commit to user
Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dan Konsep Diri
dengan Perilaku Prososial Siswa di Kelas Inklusi
SMPN 12 Surakarta
The Relationship of Democratic Parenting Style and Self-Concept
with The Students’ Pro-Social Behavior In The Inclusive
Classroom of SMPN 12 Surakarta
M etika Ida Satria Ningrum, M achmuroch, Selly Astriana
Program St udi Psikologi Fakult as Kedokt eran Universit as Sebalas M aret
ABSTRAK
Penyelenggaraan kelas inklusi menunt ut adanya perilaku inklusif dari sisw a non berkebut uhan khusus. Perilaku inklusif yang diharapkan dari sisw a non berkebut uhan khusus t ersebut t idak hanya sekedar menerima, t et api juga menolong at au berperilaku prososial kepada sisw a berkebut uhan khusus yang mengalami kesulit an. Perilaku prososial yang dilakukan sisw a non berkebut uhan khusus kepada sisw a berkebut uhan khusus dapat dipengaruhi oleh hal-hal t erkait pengaruh ekst ernal sepert i pola asuh demokrat is yang sering dinilai sebagai pola asuh yang t erbaik sert a pengaruh int ernal sepert i konsep diri yang dimiliki sisw a.
Penelit ian ini bert ujuan unt uk menget ahui: 1. Hubungan ant ara pola asuh demokrat is dan konsep diri dengan perilaku prososial sisw a di kelas inklusi SM PN 12 Surakart a; 2. Hubungan ant ara pola asuh demokrat is dengan perilaku prososial sisw a di kelas inklusi SM PN 12 Surakart a; dan 3. Hubungan ant ara konsep diri dengan perilaku prososial sisw a di SM PN 12 Surakart a.
Penelit ian ini menggunakan pendekat an kuant it at if. Populasi pada penelit ian ini adalah sejumlah 195 sisw a non berkebut uhan khusus dari t ujuh kelas inklusi. Berdasarkan perhit ungan dengan rumus Cohen (t ingkat kesalahan 5%) diperoleh sejumlah 131 subjek penelit ian dan 40 subjek uji coba yang dipilih melalui random sampling. Dat a penelit ian diperoleh melalui t iga alat pengumpulan dat a yait u skala perilaku prososial, skala pola asuh demokrat is, dan skala konsep diri. M et ode yang digunakan dalam menguji hipot esis adalah met ode regresi linear berganda, dan unt uk menget ahui hubungan ant arvariabel dilakukan uji korelasi.
Hasil penelit ian menunjukkan t erdapat hubungan yang signifikan ant ara pola asuh demokrat is dan konsep diri dengan perilaku prososial sisw a di kelas inklusi SM PN 12 Surakart a (F hit ung=8,307; p=0,000<0,05). Secara parsial t idak t erjadi hubungan yang signifikan ant ara pola asuh demokrat is dengan perilaku prososial (rx1y=0,031; p=0,729>0,05), sedangkan konsep diri berhubungan secara signifikan dengan perilaku prososial (rx1y=0,269; p=0,002<0,05). Nilai R2 menunjukkan angka 0,115, sehingga dalam penelit ian ini pola asuh demokrat is dan konsep diri secara bersama-sama memiliki sumbangan efekt if t ehadap perilaku prososial sebesar 11,5%.
Kat a kunci: Perilaku Pr ososial, Pola Asuh Demokrat is, Konsep Diri, Kelas Inklusi.
PENDAHULUAN
Konsep education for all hadir untuk
mengusahakan persamaan hak dalam
memperoleh pendidikan sehingga kaum
minoritas dan disabilitas tidak lagi
termarginalkan. Salah satu upaya populer untuk
mendukung konsep education for all dan
memerangi sikap diskriminatif terhadap anak
dengan disabilitas dalam pendidikan adalah
dengan penyelenggaraan program pendidikan
inklusif. Pendidikan inklusif adalah sistem
layanan pendidikan mempersyaratkan agar
sekolah-commit to user
sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-samateman seusianya (O’Neil, dalam Ilahi, 2013).
Pendidikan inklusif tidak hanya bertujuan
menggabungkan siswa berkebutuhan khusus di
kelas pendidikan umum, tetapi juga menuntut
adanya kerjasama dari semua elemen sekolah
untuk membantu siswa berkebutuhan khusus.
Choiri dan Yusuf (2009) berpendapat bahwa
inklusi menyangkut juga hal-hal bagaimana
orang dewasa dan teman sekelas yang normal
menyambut semua siswa dalam kelas dan
mengenali bahwa keanekaragaman siswa tidak
mengharuskan pendekatan tunggal untuk
seluruh siswa. Oleh karena itu, bukan hanya
guru dan kepala sekolah, siswa non
berkebutuhan khusus sebagai teman sekelas
juga memiliki peran dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif di sekolahnya.
Peran siswa non berkebutuhan khusus dalam
sekolah inklusi memang penting sebab menurut
Mastropian, Schuggs, dan Barkeley (dalam
Slavin, 2011) salah satu cara membantu
memenuhi kebutuhan siswa yang mempunyai
ketidakmampuan di ruang kelas pendidikan
umum adalah memberikan bantuan kepada
siswa ini dari teman kelas yang mampu, dengan
menggunakan sistem sahabat (buddy system)
untuk kebutuhan non-pengajaran atau
pengajaran pribadi teman sebaya (peer
tutoring) untuk membantu masalah belajar.
Carter, Asmus, dan Collen (2015) juga
melakukan eksperimen untuk meneliti manfaat
pemberian dukungan dari teman sebaya untuk
meningkatkan hasil akademik dan sosial bagi
siswa penyandang cacat berat di kelas SMA
umum (inklusi). Hasil penelitian tersebut
membuktikan bahwa 51 siswa berkebutuhan
khusus yang berpartisipasi dan diberikan
pertolongan oleh teman sebaya mengalami
peningkatan interaksi dengan teman sebaya,
peningkatan keterlibatan akademik, kemajuan
lebih pada tujuan sosial individual, peningkatan
partisipasi sosial, dan lebih banyak membuat
persahabatan baru.
Menurut Slavin (2011) penggunaan sumber
daya ini (teman sebaya) juga memungkinkan
guru kelas pendidikan umum mengatasi
persoalan yang lebih penting yang terkait
dengan kegiatan pengajaran. Selain itu, pada
kenyataannya pemenuhan fasilitas yang
mendukung untuk siswa berkebutuhan khusus
di sekolah inklusi di Indonesia belum
sepenuhnya optimal. Penelitian yang dilakukan
oleh Sunardi, Yusuf, Gunarhadi, dan Yeager
(2011) menunjukkan bahwa kurang lebih 50%
sekolah-sekolah inklusi telah memodifikasi
proses pembelajarannya dan sayangnya hanya
sedikit sekolah yang menyediakan peralatan
khusus bagi siswa berkebutuhan khusus. Oleh
sebab itu dalam penyelenggaraan sekolah
inklusif dibutuhkan pertolongan dari siswa non
berkebutuhan khusus.
Perilaku menolong yang dilakukan siswa non
berkebutuhan khusus kepada siswa
berkebutuhan khusus merupakan suatu perilaku
prososial. Perilaku prososial merupakan suatu
tindakan menolong yang menguntungkan orang
lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan
langsung pada orang yang melakukan tindakan
commit to user
risiko bagi orang yang menolong (Baron danByrne, 2005). Menurut Eisenberg dan Morris
(dalam Santrock, 2011) perilaku prososial
memang lebih sering terjadi pada masa remaja
dibandingkan pada masa kanak-kanak.
Akantetapi, pada kenyataannya masih terdapat
remaja di sekolah inklusi yang tidak
menunjukkan perilaku prososial dan malah
menunjukkan perilaku sebaliknya yaitu
perilaku antisosial seperti tidak menolong
bahkan menunjukkan agresifitas. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Rose, Stormont,
Ze Wang, dkk. (2015) menunjukkan bahwa
dalam sekolah inklusi, siswa penyandang cacat
tertentu lebih banyak menjadi korban dan
terlibat dalam perkelahian dengan tingkat yang
lebih tinggi dari daripada rekan-rekan mereka
yang secara demografi tanpa cacat.
Fenomena yang terjadi di SMPN 12 Surakarta
sebagai salah satu sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif di Kota Surakarta
memperlihatkan bahwa hanya sebagian siswa
non berkebutuhan khusus yang menunjukkan
perilaku prososial. Anak yang sering menolong
siswa berkebutuhan khusus yang ada di
kelasnya biasanya hanya teman sebangku atau
yang dekat dengan anak berkebutuhan khusus.
Menurut Staub (dalam Dayakisni dan
Hudainiyah, 2006), adanya nilai-nilai dan
norma sosial yang diinternalisasikan oleh
individu selama mengalami sosialisasi dan
sebagian nilai-nilai serta norma tersebut
berkaitan dengan tindakan prososial, seperti
berkewajiban menegakkan kebenaran dan
keadilan serta adanya norma timbal balik.
Berdasarkan paparan tersebut terlihat bahwa
nilai-nilai dan norma terkait perilaku prososial
merupakan suatu kompetensi sosial yang dapat
diajarkan melalui proses sosialisasi.
Pihak yang paling berperan dalam sosialisasi
pembentukan kompetensi sosial anak dalam
berperilaku prososial adalah tersebut salah
satunya adalah orang tua sebagaimana menurut
Kagan (dalam Lestari 2012) bahwa melakukan
tugas parenting berarti menjalankan
serangkaian keputusan tentang sosialisasi pada
anak. Dari berbagai jenis pola asuh, pola asuh
demokratis atau otoritatif memiliki peluang
untuk memunculkan perilaku anak yang
prososial. Pola asuh demokratis adalah pola
asuh yang memberikan penjelasan, diskusi dan
penalaran untuk membantu anak agar mengerti
maksud dan tujuan dari orang tua kenapa orang
tua menginginkan anak berperilaku seperti
yang orang tua minta (Hurlock, 2009).
Berbagai studi tentang keterkaitan antara jenis
pola asuh dengan perilaku prososial juga telah
dilakukan seperti penelitian Altay dan Gure
(2012), yang hasilnya menunjukkan bahwa
anak dari ibu yang menunjukkan pola asuh
autoritatif atau demokratis memperlihatkan
perilaku yang lebih prososial dibandingkan
dengan anak dari ibu yang menunjukkan pola
asuh permisif.
Selain pengaruh pengasuhan, perilaku siswa
sebagai individu dapat dipengaruhi oleh faktor
internal seperti konsep dirinya. Hal tersebut
dikarenakan konsep diri menentukan
bagaimana individu bertindak sebagaimana
commit to user
2006) bahwa konsep diri merupakan aspekpenting dalam diri seseorang, karena konsep
diri seseorang merupakan kerangka acuan
(frame of reference) dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Konsep diri ini merupakan bagian
inti dari pengalaman individu yang secara
perlahan-lahan dibedakan dan disimbolisasikan
sebagai bayangan tentang diri yang mengatakan
“apa dan siapa aku sebenarnya” dan “apa
sebenarnya yang harus aku perbuat”(Sobur,
2003).
Berbagai penelitian mengenai konsep diri
dengan perilaku remaja telah banyak dilakukan.
Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh
Pangestuti (2011) bahwa hal yang berbeda dari
remaja pelaku bullying dan bukan pelaku
bullying adalah konsep dirinya. Penelitian lain
oleh Mayasari dan Janah (2015)
memperlihatkan pula bahwa konsep diri yang
positif berhubungan secara signifikan dengan
perilaku positif yaitu perilaku prososial remaja.
Berdasarkan pemaparan di atas, secara
keseluruhan penulis ingin mengkaji mengenai
hubungan antara pola asuh demokratis dan
konsep diri dengan perilaku prososial siswa di
kelas inklusi SMPN 12 Surakarta.
DASAR TEORI
Tingkah laku prososial (prosocial behavior)
merupakan suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus
menyediakan suatu keuntungan langsung pada
orang yang melakukan tindakan tersebut, dan
mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi
orang yang menolong (Baron dan Byrne, 2005).
Penner, dkk. (dalam Mercer dan Clayton, 2012)
mencatat bahwa istilah prososial mewakili
suatu kategori tindakan yang luas yang
didefinisikan oleh suatu segmen signifikan
masyarakat dan/atau kelompok sosial seseorang
sebagai tindakan yang secara umum bermanfaat
bagi orang-orang lain. Oleh karena itu, segala
bentuk perilaku menolong yang
menguntungkan orang lain meskipun hal
tersebut merupakan tindakan sederhana dapat
disebut sebagai perilaku prososial.
Menurut Eisenberg & Mussen (dalam
Dayakisni dan Hudaniyah, 2006), perilaku
prososial dapat diungkap melalui lima aspek
berikut:
a. Helping (menolong)
Inti dari perilaku prososial adalah tindakan
menolong orang lain. Menolong merupakan
kesediaan membantu orang lain yang sedang
berada dalam kesulitan, meliputi membantu
orang lain dan menawarkan bantuan pada orang
lain.
b. Cooperating(kerja sama)
Kerja sama merupakan kesediaan untuk bekerja
bersama orang lain demi kelancaran suatu
tujuan bersama yang biasanya saling
menguntungkan, saling memberi, serta
menyenangkan.
c. Sharing (berbagi)
Berbagi adalah kesediaan untuk membagi baik
berupa materi, perasaan dengan orang lain
dalam suasana suka maupun duka, perhatian,
commit to user
d. Donating (menderma)Menderma adalah kesediaan untuk memberi
secara sukarela sebagian barang milik pribadi
kepada orang yang membutuhkan.
e. Honesty (kejujuran)
Kejujuran adalah kesediaan untuk berkata yang
sebenarnya dan tidak berbuat curang kepada
orang lain, mengakui kesalahan dan
menunjukkan kebenaran.
Pola asuh orang tua adalah serangkaian bentuk
interaksi diantara orang tua dan anak yang
mempengaruhi perkembangan kepribadian
anak (Baumrind, dalam Santrock 2002).
Menurut Hurlock (2009) model pengasuhan
orang tua sebagai model pendidikan anak
terdiri dari otoriter, permisif dan demokratis
(otoritatif). Pengasuhan otoritatif (authoritative
parenting) adalah satu gaya pengasuhan yang
memperlihatkan pengawasan ekstra ketat
terhadap tingkah laku anak-anak, tetapi mereka
juga bersikap responsif, menghargai dan
menghormati pemikiran, perasaan, serta
mengikutsertakan anak dalam pengambilan
keputusan (Desmita, 2012). Santrock (2007)
mengemukakan bahwa pola asuh demokratis
mendorong anak untuk bebas tetapi tetap
memberikan batasan dan mengendalikan
tindakan-tindakan yang dilakukan anak.
Adapun aspek-aspek pola asuh demokratis
menurut Munandar (dalam Shochib, 2010)
adalah:
a. Musyawarah dalam keluarga
Pola asuh demokratis selalu memberi
kesempatan kepada keluarga dalam hal ini anak
untuk membicarakan dan menyepakati
peraturan keluarga, membicarakan
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan bersama keluarga
serta memecahkan masalah yang dihadapi
keluarga.
b. Kebebasan yang terkendali
Orang tua yang menerapkan pola asuh
demokratis dalam mendidik anak-anak akan
selalu memberikan kebebasan dalam
berpendapat, dalam menyampaikan keinginan
anak, serta berusaha mendengarkan keluhan,
penjelasan dengan segala pertimbangan yang
bijaksana.
c. Pengarahan orang tua
Memberi pengarahan adalah salah satu ciri pola
asuh demokratis, karena dalam pengarahan
akan termuat penjelasan-penjelasan mengenai
nilai-nilai hidup, moral, norma yang baik dan
penting dalam kehidupan ini.
d. Bimbingan dan perhatian
Pola asuh demokratis memberikan perhatian
mengenai kebutuhan anak dari hal kecil sampai
besar, misalnya adalah kebutuhan pokok anak,
kebutuhan sekolah, kebutuhan bermain, namun
tidak lepas dari bimbingan yang mengarah ke
pencapaian masa depan anak.
e. Saling menghormati antaranggota
keluarga
Dalam pengasuhan ini, ditekankan adanya
sikap saling menhormati dan menghargai antar
commit to user
kata agar tercipta keharmonisan dalamkeluarga.
f. Komunikasi dua arah
Bentuk komunikasi dua arah antara orang tua
dan anak sangat dihargai dan diterapkan dalam
pola asuh ini, karena komunikasi yang baik
adalah bila adanya pihak yang mendengarkan
dan mengutarakan pendapat baik dalam
mengkomunikasikan masalah, maupun
keinginan.
Konsep self (konsep diri) merupakan identitas
diri seseorang sebagai sebuah skema dasar yang
terdiri dari kumpulan keyakinan dan sikap
terhadap diri sendiri yang terorganisasi (Baron
dan Byrne, 2005). William H. Fitts (dalam
Agustiani, 2006) menyebutkan pula bahwa
konsep diri merupakan aspek penting dalam
diri seseorang, karena konsep diri seseorang
merupakan kerangka acuan (frame of reference)
dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Menurut Fitts (dalam Agustiani, 2006), konsep
diri dapat diukur dengan memperhatikan
aspek-aspek dari dimensi berikut:
a. Dimensi internal, yang terdiri atas
1) Diri identitas (Identity Self): merupakan
aspek yang paling mendasar pada konsep
diri dan mengacu pada pertanyaan,
“Siapakah saya?”.
2) Diri pelaku (Behavioral Self): diri pelaku
merupakan persepsi individu tentang
tingkah lakunya, yang berisikan segala
kesadaran mengenai apa yang dilakukan
oleh diri.
3) Penilaian diri (Judging Self): penilaian
diri berfungsi sebagai pengamat, penentu
standar, dan evaluator. Kedudukannya
adalah sebagai perantara (mediator)
antara identitas diri dan pelaku.
b. Dimensi eksternal, yang terdiri atas:
1) Diri fisik (physical self): menyangkut
persepsi seseorang mengenai keadaan
dirinya secara fisik.
2) Diri etik-moral (moral-ethical self):
merupakan persepsi seseorang terhadap
dirinya dilihat dari standar pertimbangan
nilai moral dan etika.
3) Diri pribadi (personal self): merupakan
perasaan atau persepsi seseorang tentang
keadaan pribadinya.
4) Diri keluarga (family self): menunjukkan
perasaan dan harga diri seseorang dalam
kedudukannya sebagai anggota keluarga.
5) Diri sosial (social self): merupakan
penilaian individu terhadap interaksi
dirinya dengan orang lain maupun
lingkungan di sekitarnya.
METODE PENELITIAN
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa non berkebutuhan khusus
yang sekelas dengan siswa berkebutuhan
khusus di SMPN 12 Surakarta dari kelas VII,
VIII, dan IX. Karakteristik populasi yang
digunakan merupakan siswa non berkebutuhan
khusus yang belajar di kelas yang sama dengan
siswa berkebutuhan khusus di SMPN 12
Surakarta pada tahun ajaran 2015-2016 dengan
jumlah 195 siswa. Adapun dari 195 siswa
commit to user
sampel uji coba dan 131 siswa sebagai sampelpenelitian dengan menggunakan teknik
sampling random.
Pengumpulan data yang digunakan adalah
metode skala dengan skala model Likert. Skala
terdiri dari aitem-aitem yang disusun
berdasarkan aspek-aspek konstruk yang akan
diukur. Aitem-aitem dalam skala terdiri dari
pernyataan-pernyataan yang bersifat favorable
dan unfavorable. Skala yang digunakan dalam
penelitian berupa tiga skala likert yaitu skala
perilaku prososial, pola asuh demokratis, dan
konsep diri.
Perilaku prososial diukur menggunakan skala
yang dimodifikasi dari skala yang dibuat oleh
Pitayani (2013). Skala tersebut dikembangkan
dari aspek-aspek prososial menurut Eisenberg
& Mussen (dalam Dayakisni dan Hudainiyah,
2006) yaitu: helping (menolong), cooperating
(kerjasama), honesty (kejujuran), donating
(menderma), dan sharing (membagi).
Pola asuh demokratis diukur menggunakan
skala yang dimodifikasi dari skala yang
dikembangkan oleh Wicaksono (2014). Skala
tersebut menggunakan aspek-aspek pola asuh
demokratis menurut Munandar (dalam Shochib,
2010) yaitu: musyawarah dalam keluarga,
kebebasan yang terkendali, pengarahan orang
tua, bimbingan dan perhatian, saling
menghormati antar anggota keluarga dan
komunikasi dua arah.
Skala konsep diri diukur menggunakan skala
Tennessee Self Concept Scale (TSCS) yang
dibuat oleh William H. Fitts. Skala tersebut
didasari oleh aspek-aspek konsep diri yang juga
dikemukakan oleh William H. Fitts (dalam
Agustiani, 2006). Skala telah diadaptasi ke
dalam bahasa Indonesia oleh Partosuwindo
(1992) dan dimodifikasi oleh penulis.
Skala teruji validitasnya melalui analisis
validitas isi berdasarkan pendapat professional
judgment oleh dosen pembimbing, serta
validitas internal dilakukan dengan teknik
korelasi Product Moment dari Pearson. Uji
reliabilitas pada skala diuji menggunakan
metode Alpha Cronbach.
Untuk menguji hipotesis pertama digunakan
metode analisis regresi berganda. Analisis
regresi berganda menggambarkan satu set VI
(Variabel Independen) berpengaruh secara
bersama-sama terhadap satu VD (Variabel
Dependen) (Santjaka, 2015). Sedangkan untuk
menguji hipotesis kedua dan ketiga
menggunakan metode analisis korelasi parsial,
yaitu pengujian yang digunakan untuk
mengetahui pengaruh atau hubungan variabel X
dan Y dimana salah satu variabel X dibuat tetap
(konstan) (Riduwan, 2012). Peneliti
menghitung analisis data dengan menggunakan
bantuan program SPSS versi 20.0.
HASIL- HASIL
Hasil dari uji hipotesis dengan menggunakan
regresi linier berganda didapatkan hasil nilai
signifikansi 0,000 (p < 0,05) dan F hitung > F
tabel (8,307 > 3,09) sehingga disimpulkan
secara bersama-sama terdapat hubungan yang
positif dan signifikan antara pola asuh
commit to user
prososial siswa non berkebutuhan khususkepada siswa berkebutuhan khusus.
Secara parsial diperoleh hasil bahwa pola asuh
demokratis tidak berhubungan secara signifikan
dengan perilaku prososial (sig. 0,729 > 0,05).
Nilai koefisien korelasi 0,031, mengindikasikan
nilai hubungan yang sangat rendah antara pola
asuh demokratis dengan perilaku prososial,
karena berada pada rentang 0,00 – 0,199.
Konsep diri berhubungan secara signifikan
dengan perilaku prososial (sig. 0,002 < 0,05).
Nilai koefisien korelasi 0,269, mengindikasikan
hubungan positif yang lemah antara konsep diri
berhubungan secara positif dengan perilaku
prososial karena berada pada rentang 0,200 –
0,399.
Nilai koefisien determinasi (R²) adalah 0,115
menunjukkan sumbangan pengaruh variabel
pola asuh demokratis dan konsep diri terhadap
perilaku prososial adalah sebesar 11,5%
sedangkan 88,5% dipengaruhi faktor lain di
luar model penelitian ini. Adapun sumbangan
relatif variabel pola asuh demokratis terhadap
perilaku prososial sebesar 25,55%, sedangkan
sumbangan efektifnya sebesar 2,94%.
Sumbangan relatif konsep diri terhadap
perilaku prososial adalah 74,45% sedangkan
sumbangan efektifnya sebesar 8,56%.
Berdasarkan hasil kategori data dapat diketahui
bahwa siswa non berkebutuhan khusus di kelas
inklusi SMPN 12 Surakarta mayoritas memiliki
tingkat prososial sedang yaitu sebanyak
59,54%, sedangkan 39,69% berada pada
kategori prososial tinggi dan 0,77% siswa
berada pada kategori prososial rendah.
Berdasarkan kategori data diketahui tingkat
pula pola asuh demokratis yang didapatkan
siswa menyebar dari tingkat rendah (0%),
sedang (12,21%) dan tinggi (87,79%).
Berdasarkan kategori data dapat diketahui
tingkat konsep diri siswa menyebar dari tingkat
rendah (0%), sedang (20,61%), dan tinggi
(79,39%).
Berdasarkan data penelitian diperoleh pula
informasi bahwa terdapat perbedaan perilaku
prososial berdasarkan jenis kelamin yang mana
siswa perempuan memiliki rata-rata tingkat
prososial yang lebih tinggi (65,9740)
dibandingkan siswa laki-laki (61,7593). Selain
itu diperoleh perbedaan perilaku prososial
berdasar kelas yaitu:
Perbedaan Perilaku Prososial Berdasar Kelas
Kelas Jenis ABK Siswa
Non-BK
Mean Kategori
7A ADHD 20 60,1000 Sedang
8B Grahita dan
Daksa
19 68,7895 Tinggi
8E Autis 19 65,8947 Sedang
8F Rungu-Wicara 20 61,2500 Sedang
8H Rungu-Wicara 19 62,3158 Sedang
9C Daksa 21 64,3810 Sedang
9F Daksa 13 68,6923 Tinggi
Jumlah 131
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan fakta
bahwa sebagian besar atau 87,79% siswa
mendapatkan pola asuh demokratis yang tinggi
dari orang tuanya. Selebihnya, 12,21% siswa
berada pada kategori sedang dan 0% kategori
rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
commit to user
para orang tua sebagai pola asuh yang dinilaiterbaik untuk diberikan kepada anaknya.
Pendekatan tipologi juga menganggap bahwa
gaya pengasuhan yang paling baik adalah yang
bersifat otoritatif atau demokratis (Lestari,
2012).
Meskipun demikian, dari hasil penelitian
diperoleh informasi bahwa variabel pola asuh
demokratis tidak berhubungan secara signifikan
dengan perilaku prososial (sig. 0,729 > 0,05).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Husada (2013) yang membuktikan bahwa pola
asuh demokratis berkorelasi signifikan dengan
perilaku prososial pada remaja. Hal tersebut
dapat disebabkan oleh berbagai faktor lain
terkait penelitian. Salah satu faktor tersebut
adalah yang terkait dengan subjek penelitian
yang memiliki rentang usia 12 sampai 16 tahun
sehingga telah memasuki masa remaja awal.
Pada masa remaja, termasuk masa remaja awal,
pengaruh otoritas orang tua dalam
mengendalikan tindakan anaknya telah
berkurang.
Desmita (2012) berpendapat bahwa pada masa
remaja, orang tua tidak lagi dipandang sebagai
otoritas yang serba tahu. Remaja lebih banyak
berada di luar rumah bersama dengan
teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah
dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada
sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan
perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga
(Hurlock, 2004). Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa tidak selamanya model
pengasuhan demokratis dapat menjadi prediktor
perilaku prososial pada anak dalam berbagai
situasi, terutama ketika anak berada di luar
lingkungan rumah seperti sekolah.
Hasil perhitungan dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa konsep diri dapat menjadi
prediktor munculnya perilaku siswa yang
positif yaitu perilaku prososial meskipun
dengan kisaran nilai koefisien korelasi sebesar
0,269. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Mayasari dan Janah (2015) yang menunjukkan
adanya hubungan antara konsep diri dengan
perilaku prososial pada remaja. Hasil penelitian
sejalan dengan pernyataan William H. Fitts
(dalam Agustiani, 2006) bahwa konsep diri
merupakan aspek penting dalam diri seseorang,
karena konsep diri seseorang merupakan
kerangka acuan (frame of reference) dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena
itu, konsep diri mampu menuntun perilaku
individu ke arah positif atau negatif sesuai
dengan positif atau negatifnya pandangan yang
dimiliki individu mengenai dirinya.
Memiliki konsep diri yang positif merupakan
hal yang sangat menguntungkan bagi diri
remaja. Hal tersebut dikarenakan pembentukan
konsep diri pada masa remaja akan
mempengaruhi perilaku individu di masa
depannya. Sebagaimana pendapat Hurlock
(2004) bahwa anak yang mengembangkan
konsep diri kurang baik pada masa remaja
cenderung menguatkan konsep tersebut dengan
perilaku yang tidak sosial, dan bukan
memperbaikinya. Pembentukan konsep diri
commit to user
satunya lingkungan. Konsep diri pada remajaterbentuk berdasarkan perlakuan yang
diberikan oleh orang-orang di lingkungannya
(Hurlock, 2009). Refleksi lingkungan yang
positif dapat memberi kekuatan bagi anak,
sekalipun ia memiliki citra diri yang kurang
(Wanei, 2006).
Beberapa faktor prososial lain di luar penelitian
dapat mempengaruhi penelitian ini. Berdasarkan
faktor-faktor prososial yang diungkap oleh
Baron dan Byrne (2005) faktor situasional
prososial lainnya yang dapat berpengaruh dalam
penelitian ini adalah bystander, daya tarik,
atribusi terhadap korban, model prososial selain
orang tua, desakan waktu, dan sifat kebutuhan.
Selain itu, faktor internal lain yang dapat
berpengaruh terhadap perilaku prososial adalah
suasana hati, sifat, jenis kelamin, dan tempat
tinggal.
Selain itu, perilaku prososial siswa yang penulis
ungkap dalam penelitian ini merupakan perilaku
prososial yang bersifat khusus sehingga
kemungkinan faktor yang berkaitan dengan
siswa berkebutuhan khusus dapat berpengaruh.
Hal tersebut dikarenakan dalam pelaksanaannya
sekolah inklusi membuka diri pada berbagai
jenis kecacatan seperti pernyataan Staub dan
Peck (dalam Sukarno, 2006) pendidikan inklusif
menempatkan anak berkelainan tingkat ringan,
sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler.
Oleh karena itu, meskipun dalam
penyelenggaraan sekolah inklusi berusaha
menghilangkan adanya diskriminasi dan
stigmatisasi terhadap anak berkebutuhan
khusus, adanya pandangan mengenai perbedaan
yang dimiliki siswa berkebutuhan khusus oleh
teman-temannya yang normal tidak dapat
dihindari.
Somantri (2006) menjelaskan bahwa nampak
atau tidak nampaknya keadaan tunadaksa itu
merupakan faktor yang penting dalam
penyesuaian diri anak tunadaksa di
lingkungannya, karena hal itu sangat
berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan
anak-anak normal terhadap anak-anak-anak-anak tunadaksa.
Berdasarkan analisis lebih lanjut menunjukkan
bahwa terdapat dua kelas yang rata-rata
siswanya memiliki perilaku prososial tinggi
yaitu kelas VII B dan IX F yang memiliki siswa
berkebutuhan khusus tunadaksa yang lebih
mencolok dibandingkan lima kelas yang
rata-rata siswanya memiliki perilaku prososial yang
sedang yaitu kelas VII A, VII E, VIII F, VIII H,
dan IX C.
Penelitian ini juga menemukan bahwa rata-rata
siswa perempuan memiliki skor prososial
sebanyak 65,9740 atau lebih tinggi jika
dibandingkan dengan siswa laki-laki yang
memiliki rata-rata skor 61,7593. Perbedaan
tersebut sesuai dengan pendapat Myers (2012)
tentang jenis kelamin yang menjadi salah satu
faktor prososial. Menurut Myers (2012) pada
situasi-situasi yang lebih aman, seperti menjadi
sukarelawan untuk membantu dalam suatu
eksperimen atau menghabiskan waktu dengan
anak-anak yang memiliki ketidakmampuan
perkembangan, para wanita memiliki
kecenderungan yang lebih besar untuk
memberikan pertolongan.
Berdasarkan data penelitian diperoleh pula
commit to user
Surakarta memiliki tingkat prososial yangsedang (59,54%), tinggi (39,69%) dan rendah
(0,77%) sehingga sebaiknya dilakukan upaya
untuk meningkatkan perilaku prososial siswa
dengan menambah kegiatan yang dapat
meningkatkan konsep diri siswa yang positif.
Selain itu, hendaknya semua guru yang bekerja
di lingkungan sekolah inklusif mendapatkan
pelatihan untuk mengembangkan keterampilan
mengajar siswa berkebutuhan khusus.
Kerjasama dengan orang tua siswa non
berkebutuhan khusus juga perlu dilakukan untuk
membentuk perilaku siswa yang lebih
kooperatif mengingat pola asuh demokratis dan
konsep diri secara bersama-sama berpengaruh
terhadap perilaku prososial.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, Hendriati. (2006). Psikologi Perkembangan
Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri Pada Remaja.
Bandung: Refika Aditama.
Altay, Fatma Basak dan Gure, Aysen. (2012).
Relationship among the Parenting Styles and the Social Competence and Prosocial Behaviors of the Children Who are Attending to State and Private Preschools. Journal Educational Sciences: Theory
& Practice, vol 12. ISSN:1303-0485.
Baron, Robert A., dan Byrne, Donn. (2005). Psikologi
Sosial Jilid 2 (edisi kesepuluh). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Carter, Erik W., Asmus, Jennifer., Moss, Collen K., et.al. (2015). Randomized Evaluation of Peer Support Arrangements to Support the Inclusion of High School Students With Severe Disabilities (Abstract). SAGE Journals Abstracts, Vol. 82(2) ISSN:0014-4029.
Choiri, Abdul Salim., dan Yusuf, Munawir. (2009).
Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Secara Inklusif. Surakarta: Yuma Pustaka.
Dayakisni, Tri dan Hudaniyah. (2006). Psikologi Sosial. Yogyakarta: UMM Press.
Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hurlock, Elisabeth B. (2004). Psikologi Perkembangan,
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hurlock, Elisabeth B. (2009). Psikologi Perkembangan,
Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ilahi, Mohammad Takdir. (2013). Pendidikan Inklusif:
Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mayasari, Intan Aprilia dan Janah, Miftakhul. (2015). Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Prososial pada Remaja di Panti Asuhan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Skripsi(tidak dipublikasikan). Pekalongan: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Pekajangan.
Mercer, Jenny dan Clayton, Debbie. (2012). Psikologi
Sosial. Jakarta: Erlangga.
Pangestuti, Dewi Ratna. (2011). Konsep Diri Pelaku Bullying pada Siswa SMPN Y di Jawa. Tesis(tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Partosuwindo, Sri Rahayu. (1992). Penyesuaian Diri Mahasiswa dalam Kaitannya dengan Konsep Diri Pusat Kendali dan Status Perguruan Tinggi.
Disertasi, (tidak dipublikasikan). Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta.
Pitayani, Piti. (2013). Hubungan antara Tingkat Maskulinitas dengan Perilaku Prososial pada Perawat Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Skripsi(tidak dipublikasikan), Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Riduwan. (2012). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta.
commit to user
Santjaka, Arif. (2015). Aplikasi SPSS untuk AnalisisData Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development. Jakarta: Erlangga.
___________.. (2003). Adolescence: Perkembangan
Remaja (edisi keenam). Jakarta: Erlangga.
___________. (2007).Remaja Jilid 1 (edisi 11). Jakarta: Penerbit Erlangga.
___________. (2011). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 1 (edisi kelima).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Shochib, Moh. (2010). Pola Asuh Orang Tua: dalam
Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri.
Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, Robert E. (2011). Psikologi Pendidikan, Teori
dan Praktik. Jakarta: PT. Indeks
Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Somantri, Sutjihati. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
Sukarno, Anton. (2006). Pelayanan dan Model
Pembelajaran Anak Berkesulitan Belajar.
Surakarta: UNS Press.
Sunardi., Yusuf, Munawir., Gunarhadi, Priyono., dan Yeager, John L. (2011). Implementation of Inclusive Education for Students with Special Needs in Indonesia (Abstract). Jurnal Konsorsium
Perguruan Tinggi Indonesia-Pittsburgh Abstracst.
ISSN: 2153-9669.
Wicaksono, Andrean Danang. (2014). Hubungan antara Konsep Diri dan Pola Asuh Demokratis Orang Tua dengan Penyesuaian Sosial di Sekolah pada Siswa Kelas VIII SMPN 27 Surakarta. Skripsi, (tidak dipublikasikan) Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Wanei, Geraldine K., (2006). Sekolah, Membentuk
Konsep Diri Positif, dalam Sulistyorini. Konsep