• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

xvii

xvii

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi 2.1.1. Klasifikasi

Udang mantis termasuk ke dalam famili Squillidae. Klasifikasi menurut Fabricius (1798) in Manning (1969) kedudukan taksonomi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) (Gambar 1) adalah sebagai berikut:

Filum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Ordo : Stomatopoda

Famili : Harpiosquillidae Genus : Harpiosquilla

Spesies : Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798) Nama Umum : Mantis shrimp (Inggris)

Nama lokal : Udang ketak, udang ronggeng, udang belalang atau udang nenek

Gambar 1. Udang mantis (Harpiosquilla raphidea, Fabricius 1798)

5 cm

(2)

xviii

xviii

Kedudukan taksonomi udang mantis Oratosquillina gravieri menurut Manning (1978) in Ahyong et al. (2008) (Gambar 2) adalah sebagai berikut:

Filum : Crustacea Kelas : Malacostraca Ordo : Stomatopoda Famili : Squillidae Genus : Oratosquillina

Spesies : Oratosquillina gravieri (Manning 1969) Nama Umum : Mantis shrimp (Inggris)

Nama lokal : Udang ketak, udang ronggeng, udang belalang atau udang nenek

Gambar 2. Udang mantis (Oratosquillina gravieri, Manning 1969)

2.1.2. Morfologi

Udang mantis juga dikenal dengan nama udang ronggeng. Udang ronggeng memiliki struktur tubuh sebagaimana jenis hewan krustasea lainnya dimana terdiri dari thorax, abdomen, dan telson. Ciri-ciri utama yang membedakan jenis udang ini dengan jenis udang lainnya adalah keberadaan kakinya yang berubah sebagai senjata (raptorial claw) yang terdapat di bagian thorax udang ini (Aziz et al. 2001). Berikut morfologi udang mantis yang disajikan pada Gambar 3.

3cm

(3)

xix

xix

Gambar 3. Morfologi udang mantis (Wardiatno et al. 2009)

Perbedaan udang mantis dengan udang-udang lainnya yaitu duri yang terdapat pada maksiliped serta garis-garis yang terdapat pada punggung. Terdapat kaki jalan sebanyak 3 buah. Alat kelamin betina terdapat pada pangkal kaki jalan ketiga dengan bentuk yang datar yang disebut thelicum sedangkan pada alat kelamin jantan terdapat pada pangkal kaki jalan ketiga namun berbentuk tonjolan kecil yang dikenal dengan istilah petasma. Terdapat abdomen yang terdiri dari 10 bagian, antara satu bagian dengan bagian lain dipisah oleh garis hitam, telson dipisah oleh garis berwarna hitam (Manning 1969 in Halomoan 1999). Udang mantis ini memiliki sepasang antena

Antenulla

Antena aaANA AAAAa

Mata

Pereiopod

Uropod

Telson

Maxiliped II

Kepala

Abdomen

Ekor Karapas

Abdominal Somites Thoracic Somites

1 2 3 4 5 6 5 6 7 8

(4)

xx

xx

pertama atau sering disebut dengan antenulla. Antenulla ini bercabang tiga pada ujungnya. Antenulla ini berfungsi sebagai organ sensori. Antena kedua yang sering disebut antenna, tidak memiliki cabang pada ujungnya. Antenna ini juga berfungsi sebagai organ sensori (Wardiatno et al. 2009). Setiap udang mantis juga memiliki uropod. Uropod bagian dalam dan luar berwarna hitam dan memiliki bulu-bulu halus. Permukaan tubuhnya berwarna kekuning-kuningan, telson mempunyai 6 buah duri kecil (Manning 1969 in Halomoan 1999). Telson dan uropod yang terdapat pada bagian ekor ini berfungsi sebagai organ proteksi dan sebagai kemudi pada saat berenang (Wardiatno et al. 2009).

Stomatopoda memiliki mata yang unik dan menarik yaitu mata bertangkai yang dapat bergerak naik turun oleh tangkainya yang fleksibel. Ini merupakan kelebihan yang dimiliki oleh stomatopoda yang tidak dimiliki oleh mata manusia maupun hewan lainnya (Cohen 2001 in Azmarina 2007). Mata stomatopod ini bersifat

“trinocular vision” yang sangat akurat dalam melihat mangsanya meskipun dalam gelap. Warna tubuh udang mantis sangat bervariasi tergantung habitat hidupnya.

Panjang udang mantis dapat mencapai 30 cm atau 12 inchi namun ada juga yang memiliki panjang 38 cm (Wardiatno et al. 2009).

Udang mantis memiliki beberapa maksiliped. Maksiliped I berfungsi untuk menipu mangsanya. Maksiliped II memiliki duri-duri tajam yang terdapat pada dactylus yang digunakan untuk memotong atau menyobek mangsanya. Maksiliped IV, V, dan VI kaki kecil yang disebut chelone. Chelone merupakan bagian yang berbentuk pipih dan tajam. Chelone digunakan untuk membawa makanan ke dalam mulut.

Perbedaan udang mantis Harpiosquilla raphidea dan Oratosquillina gravieri yaitu pada Harpiosquilla raphidea memiliki duri-duri yang panjang dan tajam pada propodusnya serta warna pada ujung uropod dan telsonnya berwarna kuning. Selain itu juga terdapat bintik kuning pada ekornya. Pada Oratosquillina gravieri memiliki bulu-bulu halus pada propodusnya dan hanya terdapat 2 duri tajam pada maksilipednya. Ujung uropod dan telsonnya berwarna merah serta terdapat bintik merah pada ekornya.

(5)

xxi

xxi

2.2. Habitat dan Distribusi

Udang mantis hidup di daerah intertidal hingga subtidal pada kedalaman 2-93 m dengan subsrat pasir berlumpur dan pasir halus. Venberg dan Venberg 1972 in Naim 1996 membagi karakter pasang surut menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Pantai berbatu, dihuni oleh mayoritas organisme yang melekat atau bersembunyi dalam celah. Habitat ini tidak cocok untuk organisme penggali lubang.

2. Pantai berpasir, dihuni oleh sedikit sekali organisme yang hidup perairan di permukaan, umumnya hidup dengan cara membenamkan diri dalam pasir.

3. Pantai berlumpur, dihuni oleh organisme penggali lumpur. Pada daerah ini kandungan bahan organiknya tinggi sehingga menyediakan banyak relung makanan bagi pemakan detritus.

Terdapat tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu habitat yang mengikuti pola sebaran peluang antara lain pola penyebaran yang acak, pola penyebaran seragam (homogen), serta pola penyebaran kelompok. Penyebaran organisme di alam jarang ditemukan dalam pola yang seragam (teratur) tetapi secara umum mempunyai pola penyebaran mengelompok (Fitrianti 2003). Pola distribusi atau pola penyebaran merupakan hasil dari seluruh jawaban tingkah laku individu- individu terhadap kondisi lingkungan disekitarnya. Populasi cenderung mengelompok apabila terjadi pada kondisi yang berfluktuasi (Faizah 2001).

Pola sebaran dikatakan mengelompok apabila udang mantis hanya ditemukan di tempat tertentu sesuai dengan preferensi habitatnya. Hal ini diduga berhubungan dengan tipe substrat, ketersediaan makanan, kondisi lingkungan dan kemampuan larva untuk memilih daerah yang ditempatinya. Ketersediaan makanan yang tinggi pada suatu tempat memungkinkan suatu jenis organisme akan mengelompok pada tempat tersebut. Tipe substrat berpengaruh terhadap pola sebaran karena udang mantis akan berkumpul pada tipe substrat yang disukainya (Faizah 2001).

Pola sebaran mengelompok berkaitan erat dengan kemampuan larva hewan bentik untuk memilih daerah yang akan ditempatinya. Kebanyakan larva lebih senang menetap di tempat yang terdapat spesies dewasanya. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut cocok untuk habitat hidupnya. Nybakken (1988) menyatakan bahwa kemampuan larva memilih daerah untuk menetap dan kemampuannya untuk

(6)

xxii

xxii

menunda metamorfosis membuat penyebarannya tidak acak. Penyebaran secara acak relatif jarang terjadi di alam.

Distribusi suatu spesies tergantung dari sejarah hidup, kemampuan menyebar dan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai variabel lingkungan serta tipe pergerakan dari spesies tersebut (Purchon 1968 in Martanti 2001). Keadaan lingkungan seperti sedimen, salinitas, dan kedalaman perairan akan memberikan perbedaan terhadap dasar lautan sehingga mengakibatkan berbedanya jenis hewan pada daerah tersebut (Alexander et al. 1993 in Martanti 2001).

Distribusi dan komposisi udang di suatu perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan perairan, seperti arus, salinitas, pasang surut dan curah hujan, serta tindakan manusia di sekitar perairan tersebut, seperti pembuangan sisa-sisa industri atau limbah rumah tangga yang dapat menimbulkan pencemaran perairan (Aziz 1986). Distribusi dan kepadatan biota dapat dijadikan sebagai petunjuk cocok tidaknya suatu habitat bagi biota tersebut. Salah satu contoh faktor luar yang mempengaruhi kelimpahan dan distribusi suatu organisme yaitu terjadinya perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan lingkungan antara lain dilakukannya pengerukkan pantai, pemanfaatan kayu dari hutan bakau serta penanaman rumput laut sehingga dapat mengakibatkan terjadinya pengurangan populasi suatu biota bahkan dapat mematikan biota tersebut (Malau 2002).

Dasar perairan yang berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap penyebaran hewan air, terutama bagi hewan- hewan air yang erat hubungannnya dengan dasar perairan, seperti udang mantis.

Kadang-kadang beberapa jenis udang dengan spesies yang sama mendiami tipe subtrat yang berbeda, udang muda dan udang dewasa sering ditemukan mendiami tipe substrat yang berbeda (Aziz 1986).

Udang bersifat bentik, hidup di permukaan dasar perairan. Habitat yang disukai yaitu dasar perairan yang terdiri dari campuran lumpur dan pasir (Torodan Soegiarto 1979 in Aziz 1986). Menurut Rambe (1982) in Aziz (1986) diketahui bahwa perbedaan ukuran substrat tidak mempengaruhi laju pertumbuhan panjang karapas udang, tetapi akan mempengaruhi sedikit banyaknya udang tersebut terbenam. Di dasar perairan yang banyak terdapat potongan akar, ranting dan sebagainya dapat

(7)

xxiii

xxiii

membahayakan untuk udang itu sendiri. Kemungkinan dapat menyebabkan kaki udang tersebut tersangkut, sehingga lebih mudah dimangsa oleh predator.

Daerah penyebaran udang ronggeng di Indonesia kurang lebih sama dengan daerah penyebaran udang penaeid. Udang ronggeng menyenangi dasar perairan yang terdiri dari pasir atau pasir campur lumpur dan udang ini juga hidup pada dasar perairan atau celah-celah batu-batuan, sehingga perairan yang dasarnya terdiri dari pasir dan berbatu merupakan habitat utama udang ronggeng. Udang ronggeng hidup terutama di pantai berlumpur dan juga kawasan terumbu karang. Udang ronggeng merupakan salah satu jenis udang yang dapat dimakan (Aziz et al. 2001).

Udang ronggeng memiliki kebiasaan hidup dengan membuat liang (burrow).

Habitat dan sifat hidup meliang tersebut serupa dengan jenis udang dari Famili Callianassidae, yakni Nihonotrypaea japonica (Tamaki et al. 1999), dan sifat agresif saat bertemu dengan sesama udang dalam liang juga mungkin akan ada pada udang mantis seperti halnya pada udang callianassid. Udang mantis termasuk salah satu jenis udang demersal yang dominan ditemukan di Tokyo Bay dan menjadi salah satu komoditas utama perikanan (Kodama et al. 2006)

Menurut Haswell (1982) in Sumiono & Priyono (1998) kelas Squillidae tersebar di daerah Indo-Pasifik mempunyai 6 genera, yaitu: Squilla, Pseudosquilla, Lysiosquilla, Coronida, Odontodactylus dan Gonodactylus. Diantara keenam genera tersebut, genus Squilla adalah yang paling banyak dijumpai di perairan Indonesia.

Menurut Torro dan Mossa (1999) in Aziz et al. (2001) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis udang ronggeng yang ada di perairan Selat Malaka dari keluarga Squillidae, yakni Anchisquilla fasciata, Cariosquilla muticarinata, Oratosquilla goypeltes, dan O. nepa, O. perpensa, O. woodmansoni serta dari keluarga Horpiosquillidae, yakni Harpiosquilla harpax (Aziz et al. 2001).

Harphiosquilla terdapat di Indo-Pasifik Barat dimulai dari Jepang, Australia, sampai Pasifik meliputi Laut Merah, Afrika Selatan, dan Samudera Hindia. Daerah penyebarannya yaitu Jepang (Teluk Suruga dan Teluk Tanabe), Taiwan (Tungkang), Queensland (Semenanjung Flattery dan Teluk Tin Can), New South Welas (Teluk Jerusalem, Muara Sungai Hawk), Tailand (Tachalom dan Teluk Siam), Sri Langka (Teluk Palk), Madagaskar (Teluk Ambaro), Ethiophia (Teluk Arehico), Afrika

(8)

xxiv

xxiv

Selatan (Teluk Richards), Laut Merah, dan Teluk Oman, sedangkan di Indonesia terdapat di Laut Jawa sampai Singapura (Manning 1969 in Halomoan 1999).

Berdasarkan survei trawl yang dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta, daerah penyebaran udang ronggeng antara lain terdapat di perairan Selat Malaka, Timur Sumatera, Laut Jawa (Dwiponggo 1978 et al. in Aziz et al. 2001), Barat Sumatera dan Selatan Jawa (Tim Survei 1994 dan Iskandar et al. 1994 in Aziz et al. 2001), Laut Arafuru (Naamin dan Sumiono 1983 in Aziz et al. 2001). Daerah perdagangan udang ronggeng secara tradisional di Sumatera antara lain di daerah Belawan, Riau, Jambi/Kuala Tungkal, dan Palembang/Sungai Sembilang (Aziz et al.

2001).

2.3. Kualitas Substrat

Substrat berperan penting sebagai habitat hewan epifauna maupun infauna, tempat mencari makan terutama bagi pemakan deposit. Spesies penggali dan pemakan deposit memiliki kecenderungan untuk hidup pada daerah berlumpur dan substrat lunak. Substrat lunak memiliki kandungan bahan organik yang tinggi (Nybakken 1988).

Sedimen mengandung bahan organik yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang telah membusuk kemudian mengendap ke dasar dan bercampur dengan lumpur serta bahan organik yang umumnya berasal dari pelapukan batuan (Sverdrup et al.

1961 Malau 2002). Menurut Beer (1985) in Pariwono (1992), sedimen merupakan salah satu aspek yang menimbulkan pencemaran di perairan pantai dan laut.

Kandungan sedimen yang tinggi di muara sungai, kegiatan industri dan kegiatan pelabuhan merupakan bahan pencemar alami.

Penyebaran dari kelimpahan suatu spesies berhubungan dengan besar kecilnya diameter rata-rata butiran sedimen di dalam atau di atas tempat mereka berada.

Substrat dapat menentukan penyebaran, kelimpahan, dan kebiasaan hidup organisme dasar atau bentos (Alexander et al. 1993 in Martanti 2001). Faktor fisik terpenting yang berpengaruh terhadap komunitas dasar adalah turbulensi atau gerakan ombak.

Pada perairan yang dangkal interaksi ombak, arus, up welling akan mengakibatkan terjadinya turbulensi. Dasar perairan yang dangkal dengan sangat dipengaruhi oleh pergerakan laut dan gelombang. Adanya jalur ombak maka akan menimbulkan

(9)

xxv

xxv

gerakan dengan gelombang besar di dasar yang berpengaruh terhadap stabilitas substrat. Dengan adanya gerakan ombak dapat mengakibatkan substrat teraduk dan tersuspensi kembali sehingga sangat mempengaruhi hewan infauna yang hidup di dalam substrat. Perairan yang arusnya kuat lebih banyak ditemukan substrat pasir, karena partikel yang berukuran kecil akan terbawa ke tempat yang lebih jauh oleh aktivitas arus dan gelombang (Faizah 2001).

2.4. Faktor Fisika dan Kimia Air yang Mempengaruhi Jumlah dan Distribusi Udang Mantis

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi udang mantis antara lain: suhu, salinitas, DO, dan pH. Faktor-faktor ini sangat mempengaruhi kelimpahan dan distribusi udang mantis. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Suhu merupakan parameter fisika perairan yang mempunyai peranan penting dalam pengaturan aktivitas-aktivitas hewan air misalnya pemijahan, kecepatan renang, dan kecepatan metabolisme. Suhu secara langsung sangat berpengaruh tethadap metabolisme dan pertumbuhan tubuh hewan air akan turun bahkan dapat terhenti sama sekali (Wilbur dan Owen 1964 in Fitrianti 2003). Sementara itu, pengaruh tidak langsungnya antara lain berkaitan dengan daya akumulasi berbagai bahan kimia penurunan kadar oksigen yang berada di perairan (Ginting 1999).

Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan tersebut (Effendi 2003). Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen teralrut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). Perubahan suhu dapat menjadi petunjuk bagi organisme untuk mengawali dan mengakihiri berbagai aktivitas organisme tersebut misalnya reproduksi (Nybakken 1988). Peningkatan suhu dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang akan selanjutnya akan meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu 10ºC suhu perairan dapat maka akan meningkatkan konsumsi oksigen bagi organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu yang disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu

(10)

xxvi

xxvi

memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Selain itu, dengan meningkatnya suhu dapat menyebabkan peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003).

Salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam air (Boyd 1982 in Effendi 2003). Nilai salinitas pada perairan laut berkisar antara 30-40 ‰. Salinitas mengggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003). Salinitas berfluktuasi terhadap ruang dan waktu (Sverdrup et al. 1961 in Ginting 1999). Fluktuasi salinitas secara alamiah di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal, yaitu penguapan yang besar dan hujan yang lebat. Salinitas di perairan dangkal lebih bervariasi daripada di laut terbuka dan laut dalam (Nybakken 1988).

Oksigen telarut adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air, oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan air, difusi dari udara, air hujan dan aliran air permukaan yang masuk (Moriber 1974 in Fitrianti 2003). Oksigen di perairan mempengaruhi beberapa faktor antara lain salinitas, suhu, respirasi da fotosintesis. Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas-gas yang ada dalam udara dan air. Oksigen di perairan mempunyai variasi yang sangat tinggi dan biasanya bervariasi lebih rendah dari kandungan oksigen di udara (Brower and Zar 1977 in Malau 2002). Oksigen berperan penting bagi pernapasan dan merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya. Kandungan oksigen di suatu perairan akan meningkat apabila masukan limbah yang masuk ke perairan tersebut juga meningkat (Abel 1989 in Ginting 1999). Kelarutan oksigen dipengaruhi suhu, tekanan parsial gas-gas yang ada dalam udara dan air ( Klein 1962 in Ginting 1999).

Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai keadaan anaerob atau tidak ada oksigen sama sekali. Semakin tinggi suhu maka oksigen akan semakin berkurang. Kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga akan berkurang yang diakibatkan oleh meningkatnya salinitas sehingga oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di air tawar (Effendi 2003).

(11)

xxvii

xxvii

Derajat keasaman (pH) menunjukkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan (Effendi 2003). pH sangat penting karena perubahan pH yang terjadi di air tidak hanya berasal dari masukan bahan-bahan asam atau basa di perairan tetapi juga dapat disebabkan oleh perubahan tidak langsung dari aktivitas-aktivitas metabolik perairan yang mencakup aktivitas manusia di daratan seperti: limbah rumah tangga, pertanian, dan tambak yang dibuang ke sungai lalu diteruskan ke laut. Irianto et al.

(1986) in Malau (2002) menyatakan pentingnya dilakukan analisa pH air laut, karena air laut mempunyai kemampuan sebagai buffer yang mempunyai pengaruh yang besar untuk mencegah perubahan pH. Batas toleransi dari suatu organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta tergantung dengan jenis dan stadia organisme (Pescod 1973 in Malau 2002). Nybakken (1988) menyatakan bahwa pH di lingkungan perairan laut relatif lebih stabil dan berada pada kisaran yang sempit, biasanya berada pada kisaran 7,7-8,4. Effendi (2000) menyatakan bahwa sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5.

Referensi

Dokumen terkait

1 Tahun 1974 pasal 5 tentang Persetujuan poligami Istri sebagai salah satu syarat izin poligami bagi suami (Studi kasus No. 399/Pdt.G/PA.Mlg) yang menjelaskan bahwa tentang

Dinamika laut di wilayah perairan Indonesia dipengaruhi beberapa fenomena laut diantaranya yaitu ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) yaitu massa air dari samudera Pasifik yang

Dalam pelaksanaan praktik pembelajaran, terlebih dahulu dilakukan observasi proses pembelajaran di lokasi SMA Negeri 2 Klaten. Kegiatan ini bertujuan agar mahasiswa memiliki

Kebutuhan fungsional ini meliputi semua hal yang dapat dihasilkan oleh sistem yang berhubungan dengan fitur, berikut kebutuhan fungsional yang akan dibangun pada

Tindakan integral untuk menghindari kerugian ang diciptakan dalam kontrol proporsional dengan memba+a output kembali ke set point, itu adalah peneimbangan kembali otomatis dari

Pencegahan deteksi dini kejadian Ketoasidosis Diabetik melalui kewaspadaan kasus diabetes tipe 1 dengan gejala khas polifagi, poliuria dan polidipsi disertai penurunan berat

diolah sesuai dengan urutan nomor rekam medis. 2) Penerimaan Pasien Rawat Inap.. Pasien dinyatakan sebagai pasien rawat inap jika dokter menyatakan bahwa pasien memerlukan perawatan

Kabupaten Malaka telah memiliki rencana pengembangan kegiatan pertanian dan perkebunan yang dilengkapi dengan arahan sistem pengelolaannya dan arahan lahan pengembangannya