• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA REMAJA. Nugraheni Jispratami. Susilo Wibisono INTISARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA REMAJA. Nugraheni Jispratami. Susilo Wibisono INTISARI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA REMAJA

Nugraheni Jispratami Susilo Wibisono

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara empati dengan perilaku cyberbullying pada remaja. Dengan mengajukan hipotesis bahwa ada hubungan negatif antara empati dengan perilaku cyberbullying pada remaja.

Subyek dalam penelitian ini adalah para siswa yang berusia 14-17 tahun.

Terdapat 189 orang siswa yang menjadi subjek dalam penelitian. Skala cyberbullying berjumlah 31 aitem yang disusun berdasarkan aspek-aspek cyberbullying menurut Willard (2005), sedangkan skala empati berjumlah 28 aitem yang disusun berdasarkan aspek-aspek empati menurut Davis (1980).

Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis korelasi Pearson. Hasil analisis menunjukkan besarnya koefisien korelasi sebesar r=0.098 dengan taraf signifikansi p = 0.055 > 0.05. Hasilnya adalah tidak ada hubungan negatif antara empati dengan perilaku cyberbullying sehingga hipotesis ditolak.

Kata Kunci: cyberbullying, empati

(2)

LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi yang semakin pesat dari tahun ketahun, memberikan kemudahan bagi siapapun untuk mengakses informasi. Media teknologi ada berbagai macam jenis, seperti teknologi informasi. Teknologi informasi yang sekarang lagi marak dimasyarakat adalah jejaring sosial. Jejaring sosial yang kita ketahui saat ini banyak sekali dan pada setiap individu bisa memiliki 2-3 jejaring sosial untuk akun yang sama. Pemanfaatan teknologi dan informasi ini membuat setiap orang lebih mudah untuk melakukan apapun yang diinginkannya. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa dapat menggunakan jejaring sosial tersebut.

Kementrian komunikasi dan informatika (Kemenkominfo), mengungkapkan bahwa pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang, 95% dari angka tersebut adalah pengguna jejaring sosial. Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Selamatta Sembiring mengatakan, situs jejaring sosial yang paling banyak digunakan adalah facebook dan twitter. 65 juta penduduk Indonesia aktif menggunakan facebook, sedangkan untuk twitter memiliki 19,5 juta pengguna aktif dari 500 juta pengguna global (Kominfo, 2013).

Munculnya teknologi informasi memberikan dampak yang positif maupun negatif. Dampak positif dari adanya teknologi informasi ini lebih memudahkan penggunanya untuk mendapatkan informasi, namun tak hanya dampak positif, dampak negatifpun timbul dari adanya teknologi informasi ini. Salah satu dampak

(3)

negatif ini munculnya fenomena cyberbullying dikalangan anak-anak maupun remaja.

Santrock (Gunarsa, 2008), menjelaskan masa remaja merupakan masa peralihan yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.

Masa remaja juga dikatakan sebagai masa yang bermasalah, di mana baik laki-laki maupun remaja perempuan seringkali dihadapkan oleh berbagai macam masalah.

Hal yang sama diungkapkan oleh Gunarsa (2008) yang menjelaskan remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yakni antara usia 12 sampai 21 tahun. Pengertian lain diungkapkan oleh Hall (Gunarsa, 2008) mengungkapkan bahwa masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidak seimbangan, yang tercakup dalam storm and stress yaitu keributan dan tekanan. Remaja mudah terkena pengaruh dari lingkungan yang dihadapakan pada situasi-situasi yang meliputi: kekecewaan dan penderitaan, adanya peningkatan konflik, impian dan khayalan. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Bandura (Gunarsa, 2008), mengatakan bahwa masa remaja menjadi masa pertentangan dan pemberontakan. Sering kali masa remaja digambarkan sebagai kelompok yang tidak bertanggung jawab, memberontak, melawan dan perilaku- perilaku mereka yang dinilai secara umum berakibat sensasional.

Cyberbullying merupakan fenomena baru yang dihasilkan dari kemajuan teknologi (Steffgen, dkk, 2011). Willard (2005), menjelaskan bahwa Cyerbullying merupakan perlakuan kejam yang dilakukan dengan sengaja kepada orang lain dengan mengirimkan atau mengedarkan bahan yang berbahaya atau terlibat dalam bentuk-bentuk agresi sosial menggunakan internet atau teknologi digital lainnya.

(4)

Cyberbullying ini digambarkan sebagai tindakan yang disangaja dan diulang, dilakukan sebagai tindakan progresif oleh kelompok atau individu, terhadap korban yang dapat dengan mudah untuk tidak membela diri (Steffgen, dkk, 2011).

Cyberbullying atau kekerasan dunia maya, ternyata lebih menyakitkan dibandingkan dengan bullying fisik. Sebuah tim peneliti dari National Institutes of Health Amerika Serikat (AS), menemukan para korban cyberbullying lebih cenderung merasa terisolasi, kurang peka, dan tidak berdaya. Korban dari cyberbullying memiliki tingkat depresi paling tinggi dari pada kelompok lain yang hanya dipukuli atau diejek (Scottiati, 2010).

Korban yang mengalami cyberbullying terkadang merasa depresi, tertekan, dan tak berdaya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2012) didapatkan data 29% siswa pernah mengalami cyberbullying. Angka 29% ini cukup besar, melihat dampak yang dapat ditimbulkan dari perilaku cyberbullying ini. Hasil survei yang dilakukan oleh latitude news, menemukan bahwa Indonesia merupakan Negara dengan kasus bullying tertinggi kedua setelah Jepang. Kasus bullying di Indonesia ternyata mengalahkan Negara Amerika Serikat yang menempati urutan ketiga. Namun, kasus bullying yang terjadi di Indonesia lebih banyak terjadi di jejaring sosial, seperti facebook dan twitter atau biasa disebut dengan cyber bullying.

Tak jarang korban dari cyberbullying ini adalah juga sebagai pelaku dari cyberbullying, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2012), sebanyak 32% siswa pernah menjadi pelaku dari cyberbullying dan sarana yang paling banyak digunakan adalah jejaring sosial. Para siswa yang pernah

(5)

mengalami cyberbullying sebanyak 51,3% menceritakan pengalamannya kepada teman di sekolah, 30,5% tidak menceritakannya kepada siapapun, dan 17,6%

menceritakan kepada orang tua. Data tersebut menunjukkan bahwa, anak lebih cenderung menceritakan kepada teman-temannya dibandingkan dengan bercerita kepada orang tua.

Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 20 Juni 2015 melalui sosial media facebook, melihat bahwa ada beberapa remaja di Bali yang memperlihatkan perilaku cyberbullying, seperti foto-foto yang yang tidak disamarkan nama asli dari pengguna akun tersebut, sehingga menimbulkan komentar-komentar yang dapat menyakiti orang tersbut. Peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa anak melalui chatting facebook, dari hasil wawancara tersebut beberapa pernah melakukan tindakan cyberbullying seperti mengolok-olok teman mereka di grup sosial media, mengeluarkan teman mereka dari grup tanpa persetujuan teman yang lain, dan menyebarkan foto-foto teman mereka yang telah diubah menjadi gambar yang memalukan dan menyebarkannya di grup media sosial, membicarakan teman yang lain, karena kekurangan yang dimiliki orang yang dituju di grup media sosial.

Meminimalisir perilaku cyberbullying perlu pengalihan kearah yang lebih positif, misalnya dengan menyalurkan hobi anak, mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, dan adanya sikap empati juga akan lebih memudahkan meminimalisir dari tindakan cyberbullying (Despriliani, 2014). Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini mengindikasikan kurangnya rasa empati yang dimiliki oleh remaja. Menurut psikolog Tika Bisono, empati yang dimiliki masyarakat

(6)

Indonesia kini sudah mulai menurun akibat pengaruh dari zaman. Pelajaran yang mengandung nilai-nilai moral seperti budi pekertipun sudah dihapuskan. Selain sekolah, peran komunitas juga dapat meningkatkan empati seorang individu, karena individu jaman sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan komunitas (Despriliani, 2014).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying menurut Pratiwi (2011), adalah bullying tradisional, seseorang yang mengalami bullying di dunia nyata dapat menjadi pelaku cyberbullying, hal tersebut dapat diketahui dari penelitian yang dilakukan oleh Riebel, dkk (2009) menunjukkan adanya keterkaitan antara bullying dalam kehidupan nyata dengan cyberspace. Faktor selanjutnya yaitu karakteristik kepribadian yang terdiri dari: memiliki kepribadian yang dominan dan senang melakukan kekerasan; cenderung temperamen, impulsif, dan mudah frustrasi; memiliki sikap positif tentang kekerasan, dibandingkan dengan anak lainnya; tidak taat aturan; terlihat kuat dan sedikit memiliki rasa empati pada korban yang mereka bully di dunia maya; sering bersikap agresif pada orang dewasa; pandai mencari alasan pada situasi sulit; dan terlibat dalam agresi proaktif (seperti agresi yang disengaja untuk mendapatkan tujuan tertentu) dan agresi reaktif (seperti reaksi defensif atau bertahan ketika diprofokasi). Persepsi terhadap korban juga menjadi faktor penyebab perilaku cyberbullying, yaitu seseorang yang melakukan perilaku tersebut melihat korbannya yang memiliki sifat atau karakteristik yang mengundang untuk mereka bully, dan faktor lainnya yaitu interaksi orangtua dan anak di mana orangtua yang dekat dengan anak-anaknya, dan mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh

(7)

anak dapat meminimalisir terjadinya perilaku cyberbullying. Seperti dilihat dalam faktor karakteristik kepribadian, diketahui bahwa empati juga menjadi penyebab dari adanya perilaku cyberbullying.

Menurut Widyarini (2009), empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh seorang individu. Seseorang yang berempati mampu menunjukkan dengan perilaku, seperti ikut merasa sedih ketika saudara ada yang sakit, dan sampai ikut sakit karena terlalu memikirkan saudaranya tersebut (Shapiro, 2003). Para psikolog perkembangan mengatakan bahwa terdapat dua komponen empati, yaitu : reaksi emosi kepada orang lain yang berkembang dalam enam tahun pertama kehidupan anak, dan reaksi kognitif yang berkembang sepanjang kehidupan anak sampai dewasa dan mampu untuk mengambil sudut pandang dari perspektif orang lain.

Ibung (Setyawan, 2011), mengatakan, anak dapat menghindari dari perilaku tercela dengan adanya empati. Seseorang yang memiliki empati yang tinggi, memiliki tenggang rasa sikap peka terhadap situasi orang lain. Empati merupakan perpaduan dari dimensi kognitif dan afektif. Perpaduan dari dimensi tersebut dapat membantu individu dalam mengatasi konflik yang terjadi. Empati menjadi hal dasar dalam interaksi dan berhubungan dengan individu lain, dengan adanya empati, individu akan semakin terbuka dengan emosinya sendiri, sehingga akan lebih memudahkan berinteraksi dengan individu lain hal itulah yang dikemukakan oleh Goleman (Setyawan, 2011).

(8)

Melihat dari uraian di atas, dan kasus-kasus yang terjadi saat ini, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan antara empati dengan perilaku cyberbullying pada remaja di Bali.

TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberbullying 1. Pengertian Cyberbullying

Willard (2005), menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan perlakuan kejam kepada orang lain dengan mengirimkan atau mengedarkan bahan yang berbahaya atau terlibat dalam bentuk-bentuk agresi sosial menggunakan internet atau teknologi digital lainnya. Definisi cyberbullying menurut Williams dan Guerra (Steffgen, 2013) adalah suatu tindakan yang ditujukan kepada seseorang melalui pesan teks, e-mail, pesan gambar atau video yang bertujuan untuk mengolok-olok, memaki, dan mengancam.

Banyakanya sosial media yang beredar dimasyarakat saat ini, lebih memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan yang dapat menyakiti orang lain secara verbal, seperti mengolok-olok orang yang tidak ia sukai. Tak jarang pada masa sekarang setia individu memiliki lebih dari satu perangkat teknologi. Menurut Hinduja dan Patchin (2013) menjelaskan bahwa cyberbullyying adalah perilaku yang disengaja dan membahayakan yang terus menerus diulang ditimbulkan melalui penggunaan komputer, ponsel, atau perangkat elektronik lainnya. Definisi lain menurut Kowalski, dkk (2014) menjelaskan Cyberbullying ini didefinisikan sebagai agresi yang dilakukan dengan sengaja dan berulang kali dilakukan dalam konteks elektronik (seperti,

(9)

email, blogs, pesan instan, pesan teks) terhadap seseorang yang tidak dapat dengan mudah membela dirinya.

2. Aspek-Aspek Cyberbullying

Menurut Willard (2005), aspek-aspek dari cyberbullying ada tujuh, yaitu :

a. Flaming

Flaming merupakan perilaku yang berupa mengirim pesan teks dengan kata-kata kasar, dan frontal. Perlakuan ini biasanya dilakukan di dalam chat group di media sosial seperti mengirimkan gambar-gambar yang dimaksudkan untuk menghina orang yang dituju.

b. Harassment

Harassment merupakan perilaku mengirim pesan-pesan dengan kata-kata tidak sopan, yang ditujukan kepada seseorang yang berupa gangguan yang dikirimkan melalui email, sms, maupun pesan teks, di jejaring sosial secara terus menerus. Harassment merupakan hasil dari tindakan flaming dalam jangka panjang. Harassment dilakukan dengan saling berbalas pesan atau bisa disebut perang teks.

c. Denigration

Denigration merupakan perilaku mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang yang dituju. Seperti seseorang yang mengirimkan gambar-gambar seseorang yang sudah diubah sebelumnya menjadi lebih sensual agar korban diolok- olok dan mendapat penelaian buruk dari orang lain.

(10)

d. Impersonation

Impersonation merupakan perilaku berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik.

e. Outing and Trickery

Outing merupakan perilaku menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi milik orang lain. Trickery merupakan perilaku membujuk sesorang dengan tipu daya agar mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut

f. Exclusion

Exclusion merupakan perilaku dengan sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari grup online.

g. Cyberstalking

Cyberstalking merupakan perilaku berulang kali mengirimkan ancaman membahayakan atau pesan-pesan yang mengintimidasi dengan menggunakan komunikasi elektronik.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Cyberbullying

Menurut Pratiwi (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi cyberbullying ada empat, diantaranya :

a. Bullying Tradisional

Penelitian yang dilakukan oleh Riebel, dkk (2009) menunjukkan adanya keterkaitan antara bullying dalam kehidupan nyata dengan cyberspace. Hanya 3,69% anak dari seluruh sampel, pernah menjadi pelaku dari cyberbullying. Dari 77 sampel yang diteliti, terdapat 63 sampel

(11)

(81,81%) yang melaporkan bahwa mereka juga menjadi bullies dalam kehidupan nyata. Sedangkan di Indonesia tak jarang korban dari cyberbullying ini adalah juga sebagai pelaku dari cyberbullying, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2012), sebanyak 32% siswa pernah menjadi pelaku dari cyberbullying dan sarana yang paling banyak digunakan adalah jejaring sosial.

Peristiwa bullying yang terjadi di kehidupan nyata memiliki pengaruh besar untuk menjadi pelaku dari cyberbullies (pelaku cyberbullying). Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa, pelaku bullying di kehidupan nyata dapat dengan mudah untuk menjadi pelaku bullying di dunia maya.

b. Karakteristik Kepribadian

Karakteristik anak yang menjadi pelaku dari bullying yang dikemukakan oleh Camodeca dan Goossens (Pratiwi, 2011), adalah sebagai berikut :

a) Memiliki kepribadian yang dominan dan senang melakukan kekerasan b) Cenderung temperamen, impulsif, dan mudah frustrasi.

c) Memiliki sikap positif tentang kekerasan, dibandingkan dengan anak lainnya.

d) Tidak taat aturan.

e) Terlihat kuat dan sedikit memiliki rasa empati pada korban yang mereka bully di dunia maya.

f) Sering bersikap agresif pada orang dewasa.

(12)

g) Pandai mencari alasan pada situasi sulit.

h) Terlibat dalam agresi proaktif (seperti agresi yang disengaja untuk mendapatkan tujuan tertentu) dan agresi reaktif (seperti reaksi defensif atau bertahan ketika diprofokasi).

B. Empati 4. Pengertian Empati

Menurut Davis (1980), empati adalah reaksi dari seseorang mengenai pengalaman yang diamati oleh individu tentang oleh orang lain. Menurut Hurlock (Asih & Pratiwi, 2010), menjelaskan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain, serta dapat membayangkan bagaimana jika berada pada posisi orang tersebut.

Definisi yang sama dijelaskan oleh Sears (Asih & Pratiwi, 2010) yang menyatakan bahwa empati diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain dan menempatkan diri pada posisi mereka. Menurut Baron dan Byrne (Asih & Pratiwi, 2010) menjelaskan bahwa empati kemampuan untuk merasakan emosi orang lain, merasa simpati dan dapat mengambil perspektif orang lain. Selanjutnya menurut Lickona (SEJIWA, 2008), menjelaskan bahwa empati merupakan kondisi di mana kita mampu untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Menurut Malcom dan Greenberg (Marigoudar & Kamble, 2014), mendefinisikan empati sebagai upaya untuk memahami persepsi orang lain dari suatu peristiwa interpersonal antara orang yang satu dengan orang yang lain, bukan menilai perilaku orang lain dari perspektif pengalaman seseorang dalam peristiwa tersebut. Menurut Gold dan Rogers (Pradhan &Baghel, 2014), menjelaskan empati dalam hal ini

(13)

terdiri dari dua komponen, yaitu afektif dan kognitif. Empati juga dapat dikatakan sebagai penyelenggara dan regulator dari berbagai perilaku, dan menjadi pusat bagaimana menjadi manusia sepenuhnya (Rhonda, Hittner, &

Foster, 2012).

2. Aspek-aspek Empati

Menurut Davis (1980) terdapat empat aspek dalam empati, yaitu : a. Perspective taking adalah kecenderungan seseorang untuk mampu

mengambil sudut pandang orang laindan memahami pemikiran serta perasaan orang tersebut.

b. Fantasy adalah kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton.

c. Empathic Concern adalah perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami oleh orang lain.

d. Personal Distress adalah kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal tidak menyenangkan. Personal distress dapat dikatakan sebagai empati negatif.

METODE PENELITIAN

Subjek penelitian ini adalah remaja yang berusia 14-17 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan memiliki minimal satu akun media sosial.

(14)

Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif. Pengumpulan data dalam bentuk angket dengan menggunakan metode skala yang terdiri dari dua skala, yakni skala cyberbullying dan skala empati. Skala perilaku cyberbullying yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang diungkap oleh Willard (2005) dan Skala empati yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada aspek-aspek yang diungkap oleh Davis (1980). Penelitian ini termasuk penelitian korelasional yang menggunakan teknik analisis statistik korelasi parametric dari Pearson, yaitu mencari hubungan antara empati dengan perilaku cyberbullying.

Proses perhitungannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS for windows 16.0

HASIL PENELITIAN

Deskripsi statistic dari data penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1

Deskripsi Data penelitian

Variabel Skor Hipotetik Skor Empirik Xmin Xmax Mean SD Xmin Xmax Mean SD Cyberbullying 14 70 42 9.3 14 35 16.30 3.032

Empati 17 68 42.5 8.5 19 65 44.39 9.377

Untuk mengetahui keadaan subyek penelitian, dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2

Kategorisasi Skor Cyberbullying

Kategorisasi Skor Jumlah Persentase

Sangat Rendah X < 25.26 186 98.4%

Rendah 25.26 ≤ x < 36.42 3 1.6%

Sedang 36.42 ≤ x < 47.58 0 0%

(15)

Tinggi 47.58 < x ≤ 209.4 0 0%

Sangat Tinggi X > 209.4 0 0%

Berdasarkan hasil kategorisasi tampak bahwa sebagian besar (98.4%) subjek memiliki tingkat perilaku cyberbullying pada kategori sangat rendah.

Tabel 3

Kategorisasi Skor Empati

Kategorisasi Skor Jumlah Persentase

Sangat Rendah X < 27.2 13 6.9%

Rendah 27.2 ≤ x < 37.4 28 14.8%

Sedang 37.4 ≤ x < 47.6 72 38.1%

Tinggi 47.6 < x ≤ 57.8 65 34.4%

Sangat Tinggi X > 57.8 11 5.8%

Berdasarkan hasil kategorisasi tampak bahwa sebagian besar (38.1%) subjek memiliki tingkat empati pada kategori sedang.

Berikut adalah hasil uji asumsi, yang berupa uji normalitas dan uji linieritas :

Tabel 4

Hasil Uji Normalitas

Variabel Kolmogorov Smirnov P (taraf signifikan)

Cyberbullying 3,078 0,000

Empati 1,773 0,004

Tabel 5

Hasil Uji Linieritas

Uji Linieritas Fhit P

Cyberbullying dengan Empati 1,826 0,176

Uji Hipotesis

Uji normalitas dan uji linieritas sebelumnya menunjukkan bahwa data penelitian tidak memenuhi syarat normalitas yaitu skor kedua variabel

(16)

berdistribusi tidak normal dan tidak memiliki korelasi linier, sehingga uji asumsi tidak dapat dipenuhi. Dengan hasil tersebut, maka uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Spearman Rho. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara cyberbullying dengan empati.

Hasil dari pengolahan data cyberbullying dengan empati diperoleh koefisien korelasi r = 0,098 dan p = 0,055 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara empati dengan cyberbullying. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan peneliti tidak diterima.

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis mengenai apakah ada hubungan antara empati dengan perilaku cyberbullying pada remaja. Hipotesis penelitian yang berbunyi ada hubungan negatif antara empati dengan perilaku cyberbullying pada remaja. Setelah melalui analisis pengolahan data diperoleh hasil yang tidak mendukung hipotesis tersebut, yaitu hasil penlitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan negatif antara empati dan perilaku cyberbullying (lihat Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa empati tidak ada hubungannya dengan tinggi rendahnya perilaku cyberbullying, atau sebaliknya.

Sumbangan variabel empati dengan cyberbullying adalah sebesar 10%.

Hal ini menunjukkan pengaruh dari variabel empati terhadap cyberbullying hanya 10%, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. Hasil yang menunjukkan tidak adanya hubungan empati dengan cyberbulying menandakan bahwa ada prediktor

(17)

lain yang lebih mempengaruhi mengapa perilaku cyberbullying dapat terjadi. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Conner, dan Armitage (Wiley & Sons, 2008), bahwa masih ada prediktor lain yang lebih mempengaruhi dibandingkan dengan empati, seperti melihat motif dan niat dari si pelaku cyberbullying.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Rhodes dan Courneya (Wiley & Sons, 2008), menunjukkan bahwa efek dari empati dalam niat cyberbullying ternyata tidak signifikan ketika prediktor lain seperti keyakinan normatif dan self-efficacy, turut diperhitungkan. Namun, kedua hal tersebut bukanlah satu-satunya penyebab empati dengan cyberbullying tidak berpengaruh, melainkan sebagai cara untuk mempertimbangkan kembali peran empati dalam penelitian cyberbullying.

Skala yang digunakan untuk mengukur tingkat empati seseorang, seharusnya memiliki perbedaan antara empati untuk kasus cyberbullying dengan empati untuk kasus noncyberbullying. Seperti pada ekspresi pernyataan verbal atau perilaku menolong atau mendukung korban cyberbullying. Skala empati yang memberikan pernyataan-pernyataan yang merujuk pada perilaku cyberbullying akan lebih memperlihatkan hubungan antara keduanya (Steffgen, dkk, 2011).

Radiner, Strohmeier, dan Spiel (Kowalski, dkk, 2014), meneliti bagaimana motif orang untuk terlibat dalam cyberbullying. Motif yang dilakukan oleh individu berbeda-beda. Hal lainnya diketahui bahwa melakukan cybebullying untuk menunjukkan keterampilan teknologi, untuk menyenangkan atau untuk menunjukkan dirinya merasa kuat. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi yaitu kelekatan antara orang tua dan anak. Anak-anak yang menjadi pelaku dari bullying memiliki agresifitas yang tinggi, dan cenderung memiliki permasalahan

(18)

dengan orang tuanya menurut Marden (Pratiwi, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan Miller, dkk (Hinduja, & Patchin, 2013), menunjukkan bahwa, anak yang lebih sering berkomunikasi dengan orang tua atau sebaliknya dapat mengurangi berbagai perilaku beresiko lainnya. Menurut Laird (Hinduja, &

Patchin, 2013), orangtua dapat terlibat secara aktif pembicaraan secara terus- menerus dengan anak-anak mereka tentang berbagai perilaku, dan bahkan memberikan kesempatan untuk berlatih dan memperbaiki kemampuan sosial dan kompetensi, seperti resolusi konflik, empati, dan berbagai pendapat yang controversial (Hinduja, & Patchin, 2013).

Peneliti masih merasa banyak kelemahan yang ada dalam proses penyusunan maupun karakteristik skala yang digunakan. Setelah melakukan penelitian, peneliti melihat ada beberapa kelemahan di dalam penelitian ini, yaitu mengenai alat ukur penelitian. Dalam alat ukur yang peneliti gunakan menghasilkan data yang di mana subjek dalam pengisian skala cenderung untuk memilih pernyataan yang baik, atau memilih dengan pilihan jawaban yang baik agar tidak terlihat buruk. Sehingga kurang bisa melihat apakah sebenarnya subjek melakukan perilaku cyberbullying atau tidak. Suasana kelas yang tidak kondusif pada waktu pengambilan data juga menjadi kelemahan, dikarenakan suasana kelas yang berisik karena tidak ada guru yang mendampingi pada waktu pengambilan data, dan subjek pada waktu pengisian skala saling melihat respon jawaban teman yang lain.

KESIMPULAN

(19)

Berdasarkan hasil analisis pada Bab IV, kesimpulan yang dapat diambil adalah tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara empati dengan perilaku cyberbullying pada remaja. Sumbangan yang diberikan dari variabel empati untuk variabel cyberbullying pada remaja adalah sebesar 10%.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa saran yang dikemukakan oleh peneliti, yaitu :

1. Bagi Pihak Sekolah

a. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam kegiatan penyuluhan untuk para remaja khususnya yang terlibat cyberbullying b. Bagi pihak sekolah sebaiknya melakukan bimbingan kepada para siswa

yang terlibat dalam cyberbullying.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. memperbaiki alat ukur cyberbullying dan empati agar lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh responden penelitian

b. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat menggunakan jumlah responden yang lebih besar.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Agnew, dkk. (2002). Strain, Personality Traits, and Deliquency: Extending General Strain Theory. Journal of Criminology.Vol. 40.No. 1. p. 43-72.

Asih, G.Y., & Pratiwi, M.M.S. (2010). Prilaku Prososial Ditinjau dari Empati dan Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi. Vol.1. No.1. p. 33-32.

Azwar, S. (2010). Reliabilitas dan Validitas, Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chadwick, S. (2014). Impacts of Cyberbullying, Building social, and Emotional Resilience in Schools. New York : Springer Cham Heidelberg.

Cleemput, K.V., Vandebosch, H., Pabian, S. (2014). Personal Characteristics and Contextual Factors That Determine “Helping,” “Joining In,” and “Doing Nothing” When Witnessing Cyberbullying. Aggressive Behavior.

Vol.9999. p.1-14.

Davis, M.H. (1980). A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy. JSAS Catalog of Selected Documents in Psychology, No. 10, p.

85. The University of Texas at Austin.

Despriliani, R. (2014). Belajar Bersimpati dan empati. [Online] Dirujuk dari:

(http://www.republika.co.id/ berita/koran/gen-i/14/09/03/nbb78g3-belajar- bersimpati-dan-empati) (Diunggah pada 10 April 2015).

Gullotta, T.P., Plant, R.W., & Evans, M.A. (2005).Handbook of Adolescent Behavioral Problems.Evidence-Based Approaches to Prevention and Treatment. New York : Springer.

Gunarsa, S.D. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta:

Gunung Mulia.

Gunarsa, Y.S.D. (2002). Asas-asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.

Hinduja, S., Patchin, J.W. (2013). Social Influences on Cyberbullying Behavior Among Middle and High School Students. Jurnal Youth Adolescence. p.

711-722.

Irfanriza, M. (2013). Konsep Diri Sosial dan Cyberbullying: Studi Preliminer Pada Pelajar SMA N 1 Minas Pekanbaru. Skripsi (Tidak diterbitkan).

Universitas Islam Indonesia.

(21)

Kominfo. (2013). Pengguna Internet di Dunia Maya 63 Juta Orang.[Online]

Dirujuk dari:

http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengg una+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker#.VSe2X9yUc Z4. (Diunggahpada 10 April 2015).

Kowalski, M.R., Giumetti, G.W., dkk. (2014). Bullying in the Digital Age: A Critical Review and Meta-Analysis of Cyberbullying Research Among Youth. Psychological Bulletin.

Marigoudar, S.B, & kamble, S.V. (2014). A Study of Forgiveness and empathy: A Gender Difference. Indian Journal of Positive Psychology.Vol.5 No. 2. p.

173-177.

Pradhan, M., Baghel, S. (2014). Self-efficacy as a Moderator Between Empathy and Forgiveness Relationship. Indian journal of positive psychology.Vol.5 No.4. p. 388-392.

Pratiwi, M.D. (2011). “Faktor-faktor yang MempengaruhiCyberbullying”.Paper Seminar (tidakditerbitkan). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Rahayu, F.S. (2012). Cyberbullying Sebagai Dampak Negatif Penggunaan Teknologi Informasi. Journal of Information Systems.Vol.8.No.1. p. 22- 31.

Rhonda, J.S., Hittner, J.B., & Foster, A. (2012). A Proposed Mediated Path between Gender and Posttraumatic Growth: The Roles of Empathy and Social Support in a Mixed-Age Sample. Journal Psychology.Vol.3 No.12A. p. 1142-1147.

Schneider, S.K., dkk. (2012).Cyberbullying, School Bullying, and Psychological Distress: A Regional Census of High School Student. American Journal of Public Health.Vol.102 No.1.p.171-177.

Scottiati, F.A. (2010). Cyber Bullying Lebih Menyakitkan dari Pukulan. [Online]

Dirujuk dari:

http://inet.detik.com/read/2010/09/24/130120/1447435/398/cyber- bullying-lebih-menyakitkan-dari-pukulan.Diunggahpada 6 April 2015.

SEJIWA. (2008). Bullying. Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: PT Grasindo.

Setyawan, I. (2011). Peran Ketrampilan Belajar Kontekstual Dan Kemampuan Empati Terhadap Adversity Intelligence Pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi. Vol.9 No.1. p. 40-49.

(22)

Shapiro, L.E. (2003). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta : PT Gramedia.

Smith, P.K., Mahdevi, J., dkk. (2008). Cyberbullying: its nature and impact in secondary school pupils. Journal of Child Psychology and Psychiatry.

Vol.49 No.4. p. 376–385.

Steffgen, G., dkk. (2011). Are Cyberbullies Less Empathic? Adolescents’

Cyberbullying Behavior and Empathic Responsiveness. Jurnal Cyberpsychology, behavior, and social networking . Vol.14. No.11.

p.643-648.

Stets, J.E., Turner.J.H. (2007). Handbook of the Sociology of Emotion. California : University of California.

Widyarini, M.M.N. (2009). Kunci Pengembangan Diri. Jakarta : PT. Gramedia.

Wiley, J., Sons. (2008). A Process Model of Cyberbullying in Adolescence.

aggressive behavior. DAPHNE III Programme of the European Commission, DG Justice, Freedom.

Willard, N. (2005). Educator’s Guide to Cyberbullying and Cyberthreats. Journal Research Press, United State.

Wilson, B.J. (2008). Media and Children’s Aggression, Fear, and Altruism.Vol.18 No.1. p. 87-118.

(23)

IDENTITAS PENELITI

Nama : Nugraheni Jispratami

Alamat Asal : Perum Dalung Permai Blok D No.50 Kec. Kuta Utara Kab. Badung, Bali

No. Telepon : 085738812953

E-mail : jispratami29@gmail.com

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melalui tahap pengujian dan analisis pada simulasi 3D science encyclopedia untuk siswa sekolah dasar berbasis web, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Aplikasi

In this paper, we focus on their organizational advantage by examining the value- adding potential of two characteristics of business groups, viz., portfolio diversity and

Berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan, bahasa yang digunakan untuk judul dan konten pada media akan menggunakan bahasa keseharian mereka yaitu bahasa Jawa

Proses awal berupa perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku yang kemudian disakarifikasi dengan metode hidrolisis menggunakan asam sulfat, sehingga diperoleh

Hal ini disebabkan bebapa masalah pokok dalam ketentuan UU tersebut yang masih menititik-tekankan peranan kelembagaan yang bersifat formal dalam upaya pengetasan

Keputusan Bersama antara Kepala Desa Sungai Ajung Kecamatan Batang Lupar Kabupaten Kapuas Hulu dan Kepala Desa Lanjak Deras Kecamatan Batang Lupar Kabupaten Kapuas Hulu Nomor 1

Bagian Tata Usaha mempunyai tugas membantu Wakil Direktur Administrasi dalam menyelenggarakan dan mengkoordinasikan kegiatan administrasi umum dan kepegawaian Rumah Sakit Jiwa

Untuk pemeriksaan klinis probe masuk kira-kira sedalam 1–2 mm dari margin gingiva dengan tekanan aksial sedang dan dijalankan dari interproksimal ke interproksimal sepanjang