PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh
NUR ARDITA RAHMAWATI
NIM: 131314047
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh
NUR ARDITA RAHMAWATI
NIM: 131314047
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii SKRIPSI
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh:
Nur Ardita Rahmawati
131314047
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I
Dra. Theresia Sumini, M.Pd. Tanggal 18 Juli 2017
Pembimbing II
iii SKRIPSI
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Nur Ardita Rahmawati 131314047
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 25 Juli 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. ……….
Sekretaris : Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ……….
Anggota : Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ……….
Anggota : Hendra Kurniawan, M.Pd. ……….
Anggota : Dr. Anton Haryono, M.Hum. ……….
Yogyakarta, 25 Juli 2017
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Mendiang nenek tercinta
Rosa de Lima Maria Sumaryati
Orang terkasih yang memberikan banyak dukungan di awal perkuliahan
Bapak dan Ibu tercinta
Bapak Junedi dan Ibu Victoria Runi
v MOTTO
“Al heb ik een uitgesproken westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de
allereeste plaat Javaan”
(Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat, namun pertama-tama saya
adalah dan tetap orang Jawa)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.
Yogyakarta, 18 Juli 2017
Penulis,
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Nur Ardita Rahmawati
Nomor Mahasiswa : 131314047
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk perangkat data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media
lain untuk kepentingan akademisi tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal, 18 Juli 2017
Yang menyatakan
viii ABSTRAK
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER
Nur Ardita Rahmawati Universitas Sanata Dharma
2017
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) sejarah berdirinya Museum Misi Muntilan, (2) kegiatan edukasi di Museum Misi Muntilan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, (3) dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode studi kasus. Sumber data pada penelitian diperoleh dari lokasi penelitian, informan (pengelola, pengunjung Museum Misi Muntilan dan guru), koleksi benda museum dan dokumen museum mengenai data pengunjung. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.
ix
ABSTRACT
SOCIETY’S PERCEPTION OF MUNTILAN MISSIONARY MUSEUM
EXISTANCE AS A MEDIUM FOR CHARACTER EDUCATION
Nur Ardita Rahmawati Sanata Dharma University
2017
This study aims to describe: (1) the history of Muntilan Missionary Museum, (2) the education activities in Muntilan Missionary Museum which have
relation with character education, (3) and the society’s perception of Muntilan
Missionary Museum as a medium for character education.
The type of the research is qualitative with case study methods. The data were obtained from the location of research, informants (museum organizers and visitors, and teachers), collections of the museum, and the document of visitors. Purposive sampling and snowball sampling were used in taking samples. Data were collected through observation, interviews, and documentation.
The results of this study shows: (1) the history of Muntilan Missionary
Museum started when The Semarang Bishop was celebrating 50th birthday with
arranged some programs. One of them is museum building. It was built in Muntilan for historical reasons. Muntilan was the beginning of Catholic Church in Java and Father van Lith as the pioneer. (2) Education activities in Muntilan Missionary Museum has a relation with character education such as society assistance, community assistance such as OMK and PIA, Missionary Novena on Tuesday Night, and orientation for new students from schools near Muntilan. (3)
The society’s perception of Muntilan Missionary Museum as a medium for
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
dengan judul Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Museum Misi Muntilan
sebagai Sarana Pendidikan Karakter. Penelitian ini disusun guna memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan
Sejarah.
Dalam proses penyusunan tugas akhir ini penulis menyadari akan
keterlibatan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
dan Bapak Ignatius Bondan, S.Pd., M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan
izin penelitian kepada peneliti
2. Ibu Dra. Theresia Sumini, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Sejarah Universitas Dharma sekaligus dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan dan dukungan kepada peneliti dari awal penelitian
sampai penyusunan laporan penelitian.
3. Bapak Hendra Kurniawan, M.Pd., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Sejarah sekaligus dosen pembimbing yang dengan sabar
xi
4. Bapak Sutarjo Adisusilo, M.Pd., selaku dosen pendamping akademik yang
selalu memberikan motivasi kepada mahasiswa.
5. Seluruh dosen program studi Pendidikan Sejarah yang selalu memberikan
dukungan kepada mahasiswa tingkat akhir dalam menyelesaikan tugas akhir.
6. Bapak Agus selaku sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu memperlancar penelitian.
7. Romo Nugroho, Pr., selaku Direktur Museum Misi Muntilan yang telah
memberi izin untuk melakukan penelitian dan meluangkan waktu untuk
wawancara.
8. Romo Bambang Sutrisno, Pr., selaku ketua tim pelaksana pembangunan
Museum Misi Muntilan yang meluangkan waktu dan berbagi pengalaman
selama menjadi pengelola Museum Misi Muntilan.
9. Bapak Ant. Tri Usada Sena dan Bapak Muji selaku tim edukasi dari Museum
Misi Muntilan yang selalu memberikan bantuan dan meluangkan waktu untuk
wawancara.
10.Seluruh staff Museum Misi Muntilan yang telah membantu peneliti dalam
melakukan penelitian.
11.Bapak Robertus Baluk Nugroho, S.Pd., selaku Wakil Kepala Sekolah Bagian
Kurikulum SMA Pangudi Luhur yang mengijinkan penulis melakukan
penelitian dan Ibu Lucia Desy, S.Pd., selaku guru sejarah SMA Pangudi Luhur
van Lith yang membantu peneliti mendapatkan informasi.
12.Bapak Joko selaku guru IPS SMP Kanisius Muntilan Lith yang membantu
xii
13.Kedua orang tua tercinta Bapak Junedi dan Ibu Victoria Runi yang selalu
memberikan dukungan
14.Sahabat-sahabat angkatan 2013, yang saling mendukung dan memberikan
semangat dalam menyelesaikan tugas akhir.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun agar penelitian ini lebih baik. Semoga karya tulis
ini dapat bermanfaat.
Yogyakarta, 18 Juli 2017
Penulis
Nur Ardita Rahmawati
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii
ABSTRAK ...viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ...xiii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Batasan Masalah ... 4
D. Tujuan Penelitian... 5
E. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6
A. Kajian Teori... 6
1. Konsep Persepsi ... 6
2. Konsep Museum ... 9
3. Konsep Masyarakat ... 15
4. Konsep Misi ... 17
5. Museum Misi Muntilan ... 25
6. Konsep Pendidikan Karakter... 27
xiv
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35
A. Jenis Penelitian ... 35
B. Tempat Penelitian ... 36
C. Sumber Data ... 36
D. Teknik Pengumpulan Data ... 37
E. Instrumen Pengumpulan Data... 39
F. Pengambilan Sampel ... 40
G. Teknik Analisis Data ... 42
H. Validitas Data ... 44
I. Sistematika Penulisan ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Deskripsi Latar ... 49
1. Visi dan Misi ... 50
2. Sarana Prasarana ... 52
B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 53
1. Sejarah Museum Misi Muntilan ... 53
2. Kegiatan MMM berkaitan dengan Pendidikan Karakter ... 59
3. Persepsi Masyarakat Terhadap MMM ... 64
C. Pembahasan ... 77
1. Sejarah Museum Misi Muntilan ... 77
2. Kegiatan MMM berkaitan dengan Pendidikan Karakter ... 84
3. Persepsi Masyarakat Terhadap MMM ... 89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102
A. Kesimpulan ... 102
B. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 106
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jadwal Penelitian... 36
Tabel 2. Data Pengunjung Museum Misi Muntilan ... 50
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar I. Kerangka Berpikir ... 34
Gambar II. Alur Analisis Data ... 44
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Observasi Museum ... 110
Lampiran 2. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara ... 111
Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 112
Lampiran 4. Catatan Lapangan Wawancara ... 115
Lampiran 5. Dokumentasi Wawancara ... 173
Lampiran 6. Lembar Pengamatan Dokumentasi ... 177
Lampiran 7. Dokumentasi Kesan Pengunjung ... 180
Lampiran 8. Silabus ... 185
Lampiran 9. RPP ... 202
1 BAB I
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Museum merupakan sarana dalam pengembangan budaya dan peradaban
manusia. Secara luas museum juga bergerak di sektor ekonomi, politik, dan
sosial.1 Museum berguna sebagai sarana pembelajaran dan sarana pewarisan
nilai-nilai dari kehidupan di masa lalu ke masa kini dan masa yang akan datang.
Museum menyadarkan masyarakat akan pentingnya merawat dan melestarikan
benda peninggalan di masa lalu.
Melihat pentingnya peninggalan benda dari masa lalu untuk dirawat dan
dilestarikan maka tidak heran jika di negara kita banyak didirikan museum.
Hampir setiap ibukota provinsi memiliki museum tingkat provinsi dan museum
lokal. Museum lokal dimasukkan ke dalam jaringan sistem permuseuman dan
diberikan bantuan untuk pemugaran gedung serta peningkatan usaha perawatan
dan penyajian koleksinya.2 Baik museum tingkat nasional, provinsi, maupun
tingkat lokal tetaplah kehadirannya memiliki arti penting dan fungsi tersendiri.
Salah satu museum lokal yang ada di Indonesia adalah Museum Misi
Muntilan. Museum Misi Muntilan adalah museum yang terletak di Jalan Kartini 3,
Muntilan, Jawa Tengah. Museum ini diresmikan pada tahun 2004. Koleksi yang
ada ialah benda-benda yang berkaitan erat dengan kegiatan misi Katolik baik yang
1
Tjahjopurnomo, Sejarah Permuseuman di Indonesia (Jakarta:Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal dan Purbakala, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2001) hlm. 88
2
ada di sekitar maupun di luar Muntilan. Meski sudah lama diresmikan keberadaan
museum ini masih jarang diketahui masyarakat umum, bahkan umat Katolik
sekalipun. Ada umat Katolik yang sudah mengetahui keberadaan museum tersebut
tetapi belum pernah berkunjung. Ada juga yang memang sama sekali belum
mengetahui keberadaan museum tersebut.
Keadaan seperti ini sangat disayangkan karena Museum Misi Muntilan
memiliki koleksi yang lengkap dan bermanfaat bagi umat Katolik maupun non
Katolik. Berangkat dari pengalaman penulis ketika melakukan Pengabdian
Masyarakat di Museum Misi Muntilan, penulis melihat bahwa museum ini
menghadirkan banyak tokoh inspiratif namun sebagian tokoh belum terlalu
dikenal oleh masyarakat. Tokoh-tokoh tersebut memiliki peran penting baik bagi
umat Katolik maupun umat non Katolik di masa lalu.
Setiap tokoh yang ditampilkan di Museum Misi Muntilan memiliki nilai
karakter tersendiri yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Untuk membantu
dalam menggali nilai-nilai karakter maka setiap ada yang berkunjung selalu diberi
pendampingan dari pihak museum. Adanya penggalian nilai-nilai karakter pada
koleksi museum melalui pendampingan ini berarti museum bisa dimanfaatkan
sebagai sarana pendidikan karakter.
Pendidikan karakter menjadi suatu hal yang kini diperbincangkan.
Pendidikan karakter memiliki tujuan untuk mengembangkan karakter bangsa.
Adapun karakter bangsa yang dikembangkan pada kurikulum 2013 meliputi
3
(7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11)
cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat / komunikatif, (14) cinta
damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18)
tanggung jawab.3
Beberapa nilai karakter yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013
rupanya bisa ditemui pada tokoh-tokoh yang ditampilkan di Museum Misi
Muntilan. Nilai karakter tersebut misalnya: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, mandiri, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, bersahabat,
cinta damai, peduli lingkungan dan sosial serta tanggung jawab. Hal ini juga
sesuai dengan landasan museum Indonesia dengan 3 pilar utama, yakni 1)
mencerdaskan kehidupan bangsa, 2) membentuk kepribadian (karakter) bangsa,
dan 3) menanamkan konsep ketahanan nasional dan Wawasan Nusantara. Ketiga
pilar tersebut merupakan landasan kegiatan operasional museum yang dibutuhkan
di era globalisasi ini. Pada saat masyarakat mulai kehilangan orientasi akar
budaya atau jati dirinya, maka museum dapat memberi inspirasi tentang hal-hal
penting dari masa lalu yang harus diketahui untuk menuju ke masa depan.4
Agar hal tersebut dapat terjadi maka persepsi tentang museum sebagai
tempat pameran benda masa lalu perlu diubah bahwa museum adalah tempat yang
menyenangkan untuk belajar dan juga tempat untuk mengembangkan nilai
karakter. Pengembangan nilai karakter akan terwujud apabila pengunjung merasa
berkesan sehingga mendapatkan makna dan inspirasi baru setelah berkunjung.
3
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) hlm. 52
4
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik
melakukan penelitian dengan judul “Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan
Museum Misi Muntilan sebagai Sarana Pendidikan Karakter”. Harapannya
dengan penelitian ini Museum Misi Muntilan menjadi museum yang lebih dikenal
oleh masyarakat dan memberikan inspirasi bagi museum lain agar bisa menjadi
sarana pendidikan karakter seperti yang dicanangkan oleh pemerintah.
B. RUMUSAN MASALAH
Melihat latar belakang di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana sejarah Museum Misi Muntilan?
2. Apa saja kegiatan Museum Misi Muntilan yang berkaitan dengan pendidikan
karakter?
3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan
sebagai sarana pendidikan karakter?
C. BATASAN MASALAH
Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah
Museum Misi Muntilan, dan kegiatan yang ada di dalamnya serta persepsi
masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana
5
D. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan sejarah Museum Misi Muntilan.
2. Mendeskripsikan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter di
Museum Misi Muntilan.
3. Menjelaskan persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi
Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.
E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang didapat dari penelitian ini yaitu:
1. Bagi Museum Misi Muntilan
Menambah koleksi untuk perpustakaan museum dan bisa menjadi inspirasi
untuk peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian mengenai Museum Misi
Muntilan.
2. Bagi Universitas Sanata Dharma
Menambah koleksi penelitian dan bisa dijadikan referensi khususnya prodi
Pendidikan Sejarah dalam pengembangan perkuliahan sejarah gereja serta hal
yang berkaitan dengan permuseuman.
3. Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman baru dalam membuat karya tulis ilmiah dan
mengembangkan wawasan peneliti mengenai misi, permuseuman, serta
6 BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori
1. Konsep Persepsi a. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan.
Proses persepsi tidak dapat lepas dari penginderaan, dan proses penginderaan
merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Stimulus yang mengenai
individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu
menyadari tentang apa yang ada di inderanya itu. Proses inilah yang dimaksud
dengan persepsi. Jadi, stimulus diterima oleh alat indera, kemudian melalui proses
persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah
diorganisasikan dan diinterpretasikan.5
Dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar diri individu, dan juga
dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Bila yang dipersepsi
dirinya sendiri maka disebut persepsi diri (self-perception).6 Ketika melakukan
persepsi pada diri sendiri orang dapat melihat bagaimana keadaan dirinya sendiri.
Bila objek persepsi terletak di luar orang yang mempersepsi, maka objek persepsi
dapat bermacam-bermacam, yaitu dapat berupa benda-benda, situasi, dan juga
dapat berupa manusia. Bila objek persepsi berupa benda-benda disebut persepsi
benda (things perception) atau juga disebut non-social perception, sedangkan bila
objek persepsi berupa manusia atau orang disebut persepsi sosial atau social
5
Bimo Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Andi, 2003) hlm. 53
6
7
perception. Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui,
menginterpretasikan dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang
sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang
dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi.7
Persepsi bersifat individual karena berkaitan dengan perasaan, kemampuan
berpikir, dan pengalaman setiap individu yang tidak sama sehingga dalam
mempersepsi stimulus hasilnya berbeda.8
b. Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Persepsi 1) Faktor Internal
Faktor internal yaitu keadaan individu yang berpengaruh pada individu
dalam mengadakan persepsi. Keadaan individu tersebut bisa datang dari dua
sumber antara lain sumber jasmani dan sumber psikologis. Bila jasmani terganggu
maka akan berpengaruh pada hasil persepsinya sedangkan sumber psikologis yang
akan berpengaruh pada hasil persepsi adalah pengalaman, persepsi, perasaan,
kemampuan berpikir, kerangka acuan dan motivasi.9 Keadaan individu ditentukan
oleh sifat struktural dari individu, sifat temporer dari individu, dan aktivitas yang
sedang berjalan pada individu. Sifat struktural adalah sifat permanen dari individu
misalnya ada individu yang suka memperhatikan keadaan sekitarnya tetapi ada
juga yang acuh tak acuh sedangkan sifat temporer individu berkaitan dengan
suasana hati individu.10
7
Ibid, hlm. 56
8
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi, 2005) hlm. 100
9
Ibid, hlm. 55
10
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh pada persepsi antara lain stimulus dan
lingkungan di mana persepsi itu berlangsung. Kejelasan stimulus akan banyak
berpengaruh dalam persepsi. Pada umumnya stimulus yang kuat lebih
menguntungkan dibandingkan stimulus yang lemah.11 Bila stimulus itu berwujud
benda-benda bukan manusia, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu
yang mengadakan persepsi, karena benda-benda yang dipersepsi tersebut tidak
ada usaha untuk mempengaruhi yang mempersepsi. Sedangkan lingkungan yang
menjadi latar belakang stimulus berpengaruh pula pada persepsi terutama jika
objek persepsi adalah manusia. Objek yang sama dengan situasi sosial yang
berbeda dapat menghasilkan persepsi yang berbeda.12
c. Aplikasi Teori Persepsi dalam Kehidupan
Pembahasan ini menggambarkan bagaimana suatu hasil kontak / hubungan /
interaksi mempengaruhi tingkah laku dan cara (jalan) pikiran seseorang, seperti:13
1) Impression Formation, yaitu: proses dimana informasi tentang orang lain
diubah menjadi pengetahuan atau pemikiran yang relatif menetap tentang
orang tersebut.
2) Attribution, yaitu: proses dimana manusia menjelaskan dan
menginterpretasikan kejadian yang ditemuinya.
3) Social Influence, yaitu: proses dimana seseorang hadir dan berusaha
mempengaruhi sikap atau persepsi orang lain.
11
Bimo Walgito, op. cit, hlm. 127
12
Bimo Walgito, op. cit, hlm. 55
13
9
4) Social Relationship, yaitu: persepsi sosial yang banyak dipengaruhi oleh
kedekatan seseorang dengan orang lain.
2. Konsep Museum a. Pengertian Museum
Kata museum berasal dari bahasa Yunani, muze yang berarti kumpulan
sembilan dewi perlambang ilmu dan kesenian.14 Dalam KBBI, museum adalah
gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang
patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni, dan ilmu;
tempat penyimpanan kuno. Museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak
mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk
umum, yang mengumpulkan, merawat dan memamerkan benda-benda bukti
material manusia dan lingkungannya. Museum bertujuan untuk kegiatan yang
berkaitan dengan penelitian, pendidikan dan hiburan.15
Museum merupakan sarana dalam pengembangan budaya dan peradaban
manusia. Museum juga bergerak dalam sektor ekonomi, politik, sosial, dan
lain-lain. Di samping itu, museum merupakan wahana yang memiliki peran strategis
terhadap penguatan jati diri masyarakat. Para ahli kebudayaan meletakkan
museum sebagai bagian dari pranata sosial dan sebagai media edukasi untuk
memberikan gambaran tentang perkembangan alam dan budaya manusia kepada
publik.16 Museum sebagai media komunikasi memiliki lima metode penyampaian
14
Amir Sutaarga, op. cit, hlm. 7
15
Tjahjopurnomo, op. cit. hlm. 6
16
seperti: pameran (baik semi permanen maupun sementara), acara, kegiatan
edukatif, pengenalan dan ceramah, dan penerbitan.17
Penyelenggara museum dapat merupakan badan pemerintah dan dapat pula
badan swasta dalam bentuk perkumpulan atau yayasan yang di atur kedudukan,
tugas dan kewajibannya oleh undang-undang.18 Menyelenggarakan museum
diperlukan banyak biaya. Hal ini terkait dengan fungsi museum itu sendiri sebagai
tempat penyimpanan benda-benda purbakala, tempat pameran, dan dasar
pengelolaan museum itu bersifat ilmiah untuk tujuan edukatif dan kultural.19
b. Jenis Museum
Pada tahun 1971 Direktorat Permuseuman mengelompokkan museum
berdasarkan jenis koleksi. Berdasarkan jenis koleksi maka ada tiga jenis museum,
antara lain: Museum Umum, Museum Khusus dan Museum Lokal. Namun pada
tahun 1975, pembagian jenis museum tersebut diubah menjadi Museum Umum,
Museum Khusus dan Museum Pendidikan. Pada tahun 1980 pembagian itu
semakin sederhana menjadi Museum Umum dan Museum Khusus. Museum
umum adalah musum yang memiliki berbagai macam jenis koleksi sedangkan
museum khusus adalah museum yang hanya memiliki satu jenis koleksi, misalnya
Museum Batik.20 Direktorat Permuseuman mengelompokkan lagi museum
berdasarkan tingkat kedudukan. Pengelompokan museum menjadi Museum
17
Schouten, Pengantar Didaktik Museum (terj.) (Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992) hlm. 2
18
Amir Sutaarga, op. cit, hlm. 24
19
Loc. cit.
20
11
Tingkat Nasional (awalnya Museum Umum dan Khusus), Museum Tingkat
Regional (provinsi), dan Museum Tingkat Lokal (Kodya / Kabupaten).21
Museum Tingkat Nasional adalah museum dengan kumpulan koleksi yang
berkaitan dengan bukti material manusia atau lingkungan dan bernilai nasional
contohnya: Museum Nasional yang terletak di Jakarta. Museum Tingkat Regional
(provinsi) adalah museum yang koleksinya berkaitan dengan lingkungan provinsi,
contoh: Museum Keraton Yogyakarta. Museum Tingkat Lokal adalah museum
dengan koleksi benda yang bercorak atau bernilai lokal berasal dari kabupaten
dimana museum itu berada, contoh: Museum Gerabah. Museum ini termasuk jenis
museum tingkat lokal karena terletak di Bantul yang merupakan salah satu
kabupaten yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.22 Berdasarkan
Rencana Peraturan Pemerintah museum dibagi menjadi 4 jenis yaitu:
1) Museum umum
Museum umum adalah museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan
bukti material manusia dan atau lingkungannya yang berkaitan dengan berbagai
cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi, contoh dari museum umum yang ada di
Indonesia adalah Museum Indonesia di TMII.23
2) Museum sejarah
Museum sejarah adalah museum yang mencakup hal-hal tentang sejarah
yang berkaitan dengan masa kini dan masa depan. Koleksi yang dimiliki museum
sejarah sangat beragam seperti: dokumen, artefak, benda bersejarah, dan lain-lain.
21
Tjahjopurnomo, loc. cit
22
Mohammad Zakaria, Pengertian, Fungsi, dan Jenis-jenis Museum (http://belajaritutiadaakhir.blogspot.co.id/2011/08/museum-di-indonesia.html), diakses tanggal 17 April 2017
23
Contoh dari museum sejarah di Indonesia adalah Museum Fatahillah, Museum
Misi Muntilan, Museum Benteng Vredeburg, dan lain sebagainya.24
3) Museum seni
Museum seni adalah sebuah ruangan untuk pameran benda seni, mulai dari
seni visual yaitu di antaranya lukisan, gambar, dan patung. Museum ini disebut
juga galeri seni. Contoh dari museum seni adalah Museum Affandi dan Museum
Wayang yang terletak di Yogyakarta.25
4) Museum Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Museum ilmu pengetahuan dan teknologi adalah museum yang
menampilkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Contoh
museum yang bertemakan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia adalah
Museum Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang berada di TMII.26
c. Fungsi Museum
Museum memiliki 4 fungsi, antara lain27:
1) Fungsi edukatif dan akademis
Museum berfungsi sebagai wahana pendidikan, sarana membagi
pengetahuan (baik baru maupun lama) dan juga tempat melakukan studi atau
penelitian. Museum dituntut tidak hanya sebagai sarana pembelajaran publik,
namun juga harus mampu menunjang perkembangan ilmu pengetahuan seperti
halnya pusat studi maupun pusat kajian universitas. Museum juga menjadi tempat
di mana para peneliti khususnya sejarawan maupun mahasiswa mendapatkan
24
Museum, (https://id.wikipedia.org/wiki/Museum ) diakses tanggal 17 April 2017
25
Loc.cit
26
Iqbal, Museum Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (http://museumppiptek.blogspot.co.id/ ) diakses tanggal 17 April 2017
27
13
sumber sejarah berupa dokumen, foto, dan lain sebagainya. Hampir semua
museum yang didirikan memiliki fungsi edukatif dan akademis bagi masyarakat.
2) Fungsi sosio kultural
Museum menjadi media “pengingat” peristiwa yang di alami manusia.
Museum menjadi sarana pameran dari hasil kebudayaan atau benda-benda
peninggalan di masa lalu agar tidak hilang atau dilupakan oleh masyarakat.
Museum yang memiliki fungsi sosio kultural misalnya Museum Purbakala
Sangiran yang terletak di Kabupaten Sragen. Museum ini menyimpan berbagai
benda peninggalan yang digunakan oleh manusia purba. Artinya museum menjadi
media pengingat bagi manusia zaman sekarang mengenai kehidupan manusia
zaman pra-sejarah beserta benda-benda peninggalannya.
3) Fungsi rekreasi dan ekonomi
Museum dapat digunakan sebagai tempat rekreasi yang memberikan
inspirasi kepada masyarakat umum. Salah satu contoh museum yang berfungsi
sebagai tempat rekreasi dan ekonomi adalah De Mata Trick Eye Museum.
Museum ini terletak di Yogyakarta. Koleksi yang ada berupa gambar-gambar tiga
dimensi seperti gambar pemandangan dan berbagai ilustrasi dengan ukuran besar.
Koleksi tersebut digunakan pengunjung untuk berfoto.
4) Fungsi politik
Dalam misi politik kebudayaan, museum diperlukan untuk melegitimasi
atau mengklaim hal-hal yang simpang siur dan terlupakan. Sebab narasi besar
tentang identitas biasanya berada di wilayah abu-abu, dialektis, oleh karena itu
dan aktivitas di museum. Contoh museum yang memiliki fungsi politik adalah
Monumen Yogya Kembali. Museum ini menyimpan koleksi yang berkaitan
dengan Serangan Umum 1 Maret. Selain itu juga ada Museum Benteng Vredeburg
yang menyajikan diorama tentang berbagai peristiwa politik di Indonesia mulai
peritiwa sebelum Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan masa Orde Baru.
Museum ini juga memiliki koleksi berupa patung, foto, dan lukisan.
d. Permasalahan dan Potensi Permuseuman di Indonesia 1) Permasalahan
Permasalahan permuseuman di Indonesia dibagi menjadi dua faktor, yakni:
a) Faktor internal
Faktor internal yang muncul dalam permasalahan permuseuman di
Indonesia di antaranya adalah pemahaman tenaga museum. Pemahaman tenaga
museum maksudnya pemahaman yang dimiliki tenaga museum terhadap fungsi
kelembagaan, perangkat kebijakan dan hukum yang belum mengikuti perubahan
eksternal mekanisme penyelenggaraan dan pengelolaan yang masih lemah. Selain
itu permasalahan laina adalah penanganan koleksi yang belum maksimal (mulai
dari pengadaan dan penghapusan), kurangnya pembiayaan untuk pengembangan
museum, dan belum maksimalnya peran kehumasan.28
b) Faktor eksternal
Faktor eksternal masalah permuseuman di Indonesia di antaranya adalah
perubahan paradigma museum sebagai ruang ekslusif menjadi ruang publik,
perubahan metode penyajian yang pada mulanya taksonomik dan kronologis
28
15
menjadi tematik. Di samping itu penyelenggaraan dan pengelolaan museum
belum selaras dengan perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan.29
2) Potensi
Meskipun berbagai permasalahan muncul, di sisi lain museum juga memiliki
berbagai potensi diantaranya30:
a) Museum menjadi tempat pelestarian, lembaga pendidikan nonformal, sumber
data penelitian dan bagian dari industri budaya.
b) Meningkatnya minat untuk mendirikan museum dari pemerintah hingga
komunitas maupun swasta.
c) Terbentuknya asosiasi permuseuman; berkembangnya program tanggung
jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang membantu
mempopulerkan museum.
d) Beberapa perguruan tinggi mengembangkan studi museum (Universitas
Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Universitas Gajah Mada); dan adanya
dukungan dari komunitas yang aktif membuat program-program
permuseuman untuk publik.
3. Konsep Masyarakat
Kata masyarakat berasal dari bahasa Arab “syaraka” yang berarti ikut
serta, berpartisipasi atau “musyaraka” yang berarti saling bergaul.31 Menurut
KBBI masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat
oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat merupakan
29
Ibid. hal 55
30
Tjahjopurnomo, loc.it
31
sekumpulan manusia yang memiliki budaya sendiri dan bertempat tinggal di
daerah tertentu dan anggotanya memiliki pengalaman hidup yang sama
berdasarkan nilai-nilai yang dipedomani.32 Masyarakat yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pengelola, pengunjung dan guru sekitar Museum Misi
Muntilan. Pada umumnya pengunjung dibagi menjadi 3 kategori yaitu33:
a. Pengunjung pelaku studi
Pengunjung pelaku studi ialah mereka yang menguasai bidang studi
tertentu yang berkaitan dengan koleksi museum untuk menambah pemahamannya
dan melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu. Pengunjung pelaku studi
memanfaatkan perpustakaan yang ada di museum. Pengunjung jenis ini juga
melakukan penggalian informasi melalui kurator atau orang yang paham
mengenai benda koleksi di museum tersebut. Contoh dari pengunjung pelaku studi
adalah siswa, mahasiswa yang melakukan penelitian atau mengerjakan tugas,
maupun peneliti atau sejarawan.
b. Pengunjung bertujuan tertentu
Pengunjung bertujuan tertentu adalah pengunjung yang datang ke museum
karena bertepatan dengan acara pameran maupun acara tertentu yang
diselenggarakan oleh pihak museum. Contoh dari pengunjung bertujuan tertentu
adalah kelompok masyarakat dari salah satu pondok pesantren Gunung Pring di
Muntilan yang datang ke Museum Misi Muntilan dalam rangka menghadiri acara
berbuka puasa bersama pada tahun 2016.
32
Ibid, hlm. 39
33
17
c. Pengunjung pelaku rekreasi
Pengunjung pelaku rekreasi ialah pengunjung yang datang ke museum
untuk berekreasi tanpa ada maksud tertentu atau memberikan perhatian khusus
terhadap koleksi atau cerita yang ada.
4. Konsep Misi a. Pengertian Misi
Kata misi adalah istilah Bahasa Indonesia untuk kata Latin missio yang
berarti perutusan.34 Istilah misi tidak hanya dipakai dalam lingkup keagamaan
tetapi juga di dunia profan seperti misi diplomatis, misi politis, misi ilmu
pengetahuan, misi kebudayaan, misi dalam dunia kemiliteran. Semuanya berarti
pelimpahan tugas dan tanggung jawab. Di dalam Gereja istilah misi digunakan
baik untuk menunjuk kegiatan yang lebih luas dan umum, yakni menyangkut
semua kegiatan Gerejawi, maupun untuk karya khusus pewartaan dan penyebaran
iman Kristen kepada orang-orang (dan bangsa-bangsa) yang belum pernah
mendengar tentang Injil, yakni kepada orang-orang yang beragama lain atau yang
tidak beragama.35
Secara lebih teologis, kata misi dimaknai sebagai berikut: a) penyebaran
iman, b) penyebarluasan Kerajaan Allah, c) pentobatan kaum kafir, d)
pembentukan Gereja-Gereja baru. Semua arti ini menjadi biasa sejak kira-kira
berdirinya Serikat Yesus pada abad ke 16. Sebelumnya dalam teologi missio
berbicara mengenai Allah Tritunggal, mengenai perutusan Putera dan Roh oleh
34
Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm. 13
35
Allah Bapa. Dalam arti penyebarluasan iman di antara bangsa-bangsa, kata misi
mulai dipakai sejak abad ekspansi kultural, politis dan ekonomis Eropa ke seluruh
dunia. Oleh karena itu, istilah misi dalam arti seperti digambarkan di atas erat
berhubungan dengan ekspansi Eropa itu dan sekarang ini turut memikul kesalahan
yang terkandung di dalam ekspansi penuh kekerasan itu.36
Istilah misi dengan arti penyebaran iman baru mulai digunakan pada
pertengahan kedua abad 16.37 Sebelumnya Gereja menggunakan istilah lain untuk
menunjuk kegiatan pewartaan Injil, penyebaran iman Kristen, pembangunan
jemaat baru, seperti penyebaran iman (propagation fidei), pentobatan orang-orang
kafir (conversion gentilium), pewartaan Injil ke seluruh dunia (praedicatio
apostolica), pemeliharaan agama Kristen (procuration salutis apud barbarous
gentes), penananaman baru agama Kristen (novella christanitatis plantation),
penyebaran Kerajaan Kristus (propagation regni Christi), perluasan Gereja
(dilatation ecclesiae), penanaman Gereja (plantation ecclesiae). Istilah misi baru
digunakan secara umum abad ke-17.38
b. Perlunya Misi
Konsili menentukan dasar-dasar teologis sekaligus berfungsi sebagai
motivasi yang senantiasa menggerakkan Gereja untuk menjalankan misi. Karya
misi merupakan pelaksanaan diri Gereja yang dalam keseluruhan karya
36
George Kirchberger, Misi Gereja Dewasa Ini (Maumere: Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnold Jansen:, 1999) hlm. 8-9
37
Edmund Woga, op. cit, hlm. 16
38
19
keselamatan Allah berperan sebagai sakramen.39 Mengenai perlunya misi
diuraikan di bawah ini:
1) Motivasi Teologis: Misi demi Kemuliaan Allah
Pemahaman mengenai misi itu ada dan perlu demi kemuliaan Allah
merupakan hasil pemikiran teologis yakni perutusan berasal dari Allah dan
kembali ke Allah. Perlunya misi berhubungan langsung dengan rencana
penyelamatan Allah sejak penciptaan. Misi adalah cara Allah melaksanakan
rencana penyelamatan-Nya yang universal. Misi diperlukan untuk memanggil
segala bangsa untuk datang kepada Allah supaya Allah dimuliakan dan seluruh
ciptaan disatukan.40
2) Motivasi Kristologis: Kristuslah Satu-Satunya Pengantara
Perutusan Kristus-Putra Allah yang menjadi manusia dijelaskan dalam AG
3 (Dokumen Konsili Vatikan II: Ad Gentes, dekrit tentang Kegiatan Misioner
Gereja) adalah sebagai cara yang baru dan definitif kedatangan Allah ke
tengah-tengah sejarah bangsa manusia.41 Peranan yang definitif ini menunjukkan
keunikan Kristus bahwa Kristus adalah pengantara antara Allah dengan manusia.
3) Motivasi Eklesiologis: Gereja adalah Tubuh Kristus
Gereja dan Kristus tidak dapat dipisahkan karena adanya hubungan yang
eksplisit. Gereja adalah tubuh mistik Kristus dan Kepala Tubuh adalah Kristus.
Hubungan ini terjalin karena iman Gereja kepada Kristus ditandai dengan
pembaptisan dan keanggotaan di dalam tubuh. Iman, pembaptisan dan
39
Ibid, hlm. 207
40
Ibid, hlm. 207-208
41
keanggotaan dalam Gereja menjadi persyaratan dalam menuju keselamatan.42
Dalam karya misionernya Gereja mengusahakan “perambatan iman” proses
mengusahakan anggota Gereja bukan sekedar soal menambah jumlah penganut
agama Kristen, tetapi terutama merupakan sesuatu yang prinsipiil dalam
keseluruhan karya penyelamatan Allah, dimana Gereja menjadi sakramen-Nya.
Iman akan Yesus Kristus menjadi usaha yang pertama dalam karya misi ditandai
dengan pembaptisan sebagai pintu masuk ke dalam Gereja.43
4) Motivasi Antropologis: Keselamatan Integral Manusia
Allah menciptakan manusia sebagai pribadi yang utuh; begitu pula dengan
keselamatan yang direncanakan-Nya bagi manusia bukan hanya keselamatan jiwa
tetapi keselamatan seluruh manusia (badan-jiwa, jasmani-rohani) atau
keselamatan yang integral.44 Keselamatan integral merupakan nilai-nilai
manuasiawi eksistensial yang dialami selama manusia hidup, yakni nilai-nilai
yang menjamin kehidupan manusia dan membuat manusia menjadi lebih
manusiawi dalam segala segi dan dimensi hidupnya.45 Gereja sebagai sarana
keselamatan mengemban tugas untuk menunjukkan keselamatan integral itu.
Karya misi tidak hanya diarahkan pada keselamatan jiwa manusia, tetapi harus
membuat keberadaan manusia menjadi eksistensi yang terarah kepada
kesempurnaan.46
42
Ibid, hlm. 211
43
Ibid, hlm. 212
44
Ibid, 214
45
Loc.cit
46
21
5) Motivasi Eskatologis: Kepenuhan Keselamatan
Eskatologis adalah pemahaman ajaran tentang akhir dunia dan hidup yang
lebih sempurna setelah kehidupan di dunia ini.47 Misi Gereja dalam fenomena
eskatologis berperan terhadap perjalanan seluruh umat manusia menuju tujuan
akhir hidupnya. Misi menjadi ajakan kepada manusia untuk berziarah menuju
kepada Allah.48 Allah yang sejak awal datang kepada manusia tetap menyertai
manusia untuk mencapai tujuan akhirnya yaitu Allah sendiri. Misi berarti
membawa unsur-unsur penting keselamatan akhir ke dalam kehidupan dunia masa
kini.49 Misi bukan hanya persiapan untuk tujuan akhir, tetapi peristiwa dari akhirat
itu sendiri, justru karena daya ilahi pengudusan senantiasa menyertai Gereja.
Allah yang menjadi tujuan telah menyertai Gereja dan misinya sampai pada akhir
jaman.50 Karya misi merupakan partisipasi pada karya penyelamatan Allah yang
bertujuan untuk mengusahakan agar benih-benih keselamatan dalam setiap
ciptaan diperkembangkan dan diarahkan secara utuh kepada kesempurnaan akhir
zaman.51
c. Awal Misi di Indonesia
Selama masa pemerintahan VOC tidak ada kebebasan beragama di
Indonesia. Kebebasan itu baru ada sebagai akibat bergemanya cita-cita revolusi
Perancis: kebebasan, kesamaan dan persaudaraan, yaitu pada masa Gubernur
Jenderal Daendels (1808-1811). Mulai tahun 1808 berdatanganlah imam-imam ke
Indonesia untuk memulai karya misionernya. Meskipun perkembangan umatnya
47
Ibid, 216
48
Ibid, hlm. 221
49
Ibid, hlm. 219
50
Loc. cit
51
sangat lambat, Paus menetapkan berdirinya Vikariat Apostolik Batavia pada
tanggal 20 September 1842.52
Setengah pertama dari abad 19, karya kerasulan hampir terbatas karena
kemiskinan dari para missionaris dan adanya larangan dari pemerintah yang
berwenang. Misi Indonesia berawal di Kalimantan. Pastor Sanders mengunjungi
Kalimantan (Dutch Borneo) tahun 1851, tetapi misi pertama didirikan oleh Jesuit
tahun 1883. Tahun 1853, seorang misionaris memilih untuk tinggal di Bangka
dimana ada pekerja Katolik di pertambangan timah. Tahun berikutnya, ada
misionaris datang ke Sumatera. Namun, di pulau tersebut belum ada misi yang
terorganisir sebelum Jesuit didirikan tahun 1888. Misi di Sulawesi prosesnya
hampir sama. Misi mulai di Manado tahun 1885, Kepulauan Kei tahun 1888, dan
Makasar tahun 1891 dengan masing-masing satu imam.53
Peningkatan misi di Hindia Belanda terjadi antara tahun 1871-1890.
Berbagai kegiatan misi meluas seiring dengan meningkatnya para imam Yesuit
dan kedatangan suster dan bruder yang lebih banyak. Tahun 1890 jumlah imam di
Hindia Belanda ada 45 orang. Peningkatan ini tidak hanya menghasilkan
misi-misi baru di luar Jawa, tetapi juga melahirkan sebuah strategi di pulau utama itu
sendiri.54
d. Karya Misi di Muntilan
Pada tahun 1892 sudah ada karya Misioner Katolik di Magelang. Karya ini
dilakukan oleh Pastor Hebrans dan Pastor F. Voogels SJ. Mereka secara rutin
52
Tim KAS, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolikdi Keuskupan Agung Semarang, (Semarang: KAS, 1992) hlm. 15
53
Bernard De Vaulux, History of the Missions (London: Burn and oates, 1969) hlm. 187-188
54
23
berkunjung di beberapa desa di Muntilan. Hasil karya Pastor Voogels ini adalah
dibaptisnya 135 orang di Muntilan pada bulan Desember 1895.55 Namun, ada
beberapa kendala dalam melakukan karya misioner di Muntilan seperti:
kurangnya koordinasi dan kondisi umat yang menyedihkan, jarak yang harus
ditempuh, mentalitas umat, dan penyelewengan yang dilakukan oleh oknum yang
mencari keuntungan sendiri. Untuk memperbaiki kondisi tersebut dikirimlah
tenaga baru, yaitu Petrus Hoevenaars dan Fransiskus van Lith.56
Petrus Hoevenaars dan Fransiskus van Lith tiba di Batavia tanggal 4
Oktober 1896. Keduanya mulai mempelajari bahasa Jawa di Semarang karena
akan berkarya di Jawa.57 Sejak bulan Maret 1897 Pastors Hoevenaars ditempatkan
di Yogyakarta.58 Pada tanggal 27 Mei 1899 Hoevenaars dipindahkan ke Mendut
yang merupakan stasi misi baru.59 Sedangkan Fransiskus van Lith menjalankan
karyanya di Muntilan. Tanggal 21 Oktober 1897 Pastor van Lith memperoleh izin
pemerintah untuk membuka sebuah pos misi di Muntilan, stasi misi permanen
pertama.60
Pastor van Lith berhasil menemukan celah yang bisa dimasuki dalam
mengembangkan karya misi yaitu jalur pendidikan.61 Pada tahun 1904, dibukalah
sekolah pendidikan guru di Muntilan. Sekolah ini merupakan kelanjutan dari
kursus pelatihan untuk para katekis di Semarang. Hal ini menjadi suatu permulaan
55
J. Soenarjo, Muntilan: Awal Misi Katolik di Jawa. Kenangan 100 tahun Paroki Santo Antonius Muntilan 1894-1994, (Muntilan, 1994) hlm. 12
56
J. Soenarjo, loc. cit
57
Karel Steenbrink, op. cit, hlm. 367
58
Tim KAS, op. cit, hlm. 15
59
Karel Steenbrink, op. cit, hlm. 371
60
Karel Steenbrink, op. cit, hlm. 375
61
yang baik untuk pembelajaran yang lebih umum bagi para guru sekolah dasar.62
Sekolah ini mendapat sambutan baik dari masyarakat sehingga dalam
perjalanannya sekolah yang didirikan oleh Pastor van Lith semakin berkembang.63
Pada tahun 1907 mulai dibuka sekolah/sekolah desa yang menjadi sebuah
permulaan adanya pendidikan massal mengikuti cara Barat di seluruh wilayah
Hindia Belanda. Para alumni dari sekolah Muntilan memiliki peluang kerja yang
amat besar. Beberapa kelompok siswa melanjutkan studi mereka untuk menjadi
imam.64 Pada tahun 1912, Pastor van Lith membentuk yayasan yang bernama
Xaverius College dibantu oleh para Bruder FIC.65 Tahun 1913 pendidikan rendah
ditutup digantikan dengan sekolah berbahasa Belanda dan Bahasa Jawa dijadikan
mata pelajaran tambahan.66 Selain menaruh perhatian ke bidang pendidikan,
Pastor van Lith juga menaruh perhatian di bidang kesehatan. Pada tahun 1902,
rumah sakit sederhana didirikan di Muntilan.67 Karya Pastor van Lith dan para
pastor, bruder dan suster yang membantu dan meneruskannya (Pastor van Lith
wafat pada tahun 1926) di Muntilan ternyata berkumandang ke wilayah lain,
bahkan sampai luar kabupaten Magelang.
Hubungan baik yang dibina oleh Pastor van Lith dan hasil karyanya di
berbagai bidang ini ternyata menghasilkan benih-benih baru bagi umat Kristus.
Hasil penuaian pertama dari benih ini terjadi di wilayah Yogyakarta, tepatnya di
desa Kalibawang dimana pada bulan Desember 1903 secara massal sebanyak 171
62
Kareel Steenbrink, op. cit, hlm. 384
63
J. Soenarjo, op. cit, hlm. 14
64
Kareel Steenbrink, loc. cit
65
J. Soenarjo, Muntilan, op. cit,hlm. 14
66
Kareel Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia Jilid 2, (Maumere: Ledalero, 2006) hlm. 635
67
25
orang dipermandikan dengan air Sendang Sono.68 Pada akhir masa kolonial
rupanya yang diharapkan oleh Pastor van Lith menjadi kenyataan. Muntilan telah
menjadi pusat kaderisasi dan penggemblengan bagi Gereja Kristus. Muntilan
dengan karya misinya tidak hanya dikenal dan berguna bagi Gereja tetapi juga
bagi bangsa Indonesia.69
5. Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM)
Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM) adalah
museum khusus yang menekankan pengembangan nilai-nilai karya misi
Keuskupun Agung Semarang rintisan van Lith, S. J. MMM PAM menjadi bagian
karya pastoral KAS yang merupakan konsorsium Keuskupan Agung Semarang,
Serikat Yesus Provinsi Indonesia, dan Konggregasi Bruder FIC Provinsi
Indonesia. MMM PAM memiliki peran dalam menumbuhkembangkan Gereja
Lokal karena menjadi pemersatu dari jaringan gerakan-gerakan misioner.70
Pemilihan nama MMM PAM diharapkan agar museum menjadi museum
yang hidup bukan hanya sekedar tempat memajang koleksi benda-benda kuno
atau bersejarah. MMM PAM adalah museum yang sungguh merawat dan
mempresentasikan aneka koleksi peninggalan misi dengan sungguh-sunguh.
MMM PAM berharap aneka koleksi bisa membawa umat sampai pada anamnesis.
Anamnesis yaitu penghadiran kembali karya misi dari masa silam ke masa kini
68
Ibid, hlm. 17
69
J. Soenarjo, op. cit, hlm. 14
70
yang digunakan untuk membantu umat dalam menghadapi zaman dengan hati
yang dikobarkan oleh peristiwa iman para leluhur.71
Dalam penyelenggaraannya MMM PAM memiliki 3 bidang karya
permuseuman72, yakni:
a. Bidang koleksi
Bidang koleksi adalah bagian dari karya permuseuman yang mencari,
mengumpulkan, menafsirkan nilai-nilai missioner peninggalan misi, dan menata
koleksi.73 Penyajian koleksi kepada publik bukanlah suatu kegiatan yang bebas
dari penilaian yang tunduk pada persyaratan keahlian dan pemberian bentuk yang
baik dan estetis. Namun, kegiatan itu merangkum segala hal yang berkaitan
dengan cara museum menyampaikan informasi kepada pengunjung.74
b. Bidang preparasi konservasi
Bidang preparasi konservasi adalah bagian dari karya permuseuman yang
bertugas mengelola dan memelihara gedung museum serta mengusahakan
pengembangan gedung dan sarana prasarana demi tercapai tujuan MMM PAM.75
c. Bidang edukasi
Bidang edukasi adalah bidang karya yang bertugas menghidupkan
semangat MMM PAM dengan merumuskan dan mengembangkan konsep. Bidang
edukasi secara konkret terwujud dalam pendampingan pengunjung.76
71
R. Sani Wibowo, SJ., “Membangun Museum yang Hidup” Rohani, No. 11, Tahun ke-60, November 2013, hlm. 5
72
Tim MMM PAM, op. cit, hlm. v
73
R. Sani Wibowo, SJ., op. cit, hlm. 5
74
Schouten, op. cit, hlm. 23
75
R. Sani Wibowo, loc. cit
76
27
6. Konsep Pendidikan Karakter a. Definisi Pendidikan
Dalam Bahasa Indonesia, pendidikan, berasal dari kata „didik‟, diartikan
sebagai proses perubahan pikiran dan perasaan, perilaku secara keseluruhan baik
terhadap individu maupun kelompok. Dalam pengertian luas pendidikan juga
melibatkan lingkungan sosial, struktur sosial, institusi sosial. Pada tujuan
terakhirlah, sebagai cita-cita yang berkaitan dengan dimensi masyarakat secara
keseluruhan, masyarakat damai dan sejahtera, di dalam individu, kelompok,
bangsa, dan negara, atas dasar keberhasilannya dalam meningkatkan pendidikan,
terjadi sikap saling menghargai, saling menghormati, bahkan saling mengkritik
dalam arti positif.77
Sementara itu, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 mendefinisikan
pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan,
masyarakat, bangsa dan negara.78
Pendidikan sejatinya merupakan hak dasar bagi setiap individu.
Pendidikan adalah sarana penumbuhan dan pengembangan dimensi-dimensi
kemanusiaan menuju terwujudnya kehidupan yang memposisikan pada derajat
kemanusiaan yang hakiki. Pendidikan bukanlah tempat membentuk manusia yang
77
Nyoman Kutha Ratna, Peranan Karya Sastra, Seni, dan Budaya dalam Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) hlm. 74
78
hanya mementingkan aspek kecerdasan (kognitif), seperti yang selama ini tampak
dalam kebanyakan realitas pendidikan di Indonesia ataupun sebagai sarana
melestarikan hegemoni atau penindasan terhadap kaum lemah oleh individu
ataupun kelompok yang dominan dan hegemonik. Pendidikan adalah upaya
mencapai kemerdekaan, pembebasan, dan kesetaraan bagi setiap individu maupun
kelompok yang terlibat dalam pendidikan, terutama bagi peserta didik.79
b. Definisi Karakter
Watak atau karakter berasal dari kata Yunani “charassein”, yang berarti
barang atau alat untuk menggores, yang kemudian hari dipahami sebagai stempel /
cap. Jadi, watak itu sebuah stempel atau cap, sifat-sifat yang melekat pada
seseorang. Watak sebagai sifat seseorang dapat dibentuk, artinya watak seseorang
dapat berubah, kendati watak mengandung unsur bawaan (potensi internal), yang
setiap orang dapat berbeda. Namun, watak amat dipengaruhi oleh faktor eksternal,
yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan pergaulan dan lain-lain.80
Karakter menjadi identitas, menjadi ciri, menjadi sifat yang tetap, yang mengatasi
pengalaman kontingen yang selalu berubah.
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara. Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai
hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect),
kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness),
kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love),
79
Mukhrizal Arif, dkk, Pendidikan Posmodernisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 247
80
29
tanggungjawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance),
dan persatuan (unity).81
Jadi, karakter adalah seperangkat nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup
sehingga menjadi sifat tetap dalam diri seseorang, misalnya kerja keras, pantang
menyerah, jujur, sederhana, dan lain-lain. Adanya karakter itulah kualitas seorang
pribadi diukur.82 Karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar
(lingkungan sosial budaya dan lingkungan fisik). Karakter menjadi akar atau dasar
dari semua tindakan baik tindakan baik maupun jahat.
c. Definisi Pendidikan Karakter
Dalam pengertian yang sederhana, pendidikan karakter adalah hal positif
yang dilakukan oleh guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya.
Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru
untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya.83 Pendidikan karakter menurut
Scerenko seperti yang dikutip oleh Muchlas Samani dan Hariyanto, dapat
dimaknai sebagai upaya yang dikembangkan, didorong dan diberdayakan melalui
keteladanan, kajian (sejarah, dan biografi tokoh bijak dan pemikir besar), serta
praktik emulasi (usaha yang maksimal untuk mewujudkan makna dari apa-apa
yang diamati dan dipelajari).84
Pengertian pendidikan karakter secara luas adalah melindungi diri sendiri,
membentuk kepribadian mandiri yang didasarkan atas keyakinan tertentu, baik
yang bersifat individu maupun kelompok, dan dengan sendirinya bangsa dan
81
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) hlm. 43
82
Sutarjo Adisusilo, op. cit, hlm. 78
83
Muchlas Samani dan Hariyanto, loc.it.
84
negara. Pendidikan karakter bagi bangsa Indonesia harus sesuai dengan jiwa dan
semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.85 Pendidikan karakter
menjadi sarana pengembangan kemampuan yang bersinambungan dalam diri
manusia untuk mengadakan internalisasi nilai. Menurut Plato seperti yang dikutip
oleh Doni Koesoema, pendidikan karakter merupakan sebuah kinerja dari sebuah
sistem pembinaan dan pembentukan untuk menciptakan sosok pribadi pemimpin
yang akan membawa masyarakat pada suatu kebaikan dan keadilan.86
d. Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan utama pendidikan karakter adalah menumbuhkan seorang individu
menjadi pribadi yang memiliki integritas moral sekaligus mampu mengusahakan
sebuah ruang lingkup kehidupan yang menghayati integritas moralnya dalam
tatanan kehidupan masyarakat. Ruang lingkup pendidikan karakter tidak hanya
individual tetapi juga melibatkan lingkungan sosial. Pendidikan karakter bertujuan
sebagai acuan bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama.87
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.88 Pendidikan karakter akan
memperluas wawasan para pelajar tentang nilai-nilai moral sehingga mereka
85
Nyoman Kutha Ratna, op. cit, hlm. 132
86
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Gramedia, 2010) hlm. 104-112
87
Muchlas Samani dan Hariyanto, op. cit, hlm. 52
88
31
semakin mampu dalam mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan
secara moral.89
e. Fungsi Pendidikan Karakter
Fungsi pendidikan karakter telah dirumuskan oleh Pusat Kurikulum, sebagai
berikut:90
1) Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan
berperilaku baik. Pendidikan karakter berfungsi membentuk manusia cerdas
yang berbudi, membaangun semangat dan tekad dengan pikiran yang positif
dan sikap optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan
yang tinggi.91
2) Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur. Pendidikan
karakter menyadarkan bahwa pluralitas suku, bahasa, agama justru
memberikan kekayaan milik bersama yang harus dipelihara dan
dikembangkan.92
3) Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan karakter mengajarkan manusia terbiasa disiplin dan kerja keras.
Karakter disiplin dan kerja keras mampu menjadikan peradaban bangsa
sebagai bangsa yang memiliki daya saing di dalam pergaulan dunia.
f. Pendidikan Karakter dalam Kehidupan Sehari-hari
Pendidikan karakter bisa diselenggarakan dalam bentuk formal seperti
yang dilakukan dalam dunia pendidikan dan juga bisa diselenggarakan secara non
89
Dony Koesoema, op. cit, hlm. 116
90
Muchlas Samani dan Hariyanto, op. cit, hlm.52
91
Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 104
92
formal. Tanpa disadari pendidikan karakter di tengah masyarakat justru lebih
banyak dilakukan karena sejak lahir hingga dewasa manusia selalu berhubungan
dengan masyarakat. Pada dasarnya karakterisasi terbentuk sepanjang hayat
sehingga pendidikan karakter adalah keseluruhan hidup itu sendiri.93
Masyarakat menjadi laboratorium bagi pendidikan karakter. Pendidikan
karakter akan menemukan verifikasi nilainya secara nyata (konkret) ketika
pembelajaran akan norma dan perilaku yang membentuk individu itu semakin
lama menjadi sistem nilai bersama yang mampu menjaga stabilitas masyarakat.94
Masyarakat dimaknai sebagai tempat di mana pada akhirnya pendidikan karakter
itu hadir. Pendidikan karakter juga sebagai sarana pedagogis bagi masyarakat luar
sehingga dapat menumbuhkan perilaku dan tata nilai yang bermakna dalam
kehidupan bermasyarakat. Hasil yang baik dari pendidikan karakter bukan hanya
dilihat dari peserta didik saja tetapi juga masyarakat yang bergerak bersama.95
B. Kerangka Berpikir
Museum didirikan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda
bersejarah sekaligus sebagai sarana pewarisan nilai-nilai dari generasi terdahulu
kepada generasi berikutnya. Pewarisan nilai-nilai di museum bisa dilakukan
dengan menyampaikan cerita di balik koleksi yang ada. Misalnya saja melalui
kegiatan pendampingan kepada masyarakat yang berkunjung ke museum.
Museum Misi Muntilan merupakan museum yang selalu melakukan
pendampingan terhadap masyarakat yang berkunjung. Pendampingan dilakukan
93
Nyoman Kutha Ratna, op. cit, hlm. 239
94
Dony Koesoema, op. cit, hlm. 187
95
33
agar masyarakat yang datang tidak hanya sekedar melihat koleksi saja.
Pendampingan itu memudahkan masyarakat dalam menemukan nilai-nilai yang
ada termasuk nilai karakter pada tokoh-tokoh yang ditampilkan di Museum Misi
Muntilan. Cerita mengenai tokoh-tokoh yang ditampilkan di museum menjadi
stimulus yang diterima oleh masyarakat melalui panca indera yang selanjutnya
diolah menjadi persepsi. Tokoh-tokoh yang ditampilkan di Museum Misi
Muntilan memiliki karakter yang dapat dijadikan teladan bagi umat yang
beragama Katolik maupun yang bukan Katolik.
Selain menampilkan tokoh-tokoh berkarakter, Museum Misi Muntilan
juga memiliki berbagai kegiatan positif. Kegiatan tersebut di antaranya adalah
Novena Selasa Kliwonan, gelar budaya, dan buka puasa bersama dengan
masyarakat dari pondok pesantren. Hal ini menunjukkan penghayatan terhadap
nilai karakter khususnya dalam toleransi umat beragama dan menghargai
kebudayaan pada masyarakat multikultur.
Tidak hanya pendampingan di museum saja, Museum Misi Muntilan juga
melakukan pendampingan kepada PIA (Pendampingan Iman Anak) dan OMK
(Orang Muda Katolik). Pendampingan dilakukan oleh tim edukasi Museum Misi
Muntilan. Pendampingan ini biasanya dilakukan di museum maupun di luar
museum misalnya di paroki-paroki. Melalui pendampingan ini berbagai karakter
ditanamkan kepada anak-anak maupun remaja. Karakter yang ditanamkan dari
pendampingan tersebut seperti toleransi (bukan hanya terhadap agama saja tetapi
juga toleransi terhadap budaya), kemandirian, percaya diri, dan semangat
Adanya pendampingan terhadap masyarakat, PIA maupun OMK dan
kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh pengelola museum tersebut
diharapkan muncul persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi
Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dibuat skema kerangka berpikir
[image:52.595.86.509.216.640.2]sebagai berikut:
Gambar I: Kerangka Berpikir MUSEUM MISI
MUNTILAN
KOLEKSI KEGIATAN
MASYARAKAT
PERSEPSI
35 BAB III