapa pun dan dengan cara apapun, tapi yang membedakan adalah apakah tindakan yang dilakukan tu legal atau illegal .

1) Arti Etimologis

Asal kata aborsi yaitu dari bahasa latin abortion yang berarti hasil konsepsi yang dikeluarkan dari uterus dimana usia janinnya 24 minggu atau premature yang belum bisa hidup diluar kandungan. Arti aborsi secara medis yaitu kandungan yang dikeluarkan sebelum berumur 24 minggu yang berakibat pada kematian. Sementara itu pengertian dari sudut pandang hukum serta moral ialah janin yang dikeluarkan sejak terjadinya konsepsi hingga kelahiran yang berakibat kematian.23 Aborsi dilakukan dengan niat dan tindakan yang dilarang baik dalam agama atau dalam kehidupan di masyarakat karena tergolong dalam penghilangan nyawa.

2) Arti Leksikal Abortus

22 Yulia Fauziyah-Cecep Triwibiwo, Bioteknologi Kesehatan, (Yogyakarta:Nuhamedika, 2013), Hal. 143

23 CB. Kusmaryanto, Tolak Aborsi, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), Hal. 15

(11)

27 Berarti pengguguran yang dilakukan dengan sengaja, dikarenakan calon bayi yang dikandung tidak diinginkan24. Istilah yang dipergunakan dalam kamus kedokteran ialah abortus atau keguguran yakni kehamilan yang terhenti sebelum berumur 28 minggu.25

Jenis-Jenis Aborsi a) Abortus Spontan26

Abortus spontan ialah berakhirnya setiap kehamilan secara spontan sebelum janinnya bisa bertahan. Abortus Spontaneous ialah terjadinya aborsi yang tidak didahului oleh beberapa faktor medicinalis maupun mekanis dan penyebabnya yaitu semata-mata dari faktor alamiah.

Kategori abortus spontan disesuaikan dengan janin yang dikeluarkan.

Klasifikasi abortus spontan yakni sebagai berikutnya:

a. Abortus septic atau infeksious ialah abortus yang disertai dengan infeksi genital

b. Abortus habitulis (keguguran secara berulang) dimana keadaan penderita mengalami keguguran 3 kali atau lebih secara berturut-turut.

c. Missed abortion ialah ketidaknormalan dari suatu kehamilan, hal tersebut tidak bisa dihindari dan janinnya mati ketika berumur kurang dari 20 hari. Missed abortion yaitu dimana keadaan janinnya telah mati namun masih ada didalam rahim serta selama dua bulan ataupun lebih tidak dikeluarkan.

d. Abortus kompletus (keguguran lengkap) yakni semua hasil konsepsi yang telah dikeluarkan yang mengakibatkan kosongnya rongga rahim.

Dalam abortus kompletus ditemukannya uterus yang telah mengecil,

(12)

sedikit pendarahan serta pengobatan khusus tidak diperlukan.

e. Abortus Inkompletus ialah sebagian janin yang dikeluarkan pada kehamilan yang berusia sebelum 20 minggu dan sisanya masih tertinggal didalam uterus. Abortus inkompletus atau kata lainnya keguguran bersisa berarti hasil konsepsi yang dikeluarkan sebagian ada yang tertinggal ialah plasenta.

f. Abortus Insipens merupakan peristiwa peradangan yang terjadi pada uterus dengan adanya dilatasi serviks dalam masa kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu.

g. Abortus Imminens merupakan pendarahan uterus yang terjadi pada masa kehamilan sebelum berusia 20 minggu, tanpa adanya dilatasi serviks dan janinnya masih didalam uterus.

24 Badudu-Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), Hal. 3

25 Hendra T. Laksman, Kamus Kedokteran, (Jakarta: Djambatan, 2000), Hal.1

26 Yulia Fauziyah-Cecep Triwibiwo, Op.Cit., Hal. 146-14

(13)

29 b) Abortus Provokatus271

Abortus provokatus ialah aborsi yang dilakukan secara sengaja baik menggunakan alat maupun obat-obatan. Secara resmi istilah abortus provokatus dipakai oleh kalangan dari hukum maupun kedokteran.

Abortus provokatus ialah suatu proses dimana hidupnya sebuah janin diakhiri tanpa diberikan kesempatan untuk bertumbuh. Jenis abortus provokatus dibagi menjadi dua yakni abortus provokatus kriminalis serta abortus provokatus medicinalis.

a. Abortus Provokatus Kriminalis

Abortus provokatus kriminalis ialah terjadinya aborsi yang dilakukan tidak atas dasar indikasi medis atau dikarenakan tindakan yang tidak legal, contohnya akibat hubungan seksual diluar pernikahan maka dalam rangka melenyapkan janinnya dilakukanlah aborsi. Abortus provokatus secara umum ialah sebuah kehamilan dini sebelum bayi tersebut berada pada waktunya untuk bisa hidup sendiri diluar kandungan.

Bayi yang keluar tersebut pada umumnya sudah meninggal. Sementara itu abortus provokatus kriminalis secara yuridis ialah tiap kehamilan yang dihentikan sebelum hasil konsepsinya dilahirkan, umurnya bayi dalam kandungan tanpa dihitung serta keadaannya janin saat dilahirkan masih hidup ataupun telah mati.

c) Aborsi Eugenetik

1Yulia Fauziyah-Cecep Triwibiwo, Op.Cit., Hal. 149-151

(14)

Aborsi eugenetik ialah kehamilan yang dihentikan guna menghindari bayi yang dilahirkan memiliki penyakit genetic ataupun bayi yang cacat. Eugenisme ialah penerapan ideologi guna memperoleh keturunan yang baik ataupun unggul saja. 228

Apabila kriteria tersebut diterapkan pada tumbuhan maupun binatang, maka tidak ada permasalahan etika. Namun akan menjadi permasalahan besar ketika kriteria tersebut diterapkan pada manusia, dikarenakan tindakan tersebut apabila dilakukan berarti orang jompo maupun orang sakit harus dimusanahkan serta tidak memiliki hak untuk hidup didunia dan ini juga menyalahkan sebagai hak asasi manusia sebagai mahkluk yang berhak hidup.

1) Pelaku Aborsi

Prof. Dr. Sudradji Sumapraja mengemukakan bahwasanya:

“ seorang ahli kebidanan dan kandungan rahim dari kumpulan obstetri dan ginekologi Indonesia, sebagian besar pelakunya adalah ibu rumah tangga yang sudah menikah (99,7 %)”.

Menurut ketua umum perkumpulan Obstetri dan Ginekologi (POGI), Biran Affandi menyatakan bahwasanya :

“89% pelaku aborsi adalah ibu-ibu yang sudah menikah, 11% yang belum menikah, 45% yang akan menikah dan 55% yang belum berencana untuk menikah.”

Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH, Depkes dan Kessos, mengemukakan bahwasanya :

“Pelaku aborsi di kalangan remaja yang belum menikah hanya 15% - 20%, sebagian besar adalah ibu yang sudah menikah.”

Berdasarkan deputi II bidang kesetaraan gender, Yusuf Supiandi tentang usia wanita yang melaksanakan aborsi yakni: usia 20 hingga 29 tahun dan

(15)

31 usia 30 hingga 46 tahun sebesar 51%, serta usia dibawah 20 tahun sebesar 15%. Meskipun sudah dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23/ 1952, pasal 15, ayat 2D, “bahwa aborsi hanya boleh dilakukan di sebuah sarana kesehatan yang

memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah, akan tetapi dalam kenyataan banyak aborsi terjadi di rumah sakit dan klinik tertentu yang tidak mempunyai izin praktek untuk itu”. Aborsi juga dilakukan di rumah-rumah keluarga yang dibantu dukun.

Berdasarkan pernyataan Prof. Dr. Budi Utomo bahwasanya:

“ guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pelaku aborsi di kota lebih tinggi dari pada di desa. Walaupun sudah ditegaskan dalam UU kesehatan No. 23/ 1992 pasal 15 ayat 2 C. yang berbunyi : aborsi hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan wewenang untuk itu, dan sesuai dengan tanggung jawab profesi, serta berdasarkan pertimbangan tim ahli, tetapi masih ada 80% aborsi dilakukan oleh tenaga tradisional atau dukun. Diperkirakan sekitar 70%

pelaku aborsi, sudah melakukan usahan sendiri untuk menggugurkan kandungan sebelum ke klinik atau rumah sakit dengan berbagai cara, misalnya minum jamu, memijat perut, memasukan benda-benda tertentu ke perut dan lain-lain.”3

1. Alasan Terjadinya Aborsi

1) Alasan Medis tak bisa disangkal bahwasanya kandungan yang digugurkan ialah sebuah cara yang digunakan untuk membunuh kehidupan yang manusiawi. Tak heran bahwasanya dalam konteks kehamilan perihal tersebut juga sudah biasa terjadi, dikarenakan kehamilan ialah sebuah keunikan yang terjadi pada situasi manusiawi. Sembilan bulan lamanya dua insan mengalami eratnya simbiosis (persekutuan hidup), sehingga janin sangat bergantung dengan ibunya. Namun bisa terjadi juga

3CB. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi,Op.Cit., Hal. 45- 47

(16)

bahwasanya janin yang hadir didalam kandungan bisa mengancam maupun mengganggu kesehatan ataupun kehidupannya ibu. Sehingga kewajiban untuk menghormati kehidupan manusia disini juga tetap berlaku.

Dalam situasi seperti itu, bisa dibenarkan untuk mengakhiri kehamilannya meskipun dengan berat hati. Andaikan dokter memiliki alternative lain maka hal tersebut tidakan akan ia lakukan, sayangnya alternative lainnya tidak ada, sehingga dengan demikian dikarenakan alasan medis maka kehamilan boleh diakhiri. Aborsi bisa dilakukan secara medis jika terdapat indikasi pendeteksian kedaruratan medis sejak awal kehamilan, baik menderita cacat bawaan/penyakit genetic berat, mengancam nyawa janin/ibu serta hal yang tidak bisa diperbaiki sehingga menyebabkan bayi kesulitan hidup diluar kandungan.4

2) Alasan Non Medis Aborsi, dilakukan dengan berbagai alasan mulai dari wanita yang belum menikah, single, serta wanita yang statusnya masih menikah. Aborsi yang dilakukan dengan alasan non medis anehnya banyak dilakukan oleh kebanyakan wanita yang sedang hamil, contohnya:

1. Takut dikucilkan/malu

2. Pria yang menghamili tidak mau bertanggung jawab 3. Tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengurus anak 4. Demi karir Malu

Alasan non medis diatas menunjukkan bahwasanya wanita tersebut tidak peduli terhadap janinnya. Ada juga wanita yang hamil sebelum menikah, baginya permasalahan yang dihadapinya tidaklah mudah. Terkadang dia

4 13 Yulia Fauziyah-Cecep Triwibiwo, Op.Cit., Hal. 157

(17)

33 masih bingung maupun beranggapan masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Teman laki-lakinya akan meninggalkan apabila dia tidak bersedia menggugurkan kandungannya sebelum kehamilannya diketahui, tempat kerja yang terancam, dia merasa anak yang dilahirkannya akan mengganggu pendidikannya.5

Tidak hanya itu, perasan khawatir tidak mampu untuk membesarkan anak dikarenakan berbagai macam alasan seperti anak yang membutuhkan perhatian, keadaan ekonomi dalam berumah tangga serba kurang serta beralasan mengenai kesehatannya. Terkadang juga para suami meaksa istrinya untuk menggugurkan kandungannya dikarenakan masih ingin bebas, tidak mau diganggu, ingin menikmati uang untuk membeli barang, tidak mau repot serta sifat keegoisannya. 6Hal ini juga harusnya dapat diatur dalam hal kesepakatan rumah tangga, yang mana sebenarnya juga ada Istilah KB yang dapat mereka lakukan tanpa harus khawatir atau melakukan yang harusnya tidak mereka lakukan.

Alasan lainnya ialah:

1. Kehamilan yang tidak mendapat persetujuan dari keluarga

2. Belum menghendaki kehamilan yang terjadi, yang berarti wanita tersebut belum siap menjadi seorang ibu.

3. Jarak kehamilan terlalu dekat dengan umur anaknya.7

Perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, bisa membuka peluang kepada siapapun untuk unjuk kehebatannya. Tetapi, apabila terdapat kesempatan maka manusia bisa terbuai dengan peralatan yang

54Dokumen KWI, Allah Penyayang Kehidupan, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1991), Hal.47

6 5Ibid., Hal.49

7 Ida B.Gde Manuaba, Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, (Jakarta: Arcan, 1998), Hal 226

(18)

diperguanakan, umurnya manusia di perpendek bahkan sebelum menjadi manusia yang utuh sudah dimusnahkan. Nyawanya bayi yang tidak bersalah menjadi korban teknologi.

Keputusan untuk mengehentikan kehamilan oleh para wanita yang tidak menghargai kehidupan dengan bermacam-macam alasan, tanpa memperhitungkan akibatnya dikemudian hari. Ternyata disini kita bisa melihat bahwasanya sangat minim sekali penghormatan terhadap martabatnya manusia.

1. Faktor-Faktor Penyebab Aborsi

Dalam sejarah manusia, aborsi termasuk kasus yang antik. Entah pada tingkatan praktis maupun teoritisnya, aborsi merupakan sebuah permasalahan yang masih dipertanyakan didalam hati nuraninya manusia..

perlu digalinya akar persoalan mengenai aborsi secara menyeluruh, sebelum munculnya praktek aborsi. Pertanyaan tersebut akan terjawab dengan bantuan tinjauan interdisipliner sebagai berikutnya:

a. Pada umumnya secara sosiologis, kemunculan aborsi dikarenakan adanya seseorang yang tidak pasti untuk mempertanggung jawabkan atas semua tindakan yang telah dilakukan sesudah bersenggama diluar maupun didalam pernikahan dan kandungannya tidak diinginkan. Ketakutan yang dirasakan mereka karena takut ditolak oleh keluarga serta mengalami aib sosial.

Anak yang dilahirkan akan dicap sebagai anak haram meskipun dalam dunia barat sudah terkenal single parent sebagai peran sosial.

b. Aborsi yang dilakukan terkadang karena alasan sosial ekonomi.

(19)

35 Ketidak sanggupan keluarga untuk membiayai serta menghidupi anak yang akan dilahirkannya.34 Untuk alasan inilah mereka

34 William Chang, Bioetika, ( Yogyakarta: Kanisius ), Hal. 38

melakukan aborsi agar anak tidak dilahirkan. Alasan ini sangat umum dan meskipun umum alasan ini tetap saja salah. Karena biasanya yang melakukan mereka yang memang sudah berkeluarga. Harusnya mereka memahami bagaimana untuk bersikap lebih bijak dalam mengambil keputusan dan mencari solusi lain ketika ingin berhubungan.

c. Kemajuan teknologi yang secara langsung berpengaruh bagi perubahan prilaku orang terhadap aborsi.

Terjadinya kasus tindakan seksual yang menyimpang ataupun kekerasan seksual tidaklah sedikit, hal tersebut disebabkan oleh gambar maupun film porno yang diperoleh dari internet dan sebagainya. Kemudahan teknologi sekarang bisa membuat orang dengan mudah bermain dengan seksualitasnya yang berakibat kehamilan yang tidak diinginkan semakin banyak terjadi yang kemudian berujung pada aborsi.

1.8.2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP menegaskan bahwa segala macam aborsi dilarang dengan tidak ada kecualiannya. Pasal-pasal yang berhubungan langsung dengan aborsi adalah:35

1. Pasal 229 KUHP:

1) “Barang siapa dengan sengaja mengobati seseorang wanita atau

(20)

menyuruh seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau

35 Yulia Fauziyah-Cecep Triwibiwo, Op.Cit., Hal. 153

menerbitkan pengharapan bahwa oleh karena itu pengobatan itu dapat gugur kandungannya, di pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyakbanyaknya empat puluh lima ribu rupiah.

2) Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencarian atau kebiasaan atau kalau ia seorang dokter, bidan atau juru obat

pidana dapat ditambah sepertiga.

3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu di dalam pekerjaannya, maka dicabut haknya melakukan pekerjaan itu”.

2. Pasal 346 KUHP “seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

3. Pasal 347 KUHP “1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara palng lama lima belas tahun.”

C. Pengaturan Aborsi dalam UU kesehatan

1. Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan dalam dua kondisi berikut:

a) indikasi dari kedaruratan medis yang terdeteksi pada awal kehamilan, seperti menderita cacat bawaan/memiliki kelainan genetic yang berat, nyawa janin ataupun ibunya terancam serta hal

(21)

37 yang bisa menyebabkan bayi kesulitan ketika sudah hidup diluar kandungan yang sifatnya tidak bisa diperbaiki. Atau

b) Kehamilan yang diakibatkan oleh pemerkosaan yang bisa berdampak pada psikologisnya korban hingga mengalami trauma.

Tetapi, dalam Pasal 75 ayat 2 UU Kesehatan yang mengatur tindakan aborsi juga hanya bisa dilakukan sesudah melakukan konseling ataupun penasehatan sebelum dilakukannya tindakan serta diakhiri dengan konseling sesudah dilakukannya tindakan yang dilakukan pihak berwenang ataupun konselor yang kompeten dibidangnya.(lihat Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan).

Aborsi hanya bisa dilakukan menurut pasal 76 UU Kesehatan, diantaranya:

a. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi persyaratan sesuai yang telah ditetapkan menteri.

b. Mendapatkan izin dari suami, kecuali korban pemerkosaan

c. Mendapatkan persetujuan dengan pihak yang bersangkutan (ibu hamil)

d. Oleh tenaga kesehatan yang bersertifikat dan mempunyai kewenangan ataupun keterampilan sesuai yang telah ditetapkan menteri

e. Sebelum usia kehamilan enam (6) minggu terhitung sejak hari pertama haid yang terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.

D. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERKOSAAN 1. Pengertian Perkosaan

Perbuatan pemerkosaan atau perkosaan berarti yaitu perbuatan kriminal yang terjadi, bersifat seksual dan dilakukan secara paksa antara orang satu dengan

(22)

orang lainnya untuk melaksanakan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi penis dengan vagina dengan menggunakan kekerasan maupun pemaksaan.

Perkosaan dalam kamus besar bahas Indonesia, berasal dari kata perkosaan yang memiliki arti melanggar ataupun menggagahi dengan melakukan kekerasan.

Sementara itu, arti dari pemerkosaan yakni sebagai cara, proses maupun pelanggaran ataupun perbuatan perkosa yang dilakukan dengan cara kekerasan.36 Asal dari kata perkosaan yakni dari bahasa latin rapere yang mempunyai arti membawa pergi, merampas, memaksa serta mencuri.37

Tindak pidana perkosaan pada zaman dahulu sering dilakukan guna mendapatkan istri serta tidak hanya berupa persetubuhan melainkan semua serangan yang melibatkan alat kelamin dengan pemaksaan maupun menggunakan kekerasan yang dilakukan pelaku kepada korban. Bunyi tindak pidana perkosaan yang telah diatur didalam KUHP Pasal 285 yakni: “Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”. 38

Didalam pasal 285 KUHP mengisyaratkan bahwasanya “keharusan adanya persetubuhan yang bukan istrinya disertai dengan ancaman kekerasan”.

36 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia(t:t Gitamedia Press, t.t), hlm. 453.

37 Hariyanto, Dampak Sosio Psikologis Korban Tindak Pidana Perkosaan Terh}adap Wanita, (Jogjakarta : Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada, 1997), h. 97.

38 Lihat KUHP Pasal 285 tentang perkosaan

Perkosaan di tandai adanya penetrasi antara penis dengan lubang vagina dalam hubungan seks dan disertai kekerasan maupun ancaman fisik yang dilakukan oleh pelaku terhadap korbannya.

Atas dasar uraian diatas maka bisa disimpulkan bahwasanya perkosaan ialah:

a. Seorang pria yang melakukan perbuatan hubungan kelamin dengan wanita

(23)

39 tanpa persetujuan serta bukan istrinya dan dilakukan saat wanita tersebut merasa ketakutan.

b. Seorang wanita yang disetubuhi oleh laki-laki secara tidak sah dan tidak berdasarkan kemauan wanita tersebut serta dilakukan dengan pemaksaan.

c. Pelarangan sebuah hubungan kelamin terhadap wanita tanpa adanya persetujuan

2. Jenis –Jenis Perkosaan

Tindak pidana perkosaan bisa digolongkan berdasarkan peninjauan dari motifnya pelaku yakni meliputi:

a. Exploitasion Rape Pemerkosaan semacam ini dapat terjadi karena ketergantungan korban terhadap pelaku, baik secara ekonomi atau social.

Dalam hal ini pelaku tanpa menggunakan kekerasan fisik namun pelaku dapat memaksa keinginanya terhadap korban.8 Hal ini juga dapat di kualifikasikan sebagai ancaman. Pada dasarnya pelaku merasa bahwa diirinya berkuasa atas diri korban dkarenakan korban membutuhan pelaku dalam hal lain

b. Domination Rape Dalam hal ini pelaku ingin menunjukan dominasinya terhadap korban. Kekerasan fisik tidak merupakan tujuan utama korban karena tujuan utamanya adalah pelaku ingin menguasai korban secara seksual dengan demikian pelaku dapat menunjukan bahwa ia berkuasa atas orang tertuntu. Misalnya : Pemerkosaan pembantu oleh majikan

c. Anger Rape Perkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan marah pelaku.

Perkosaan semacam ini biasanya disertai tindakan brutal pelakunya secara fisik.

Kepuasan seksual bukan merupakan tujuanya melainkan melampiaskan rasa

8Topo Santoso, Seksualitas dan Pidana, (Jakarta: In Hill, 1997), h. 92-93

(24)

marahnya.

d. Sadistic Rape Permerkosaan yang dilakukan secara sadis. Dalam hal ini pelaku mendapat kepuasan seksual bukan karena hubungan tubuhnya e. Seductive Rape Perkosaan yang terjadi karena pelaku merasa terangsang

nafsu birahi, dan bersifat subjektif. Biasanya perkosaan semacam ini karena diantara kedunya sudah saling mengenal misalnya: pemerkosaan oleh pacar, pemerkosaan oleh anggota keluarga dan pemerkosaan oleh teman.

E. TINJAUAN UMUM TENTANG KORBAN A. Pengertian dan Peranan Korban Tindak Pidana

1. Pengertian Korban Pengertian dalam pembahasan ini adalah untuk membantu dalam menentukan secara jelas batasan yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara memandang. Korban tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi juga bisa sekelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korban bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam tindak pidana terhadap lingkungan.

Mengacu pada pengertian-pengertian korban tersebut dapat dilihat bahwa korban di atas dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian penderitaan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan la ngsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau mencegah

(25)

41 viktimisasi.

Kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya kesalahan yang ditimbulkan karena tidak melakukan suatu kerjaan. Perkembangan dari ilmu viktimologi selain mengajak setiap orang untuk lebih melihat posisi korban juga memilih-milih jenis korban hingga mencullah berbagai jenis korban,yaitu sebagai berikut:

1) False victims, menjadikan dirinya sebagai korban dikarenakan perbuatnnya sendiri

2) Participating victims, mempermudah dirinya menjadi korban dikarenakan perilakunya yang tidak wajar.

3) Procative victims, terjadinya dorongan tindak pidana yang ditimbulkan oleh mereka sendiri

4) Latent victims, maksudnya yakni setiap orang memiliki kelakuan yang tertentu sehingga minim untuk menjadi seorang korban.

5) Nonparticipating victims, tindak pidana yang diupayakan untuk ditanggulangi namun mereka tidak peduli.9 Di Indonesia, menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku, pengertian dari korban ialah :

1. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) mengenai Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwasanya “Korban

9Didik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom,2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatn Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta,h. 49

(26)

adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

2. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 1 ayat (3) mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Bahwasanya “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

3. Didalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Bahwasanya “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga ahli warisnya”. Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa korban menurut defini yuridis terjadi beberapa perbedaan pengertian menurut Undang-undang

,namun penulis hanya memakai 1(satu) dari beberapa pengertian tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

2. Peranan Korban dalam Tindak Pidana

Peranan penting korban sama halnya seperti peran pelaku dalam terjadinya tindak pidana. Pihak lainnya bisa juga menjadi korban akibat perilaku dari pelaku itu sendiri seperti yang dinyatakan oleh Samuel Welker, hubungan pelaku serta korban yakni dikarenakan terdapat sebab-akibat yang terjadi.

10Seperti hak korban yang bisa berbicara untuk mempertahankan diri begitu

10Dikdik M. Arief Mansur, Op.Cit, hlm 60

(27)

43 juga dengan pelaku yang memiliki hak untuk membela diri dengan memberikan alasan apa yang mengakibatkan pelaku melakuan suatu tindak pidana. Kejahatan yang diakibatkan oleh beberapa peranan korban ialah:

a. Tindakan terjadi dikarenakan korban itu sendiri yang mengawali

b. Kemungkinan terjadi kerjasama diantara pelaku dengan korban yang bisa merugikan.

korban yang mengalami kerugian akibat kejahatan yang seharusnya tidak terjadi jika tidak ada provokasi si korban.11 Dari situ dapat dilihat kedudukan korban dan pelaku mempunyai tingkat kesalahannya. Pada dasarnya kita tida bisa melihat suatu kesalahn hanya dari satu sudut pandangsaja karena sebab akibat adalah satu dari kesatuan adanya suatu tindakan atau kejadian. Sarjana hukum Mendelson yang merupakan seorang ahli menyatakan bahwa derajat kesalahan korban dibagi menjadi 5 yakni:

a. Korban yang menjadi satu-satunya orang yang bersalah b. Korban yang lebih bersalah daripada pelaku.

c. Korban serta pelaku sama-sama salah.

d. Korban yang menjadi korban dikarenakan kelalainnya sendiri e. Korban yang tidak sama sekali bersalah.12

F. Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Perlindungan hokum terhadap korban kejahatan dalam melakukan upaya hukum eksistensinya sangat penting mengingat berdasarkan kajian emperik ternyata reaksi korban terhadap putusan pengadilan yang dinilai tidak sesuai

11Arif Gosita,, Op.Cit,hlm. 152

12Bambang Waluyo, Viktimologi, Perlindungan dan Saksi, Sinar Grafika,2011, hlm 19-20

(28)

dengan rasa keadilan sedangkan dari sisi lain ternyata korban sendiri tidak dapat berbuat sesuatu untuk menguji putusan karena hukum yang ada tidak memberikan peluang untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan. Bertolak dari kalimat di atas maka kiranya ada kendala diwujudkan perlindungan korban melalui hak-hak prosedural. Namun demikian pengaturan hak-hak prosedural dapat ditempuh dengan pengaturan yang tegas tentang hakikat kewenangan jaksa penuntut umum yang pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan korban baik masyarakat secara kolektif maupun secara individual.

Menurut Arief Gosita dan J.E. Sahetapy:

“hak korban berupa mempergunakan upaya hukum (recht middelen) dalam ketentuan perundangan-undangan merupakan perlindungan korban kejahatan dalam ruang lingkup prosedural seperti ketentuan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu dimungkinkan korban kejahatan yang berupa masyarakat secara kolektif melalui upaya hukum berupa gugatan perwakilan secara kelompok (class action).”

Kemudian dalam ketentuan normatif yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka untuk pengertian korban dipergunakan terminologis yang berbeda-beda yaitu sebagai pelapor (Pasal 108 KUHAP), pengadu (Pasal 72 KUHP), saksi korban (Pasal 160 KUHAP), pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80, 81 KUHAP), dan pihak yang dirugikan (Pasal 98, 99 KUHAP).

I. Bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan bagi korban perkosaan tersebut diantaranya:

a. Restitusi

Restitusi menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah

(29)

45 (PouvoirReglementair) Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 adalah ganti krugian yang dibrikan kepada korban dan keluarga oleh pelaku, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti rugi untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya tertentu.44

b. Bantuan Medis dan Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Sanksi dan Korban juncto Undang-Undang nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi Korban, Korban perkosaan juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Bantuan tersebut adalah layanan yang diberiikan kepada Korban dan/atau saksi oleh Lembaga Perlindungan Sanksi dan Korban.

44 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Vide Pasal 1 ayat (5).

Referensi

Dokumen terkait

The field of the research in writing this thesis is TEFL ( Teaching English as a Foreign Language), discussing teachers‟ strategy in enhancing students‟ comprehending in

konduksi...  6amun, dalam heat exchanger tabung panas, tabung panas tidak hanya bertindak sebagai dinding pemisah, tetapi juga memfasilitasi transfer panas dengan kondensasi,

Berdasarkan kebiasaan minum kopi dalam sehari pada responden menujukkan bahwa sebanyak 3 gelas seluruhnya memiliki kadar LDL normal 12 sedangkan yang melebihi 3

Kegiatan percepatan pengembangan inovasi teknologi pupuk dan bahan organik merupakan kegiatan diseminasi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

● Bagian pelaporan memuat kesimpulan akhir yang kurang sesuai dengan data, tidak terdapat pengembangan hasil pada masalah lain. ● Kerjasama

” Eksplorasi umum mineral logam tanah jarang (REE) di Kabupaten Tapanuli Utara merupakan tindak lanjut dari kegiatan eksplorasi umum logam langka yang telah dilakukan oleh Tim

File digital artwork yang diberikan oleh pihak customer tersebut, kemudian akan diproses atau diolah oleh bagian Marketing Design agar siap untuk proses cetak (proses persiapan

Salah satu dari tujuh unsur kebudayaan itu ialah organisasi sosial, dengan adanya kompetisi sepakbola antar kampung masyarakat mulai lebih mementingkan sepakbola daripada