BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etnobotani
Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani adalah studi yang mempelajari tentang hubungan antara tumbuhan dengan manusia. Etnobotani, sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuwan bernama Dr.J.W Harshberger pada 1985. Ada lima kategori pemanfaatan tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari yaitu: (1) Pemanfaatan tumbuhan untuk bahan makanan (pangan) (2) Pemanfaatan tumbuhan untuk bahan bangunan (papan) (3) Pemanfaatan tumbuhan untuk obat-obatan (4) Pemanfaatan tumbuhan untuk upacara adat (5) Pemanfaatan tumbuhan untuk perkakas rumah tangga (Tamin & Arbain, 1995)
Ilmu etnobotani yang berkisar pada pemanfaatan tumbuh-tumbuhan untuk kemaslahatan orang di sekitarnya, pada aplikasinya mampu meningkatkan daya hidup manusia. Studi lanjutan dapat berfokus pada penggunaan spesifik (pangan/makanan, ekonomi, banyak manfaat, pakan ternak, buah-buahan, obat-obatan, dan kayu bakar,), atau bisa juga dengan mencoba mengumpulkan sejumlah informasi dilain musim, atau memilih tumbuhan spesifik, contohnya cara perkembangbiakan beberapa jenis tumbuhan liar untuk dibudidayakan. Ada berbagai hasil dari studi etnobotani yang dilakukan. Diskusi bersama masyarakat tentang tanaman lokal bisa memunculkan kembali nilai-nilai lama yang pernah didapatkan dari tanaman-tanaman tersebut, selanjutnya peserta bisa menyampaikan gagasan- gagasan lain tentang manfaat tanaman tertentu berdasarkan kearifan lokal. Berapa dari kita yang pernah tahu, kalau daun sambung nyawa yang biasa dikonsumsi sebagai lalapan, ternyata punya khasiat sebagai pencegah hipertensi. Itu baru satu contoh, lalu bagaimana dengan daun sirih, yang berfungsi sebagai bungkus kudapan menyirih nenek-nenek kita, ternyata juga menyimpan potensi untuk menyembuhkan rabun mata (Tamin & Arbain, 1995)
2.2 Metode dalam Etnobotani
Menurut Santhyami (2008) ada dua metode yang digunakan dalam penelitian etnobotani, yaitu:
a. Metode Observatif
Metoda ini melibatkan masyarakat sebagai pemandu dan informan kunci. Pengambilan data di lapangan menggunakan petak-petak permanen yang biasa dibuat dalam penelitian ekologi menurut cara Oosting (1960). Selanjutnya informan diminta untuk menginventarisasi seluruh jenis tanaman yang mereka kenal memiliki kegunaan. Setiap jenis yang mereka kenal diambil contoh herbarium atau “voucher spesiment” untuk identifikasi nama ilmiahnya. Dari data yang diperoleh kita menentukan nilai guna suatu jenis sumber daya, dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Merancang kepentingan atau manfaat suatu sumber daya sebagai manfaat utama atau tambahan.
2. Membagi sumberdaya kedalam kategori manfaat yang dikenal oleh masyarakat setempat dimana penelitian dilakukan.
b. Survey Eksploratif
Survey yaitu tindakan mengukur atau memperkirakan. Namun dalam penelitian survey lebih berarti sebagai suatu cara melakukan pengamatan di mana indikator mengenai variabel adalah jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan kepada responden baik secara lisan maupun tertulis. Tim akan membuat kuisioner untuk ditanyakan nantinya kepada informant atau warga masyarkat setempat. Pertanyaan dalam kuisioner berupa; cara mendapatkan tanaman, cara membudidayakan, dipakai
untuk apa saja tanaman tersebut, apakah juga untuk upacara adat dan alat-alat perkakas rumah tangga.
2.3. Asal-usul Suku Karo
Suku Karo atau juga disebut Batak Karo adalah suku asli yang mendiami dataran tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas (Martin, 2004).
Kerajaan Haru-Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan”. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang
berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan Haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut (Prinst, 2004).
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan lainnya (Prinst, 2004).
Suku Karo juga terdapat di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee.
Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya
“Aceh Sepanjang Abad”, (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara”
(1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo.
Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya
“Karo Sepanjang Zaman” mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka (Prinst, 2004).
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi “Kaum Lhee Reutoih” atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus. Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya (Prinst, 2004).
2.4. Masyarakat Karo
Menurut Pertampilan (2010) Suku Karo memilliki sistem kemasyarakatan atau adat
Karo disebut merga tersebut untuk anak laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru.
Marga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, kelima marga tersebut adalah: Karo-karo, Sembiring, Tarigan, Ginting, Perangin-angin.
Masyarakat Karo menggunakan berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bahan pangan, ramuan obat, bahan industri dan sudah lama tumbuhan digunakan dalam berbagai upacara adat kebudayaan. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan liar yang banyak tumbuh di perkebunan, ladang, tepi jalan, maupun kebun (Barus, 2010).
2.5. Tanaman Obat
Studi tanaman obat merupakan ilmu yang kompleks, dan dalam pelaksanaanya memerlukan pendekatan yang terpadu dari beberapa disiplin ilmu antara lain Taksonomi, Ekologi, Geografi tumbuhan, Pertanian, Sejarah, dan antropologi (Tamin & Arbain, 1995).
Melonjaknya harga obat sintetis dan efek sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali penggunaan obat tradisional oleh masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar. Sebagai langkah awal yang sangat membantu untuk mengetahui suatu tumbuhan berkhasiat obat adalah dari pengetahuan masyarakat tradisional secara turun – menurun. Pada era milenium ini, kecendrungan gaya hidup masyarakat dunia adalah back to nature. Hal ini mengakibatkan penggunaan metode tradisional tidak akan ketinggalan
zaman(Dianawati, 2001).
Di Indonesia masih banyak masyarakat yang memanfaatkan tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari terutama yang bermukim di sekitar hutan. Indonesia seperti daerah Asia tenggara lainnya memiliki potensi yang tinggi dalam penggunaan tumbuhan sebagai obat-obatan secara tradisional. Penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional juga semakin banyak diminati oleh masyarakat karena telah terbukti bahwa obat yang berasal dari tumbuhan lebih menyehatkan dan tanpa menimbulkan adanya efek samping jika dibandingkan dengan obat-obatan yang berasal dari bahan kimia. Namun, yang menjadi permasalahan bagi peminat obat tradisional adalah kurangnya pengetahuan dan informasi memadai mengenai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang biasa digunakan sebagai ramuan obat-obatan tradisional dan bagaimana pemanfaatannya (Sukmono, 2009).
2.6. Obat Tradisional Karo
Ramuan tradisional adalah media pengobatan alamiah dengan memakai tumbuhan sebagai bahan dasarnya. Media ini mungkin merupakan media pengobatan tertua. Sampai saat ini ilmu pengobatan ini masih mengacu pada tradisi kuno. Itulah sebabnya obat-obatan atau ramuan dari tumbuh-tumbuhan dan tanaman di sebut obat tradisional, karena ramuan tradisional tersebut di buat dari jenis tumbuhan dan tanaman yang di yakini dapat menyembuhkan atau mengobati suatu penyakit (Dianawati, 2001)
Menurut Tarigan (1990) masyarakat Karo sejak dulu telah mengenal obat-obat tradisional yang beragam, ini menunjukkan bahwa masyarakat Karo mengenal beberapa jenis penyakit dan juga cara-cara mengobatinya. Sesuai dengan jenis kelamin anggota masyarakat dan juga tingkatan usia, maka obat-obat ini dapat dibagi atas:
1. Tambar danak-danak (obat untuk anak-anak) 2. Tambar pernanden (obat kaum ibu)
3. Tambar perbapan (obat kaum bapak) 4. tambar sinterem (obat orang banyak).
Menurut Kumala (2006) Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit daripada obat modern.
2.7. Ketepatan Penggunaan Obat Tradisional
Menurut Sukmono (2009) obat tradisional adalah bahan atau ramuan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, bahan sediaan, sarian (galenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun-menurun telah di gunakan untuk pengobatan. Obat tradisional dari bahan tumbuhan menggunakan bagian-bagian tumbuhan seperti akar, rimpang, batang, buah, daun, dan bunga. Penelitian yang telah di lakukan terhadap tanaman obat sangat membantu dalam penggunaan obat tradisional. Penelitian ditunjang dengan pengalaman empiris semakin memberikan keyakinan akan khasiat dan keamanan obat tradisional.
Efek samping obat tradisional relatif kecil jika di gunakan secara tepat. Menurut Kumala (2006), Sukmono (2009), Ilyas (2010) ketepatan penggunaan obat tradisional meliputi beberapa hal yaitu:
a. Kebenaran Bahan
Tanaman obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sulit untuk di
terapi yang diinginkan. Sebagai contoh lempuyung dipasaran ada beberapa macam yang agak sulit untuk di bedakan satu dengan yang lain. Lempuyung emprit (Zingeber amaricans) memiliki bentuk yang relatif lebih kecil, bewarna kuning dengan rasa yang pahit. Lemuyung emprit dan lempuyung gajah (Zingiber zerumbet) yang memiliki bentuk lebih besar dan berwarna kuning, berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber aromaticum) yang memiliki warna agak putih dan berbau harum.
Tidak seperti kedua jenis lempuyang sebelumnya, jenis ini memiliki khasiat sebagai pelangsing. Contoh yang lain daun tapak dara yang mengandung alkaloid. Daun ini tidak hanya bermanfaat untuk pengobatan diabetes, tetapi juga dapat menyebabkan penurunan leukosit ( sel-sel darah putih) hingga 30 %. Daun tapak dara mengandung vincristin dan vinblastin yang menyebabkan penderitanya menjadi rentan terhadap penyakit infeksi, sehingga leukosit mengalami penurunan. Sementara itu, karena pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun tapak dara menjadi tidak tepat digunakan sebagai anti diabetes dan lebih tepat digunakan untuk pengobatan leukimia.
b. Ketepatan Dosis
Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak bisa di konsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus di patuhi, seperti halnya dokter. Buah mahkota dewa misalnya, hanya bisa di konsumsi dengan perbandingan 1 buah dalam tiga gelas air.
Sedangkan daun min baru berkhasiat jika di rebus sebanyak 7 lembar dalam takaran air tertentu. Batu ginjal dapat diobati dengan keji beling (Strobilis cripsus), tetapi jika melebihi 2 gram serbuk (sekali minum) dapat menyebakan iritasi saluran kemih. Gambir kurang dari ibu jari sehingga dapat mengurangi diare, kalau pemakaiannya lebih maka menyulitkan si pemakai buang air besar selama berhari-hari. Sedangkan penggunaan minyak jarak (Oleum recini ) untuk cuci perut yang tidak terukur akan menyebabkan iritasi saluran pencernaan. Hal
ini menepis anggapan bahwa obat tradisisonal tidak memiliki efek samping. Anggapan bila obat tradisional aman di konsumsi walapun gejala sakit sudah hilang adalah keliru
Efek samping tanaman obat dapat di gambarkan dalam tanaman dringo (Acorus calamus), yang biasa digunakan untuk mengobati stres. Tumbuhan ini memiliki kandungan
senyawa bioaktif asaron. Senyawa ini punya struktur kimia mirip gologan amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis rendah, dringo memang dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat. Namun, jika di gunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek sebaliknya, yakni meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif). Asaron dringo juga merupakan senyawa alami yang potensial sebagai pemicu
timbulnya kanker, apalagi jika tanaman ini di gunakan dalam waktu lama. Di samping itu, dringo bisa menyebabkan penumpukan cairan di perut, mengakibatkan perubahan aktivitas pada jantung dan hati, serta dapat menimbulkan efek berbahaya pada usus.Takaran yang tepat dalam penggunaan obat tradisional memang belum banyak didukung oleh data hasil penelitian. Peracikan secara tradisional menggunakan takaran sejumput, segengam ataupun seruas yang sulit di tentukan ketepatannya. Penggunaan takaran yang lebih pasti dalam satuan gram dapat mengurangi kemungkinan terjadinya efek yang tidak di harapkan karena batas antara racun dan obat dalam bahan tradisisonal amatlah tipis. Dosis yang tepat membuat tanaman obat bisa menjadi obat, sedangkan jika berlebih bisa menjadi racun.
c. Ketepatan Waktu Penggunaan
Kunyit diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri haid dan sudah turun temurun di konsumsi dalam ramuan jamu kunir asam yang sangat baik di konsumsi saat datang bulan.
Akan tetapi jika diminum pada awal masa kehamilan beresiko menyebabkan keguguran. Jika sejak gadis penggunaan jamu sari rapet sampai berumah tangga bisa menyebabkan kesulitan memperoleh keturunan bagi wanita yang kurang subur karena adanya kemungkinan dapat memperkecil peranakan. Hal ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu penggunaan obat tradisional menentukan tercapai atau tidaknya efek yang di harapkan.
d. Ketepatan Cara Penggunaan
Suatu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya.
Masing-masing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun kecubung jika di hisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika diseduh dan di minum dapat menyebabkan keracunan/mabuk. Selain itu, tanaman obat dan obat tradisional relatif mudah untuk di dapatkan karena tidak memerlukan resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan tanaman obat dan obat tradisional tersebut. Contohnya, jamu pelancar datang bulan yang sering disalah gunakan untuk menggugurkan kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi terlahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi pada rahim, atau bahkan kematian.
e. Ketepatan Pemilihan Bahan
Keracunan sering terjadi antara tanaman ngokilo (Gynura segetum Luor) yang
daun dewa (Gynura procumbens (Lour) Merr). Akhir-akhir ini terhadap tanaman kunir putih, dimana 3 jenis tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria, dan kaempferia rotunda) sering kali sama-sama disebut sebagai “ kunir putih “ yang sempat mencuat kepermukaan karena dinyatakan bisa digunakan untuk pengobatan penyakit kanker.
f. Ketepatan Telaah Informasi
Perkembangan teknologi informasi saat ini mendorong derasnya arus informasi yang mudah untuk diakses. Informasi yang tidak didukung oleh pengetahuan dasar yang memadai dan telaah atau kajian yang cukup sering kali mendatangkan hal yang menyesatkan.
Katidaktahuan bisa menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi bahan membahayakan.
Contohnya, informasi di media massa menyebutkan bahwa biji jarak (Ricinus communis L) mengandung risin yang jika dimodifikasi dapat digunakan sebagai antikanker. Risin sendiri bersifat toksik / racun sehingga jika biji jarak dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan diare. Contoh lainnya adalah tentang pare, pare yang sering digunakan sebagai lalapan ternyata mengandung khasiat lebih bagi kesehatan. Pare alias paria (Momordica charantia) kaya mineral nabati kalsium dan fosfor, juga karotenoid. digunakan sebagai lalapan ternyata bermanfaat bagi kesehatan. Pare juga mengandung alpha – momorcharin, beta-momorchorin, dan MAP30 (momordica antiviral protein 30) yang bermanfaat sebagai anti HIV/AIDS. Namun, biji pare juga mengandung triter penoid yang beraktivitas sebagai antispermatozoa, sehingga penggunaan biji pare secara tradisional dengan maksud untuk mencegah AIDS dapat mengakibatkan infertilitas pada pria.
Dalam jangka panjang, konsumsi biji pare dapat mematikan sperma, memicu ipotensi, merusak buah zakar dan hormon pria bahkan berpotensi merusak liver baik dalam bentuk jus, lalap maupun sayur segar. Bagi wanita hamil baiknya konsumsi pare dibatasi karena percobaan pada tikus menunjukkan pemberian jus pare menimbulkan keguguran.
g. Tanpa Penyalahgunaan
Tanaman obat maupun obat tradisional relatif mudah untuk didapatkan karena tidak memerlukan resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan manfaat dari tanaman obat maupun obat tradisional tersebut, contoh:
1. Jamu peluntur untuk terlambat bulan sering disalah gunakan untuk pengguguran kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi lahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi bahkan kematian
2. Mengisap kecubung sebagai psikotropika
3 . Penambahan bahan kimia obat.
Bahan-bahan kimia obat yang biasa dicampurkan itu adalah parasetamol, coffein, piroksikam, theophylin, deksbutason, CTM, serta bahan kimia penahan rasa sakit seperti antalgin dan fenilbutazon. Bahan-bahan kimia obat tersebut dapat menimbulkan efek negatif di dalam tubuh pemakainya jika digunakan dalam jumlah banyak. Bahan kimia seperti antalgin misalnya, dapat mengakibatkan kerusakan pada organ pencernaan, berupa penipisan dinding usus hingga menyebabkan pendarahan. Fenilbutazon dapat menyebabkan pemakainya menjadi gemuk pada bagian pipi, namun hanya berisi cairan yang di kenal dengan istilah moonface, dan jika digunakan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan osteoporosis.
h. Ketepatan pemilihan Obat Untuk Indikasi Tertentu
Dalam suatu jenis tanaman dapat ditemukan beberpa zat aktif yang berkhasiat dalam terapi. Resiko antara keberhasilan terapi dan efek samping yang timbul harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman obat yang akan digunakan dalam terapi.
Contoh, daun tapak dara mengandung alkaloid yang bermanfaat untuk pengobatan diabetes.
Akan tetapi daun tapak dara juga mengandung vincristin dan vinblastin yang dapat menyebabkan penurunan leukosit (sel-sel darah putih) hingga ± 30 %, akibatnya penderita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi. Padahal pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun tapak dara tidak tepat digunakan sebagai anti diabetes melainkan lebih tepat digunakan untuk pengobatan leukimia.
Efek samping obat tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat, yang meliputi kebenaran bahan, ketepatan dosis, ketepatan waktu penggunaan, ketepatan cara penggunaan, ketepatan telaah informasi, dan tanpa penyalahgunaan obat tradisinal itu sendiri. Penelitian yang telah dilakukan terhadap tanaman obat sangat membantu dalam pemilihan bahan baku obat tradisional. Pengalaman empiris ditunjang dengan penelitian semakin memberikan keyakinan akan khasiat dan keamanan obat tradisional.