4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Swamedikasi 2.1.1 Definisi Swamedikasi
Swamedikasi merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit sebelum mereka memutuskan mencari pertolongan ke pusat pelayanan kesehatan/petugas kesehatan (Suherman dan Febrina, 2018). Pengobatan sendiri dilakukan apabila memperoleh obat- obatan tanpa resep, membeli obat berdasarkan resep lama, pemberian dari teman atau obat keluarga, ataupun penggunaan obat sisa (Jajuli, 2018). Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit, dan lain-lain (Harahap, 2017).
Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami.
Pelaksanaannya harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional antara lain, ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak adanya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Harahap, 2017).
Dalam praktiknya, kesalahan penggunaan obat dalam swamedikasi ternyata masih terjadi, terutama karena ketidaktepatan obat dan dosis obat.
Apabila kesalahan terjadi terus-menerus dalam waktu yang lama, dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko pada kesehatan (Harahap, 2017). Swamedikasi akan menimbulkan masalah baru jika dilakukan secara tidak benar yaitu tidak sembuhnya penyakit karena adanya resistensi bakteri dan ketergantungan (Halim et al., 2018). Agar penggunaan obat tanpa resep dapat berjalan aman dan efektif, masyarakat harus melaksanakan beberapa fungsi yang biasanya dilakukan secara profesional oleh dokter saat mengobati pasien dengan obat etikal (Aswad, 2019).
2.1.2 Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi
Keuntungan swamedikasi adalah aman apabila digunakan sesuai dengan petunjuk (efek samping dapat diperkirakan), efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% sakit bersifat self-limiting yaitu sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan, biaya pembelian obat relatif lebih murah dari pada biaya pelayanan kesehatan, hemat waktu karena tidak perlu mengunjungi fasilitas/profesi kesehatan (Rusli dan Tahir, 2017). Kerugian swamedikasi apabila tidak dilakukan secara benar, maka menimbulkan masalah baru yaitu tidak sembuhnya penyakit karena adanya resistensi bakteri dan ketergantungan munculnya penyakit baru, karena efek samping obat antara lain seperti pendarahan, sistem pencernaan, reaksi hipersensitif, serta meningkatnya angka kejadian keracunan(Rusli dan Tahir, 2017).
2.1.3 Faktor Penyebab Swamedikasi
Keberhasilan swamedikasi dipengaruhi oleh faktor yaitu perilaku masyarakat dalam swamedikasi (Pratiwi et al, 2016). Peningkatan kesadaran untuk melaksanakan swamedikasi atau pengobatan sendiri diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a) Biaya Pengobatan
Biaya pengobatan yang mahal merupakan penilaian dari pasien, dari murah sampai mahal dalam berobat ke dokter. (Restiyono,2016). Pasien memilih melakukan swamedikasi, karena biaya pembelian obat tanpa resep relatif lebih murah daripada biaya pelayanan kesehatan (Rusli dan Tahir, 2017).
b) Riwayat pendidikan
Riwayat pendidikan memiliki peran untuk pasien lebih selektif dalam menggunakan obat swamedikasi. Riwayat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi penggunaan swamedikasi pada keluarga (Jajuli dan Sinuraya, 2018).
c) Akses Pengobatan
Kemudahan pengobatan merupakan kecepatan proses memperoleh obat.
Kemudahan pengobatan menjadikan obat didapatkan pasien tanpa harus menunggu pemeriksaan dari dokter (Restiyono, 2016).
d) Lingkungan Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan yang baik secara langsung dan tidak langsung. Pekerjaan juga berkaitan dengan pendapatan seseorang. Jika pendapatan tinggi maka orang tersebut memiliki perilaku swamedikasi yang baik. Pekerjaan membuat antar individu berinteraksi untuk bertukar informasi lebih luas sehingga informasi yang didapatkan seseorang semakin banyak (Kurniasih, 2019).
e) Iklan
Iklan di televisi berpengaruh terhadap pemilihan suatu obat oleh masyarakat. Iklan televisi sangat berperan dalam membentuk persepsi masyarakat dibandingkan dengan media lain. Munculnya persepsi dapat memicu perilaku seseorang (Jajuli dan Sinuraya, 2018).
2.1.4 Jenis Obat Swamedikasi
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Permenkes no 14, 2021). Obat yang digunakan dalam swamedikasi adalah obat tanpa resep (OTR). Obat yang digunakan untuk swamedikasi meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Pada pengobatan sendiri, individu atau pasien bertanggung jawab terhadap obat yang digunakan. Oleh karena itu sebaiknya baca label obat secara seksama dan teliti (Sholiha et al, 2019) .Berikut ini penjelasan jenis obat swamedikasi antara lain:
1) Obat Bebas
Gambar 2.1 Tanda Khusus Obat Bebas (Supriyanto et al, 2021)
Obat Bebas adalah obat yang dijual bebas dipasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter yang pada kemasannya ditandai berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh: Parasetamol (Permenkes No 14, 2021).
2) Obat Bebas Terbatas
Gambar 2.2 Tanda Khusus Obat Bebas Terbatas (Supriyanto et al, 2021) Obat bebas terbatas adalah obat yang dapat dijual bebas dan dapat dibeli tanpa resep dokter sejumlah paling banyak 1 (satu) kemasan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Klorfeniramin maleat (Permenkes no 14, 2021). Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula tanda peringatan untuk aturan pakai obat, karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu, obat ini aman dipergunakan untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang terdiri dari 6 macam, disebutkan pada tabel II.1 yaitu:
Tabel II.1 Tanda peringatan obat bebas terbatas Tanda Peringatan Contoh Obat
Ultraflu, Paramex, Fatigon, Mixagrip, Neozep
Obat kumur Betadine, Listerine
Daktarin, Neo Ultrasilin
Lanjutan dari Tabel II.1
(Supriyanto et al, 2021) 3) Obat Wajib Apotek (OWA)
Pelayanan obat wajib apotek (OWA) di apotek manjur dan baik, sesuai dengan peraturan obat wajib apotek yang dapat dikeluarkan tanpa resep dokter. Dalam hal ini pasien konseling terlebih dahulu kepada apoteker atas penyakit yang diderita pasien, kemudian pasien akan diberikan obat yang tepat oleh apoteker atau asisten apoteker untuk penggunaan obat yang rasional serta aman kepada pasien dengan diberikan informasi edukasi terkait penyakit dan obat yang ditujukan untuk pasien, dan diberikan catatan pengobatan untuk pasien. (Mustika et al, 2020). Daftar obat wajib apotek (DOWA) yang dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter terdapat pembaruan Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Perubahan Penggolongan, Pembatasan, Dan Kategori Obat (Permenkes No 3, 2021).
2.1.5 Pelaksanaan Swamedikasi
Penilaian kerasionalan swamedikasi dapat ditinjau menurut komponen rasional dan tidak rasional. Penggunaan obat yang rasional dapat memenuhi kriteria berikut ini:
Tanda Peringatan Contoh Obat Rokok anti Asma
Rivanol kompres, Dulcolac
Superhoid, Anusol sipositoria
a) Tepat Indikasi
Tepat indikasi merupakan kemanfaatan dari obat yang diberikan kepada pasien dilihat berdasarkan diagnosa, data klinik atau keluhan dan juga data laboratorium (Tandi, 2017).
b) Tepat Penderita
Tidak terdapat kontraindikasi dan kemungkinan efek samping minimal kepada pasien (Octavia et al, 2019).
c) Tepat Obat
Obat yang diberikan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan, kesesuaian untuk pasien dan harga (Harahap et al, 2017).
d) Tepat Dosis
Ketepatan terapi pada pasien dilihat dari ketepatan pemberian dosis (Yanti et al, 2021).
e) Tepat Cara Pemberian
Pemberian informasi kepada pasien yang jelas tentang obat-obat yang diresepkan (Octavia et al,2019).
f) Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan dua atau lebih obat yamg diberikan secara bersamaan yang memberikan efek tanpa saling mempengaruhi atau biasa juga saling berinteraksi (Tandi, 2017).
g) Monitoring efek samping obat
Penggunaan setiap obat dapat memberikan efek samping yang merugikan atau efek toksis dari obat (Tandi, 2017).
2.2 Tinjauan Tentang Apotek 2.2.1 Definisi Apotek
Apotek merupakan salah satu bentuk pelayanan masyarakat yang bergerak pada penjualan obat –obatan, terdapat obat resep dokter dan obat non–resep dokter (Priandika, 2021). Sedangkan menurut Departemen kesehatan tahun 2017 definisi Apotek adalah tempat praktek kefarmasian oleh apoteker sebagai sarana pelayanan kefarmasian (Depkes RI no 9, 2017). Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Depkes RI No 9, 2017).
2.2.2 Sarana dan Prasarana Apotek
Sarana dan prasarana dapat menjamin mutu sediaan farmasi, bahan medis habis pakai, alat kesehatan, dan kelancaran praktik pelayanan kefarmasian (Depkes RI No 9, 2017). Sarana, prasarana dan semua peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek harus dalam keadaan terpelihara dengan baik (Depkes RI No 9, 2017). Untuk menunjang pelayanan kefarmasian sarana dan prasarana di Apotek, mempunyai sarana ruang yang memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Ruang Penerimaan Resep.
Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien. Ruang penerimaan Resep sekurang- kurangnya terdiri dari tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer (Depkes RI No 9, 2017).
2. Ruang Pelayanan Resep dan peracikan (Produksi sediaan secara terbatas).
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan.
Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan Resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (Depkes RI No73, 2016).
3. Ruang Penyerahan Obat
Ruang penyerahan obat dan alat kesehatan berupa konter penyerahan obat yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep (Depkes RI No 9, 2017).
4. Ruang Konseling
Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, poster, leaflet, buku catatan konseling, alat bantu konseling, dan formulir catatan pengobatan pasien. (Depkes RI No 73, 2016).
5. Ruang Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak atau lemari Obat, pallet, pendingin ruangan , lemari pendingin, lemari penyimpanan Obat khusus, lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, pengukur suhu dan kartu suhu (Depkes RI No 9, 2017).
6. Ruang Arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu (Depkes RI No 73, 2016).
2.2.3 Tujuan Pengelolaan Apotek
Pengelolaan Apotek mempunyai tujuan yaitu :
a. memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kefarmasian di Apotek.
b. meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek
c. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan pelayanan kefarmasian di Apotek (Depkes RI, 2017).
2.3 Tinjauan tentang Pelayanan Kefarmasian 2.3.1 Definisi Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Permenkes No 14, 2021). Pelayanan kefarmasian merupakan pelayanan yang berorientasi pada pasien. Pelayanan kefarmasian yang dapat dilakukan di apotek diantaranya pelayanan resep, promosi dan edukasi, serta pelayanan residensial (home care) (Prabandari, 2018). Evaluasi mutu pelayanan kefarmasian harus dilakukan agar mutu pelayanan kefarmasian
di Apotek terjamin (Permenkes No 73, 2016). Ketentuan mengenai evaluasi mutu pelayananan kefarmasian tercantum dalam standar pelayanan kefarmasian (Permenkes No 73, 2016).
2.3.2 Standar Pelayanan Kefarmasian
Standar Pelayanan Kefarmasian ialah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (Depkes RI No 35, 2016). Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek diberlakukan sebagai pedoman praktik profesi apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasian dan untuk melindungi pasien dari pelayanan yang tidak sesuai (Ningrum et al, 2018). Standar pelayanan kefarmasian di Apotek meliputi:
a. Pengelolaan Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan medis habis pakai b. Pelayanan farmasi klinik.
c. Pembinaan dan Pengawasan (Kemenkes RI, 2019).
2.3.3 Sarana Pelayanan Kefarmasian
Penataan, Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian Kefarmasian salah satunya ditujukan terhadap sarana pelayanan kefarmasian. Sarana pelayanan kefarmasian dapat berupa:
a) Instalasi farmasi Rumah Sakit b) Instalasi farmasi klinik
c) Pedagang eceran obat d) Apotek.
(Pergub no 89, 2017).
2.3.4 Ruang Lingkup Standar Pelayanan Kefarmasian Apotek
Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 kegiatan , antara lain :
1. Kegiatan berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) yang meliputi :
a) Perencanaan b) Pengadaan c) Penerimaan d) Penyimpanan
e) Pemusnahan dan penarikan
f) Pengendalian
g) Pencatatan dan pelaporan (Kemenkes RI, 2019)
2. Pelayanan farmasi klinik, meliputi:
a) Pengkajian Resep b) Dispensing
c) Pelayanan Informasi Obat (PIO) d) Konseling
e) Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f) Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan g) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
(Depkes RI No 73, 2016).
3. Pembinaan dan Pengawasan (Kemenkes RI, 2019).
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian (sumber daya manusia serta sarana dan prasana) yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Apotek, harus dilakukan evaluasi mutu Pelayananan Kefarmasian. (Depkes RI No 73, 2016).
2.4 Tinjauan Tentang Kepuasan Pasien 2.4.1 Definisi Kepuasan Pasien
Kepuasan pengguna pelayanan kesehatan didefinisikan sebagai tanggapan terhadap kesesuaian tingkat kepentingan dan harapan (ekspektasi) pengguna sebelum mereka menerima jasa pelayanan dengan sesudah pelayanan yang diterima (Muninjaya, 2018). Sedangkan menurut Mernawati (2016), kepuasan pasien merupakan perbandingan antara kualitas jasa pelayanan yang didapat dengan keinginan, kebutuhan, dan harapan pasien (Mernawati, 2016).
2.5 Metode Pengukuran Kepuasan
2.5.1 Metode Service Quality (SERVQUAL)
Service quality atau yang seringkali disingkat Servqual, telah digunakan Parasuraman dan Berry dalam mengukur berbagai kualitas jasa secara kuantitatif dalam bentuk kuesioner dan terdapat dimensi-dimensi kualitas jasa yaitu
reability, assurance, tangibles, emphaty dan responsivenes (Zuraidah, 2018).
Metode Servqual merupakan metode yang digunakan untuk mengukur kualitas layanan atribut masing-masing dimensi, sehingga akan diperoleh nilai gap (kesenjangan) yang merupakan selisih antara persepsi konsumen terhadap layanan yang telah diterima dengan harapan terhadap yang akan diterima (Zeithaml, 1990), dalam (Zuraidah, 2018). Penjelasan kelima dimensi untuk pengukuran kualitas pelayanan yaitu:
1) Tangibles (butki fisik)
Bukti fisik meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi serta kendaraan operasional. Dengan demikian bukti langsung/wujud merupakan suatu indikator yang paling konkrit. Wujudnya berupa segala fasilitas yang secara nyata dan terlihat. (Nurwahidah, 2019).
2) Reliability (Keandalan)
Keandalan merupakan kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan. Keandalan adalah kemampuan perusahaan untuk menampilkan pelayanan yang dijanjikan secara tepat dan konsisten.
Keandalan dapat diartikan mengerjakan dengan benar sampai kurun waktu tertentu. Pemenuhan janji pelayanan yang tepat dan memuaskan meliputi ketepatan waktu dan kecakapan dalam menanggapi keluhan pelanggan serta pemberian pelayanan secara wajar dan akurat (Nurwahidah, 2019).
3) Responsiveness (daya tanggap)
Daya tanggap yaitu sikap tanggap pegawai dalam memberikan pelayanan yang dibutuhkan dan dapat menyelesaikan dengan cepat. Kecepatan pelayanan yang diberikan merupakan sikap tanggap dari petugas dalam pemberian pelayanan yang dibutuhkan (Nurwahidah, 2019).
4) Assurance (jaminan)
Jaminan mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat di percaya yang dimiliki pegawai, bebas dari bahaya, resiko, dan keragu- raguan. Jaminan adalah upaya perlindungan yang disajikan untuk masyarakat bagi warganya terhadap resiko yang apabila resiko itu terjadi akan dapat mengakibatkan gangguan dalam struktur kehidupan yang normal (Nurwahidah, 2019).
Tinggi 5) Emphaty (empati)
Empati meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan konsumen. Empati adalah perhatian yang dilaksanakan secara pribadi atau individu terhadap konsumen dengan menempatkan dirinya pada situasi konsumen (Nurwahidah, 2019).
2.6.2 Metode Importance Performance Analysis (IPA)
Martilla dan James (1997) memperkenalkan metode Importance dan Performance Analysis, dengan tujuan untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen dan prioritas peningkatan kualitas produk/jasa, yang dikenal dengan quadrant analysis. Importance performance analysis menawarkan sejumlah keuntungan untuk mengevaluasi penerimaan konsumen terhadap penerimaan suatu program pemasaran (Budihartanti et al, 2019). Tahapan pertama dalam metode Importance Performance Analysis (IPA) adalah dengan menentukan tingkat kepentingan dan tingkat kinerja kualitas atribut-atribut yang diteliti melalui perbandingan skor kinerja dengan skor kepentingan. Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrument kuesioner maka selanjutnya dilakukan analisis IPA untuk menggambarkan tingkat kepuasan pasien yaitu dengan mengetahui gap antara tingkat kepentingan (harapan) dan tingkat kinerja (persepsi) dari tiap variabel kualitas pelayanan dengan pendekatan servqual (Budihartanti et al, 2019). Penjabaran tiap atribut dalam diagram kartesius dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut ini:
Concentrate here
A
Keep up the good work
B
C
Low priority
D
Possible overkill
ȳ
x̄
K I N E R J A
Tinggi Rendah
HARAPAN
Gambar 2.6 Diagram Kartesius
Tinggi
Keterangan:
x̄ : rata-rata skor tingkat kinerja produk seluruh faktor atau atribut
ȳ : rata-rata tingkat harapan seluruh atribut yang mempengaruhi kepuasan (Aulia, 2019)
Kuadran A (Concetrate here)
Kuadran pertama adalah wilayah yang memuat faktor-faktor yang dianggap penting oleh pengguna jasa tetapi tingkat kepuasan yang diperoleh masih rendah (Kurniawan, 2021).
Kuadran B (Keep up the good work)
Kuadran B adalah wilayah yang memuat faktor-faktor yang dianggap penting oleh pengguna jasa dan faktor yang dirasakan relatif tinggi (Kurniawan, 2021).
Kuadran C (Low priority)
Pada kuadran ini memuat faktor yang dianggap masih kurang penting oleh pengguna jasa dan pada kenyataannya kinerja tidak terlalu istimewa karena manfaat yang dirasakan pengguna jasa sangat kecil atau hampir tidak terasa (Kurniawan, 2021).
Kuadran D (Possible Overkill)
Kuadran ini merupakan kuadran yang memuat faktor yang dianggap kurang penting oleh pengguna jasa dan dirasa teralu berlebihan. Maka dari itu, yang termasuk dalam kuadran ini dapat dikurangi untuk mengurangi biaya perusahaan (Kurniawan, 2021).
2.7 Kebaruan Penelitian
Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian Lokasi Penelitian
Rancangan
Penelitian Indikator Pengumpulan
Data Putra, et
al (2020)
Tingkat Kepuasan Pasien Swamedikasi terhadap Pelayanan Informasi Obat di Apotek Pesisir Surabaya Timur
Mengetahui tingkat kepuasan responden swamedikasi terhadap pelayanan informasi obat Apotek di daerah Pesisir Surabaya Timur
Apotek Pesisir Surabaya Timur
Deskriptif Analisis
1.Petugas menyampaikan tentang efek samping yang timbul setelah minum obat
2. Petugas memberikan peragaan obat tanpa responden harus meminta
3. Petugas bersikap ramah serta sopan dalam memberikan informasi obat
4. Tersedianya informasi obat dalam bentuk brosur 5.Adanya jaminan jika terjadi kesalahan dalam pelayanan informasi obat
Kuesioner, tahun 2018
Juwita et al (2019)
Kajian Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan Kefarmasian di Apotek Rawat Jalan RSUP DR. M. Djamil Padang
Mengetahui tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di apotek rawat jalan RSUP DR. M. Djamil Padang
Apotek rawat jalan RSUP DR.
M. Djamil Padang
Deskriptif Analisis
1.Penampilan Apotik menarik dan sesuai dengan fungsinya
2.Kemampuan petugas apotek dalam memberikan pelayanan
3. Pelayanan yang diberikan oleh Apotik secara keseluruhan.
4. Kepedulian yang ditunjukkan Apoteker terhadap kondisi kesehatan Anda
5. Waktu konsultasi yang disediakan Apoteker untuk Anda.
Kuesioner, tahun 2015
Lanjutan dari Halaman 17
Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian Lokasi Penelitian
Rancangan
Penelitian Indikator Pengumpulan
Data Fransiska,
H A
(2020)
Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Swamedikasi Terhadap Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Apotek di Kelurahan Mojolangu
Kecamatan Lowokwaru Kota Malang
Menganalisis tingkat kepuasan pasien swamedikasi terhadap mutu pelayanan kefarmasian di apotek wilayah Mojolangu, Malang
Apotek Kelurahan Mojolangu Kecamatan Lowokwaru Kota Malang
Deskriptif Analisis
1.Apotek cepat tanggap dalam melayani pasien 2. Petugas Apotek memberikan informasi dengan jelas dan bahasa yang mudah dimengerti
3. Obat yang saya cari di apotek ini selalu ada 4.Terdapat ruang tunggu yang nyaman 5. Petugas apotek melayani dengan sopan
Kuesioner tahun 2020