• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Empati

2.1.1 Pengertian Empati

Empati berasal dari bahasa Jerman yaitu “Enfulung” yang berarti “merasakan dengan” (Villadangos & Erasti, 2016).

Menurut Talema yang dikutip oleh Dimyati didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat merasakan perasaan orang lain atau perasaan seseorang yang mampu merasakan dan memahami perasaan orang lain. Namun juga Kohlberg dalam Dimyati (2012) mendefinisikan empati sebagai proses mengambil peran atau perspektif orang lain. Ward et al (2012) menjelaskan bahwa empati merupakan sifat yang paling esensial untuk dapat memahami orang lain dan dapat pula meningkatkan promosi kesehatan seseorang.

Empati dalam pelayanan kesehatan adalah suatu tindakan yang berfokus pada aspek kognitif yang bertujuan untuk memahami perspektif klien dan kemampuan dalam berkomunikasi untuk mengetahui apa yang dirasakan pasien (Villadangos &

Erasti, 2016). Empati didefinisakan sebagai kemampuan untuk memahami dan berhubungan dengan pengalaman kognitif dan afektif dari orang lain (Wothington dan Wade dalam Hodgson & Wertheimer, 2007). Davis et al (dalam Hodgson &

Wertheimer, 2007) mengajukan model konseptual tentang empati tentang dimensi jamak, yakni pengalaman sudut pandang (perpective taking), fantasi (fantasy), kepedulian empati (empatic concers) dan tekanan personal (personal distress).

(2)

Empati merupakan konsep yang ambigu dan sulit untuk didefinisikan dan diukur, namun beberapa peneliti dapat mengkategorikan empati menjadi salah satu aspek dari kognitif yang berarti empati berarti ikut memahami apa yang orang lain pikirkan (Dowell, Demmel & Hagen 2011). Peneliti lain mendeskripsikan bahwa empati merupakan item dari karakteristik emosional dan karakteristik afektif, dimana dalam mengimplikasikannya harus berdasar perasaan dan saling merasakan penderitaan orang lain (Dowell, Demmel & Hagen, 2011).

2.1.2 Komponen Empati

Menurut para ahli, empati pada dasarnya terdiri dari dua komponen utama, yaitu kognitif dan afektif (Taufik, 2012). Secara kognitif, seseorang cenderung memahami perasaan orang lain dengan membayangkan dan juga memikirkan suatu situasi dari sudut pandang orang lain, sedangkan secara afektif, lebih cenderung pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan perasaan orang lain dengan perasaannya sendiri yang pada akhirnya menghubungkan empati dengan perilaku menolong sebagai bentuk rasa kepedulian pada perasaan orang lain.

Taufik (2012) menyebutkan bahwa empati memiliki 4 komponen dalam area tertentu yaitu :

2.1.2.1 Komponen kognitif

Merupakan emampuan untuk memperoleh kembali pengalaman- pengalaman masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman diri sendiri.

Seseorang akan lebih mudah mengerti apa yang sedang orang lain rasakan saat orang tersebut memiliki pengalaman yang sama sebelumnya. Dengan lebih sederhana komponen kognitif ini dapat dikatakan sebagai

(3)

kemampuan untuk membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda (Fesback, 1997, dalam Taufik, 2012).

Komponen kognitif dalam empati ini didasarkan pada kemampuan memahami dengan membayangkan dan memikirkan sebuah situasi dari sudut pandang orang lain. Komponen kognitif ini lebih difokuskan pada proses pengetahuan untuk mengetahui perspektif orang lain dengan tepat dan menerima pandangan mereka, misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, dan mengetahui keadaan serta sensitif terhadap permasalahan dan kebutuhan orang lain dilihat dari cara berbicara, raut wajah dan cara pandang dalam berpendapat. Jika dihubungkan dengan perspektif empati secara humanistik, sangat penting untuk bisa mengetahui apa yang orang lain rasakan sebagai dasar untuk menciptakan hubungan terapeutik dan untuk keberhasilan terapi (Taufik, 2012).

Komponen kognitif dari empati ini terdiri dari dua aspek antara lain:

a. Pengambilan perspektif (perspective taking) yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang orang lain atau memandang suatu kejadian dari perspektif orang lain. Menurut Taufik (2012) perspective taking terbagi dalam dua bentuk, yaitu membayangkan bagaimana seseorang akan berpikir dan merasakan apabila ia berada pada situasi orang lain; dan membayangkan bagaimana seseorang berpikir dan merasakan sesuatu hal. Seseorang akan cenderung mengambil perspektif secara spontan ketika sedang berinteraksi langsung dengan orang

(4)

lain, misalnya dengan mendengarkan cerita ataupun pengalaman orang tersebut. Karena dengan berinteraksi langsung, seseorang dapat mengetahui keadaan dan kebutuhan orang lain, dan ketika orang lain mulai bercerita tentang pengalamannya, seseorang akan lebih mudah mendalami dan mengerti perasaan orang tersebut.

Teori Galinsky (2009) perspective taking merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam melakukan negosiasi dalam proses memberikan empati. Hal senada juga dijelaskan oleh Lamm, Batson & Decety (2007) dimana dalam penelitiannya dijelaskan bahwa perspective taking mampu mempengaruhi ekspresi seseorang dalam melakukan empati, dimana ekspresi tersebut berfungsi sebagai salah satu pengiriman pesan kepada orang lain. Perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan diri akan tetapi pada kepentingan orang lain (Burnette et al, 2009);

b. Fantasi (fantacy) yaitu kecenderungan untuk mengubah diri secara imajinatif ke dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dari karakter- karakter khayalan pada buku, film ataupun permainan, yang berpengaruh pada reaksi emosional seseorang dalam menempatkan diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lain. Sebagaimana diketahui seseorang sering mengidentifikasi dirinya sebagai tokoh tertentu dan meniru karakter-karakter dan perilakuperilaku tokoh yang dikaguminya. Seseorang juga akan cenderung terinspirasi pada pengalaman menarik orang lain dan berkhayal melakukan hal yang sama untuk dapat merasakan apa yang dirasakan orang tersebut (Taufik, 2012). Wickramasekera

(5)

(2016) yang menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki fantasy akan merespon empati secara unik atau berbeda hal ini akan mempengaruhi tindakan seseorang dalam melakukan empati.

Penelitian lain juga dijelaskan oleh Mella et al (2012) dimana dalam penelitiannya Struder menjelaskan bahwa fantasy seseorang dapat mempengaruhi pola empati yang diberikan dimana fantasy tersebut akan memberikan gambaran awal tindakan empati apa yang diberikan.

2.1.2.2 Komponen kognitif

Komponen afektif dalam empati cenderung pada kemampuan menyesuaikan pengalaman emosional seseorang dengan pengalaman emosional yang dialami oleh orang lain, misalnya dengan sabar mendengarkan keluhan-keluhan yang dirasakan orang lain serta memahami dan ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita dan disakiti (Eisenberg, 1998, dalam Taufik 2012).

Empati dalam komponen afektif ini terdiri atas simpati, sensitivitas dan berbagi penderitaan yang dialami orang lain dengan mengimajinasikan kesulitan-kesulitan orang lain seakan-akan dialami oleh diri sendiri.

Komponen afektif ini tidak hanya merasakan penderitaan orang lain saja, tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan orang lain, hal ini berkaitan dengan empati dari perspektif behaviorisme yang menghubungkan empati dengan perilaku menolong, termasuk untuk memberikan motivasi dan harapan yang baru dengan penuh pengertian (Taufik, 2012).

(6)

Komponen afektif memiliki tingkat akurasi yang berbeda-beda oleh setiap individu dalam menyesuaikan dan mengekspresikan pengalaman emosionalnya. Ada individu dengan tingkat akurasi empati yang lebih baik dan kurang baik. Tingkat akurasi dalam berempati dikatakan baik bila individu merasakan tentang kondisi orang lain dan hal itu sesuai dengan apa yang orang lain tersebut rasakan. Sebaliknya, akurasi yang rendah apabila yang dirasakan individu tentang kondisi orang lain berbeda atau tidak sama dengan apa yang sebenarnya sedang dirasakan orang tersebut. Hal inilah yang menjadi keunikan konsep empati. Sebab bisa saja ketika seseorang merasa berempati dengan kondisi yang orang lain alami seseorang tersebut memberikan respon secara berlebihan, namun kondisi yang bersangkutan sebenarnya tidak sejauh yang kita lihat dan coba rasakan. Tingkat empati seseorang juga dapat berbeda-beda setiap waktu. Seseorang dapat merasa lebih mudah ataupun lebih sulit untuk memahami perasaan seseorang disituasi ataupun kondisi tertentu (Taufik, 2012).

Sama seperti komponen kognitif, komponen afektif juga terdiri dari dua aspek, yaitu:

a. Perhatian empatik (empathic concern) yaitu kemampuan seseorang untuk mampu merasakan apa yang sedang dibutuhkan orang lain.

Aspek ini sering digunakan untuk menjelaskan sebuah respons emosional lain yang ditimbulkan kondisi orang lain. Empathic concern merupakan perasaan yang berorientasi pada orang lain yang meliputi perasaan simpatik, belas kasihan, kehangatan, kelembutan dan peduli. Seseorang yang berempati akan cenderung berhati-hati

(7)

dan menjaga perasaan orang lain dalam menyampaikanrespon emosional (Taufik, 2012). Sidanius (2013) dimana dalam penelitiannya empathy concern merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sosical dominance orientation (SDO), dimana SDO ini akan mendominasi orientasi seseorang atau sudut pandang seseorang sehingga dapat mempengaruhi tindakan empati yang diberikan;

b. Tekanan personal (personal distress) yang lebih cenderung pada diri sendiri yaitu untuk dapat mengendalikan diri sendiri dalam memberi respon terhadap penderitaan orang lain. Dengan kata lain, personal distress merupakan kecemasan dan kegelisahan yang dirasakan oleh seseorang dalam menghadapi perasaan yang tidak menyenangkan. Personal distress bisa disebut sebagai empati negatif, yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, berduka, tekanan, kegelisahan, dan tidak berdaya (Taufik, 2012). Mcfarland Malone & Roth (2016) yang menjelaskan bahwa personal distress dapat menurunkan respon seseorang dalam melakukan empati dalam penelitiannya dijelaskan bahwa dokter residen juga akan mengalami hal yang sama ketika mendapati pasien oncology yang dapat meningkatkan distress pada staf kesehatan dan keluarga.

(8)

2.1.3 Proses Empati

Taufik (2012) menggolongkan proses empati ke dalam empat tahapan yakni antecedents, processes, interpersonal outcomes, dan interpersonal outcomes:

2.1.3.1 Antecedents

Antecedents adalah kondisi-kondisi yang mendahului sebelum terjadinya proses empati. Meliputi karakteristik pelaku empati atau situasi yang terjadi saat itu. Empati sangat dipengaruhi oleh kapasitas prilaku empati. Ada yang memiliki kapasitas berempati tinggi, adapula yang rendah. Kemampuan empati yang tinggi dipengaruhi oleh kapasitas intelektual untuk memahami apa yang terjadi pada orang lain. Selain itu dipengaruhi oleh riwayat pembelajaran individu sebelumnya termasuk sosialisasi terhadap nilai-nilai yang terkait dengan empati (Taufik, 2012)

Respon terhadap orang lain, baik respons afektif maupun kognitif berasal dari beberapa konteks situasional. Terdapat dua kondisi yakni kekuatan situasi dan tingkat persamaan antara pelaku empati dan target empati. Kekuatan situasi mempengaruhi kita untuk berempati dan sejauhmana persamaan antara pelaku empati dengan target empati, semakin tinggi tingkat persamaanya, maka akan semakin besar peluang pelaku empati unttuk berempati misalnya persamaan tempat tinggal, etnis, agama, bangsa dan sebagainya.

2.1.3.2 Processes

Taufik (2012) membagi tiga jenis proses empati yakni non-cognitive, processes, simple cognitive processes, dan advance cognitive processes. Proses pertama menyebabkan empati terjadi melalui proses-proses non kognitif, artinya hanya melibatkan proses emosi. Kedua, simple cognitive processes,

(9)

pada jenis ini empati hanya membutuhkan sedikit proses kognitif. Empati yang muncul tidak membutuhkan proses yang mendalam, karena situasi- situasi tersebut mudah dipahami. Ketiga advance cognitive processes yakni proses yang menuntut kita untuk mengarahkan kemampuan kognitif kita.

Taufik (2012) menyebutkan dengan language mediated association, dimana munculnya empati merupakan akibat dari ucapan atau bahasa yang disampaikan oleh target empati. Sikap empatik yang ditunjukan pada proses ini membutuhkan pemahaman yang tinggi terhadap situasi yang sedang terjadi. Proses empati yang paling tinggi adalah role taking atau perspective takjng, yaitu mencoba memahami orang lain dari sudut pandang orang tersebut.

2.1.3.2 Interpersonal Outcomes

Interpersonal outcomes terdiri atas dua macam yakni affective outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes terdiri atas reaksi-reaksi emosional yang dialami pelaku empati dalam merespon pengalaman-pengalaman target. Affective outcomes atau emotion making yaitu keselarasan antara yang kita rasakan atau dialami oleh orang lain. Misalnya, kita melakukan protes ketika melihat target diperlakukan secara tidak adil. Reactive outcomes didefinisikan sebagai reaksi-reaksi afektif terhadap pengalaman- pengalaman orang lain yang berbeda (Taufik, 2012).

2.1.3.4 Interpersonal Outcomes

Bila intrapersonal outcomes berefek pada diri pelaku empati, interpersonal outcomes berdampak kepada hubungan antara pelaku empati dan target empati. Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes adalah munculnya helping behavior (pelaku menolong. Interponal outcomes tidak sekadar

(10)

mendiskusikan apa yang dialami oleh orang lain, sebagaimana pada parallel dan reactive outcomes. Selain perilaku menolong, empati juga dihubungkan dengan perilaku agresif. Menurut Davis dalam Taufik (2012), empati berhubungan negative dengan perilaku agresif. Semakin baik akurasi empati maka akan semakin kecil terjadinya perilaku agresif.

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Empati

Taufik (2012) terdapat 6 faktor yang dapat mempengaruhi ketepatan seseorang dalam berempati terhadap orang lain diantaranya:

2.1.4.1 Pola asuh

Bahwa perkembangan empati lebih banyak terjadi pada lingkungan keluaga yang (a) memberikan kepuasaan pada kebutuhan emosional anak dan tidak terlalu mementingkan kepentingan sendiri, (b) mendorong anak untk mengalami dan mengekspresikan emosi-emosinya, dan (c) memberikan kesempatan kepada anak untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mendorong kepekaan dan kemampuan emosinya

2.1.4.2 Kepribadian

Faktor kepribadian berpengaruh terhadap tingkat empati seseorang.

Pribadi yang tenang dan sering berintropeksi diri dipastikan akan memiliki kepekaan yang tinggi berbagi dengan orang lain. Kepekaan ini yang kemudian menumbuhkan empatinya terhadap orang lain.

2.1.4.3 Usia

Tingkat empati seseorang yang semakin meningkat dengan bertambahnya usia, karena kemampuan pemahaman perspektif juga meningkat bersamaan dengan usia. Ketika usia bertambah, pengalaman

(11)

hidup pun bertambah. Pengalaman hidup ini pula yang akan menumbuhkan empati individu terhadap orang lain dan lingkungannya.

Menurut Taufik (2012) mengenai perubahan dalam perkembangan empati pada faktor usia dijelaskan dalam tabel berikut:

Periode Usia Empati

Masa Bayi Awal Empati global: respon empatis tidak dibedakan antara perasaan dan kebutuhan diri sendiri maupun orang lain

Usia 1-2 Tahun Muncul rasa perhatian, namun belum bisa menterjemahkan perasaan menjadi perilaku yang efektif Kanak-Kanak

Awal

Anak mulai sadar bahwa perspektif orang berbeda, kesadaran ini memungkinkan anak untuk merespons dengan lebih sesuai terhadap kesulitan orang lain

10-12 Tahun

Anak mengembangkan orientasi empati pada orang yang kurang beruntung. Pada masa remaja, sensitifitas yang baru terbentuk ini dapat memberikan pengaruh humanitarian terhadap pandangan ideologis dan politis seseorang

18-21 Tahun

(Dewasa) Seseorang telah mampu mengindra atau mengevaluasi pikiran dan perasaan yang dirasakan oleh orang lain.

Table 2.1 Perubahan Perkembangan Empati (Taufik, 2012)

2.1.4.4 Derajat kematangan

Empati banyak dipengauhi oleh derajat kematangan seseorang.

Derajat kematangan adalah besarnya kemampuan seseorang dalam memandang suatu hal secara proposional.

2.1.4.5 Sosialisasi

Sosialisasi yang dilakukan seseorang sangat berpengaruh terhadap tingkat empatinya. Dengan bersosialisasi, didasari, atau tidak, ia akan mengetahui apa yang sedang dirasakan orang lain. Pengetahuannya terhadap perasaan atau pikiran orang lain akan menumbuhkan rasa

(12)

empati secara langsung, meski ukuran tinggi rendah empatinya tidak bisa diindra.

2.1.4.6 Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu penentu kemampuan empati seseorang. Empati perempuan dengan laki-laki jelas berbeda, akurasi empati perempuan lebih baik dari pada laki-laki.

Selain faktor-faktor di atas, Goleman (2007) menyatakan ada bebarapa faktor yang mempengaruh empati, baik psikologis maupun sosiologis, antara lain:

a. Sosialisasi, merupakan kemampuan individu untuk dapat mengenal dan berinteraksi secara baik dalam lingkungan tertentu dan memperoleh nilai- nilai yang sesuai dengan lingkungannya tersebut. Dengan adanya sosialisasi ini akan memungkinkan seseorang dapat merasakan emosi yang berbeda-beda dari banyak orang disekitarnya, dan kemudian akan mengarahkan seseorang untuk mampu melihat keadaan orang lain dan merpikir tentang orang lain dari pengalaman bersosialisasinya;

b. Perkembangan kognitif, yaitu kemampuan individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa. Sebelumnya telah dikatakan bahwa setiap manusia sejak dilahirkan telah memiliki perasaan empati dan empati akan terus berkembang bersamaan dengan perkembangan kognitif, yang kemudian akan sampai pada yang disebut kematangan kognitif, sehingga seseorang dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain dan hal inilah yang menunjukkan seseorang mampu berempati;

c. Mood and Feeling. Mood adalah suatu keadaan sadar pikiran atau emosi yang dominan, sedangkan feeling adalah ekspresi suasana hati terutama

(13)

dalam gambaran diri. Keadaan perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain;

d. Situasi, merupakan semua fakta, kondisi dan peristiwa yang mempengaruhi seseorang atau sesuatu pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain;

e. Komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik secara langsung ataupun tidak langsung (melalui media).

Pengungkapan empati sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang digunakan seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati.

2.1.5 Pengukuran Empati

Beberapa dekade terakhir empati dapat diukur dengan berbagai skala yang dapat digunakan untuk mengukur empati, banyak instrument yang dapat digunakan dalam mengukur empati yaitu :

2.1.5.1 Neurobiology and Physiology of Empathy Test

Tes ini terdiri dari 11 item berjenis multiple choice test yang terdiri dari neurobiologi dan fisiologi terkait dengnan empati dengan rentang skor antara 0-11 (Riess, Philips & Lorie 2012).

2.1.5.2 The Ekman Facial Decoding Test

Merupakan pengkajian yang digunakan untuk mengkoding ekspresi wajah dan emosi. Tes ini terdiri dari 14 gambar yang terdiri dari 7

(14)

kategori yang berbeda terkait dengan ekspresi emosi yaitu senang, sedih, takut, marah, terganggu, surprise dan jijik ). Item dalam tes ini memiliki rentang antara 0-14 (Riess, Philips & Lorie 2012).

2.1.5.3 The Jefferson Scale of Physician Empathy (JSPE)

Pengkajian perilaku fisik terkait dengan nilai empati pada praktik klinik, 20 item pertanyaan yang jawabannya menggunakan skala likert dengan 7 poin skala dan item skor berada pada rentang 20 -140 (Riess, Philips & Lorie, 2012).

2.1.5.4 The Balanced Emotional Empathy Scale (BEES).

Merupakan pengukuran secara umum terkait dengan respon empati pada kehidupan personal individu. 30 item terkait dengan empati dengan 9 jawaban menggunakan skala likert dengan rentang skor dimulai dari - 120 sampai dengan +120 (Riess, Philips & Lorie, 2012).

2.1.5.5 The Jefferson Scale of Patient Perceptions of Physician Empathy (JSPPE)

Skala ini berisi 5 item pertanyaan yang subjeknya adalah petugas kesehatan ataupun mahasiswa kesehatan. Tes ini memiliki 7 jawaban dengan menggunakan skala likert kemudian skor dari penjumlahan kuesioner tersebut dikalkulasi dan apabila nilainya tinggi maka memiliki tingkat empati yang lebih baik pula (Dowell, Demmel & Hagen, 2011).

2.1.5.6 Global Rating of Empathy (GRE)

Merupakan skala yang digunakan secara global dengan menggunakan 5 skala poin yang terdiri dari excellent, very good, good, fair dan poor. Tes ini bertujuan untuk mengkaji satu item tunggal yaitu terkait empati dan support atau dukungan. Penilaian empati menggunakan GRE memiliki keunggulan yaitu dapat digunakan pada

(15)

berbagai aspek. GRE dapat melihat karakteristik dari komunikasi seseorang dengan mempertimbangkan aspek keeratan hubungan. Dalam penilaian menggunakan GRE dapat mengcover 3 level dari empati yaitu afektif, kognitif dan tingkah laku (Derksen & Bensing, 2013). Dari tiga level tersebut maka dibagi lagi yaitu menjadi skil melakukan empati, skill dalam berkomunikasi dan skil untuk membangun hubungan kepercayaan antar individu, GRE kemudian memberikan penilaian dengan menggunakan 5 pilihan optional yaitu excelent, very good, good, fair dan poor (Derksen & Bensing, 2013).

2.1.5.7 Interpersonal reactivity index (IRI)

Interpersonal reactivity index merupakan pendekatan yang digunakan oleh Davis untuk menentukan nilai dari empathy,dimana Davis membagi kuesionernya dalam 4 sub variabel yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern dan personal distress. Perspective taking adalah tendensi atau kemauan secara spontan untuk dapat melihat point psikologikal dari seseorang. Untuk subvariabel fantasy adalah menggunakan imaginasi untuk dapat masuk kedalam fase perasaan dan bertindak sesuai dengan karakteristik fiksi yang bisa didapat dari media apapun. Empathic concern merupakan pendekatan degnan mengkaji menggunakan orientasi orang lain terhadap apa yang dijalani dan dirasakan oleh orang lain. Sedangkan personal distress adalah mengukur orientasi diri dan kecemasan individu serta setting interpersonal (Davis, 2010).

Pengukuran dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada responden kemudian responden menjawab kuesioner yang berisi pertanyaan favorable dan unfavorable kemudian peneliti menentukan

(16)

hasilnya dan mengklasifikasikan kedalam tingkat empati meningkat atau menurun (Davis, 2010). Tool ini diilih karena memiliki kemampuan untuk mengetahui perubahan empati seseorang dengan menggunakan 4 pendekatan, dimana pendekatan yang digunakan memiliki relevansi dengan subjek maupun permasalahan yang diteliti.

2.2 Kecemasan

2.2.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan merupakan suatu respon subjektif yang berhubungan dengan emosi seseorang, yang ditampilkan kedalam bentuk ketakutan dan dapat menyebabkan respon otonom dan gejala gejala fisik seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi dan gangguan ringan pada lambung (Kaplan & Sadock, 2010). Craig (2009) mengatakan bahwa kecemasan adalah sebagai perasaan yang tidak tenang, rasa khawatir, atau ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas atau tidak diketahui.

Ketika merasa cemas individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada obyek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus kecemasan (Videbeck, 2014). Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman, 2010).

(17)

2.2.2 Etiologi kecemasan

Penyebab kecemasan tidak spesifik bahkan tidak diketahui oleh individu.

Perasaan cemas diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku, dapat juga diekspresikan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala dan mekanisme koping sebagai upaya melawan kecemasan (Stuart, 2007).

Ada beberapa teori mengenai penyebab kecemasan yaitu Teori Psikologis dan Teori Biologis (Stuart, 2007).

2.2.2.1 Teori psikologis, dalam teori psikologis terdapat 3 bidang yaitu : a. Teori psikoanalitik

Freud menyatakan struktur kepribadian terdiri dari tiga elemen yaitu, id, ego, dan superego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif. Superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh normanorma budaya seseorang. Sedangkan ego digambarkan sebagai mediator antara tuntutan dari id dan superego. Menurut teori psikoanalitik, kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara id dan superego, yang berfungsi memperingatkan ego tentang sesuatu bahaya yang perlu diatasi (Stuart, 2007);

b. Teori perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli lingkungan spesifik. Pola berpikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif dapat mendahului atau menyertai perilaku maladaptive dan gangguan emosional. Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap derajat bahaya dalam situasi

(18)

tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi ancaman (Stuart, 2007);

c. Teori eksistensial

Teori ini memberikan model gangguan kecemasan umum dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan yang kronis (Stuart, 2007).

2.2.2.2 Teori Biologis

Peristiwa biologis dapat mendahului konflik psikologis namun dapat juga sebagai akibat dari suatu konflik psikologis (Stuart, 2007)

a. Sistem saraf otonom

Stresor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme berikut: Ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke sistem limbik dan RAS (Reticular Activating System), lalu ke hipotalamus dan hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom. Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem organ dan menyebabkan gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contohnya:

takikardi), muskuler (contohnya:nyeri kepala), gastrointestinal (contohnya: diare), dan pernafasan (contohnya:nafas cepat);

b. Neurotransmiter

Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA):

(19)

a) Norepinefrin

Pasien yang menderita gangguan kecemasan mungkin memiliki sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk. Badan sel system noradrenergic terutama berlokasi di locus ceruleus di pons pars rostralis dan aksonnya keluar ke korteks serebral, sistem limbik, batang otak, dan medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukkan bahwa stimulasi lokus sereleus menghasilkan suatu respon ketakutan dan ablasi lokus sereleus menghambat kemampuan binatang untuk membentuk respon ketakutan. Pada pasien dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan panik, memiliki peningkatan kadar metabolit noradrenergik yaitu 3-methoxy-4- hydroxyphenylglycol (MHPG) yang meninggi dalam cairan serebrospinalis dan urin;

b) Serotonin

Badan sel pada sebagian besar neuron serotonergik berlokasi di nukleus raphe di batang otak rostral dan berjalan ke korteks serebral, sistem limbik, dan hipotalamus. Pemberian obat serotonergik pada binatang menyebabkan perilaku yang mengarah pada kecemasan. Beberapa laporan menyatakan obat-obatan yang menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan peningkatan kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan;

(20)

c) Gamma-aminobutyric acid (GABA)

Peranan GABA dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh manfaat benzodiazepine sebagai salah satu obat beberapa jenis gangguan kecemasan.Benzodiazepine yang bekerja meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan kecemasan umum bahkan gangguan panik. Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan diduga memiliki fungsi reseptor GABA yang abnormal.

Sedangkan menurut Shives (2012) ada beberapa teori mengenai penyebab kecemasan yaitu

2.2.2.3 Teori genetik

Penelitian menemukan bahwa kecemasan merupakan komponen yang diturunkan oleh genetik. Penelitian membuktikan bahwa prevalensi orang yang mengalami kecemasan memiliki gejala yang sama apabila keluarga juga mengalami kecemasan, hal ini dapat dilihat pada riwayat keluarga pada orang yang mengalami kecemasan (Shives, 2012).

2.2.2.4 Teori kognitif behavior

Teori ini dikembangkan oleh Aron Beck dimana menurutnya kecemasan didapat dari situasi yang stressornya tinggi atau sedang berada pada situasi bahaya. Merasa bersalah, tidak fokus dan tidak produktif menjadi tanda-tanda kecemasan menurut teori kognitif behavior (Shives, 2012).

(21)

2.2.2.5 Teori sosial kultural

Teori ini mempercayai bahwa kecemasan di akibatkan oleh adanya ketidaksinkronan terkait faktor sosial dan cultural seseorang. Contohnya apabila ada seseorang yang memiliki personality yang pendiam, yang harus dihadapkan pada budaya atau situasi yang menyuruhnya untuk berdiri di depan umum dan memberikan pendapat, maka hal ini akan menimbulkan kecemasan (Shives, 2012).

2.2.3 Gejala Klinis dan Karakteristik Diagnostik Kecemasan

Kecemasan ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenanangkan dan samar-samar. Seringkali disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada, dan gangguan lambung ringan. Seseorang yang cemas mungkin juga merasa gelisah, seperti dinyatakan oleh ketidakmampuan untuk duduk dan berdiri lama. Kumpulan gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung bervariasi dari orang ke orang (Kaplan & Saddock, 2007).

Pada pemeriksaan fisik terdapat nadi yang sedikit lebih cepat (biasanya tidak lebih dari 100 kali per detik), hiperventilasi, kaki dan tangan dingin, tremor pada jari- jari tangan dan refleks tendon meningkat. Disamping kecemasan terdapat juga gejala lain seperti depresi, amarah, perasaan tak mampu, gangguan psikosomatik dan sebagainya. Kadang-kadang kecemasan tidak tampak jelas dalam keadaan bangun, tetapi dalam keadaan tidur keluar tanda-tanda seperti mimpi yang menakutkan dan sering terkejut bangun (Maramis, 2009).

Kecemasan mempengaruhi pemikiran, persepsi, dan pembelajaran. Hal ini cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi persepsi. Distorsi ini dapat mengganggu proses pembelajaran dengan menurunkan konsentrasi, mengurangi daya

(22)

ingat, dan mengganggu kemampuan menghubungkan satu hal dengan hal lain.

Kebanyakan orang yang mengalami kecemasan akan bermanifestasi dalam bentuk kegelisahan, ketakutan, kehawatiran, dan perasaan yang tak menyenangkan.

Kegelisahan dapat dikenali dari perilaku ketidakmampuan untuk duduk atau berdiri lama. Jika serangannya hebat terkadang dapat disertai gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, hipertensi, gelisah, tremor, gangguan lambung, dan frekuensi urin meningkat. Dan kumpulan gejala-gejala yang muncul bervariasi pada masing-masing orang (Sadock, Benjamin & Virginia, 2007).

2.2.4 Patofisiologi Kecemasan

Jika terjadi suatu kecemasan, system endokrin memacu serangkaian reaksi yang ditujukan untuk mempertahankan hidup. Terutama terlibat dalam reaksi ini adalah aksis Hipotalamus-Adrenal. Jika terjadi kecemasan maka akan mempengaruhi 2 faktor, yaitu hormone Adrenocortocotropin (ACTH) dan system saraf simpatis (Guyton & Hall, 2011).

Stress emosi atau kecemasan menyebabkan peningkatan pelepasan Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) oleh hipotalamus yang kemudian menyebabkan hipofisis anterior mengeluarkan ACTH. Hormone ini beredar dalam darah ke korteks adrenal dan menyebabkan pelepasan hormone glukokortikoid, kortisol. Kortisol memiliki beberapa fungsi yang memungkinkan seseorang mengatasi stressor. Efek kortisol mencakup pembentukan glukosa baru (glukoneogenesis), mobilisasi protein, mobilisasi lemak, stabilisasi lisosom.

Saat kecemasan terjadi maka system saraf simpatis mempengaruhi medulla adrenal untuk mensekresi epineprin dan norepineprin. Efek simpatis dapat menyebabkan beberapa perubahan tubuh. System simpatis terutama teraktivasi dengan kuat pada berbagai keadaan emosi. Kecemasan merangsang hipitalamus yang sinyal-

(23)

sinyalnya dijalarkan kebawah melalui farmasio retikularis otak dan masuk ke medula spinalis untuk menyebabkan pelepasan impuls simpatis yang massif (Guyton & Hall, 2011).

Hubungan dari fisiologi terjadi kecemasan dan empati adalah dengan empati dapat memberikan rasa tenang yang menghambat pengeluaran hormon Adrenocortocotropin (ACTH) dan system saraf simpatis, sehingga Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) dapat ditekan pengeluarannya, hal ini menimbulkan efek tenang dan dapat mengurangi stressor sehingga seseorang yang mengalami kecemasan dapat kembali tenang ditandai dengan kembalinya nilai tanda-tanda vital kedalam batas normal.

2.2.5 Tingkat Kecemasan

Stuart (2008) mengidentifikasi tingkat kecemasan menjadi 5 tingkat yaitu:

2.2.5.1 Normal, pada tahap ini klien merasakan periode peringatan dari ancaman yang akan timbul dengan tanda–tanda seperti gelisah dan sulit menerima stressor tersebut.

2.2.5.2 Kecemasan ringan, pada tingkat ini sebenarnya merupakan hal yang normal karena merupakan tanda bahwa keadaan jiwa dan tubuh manusia agar dapat mempertahankan diri dari lingkungan yang serba berubah.

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untukbelajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.

(24)

2.2.5.3 Kecemasan sedang, memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan untuk konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis.

2.2.5.4 Kecemasan berat, Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.

2.2.5.5 Kecemasan tingkat panik, Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan

(25)

inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi.

Gambar 2.1. Rentang Respon Ansietas (Stuart, 2008) 2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan

Menurut Kaplan dan Sadock (2016), faktor yang mempengaruhi kecemasan pada pasien antara lain:

2.2.6.1 Faktor intrinsik, antara lain:

a. Usia

Menurut Kaplan & Sadock (2016) gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, usia menunjukan ukuran waktu pertumbuhan dan perkembangan seorang individu, usia berhubungan dengan pengalaman, pengalaman berhubungan dengan pengetahuan. Kematangan dalam proses berfikir pada individu yang berumur dewasa lebih memungkinkannya untuk menggunakan mekanisme koping yang baik dibandingkan kelompok usia anak-anak;

Menurut Stuart (2008) mengenai perubahan dalam perkembangan kecemasan dijelaskan dalam tabel berikut:

Respon adtif Respon maladaptive Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

(26)

Periode Usia Kecemasan

Masa Bayi Awal Merasakan was-was dan perubahan suasana hati yang sebelumnya tidak ada apabila berada dengan orang asing.

Usia 1-2 Tahun Orang tua lebih berperan dalam menentukan kecemasan yang dialami oleh anak

Kanak-Kanak Awal

Orang tua lebih berperan dalam menentukan kecemasan yang dialami oleh anak

10-13 Tahun Remaja awal merupakan masa dimana remaja harus mampu mematangkan hubungan dengan teman sebayanya

15-18 Terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan kecemasan 18-22 Tahun

(Dewasa)

Kematangan dalam proses berpikir pada individu yang berumur dewasa lebih memungkinkan menggunakan mekanisme koping yang baik dibandingkan kelompok umur anak-anak

Table 2.2 Perubahan Perkembangan Kecemasan

b. Jenis kelamin

Kecemasan sering dialami pada wanita dari pada pria. Kaplan &

Sadock (2016), mengemukakan bahwa kurang lebih 5% dari populasi, kecemasan pada wanita dua kali lebih banyak dari pada pria. Lebih tingginya frekwensi kecemasan yang dialami wanita kemungkinan disebabkan wanita mempunyai kepribadian yang lebih labil dan bersifat immatur. Juga adanya peran hormon yang mempengaruhi kondisi emosi sehingga mudah cemas dan curiga;

c. Pengalaman pada hal tertentu

Pengalaman pada kondisi tertentu tentu akan membuat kecemasan menurun, namun apabila hal tersebut baru pertama kali dilakukan maka tingkat kecemasan akan lebih tinggi dari pada orang yang sudah mengalami hal tersebut;

(27)

d. Konsep diri dan peran

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan mempengaruhi individu berhubungan dengan orang lain. Peran adalah pola sikap perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara peran yang dijalaninya. Juga keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran.

Disamping itu pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisinya pada setiap waktu. Pasien yang mempunyai peran ganda baik di dalam keluarga atau di masyarakat ada kecenderungan mengalami kecemasan yang berlebih disebabkan konsentrasi terganggu.

2.2.6.2 Faktor ekstrinsik :

a. Kondisi lingkungan

Lingkungan yang tidak kondusif seperti ramai dan tidak tenang dapat menimbulkan kecemasan meskipun persiapan yang di lakukan sudah optimal, hal ini dikarenakan kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi dengan orang lain berbeda.

b. Akses informasi

Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk pendapatnya berdasarkan sesuatu yang diketahuinya. Informasi

(28)

adalah segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan terdiri dari tujuan, proses, resiko dan komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses adminitrasi (Smeltzer, 2014).

c. Proses adaptasi

Menurut Kozier (2015) mengatakan bahwa tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal yang dihadapi individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus. Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan dari sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada.

2.2.7 Respon Kecemasan

Menurut Videbeck (2008), respon kecemasan ada 2 yaitu respon fisiologi dan respon psikologis. Respon sistem saraf otonom terhadap rasa takut dan ansietas menimbulkan aktivitas involunter pada tubuh yang termasuk dalam mekanisme pertahanan diri. Serabut saraf simpatis “ mengaktifkan” tanda-tanda vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh. Kelenjar adrenal melepas adrenalin (epinefrin), yang menyebabkan tubuh mengambil lebih banyak oksigen, medilatasi pupil, dan meningkatkan tekanan arteri serta frekuensi jantung sambil membuat konstriksi pembuluh darah perifer dan memirau darah dari sistem gastrointestinal dan reproduksi serta meningkatkan glikogenolisis menjadi glukosa bebas guna menyokong jantung, otot, dan sistem saraf pusat. Ketika bahaya telah berakhir, serabut saraf parasimpatis membalik proses ini dan mengembalikan tubuh ke kondisi normal sampai tanda ancaman berikutnya mengaktifkan kembali respons simpatis. Ansietas menyebabkan respons kognitif, psikomotor, dan fisiologis yang tidak

(29)

nyaman, misalnya kesulitan berpikir logis, peningkatan aktivitas motorik, agitasi, dan peningkatan tanda-tanda vital. Untuk mengurangi perasaan tidak nyaman, individu mencoba mengurangi tingkat ketidaknyaman tersebut dengan melakukan perilaku adaptif yang baru atau mekanisme pertahanan. Perilaku adaptif dapat menjadi hal yang positif dan membantu individu beradaptasi dan belajar, misalnya : menggunakan teknik imajinasi untuk memfokuskan kembali perhatian pada pemandangan yang indah, relaksasi tubuh secara berurutan dari kepala sampai jari kaki, dan pernafasan yang lambat dan teratur untuk mengurangi ketegangan otot dan tanda-tanda vital. Respons negatif terhadap ansietas dapat menimbulkan perilaku maladaptif, seperti sakit kepala akibat ketegangan, sindrom nyeri, dan respons terkait stress yang menimbulkan efisiensi imun (Videbeck, 2008).

Ansietas dapat disampaikan dari satu individu kepada individu lain melalui kata- kata, misalnya mendengar seorang berteriak “kebakaran” di ruang yang penuh sesak atau mendengar suara bergetar dari ibu yang tidak dapat menemukan anaknya di mal yang padat. Ansietas dapat disampaikan secara nonverbal melalui empati, suatu kesadaran menepatkan diri pada posisi orang lain untuk beberapa waktu (Videbeck, 2008). Ketika individu menjadi cemas, mereka menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengurangi rasa cemas. Mekanisme pertahanan merupakan distorsi kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk mempertahankan rasa kendali terhadap situasi yang menimbulkan stress. Proses ini mencakup muslihat diri, kesadaran yang terbatas terhadap situasi, atau komitmen emosional yang kurang. Kebanyakan mekanisme pertahanan timbul dari alam bawah sadar sehingga individu tidak sadar menggunakannya. Ketika pasien tidak dapat menjelaskan kecelakaan yang baru saja dialaminya, pikirannya sedang menggunakan mekanisme represi (melupakan peristiwa yang menakutkan secara tidak sadar) (Videbeck, 2008). Beberapa individu

(30)

menggunakan mekanisme pertahanan secara berlebihan dan hal ini menghentikan mereka mempelajari berbagai metode yang tepat untuk mengatasi situasi yang menimbulkan ansietas. Ketergantungan pada satu atau dua mekanisme pertahanan juga dapat menghambat pertumbuhan emosional, menyebabkan buruknya keterampilan menyelesaikan masalah, dan menimbulkan kesulitan menjalin hubungan (Videbeck, 2008).

Crisan et al (2016) menjelaskan bahwa kecemasan yang terjadi pada individu dapat mempengaruhi keadaan indivu tersebut, dimana hal ini ditandai oleh peningkatan nilai responden laboraturium seperti peningkatan hormone kortisol, dimana hal ini akan mempengaruhi perilaku individu. Walters et al (2014) kecemasan psikologis menjelaskan bahwa kecemasan dapat memberikan respon yang berlebihan seperti ketakutan dan stres, hal ini bila dialami secara berulang maka akan memberikan respon negatif pada seseorang dikarenakan ambang cemas yang rendah sehingga seseorang dapat cemas dan merasa cemas.

2.2.8 Penilaian Kecemasan

2.2.8.1 Skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale)

Skala ini diciptakan oleh Max Hamilton. Tujuannya adalah untuk menilai kecemasan sebagai gangguan klinikal dan mengukur gejala kecemasan. Gambaran dari HARS adalah kuesioner yang terdiri dari 13 kategori gejala kecemasan dan satu kategori perilaku saat wawancara yang terdiri dari skala yang paling banyak atau umumnya ditemukan sebagai karakteristik dari kecemasan (6 gejala psikologis dan 7 gejala fisiologis).

Skor HARS diberi skor dengan menilai tiap soal untuk menghasilkan jumlah skor antara 0-56. Reliabilitas kuesioner ini menggunakan koefisien

(31)

reliabilitas spearman-brown adalah 0,83 dan validitasnya adalah 0,77 (Bech & Paykel, 2014).

2.2.8.2 Skala SAS (Zung Self Rating Anxiety Scale)

Skala ini diciptakan oleh William W. K Zung. Tujuannya adalah untuk menilai kecemasan sebagai kekacauan klinikal dan mengukur gejala kecemasan. Gambaran SAS adalah 20 soal yang terdiri dari skala yang paling banyak atau umumnya ditemukan sebagai karakteristik dari kecemasan (5 afektif dan 15 gejala somatik).

Lima soal merupakan gejala positif dan 15 soal merupakan gejala yang negatif. Skor SAS diberi skor dengan menilai tiap soal untuk menghasilkan jumlah skor antara 20-80. Score tersebut dibagi kedalam beberapa tahapan yaitu 20-44 untuk rentang normal, 45-59 untuk rentang level kecemasan sedang, 60–74 untuk rentang level kecemasan berat, dan 75-80 untuk rentang level kecemasan panik. Reliabilitas data tidak tersedia dan validitas SAS bersama signifikan korelasi validitas dengan Taylor (Bech & Paykel, 2014). Skala kecemasan SAS juga dapat digunakan untuk mengukur kecemasan pada beberapa kelompok tertentu (Paquale et al, 2012). SAS dipilih karena memiliki rentang kecemasan yang lebih luas,sedangkan penilaian kecemasan lain tidak, keunggulan SAS dari penilaian lain adalah SAS dapat digunakan dalam berbagai kasus tidak hanya pada kondisi klien dengan penyakit.

2.2.8.3 Skala STAI (State-Trait Anxiety Inventory)

Skala ini diciptakan oleh Charles D. Spielberger. Tujuannya adalah untuk menilai kecemasan sebagai gangguan klinikal. Gambaran dari STAI

(32)

adalah kuesioner yang terdiri dari 2 kategori yaitu state anxiety dan trait anxiety. Skor STAI diberi skor dengan menilai tiap soal untuk menghasilkan jumlah skor antara 0-60 untuk masing–masing kategori.

Reliabilitas kuesioner ini adalah 0,65 dan validitasnya adalah 0,69 (Bech &

Paykel 2014).

2.3 Objective Structured Clinical Examination (OSCE) 2.3.1 Pengertian OSCE

OSCE adalah ujian yang terintegrasi dengan berbagai komponen pada pendidikan medis dan keperawatan (Carrol & Fisher, 2013). OSCE adalah latihan atau program pengkajian yang cara belajarnya menggunakan sistem rotasi dan waktu yang dibatasi dan biasannya dinamakan “stations” (Zaber, Kachur & Hanley, 2013).

OSCE adalah suatu bentuk test (ujian) untuk menilai kemampuan klinis mahasiswa (Ahmad, Ahmad, & Abu Bakar, 2009). OSCE didesain sedemikian rupa dengan melibatkan beberapa station (tempat uji) dan sistem rotasi (Walsh, Bailey, &

Koren, 2009). Pada setiap station, mahasiswa diminta untuk melakukan suatu prosedur tindakan tertentu atau pengkajian pasien berdasarkan skenario tertentu dengan menggunakan standardized pasien (orang awam yang dilatih untuk berperan sebagai pasien). Setiap mahasiswa dirotasi ke setiap station dengan jumlah waktu yang sama untuk setiap stationnya. Setiap station terdapat satu orang penguji yang akan menilai penampilan kerja mahasiswa berdasarkan instrument check list yang dikembangkan oleh suatu panel ahli dibidangnya. Harden memberikan definisi OSCE sebagai sebagai

“suatu pendekatan untuk menilai kompetensi klinis ketika komponen-komponen kompetensi dinilai dengan cara yang terencana dan terstruktur dengan baik serta penilaian dilakukan secara objektif (Harden 1988, dalam Mitchell, et al., 2010).

(33)

2.3.2 Kemampuan yang Diujikan Pada OSCE

Pada OSCE menggunakan metode blok beberapa kemampuan yang menjadi penilaian dikategorikan kedalam 4 kategori yaitu (Zaber, Kachur & Hanley 2013):

2.3.2.1 Komunikasi

Pada skill komunikasi penilaian terdiri dari tiga fase yaitu fase pembukaan dan fase membangun hubungan kepercayaan. Pada skil pertama dimulai dari memperkenalkan diri, kemudian ketika proses dalam pengumpulan data menggunakan pertanyaan terbuka, kemudian menanyakan yang kita inginkan,melakukan narasi pada data yang didapat, kemudian mengajukan pertanyaan terkait hal yang diinginkan, dan megklarifikasi informasi yang didapat dengan menayakan pada klien.

Terkait dengan membangun trust dimulai dengan berkomunikasi yang bertujuan untuk membantu, melakukan komunikasi non verbal yang benar, memanage emosi dengan semestinya, menerima dan mendengarkan terkait hal yang diutarakan oleh pasien serta tidak menghakimi, kemudian menggunakan kata-kata yang mudah dipahami ataupun kata-kata yang sudah sering didengar oleh masyarakat pada umumnya.

2.3.2.2 Mengumpulkan Data

Tahapan ini adalah tahapan dimana peserta OSCE melakukan pengumpulan data terkait dnegan riwayat penyakit masa lalu, riwayat kesehatan, riwayat kesehatan keluarga. Hal ini digunakan untuk melakukan pengkajian selanjutnya.

(34)

2.3.2.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh klien secara keseluruhan atau hanya bagian tertentu yang dianggap perlu, untuk memperoleh data yang sistematis dan komprehensif, memastikan atau membuktikan hasil anamnesa, menentukan masalah dan merencanakan tindakan keperawatan yang tepat bagi klien.

2.3.2.4 Managemen dan perencaan treatment

Intervensi terkait tindakan yang akan dilakukan dengan melakukan perencanaan waktu dan tujuan yang ingin dicapai sehingga dapat dilakukan evaluasi setelah tindakan OSCE dilakukan.

2.4 Hubungan Antara Empati dan Kecemasan Teman Sebaya pada Saat OSCE

Empati merupakan salah satu aspek dalam berinteraksi dengan orang lain, dimana dalam tindakannya empati sering kali berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Empati merupakan jenis tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak psikologis dari kecemasan. Karena empati bila kita kaji dari segi pelayanan kesehatan adalah suatu tindakan yang berfokus pada aspek kognitif yang bertujuan untuk memahami perspektif klien dan kemampuan dalam berkomunikasi untuk mengetahui apa yang dirasakan pasien (Taufik, 2012).

Penelitian tentang empati juga dilakukan oleh Ni’mah (2014) dimana peneliti ingin mengetahui hubungan antara religiusitas dan empati dengan perilaku dalam memperhatikan orang lain. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan yang positif dan sangat signifikan antara empati dengan perilaku memperhatikan orang lain dan ada hubungan positif antara empati dengan penurunan kecemasan seseorang.

(35)

Penelitian diatas memiliki kesamaan variabel empati sebagai variabel independen.

Penelitian berikutnya yang mendukung penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Martos et al (2011) dimana penelitian ini bertujuan untuk bagaimana empati sebagai salah satu perilaku dapat menangani stress pada mahasiswa, dimana stress pada mahasiswa banyak macamnya antara lain kecemasan.

Kecemasan merupakan suatu respon psikologis dari seseorang ketika menghadapi situasi maupun stressor lain yang tidak dapat ditangani maupun tidak bisa dkerjakan dengan percaya diri. Cemas sendiri adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Pada fase yang kronis kecemasan akibat situasional dapat berdampak buruk pada kesehatan psikologis seseorang, oleh karena itu perlu dlakukan adanya penatalaksaan secara preventif untuk mencegah dampak tersebut (Videbeck, 2014)

Ketika kita gabungkan antara adanya situasi yang dianggap bisa memberikan stressor seperti ujian dimana dalam kasus ini adalah OSCE, maka kita perlu mengetahui hubungan yang dihasilkan untuk dapat meminimalisir dampak psikologis yang timbul

Artikel jurnal yang menjelaskan terkait dengan empati dan kecemasan dijelaskan oleh Riess, Philips & Lorie (2012) dalam penelitiannya yang menjelaskan bahwa empati memiliki hubungan yang erat dengan kecemasan hal ini dapat dilihat bahwa empati yang dilakukan secara grup mampu meningkatkan emosi seseorang untuk menurunkan kecemasan. Artikel lain yang ditulis oleh Amy (2014) menjelaskan bahwa empati dapat dilakukan oleh siapapun tidak tergantung pada usia, maupun jenis kelamin, karena hasil penelitian yang dilakukan oleh Amy (2014) menjelaskan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara sex, year of study terhadap kualitas empati yang diberikan.

(36)

Penelitian lain yang dilakukan oleh Wilson et al (2012) menjelaskan bahwa mahasiswa keperawatan dan farmasi cenderung memiliki empati yang lebih tinggi dari pada mahasiswa ilmu social seperti ilmu hukum, oleh karena itu penelitian kali ini sangat tepat sekai untuk mengetahui apakah ada hubungan antara empati dan kecemasan pada mahasiswa.

Gambar

Table 2.1 Perubahan Perkembangan Empati (Taufik, 2012)
Gambar 2.1. Rentang Respon Ansietas (Stuart, 2008)  2.2.6  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Table 2.2 Perubahan Perkembangan Kecemasan

Referensi

Dokumen terkait

Skenario interaksi adalah pengguna dapat memanipulasi buku secara fisik, misalkan memutar posisi buku untuk melihat obyek virtual dari berbagai sudut pandang atau membuka

Sudut pandang yang digunakan dalam wacana iklan pada majalah wanita adalah sudut pandang personal yang meliputi sudut pandang orang pertama, sudut pandang

Gangguan tidur memiliki kaitan erat dengan kejadian ansietas, stres psikososial, dan gangguan afek. 29 Gangguan tidur anak-anak berbeda dengan orang dewasa.

Menurut Wati & Pristyadi (2019 :306), Aset tetap digolongkan dari sudut pandang. Dilihat dari sudut pandang ada dan tiadanya wujud fisik dari aset tetap, aset tetap

Iklan yang efektif, apabila iklan tersebut mencapai tujuan – tujuan untuk pelanggan yang spesifik, memikirkan dan memahami kebutuhan pelanggan, menekankan, pada

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang dialami pegawai terhadap situasi kerja dan perasaan dirinya yang disebut sebagai

Dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa restrukturisasi kognitif membantu seseorang memahami aspek pemikiran, perasaan, tindakan dan situasi dari pengalaman seseorang saling

Penilaian status gizi pada balita stunting dilakukan secara langsung dengan menggunakan antropometri yang ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi adalah berhubungan dengan