• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Tilang Elektronik a. Pengertian Tilang Elektronik Bukti pelanggaran atau disingkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Tilang Elektronik a. Pengertian Tilang Elektronik Bukti pelanggaran atau disingkat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Tilang Elektronik

a. Pengertian Tilang Elektronik

Bukti pelanggaran atau disingkat Tilang adalah denda yang dikenakan oleh Polisi kepada pengguna jalan yang melanggar peraturan.

Para pengguna jalan seringkali melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Lalu Lintas. Tilang diharapkan mampu menangani permasalahan berlalu lintas (Junef Muhar, 2014:58).

Perkembangan kemajuan teknologi yang dimanfaatkan untuk menggantikan tugas-tugas atau kehadiran Polisi di lapangan. Model yang diterapkan adalah E-TLE, yaitu penindakan langsung pelanggaran lalu lintas secara elektronik. Istilah tilang elektronik bermakna dengan memanfaatkan CCTV yang disambungkan ke dalam sistem administrasi yang kemudian bermuara pada sistem Tilang Elektronik. Proses penegakan hukum ini mengurangi kehadiran petugas Polisi Satuan Lalu Lintas di lapangan.

Tilang Elektronik merupakan digitalisasi pembayaran tilang melalui elektronik. Diharapkan dengan proses Tilang Elektronik masalah penyelesaian tilang tidak lagi melalui proses yang panjang dan disinyalir dapat menghilangkan praktik penyelenggaraan wewenang aparat penegak hukum. Tilang Elektronik memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar untuk menitipkan denda langsung ke bank dengan fasilitas yang dimiliki, melalui e-banking, ATM atau datang ke teller bank.

Pengendara diwajibkan untuk membayar denda sesuai dengan pasal yang dilanggar. Jika sudah dibayarkan, petugas dari Kepolisian yang menilang akan menerima notifikasi di ponselnya. Pelanggar dapat menebus surat yang disitanya langsung dengan cukup menyerahkan tanda bukti bayar.

Aplikasi Tilang Elektronik telah terintegrasi dengan pengadilan dan kejaksaan. Hakim akan memberi putusan dan jaksa akan mengeksekusi

(2)

15

putusan itu, biasanya dalam waktu seminggu hingga dua minggu (Koran Kompas tanggal 14 Desember 2016).

Dalam bentuknya yang paling sederhana, sistem CCTV terdiri dari kamera video, monitor dan perekam. Sistem multi kamera memungkinkan gambar untuk dilihat secara beruntutan, secara bersamaan atau pada beberapa monitor sekaligus, tergantung pada sistem. Sistem CCTV dapat merekam hitam dan putih atau warna dan posisi kamera dapat baik tetap atau bervariasi oleh remote control untuk focus pada aktivitas di lokasi yang berbeda. Lensa zoom memungkinkan pandangan luas dari area yang dipantau atau close-up yang dipilih. Selain itu, kemajuan teknologi memungkinkan kamera CCTV untuk menjadi lebih kecil, untuk menggunakan Night Vision, dan untuk mengirimkan

gambar melalui internet

(http://www.securitygateway.com/page.asp?c=factscctv diakses pada tanggal 1 Januari 2019 pukul 09.00 WIB).

Pasal 272 Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, dapat digunakan peralatan elektronik. Hasil penggunaan peralatan elektronik ini dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Peralatan elektronik adalah alat perekam kejadian untuk menyimpan informasi.

Mengenai apa yang tertulis di pasal 272 Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan dan Angkutan Jalan, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaran Bermotor di Jalan Dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur bahwa penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di dasarkan atas hasil :

a) Temuan dalam proses pemeriksaan kendaraan;

b) Laporan;dan/atau

c) Rekaman peralatan elektronik (Syeni Rakhmadani, 2017:664).

(3)

16

Seringkali didengar apabila seseorang melanggar peraturan ataupun tata tertib maka orang tersebut akan dikenakan sanksi. Sanksi diberikan sebagai hukuman atas apa yang telah dilakukan seseorang dalam hal melanggar aturan atau tata tertib (Sudikno Mertokusumo, 2007:76), menyebutkan sanksi tidak lain merupakan reaksi, akibat atau konsekuensi pelanggaran terhadap kaidah sosial. Dalam berlalu lintas para pengguna kendaran sering kali melakukan pelanggaran atas aturan atau tata tertib yang telah ditetapkan. Sanksi yang diberikan, yaitu berupa bukti tilang atau yang lebih dikenal dengan istilah tilang. Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi kini tilang telah mengunakan sistem elektronik berbasis CCTV atau yang dikenal dengan istilah E-TLE.

E-TLE yang merupakan digitalisasi proses tilang, dengan memanfaatkan teknologi, yaitu kamera CCTV yang diharapkan seluruh proses tilang akan lebih efisien dan juga membantu pihak kepolisian dalam manajemen administrasi. Melalui sistem E-TLE ini, pelanggar dapat membayar denda sesuai apa yang dilanggar melalui rekening BRI Pelanggar. Setelah melakukan pembayaran denda tilang, pelanggar dapat langsung menunjukkan kepada petugas bahwa tilang sudah terbayar dan pelanggar dapat mengambil barang bukti tanpa harus mengikuti sidang tilang di Pengadilan.

b. Mekanisme Pelaksanaan Tilang Elektronik berbasis CCTV (E-TLE) Pelanggar yang terekam oleh CCTV ATCS Dinas Perhubungan, data rekam (foto) akan diidentifikasi Petugas melalui Smart Regident Centre (SRC). Data pelanggar berdasarkan data Kendaraan Bermotor (Nomor Registrasi) tersebut kemudian dikirim ke terduga pelanggar.

Setelah ditilang pelanggar akan mendapatkan nomor BRI Virtual Akun (BRIVA) atau kode BRIVA yang setelahnya akan digunakan pelanggar untuk membayar. Setelah pelanggar membayar, maka secara otomatis aplikasi pada petugas tilang akan berubah warna menjadi warna hijau.

Jika belum bayar, maka warnanya adalah warna biru. Setelah denda dibayarkan masyarakat dapat mengambil barang bukti yang disita ke

(4)

17

Kantor Kejaksaan setempat (http://korlantas.polri.go.id/prosedur-penerapan- e-tilang/ diakses pada tanggal 21 Maret 2018 pukul 12.30 WIB).

Implementasi E-TLE ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dan mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Tinjauan tentang Pelanggaran Lalu Lintas

Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang lebih dikenal dengan sebutan KUHP, pada dasarnya membedakan dua macam tindak pidana, yaitu yang dikenal dengan sebutan “kejahatan” dan “pelanggaran”. Diadakannya dua macam tindak pidana oleh pembentuk KUHP tersebut, menjadikan perbedaan di dalam tindak pidana yang dimaksud disini tidak hanya terletak dalam peraturannya, akan tetapi juga ada ancaman pidana atau sanksinya.

Untuk kejahatan, sanksi atau hukuman pidananya jauh lebih berat daripada ancaman pidana atau sanksi pelanggaran. Contoh misalnya untuk pidana mati, ancaman pidana atau sanksi pidana matinya hanya ada untuk tindak pidana kejahatan saja. Akan tetapi untuk tindak pidana pelanggaran tersebut di atas tidak dikenal. Maksudnya ancaman pidana mati itu tidak dikenal dalam tindak pidana pelanggaran. Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu termasuk kejahatan atau pelanggaran hukum, maka hal tersebut dapat dilihat dalam KUHP itu sendiri. Maksudnya apakah suatu perbuatan tersebut berarti, termasuk kejahatan, dan apabila diatur dalam KUHP perbuatan itu termasuk pelanggaran.

Pengertian pelanggaran yang dimaksud oleh beberapa sarjana, diantaranya adalah (Moeljatno, 2002:71) mengatakan bahwa: ”Pelanggaran adalah perbuatan–perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada Undang–Undang yang menentukan atau perbuatan yang sifatnya melawan hukum itu baru diketahui setelah adanya tindakan yang menentukan demikian (Moeljatno, 2002:72).

Wirjono Prodjodikoro (Prodjodikoro, 2000:28) mengatakan bahwa:

(5)

18

“Istilah pelanggaran sebenarnya merupakan suatu istilah yang diterjemahkan dari bahasa Belanda, yaitu dan istilah "Overtreding" dimana istilah perbuatan mengandung makna dan pengertian sebagai perbuatan yang melanggar sesuatu, dan berhubungan dengan hukum berarti tidak lain daripada perbuatan melanggar hukum.”

Van Bammelan dalam Prodjodikoro (Prodjodikoro, 2000:4) mengatakan bahwa: “perbedaan antara kedua golongan tindak pidana tersebut Kejahatan dan Pelanggaran adalah tidak bersifat kualitatif, melainkan umumnya dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran”.

Pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 adalah :

Setiap orang yang menggunakan jalan wajib:

1) Beperilaku tertib, dan/atau;

2) Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan.

Syarat yang harus dipenuhi seseorang sebagai pengemudi menurut Pasal 106 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah:

1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan konsentrasi;

2) Setiap orang mengemudikan kendaraan bermotor wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda;

3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan;

4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan wajib memenuhi ketentuan:

a) Rambu perintah atu rambu larangan;

b) Marka jalan;

c) Alat pemberi isyarat;

d) Gerakan lalu lintas;

e) Berhenti dan parkir;

f) Peringatan dengan bunyi dan sinar;

g) Kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau h) Tata cara penggandengan dan penempelan dengan

kendaraan lain.

(6)

19

Pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan, maka setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib menunjukkan:

1) Surat tanda nomor kendaraan bermotor atau surat tanda coba kendaraan bermotor;

2) Surat izin mengemudi;

3) Bukti lulus uji berkala; dan/atau 4) Tanda bukti lain yang sah.

Pelanggaran adalah secara sengaja atau lalai melakukan perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas. Pelaku pelanggaran bisa disebut human error. Pelanggaran lalu lintas adalah perbuatan atau tindakan manusia yang mengemudi kendaraan umum atau kendaraan bermotor juga pejalan kaki, yang berjalan umum dengan tidak mematuhi peraturan perundang-undangan lalu lintas yang berlaku. Pelanggaran Lalu Lintas adalah perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 33 Ayat (1) huruf a dan b, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 atau peraturan perundang-undangan lainnya (Naning Rondlon, 1983:19). Akibat dari pada jenis pelanggaran lalu lintas yang dirasakan oleh si pengemudi atau pemilik kendaraaan itu sendiri, misalnya terhadapnya dijatuhi hukuman denda atau hukuman kurungan sebagai pengganti apabila denda itu tidak dibayar.

Pengaturan mengenai ketentuan pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dalam Bab XIII dari Pasal 105 sampai dengan Pasal 106 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 terdiri dari jenis pelanggaran, yaitu:

1) Tindak pidana pelanggaran Lalu Lintas, yang terdiri dari beberapa jenis Pelanggaran antara lain:

a) Pelanggaran terhadap alat pemberi isyarat lalu lintas;

b) Pelanggaran terhadap marka;

c) Pelanggaran terhadap rambu-rambu lalu lintas;

d) Pelanggaran terhadap kecepatan maksimum dan minimum;

e) Pelanggaran terhadap persyaratan administratif pengemudi dan kendaraan;

f) Pelanggaran terhadap peringatan bunyi.

(7)

20

2) Tindak pidana pelanggaran angkutan jalan, yang terdiri dari beberapa jenis pelanggaran antara lain:

a) Pelanggaran terhadap persyaratan teknis layak jalan kendaraan;

b) Pelanggaran terhadap perizinan;

c) Pelanggaran terhadap berat muat kendaraan.

Berdasarkan penjelasan di atas menyatakan bahwa pelanggaran lalu lintas yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan merupakan pelanggaran yang dimungkinkan tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah saja melainkan Peraturan Daerah.

Tidak berlebihan bila dikatakatan bahwa hampir semua pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas penyebab utamanya adalah pengendara (Suwardjoko, 2002:109). Penyebab pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas juga dipertegas oleh pernyataan Hobbs penyebab pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas paling banyak disebabkan oleh manusia, yang mencakup psikologis manusia, sistim indra seperti penglihatan dan pendengaran, dan pengetahuan tentang tata cara lalu lintas. Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pura-pura tidak tahu.

Faktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah seharusnya diganti tetapi tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya. Faktor terakhir adalah faktor jalan, hal ini berhubungan dengan kecepatan rencana jalan, pagar pengaman di daerah pegunungan, ada tidaknya media jalan, dan jarak pandang serta kondisi permukaan jalan. Jalan yang rusak atau berlubang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda motor.

Faktor jalan juga dipertegas oleh pernyataan (Suwardjoko, 2002:114) dimana kondisi jalan dapat menjadi salah satu sebab terjadinya pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas seperti jalan rusak, tikungan jalan yang tajam,

(8)

21

tetapi faktor jalan dapat dikurangi dengan 13 (tiga belas) rekayasa jalan yang sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi tingkah laku para pengguna jalan dan mengurangi atau mencegah tindakan yang membahayakan keselamatan dalam berlalu lintas.

Diantara ketiga faktor tersebut, faktor manusia merupakan penyebab pelanggaran lalu lintas yang paling tinggi karena faktor manusia berkaitan erat dengan etika, tingkah laku, dan cara berkendara di jalan raya. Bentuk pelanggaran itu sendiri merupakan bagian dari kelalaian seseorang dalam bertindak dan mengambil keputusan yang tergesa-gesa.

Pasal 316 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pelanggaran lalu lintas dibagi atas dua, yaitu pelanggaran dan kejahatan. Dari kedua macam pelanggaran tersebut, pelanggaran yang digunakan untuk penelitian ini adalah pelanggaran yang tercantum pada Pasal 316 Ayat (1). Secara umum ketentuan-ketentuan dalam Pasal-Pasal pada Pasal 316 Ayat (1) tersebut merupakan indikator pelanggaran lalu lintas yang kemudian dapat Penulis menggolongkan menjadi jenis pelanggaran yang ringan, sedang ataukah berat. Pengklasifikasian tingkat pelanggaran tersebut didasarkan pada sanksi pidana dan jumlah denda yang ditanggung pelanggar.

Tabel 1.3. Klasifikasi Pelanggaran Lalu Lintas Menurut Ketentuan Pidana Rentangan Pidana Kategori/Interpretasi

6 bulan - 1 tahun keatas atau Rp 1.500.000,00 keatas

Pelanggaran Berat

3 bulan - 6 bulan atau Rp 750.000,00 - 1.500.000,00

Pelanggaran Sedang

15 hari - 3 bulan atau Rp100.000,00 - Rp 750.000,00

Pelanggaran Ringan

Sumber data diolah

(9)

22 3. Tinjauan tentang Kesalahan

Kesalahan (culpabilitas) merupakan asas yang mendasari pertanggungjawaban pidana. Asas kesalahan yang berdasarkan pada nilai keadilan disejajarkan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Hal-hal tertentu yang memungkinkan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liablility) . Kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf, sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu dipersalahkan (Barda Nawawi Arief, 2001: 23).

Kesalahan diartikan objektif, sebagai tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang dapat dikenai pada pelakunya. Dalam hukum pidana asas kesalahan merupakan asas fundamental. Semua ajaran penting dalam hukum pidana diresapi oleh asas kesalahan ini. Dasar mensahkan pidana (legitimate basis for punishment) untuk dapat dipidananya kejahatan, harus terdapat unsur kesengajaan (dolus) atau sekurang-kurangnya kealpaan (culpa) untuk menyimpulkan adanya kesalahan (Schaffmeister dkk, 1995: 82).

Unsur-unsur pada kesalahan, antara lain : 1) Melakukan perbuatan pidana

Dua orang yang melakukan perbuatan ada hubungan yang erat.

Dalam arti, tidak mungkin ada perbuatan pidana jika tidak ada orang yang melakukannya. Seseorang tidak mungkin dikenai pertanggungjawaban pidana dan tidak mungkin dijatuhi sanksi pidana apabila orang tersebut tidak melakukan perbuatan pidana tersebut.

Meskipun orang tersebut melakukan perbuatan pidana belum tentu juga dapat dipidana.

Pertanggungjawaban pidana tidak mungkin dapat dikenai jika tidak ada perbuatan yang dilakukannya. Bagaimana akan mempertanggungjawabkan seseorang, menarik ke persidangan apabila orang tersebut tidak melakukan seuatu perbuatan pidana? Apa posita yang akan diajukan sebagai hal yang mendasari untuk menuntut

(10)

23

pertanggungjawaban? Apa yang akan dipertanggungjawabkan?

Bukankah orang hanya dapat mempertanggungjawabkan atas suatu perbuatan atau kejadian yang dilakukannya? Bagaimana ini dapat terjadi jika perbuatan pidana tersebut tidak ada? (Roeslan Saleh, 1983: 134- 135).

2) Kemampuan bertanggung jawab

Menurut Moeljanto, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu :

a) Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, sesuai dengan hukum dan melawan hukum;

b) Kemampuan untuk menentukan adanya kehendak menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan pidana (Moeljatno, 2000: 165).

KUHP tidak mengatur adanya ketentuan tentang arti kemampuan dalam bertanggung jawab, yang berhubungan dengan hal tersebut dalam ketentuan Pasal 44 KUHP yang bunyinya :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP, maka dapat dikatakan orang yang telah melakukan perbuatan pidana tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena hal-hal disebutkan di dalam Pasal 44 KUHP tesebut, maka tidak dapat dipidana.

1) Kesengajaan

a) Pengertian tentang kesengajaan

Undang-Undang pidana yang berlaku lebih dahulu di Negeri Belanda, yaitu Criminal Wetboek pada tahun 1809, di dalam Pasal 11 dari Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa :

“Opzet is de wil om te doen of te laten die daden welke bij de wet geboden of verboden zijn.” Opzet adalah kehendak untuk melakukan

(11)

24

atau tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilarang atau diharuskan dalam Undang-Undang.” (Lamintang, 1997: 280).

b) Bentuk-bentuk kesengajaan

(1) Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)

Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk), si pelaku dapat dipertanggungjawabkan. Maka apabila kesengajaan ini ada pada suatu tindak pidana, maka tidak ada yang dapat menyangkal, bahwa si pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman pidana.

Dapat dikatakan, si pelaku menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan dikenainya ancaman hukuman pidana (Wirjono Prodjodikoro, 2002: 61-62).

(2) Kesengajaan secara keinsafan kepastian (Opzet bij Zekerheids-Berwustzijn)

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi si pelaku mengetahui akibat dari perbuatan pidana tersebut. Teori kehendak (wilstheorie) menganggap akibat yang dikehendaki oleh pelaku, maka kini juga ada kesenjangan. Menurut teori bayangan (voorstellling-theorie) keadaan ini sama dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk) oleh karena itu dalam keduanya tentang akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak dari pelaku bahwa akibat itu pasti terjadi, maka kini juga ada kesengajaan (Wirjono Prodjodikoro, 2002:

63).

(3) Kesengajaan secara keinsafan kemungkinan (Opzet bij Mogelijkheids bewustzijn)

Kesengajaan yang dilakukan secara terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian yang akan terjadi akibat dari yang bersangkutan melainkan hanya

(12)

25

dibayangkan pada suatu kemungkinan belaka akibat itu (Wirjono Prodjodikoro, 2002 :64).

c) Unsur-unsur kesengajaan

Kesengajaan mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, antara lain :

(1) Perbuatan yang dilarang;

(2) Akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu;

(3) Bahwa perbuatan itu melanggar hukum.

1) Kealpaan

a) Pengertian tentang “kealpaan”

Istilah kealpaan dalam doktrin disebut juga “schuld” dan dapat diartikan dalam Bahasa Indonesia sebagai “kesalahan”. Pengertian sempit yang dimaksud sebagai lawan dari opzet atau “kelalaian”

sebagai arti culpa juga digunakan, “karena salahnya” jadi diperlukan kehati-hatian dengan kata “schuld” karena jika diartikan dengan pengertian pada umumnya, akan mencakup pengertian opzet atau kesengajaan.

Simons, menerangkan kealpaan sebagai berikut :

“Umumnya kelapaan terjadi terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping itu dapat menduga akibat dari perbuatan tersebut. Meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan berhati-hati, masih dimungkinkan terjadi kealpaan, jika yang berbuat mengetahui bahwa dari perbuatan itu akan timbul suatu akibat yang dilarang Undang-Undang.”

Kealpaan, yaitu karena melakukan suatu perbuatan yang akibatnya sudah disadari. Sementara itu, hanya dapat dianggap adanya tanggung jawab tentang kealpaan, untuk melakukan perbuatan itu tidak ada alasan yang patut dan dibuat tidak hanya dapat menghindari akibat tersebut melainkan bagaimanapun juga harus mengelakkannya.

b) Bentuk-bentuk “kealpaan”

(13)

26

Kealpaan atau culpa pada umumnya selain pembagian atas culpa lata dan culpa levis juga dibedakan, diantaranya :

(1) Bewuste schuld (culpa dengan kesadaran)

Pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbul skibat, tetapi pelaku mencegah dan pada akhirnya timbul masalah.. Bewuste schuld (culpa dengan kesadaran) dengan dolu eventualis, dapat diketahui perbedaan dari pendapat Hazewinkel-Suringa sebagai berikut :

“Kealpaan dengan keadaran ini terdapat, kalau yang melakukan itu ingat akan yang berbahaya itu tetapi berani melakukan tindakan ingat akan berbahaya, tetapi tetap melakukan karena ia tidak yakin bahwa akibat itu akan terjadi dan ia akan bertindak demikian kalau ia yakin bahwa akibat itu akan timbul.”

(2) Onbewuste schuld (culpa tanpa kesadaran)

Pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbul suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seharusnya ia memperhitungnya timbulnya akibat.

c) Yurisprudensi tentang “kealpaan”

Hoge Raad mengemukakan pada tanggal 3 Januari 1934 yaitu :

“Mengendarai sebuah mobil, sedang ia tidak dapat memperhitungkan akibat-akibat yang timbul karena itu mengonsumsi alkohol berlebihan, telah berbuat lalai atau tidak hati- hati. Ia dapat dikenai pertanggungjawaban akibat yang timbul dari perbuatannya.” (Leden Merpaung, 1991: 28-34).

d) Unsur-unsur “kealpaan”

Tidak ada definisi yang jelas dalam KUHP apa arti dari kealpaan, maka para ahli memberikan doktrin diantaranya VOS yang menyatakan bahwa culpa mempunyai dua elemen yaitu :

(1) Mengadakan penduga-duga terhadap akibat bagi si pembuat;

Mengadakan penduga-duga terhadap akibat, berarti harus diletakkan adanya hubungan batin antara terdakwa dengan

(14)

27

akibat yang akan timbul, bahkan perlu dicari hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dengan akibat yang dilarang.

(2) Tidak mengadakan penghati-hatian mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat (Bambang Poernomo, 1993: 174).

Menurut ketentuan Pasal 359 KUHP, tindak pidana kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain, merupakan perbuatan yang dilakukan tidak dengan sengaja (tidak diinsyafi) dan kurang perhatiannya terhadap objek yang dilindungi oleh hukum, tidak melakukan kewajiban yang diharuskan oleh hukum, sebagai suatu jenis kesalahan menurut hukum pidana.

Delik culpa pada dasarnya merupakan delik bagi pembuatnya mempunyai tanggung jawab yang berdiri sendiri (Bambang Poernomo, 1993:178).

Ketentuan Pasal 360 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP pun demikian, perbuatan si pelaku tidak disengaja atau dalam arti karena alpa atau lalai atau kurang hati-hati yang menyebabkan orang lain mengalami luka berat dan luka ringan. Dengan demikian karena kealpaannya pun dapat dikenai sanksi pidana.

4. Tinjauan tentang Kecelakaan Lalu Lintas a. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan serta ada penyebabnya. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya kecelakaan harus ditemukan dan dianalisa agar dapat dilakukan korektif terhadap penyebab kejadian itu agar dapat dihindari.

Menurut Hobbs (1995) mengungkapkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit diprediksi tempat dan waktu kejadiannya.

Kecelakaan menyebabkan trauma, cedera ataupun kecacatan secara fisik tetapi juga kematian. Kasus kecelekaan sulit diminimalisir dan cenderung meningkat seiring pertambahan jalan dan jumlah kedaraan serta mobilitasnya (Suprapto T.M. dan Waldjino, 1995).

(15)

28

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pengertian kecelakaan lalu lintas, yaitu suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa pada lalu lintas jalan yang tidak terduga dan tidak diinginkan serta sulit diprediksi waktu dan tempat kejadiannya, sedikit melibatkan satu kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan cedera, trauma, kecacatan, kematian dan atau kerugian secara materiil pemiliknya (korban).

b. Penggolongan Kecelakaan Lalu Lintas

Berdasarkan Pasal 229 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, karakteristik kecelakaan lalu lintas dibagi menjadi tiga golongan, diantaranya :

1) Kecelakaan lalu lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan atau barang;

2) Kecelakaan lalu lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan atau barang;

3) Kecelakaan lalu lintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

c. Dampak Kecelakaan Lalu Lintas

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana Jalan Raya dan Lalu Lintas, dampak kecelakaan lalu lintas dapat diklasifikasikan berdasarkan kondisi korban menjadi tiga yaitu : 1) Meninggal dunia

Meninggal dunia adalah korban kecelakaan yang dipastikan meninggal dunia sebagai akibat dari kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari setelah terjadinya kecelakaan;

2) Luka Berat

(16)

29

Luka Berat adalah korban kecelakaan yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu lebih dari tiga puluh hari sejak terjadi kecelakaan. Kejadian dapat digolongan sebagai cacat tetap jika sesuatu anggota badan hilang atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya selama-lamanya.

3) Luka Ringan

Luka Ringan adalah korban kecelakaan yang mengalami luka- luka yang tidak memerlukan rawat inap atau harus dirawat inap di rumah sakit dari tiga puluh hari.

d. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas

Pengelompokkan faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan yaitu :

1) Faktor Manusia

Faktor manusia merupakan faktor yang dominan dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas. Ketidaktahuan atau ketidaksadaran pengemudi akan aturan menjadikannya melanggar. Menurut Hamzah, kesalahan pengemudi terjadi karena ketidakhati-hatian atau lalai mengendarai kendaraan. Dalam pandangan hukum pidana, kelalaian atau culpa terletak antara sengaja dan kebetulan. Culpa dinilai lebih ringan daripada sengaja. Hukuman dari akibat kelalaian diadakan pengurangan hukuman pidana (Andi Hamzah, 1994:125).

Hadiman mengatakan bahwa ada beberapa faktor dari pengemudi yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yaitu ;

a) Daya konsentrasi kurang baik;

b) Daya reaksi lamban;

c) Sikap mental yang kurang baik;

d) Kelelahan;

e) Mabuk atau minum-minuman keras;

f) Gangguan emosional;

g) Kelainan fisik;

(17)

30

h) Pelanggaran terhadap kecepatan atau peraturan lalu lintas;

i) Daya perkiraan yang buruk dalam mengambil keputusan segera dan tepat;

j) Kurang terampil;

k) Kesalahan saat mendahului atau didahului kendaraan lain (Hadiman, 1988:21-22)

2) Faktor Kendaraan

Kendaraan merupakan salah satu faktor yang terlibat dalam dinamika lalu lintas yang dikendalikan oleh manusia, interaksi antara manusia dan kendaraan menjadi satu kesatuan di jalan raya yang membutuhkan penanganan khusus baik terhadap pengetahuan, keterampilan dan mental pengguna jalan atau pengemudi maupun kesiapan (laik jalan) kendaraan bermotor tersebut untuk digunakan di jalan raya (Suwardjoko P. Warpani, 2002:111).

3) Faktor Jalan dan Lingkungan

Faktor ini berhubungan dengan kecepatan rencana jalan, pagar pengaman di daerah pegunungan, ada tidaknya media jalan, dan jarak pandang serta kondisi permukaan jalan. Jalan yang rusak atau berlubang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda motor. Faktor jalan juga dipertegas oleh pernyataan (Suwardjoko, 2002: 114)

(18)

31

a. B. Kerangka Pemikiran

b.

c.

d.

e.

f.

g.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penindakan Pelanggaran Lalu

Lintas

Electronic Traffic Law Enforcement

(E-TLE) Tilang

Konvensional Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

MOU Walikota dengan Kapolrestabes Semarang

Nomor:

MOU/19/XII/HUK.8.1.1./20 18 tanggal 30-11-2018

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan

Bermotor Pelanggaran Lalu Lintas

Tilang Elektronik (E-Tilang)

Kota Semarang Faktor-faktor yang

mempengaruhi

Kecelakaan Lalu Lintas

(19)

32 Keterangan:

Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian yang berjudul Penerapan Tilang Elektronik dan Implikasinya Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas (Studi di Kota Semarang).

Dalam hal ini terjadinya Pelanggaran Lalu Lintas terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas di Kota Semarang. Penindakan pelanggaran lalu lintas diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor, MOU

Walikota dengan Kapolrestabes Semarang Nomor:

MOU/19/XII/HUK.8.1.1./2018 tanggal 30 November 2018 yang dalam hal ini termuat adanya pemblokiran Surat Tanda Nomor Kendaraan apabila pelanggar tidak konfirmasi ke Posko Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Besar Semarang. Bukti Pelanggaran yang akan Penulis kaji adalah Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) yang pelanggarannya terekam melalui kamera Closed Circuit Television (CCTV) berdasarkan Area Traffic Control System (ATCS) Dinas Perhubungan Kota Semarang yang telah berlaku di Kota Semarang. Namun dalam tataran empiris, apa saja yang menjadi faktor terjadinya pelanggaran lalu lintas di Kota Semarang serta implikasi penerapan Tilang Elektronik (E-Tilang) terhadap Pelanggaran Lalu Lintas yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas di Kota Semarang.

Maka dari itu Penulis tertarik untuk mengulas lebih dalam mengenai penerapan Tilang Elektronik sebagai salah satu upaya penindakan pelanggaran lalu lintas untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas di Kota Semarang.

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan pada saat sekarang juga tidak memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penetapan dari gaji pokok yang seharusnya diterima oleh karyawan tersebut,

Kecamatan Basidondo dan Kecamatan Lampasio hingga saat ini, kedua kecamatan tersebut belum memperlihatkan kondisi ideal sebagai penghasil tanaman pangan dan perkebunan,

di atas terlihat bahwa filter pasif telah bekerja dalam meredam harmonisa ke-5 dengan frekuensi 250 Hz dan harmonisa ke-7 dengan frekuensi 350 Hz, dan juga dari hasil pengukuran

Penelitian yang dilakukan di Polres Kuningan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Novitasari (2008). Kebiasaan olahraga akan berpengaruh terhadap kadar

Jadi pengertian dari tata aturan tersebut ialah sebagai pengguna jalan dilarang untuk menunaikan perbuatan bisa mengganggu fungsi jalan seperti

Pada tahun 1977-an, proses penjadwalan biasanya diawali dengan lokakarya, dengan membahas hal-hal yang dianggap baru untuk dijadikan bahan materi pengajaran, sehingga dalam

tabungan dan pinjaman adalah rata-rata yang menjawab setuju sebesar 48%, rata-rata netral sebesar 29%, rata-rata yang menjawab sangat setuju adalah sebesar 17%.

Dari berbagai pengertian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelanggaran adalah suatu perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan