AN ANALYSIS OF THE SUSTAINABILITY OF Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty SEAWEED CULTIVATION IN BINAMU DISTRICT
OF JENEPONTO REGENCY
NUR RAHMAH YUSUF P03 032 10 004
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Disusun dan diajukan oleh
NUR RAHMAH YUSUF
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
Kappaphycus alvarezi (Doty) Doty DI KECAMATAN BINAMU KABUPATEN JENEPONTO
Disusun dan diajukan oleh
NUR RAHMAH YUSUF Nomor Pokok P0303210004
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal 14 Maret 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui Komisi Penasihat,
Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, M.S. Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si.
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Pengelolaan Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Mursalim, M.Sc.
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama : NUR RAHMAH YUSUF
Nomor mahasiswa : P0303210004
Program studi : Pengelolaan Lingkungan Hidup Konsentrasi : Manajemen Lingkungan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini yang berjudul “Analisis Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty di Kecamatan Binamu kabupaten Jeneponto”, benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, Maret 2013 Yang menyatakan
NUR RAHMAH YUSUF
iv PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan kehendak-Nya penelitian dan penyusunan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
Hasil penelitian yang tertuang dalam tesis ini bertujuan untuk mengetahui Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan kegiatan budidaya rumput laut kedepannya dengan melihat atribut-atribut sensitif tiap dimensi.
Pelaksanaan penelitian yang dimulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, analisis di laboratorium, pengolahan data hingga tersusunnya tesis ini, telah melalui proses yang cukup panjang dan tidak sedikit kendala yang dihadapi, namun berkat arahan dan bantuan berbagai pihak akhirnya tesis ini dapat terselesaikan penyusunannya.
Untuk itu penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MS. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si., yang telah banyak memberikan arahan, saran dan dorongan yang bersifat membangun mulai dari penulisan proposal penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan pula kepada Tim Penilai/Penguji Bapak Prof. Dr. Ir. Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc., Dr. Ir. M. Farid Samawi, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Didi Rukmana, MS., yang telah menilai, mengoreksi, dan memberikan masukan serta saran perbaikan mulai dari penulisan proposal penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini.
Pada pelaksanaan penelitian di lapangan dapat berjalan dengan baik berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu teriring ucapan terima kasih kepada Bapak Lahaming dan rekan-rekan di Pabiringa atas partisipasinya menjadi responden penulis. Bapak Syudaha, S.Pi., Kak Amir dan rekan- rekan di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jeneponto atas informasi dan kerjasamanya. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Kepada keluarga Bapak H. Abdullah, S.H dan keluarga yang memberikan tempat tinggal selama penelitian. Teman-teman seangkatan PLH 2010 baik yang telah lebih dahulu merampungkan studinya maupun sementara berjuang menyelesaikan bersama penulis.
v
Kepada Ayahanda Drs. H.M. Yusuf Muntu, M.Si. dan Ibunda Hj.
Nurfaidah yang tak henti-hentinya mendoakan kesuksesan studi penulis, dari lubuk hati yang dalam kepersembahkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada Suami tercinta M. Sofyan Yusuf Hibai, S.T. dan adik-adikku M. Arif Yusuf, S.Pd., M.Pd., Sri Wahyuni Yulis, S.Pd., M.Pd., dan Sri Nurhidayah Yusuf, S.Kep. NS. Atas dorongan, doa dan harapannya untuk kesuksesan studi penulis.
Akhirnya penulis masih menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, walaupun demikian semoga hasil-hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi mereka yang memerlukannya.
Makassar, Maret 2013
Nur Rahmah Yusuf
vi
ABSTRAK
NUR RAHMAH YUSUF. Analisis Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto (dibimbing oleh A. Niartiningsih dan Chair Rani).
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi kesesuaian lahan/perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut, (2) menganalisis status keberlanjutan wilayah pesisir dengan lima dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan serta (3) mengindentifikasi faktor- faktor dan atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juli 2012 di wilayah pesisir Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto yang terdiri dari lima Kelurahan yakni Kelurahan Biringkassi, Kelurahan Pabiringa, Kelurahan Monro-monro, Kelurahan Sidenre dan Kelurahan Empoang Selatan.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah eksploratif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan dokumen dari beberapa instasi terkait dengan penelitian. Sedangkan, data primer didapatkan melalui observasi, pengukuran langsung dilapangan maupun analisa di laboratorium dan hasil pendapat para pakar (wawancara langsung).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan yang potensial untuk kegiatan budidaya rumput laut seluas 1264.53 Ha, dan telah dimanfaatkan seluas 519.82 Ha. tingkat keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut saai ini berada dalam kategori cukup berkelanjutan. Dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya dan kelembagaan berstatus cukup berkelanjutan, kecuali dimensi teknologi berada dalam status kurang berkelanjutan.
Sebanyak 14 atribut dari 35 atribut yang sensitif berpengaruh atau perlu diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu.
Kata kunci: rumput laut, indeks keberlanjutan, status keberlanjutan
vii ABSTRACT
NUR RAHMAH YUSUF. An Analysis of the Sustainability of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty Seaweed Cultivation in Binamu District of Jeneponto Regency (supervised by A. Niartiningsih and Chair Rani).
This study aims to (1) evaluate the suitability of the sea area for the cultivation of seaweed, (2) analyze the status of the sustainability of the coastal region with 5 sustainability dimensions: ecological, economic, social and cultural, technological and institutional, and (3) identify sensitive factors and attributes affecting the sustainability of the seaweed cultivation activities.
The study was carried out in during May and July 2012 at the coastal region of Binamu District of Jeneponto Regency comprising five different villages: Biringkassi, Pabiringa, Monro-monro, Sidenre and Empoang Selatan Villages. The study used explorative method. It employed both primary data and the secondary data were obtained from bibliographical and documentary review and the primary data were gathered by means of observations, direct measurements in the field, laboratory analysis, and direct interviews with the expert.
The study reveals that the potential area for seaweed cultivation is 1264,53 hectares, and 519,82 hectares. the sustainability of seaweed cultivation activies are in the category of moderate. The ecological, economic, socio-cultural and institutional dimensions are in the sustainable status, except the technology dimension. As many as 14 attributes of 35 sensitive attributes have some effects on the sustainability of the seaweed cultivation activities, or rather needing to be intervened to increase the sustainability status of the seaweed cultivation activities in the district of Binamu.
Keywords: seaweed, sustainability index, sustainability status
viii
DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA
ABSTRAK ABSTRACT
iv vi vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xii xiv
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Kegunaan Penelitian 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 5
A. Konsep Pembangunan Berkelanjutan Di Wilayah Pesisir 5
B. Rumput Laut 11
C. Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput laut 18
D. Kerangka Pikir 21
III. METODE PENELITIAN 23
A. Waktu dan Lokasi Penelitian 23
B. Alat dan Bahan 24
C. Jenis dan Sumber Data 24
ix
D. Prosedur Penelitian 26
E. Defenisi Operasional 37
F. Bagan Alir Penelitian
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Administrasi dan Batas Geografi B. Iklim
C. Topografi D. Penduduk E. Sosial Ekonomi
F. Kegiatan Budidaya Rumput laut V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
B. Kondisi Fisika Kimia Oseanografi Perairan Binamu C. Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut
D. Kelayakan Ekonomi Kegiatan Budidaya Rumput Laut E. Analisis Keberlanjutan Kegiatan Budidaya Rumput laut Kappaphycus alvarezii Di Kecamatan Binamu
F. Strategi Pengelolaan Kegiatan Budidaya Rumput Laut VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
38 39 39 40 41 42 44 46 49 49 54 72 74 79
95 99 99 100 101
LAMPIRAN 105
x
DAFTAR TABEL
nomor halaman
1. Jenis dan sumber data rencana penelitian 25
2. Populasi dan sampel penelitian 27
3. Kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut
Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty, 1988 32 4. Luas wilayah kecamatan binamu menurut kelurahan tahun
2011 40
5 Jumalh penduduk dan tingkat kepadatan penduduk di Kelurahan Biringkassi, Pabiringa, Monro-monro, Sidenre dan Empoang Selatan Kecamatan
Binamu 43
6. Fasilitas dan tenaga kesehatan di Kecamatan Binamu 45 7. Deskripsi umur responden pembudidaya rumput laut di
Kecamatan Binamu 50
8. Deskripsi tingkat pendidikan responden pembudidaya
rumput laut di Kecamatan Binamu 51
9. Deskripsi pengalaman kerja responden pembudidaya
rumput laut di Kecamatan Binamu 52
10. Deskripsi jumlah tanggungan responden pembudidaya
rumput laut di Kecamatan Binamu 53
11. Deskripsi jumlah bentangan responden pembudidaya
rumput laut di Kecamatan Binamu 54
12. Kisaran parameter kimia fisika oseanografi di perairan
Kecamatan Binamu 55
13. Kesesuaian perairan budidaya rumput laut di lima
kelurahan Kecamatan Binamu 72
xi
14. Luasan potensial perairan budidaya rumput laut di lima
kelurahan Kecamatan binamu 74
14. Jenis dan jumlah rata-rata biaya investasi responden pada kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan
Binamu 76
15. Jenis, kisaran dan rata-rata biaya produksi responden pada kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan
Binamu 76
16. Jumlah, kisaran, rata-rata produksi dan pendapatan
responden dalam setahun setiap kelurahan 78 17. Nilai indeks dan status keberlanjutan kegiatan budidaya
rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty,
1988 tiap kelurahan di Kecamatan Binamu 93 18. Atribut-atribut sensitif dalam dimensi ekologi, ekonomi,
sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan tiap
keluarahan di Kecamatan Binamu 94
xii
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1. Morfologi Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty, 1988 13 2. Kerangka pikir analisis keberlanjutan budidaya rumput laut
di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto 22
3. Peta kecamatan binamu 23
4. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi kegiatan
budidaya rumput laut di kecamatan binamu 36
5. Bagan alir penelitian 38
6. Peta sebaran kecepatan arus di perairan Kecamatan
Binamu 57
7. Peta sebaran kecerahan perairan Kecamatan Binamu 58 8. Peta kedalaman perairan di Kecamatan Binamu 59 9. Peta sebaran salinitas di perairan Kecamatan Binamu 63 10. Peta sebaran suhu di perairan Kecamatan Binamu 64 11. Peta sebaran derajat keasaman di perairan Kecamatan
Binamu 65
12. Peta sebaran fosfat di perairan Kecamatan Binamu 68 13. Peta sebaran nitrat di perairan Kecamatan Binamu 69 14. Peta sebaran oksigen terlarut di perairan Kecamatan
Binamu 70
15. Peta kesesuaian perairan budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty, 1988 di
Kecamatan Binamu 73
16. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi dalam keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di
Kecamatan Binamu 80
xiii
17. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi dalam keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di
Kecamatan Binamu 82
18. Peran masing-masing atribut dimensi sosial budaya dalam keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di
Kecamatan Binamu 85
19. Peran masing-masing atribut dimensi teknologi dalam keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di
Kecamatan Binamu 88
20. Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan dalam keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di
Kecamatan Binamu 90
21. Diagram layang-layang nilai indeks keberlanjutan dari lima dimensi kegiatan budidaya rumput laut di wilayah
pesisir Kecamatan Binamu 91
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1. Kuesioner penelitian untuk masyarakat pembudiaya rumput
laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty, 1988 105 2. Identitas responden pembudidaya rumput laut di
Kecamatan Binamu 111
3. Jenis dan nilai biaya tetap produksi rumput laut di
Kecamatan Binamu 115
4. Jenis dan nilai biaya variable produksi rumput laut di
Kecamatan Binamu 123
5. Jumlah produksi rumput laut per ha di Kecamatan Binamu 126 6. Hasil pengukuran parameter fisika kimia oseanografi di
perairan Kecamatan Binamu 129
7. Nilai pembobotan kesesuaian perairan budidaya rumput
laut di Kecamatan Binamu 130
8. Skor dan atribut dari lima dimensi kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu Kabupaten
Jeneponto 129
9. Foto-foto di lokasi penelitian 134
10. Nilai indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi di
Kecamatan Binamu 135
11. Nilai indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi di
Kecamatan Binamu 137
12. Nilai indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi di
Kecamatan Binamu 139
xv
13. Nilai indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi di
Kecamatan Binamu 141
14. Nilai indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi di
Kecamatan Binamu 143
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan Kepulauan Nusantara yang terbentang dari ujung Sumatera sampai ke Papua. Dua per tiga dari luas wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis bagi bangsa dan negara Indonesia. Laut juga memberikan kehidupan secara langsung maupun tidak langsung bagi jutaan rakyat Indonesia.
Salah satu sumberdaya hayati laut yang cukup potensial adalah rumput laut atau dikenal dengan sebutan lain seaweeds, ganggang laut, atau agar-agar. Jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis dan sudah banyak dibudidayakan secara intensif di wilayah pesisir adalah jenis Kappaphycus alvarezii atau dikenal dengan Euchema cottonii.
Hasil proses ekstraksi rumput laut banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau sebagai bahan tambahan untuk industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil, kertas, cat dan lain-lain. Selain itu digunakan pula sebagai pupuk hijau dan komponen pakan ternak maupun ikan (Sujatmiko, 2003).
Kecamatan Binamu merupakan salah satu dari 11 Kecamatan di Kabupaten Jeneponto yang secara geografis berbatasan langsung
dengan Laut Flores, dan sebanyak 5 Kelurahan di Kecamatan ini merupakan daerah pesisir pantai sehingga masyarakat memanfaatkannya untuk budidaya rumput laut dan menjadikan Kabupaten Binamu sebagai penghasil rumput laut yang cukup potensial.
Kegiatan budidaya rumput laut berkembang seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan dan semakin mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan untuk mencari hasil laut.
Perkembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu bisa dilihat dengan luas areal budidaya dan jumlah produksi rumput laut yang terus meningkat, pada tahun 2009 luas areal budidaya 206 Ha dengan total produksi 1.316, 82 ton dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 3.392,3 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jeneponto, 2011).
Saat ini kegiatan budidaya rumput laut bukan lagi hanya sekedar pekerjaan sampingan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, akan tetapi telah menjadi salah satu mata pencaharian utama. Hasil penelitian Crawford (2002) di Sulawesi Utara dan Filipina, kegiatan budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil. Didukung dengan penelitian Azis (2011) di wilayah pesisir Kabupaten Bantaeng kegiatan budidaya rumput laut bahkan menjadi tumpuan harapan baru untuk memperbaiki kondisi ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan mereka yang selama ini identik dengan kemiskinan.
Kegiatan budidaya rumput laut K. alvarezii dipilih oleh masyarakat karena memiliki beberapa kelebihan antara lain masa panen yang relatif singkat yaitu 45 hari, tanpa menggunakan pupuk, mempunyai nilai ekonomi yang tinggi tanpa merusak lingkungan, budidaya mudah dan biaya rendah serta tersedianya pasar (Ma’ruf, 2005). Hal tersebut menyebabkan masyarakat memanfaatkan setiap jengkal wilayah pesisir di Kecamatan Binamu untuk kegiatan budidaya rumput laut sampai 3 km ke arah laut tanpa memperhitungkan azas kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan.
Apabila hal itu terus berlanjut, maka kemungkinan akan terjadi degradasi lingkungan yang bisa menurunkan produktivitas dan kualitas rumput laut yang dihasilkan. Sehingga kegiatan budidaya rumput laut ini yang menjadi tumpuan harapan baru bagi masyarakat pesisir di Kecamatan Binamu untuk meningkatkan kesejahteraannya bisa terancam keberlanjutannya. Karena itu penelitian tentang kesesuaian perairan perlu dilakukan serta mengkaji status keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian antara lain :
1. Bagaimana kondisi kesesuaian wilayah perairan untuk budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.
2. Bagaimana indeks dan status keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu.
3. Faktor dan atribut apa saja yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Mengevaluasi kesesuaian lahan/perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut.
2. Menganalisis status keberlanjutan wilayah pesisir dengan lima dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan.
3. Mengindentifikasi faktor-faktor dan atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat :
1. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pemerintah daerah dan instansi terkait di Kabupaten Jeneponto dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam pengembangan kegiatan budidaya rumput laut.
2. Sebagai bahan pembanding, pelengkap atau referensi bagi penelitian lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan pembangunan pesisir dan l autan secara teknis didefinisikan sebagai berikut: Suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia (terutama stakeholders) sedemikian rupa, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya (Dahuri 2001).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007 Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara Pemerintan dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan melalui laporan Our Common Future yang disiapkan oleh Commision on Environment and Development pada tahun 1987, yang dikenal pula dengan nama Bruntland Commision, karena diketuai oleh Gro Harlem Bruntland
perdana menteri Norwegia. Dalam laporan tersebut pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka ( Mitchell et al, 2010).
Menurut Budiharsono (2006 dalam Azis 2011) Dalam pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang lebih seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya alam. Adapun tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ke tiga dimensi yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi
dan seimbang (ecological balance).
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara garis besar memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik serta hukum-kelembagaan (Dahuri, 2001).
1. Dimensi ekologis. Terdapat tiga persyaratan yang menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu : (a) keharmonisan spasial; (b) kapasitas asimilasi; (c) pemanfaatan berkelanjutan.
Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan, tetapi harus dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi. Dimensi ekologis seperti ini, pada dasarnya menyajikan informasi daya dukung (kemampuan suplay) sistem alam wilayah pesisir dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia.
2. Dimensi sosial ekonomi. Secara sosial ekonomi, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama mereka yang termasuk ekonomi lemah, guna menjamin kelansungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri.
3. Dimensi sosial politik. Dalam hal ini, pembangunan berkelanjutan hanya akan dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik yang demokratis dan transparan ini, maka niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat daripada upaya pencegahan dan penanggulangannya.
4. Dimensi hukum dan kelembagaan. Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri dari setiap masyarakat untuk tidak merusak lingkungan. Persyaratan yang bersifat personal dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang- undangan yang berwibawa dan konsisten serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga dunia. Di sinilah peran sentuhan nilai-nilai keagamaan akan sangat berperan.
Secara umum penggunaan keberlanjutan terhadap barang dan jasa lingkungan tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan dimensi sosial dan ekonomi. Sedangkan, untuk budidaya rumput laut dimensi keberlanjutan dikembangkan menjadi lima dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan (Aziz, 2011).
Deskripsi atribut-atribut dari kelima dimensi di atas menurut Susilo (2003 dalam Aziz, 2011) diuraikan sebagai berikut :
Atribut ekologis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya, misalnya untuk kegiatan budidaya rumput laut dapat berkelanjutan pula. Sebab praktek pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukung akan mengarah kepada ketidakberlanjutan aktifitas tersebut. Tingkat esploitasi atau tekanan eksploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumber
daya tersebut. Tingkat pemanfaatan yang melebihi daya dukung lingkungannya akan membahayakan keberlanjutan sumberdaya tersebut yang ditandai dengan menurunnya produktifitas rumput laut dan timbulnya penyakit ice-ice. Karena itu penurunan produktifitas rumput laut dan penyakit ice-ice yang muncul dalam kondisi lingkungan yang jelek dapat dijadikan indikator ekologis negatif tentang keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Atribut ekonomis mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut yang pada akhirnya juga berdampak pada keberlanjutan secara ekologis. Suatu kegiatan yang menimbulkan kerugian secara ekonomis dikarenakan rendahnya produktifitas ataupun karena penyakit ice-ice, pasti tidak akan berlanjut.
Oleh karena itu, penurunan produktifitas dapat menjadi indikator dimensi ekonomi, juga penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Atribut sosial mencerminkan bagaimana kegiatan budidaya rumput laut berdampak terhadap keberlanjutan sosial budaya setempat yang pada akhirnya juga berdampak terhadap keberlanjutan ekologis. Pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat kesehatan yang baik, bekerja dalam kelompok mendorong kearah keadilan sosial dan kemudahan pengelolaan pemanfaatan yang mengarah ke keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat pendidikan dan kesehatan yang
baik serta tingkat kepadatan yang memadai pada akhirnya juga akan berpengaruh positif terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan (ekologis). Sebaliknya, frekuensi konflik yang tinggi dalam sektor yang sama maupun dengan sektor lain akan mengancam keberlanjutan sosial.
Atribut kelembagaan mencerminkan seberapa jauh tersedia perangkat kelembagaan dan hukum yang dapat mendorong keberlanjutan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya rumput laut. Tersedianya peraturan pemerintah, aturan adat dan agama/kepercayaan tentang pemanfaatan sumberdaya rumput laut, adanya lembaga yang memfasilitasi petani rumput laut dalam mengakses lembaga keuangan, informasi keuangan dan peningkatan kapabilitas, secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong keberlanjutan pemanfaatan sumber daya.
Karena kompleksitas permasalahan di wilayah pesisir cukup tinggi, maka alternatif yang sesuai untuk pengelolaan adalah pengelolaan secara terpadu. Sebaliknya pengelolaan secara sektoral hanya akan memperbesar ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya pesisir dan laut (Dahuri 2001). Berkaitan dengan pengembangan rumput laut di wilayah pesisir, maka pengelolaan yang dilaksanakan harus terpadu dengan sektor-sektor lain agar tidak saling mematikan sehingga pengembangan budidaya rumput laut dan berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan.
B. Rumput Laut
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan jenis rumput laut (algae). Pengkajian ilmiah mengenai rumput laut sudah dimulai oleh Rumphius (1750) di peraiaran Ambon. Pengkajian intensif dilaksanakan dalam Ekspedisi “Siboga” tahun 1899-1900 di perairan Indonesia bagian timur, di mana Weber van Bosse menemukan 782 jenis alga terdiri atas 179 alga hijau, 134 jenis alga coklat dan 452 jenis alga merah (Nontji, 1993).
Rumput laut merupakan salah satu komoditas sub-sektor perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi karena menghasilkan alginat, agar- agar dan karaginan. Alginat, agar-agar dan karaginan sangat bermanfaat dalam segala industri seperti indutri makanan, farmasi, kosmetik. Seiring dengan permintaan rumput laut yang terus meningkat baik untuk keperluan dalam negeri maupun untuk ekspor.
Rumput laut tergolong tumbuhan tingkat rendah atau ilmiahnya thallophyta. Keseluruhan tanaman ini merupakan batang yang dikenal
dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus ada yang tersusun oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (dua terus menerus), pinnate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi
thallus juga beraneka ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous),
keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Soegiarto et al, 1978)
1. Deskripsi Kappaphycus alvarezii
Menurut Ma’ruf (2002), jenis-jenis makroalga yang bersifat ekonomis dan mempunyai peluang untuk dikembangkan adalah rumput laut jenis karaginofit yaitu Eucheuma spinosum dan Eucheuma cottonii. Di Indonesia, rumput laut yang banyak dibudidayakan adalah E. Cottonii yang merupakan nama perdagangan dari Kappaphycus alvarezii yang mengandung karaginan kappa.
Menurut Verheij (1993), Doty (1985) klasifikasi dari Kappaphycus alvarezii adalah sebagai berikut :
Regnum : Plantae Divisio : Rhodophyta Classis : Rhodophyceae Order : Gigartinales Family : Solieracea Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma alvarezii Doty
Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty, 1988
K. alvarezii mempunyai thallus silindris, permukaan licin, lunak
seperti tulang rawan (cartilagenous), warna tidak selalu tetap, kadang- kadang berwarna hijau, hijau-kuning atau merah. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmaja et al, 1996)
Gambar 1. Morfologi Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty, 1988 Perkembangan rumput laut terjadi dengan cara vegetatif dan generatif melalui penyebaran spora dan gamet (gamet jantan dan betina) serta perbanyakan batang dan stek (Atmaja et al, 1996).
2. Kondisi Fisika, Biologi dan Kimia Lingkungan
Lokasi dan lahan budidaya untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. di wilayah pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi
oseanografi yang meliputi parameter lingkungan fisik, kimiawi dan biologi perairan (Puslitbangkan, 1991).
a. Kondisi Lingkungan Fisika
Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya maupun rumput laut dari pengaruh angin topan dan ombak yang kuat, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak sehingga diperairan teluk atau terbuka tetap terlindung oleh karang penghalang atau pulau didepannya untuk budidaya rumput laut (Puslitbangkan, 1991).
Dasar perairan yang paling baik untuk pertumbuhan K. alvarezii adalah yang stabil terdiri dari patahan karang mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta bebas lumpur, dengan gerakan air yang (arus) yang cukup 20-40 cm/dtk (Ditjenkan Budidaya, 2004).
Kedalaman air yang baik adalah antara 2 -15 meter pada saat surut terendah untuk metode apung. Hal ini akan menghindari rumput laut mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada waktu surut terendah dan memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari langsung pada waktu air pasang (Ditjenkan Budidaya, 2004).
Kenaikan temperatur yang tinggi menyebabkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan yang menjadikan rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 20-28 oC dengan fluktuasi harian 4 oC (Puslitbangkan, 1991).
Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 meter cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut (Puslitbangkan, 1991).
b. Kondisi Lingkungan Kimia
Rumput laut tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan
salinitas akibat air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut sebaiknya jauh dari mulut muara sungai. Salinitas yang dianjurkan adalah 28-35 ppt (Ditjenkan Budidaya, 2004).
Mengandung cukup makanan berupa makro dan mikro nutrien.
menurut Joshimura (1978 dalam BPP-PSPL 2009) bahwa kandungan fosfat sangat baik bila berada pada kisaran 0.10-0.20 mg/l sedangkan nitrat dalam kondisi berkecukupan biasanya
berada pada kisaran antara 0.01-0.7 mg/l. Dengan demikian demikian dapat dikatakan perairan tersebut mempunyai tingkat kesuburan yang baik dan dapat digunakan untuk kegiatan budidaya laut.
c. Kondisi lingkungan Biologi
Sebaiknya untuk perairan budidaya Eucheuma dipilih perairan
yang secara alami ditumbuhi oleh komunitas dari berbagai makro algae seperti dari Genus Ulva, Genus Caulerpa, Genus Padina,
Genus Hypnea dan lain-lain, dimana hal ini merupakan salah satu indikator bahwa perairan tersebut cocok untuk budidaya Eucheuma atau K. alvarezii. Selain itu sebaiknya bebas dari
hewan air yang bersifat herbivora terutama ikan Baronang (Siganus sp.), Penyu hijau (Chelonia mydas) dan Bulu Babi (Diadema setosum) yang dapat memakan tanaman budidaya (Puslitbangkan, 1991; Ditjenkan Budidaya 2004).
3. Metode Budidaya Rumput laut
Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya merubah kebiasaan masyarakat pesisir dari pengambilan sumberdaya alam yang tidak ramah lingkungan dan bersifat merusak ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan dan usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya, juga dapat mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai.
Dalam pembudidayaan rumput laut yang diperlu diperhatikan adalah kondisi perairan, dan persediaan material yang akan digunakan dalam pembuatan konstruksi seperti jaring, bambu, tali dan pengetahuan tentang kelebihan dan kelemahan setiap tipa metode yang digunakan.
Membudidayakan rumput laut di lapangan (field culture) dapat dilakukan dengan tiga macam metode berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan (Anggadiredja et al, 2006 ) :
a. Metode Lepas Dasar
Metode ini pada umumnya dilakukan dilokasi yang memiliki substrat dasar karang berpasir atau dengan pecahan karang dan terlindung dari hempasan gelombang, biasanya lokasi disekeliling dengan karang pemecah gelombang (barrier reef). Di samping itu lokasi untuk metode ini harus memiliki kedalaman sekitar 0,5 meter pada saat surut terendah dan 3 meter pada saat pasang tertinggi.
b. Metode Rakit Apung
Metode rakit apung merupakan budidaya rumput laut dengan cara mengikat rumput laut pada tali ris yang diikatkan pada rakit apung yang terbuat dari bambu. Satu unit rakit apung berukuran 2,5 x 5,0 meter yang dapat dirangkai menjadi satu dengan unit lainnya. Kedua ujung rangkaian diikat dengan tali yang ujungnya diberi pemberat atau jangkar agar rakit tidak hanyut oleh arus atau gelombang. Tanaman harus selalu berada di bawah permukaan air. Kelemahan dari metode ini adalah biaya produksi lebih tinggi dari metode lepas dasar, terutama untuk pembelian bambu
serta tali jangkar, sementara bambu lebih mudah rusak di bandingkan patol kayu pada metode lepas dasar.
c. Metode Rawai / Long line
Metode rawai atau metode long line merupakan cara yang paling banyak diminati petani rumput laut begitu pula dengan petani rumput laut di Kecamatan Binamu yang menggunakan metode ini, di samping fleksibel dalam pemilihan lokasi, biaya konstruksinya juga lebih murah dibandingkan dengan metode lainnya. Metode long line menggunakan tali panjang yang dibentangkan, pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar, setiap 25 meter diberi pelampung utama yang berupa drum plastik/styrofoam.
C. Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput laut
Pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan/perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut, klasifikasi kesesuian lahannya ditujukan untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, serta menjamin kegiatan budidaya rumput laut tersebut dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan, ditinjau dari ekologis, ekonomis, sosial, teknologi dan kelembagaan.
Proses penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut adalah membandingkan antara syarat-syarat penggunaan lahan pesisir. Oleh karena itu, perlu dijelaskan syarat-syarat penggunaan lahan (perairan) pesisir bagi peruntukan budidaya rumput laut. Syarat-syarat penggunaan
lahan tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang berbeda tergantung letak geografisnya (FAO, 1976 dalam Azis, 2011).
Hal yang harus diperhatikan untuk memulai budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang sesuai, terutama kesesuaian dari dimensi ekologi (Azis, 2011). Akan tetapi sangat sulit untuk menetapkan batas dari masing-masing faktor ekologi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan rumput laut yang optimal, karena faktor-faktor ekologis ini sangat bervariasi dari suatu daerah ke daerah lain. Faktor-faktor ekologi yang dimaksud antara lain :
a. Terdapat gerakan air yang berbentuk arus. Arus air berperan dalam membawa nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut dan membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel.
b. Perairan terlindung dari tiupan angin dan ombak yang terlalu keras.
c. Airnya jernih dengan kecerahan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan terhadap sinar matahari untuk proses fotosintesis bagi pertumbuhan rumput laut.
d. Pada saat surut terendah, masih tergenang air dengan kedalaman 30-60 cm agar rumput laut tidak mengalami kekeringan.
e. Dasar perairan terdiri dari pasir dan pecahan karang namun tidak ada endapan dan kotoran.
f. Tidak terdapat hewan-hewan pemangsa (ikan-ikan herbivora, penyu dan bulu babi)
g. Terdapat bentos, teripang, kerang-kerangan, algae dan lain-lain yang tumbuh dengan baik.
h. Perubahan kadar garam tidak terlalu besar.
i. Kaya akan nutrien.
j. Derajat keasaman air antara netral sampai agak basa (pH 7 – 8).
k. Bebas dari aliran pencemar.
Selain kesesuaian dari dimensi ekologi, penting juga diperhatikan kesesuaian dari dimensi lingkungan sosial ekonomi agar usaha rumput laut bisa optimal dan berkelanjutan. Adapun dimensi sosial ekonomi yang harus diperhatikan (Deptan DKI, 2001) antara lain :
1. Lokasi tersebut tidak termasuk dalam wilayah jalur pelayaran lalu lintas laut.
2. Lokasi tersebut tidak menjadi sengketa dengan kegunaan usaha lain.
3. Tersedia banyak tenaga kerja karena usaha budidaya rumput laut merupakan usaha yang padat karya.
4. Mudah terjangkau dengan alat transportasi.
Pemilihan lahan yang tidak sesuai akan berdampak pada berbagai dimensi yang saling terkait, yakni dari dimensi ekonomi akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan modal dan tingginya biaya operasional sedangkan dari dimensi ekologi, penurunan degradasi lingkungan akan menyebabkan menurunnya kualitas dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan begitu pula dari dimensi kelembagaan,
tersedianya lembaga akan dapat membantu para petani rumput laut dalam hal permodalan, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, adanya informasi pasar dan lain-lain akan berdampak terhadap pemanfaatan dan pengelolaan rumput laut yang berkelanjutan.
D. Kerangka Pikir
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif jika ditinjau dari berbagai macam peruntukannya dan segala sumber daya yang dimilikinya, seperti pemukiman, industri, pariwisata, perikanan tangkap dan perikanan budidaya, sehingga mampu memberikan alternatif pendapatan bagi masyarakat dan penyumbang devisa negara yang tidak sedikit.
Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kecamatan Binamu. Hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya luas areal budidaya dari tahun ke tahun dengan diiringi laju peningkatan produksi rumput laut tanpa memperhatikan unsur kesesuaian lahan yang akan mengakibatkan degradasi lahan, menurunnya produktivitas dan kualitas rumput laut dilihat dari aspek ekologi, akan mempengaruhi aspek ekonomi dan sosial dengan menurunnya tingkat pendapatan petani maka kesejahteraan keluarga juga akan ikut menurun.
Dalam pembangunan berkelanjutan difokuskan pada tiga dimensi yaitu, keberlanjutan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social
progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi
dan seimbang (ecological balance) Budiharsono (2006 dalam Aziz 2011).
Pada penelitian ini, tiga dimensi utama berkelanjutan tersebut di atas dikembangkan menjadi lima dimensi dengan menambah dua dimensi yaitu dimensi teknologi dan dimensi kelembagaan. Hal ini penting karena dalam keberlanjutan budidaya rumput laut dibutuhkan teknologi yang memadai yang didukung oleh kelembagaan petani yang kuat.
Gambar 2. Kerangka pikir analisis keberlanjutan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto
Kawasan Pesisir Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto
Sumberdaya Rumput laut
Analisis Kesesuaian Lahan/Perairan Budidaya Rumput
Laut
Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial
Analisis Keberlanjutan (Multi Dimensional Scalling)
Status Keberlanjutan
Budidaya Rumput Laut Kecamatan Binamu Ekologi Ekonomi Sosial
Budaya Teknologi Kelembagaan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juli 2012 di wilayah pesisir Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto yang terdiri dari lima Kelurahan yakni Kelurahan Biringkassi, Kelurahan Pabiringa, Kelurahan Monro-monro, Kelurahan Sidenre dan Kelurahan Empoang Selatan.
Gambar 3. Peta Kecamatan Binamu
Adapun analisis kandungan nutrien perairan dilaksanakan di Laboratorium Kualitas air Jurusan Perikanan. Pengolahan citra digital dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
B. Alat dan Bahan
1. Penentuan Parameter Lingkungan
Alat dan bahan yang digunakan untuk pengukuran parameter lingkungan berupa data fisika kimia oseanografi berupa kapal motor sebagai alat transportasi, GPS (Global Position System), kompas, stop watch, layang-layang arus, secchi disk, Water Quality Checker, botol
sampel, cool box, air laut, asam askorbik H3BO2, Brucine sulfat H2SO4, dan aquades
2. Data Pendukung
Data pendukung berupa data sekunder yakni : - Peta rupa bumi Indonesia
- Citra satelit Landsat-7 ETM tahun 2008
C. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan dokumen dari beberapa instasi terkait dengan penelitian. Sedangkan, data primer didapatkan melalui observasi, pengukuran langsung dilapangan maupun analisa di laboratorium dan hasil pendapat para pakar (wawancara langsung). Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang akan dijadikan responden, menggunakan kriteria seperti berikut : (a) mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; (b) memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya
dengan bidang yang dikaji; dan (c) memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia atau berada di lokasi yang dikaji.
Adapun rincian jenis dan sumber data seperti yang terlihat dalam Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Jenis dan sumber data dalam rencana penelitian
No Jenis Data Ragam Data Sumber Data
1. Kuantitatif Aspek Oceanografi
* Kedalaman Data Primer (in situ
* Oksigen Terlarut & Laboratorium)
* Salinitas In situ
* Suhu In situ
* Kecerahan In situ
* pH In situ
* Kecepatan arus In situ
* Substrat In situ
* Kekeruhan In situ
* Fosfat Laboratorium
* Nitrat Laboratorium
Aspek Ekologi
* Mutu dan ketersedianan Kuesioner &
bibit Wawancara
* Pertumbuhan R. Laut
* Luasan areal yang sesuai
* Keterlindungan
Observasi &
Wawancara
Aspek Ekonomi
* Kelayakan usaha
* Keuntungan
* Pendapatan petani
* Sistem permintaan pasar
(Domestik dan Ekspor)
Citra Satelit Landsat-7 ETM Tahun 2008
Data Sekunder (BPPT) Peta
* Peta Rupa bumi Data Sekunder
* Peta administrasi (Bakosurtanal)
* Peta batimetri
No Jenis Data Ragam Data Sumber Data 2. Kualitatif Aspek Sosial-budaya Kuesioner &
* Tingkat pendidikan Wawancara
* Jumlah RT petani
* Sistem sosial dalam
pengelolaan budidaya RL
* Kemandirian petani
* Partisipasi keluarga
* Sosialisasi pekerjaan
* Alternatif usaha
* Pemberdayaan masy.
Aspek Teknologi
* Sarana dan prasarana
* Standarisasi mutu
* Teknologi pengolahan
* Keterseedian informasi RL
* Tingkat penguasaan
teknologi budidaya RL
Aspek Kelembagaan
* Ada tidaknya kelompok tani * Zonasi peruntukan perairan
* Ketersediaan Perda
* Ketersediaan hukum adat/
agama
* Adanya tokoh masyarakat
* Ada tidaknya lembaga
keuangan/sosial
Pustaka yang terkait dengan Data Sekunder
penelitian ini (Instansi terkait)
D. Prosedur Penelitian 1. Penentuan Stasiun
Penelitian ini dilakukan di Lima Kelurahan yang berbatasan langsung dengan Laut Flores, yang sebagian besar masyarakatnya melakukan kegiatan budidaya rumput laut K. alvarezii. Pengukuran parameter lingkungan dan kualitas air (dimensi ekologi) dilakukan
sepanjang perairan wilayah pesisir Binamu sebanyak 20 titik sampling (Gambar 2). Penentuan titik pengambilan sampling dilakukan mengacu pada fisiografi lokasi, agar sedapat mungkin bisa mewakili atau menggambarkan keadaan perairan tersebut. Koordinat pengambilan sampel dicatat dengan bantuan Global Positioning System (GPS).
2. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah masyarakat pesisir yang bekerja sebagai petani rumput laut yang tinggal dan menetap di lima Kelurahan di Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto dan penyuluh perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Binamu Kabupaten jeneponto.
Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode proporsional random sampling dengan mengambil sampel sebesar 20% dari jumlah populasi target penelitian (Arikunto, 2002 dalam Marlina 2009). Adapun distribusi populasi dan sampel penelitian
yang dilakukan secara proporsional random sampling seperti yang terlihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Populasi dan sampel penelitian
Nama Kelurahan
Jumlah Petani Rumput Laut
Sampel penelitian (20% dari populasi target penelitian)
Biringkassi 229 45
Pabiringa 128 25
Monro-monro 32 6
Sidenre 127 25
Empoang Selatan 83 16
Total 117
Jumlah populasi pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jeneponto berjumlah 45 orang sehingga jumlah sampel adalah 9 orang pada instansi ini. Jadi, total keseluruhan responden adalah 126 orang.
Data untuk aspek ekologi diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan dan dari masyarakat pembudidaya rumput laut, sedangkan data ekonomi dan sosial-budaya juga diperoleh dari masyarakat pembudidaya rumput laut. Data untuk aspek teknologi dan kelembagaan diperoleh dari masyarakat dan penyuluh Dinas Perikanan setempat.
3. Pengambilan Data Lapangan
Pengambilan data lapangan ini dilakukan untuk menganalisis kesesuaian perairan dan dimensi ekologi, adapun parameter fisika-kimia oceanografi yang diukur serta cara menganalisisnya sebagai berikut :
a. Kecepatan arus
Kecepatan arus diukur dengan menggunakan layang-layang arus (drift float) dan stop watch, sedangkan arah arus diperoleh dengan menggunakan kompas. Besarnya kecepatan arus dihitung dengan menggunakan rumus (Modul praktikum fisika oceanografi, 2008) :
t
s V
Dimana V = Kecepatan arus (m/dtk) s = Jarak/ panjang tali (meter) t = Waktu yang ditempuh tali (detik)
b. Kecerahan
Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disk yang diikat dengan tali kemudian diturunkan perlahan ke dalam perairan hingga tidak terlihat lagi. Kedalaman pada saat secchi disk tidak terlihat ditambah pada saat secchi disk mulai tampak pada saat ditarik kemudian dibagi dua. Data kecerahan yang dihasilkan dalam skala sentimeter kemudian dikonversikan kedalam nilai persen kecerahan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐾𝑒𝑐𝑒𝑟𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑟𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 =𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑒𝑐𝑒𝑟𝑎ℎ𝑎𝑛 (𝑐𝑚)
𝐾𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 (𝑐𝑚) 𝑥 100%
c. Kedalaman
Pengukuran kedalaman dilakukan dengan menggunakan tiang berskala yang ditenggelamkan hingga menyentuh dasar perairan dan mencatat skala yang ditunjukkan oleh muka air laut.
d. Kekeruhan
Kekeruhan air diukur dengan menggunakan turbidimeter. Sampel air yan diukur disimpan dalam botol gelap, hal ini untuk mencegah berkembangbiaknya organisme yang akan mempengaruhi tingkat kekeruhan sebelum dan sesudah pengambilan sampel air laut.
e. Kandungan Nitrat dan Fosfat
Sampel air untuk analisis kadar nitrat dan fosfat diambil pada kedalaman satu meter di bawah permukaan air, kemudian dimasukkan kedalam botol sampel untuk selanjutnya dianalisis
menggunakan spektrofotometer. Analisa nitrat dilakukan dengan mengacu SNI 19-6964.7-2003 tentang cara uji nitrat (NO3-N) dengan reduksi kadmium secara spektrofotometri dan analisa fosfat dengan mengacu SNI 06-6989.31-2005 tentang cara uji fosfat dengan spektrofotometer secara asam askorbat.
Untuk mendapatkan nilai keterlindungan dan hama/hewan herbivora dilakukan dengan cara observasi langsung dilapangan dan wawancara. Terbuka apabila tidak ada pulau atau karang penghalang di depan lokasi untuk budidaya rumput laut.
4. Analisis Data
a. Analisis Kesesuaian Lahan/Perairan
Prosedur penilaian tingkat kesesuaian lahan/perairan budidaya rumput laut pada penelitian ini meliputi 2 metode yaitu : (1) matrik kesesuaian dan (2) pembobotan.
1. Matrik Kesesuaian
Metode ini mengadopsi teknik analisis kesesuaian lahan yang dikembangkan FAO (1982) dalam Deptan (1990). Pada metode ini setiap variabel/kriteria penetapan kesesuaian diberi nilai dalam 3 kelas, yang didefenisikan sebagai berikut :
SS = Sangat Sesuai (Highly Suitable) S = Sesuai (Suitable)
TS = Tidak Sesuai (Not Suitable)
2. Pembobotan dan penghitungan (scoring)
Metode skoring dengan menggunakan pembobotan untuk setiap parameter dikarenakan setiap parameter memiliki andil yang berbeda dalam menunjang kehidupan komoditas. Parameter yang memiliki peran yang besar akan mendapatkan nilai lebih besar dari parameter yang tidak memiliki dampak yang besar. Jumlah total dari semua bobot parameter adalah 100 (Tabel 3).
Penghitungan kesesuaian perairan dilakukan dengan mengalikan bobot dengan skor, untuk sangat sesuia (skor 3), sesuai (skor 2) dan tidak sesuai (skor 1). Hasil perkalian bobot dan skor tertinggi adalah 300, sedangkan nilai perkalian terendah adalah 100. Untuk perkalian bobot dengan skor berkisar antara >250 - 300 termasuk kategori sangat sesuai (SS), sedangkan perkalian bobot dengan skor berkisar antara >150 – 250 termasuk kategori sesuai (S), sementara itu perkalian bobot dengan skor yang memiliki nilai <150 termasuk kategori tidak sesuai (TS).
Penentuan kesesuaian perairan didasarkan melalui pendekatan analisis keruangan dengan Sistem Informasi Geografis menggunakan software Arc View Version 3.3. Dalam peta ditampilkan lokasi dan tingkat kesesuaian perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut dalam skala 1 : 75.000.
Tabel 3. Kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut Kappaphycus Alvarezii (Doty) Doty, 1988
Parameter Bobot SS S TS
Skor (3) Skor (2) Skor (1) Keterlindungan 10 Terlindungi Kurang Terbuka
terlindungi
Kedalaman
perairan (m) 5 4 - 6 1 - 4 <1 - >6
Oksigen terlarut
(mg/l) 10 > 6 4 - 6 <4
Salinitas (‰) 10 28 - 35 18 - 28 <18 atau >28 Suhu (oC) 5 27 - 30 20 - 26 <26 atau >30
Kecerahan (%) 10 >75 50 - 75 <25
pH 5 7 - 8.5 8.5 - 8.7 <7
Kecepatan arus
(m/dtk) 10 0.20 - 0.30 0.30 - 0.40 <0.20 atau
>0.40 Dasar
perairan/substrat 5 Karang/Keras Pasir/Lumpur Lumpur
Kekeruhan (NTU) 5 <10 10- 40 > 40
Fosfat (ppm) 10 0.02- 1.0 1.0 - 2.0 <0.01 - >2.0 Nitrat (ppm) 10 0.9 - 3.0
0.1 - <0.9 atau 3.0 - 3.5
<0.1 - >3.5 Hama/hewan
herbivora 5 Tidak ada Tergantung
musim
Sepanjang musim
Total 100
Sumber : Aslan (1998), Sulistijo (1996), Anggadiredja et al (2006), Indriani &
Suminarsih (2003), LPPM-ITB dan Ditjenkan Budidaya (2004)
b. Analisis Keberlanjutan Kegiatan Budidaya Rumput Laut
Keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut dianalisis secara statistic multivariate dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS).
Analisis keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut K. alvarezii ini
ditujukan untuk mengetahui kemungkinan keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut K. alvarezii untuk pemanfaatan yang optimal.
Keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut dianalisis dengan mengunakan metode RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for Fisheries), untuk menilai status keberlanjutan budidaya rumput laut.
Dalam pengunaan Rapfish dilakukan pemilihan atribut dari berbagai dimensi yang merupakan representasi terbaik bagi peluang keberlanjutan dari masing-masing dimensi yang menjadi fokus analisis.
Penentuan atribut pengembangan kegiatan budidaya rumput laut pada setiap dimensi dipilih beberapa atribut yang mewakili dimensi yang bersangkutan untuk selanjutnya digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan dari dimensi tersebut. Atribut pada setiap dimensi memang sangat banyak tetapi untuk memudahkan analisis selanjutnya akan dipilih yang benar-benar secara kuat mewakili dimensi tersebut, tidak tumpang tindih dengan atribut yang lain dan mudah mendapatkan datanya.
Adapun atribut-atribut dari setiap dimensi yang akan digunakan untuk menilai keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut adalah sebagai berikut (adaptasi dari Charles ,2001; Hartono et al, 2005):
a. Dimensi Ekologi
- Kualitas lingkungan
- Mutu bibit dan pertumbuhan rumput laut - Luasan areal yang sesuai
b. Dimensi Ekonomi - Keuntungan
- Pendapatan pembudidaya rumput laut - Sistem permintaan pasar
c. Dimensi Sosial Budaya
- Kualiatas SDM (tingkat pendidikan) - Penyerapan tenaga kerja
- Sistem sosial dalam pengelolaan budidaya rumput laut d. Dimensi Teknologi
- Tingkat penguasaan teknologi - Ketersediaan informasi rumput laut
- Ketersediaan industri pengolahan hasil rumput laut - Standarisasi mutu produk rumput laut
- Dukungan sarana dan prasarana e. Dimensi Kelembagaan
- Lembaga ekonomi/sosial yang ada - Adanya kelompok petani rumput laut
- Ketersediaan perda/aturan adat/kepercayaan/agama - Adanya tokoh masyarakat yang disegani
- Zonasi peruntukan lahan/perairan
Penilaian (scoring) setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap individu. Rapfish didesain secara objektif, transparan dan multidisiplin. Pengunaan metode ini biasanya untuk
melihat keberlanjutan suatu pengelolaan perikanan dengan menggunakan pendekatan top-down untuk evaluasi sistem perikanan (Adrianto et al, 2005).
Pada teknik Rapfish, skor yang diberikan berupa nilai “buruk” (bad) yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang tidak menguntungkan, nilai berikutnya adalah “baik” (good) yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang menguntungkan. Penyusunan indeks keberlanjutan berdasarkan indeks setiap dimensi dikategorikan menurut Kavanagh dan Pitcher (2004) sebagai berikut :
a. Nilai indeks 0 – 24,99 (kategori tidak berkelanjutan) b. Nilai indeks 25 – 49,00 (kategori kurang berkelanjutan) c. Nilai indeks 50 – 74,99 (kategori cukup berkelanjutan) d. Nilai indeks 75 – 100 (kategori berkelanjutan)
Melalui metode MDS posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan vertikal. Posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50 maka sistem dapat dikatakan berkelanjutan, tetapi di bawah 50 maka dikatakan tidak berkelanjutan. Jika analisis dimensi ini sudah dilakukan maka analisis perbandingan antara dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (Gambar 4).
Gambar 4. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi kegiatan budidaya rumput laut di Kecamatan Binamu
c. Faktor dan Atribut Yang Sensitif Terhadap Keberlanjutan Kegiatan Budidaya
Analisis sensitivitas dapat memperlihatkan atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut dengan melihat perubahan bentuk Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu x. Semakin besar perubahan nilai
RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan kegiatan budidaya rumput laut.
Dalam analisis tersebut akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena pemahaman terhadap atribut atau kondisi lapangan yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau ada data yang hilang, dan tingginya nilai stres (nilai stres dapat