(Studi Semiotika Tayangan Serial Drama Korea Dalam Penyebaran Nilai Sosial Keharmonisan Keluarga)
SKRIPSI
ADE PURNA PUSPITA 130904091
JURNALISTIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
(Studi Semiotika Tayangan Serial Drama Korea Dalam Penyebaran Nilai Sosial Keharmonisan Keluarga)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata (S1) pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara ADE PURNA PUSPITA
130904091 JURNALISTIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kemudahan sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah berupa skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Adapun judul penelitian ini adalah “Transmisi Nilai Sosial dalam Serial Drama Korea “Reply 1988” (Studi Semiotika Tayangan Serial Drama Korea Dalam Penyebaran Nilai Sosial Keharmonisan Keluarga)”.
Saya menyadari bahwa dalam mengerjakan skripsi ini, penulis mengalami banyak kendala. Namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak, serta berkah dari Allah SWT saya dapat mengatasi kendala-kendala yang saya hadapi. Dalam proses penyelesaian skripsi ini, saya merasakan suka dan duka yang tentunya menjadi proses yang saya nikmati dan saya petik hikmahnya.
Skripsi ini dapat saya selesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak. Kerendahan hati peneliti menyampaikan ucapan terima kasih pertama-tama kepada kedua orangtua saya, Ir.
Sabirin dan Ir. Listiani serta Bude Elliyani atas segala limpahan doa, dukungan, masukan, nasihat, restu dan hal-hal lainnya dalam bentuk moril dan materiil yang tentunya tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Terima kasih banyak, sehingga peneliti mampu menyelesaikan pendidikan S-1 ini dan semoga menjadi pribadi yang lebih membanggakan ke depannya.
Saya menyadari bahwa sejak masa perkuliahan hingga proses penyusunan skripsi ini tak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos. M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP USU
4. Ibu Emilia Ramadhani, MA., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP USU.
5. Ibu Dra. Mazdalifah, M.Si, Ph.D, selaku dosen pengampu selama masa perkuliahan penulis. Terima kasih atas arahan dan bimbingannya selama ini.
menyampaikan terima kasih atas waktu, bimbingan dan dukungan selama perkuliahan hingga proses pengerjaan skripsi ini. Terima kasih karena selalu bersedia untuk berdiskusi dan diganggu waktunya dalam membahas skripsi yang saya tulis.
7. Seluruh Bapak dan Ibu dosen serta pegawai yang berada di lingkungan FISIP USU, khususnya Ilmu Komunikasi, yang telah banyak membimbing dan mendidik peneliti selama masa perkuliahan.
8. Kak Maya dan Kak Yanti, Bagian Administrasi Program Studi Ilmu Komunikasi yang selalu bersedia membantu peneliti dalam hal pengurusan administrasi.
9. Yang tersayang abang saya, Yusuf Satya, S.Gz juga adik bungsu saya, Ragil Ananto yang selalu memberi warna dalam kehidupan saya.
10. Para sepupu-sepupu yang sudah seperti saudara sendiri: Tanty Yuliah, Raudah Munawarah, Daud Hadi Wijaya dan Muhammad Maulana yang telah memberikan doa dan dukungan.
11. Keluarga besar yang tidak putus-putusnya memberi dukungan moril selama pengerjaan skripsi berlangsung. Penulis menghanturkan terima kasih sedalam-dalamnya atas kasih dan perhatiannya.
12. Sahabat baik, Laura Arya Wienata dan Dinia Nabila yang sejak berteman tidak segan memberi masukan dan seseorang yang bisa saya andalkan di berbagai kondisi.
13. Sahabat sehati sepenanggungan, Raymond Andrean Gultom yang telah menemani saya bahkan sejak dari nama kami terdaftar di koran hingga sekarang.
14. Sahabat-sahabat SpiceGirls: Bazi Puti Ayu Widyasana, Gritania Emay Marpaung, Ichiko Niranda, Rizka Aulia Maghfira dan Silka Amyra Pohan yang telah menemani peneliti dari awal masa perkuliahan hingga saat ini.
15. Sahabat-sahabat dari Persma PIJAR yang sudah memberi banyak ilmu dan pengalaman saya dalam berorganisasi.
16. Sahabat-sahabat “Kualanamu Squad” yang penulis kenal dari pertengahan masa kuliah:
Ari Maulana Hutasuhut, Dinda Nazlia, Ayulia Pratami, Manda Sianturi dan Della, terimakasih karena sudah berbagi tawa.
Penelitian ini berjudul Transmisi Nilai Sosial Pada Serial Drama “Reply 1988” (Studi Semiotika Tayangan Serial Drama Korea “Reply 1988”). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adegan-adegan pada serial drama“Reply 1988” yang mengandung unsur nilai-nilai sosial terkait keharmonisan keluarga dan untuk mengetahui nilai-nilai sosial apa saja yang ditampilkan pada serial drama “Reply 1988”. Serial drama “Reply 1988” terdiri dari 20 episode, peneliti menganalisis 7 adegan yang diambil dari total seluruh episode. Tujuh adegan tersebut dipilih dengan alasan mampu memberikan penggambaran nyata dari nilai-nilai sosial keharmonisan keluarga di Korea. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi, komunikasi massa, semiotika, nilai- nilai sosial, Konfusianisme pada masyarakat Korea, drama Korea dan keluarga. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian analisis studi semiotika dengan pendekatan paradigma konstruktivisme. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis semiotika Roland Barthes. Hasil penelitian ini menemukan bahwa dalam tujuh adegan yang diteliti, memuat nilai-nilai sosial keharmonisan keluarga berupa nilai material, nilai vital dan kerohanian yang dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme. Nilai-nilai tersebut antara lain berbagi dengan sesama, menghormati orang yang lebih tua, bermusyawarah dan tolong menolong. Serial drama ini didominasi dengan pesan moral/kebaikan maka dapat berpengaruh positif bagi penikmatnya.
Kata kunci: Semiotika, Analisis Semiotika Roland Barthes, Nilai Sosial, Drama Korea, Keluarga
The title of this research is Social Values on Serial Drama “Reply 1988” (Analysis of Semiotics of Social Values in Korean Serial Drama “Reply 1988”). The purposes of this research are to find out the scenes that contain social values of harmony in families and to find out the social values of Korean from this serial drama. Serial Drama “Reply 1988” consists of 20 episodes, the researcher analyzed 7 scenes than taken out from the whole 20 episodes. These 7 scenes were selected by the researcher because they are able to show the real depiction of social values in Korea. The theories are based on communications, mass communication, semiotics, semiotics analysis of Roland Barthes, social values, Confucianism in Korean society, Korean drama and family. The method that used in this research is a qualitative semiotic analysis with constructivism paradigm.
The data technique that used is analysis of semiotics of Roland Barthes. The results of this study found that in the seven scenes studied, contained social values of family harmony in the form of material values, vital values and spirituality. These values include sharing with others, respecting elders, discussing and helping. This drama series is dominated by moral / kindness messages, thus this drama series has positive effects on the audience.
Keywords: Semiotics, Semiotic Analysis of Roland Barthes, Social Values, Korean Drama, Family
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... viii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Fokus Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
BAB II URAIAN TEORITIS ... 7
2.1 Paradigma Kajian ... 7
2.1.1 Paradigma Konstruktivisme ... 8
2.2 Kajian Pustaka... 11
2.2.1 Komunikasi ... 11
2.2.2 Komunikasi Massa ... 15
2.2.2.1 Pengertian Komunikasi Massa ... 15
2.2.2.2 Fungsi Komunikasi Massa ... 19
2.2.3 Semiotika ... 22
2.2.3.1 Semiotika Komunikasi Visual ... 25
2.2.3.2 Semiotika Roland Barthes ... 26
2.2.4 Teknik Pengambilan Gambar ... 32
2.2.5 Drama ... 34
2.2.5.1 Pengertian Drama ... 35
2.2.5.2 Drama Korea ... 35
2.2.6 Konfusianisme Pada Masyarakat Korea ... 38
2.2.8 Nilai-Nilai Sosial ... 40
2.2.8 Keluarga ... 43
2.2.8.1 Pengertian Keluarga ... 43
2.2.8.2 Fungsi Keluarga ... 45
3.1 Metode Penelitian ... 51
3.2 Subjek Penelitian ... 52
3.3 Objek Penelitian ... 52
3.4 Kerangka Analisis ... 52
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 53
3.6 Teknik Analisis Data ... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55
4.1 Deskripsi Umum Serial Drama “Reply 1988” ... 55
4.1.1 Profil Serial Drama “Reply 1988” ... 56
4.1.2 Sinopsis Singkat Serial Drama “Reply 1988” ... 61
4.2 Penyajian Data dan Analisis Data... 62
4.2.1 Analisis Adegan ke-1:Kebersamaan dalam Keluarga ... 62
4.2.2 Analisis Adegan ke-2: Berbagi Makanan dengan Tetangga ... 68
4.2.3 Analisis Adegan ke-3: Menghormati Orang yang Lebih Tua ... 74
4.2.4 Analisis Adegan ke-4: Kebersamaan dengan Tetangga ... 79
4.2.5 Analisis Adegan ke-5: Acara Pernikahan ... 85
4.2.6 Analisis Adegan ke-6: Acara Pemakaman ... 90
4.2.7 Analisis Adegan ke-7: Perawatan Tubuh dan Penggunaan Kosmetik ... 95
4.3 Pembahasan ... 99
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 108
5.1 Simpulan ... 108
5.2 Saran ... 109
DAFTAR REFERENSI……….110 LAMPIRAN
No Judul Halaman
2.1 Fungsi Komunikasi Massa Alexis S. Tan 22
2.2 Teknik Dalam Pengambilan dan Penyutingan Gambar 33
2.3 Kerja Kamera dan Teknik Penyuntingan 34
3.1 Unit dan Level Analisis 54
4.1 Profil Serial Drama Reply 1988 55
No Judul Halaman
1. Kategori Tipe Tanda dari Pierce 25
2. Peta Tanda Roland Barthes 27
3. Elemen-elemen Makna Sausurre 29
4. Poros Paradigma dan Sintagma 31
5 Poster Promosi Drama Reply 1988 55
6. Adegan ke-1:Kebersamaan dalam Keluarga 62
7. Adegan ke-2: Berbagi Makanan dengan Tetangga 68
8. Adegan ke-3: Menghormati Orang yang Lebih Tua 74
9. Adegan ke-4: Kebersamaan dengan Tetangga 79
10 Adegan ke-5: Acara Pernikahan 85
11. Adegan ke-6: Acara Pemakaman 90
12. Adegan ke-7: Perawatan Tubuh dan Penggunaan Kosmetik 95
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Media massa merupakan sarana penyampai pesan yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas, adapun salah satu instrumen dari media massa adalah televisi.
Daya jangkau yang luas dan kemampuan penyampaian pesan secara audio-visual sinematik, membuat pesan yang ditampilkan dalam televisi memiliki pengaruh yang besar dalam dimensi kognisi dan afeksi khalayak luas. Untuk memenuhi tuntutan pasar, media televisi yang salah satu fungsinya sebagai penyaji hiburan yang bisa memenuhi selera khalayak. Hal ini dapat kita saksikan pada program-program hiburan yang disuguhkan stasiun-stasiun televisi, salah satunya adalah drama atau sinetron. Menyampaikan pesan melalui sinetron merupakan salah satu cara yang sangat efektif, hal ini dikarenakan sinetron sedikit banyak mampu memberikan pengaruh terhadap perkembangan kepribadian masyarakat yang diterpa media tersebut.
Banyak sekali unsur pesan yang dapat diberikan kepada khalayak melalui tayangan televisi, mulai dari unsur kreativitas, edukasi, ekonomi, sosial-budaya, mode, lifestyle, teknologi, ideologi dan lain-lain. Namun, tayangan di televisi dalam negeri masih kurang memenuhi aspek-aspek edukasi yang dapat memajukan norma sosial, kebanyakan tayangan drama mengangkat tema kesenjangan sosial, konflik yang dibuat-buat, dendam, kemewahan, dan tema lainnya yang kurang mendidik. Hal ini secara tidak langsung telah memaparkan budaya-budaya negatif yang diterima khalayak secara mentah dan dapat mempengaruhi masyarakat untuk meniru berbagai gaya hidup dan pergaulan yang kurang baik yang ditampilkan dalam cerita. Tidak bisa disangkal lagi bahwa tayangan tersebut juga bisa memunculkan budaya baru di masyarakat dan mampu merubah tatanan norma sosial ke arah yang buruk.
Fungsi sosialisasi dalam komunikasi massa menunjuk pada upaya transmisi dan pendidikan nilai-nilai serta norma-norma dari suatu generasi kepada generasi berikutnya atau dari suatu kelompok masyarakat terhadap para anggota keluarganya yang baru.
Fungsi ini semacam fungsi yang telah dilakukan oleh para orangtua atau para guru di sekolah. Dalam fungsi ini media massa yaitu koran, majalah, radio, televisi dan film telah memberikan kerangka berpikir umum yang sangat penting bagi masyarakat. Disini proses transmisi nilai-nilai dan norma-norma sosial yang penting dalam kehidupan akan selalu
terjadi. Sepanjang hidup, manusia akan hidup dan berhubungan dengan orang lain dalam bermasyarakat. Dalam melaksanakan kehidupan bersama manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial selalu dilandasi oleh aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan diciptakan dan disepakati bersama untuk mencapai ketentraman dan kenyamanan hidup bersama dengan orang lain. Selanjutnya aturan-aturan itu dipakai sebagai ukuran, patokan, anggapan, serta keyakinan tentang sesuatu itu baik, buruk, pantas, janggal, asing dan seterusnya. Selama hidup banyak sekali aturan-aturan yang wajib kita pahami dan ikuti dengan kesungguhan dalam bermasyarakat. Salah satu cerminan kehidupan sosial dapat dinikmati dari televisi dalam bentuk produk sinetron, drama, film, dan sejenisnya.
Program drama adalah pertunjukan (show) yang menyajikan cerita mengenai kehidupan atau karakter seseorang atau beberapa orang (tokoh) yang diperankan oleh pemain yang melibatkan konflik emosi. Dengan demikian, program drama biasanya menampilkan sejumlah pemain yang memerankan tokoh tertentu. Suatu drama akan mengikuti kehidupan atau petualangan para tokohnya. Program televisi yang termasuk dalam program drama adalah sinetron dan film (Morissan, 2008: 213). Kita mengenal istilah sinetron untuk film-film bersambung yang ditayangkan di televisi. Kita mengenal istilah sinetron untuk film-film bersambung yang ditayangkan di televisi Indonesia. Di Korea selatan, produk sejenis sinetron selama ini lebih dikenal dengan serial drama. Dengan demikian, peneliti memilih drama sebagai salah satu produk oleh media massa yang mempunyai nilai-nilai sosial dalam adegan-adegan yang ditampilkannya. Serial drama Korea telah banyak menarik hati khalayak, khususnya remaja. Apalagi dengan bertambahnya jumlah tayangan dan penggemarnya yang cukup banyak. Oleh sebab itu, sedikit banyak pastilah terjadi penyebaran nilai-nilai sosial yang terdapat dalam drama tersebut terhadap penikmatnya, baik secara tersurat ataupun tersirat.
Serial drama Korea memiliki kualitas dan keunikan tersendiri sehingga digemari berbagai kalangan dan usia. Keterampilan dan kreativitas para crew produksinya berhasil memadukan narasi yang menarik, teknik sinematografi yang handal, penggunaan background musik yang mendukung dan kemampuan akting yang memadai. Hal-hal ini membuat serial drama Korea menjadi karya seni populer yang bukan hanya menghibur, namun dapat menyentuh hati dan perasaan para penontonnya, terutama orang Asia. Selain itu, di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin memudarkan nilai-nilai sosial, drama Korea secara konsisten menampilkan nilai-nilai positif ketimuran seperti nilai sosial , sopan santun, penghormatan pada orang tua, pengabdian pada keluarga, nilai kolektivitas atau
kebersamaan, serta nilai kesakralan cinta dan pernikahan. Nilai-nilai ini ditampilkan secara unik dalam situasi kehidupan sehari-hari masyarakat Korea modern yang telah mengalami kemajuan teknologi dan ekonomi.
Masyarakat Asia yang telah lama mengkonsumsi budaya populer dari Barat dengan banyaknya tampilan seks dan kekerasan yang vulgar serta hal-hal yang bersifat individualisme. Melalui serial drama Korea, masyarakat Asia dapat menemukan bentuk budaya populer baru yang menampilkan nilai-nilai sosial yang dekat dengan mereka, sehingga mereka dapat merefleksikan serta mengidentifikasi diri mereka di dalamnya. Dalam serial drama Korea penonton juga diingatkan kembali akan nilai-nilai sosial yang semakin memudar akibat adanya modernisasi. Kebanyakan serial drama Korea sangat kuat di tema atau thematic. Message atau pesan dalam setiap film seri yang disuguhkan sangat jelas, sehingga penonton bukan sekedar melihat film dengan alur yang dibuat dramatik, tapi ada pesan yang jelas pada setiap episode yang menampilkan nilai sosial, dan menimbulkan keingintahuan di benak pemirsa akan lanjutan dari satu episode ke episode selanjutnya.
Selain itu, akan timbul pertanyaan, sudahkah kita (pemirsa) melakukan hal-hal baik yang ada di serial drama tersebut? Seperti membantu tetangga, bergotong-royong, bertoleransi antar keluarga dan tetangga, dan sebagainya. Tema sinetron di Indonesia yang masih sangat terbatas pada tema percintaan remaja dan kisruh rumah tangga monoton, dianggap belum tersaji apa adanya, kurang mendidik dan timpang dengan realitas sosial yang ada. Tayangan yang kurang bermutu di televisi Indonesia belum bisa menjadi sarana pembelajaran sosial bagi penikmatnya. Sulit ditemukan sinetron Indonesia yang menampilkan tema realita sosial yang apa adanya, juga mencakup nilai sosial yang bisa diadaptasi penonton. Namun serial drama Korea berhasil meracik produk drama yang bisa dibilang fenomenal dan membuat
“demam” penikmatnya.
Salah satu serial drama Korea sering mengangkat tema yang dekat dengan kehidupan sosial masyarakatnya adalah serial drama Reply 1988. Drama ini sangat berkarakter dan berbeda dengan serial drama Korea lainnya yang lebih sering menceritakan kehidupan modern dan drama percintaan yang monoton. Sukses dengan dua drama sebelumnya, tvN kembali menyajikan sekuel ketiga dari drama laris Reply. Jika dua season sebelumnya mengambil setting tahun 1997 dan 1994, maka Reply di akhir tahun 2015 hadir di tahun 1988. Reply 1988 menjadi drama tv kabel tersukses sepanjang masa karena berhasil mencetak rekor fantastis sepanjang tayang. Debut dengan rating perdana 6,1 persen, drama ini ditutup dengan perolehan rating sebesar 18,8 persen. Dengan catatan, drama ini tayang di TV berbayar. Terhitung dari tahun 2020, Reply 1988 menduduki peringat ke-4 dalam
perhitungan rating setelah The World of The Married, Sky Castle dan Crash Landing on You dengan masing-masing rating 28.371%, 23.779% dan 21.683%. Hal Iini tentu saja berbeda dengan sistem rating di televisi Indonesia. Di Indonesia, film yang dianggap laris akan ditayangkan dalam waktu prime time yaitu pada pukul 18.00 – 22.00. Semakin tinggi rating suatu sinetron, maka jumlah episode akan semakin bertambah. Hal ini dapat dibuktikan dengan jumlah episode yang bisa mencapai ribuan seperti Tukang Ojek Pengkolan, Dunia Terbalik dan Tukang Bubur Naik Haji: The Series yang mempunyai jumlah episode sebanyak 2644, 2344 dan 2185 episode.
Serial drama Korea Reply 1988 mengedepankan cerita tentang kehidupan sosial bermasyarakat di keluarga dan lingkungan tetangga daripada percintaan. Di setiap episodenya yang rata-rata berdurasi 1 jam 50 menit, pasti selalu diselipkan nilai sosial yang sudah memudar di masyarakat perkotaan. Hal ini sangat menonjol dalam beberapa adegan yang menampilkan unsur nilai sosial baik yang bisa ditiru oleh masyarakat. Aspek lain yang lebih menonjol adalah persahabatan di antara 5 tokoh dalam drama ini yang patut dicontoh.
Akan tetapi, serial drama ini juga tidak menghilangkan unsur romance di dalam cerita.
Cerita yang sederhana, apa adanya dan ringan tetapi banyak aspek sosial dalam drama ini mengajarkan kita pada kebaikan dan makna kehidupan sebenarnya dan menjadi cerminan pada diri penonton. Drama Reply 1988 berlatar pada tahun 1988, mengisahkan 5 keluarga yang memiliki karakter dan kisah masing-masing yang tinggal di gang yang sama.
Tokoh Duk Sun (Hyeri Girls Day), Jung Hwan (Ryoo Joon Yeol), Sun Woo (Ko Gyung Pyo) dan Dong Ryong (Lee Dong Hwi) adalah pelajar tingkat akhir SMA dan Taek (Park Bo Gum) adalah seorang pemain baduk professional yang kelimanya bersahabat sejak kecil.
Mereka tumbuh dewasa bersama sebagai tetangga. Mereka layaknya keluarga yang sangat dekat satu sama lain dan selalu berkumpul di kamar Taek serta menghabiskan waktu bersama-sama. Hubungan kekerabatan yang hangat di kompleks ini bukan hanya terjalin pada anak remajanya saja, namun juga pada tokoh para ibu rumah tangga Lee Il Hwa (Lee Il Hwa), Ra Mi Ran (Ra Mi Ran), dan Kim Sun Young (Kim Sun Young) juga digambarkan harmonis di drama ini, seperti suka berkumpul dan mengobrol bersama. Tak lupa tokoh pelakon para ayah yang diceritakan sering berkumpul bersama untuk sekedar bercengkrama atau meminum soju. Setting dan properti jadul yang ditampilkan sepanjang cerita seakan membuat penonton bernostalgia tentang indahnya kebersamaan keluarga dan antar tetangga pada zaman itu, dimana hal ini sudah sangat jarang ditemukan di kota-kota besar saat ini.
Ditambah lagi pada tahun 1988, Korea menjadi tuan rumah Olimpiade yang merupakan salah satu momentum dalam alur drama.
Kuswandi (1996: 130) mengungkapkan alasan drama atau sinetron diminati oleh khayalak adalah karena menyangkut hal-hal sebagai berikut:
Pertama, isi pesannya sesuai dengan realita sosial pemirsa. Hal ini dikarenakan sinetron pada umumnya menceritakan tentang kehidupan manusia sehari-hari yang dibumbui dengan konflik. Kedua, isi pesannya mengandung cerminan tradisi nilai luhur dan budaya yang ada dalam masyarakat. Ketiga, isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang sering terjadi dalam kehidupan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang penyebaran nilai sosial keharmonisan keluarga pada serial drama Korea “Reply 1988”.
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan, maka fokus permasalahan penelitian ini adalah, “Bagaimana penyebaran nilai-nilai sosial dalam keluarga yang ditampilkan dalam serial drama Korea Reply 1988?”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui penyebaran nilai-nilai sosial apa saja yang ditampilkan pada serial drama Korea Reply 1988 melalui semiotika Roland Barthes.
2. Mengetahui adegan-adegan pada serial drama Reply 1988 yang mengandung unsur nilai sosial.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dalam khasanah penelitian komunikasi serta dapat dijadikan sebagai sumber bacaan mahasiswa FISIP USU, khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah serta memperluas wawasan di bidang Ilmu Komunikasi, khususnya tentang nilai-nilai sosial di dalam sebuah tayangan televisi.
3. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan dan sumbangan pikiran bagi pihak yang membutuhkan pengetahuan yang berkenaan dengan masalah penelitian.
BAB II
URAIAN TEORITIS
Teori adalah serangkaian preposisi atau konsep yang saling berhubungan. Teori juga menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep. Teori juga menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya (Kriyantono, 2006: 45). Teori sangat diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini, paradigma yang digunakan peneliti adalah Paradigma Konstruktivis dimana ini sangat erat kaitannya dengan media. Adapun teori-teori yang dianggap relevan diantaranya adalah Semiotika, Teori Komunikasi, Komunikasi Massa, Fungsi Komunikasi Massa, Nilai Sosial, Drama, Drama Korea, dan Keluarga.
2.1 Paradigma Kajian
Paradigma merupakan pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian, paradigma membawa konsekuensi praktis berperilaku, cara berpikir, interpretasi dan kebijakan dalam pemilihan masalah. Paradigma akan menentukan kualitas pertanyaan yang akan ditanyakan oleh peneliti dan jenis data yang bagaimana untuk menghasilkan jawaban (Bulaeng, 2004:
2). Paradigma menawarkan cara pandang umum mengenai komunikasi antarmanusia.
Perspektif atau paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis maupun tindak perilaku seseorang. Konsep paradigma pertama kali dipopulerkan oleh Thomas Kuhn, seorang ahli sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution (1970) (Suyanto & Sutinah, 2005 : 215).
Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satu diantaranya sangat tergantung pada paradigma yang digunakan. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisi apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan
eksistensial dan epistemologis yang panjang (Mulyana, 2003: 9). Setiap manusia ataupun individu mempunyai pandangan masing-masing dalam suatu hal dan memungkinkan untuk melengkapi pandangan di antara individu-individu tersebut.
Kemudian sudut pandang atau perspektif akan menghasilkan suatu interpretasi terhadap suatu fenomena sosial. Menurut Thomas Kuhn, paradigma merupakan landasan berpikir atau konsep dasar yang dianut atau dijadikan model, baik berupa model atau pola yang dimaksud ilmuan dalam upayanya mengandalkan studi-studi keilmuan.
2.1.1 Paradigma Konstruktivisme
Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk (Eriyanto, 2001: 37). Menurut Guba dan Lincoln ada empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post-positivisme, konstruktivisme dan kritis.
Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto & Hermawan, 2011: 9).
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151). Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang membedakan alam semesta ke dalam tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi
tingkah laku. Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis, dan seni. Bagi Popper, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia.
Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia (Ardianto dan Q- Anees, 2007: 153).
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemology merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme objektivisme- subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151-153). Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Konsep penting konstruktivisme adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 154).
Robyn Penmann (dalam Ardianto dan Q-Aness, 2007: 158) merangkum kaitan konstruktivis dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi:
1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikasi dianggap sebagai tindakan sukarela, berdasarkan pilihan subjeknya.
2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif sebagai diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.
3. Pengetahuan bersifat konstektual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu.
4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut mempengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah “segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya.
5. Pengetahuan bersifat sarat nilai. Pandangan ini mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar belakang dan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan paradigma konstruktivis, karena seperti yang dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana
peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk.
Konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi melainkan sebuah proses yang panjang dari sejumlah pengalaman. Pengetahuan dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya. Peneliti menggunakan paradigma ini sebagai pandangan dasar untuk melihat bagaimana peranan keluarga di Ssamundong dalam menyebarkan nilai-nilai sosial di dalam serial drama Reply 1988 yang diproduksi dan ditayangkan di Korea Selatan pada tahun 2015 dengan jumlah 20 episode. Peneliti akan mengambil beberapa adegan yang menampilkan suasana berkumpul keluarga, bersosialiasi antar bertetangga, bagaimana bersikap dengan orang yang lebih tua dan teman sebaya dan lain-lain.
2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris Communication berasal dari kata latin Communicatio dan bersumber dari kata Communis yang berarti sama, sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 2006: 9). Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang digunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan perkataan lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan bahasa itu, jelas bahwa percakapan dua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua- duanya, selain mengerti bahasa yang digunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan.
Everet M. Rogers mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Defïnisi kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid, sehingga melahirkan suatu defenisi baru yang menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Cangara, 2005: 19). Komunikasi adalah proses timbal balik (resiprokal) pertukaran sinyal untuk memberi informasi, membujuk atau memberi perintah, berdasarkan makna yang sama dan dikondisikan oleh konteks hubungan para komunikator dan konteks sosialnya”. (Cutlip, 2007: 225)
Menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland di atas menunjukkan bahwa yang dijadikan objek studi Ilmu Komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam defïnisinya secara khusus mengenai pengertian komunikasi, Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain communication is the process to modify the behaviour of other individuals).
Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ? (Effendy, 2006:10). Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:
1) Komunikator (Comunicator, source, sender)
2) Pesan (Message)
3) Media (Media, Channel)
4) Komunikan (Communicant, Communicate, Receiver, Recipiënt) 5) Efek (Effect, Impact, Influence)
Berdasarkan definisi Lasswell dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu: pertama sumber (source), sering disebut juga pengirim (sender), penyandi (encoder), komunikator (communicator), pembicara (speaker), atau originator. Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan suatu negara. Kebutuhannya bervariasi, mulai dari sekedar mengucapkan
“selamat pagi” untuk memelihara hubungan yang sudah dibangun, menyampaikan informasi, menghibur, hingga kebutuhan untuk mengubah ideologi, keyakinan agama dan perilaku pihak lain. Untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan) atau dalam kepalanya (pikiran), sumber harus mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam seperangkat simbol verbal dan atau nonverbal yang idealnya dipahami oleh penerima pesan.
Proses inilah yang disebut penyandian (encoding). Pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir, dan perasaan sumber mempengaruhinya dalam merumuskan pesan tersebut. Setiap orang dapat saja merasa bahwa ia mencintai seseorang, namun komunikasi tidak terjadi hingga orang yang anda cintai itu menafsirkan rasa cinta anda berdasarkan perilaku verbal dan atau non verbal anda.
Kedua, pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga komponen: makna, simbol yang digunakan untuk
menyampaikan makna, dan bentuk atau organisasi pesan. Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat merepresentasikan objek (benda), gagasan, dan perasaan, baik ucapan (percakapan, wawancara, diskusi, ceramah, dan sebagainya).
Ketiga, saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.
Saluran boleh jadi merujuk pada bentuk pesan yang disampaikan kepada penerima, apakah saluran verbal atau saluran nonverbal. Pada dasarnya ada dua saluran komunikasi manusia, yakni cahaya dan suara meskipun kita bisa juga menggunakan kelima indra kita untuk menerima pesan dari orang lain. Anda dapat mencium wangi parfum yang merangsang fantasi anda yang liar ketika anda berdekatan dengan seorang wanita yang tidak anda kenal di sebuah kafe, mencicipi ketupat lebaran yang disuguhkan tuan rumah, atau menjabat tangan sahabat yang baru lulus sarjana. Jabatan tangan yang erat (sentuhan) dapat juga menyampaikan lebih banyak pesan daripada kata-kata. Saluran juga merujuk pada cara penyajian pesan; apakah langsung (tatap muka) atau lewat media cetak (surat kabar, majalah) atau media elektronik (radio, televisi). Surat pribadi, telepon, selebaran, overhead projector (OHP), sistem suara (sound system) multimedia, semua itu dapat dikategorikan sebagai (bagian dari) saluran komunikasi.
Pengirim pesan akan memilih saluran-saluran itu, bergantung pada situasi, tujuan yang hendak dicapai dan jumlah penerima pesan yang dihadapi. Kita mungkin membaca artikel ilmiah di surat kabar, mendengarkan ceramah agama lewat radio atau menonton siaran olah raga lewat televisi. Dalam suatu peristiwa komunikasi, sebenarnya banyak saluran yang kita gunakan, meskipun ada salah satu yang dominan. Misalnya, dalam komunikasi langsung, bahasa (verbal dan nonverbal) adalah saluran yang menonjol meskipun pancaindra dan udara yang mengantarkan gelombang suara juga adalah saluran komunikasi tatap-muka tersebut. Dalam komunikasi massa,
katakanlah melalui surat kabar, saluran yang paling menonjol adalah surat kabar yang kita baca, meskipun terdapat juga saluran lain yang juga berperan seperti telepon, faksimil, komputer, mesin cetak, kendaraan yang digunakan untuk mengantarkan surat kabar tersebut kepada pembaca, dan sebagainya.
Keempat, penerima (receiver), sering juga disebut sasaran atau tujuan (destination), komunikate (communicatee), penyandi-balik (decoder) atau khalayak (audience), pendengar (listener), penafsir (interpreter), yakni orang yang menerima pesan dari sumber.
Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan, nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir dan perasaan, penerima pesan ini menerjemahkan atau menafsirkan seperangkat symbol verbal dan atau nonverbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat ia pahami. Proses ini disebut penyandian-balik (decoding).
Kelima, efek, yakni apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut, misalnya penambahan pengetahuan (dari tidak tahu menjadi tahu), terhibur, perubahan sikap (dari tidak setuju menjadi setuju), perubahan keyakinan, perubahan perilaku (dari tidak bersedia membeli barang yang ditawarkan menjadi bersedia membelinya, atau dari tidak bersedia memilih partai politik tertentu menjadi bersedia memilihnya dalam pemilu), dan sebagainya.
(Mulyana, 2000: 69-71) 2.2.2 Komunikasi Massa
2.2.2.1 Pengertian Komunikasi Massa
Istilah komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa Inggris, mass communication, kependekan dari mass media communication, yang artinya komunikasi dengan menggunakan media massa. Istilah mass communications atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu mass media (media
massa). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata massa berarti ”orang banyak”. Namun, dalam komunikasi massa dapat diartikan lebih dari sekedar ”orang banyak”. Massa di sini meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa. Mereka tidak harus berada di suatu lokasi tertentu yang sama, tetapi dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama. Massa juga meliputi semua lapisan masyarakat atau khalayak ramai dalam berbagai tingkat umur, pendidikan, keyakinan, status sosial. Tentu saja yang terjangkau oleh saluran media massa. Komunikasi massa juga terdiri dari unsur-unsur sumber (source), pesan (message), saluran (channel), dan penerima (receiver), serta efek (effect). Menurut Harold D Lasswell untuk memahami komunikasi massa, kita harus mengerti unsur-unsur itu yang diformulasikan olehnya dalam bentuk pertanyaan, who says what in which channel to whom and with what effect? Unsur who merupakan sumber utama dalam komunikasi massa, yakni lembaga, organisasi, atau orang yang bekerja dengan fasilitas lemaga atau organisasi. Yang dimaksud dengan lembaga atau organisasi dalam hal ini atau penelitian ini adalah perusahaan atau stasiun televisi. Pesan-pesan komunikasi massa (unsur says what) dapat diproduksi dalam jumlah yang sangat besar dan dapat menjangkau audiens yang sangat banyak jumlahnya. Charles Wright (dalam Wiryanto, 2000: 5) memberikan karakteristik pesan-pesan komunikasi sebagai berikut:
a. Publicity
Pesan-pesan komunikasi massa pada umumnya tidak ditunjukkan kepada perorangan-perorangan tertentu yang eksklusif, melainkan bersifat terbuka untuk umum atau publik.
b. Rapid
Pesan-pesan komunikasi massa dirancang untuk mencapai audiens yang luas dalam waktu yang singkat dan simultan.
c. Transient
Pesan-pesan komunikasi massa umumnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan segera, dikonsumsi ”sekali pakai” dan bukan untuk tujuan-tujuan bersifat permanen. Namun, ada pengecualian seperti buku- buku, film, transkripsi- transkripsi radio dan rekaman-rekaman audiovisual. Unsur in which channel menyangkut semua peralatan mekanik yang digunakan untuk menyebarluaskan pesan-pesan komunikasi massa. Media dalam penelitian ini yang memiliki kemampuan tersebut adalah televisi. Unsur to whom menyangkut sasaran- sasaran komunikasi massa, yakni penonton yang sedang menikmati serial Korea. Unsur with what effect sesungguhnya ”melekat” pada unsur audiens. Efek adalah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri audiens sebagai akibat terpaan pesan-pesan media. David Berlo (Wiryanto, 2000: 9) mengklasifikasikan efek atau perubahan ini ke dalam tiga aspek, yaitu kognitif, afektif dan behavioral.
Wilbur Schramm menyatakan, komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter dan encoder. Pendapat Schramm pada dasarnya tidak berbeda dengan pendapat Harold D Lasswell (Wiryanto, 2000: 11) yang menyebutkan fungsi-fungsi komunikasi massa sebagai berikut:
a. Surveillance of the environment: pengamatan lingkungan.
b. Correlation of the parts of society in responding to the environment; menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya.
c. Transmission of the social heritage from one generation to the next; penerusan atau pewarisan sosial dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Komunikasi massa adalah proses penciptaan makna bersama antara media massa dan khalayaknya (Baran, 2012: 7). Studi komunikasi massa mempelajari pemanfaatan media oleh audiens, dan menjelaskan efek media terhadap human interaction dalam konteks komunikasi, dan unit analisis komunikasi massa antara lain pesan, media dan audiens (Liliweri, 2011: 219).
Menurut Ardianto dan Erdinaya (2004: 7-12) terdapat delapan karakteristik komunikasi massa, yaitu sebagai berikut:
1. Komunikator terlembagakan. Komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang melainkan kumpulan orang-orang. Komunikasi massa melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks. Artinya, pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai penyajian informasi.
2. Pesan bersifat umum. Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan di mana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin maupun suku bangsa.
3. Komunikannya anonim dan heterogen. Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Selain itu, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.
4. Media massa menimbulkan keserempakan. Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif lebih banyak dan tidak terbatas.
Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.
5. Komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan. Setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan hubungan sekaligus. Pada komunikai massa, yang penting adalah unsur isi.
6. Komunikasi massa bersifat satu arah. Merupakan salah satu kelemahan yang ada pada komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Hal ini menyebabkan komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam komunikasi antar pribadi. Kalau pun terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
7. Stimulasi alat indra “terbatas”. Dalam komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan oleh komunikan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat.
Pada siaran radio dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, khalayak menggunakan indra penglihatan dan pendengaran. Hal ini sangat berbeda dengan komunikasi antar pribadi yang bersifat tatap muka, dimana seluruh alat indra pelaku komunikasi, baik komunikator dan komunikan, dapat digunakan secara maksimal. Kedua belah pihak dapat melihat mendengar secara langsung, bahkan mungkin merasa.
8. Umpan balik tertunda (delayed). Komunikasi massa tidak mampu menjalankan fungsi umpan balik, karena sifatnya yang satu arah.
2.2.2.2 Fungsi Komunikasi Massa
Para pakar mengemukakan tentang sejumlah fungsi komunikasi, kendati dalam setiap item fungsi terdapat persamaan dan perbedaan.
Pembahasan fungsi komunikasi telah menjadi diskusi yang cukup penting, terutama konsekuensi komunikasi melalui media massa. Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Dominick (dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004: 15-18), terdiri dari surveillance (pengawasan), interpretation (penafsiran), linkage (keterkaitan), transmission of values (penyebaran nilai) dan entertainment (hiburan).
1. Surveillance (Pengawasan)
Media massa merupakan sebuah medium di mana dapat digunakan untuk pengawasan terhadap aktivitas masyarakat pada umumnya. Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama, yaitu:
a. Warning or Beware Surveillance (Pengawasan Peringatan)
Fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman dari angin topan, meletusnya gunung merapi, kondisi efek yang memprihatinkan, tayangan inflasi atau adanya serangan militer.
b. Instrumental Surveillance (Pengawasan Instrumental)
Fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. Berita tentang film apa yang sedang dimainkan di bioskop, bagaimana harga- harga saham di bursa efek, produk-produk baru, ide-ide tentang mode, resep masakan dan sebagainya, adalah contoh-contoh pengawasan instrumental.
2. Interpretation (Penafsiran)
Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau
ditayangkan. Contoh nyata penafsiran media dapat dilihat pada halaman tajuk rencana (editorial) surat kabar, pada radio siaran dan televisi, seperti tayangan acara derap hukum dan tayangan penafsiran sejenis lainnya. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok.
3. Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. Contoh: masyarakat yang tersebar telah dipertalikan oleh media massa untuk memilih partai tertentu.
4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-Nilai)
Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini disebut juga socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu pada cara dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca.
Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang diharapkan mereka. Dengan kata lain, media massa mewakili kita dengan model peran yang kita amati dan harapan untuk menirunya.
5. Entertainment (Hiburan)
Televisi adalah media massa yang mengutamakan sajian hiburan, hampir 3/4 bentuk siaran televisi setiap hari merupakan tayangan hiburan. Begitu pun radio siaran, siarannya banyak dimuati acara hiburan. Memang ada beberapa televisi dan radio siaran yang memuat 100% berita. Tetapi televisi dan radio siaran lainnya menyajikan berita kurang dari 5%. Majalah pun demikian halnya. Ada yang banyak memuat hiburan, ada pula yang sedikit memuat hiburan.
Tabel 2.1 Fungsi Komunikasi Massa Alexis S. Tan
Tujuan Komunikator
(Penjaga Sistem)
Tujuan Komunikasi (Pemuasan Kebutuhan)
Memberi informasi Memperlajari ancaman dan peluang, memahami
lingkungan, menguji kenyataan, meraih keputusan.
memahami lingkungan, menguji kenyataan, meraih keputusan.
Mendidik Memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang
berguna memfungsikan dirinya secara efektif dalam masyarakat, mempelajari nilai, tungkah laku yang cocok agar diterima dalam masyarakat.
Mempersuasif Memberi keputusan, mengadopsi nilai, tingkah laku
dan aturan yang cocok agar diterima dalam masyarakat
Menyenangkan, memuaskan kebutuhan komunikasi
Menggembirakan, mengendorkan urat syaraf, menghibur, mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi.
Sumber: Nurudin. (2003). Komunikasi Massa : 63.
2.2.3 Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah- tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal di mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 15).
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda dan dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti:
bahasa, kode, sinyal dan sebagainya. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu –yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya – dapat mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain (Wibowo, 2011:
5).
“Semiotika menaruh perhatian apa pun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu, semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari apa pun yang bisa digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran” (Berger, 2000: 11-12)
Fiske (dalam Bungin, 2008: 67) mengatakan bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu:
a) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
c) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
Di lain pihak, menurut Littlejohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik dan pragmatik. Adapun penjabarannya yaitu:
1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimana tanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).
2. Sintaktik, berkenaan dengan keterpaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda
yang lebih besar atau kelompok yang diorginisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut dengan kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009: 30).
3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30).
Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang biasa menjadi rujukan para ahli (Berger, 2000: 11-12). Pertama, adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan (Sobur, 2004: 31). Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual. Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasi makna (Stokes, 2006: 78).
Memahami semiotika tentu tidak bisa lepas dari pengaruh peran dua orang penting ini yaitu Charles Sanders Pierce (1839-1914) dan Ferdinand De Saussure (1857-1913).
Keduanya meletakkan dasar-dasar bagi kajian semiotika. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa sedangkan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik sedangkan Peirce adalah filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology) (Tinarbuko, 2008: 11). Teori dari Pierce seringkali disebut sebagai
“grand theory” dalam semiotika, karena gagasan Pierce bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari sistem penandaan. Sebuah tanda atau representamen menurut Charles S Pierce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas (Wibowo, 2011: 13).
Dalam konsep semiotika Pierce, Pierce membagi tanda atas ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah atau bersifat kemiripan, indeks adalah tanda
yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal, sementara simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya dan hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena (Sobur, 2004: 41).
Kategori tipe tanda menurut Pierce digambarkan sebagai berikut:
Ikon
Indeks Simbol
Gambar 1
Kategori Tipe Tanda dari Pierce
(Bungin, 2010: 168)
Pierce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda, objek, dan makna (Morrisan, 2009: 28). Dalam kajian komunikasi, pusat perhatian semiotika adalah menggali makna-makna tersembunyi di balik penggunaan simbol-simbol yang lantas dianalogikan sebagai teks atau bahasa.
Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan saluran komunikasi, dan acuan yang dibicarakan. Semiotika signifikasi tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi, yang lebih diutamakan adalah
segi pemahaman suatu tanda hingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan ketimbang prosesnya.
2.2.3.1 Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh pada bidang- bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual. Menurut Tinarbuko (dalam Piliang, 2012: 339-340) semiotika komunikasi visual yaitu semiotika sebagai metode pembacaan karya komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sistem semiotika khusus, dengan perbendaharaan
kata (vocabulary) dan sintaks (sintagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda yang bersifat konkrit dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umum disebut petanda. Dapat dikatakan disini, bahwa meskipun semua muatan komunikasi dari bentuk-bentuk komunikasi visual ditiadakan, ia sebenarnya masih mempunyai muatan signfikasi, yaitu muatan makna.
Efektivitas pesan menjadi tujuan utama dari desain komunikasi visual. Berbagai bentuk desain komunikasi visual yaitu iklan, fotografi jurnalistik, poster, kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara televisi, video klip, web design, cd interaktif dan sebagainya.
Di mana melalui pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer, produser, copywriter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa)
Semiotika komunikasi mengkaji tanda konteks komunikasi yang lebih luas, yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media, pesan, kode, bahkan juga noise. Semiotika komunikasi menekankan aspek produksi tanda di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media, dibandingkan sistem tanda. Di dalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan di dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam penyampaian pesan.
2.2.3.2. Semiotika Roland Barthes
Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980), ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks (Wibowo, 2013: 21). Roland Barthes melontarkan konsep denotasi dan konotasi sebagai kunci dari analisisnya. Dalam studinya, Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the readers). Konotasi yang walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63).
Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek).
Kemudian signifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi). Mitos terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign- signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.
Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes (Sobur, 2004:69)
Dari peta tanda Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2), namun bersamaan pula dengan tanda denotatif menjadi penanda konotatif (4). Tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan tapi mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2003: 28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya
1. Signifier (Penanda)
2. Signified (Petanda) 3. Denotative Sign (Tanda Denotatif) 4. Connotative
Signifier
(Penanda Konotatif)
5. Connotative Signified (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2003:
28).
Adapun lima kode yang ditinjau Barthes (Lechte dalam Sobur, 2004: 65-66) adalah:
1. Kode hermeneutik, yaitu kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan ‘kebenaran’ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.
2. Kode semik atau kode konotatif, yaitu kode yang banyak menawarkan banyak sisi.
Dalam dikatakan bahwa jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.
3. Kode simbolik, yaitu aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural.
4. Kode proaretik atau kode tindakan, yaitu sebagai pelengkapan utama teks yang dibaca orang, dan semua teks tersebut bersifat naratif.
5. Kode gnomic atau kode kultural, yaitu acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
Di samping penanda teks (leksia) dan lima kode pembacaan yang telah dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah:
1. Penanda dan Petanda
Menurut Saussure, bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified).
Dengan kata lain, penanda adalah ‘bunyi yang bermakna’ atau ‘coretan yang bermakna’.
Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Menurut Saussure, penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas.
Sausurre menggambarkan tanda yang terdiri signifier dan signified itu sebagai berikut: