• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

NUR ARDITA RAHMAWATI

NIM: 131314047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

NUR ARDITA RAHMAWATI

NIM: 131314047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)

ii SKRIPSI

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh:

Nur Ardita Rahmawati

131314047

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Dra. Theresia Sumini, M.Pd. Tanggal 18 Juli 2017

Pembimbing II

(4)

iii SKRIPSI

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Nur Ardita Rahmawati 131314047

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji

pada tanggal 25 Juli 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. ……….

Sekretaris : Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ……….

Anggota : Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ……….

Anggota : Hendra Kurniawan, M.Pd. ……….

Anggota : Dr. Anton Haryono, M.Hum. ……….

Yogyakarta, 25 Juli 2017

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Mendiang nenek tercinta

Rosa de Lima Maria Sumaryati

Orang terkasih yang memberikan banyak dukungan di awal perkuliahan

Bapak dan Ibu tercinta

Bapak Junedi dan Ibu Victoria Runi

(6)

v MOTTO

Al heb ik een uitgesproken westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de

allereeste plaat Javaan

(Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat, namun pertama-tama saya

adalah dan tetap orang Jawa)

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Juli 2017

Penulis,

(8)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Nur Ardita Rahmawati

Nomor Mahasiswa : 131314047

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan

dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk perangkat data,

mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media

lain untuk kepentingan akademisi tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun

memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal, 18 Juli 2017

Yang menyatakan

(9)

viii ABSTRAK

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN MUSEUM MISI MUNTILAN SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN KARAKTER

Nur Ardita Rahmawati Universitas Sanata Dharma

2017

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) sejarah berdirinya Museum Misi Muntilan, (2) kegiatan edukasi di Museum Misi Muntilan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, (3) dan persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode studi kasus. Sumber data pada penelitian diperoleh dari lokasi penelitian, informan (pengelola, pengunjung Museum Misi Muntilan dan guru), koleksi benda museum dan dokumen museum mengenai data pengunjung. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.

(10)

ix

ABSTRACT

SOCIETY’S PERCEPTION OF MUNTILAN MISSIONARY MUSEUM

EXISTANCE AS A MEDIUM FOR CHARACTER EDUCATION

Nur Ardita Rahmawati Sanata Dharma University

2017

This study aims to describe: (1) the history of Muntilan Missionary Museum, (2) the education activities in Muntilan Missionary Museum which have

relation with character education, (3) and the society’s perception of Muntilan

Missionary Museum as a medium for character education.

The type of the research is qualitative with case study methods. The data were obtained from the location of research, informants (museum organizers and visitors, and teachers), collections of the museum, and the document of visitors. Purposive sampling and snowball sampling were used in taking samples. Data were collected through observation, interviews, and documentation.

The results of this study shows: (1) the history of Muntilan Missionary

Museum started when The Semarang Bishop was celebrating 50th birthday with

arranged some programs. One of them is museum building. It was built in Muntilan for historical reasons. Muntilan was the beginning of Catholic Church in Java and Father van Lith as the pioneer. (2) Education activities in Muntilan Missionary Museum has a relation with character education such as society assistance, community assistance such as OMK and PIA, Missionary Novena on Tuesday Night, and orientation for new students from schools near Muntilan. (3)

The society’s perception of Muntilan Missionary Museum as a medium for

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

dengan judul Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Museum Misi Muntilan

sebagai Sarana Pendidikan Karakter. Penelitian ini disusun guna memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan

Sejarah.

Dalam proses penyusunan tugas akhir ini penulis menyadari akan

keterlibatan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak

langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

dan Bapak Ignatius Bondan, S.Pd., M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan

izin penelitian kepada peneliti

2. Ibu Dra. Theresia Sumini, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Sejarah Universitas Dharma sekaligus dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan dan dukungan kepada peneliti dari awal penelitian

sampai penyusunan laporan penelitian.

3. Bapak Hendra Kurniawan, M.Pd., selaku Wakil Ketua Program Studi

Pendidikan Sejarah sekaligus dosen pembimbing yang dengan sabar

(12)

xi

4. Bapak Sutarjo Adisusilo, M.Pd., selaku dosen pendamping akademik yang

selalu memberikan motivasi kepada mahasiswa.

5. Seluruh dosen program studi Pendidikan Sejarah yang selalu memberikan

dukungan kepada mahasiswa tingkat akhir dalam menyelesaikan tugas akhir.

6. Bapak Agus selaku sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu memperlancar penelitian.

7. Romo Nugroho, Pr., selaku Direktur Museum Misi Muntilan yang telah

memberi izin untuk melakukan penelitian dan meluangkan waktu untuk

wawancara.

8. Romo Bambang Sutrisno, Pr., selaku ketua tim pelaksana pembangunan

Museum Misi Muntilan yang meluangkan waktu dan berbagi pengalaman

selama menjadi pengelola Museum Misi Muntilan.

9. Bapak Ant. Tri Usada Sena dan Bapak Muji selaku tim edukasi dari Museum

Misi Muntilan yang selalu memberikan bantuan dan meluangkan waktu untuk

wawancara.

10.Seluruh staff Museum Misi Muntilan yang telah membantu peneliti dalam

melakukan penelitian.

11.Bapak Robertus Baluk Nugroho, S.Pd., selaku Wakil Kepala Sekolah Bagian

Kurikulum SMA Pangudi Luhur yang mengijinkan penulis melakukan

penelitian dan Ibu Lucia Desy, S.Pd., selaku guru sejarah SMA Pangudi Luhur

van Lith yang membantu peneliti mendapatkan informasi.

12.Bapak Joko selaku guru IPS SMP Kanisius Muntilan Lith yang membantu

(13)

xii

13.Kedua orang tua tercinta Bapak Junedi dan Ibu Victoria Runi yang selalu

memberikan dukungan

14.Sahabat-sahabat angkatan 2013, yang saling mendukung dan memberikan

semangat dalam menyelesaikan tugas akhir.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih terdapat

kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun agar penelitian ini lebih baik. Semoga karya tulis

ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 18 Juli 2017

Penulis

Nur Ardita Rahmawati

(14)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ...viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ...xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Batasan Masalah ... 4

D. Tujuan Penelitian... 5

E. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

A. Kajian Teori... 6

1. Konsep Persepsi ... 6

2. Konsep Museum ... 9

3. Konsep Masyarakat ... 15

4. Konsep Misi ... 17

5. Museum Misi Muntilan ... 25

6. Konsep Pendidikan Karakter... 27

(15)

xiv

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Tempat Penelitian ... 36

C. Sumber Data ... 36

D. Teknik Pengumpulan Data ... 37

E. Instrumen Pengumpulan Data... 39

F. Pengambilan Sampel ... 40

G. Teknik Analisis Data ... 42

H. Validitas Data ... 44

I. Sistematika Penulisan ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Deskripsi Latar ... 49

1. Visi dan Misi ... 50

2. Sarana Prasarana ... 52

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 53

1. Sejarah Museum Misi Muntilan ... 53

2. Kegiatan MMM berkaitan dengan Pendidikan Karakter ... 59

3. Persepsi Masyarakat Terhadap MMM ... 64

C. Pembahasan ... 77

1. Sejarah Museum Misi Muntilan ... 77

2. Kegiatan MMM berkaitan dengan Pendidikan Karakter ... 84

3. Persepsi Masyarakat Terhadap MMM ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jadwal Penelitian... 36

Tabel 2. Data Pengunjung Museum Misi Muntilan ... 50

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar I. Kerangka Berpikir ... 34

Gambar II. Alur Analisis Data ... 44

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Observasi Museum ... 110

Lampiran 2. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara ... 111

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 112

Lampiran 4. Catatan Lapangan Wawancara ... 115

Lampiran 5. Dokumentasi Wawancara ... 173

Lampiran 6. Lembar Pengamatan Dokumentasi ... 177

Lampiran 7. Dokumentasi Kesan Pengunjung ... 180

Lampiran 8. Silabus ... 185

Lampiran 9. RPP ... 202

(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Museum merupakan sarana dalam pengembangan budaya dan peradaban

manusia. Secara luas museum juga bergerak di sektor ekonomi, politik, dan

sosial.1 Museum berguna sebagai sarana pembelajaran dan sarana pewarisan

nilai-nilai dari kehidupan di masa lalu ke masa kini dan masa yang akan datang.

Museum menyadarkan masyarakat akan pentingnya merawat dan melestarikan

benda peninggalan di masa lalu.

Melihat pentingnya peninggalan benda dari masa lalu untuk dirawat dan

dilestarikan maka tidak heran jika di negara kita banyak didirikan museum.

Hampir setiap ibukota provinsi memiliki museum tingkat provinsi dan museum

lokal. Museum lokal dimasukkan ke dalam jaringan sistem permuseuman dan

diberikan bantuan untuk pemugaran gedung serta peningkatan usaha perawatan

dan penyajian koleksinya.2 Baik museum tingkat nasional, provinsi, maupun

tingkat lokal tetaplah kehadirannya memiliki arti penting dan fungsi tersendiri.

Salah satu museum lokal yang ada di Indonesia adalah Museum Misi

Muntilan. Museum Misi Muntilan adalah museum yang terletak di Jalan Kartini 3,

Muntilan, Jawa Tengah. Museum ini diresmikan pada tahun 2004. Koleksi yang

ada ialah benda-benda yang berkaitan erat dengan kegiatan misi Katolik baik yang

1

Tjahjopurnomo, Sejarah Permuseuman di Indonesia (Jakarta:Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal dan Purbakala, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2001) hlm. 88

2

(20)

ada di sekitar maupun di luar Muntilan. Meski sudah lama diresmikan keberadaan

museum ini masih jarang diketahui masyarakat umum, bahkan umat Katolik

sekalipun. Ada umat Katolik yang sudah mengetahui keberadaan museum tersebut

tetapi belum pernah berkunjung. Ada juga yang memang sama sekali belum

mengetahui keberadaan museum tersebut.

Keadaan seperti ini sangat disayangkan karena Museum Misi Muntilan

memiliki koleksi yang lengkap dan bermanfaat bagi umat Katolik maupun non

Katolik. Berangkat dari pengalaman penulis ketika melakukan Pengabdian

Masyarakat di Museum Misi Muntilan, penulis melihat bahwa museum ini

menghadirkan banyak tokoh inspiratif namun sebagian tokoh belum terlalu

dikenal oleh masyarakat. Tokoh-tokoh tersebut memiliki peran penting baik bagi

umat Katolik maupun umat non Katolik di masa lalu.

Setiap tokoh yang ditampilkan di Museum Misi Muntilan memiliki nilai

karakter tersendiri yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Untuk membantu

dalam menggali nilai-nilai karakter maka setiap ada yang berkunjung selalu diberi

pendampingan dari pihak museum. Adanya penggalian nilai-nilai karakter pada

koleksi museum melalui pendampingan ini berarti museum bisa dimanfaatkan

sebagai sarana pendidikan karakter.

Pendidikan karakter menjadi suatu hal yang kini diperbincangkan.

Pendidikan karakter memiliki tujuan untuk mengembangkan karakter bangsa.

Adapun karakter bangsa yang dikembangkan pada kurikulum 2013 meliputi

(21)

3

(7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11)

cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat / komunikatif, (14) cinta

damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18)

tanggung jawab.3

Beberapa nilai karakter yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013

rupanya bisa ditemui pada tokoh-tokoh yang ditampilkan di Museum Misi

Muntilan. Nilai karakter tersebut misalnya: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja

keras, mandiri, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, bersahabat,

cinta damai, peduli lingkungan dan sosial serta tanggung jawab. Hal ini juga

sesuai dengan landasan museum Indonesia dengan 3 pilar utama, yakni 1)

mencerdaskan kehidupan bangsa, 2) membentuk kepribadian (karakter) bangsa,

dan 3) menanamkan konsep ketahanan nasional dan Wawasan Nusantara. Ketiga

pilar tersebut merupakan landasan kegiatan operasional museum yang dibutuhkan

di era globalisasi ini. Pada saat masyarakat mulai kehilangan orientasi akar

budaya atau jati dirinya, maka museum dapat memberi inspirasi tentang hal-hal

penting dari masa lalu yang harus diketahui untuk menuju ke masa depan.4

Agar hal tersebut dapat terjadi maka persepsi tentang museum sebagai

tempat pameran benda masa lalu perlu diubah bahwa museum adalah tempat yang

menyenangkan untuk belajar dan juga tempat untuk mengembangkan nilai

karakter. Pengembangan nilai karakter akan terwujud apabila pengunjung merasa

berkesan sehingga mendapatkan makna dan inspirasi baru setelah berkunjung.

3

Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) hlm. 52

4

(22)

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik

melakukan penelitian dengan judul “Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan

Museum Misi Muntilan sebagai Sarana Pendidikan Karakter”. Harapannya

dengan penelitian ini Museum Misi Muntilan menjadi museum yang lebih dikenal

oleh masyarakat dan memberikan inspirasi bagi museum lain agar bisa menjadi

sarana pendidikan karakter seperti yang dicanangkan oleh pemerintah.

B. RUMUSAN MASALAH

Melihat latar belakang di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana sejarah Museum Misi Muntilan?

2. Apa saja kegiatan Museum Misi Muntilan yang berkaitan dengan pendidikan

karakter?

3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan

sebagai sarana pendidikan karakter?

C. BATASAN MASALAH

Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejarah

Museum Misi Muntilan, dan kegiatan yang ada di dalamnya serta persepsi

masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi Muntilan sebagai sarana

(23)

5

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan sejarah Museum Misi Muntilan.

2. Mendeskripsikan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter di

Museum Misi Muntilan.

3. Menjelaskan persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi

Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.

E. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang didapat dari penelitian ini yaitu:

1. Bagi Museum Misi Muntilan

Menambah koleksi untuk perpustakaan museum dan bisa menjadi inspirasi

untuk peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian mengenai Museum Misi

Muntilan.

2. Bagi Universitas Sanata Dharma

Menambah koleksi penelitian dan bisa dijadikan referensi khususnya prodi

Pendidikan Sejarah dalam pengembangan perkuliahan sejarah gereja serta hal

yang berkaitan dengan permuseuman.

3. Bagi Peneliti

Memberikan pengalaman baru dalam membuat karya tulis ilmiah dan

mengembangkan wawasan peneliti mengenai misi, permuseuman, serta

(24)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Konsep Persepsi a. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan.

Proses persepsi tidak dapat lepas dari penginderaan, dan proses penginderaan

merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Stimulus yang mengenai

individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu

menyadari tentang apa yang ada di inderanya itu. Proses inilah yang dimaksud

dengan persepsi. Jadi, stimulus diterima oleh alat indera, kemudian melalui proses

persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah

diorganisasikan dan diinterpretasikan.5

Dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar diri individu, dan juga

dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Bila yang dipersepsi

dirinya sendiri maka disebut persepsi diri (self-perception).6 Ketika melakukan

persepsi pada diri sendiri orang dapat melihat bagaimana keadaan dirinya sendiri.

Bila objek persepsi terletak di luar orang yang mempersepsi, maka objek persepsi

dapat bermacam-bermacam, yaitu dapat berupa benda-benda, situasi, dan juga

dapat berupa manusia. Bila objek persepsi berupa benda-benda disebut persepsi

benda (things perception) atau juga disebut non-social perception, sedangkan bila

objek persepsi berupa manusia atau orang disebut persepsi sosial atau social

5

Bimo Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Andi, 2003) hlm. 53

6

(25)

7

perception. Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui,

menginterpretasikan dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang

sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang

dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi.7

Persepsi bersifat individual karena berkaitan dengan perasaan, kemampuan

berpikir, dan pengalaman setiap individu yang tidak sama sehingga dalam

mempersepsi stimulus hasilnya berbeda.8

b. Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Persepsi 1) Faktor Internal

Faktor internal yaitu keadaan individu yang berpengaruh pada individu

dalam mengadakan persepsi. Keadaan individu tersebut bisa datang dari dua

sumber antara lain sumber jasmani dan sumber psikologis. Bila jasmani terganggu

maka akan berpengaruh pada hasil persepsinya sedangkan sumber psikologis yang

akan berpengaruh pada hasil persepsi adalah pengalaman, persepsi, perasaan,

kemampuan berpikir, kerangka acuan dan motivasi.9 Keadaan individu ditentukan

oleh sifat struktural dari individu, sifat temporer dari individu, dan aktivitas yang

sedang berjalan pada individu. Sifat struktural adalah sifat permanen dari individu

misalnya ada individu yang suka memperhatikan keadaan sekitarnya tetapi ada

juga yang acuh tak acuh sedangkan sifat temporer individu berkaitan dengan

suasana hati individu.10

7

Ibid, hlm. 56

8

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi, 2005) hlm. 100

9

Ibid, hlm. 55

10

(26)

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang berpengaruh pada persepsi antara lain stimulus dan

lingkungan di mana persepsi itu berlangsung. Kejelasan stimulus akan banyak

berpengaruh dalam persepsi. Pada umumnya stimulus yang kuat lebih

menguntungkan dibandingkan stimulus yang lemah.11 Bila stimulus itu berwujud

benda-benda bukan manusia, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu

yang mengadakan persepsi, karena benda-benda yang dipersepsi tersebut tidak

ada usaha untuk mempengaruhi yang mempersepsi. Sedangkan lingkungan yang

menjadi latar belakang stimulus berpengaruh pula pada persepsi terutama jika

objek persepsi adalah manusia. Objek yang sama dengan situasi sosial yang

berbeda dapat menghasilkan persepsi yang berbeda.12

c. Aplikasi Teori Persepsi dalam Kehidupan

Pembahasan ini menggambarkan bagaimana suatu hasil kontak / hubungan /

interaksi mempengaruhi tingkah laku dan cara (jalan) pikiran seseorang, seperti:13

1) Impression Formation, yaitu: proses dimana informasi tentang orang lain

diubah menjadi pengetahuan atau pemikiran yang relatif menetap tentang

orang tersebut.

2) Attribution, yaitu: proses dimana manusia menjelaskan dan

menginterpretasikan kejadian yang ditemuinya.

3) Social Influence, yaitu: proses dimana seseorang hadir dan berusaha

mempengaruhi sikap atau persepsi orang lain.

11

Bimo Walgito, op. cit, hlm. 127

12

Bimo Walgito, op. cit, hlm. 55

13

(27)

9

4) Social Relationship, yaitu: persepsi sosial yang banyak dipengaruhi oleh

kedekatan seseorang dengan orang lain.

2. Konsep Museum a. Pengertian Museum

Kata museum berasal dari bahasa Yunani, muze yang berarti kumpulan

sembilan dewi perlambang ilmu dan kesenian.14 Dalam KBBI, museum adalah

gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-benda yang

patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan sejarah, seni, dan ilmu;

tempat penyimpanan kuno. Museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak

mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk

umum, yang mengumpulkan, merawat dan memamerkan benda-benda bukti

material manusia dan lingkungannya. Museum bertujuan untuk kegiatan yang

berkaitan dengan penelitian, pendidikan dan hiburan.15

Museum merupakan sarana dalam pengembangan budaya dan peradaban

manusia. Museum juga bergerak dalam sektor ekonomi, politik, sosial, dan

lain-lain. Di samping itu, museum merupakan wahana yang memiliki peran strategis

terhadap penguatan jati diri masyarakat. Para ahli kebudayaan meletakkan

museum sebagai bagian dari pranata sosial dan sebagai media edukasi untuk

memberikan gambaran tentang perkembangan alam dan budaya manusia kepada

publik.16 Museum sebagai media komunikasi memiliki lima metode penyampaian

14

Amir Sutaarga, op. cit, hlm. 7

15

Tjahjopurnomo, op. cit. hlm. 6

16

(28)

seperti: pameran (baik semi permanen maupun sementara), acara, kegiatan

edukatif, pengenalan dan ceramah, dan penerbitan.17

Penyelenggara museum dapat merupakan badan pemerintah dan dapat pula

badan swasta dalam bentuk perkumpulan atau yayasan yang di atur kedudukan,

tugas dan kewajibannya oleh undang-undang.18 Menyelenggarakan museum

diperlukan banyak biaya. Hal ini terkait dengan fungsi museum itu sendiri sebagai

tempat penyimpanan benda-benda purbakala, tempat pameran, dan dasar

pengelolaan museum itu bersifat ilmiah untuk tujuan edukatif dan kultural.19

b. Jenis Museum

Pada tahun 1971 Direktorat Permuseuman mengelompokkan museum

berdasarkan jenis koleksi. Berdasarkan jenis koleksi maka ada tiga jenis museum,

antara lain: Museum Umum, Museum Khusus dan Museum Lokal. Namun pada

tahun 1975, pembagian jenis museum tersebut diubah menjadi Museum Umum,

Museum Khusus dan Museum Pendidikan. Pada tahun 1980 pembagian itu

semakin sederhana menjadi Museum Umum dan Museum Khusus. Museum

umum adalah musum yang memiliki berbagai macam jenis koleksi sedangkan

museum khusus adalah museum yang hanya memiliki satu jenis koleksi, misalnya

Museum Batik.20 Direktorat Permuseuman mengelompokkan lagi museum

berdasarkan tingkat kedudukan. Pengelompokan museum menjadi Museum

17

Schouten, Pengantar Didaktik Museum (terj.) (Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992) hlm. 2

18

Amir Sutaarga, op. cit, hlm. 24

19

Loc. cit.

20

(29)

11

Tingkat Nasional (awalnya Museum Umum dan Khusus), Museum Tingkat

Regional (provinsi), dan Museum Tingkat Lokal (Kodya / Kabupaten).21

Museum Tingkat Nasional adalah museum dengan kumpulan koleksi yang

berkaitan dengan bukti material manusia atau lingkungan dan bernilai nasional

contohnya: Museum Nasional yang terletak di Jakarta. Museum Tingkat Regional

(provinsi) adalah museum yang koleksinya berkaitan dengan lingkungan provinsi,

contoh: Museum Keraton Yogyakarta. Museum Tingkat Lokal adalah museum

dengan koleksi benda yang bercorak atau bernilai lokal berasal dari kabupaten

dimana museum itu berada, contoh: Museum Gerabah. Museum ini termasuk jenis

museum tingkat lokal karena terletak di Bantul yang merupakan salah satu

kabupaten yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.22 Berdasarkan

Rencana Peraturan Pemerintah museum dibagi menjadi 4 jenis yaitu:

1) Museum umum

Museum umum adalah museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan

bukti material manusia dan atau lingkungannya yang berkaitan dengan berbagai

cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi, contoh dari museum umum yang ada di

Indonesia adalah Museum Indonesia di TMII.23

2) Museum sejarah

Museum sejarah adalah museum yang mencakup hal-hal tentang sejarah

yang berkaitan dengan masa kini dan masa depan. Koleksi yang dimiliki museum

sejarah sangat beragam seperti: dokumen, artefak, benda bersejarah, dan lain-lain.

21

Tjahjopurnomo, loc. cit

22

Mohammad Zakaria, Pengertian, Fungsi, dan Jenis-jenis Museum (http://belajaritutiadaakhir.blogspot.co.id/2011/08/museum-di-indonesia.html), diakses tanggal 17 April 2017

23

(30)

Contoh dari museum sejarah di Indonesia adalah Museum Fatahillah, Museum

Misi Muntilan, Museum Benteng Vredeburg, dan lain sebagainya.24

3) Museum seni

Museum seni adalah sebuah ruangan untuk pameran benda seni, mulai dari

seni visual yaitu di antaranya lukisan, gambar, dan patung. Museum ini disebut

juga galeri seni. Contoh dari museum seni adalah Museum Affandi dan Museum

Wayang yang terletak di Yogyakarta.25

4) Museum Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Museum ilmu pengetahuan dan teknologi adalah museum yang

menampilkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Contoh

museum yang bertemakan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia adalah

Museum Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang berada di TMII.26

c. Fungsi Museum

Museum memiliki 4 fungsi, antara lain27:

1) Fungsi edukatif dan akademis

Museum berfungsi sebagai wahana pendidikan, sarana membagi

pengetahuan (baik baru maupun lama) dan juga tempat melakukan studi atau

penelitian. Museum dituntut tidak hanya sebagai sarana pembelajaran publik,

namun juga harus mampu menunjang perkembangan ilmu pengetahuan seperti

halnya pusat studi maupun pusat kajian universitas. Museum juga menjadi tempat

di mana para peneliti khususnya sejarawan maupun mahasiswa mendapatkan

24

Museum, (https://id.wikipedia.org/wiki/Museum ) diakses tanggal 17 April 2017

25

Loc.cit

26

Iqbal, Museum Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (http://museumppiptek.blogspot.co.id/ ) diakses tanggal 17 April 2017

27

(31)

13

sumber sejarah berupa dokumen, foto, dan lain sebagainya. Hampir semua

museum yang didirikan memiliki fungsi edukatif dan akademis bagi masyarakat.

2) Fungsi sosio kultural

Museum menjadi media “pengingat” peristiwa yang di alami manusia.

Museum menjadi sarana pameran dari hasil kebudayaan atau benda-benda

peninggalan di masa lalu agar tidak hilang atau dilupakan oleh masyarakat.

Museum yang memiliki fungsi sosio kultural misalnya Museum Purbakala

Sangiran yang terletak di Kabupaten Sragen. Museum ini menyimpan berbagai

benda peninggalan yang digunakan oleh manusia purba. Artinya museum menjadi

media pengingat bagi manusia zaman sekarang mengenai kehidupan manusia

zaman pra-sejarah beserta benda-benda peninggalannya.

3) Fungsi rekreasi dan ekonomi

Museum dapat digunakan sebagai tempat rekreasi yang memberikan

inspirasi kepada masyarakat umum. Salah satu contoh museum yang berfungsi

sebagai tempat rekreasi dan ekonomi adalah De Mata Trick Eye Museum.

Museum ini terletak di Yogyakarta. Koleksi yang ada berupa gambar-gambar tiga

dimensi seperti gambar pemandangan dan berbagai ilustrasi dengan ukuran besar.

Koleksi tersebut digunakan pengunjung untuk berfoto.

4) Fungsi politik

Dalam misi politik kebudayaan, museum diperlukan untuk melegitimasi

atau mengklaim hal-hal yang simpang siur dan terlupakan. Sebab narasi besar

tentang identitas biasanya berada di wilayah abu-abu, dialektis, oleh karena itu

(32)

dan aktivitas di museum. Contoh museum yang memiliki fungsi politik adalah

Monumen Yogya Kembali. Museum ini menyimpan koleksi yang berkaitan

dengan Serangan Umum 1 Maret. Selain itu juga ada Museum Benteng Vredeburg

yang menyajikan diorama tentang berbagai peristiwa politik di Indonesia mulai

peritiwa sebelum Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan masa Orde Baru.

Museum ini juga memiliki koleksi berupa patung, foto, dan lukisan.

d. Permasalahan dan Potensi Permuseuman di Indonesia 1) Permasalahan

Permasalahan permuseuman di Indonesia dibagi menjadi dua faktor, yakni:

a) Faktor internal

Faktor internal yang muncul dalam permasalahan permuseuman di

Indonesia di antaranya adalah pemahaman tenaga museum. Pemahaman tenaga

museum maksudnya pemahaman yang dimiliki tenaga museum terhadap fungsi

kelembagaan, perangkat kebijakan dan hukum yang belum mengikuti perubahan

eksternal mekanisme penyelenggaraan dan pengelolaan yang masih lemah. Selain

itu permasalahan laina adalah penanganan koleksi yang belum maksimal (mulai

dari pengadaan dan penghapusan), kurangnya pembiayaan untuk pengembangan

museum, dan belum maksimalnya peran kehumasan.28

b) Faktor eksternal

Faktor eksternal masalah permuseuman di Indonesia di antaranya adalah

perubahan paradigma museum sebagai ruang ekslusif menjadi ruang publik,

perubahan metode penyajian yang pada mulanya taksonomik dan kronologis

28

(33)

15

menjadi tematik. Di samping itu penyelenggaraan dan pengelolaan museum

belum selaras dengan perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan.29

2) Potensi

Meskipun berbagai permasalahan muncul, di sisi lain museum juga memiliki

berbagai potensi diantaranya30:

a) Museum menjadi tempat pelestarian, lembaga pendidikan nonformal, sumber

data penelitian dan bagian dari industri budaya.

b) Meningkatnya minat untuk mendirikan museum dari pemerintah hingga

komunitas maupun swasta.

c) Terbentuknya asosiasi permuseuman; berkembangnya program tanggung

jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang membantu

mempopulerkan museum.

d) Beberapa perguruan tinggi mengembangkan studi museum (Universitas

Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Universitas Gajah Mada); dan adanya

dukungan dari komunitas yang aktif membuat program-program

permuseuman untuk publik.

3. Konsep Masyarakat

Kata masyarakat berasal dari bahasa Arab “syaraka” yang berarti ikut

serta, berpartisipasi atau “musyaraka” yang berarti saling bergaul.31 Menurut

KBBI masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat

oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat merupakan

29

Ibid. hal 55

30

Tjahjopurnomo, loc.it

31

(34)

sekumpulan manusia yang memiliki budaya sendiri dan bertempat tinggal di

daerah tertentu dan anggotanya memiliki pengalaman hidup yang sama

berdasarkan nilai-nilai yang dipedomani.32 Masyarakat yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah pengelola, pengunjung dan guru sekitar Museum Misi

Muntilan. Pada umumnya pengunjung dibagi menjadi 3 kategori yaitu33:

a. Pengunjung pelaku studi

Pengunjung pelaku studi ialah mereka yang menguasai bidang studi

tertentu yang berkaitan dengan koleksi museum untuk menambah pemahamannya

dan melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu. Pengunjung pelaku studi

memanfaatkan perpustakaan yang ada di museum. Pengunjung jenis ini juga

melakukan penggalian informasi melalui kurator atau orang yang paham

mengenai benda koleksi di museum tersebut. Contoh dari pengunjung pelaku studi

adalah siswa, mahasiswa yang melakukan penelitian atau mengerjakan tugas,

maupun peneliti atau sejarawan.

b. Pengunjung bertujuan tertentu

Pengunjung bertujuan tertentu adalah pengunjung yang datang ke museum

karena bertepatan dengan acara pameran maupun acara tertentu yang

diselenggarakan oleh pihak museum. Contoh dari pengunjung bertujuan tertentu

adalah kelompok masyarakat dari salah satu pondok pesantren Gunung Pring di

Muntilan yang datang ke Museum Misi Muntilan dalam rangka menghadiri acara

berbuka puasa bersama pada tahun 2016.

32

Ibid, hlm. 39

33

(35)

17

c. Pengunjung pelaku rekreasi

Pengunjung pelaku rekreasi ialah pengunjung yang datang ke museum

untuk berekreasi tanpa ada maksud tertentu atau memberikan perhatian khusus

terhadap koleksi atau cerita yang ada.

4. Konsep Misi a. Pengertian Misi

Kata misi adalah istilah Bahasa Indonesia untuk kata Latin missio yang

berarti perutusan.34 Istilah misi tidak hanya dipakai dalam lingkup keagamaan

tetapi juga di dunia profan seperti misi diplomatis, misi politis, misi ilmu

pengetahuan, misi kebudayaan, misi dalam dunia kemiliteran. Semuanya berarti

pelimpahan tugas dan tanggung jawab. Di dalam Gereja istilah misi digunakan

baik untuk menunjuk kegiatan yang lebih luas dan umum, yakni menyangkut

semua kegiatan Gerejawi, maupun untuk karya khusus pewartaan dan penyebaran

iman Kristen kepada orang-orang (dan bangsa-bangsa) yang belum pernah

mendengar tentang Injil, yakni kepada orang-orang yang beragama lain atau yang

tidak beragama.35

Secara lebih teologis, kata misi dimaknai sebagai berikut: a) penyebaran

iman, b) penyebarluasan Kerajaan Allah, c) pentobatan kaum kafir, d)

pembentukan Gereja-Gereja baru. Semua arti ini menjadi biasa sejak kira-kira

berdirinya Serikat Yesus pada abad ke 16. Sebelumnya dalam teologi missio

berbicara mengenai Allah Tritunggal, mengenai perutusan Putera dan Roh oleh

34

Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2006) hlm. 13

35

(36)

Allah Bapa. Dalam arti penyebarluasan iman di antara bangsa-bangsa, kata misi

mulai dipakai sejak abad ekspansi kultural, politis dan ekonomis Eropa ke seluruh

dunia. Oleh karena itu, istilah misi dalam arti seperti digambarkan di atas erat

berhubungan dengan ekspansi Eropa itu dan sekarang ini turut memikul kesalahan

yang terkandung di dalam ekspansi penuh kekerasan itu.36

Istilah misi dengan arti penyebaran iman baru mulai digunakan pada

pertengahan kedua abad 16.37 Sebelumnya Gereja menggunakan istilah lain untuk

menunjuk kegiatan pewartaan Injil, penyebaran iman Kristen, pembangunan

jemaat baru, seperti penyebaran iman (propagation fidei), pentobatan orang-orang

kafir (conversion gentilium), pewartaan Injil ke seluruh dunia (praedicatio

apostolica), pemeliharaan agama Kristen (procuration salutis apud barbarous

gentes), penananaman baru agama Kristen (novella christanitatis plantation),

penyebaran Kerajaan Kristus (propagation regni Christi), perluasan Gereja

(dilatation ecclesiae), penanaman Gereja (plantation ecclesiae). Istilah misi baru

digunakan secara umum abad ke-17.38

b. Perlunya Misi

Konsili menentukan dasar-dasar teologis sekaligus berfungsi sebagai

motivasi yang senantiasa menggerakkan Gereja untuk menjalankan misi. Karya

misi merupakan pelaksanaan diri Gereja yang dalam keseluruhan karya

36

George Kirchberger, Misi Gereja Dewasa Ini (Maumere: Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnold Jansen:, 1999) hlm. 8-9

37

Edmund Woga, op. cit, hlm. 16

38

(37)

19

keselamatan Allah berperan sebagai sakramen.39 Mengenai perlunya misi

diuraikan di bawah ini:

1) Motivasi Teologis: Misi demi Kemuliaan Allah

Pemahaman mengenai misi itu ada dan perlu demi kemuliaan Allah

merupakan hasil pemikiran teologis yakni perutusan berasal dari Allah dan

kembali ke Allah. Perlunya misi berhubungan langsung dengan rencana

penyelamatan Allah sejak penciptaan. Misi adalah cara Allah melaksanakan

rencana penyelamatan-Nya yang universal. Misi diperlukan untuk memanggil

segala bangsa untuk datang kepada Allah supaya Allah dimuliakan dan seluruh

ciptaan disatukan.40

2) Motivasi Kristologis: Kristuslah Satu-Satunya Pengantara

Perutusan Kristus-Putra Allah yang menjadi manusia dijelaskan dalam AG

3 (Dokumen Konsili Vatikan II: Ad Gentes, dekrit tentang Kegiatan Misioner

Gereja) adalah sebagai cara yang baru dan definitif kedatangan Allah ke

tengah-tengah sejarah bangsa manusia.41 Peranan yang definitif ini menunjukkan

keunikan Kristus bahwa Kristus adalah pengantara antara Allah dengan manusia.

3) Motivasi Eklesiologis: Gereja adalah Tubuh Kristus

Gereja dan Kristus tidak dapat dipisahkan karena adanya hubungan yang

eksplisit. Gereja adalah tubuh mistik Kristus dan Kepala Tubuh adalah Kristus.

Hubungan ini terjalin karena iman Gereja kepada Kristus ditandai dengan

pembaptisan dan keanggotaan di dalam tubuh. Iman, pembaptisan dan

39

Ibid, hlm. 207

40

Ibid, hlm. 207-208

41

(38)

keanggotaan dalam Gereja menjadi persyaratan dalam menuju keselamatan.42

Dalam karya misionernya Gereja mengusahakan “perambatan iman” proses

mengusahakan anggota Gereja bukan sekedar soal menambah jumlah penganut

agama Kristen, tetapi terutama merupakan sesuatu yang prinsipiil dalam

keseluruhan karya penyelamatan Allah, dimana Gereja menjadi sakramen-Nya.

Iman akan Yesus Kristus menjadi usaha yang pertama dalam karya misi ditandai

dengan pembaptisan sebagai pintu masuk ke dalam Gereja.43

4) Motivasi Antropologis: Keselamatan Integral Manusia

Allah menciptakan manusia sebagai pribadi yang utuh; begitu pula dengan

keselamatan yang direncanakan-Nya bagi manusia bukan hanya keselamatan jiwa

tetapi keselamatan seluruh manusia (badan-jiwa, jasmani-rohani) atau

keselamatan yang integral.44 Keselamatan integral merupakan nilai-nilai

manuasiawi eksistensial yang dialami selama manusia hidup, yakni nilai-nilai

yang menjamin kehidupan manusia dan membuat manusia menjadi lebih

manusiawi dalam segala segi dan dimensi hidupnya.45 Gereja sebagai sarana

keselamatan mengemban tugas untuk menunjukkan keselamatan integral itu.

Karya misi tidak hanya diarahkan pada keselamatan jiwa manusia, tetapi harus

membuat keberadaan manusia menjadi eksistensi yang terarah kepada

kesempurnaan.46

42

Ibid, hlm. 211

43

Ibid, hlm. 212

44

Ibid, 214

45

Loc.cit

46

(39)

21

5) Motivasi Eskatologis: Kepenuhan Keselamatan

Eskatologis adalah pemahaman ajaran tentang akhir dunia dan hidup yang

lebih sempurna setelah kehidupan di dunia ini.47 Misi Gereja dalam fenomena

eskatologis berperan terhadap perjalanan seluruh umat manusia menuju tujuan

akhir hidupnya. Misi menjadi ajakan kepada manusia untuk berziarah menuju

kepada Allah.48 Allah yang sejak awal datang kepada manusia tetap menyertai

manusia untuk mencapai tujuan akhirnya yaitu Allah sendiri. Misi berarti

membawa unsur-unsur penting keselamatan akhir ke dalam kehidupan dunia masa

kini.49 Misi bukan hanya persiapan untuk tujuan akhir, tetapi peristiwa dari akhirat

itu sendiri, justru karena daya ilahi pengudusan senantiasa menyertai Gereja.

Allah yang menjadi tujuan telah menyertai Gereja dan misinya sampai pada akhir

jaman.50 Karya misi merupakan partisipasi pada karya penyelamatan Allah yang

bertujuan untuk mengusahakan agar benih-benih keselamatan dalam setiap

ciptaan diperkembangkan dan diarahkan secara utuh kepada kesempurnaan akhir

zaman.51

c. Awal Misi di Indonesia

Selama masa pemerintahan VOC tidak ada kebebasan beragama di

Indonesia. Kebebasan itu baru ada sebagai akibat bergemanya cita-cita revolusi

Perancis: kebebasan, kesamaan dan persaudaraan, yaitu pada masa Gubernur

Jenderal Daendels (1808-1811). Mulai tahun 1808 berdatanganlah imam-imam ke

Indonesia untuk memulai karya misionernya. Meskipun perkembangan umatnya

47

Ibid, 216

48

Ibid, hlm. 221

49

Ibid, hlm. 219

50

Loc. cit

51

(40)

sangat lambat, Paus menetapkan berdirinya Vikariat Apostolik Batavia pada

tanggal 20 September 1842.52

Setengah pertama dari abad 19, karya kerasulan hampir terbatas karena

kemiskinan dari para missionaris dan adanya larangan dari pemerintah yang

berwenang. Misi Indonesia berawal di Kalimantan. Pastor Sanders mengunjungi

Kalimantan (Dutch Borneo) tahun 1851, tetapi misi pertama didirikan oleh Jesuit

tahun 1883. Tahun 1853, seorang misionaris memilih untuk tinggal di Bangka

dimana ada pekerja Katolik di pertambangan timah. Tahun berikutnya, ada

misionaris datang ke Sumatera. Namun, di pulau tersebut belum ada misi yang

terorganisir sebelum Jesuit didirikan tahun 1888. Misi di Sulawesi prosesnya

hampir sama. Misi mulai di Manado tahun 1885, Kepulauan Kei tahun 1888, dan

Makasar tahun 1891 dengan masing-masing satu imam.53

Peningkatan misi di Hindia Belanda terjadi antara tahun 1871-1890.

Berbagai kegiatan misi meluas seiring dengan meningkatnya para imam Yesuit

dan kedatangan suster dan bruder yang lebih banyak. Tahun 1890 jumlah imam di

Hindia Belanda ada 45 orang. Peningkatan ini tidak hanya menghasilkan

misi-misi baru di luar Jawa, tetapi juga melahirkan sebuah strategi di pulau utama itu

sendiri.54

d. Karya Misi di Muntilan

Pada tahun 1892 sudah ada karya Misioner Katolik di Magelang. Karya ini

dilakukan oleh Pastor Hebrans dan Pastor F. Voogels SJ. Mereka secara rutin

52

Tim KAS, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolikdi Keuskupan Agung Semarang, (Semarang: KAS, 1992) hlm. 15

53

Bernard De Vaulux, History of the Missions (London: Burn and oates, 1969) hlm. 187-188

54

(41)

23

berkunjung di beberapa desa di Muntilan. Hasil karya Pastor Voogels ini adalah

dibaptisnya 135 orang di Muntilan pada bulan Desember 1895.55 Namun, ada

beberapa kendala dalam melakukan karya misioner di Muntilan seperti:

kurangnya koordinasi dan kondisi umat yang menyedihkan, jarak yang harus

ditempuh, mentalitas umat, dan penyelewengan yang dilakukan oleh oknum yang

mencari keuntungan sendiri. Untuk memperbaiki kondisi tersebut dikirimlah

tenaga baru, yaitu Petrus Hoevenaars dan Fransiskus van Lith.56

Petrus Hoevenaars dan Fransiskus van Lith tiba di Batavia tanggal 4

Oktober 1896. Keduanya mulai mempelajari bahasa Jawa di Semarang karena

akan berkarya di Jawa.57 Sejak bulan Maret 1897 Pastors Hoevenaars ditempatkan

di Yogyakarta.58 Pada tanggal 27 Mei 1899 Hoevenaars dipindahkan ke Mendut

yang merupakan stasi misi baru.59 Sedangkan Fransiskus van Lith menjalankan

karyanya di Muntilan. Tanggal 21 Oktober 1897 Pastor van Lith memperoleh izin

pemerintah untuk membuka sebuah pos misi di Muntilan, stasi misi permanen

pertama.60

Pastor van Lith berhasil menemukan celah yang bisa dimasuki dalam

mengembangkan karya misi yaitu jalur pendidikan.61 Pada tahun 1904, dibukalah

sekolah pendidikan guru di Muntilan. Sekolah ini merupakan kelanjutan dari

kursus pelatihan untuk para katekis di Semarang. Hal ini menjadi suatu permulaan

55

J. Soenarjo, Muntilan: Awal Misi Katolik di Jawa. Kenangan 100 tahun Paroki Santo Antonius Muntilan 1894-1994, (Muntilan, 1994) hlm. 12

56

J. Soenarjo, loc. cit

57

Karel Steenbrink, op. cit, hlm. 367

58

Tim KAS, op. cit, hlm. 15

59

Karel Steenbrink, op. cit, hlm. 371

60

Karel Steenbrink, op. cit, hlm. 375

61

(42)

yang baik untuk pembelajaran yang lebih umum bagi para guru sekolah dasar.62

Sekolah ini mendapat sambutan baik dari masyarakat sehingga dalam

perjalanannya sekolah yang didirikan oleh Pastor van Lith semakin berkembang.63

Pada tahun 1907 mulai dibuka sekolah/sekolah desa yang menjadi sebuah

permulaan adanya pendidikan massal mengikuti cara Barat di seluruh wilayah

Hindia Belanda. Para alumni dari sekolah Muntilan memiliki peluang kerja yang

amat besar. Beberapa kelompok siswa melanjutkan studi mereka untuk menjadi

imam.64 Pada tahun 1912, Pastor van Lith membentuk yayasan yang bernama

Xaverius College dibantu oleh para Bruder FIC.65 Tahun 1913 pendidikan rendah

ditutup digantikan dengan sekolah berbahasa Belanda dan Bahasa Jawa dijadikan

mata pelajaran tambahan.66 Selain menaruh perhatian ke bidang pendidikan,

Pastor van Lith juga menaruh perhatian di bidang kesehatan. Pada tahun 1902,

rumah sakit sederhana didirikan di Muntilan.67 Karya Pastor van Lith dan para

pastor, bruder dan suster yang membantu dan meneruskannya (Pastor van Lith

wafat pada tahun 1926) di Muntilan ternyata berkumandang ke wilayah lain,

bahkan sampai luar kabupaten Magelang.

Hubungan baik yang dibina oleh Pastor van Lith dan hasil karyanya di

berbagai bidang ini ternyata menghasilkan benih-benih baru bagi umat Kristus.

Hasil penuaian pertama dari benih ini terjadi di wilayah Yogyakarta, tepatnya di

desa Kalibawang dimana pada bulan Desember 1903 secara massal sebanyak 171

62

Kareel Steenbrink, op. cit, hlm. 384

63

J. Soenarjo, op. cit, hlm. 14

64

Kareel Steenbrink, loc. cit

65

J. Soenarjo, Muntilan, op. cit,hlm. 14

66

Kareel Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia Jilid 2, (Maumere: Ledalero, 2006) hlm. 635

67

(43)

25

orang dipermandikan dengan air Sendang Sono.68 Pada akhir masa kolonial

rupanya yang diharapkan oleh Pastor van Lith menjadi kenyataan. Muntilan telah

menjadi pusat kaderisasi dan penggemblengan bagi Gereja Kristus. Muntilan

dengan karya misinya tidak hanya dikenal dan berguna bagi Gereja tetapi juga

bagi bangsa Indonesia.69

5. Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM)

Museum Misi Muntilan Pusat Animasi Misioner (MMM PAM) adalah

museum khusus yang menekankan pengembangan nilai-nilai karya misi

Keuskupun Agung Semarang rintisan van Lith, S. J. MMM PAM menjadi bagian

karya pastoral KAS yang merupakan konsorsium Keuskupan Agung Semarang,

Serikat Yesus Provinsi Indonesia, dan Konggregasi Bruder FIC Provinsi

Indonesia. MMM PAM memiliki peran dalam menumbuhkembangkan Gereja

Lokal karena menjadi pemersatu dari jaringan gerakan-gerakan misioner.70

Pemilihan nama MMM PAM diharapkan agar museum menjadi museum

yang hidup bukan hanya sekedar tempat memajang koleksi benda-benda kuno

atau bersejarah. MMM PAM adalah museum yang sungguh merawat dan

mempresentasikan aneka koleksi peninggalan misi dengan sungguh-sunguh.

MMM PAM berharap aneka koleksi bisa membawa umat sampai pada anamnesis.

Anamnesis yaitu penghadiran kembali karya misi dari masa silam ke masa kini

68

Ibid, hlm. 17

69

J. Soenarjo, op. cit, hlm. 14

70

(44)

yang digunakan untuk membantu umat dalam menghadapi zaman dengan hati

yang dikobarkan oleh peristiwa iman para leluhur.71

Dalam penyelenggaraannya MMM PAM memiliki 3 bidang karya

permuseuman72, yakni:

a. Bidang koleksi

Bidang koleksi adalah bagian dari karya permuseuman yang mencari,

mengumpulkan, menafsirkan nilai-nilai missioner peninggalan misi, dan menata

koleksi.73 Penyajian koleksi kepada publik bukanlah suatu kegiatan yang bebas

dari penilaian yang tunduk pada persyaratan keahlian dan pemberian bentuk yang

baik dan estetis. Namun, kegiatan itu merangkum segala hal yang berkaitan

dengan cara museum menyampaikan informasi kepada pengunjung.74

b. Bidang preparasi konservasi

Bidang preparasi konservasi adalah bagian dari karya permuseuman yang

bertugas mengelola dan memelihara gedung museum serta mengusahakan

pengembangan gedung dan sarana prasarana demi tercapai tujuan MMM PAM.75

c. Bidang edukasi

Bidang edukasi adalah bidang karya yang bertugas menghidupkan

semangat MMM PAM dengan merumuskan dan mengembangkan konsep. Bidang

edukasi secara konkret terwujud dalam pendampingan pengunjung.76

71

R. Sani Wibowo, SJ., “Membangun Museum yang Hidup” Rohani, No. 11, Tahun ke-60, November 2013, hlm. 5

72

Tim MMM PAM, op. cit, hlm. v

73

R. Sani Wibowo, SJ., op. cit, hlm. 5

74

Schouten, op. cit, hlm. 23

75

R. Sani Wibowo, loc. cit

76

(45)

27

6. Konsep Pendidikan Karakter a. Definisi Pendidikan

Dalam Bahasa Indonesia, pendidikan, berasal dari kata „didik‟, diartikan

sebagai proses perubahan pikiran dan perasaan, perilaku secara keseluruhan baik

terhadap individu maupun kelompok. Dalam pengertian luas pendidikan juga

melibatkan lingkungan sosial, struktur sosial, institusi sosial. Pada tujuan

terakhirlah, sebagai cita-cita yang berkaitan dengan dimensi masyarakat secara

keseluruhan, masyarakat damai dan sejahtera, di dalam individu, kelompok,

bangsa, dan negara, atas dasar keberhasilannya dalam meningkatkan pendidikan,

terjadi sikap saling menghargai, saling menghormati, bahkan saling mengkritik

dalam arti positif.77

Sementara itu, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 mendefinisikan

pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan,

masyarakat, bangsa dan negara.78

Pendidikan sejatinya merupakan hak dasar bagi setiap individu.

Pendidikan adalah sarana penumbuhan dan pengembangan dimensi-dimensi

kemanusiaan menuju terwujudnya kehidupan yang memposisikan pada derajat

kemanusiaan yang hakiki. Pendidikan bukanlah tempat membentuk manusia yang

77

Nyoman Kutha Ratna, Peranan Karya Sastra, Seni, dan Budaya dalam Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) hlm. 74

78

(46)

hanya mementingkan aspek kecerdasan (kognitif), seperti yang selama ini tampak

dalam kebanyakan realitas pendidikan di Indonesia ataupun sebagai sarana

melestarikan hegemoni atau penindasan terhadap kaum lemah oleh individu

ataupun kelompok yang dominan dan hegemonik. Pendidikan adalah upaya

mencapai kemerdekaan, pembebasan, dan kesetaraan bagi setiap individu maupun

kelompok yang terlibat dalam pendidikan, terutama bagi peserta didik.79

b. Definisi Karakter

Watak atau karakter berasal dari kata Yunani “charassein”, yang berarti

barang atau alat untuk menggores, yang kemudian hari dipahami sebagai stempel /

cap. Jadi, watak itu sebuah stempel atau cap, sifat-sifat yang melekat pada

seseorang. Watak sebagai sifat seseorang dapat dibentuk, artinya watak seseorang

dapat berubah, kendati watak mengandung unsur bawaan (potensi internal), yang

setiap orang dapat berbeda. Namun, watak amat dipengaruhi oleh faktor eksternal,

yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan pergaulan dan lain-lain.80

Karakter menjadi identitas, menjadi ciri, menjadi sifat yang tetap, yang mengatasi

pengalaman kontingen yang selalu berubah.

Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap

individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,

bangsa dan negara. Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai

hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect),

kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness),

kejujuran (honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love),

79

Mukhrizal Arif, dkk, Pendidikan Posmodernisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 247

80

(47)

29

tanggungjawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance),

dan persatuan (unity).81

Jadi, karakter adalah seperangkat nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup

sehingga menjadi sifat tetap dalam diri seseorang, misalnya kerja keras, pantang

menyerah, jujur, sederhana, dan lain-lain. Adanya karakter itulah kualitas seorang

pribadi diukur.82 Karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar

(lingkungan sosial budaya dan lingkungan fisik). Karakter menjadi akar atau dasar

dari semua tindakan baik tindakan baik maupun jahat.

c. Definisi Pendidikan Karakter

Dalam pengertian yang sederhana, pendidikan karakter adalah hal positif

yang dilakukan oleh guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya.

Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru

untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya.83 Pendidikan karakter menurut

Scerenko seperti yang dikutip oleh Muchlas Samani dan Hariyanto, dapat

dimaknai sebagai upaya yang dikembangkan, didorong dan diberdayakan melalui

keteladanan, kajian (sejarah, dan biografi tokoh bijak dan pemikir besar), serta

praktik emulasi (usaha yang maksimal untuk mewujudkan makna dari apa-apa

yang diamati dan dipelajari).84

Pengertian pendidikan karakter secara luas adalah melindungi diri sendiri,

membentuk kepribadian mandiri yang didasarkan atas keyakinan tertentu, baik

yang bersifat individu maupun kelompok, dan dengan sendirinya bangsa dan

81

Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013) hlm. 43

82

Sutarjo Adisusilo, op. cit, hlm. 78

83

Muchlas Samani dan Hariyanto, loc.it.

84

(48)

negara. Pendidikan karakter bagi bangsa Indonesia harus sesuai dengan jiwa dan

semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.85 Pendidikan karakter

menjadi sarana pengembangan kemampuan yang bersinambungan dalam diri

manusia untuk mengadakan internalisasi nilai. Menurut Plato seperti yang dikutip

oleh Doni Koesoema, pendidikan karakter merupakan sebuah kinerja dari sebuah

sistem pembinaan dan pembentukan untuk menciptakan sosok pribadi pemimpin

yang akan membawa masyarakat pada suatu kebaikan dan keadilan.86

d. Tujuan Pendidikan Karakter

Tujuan utama pendidikan karakter adalah menumbuhkan seorang individu

menjadi pribadi yang memiliki integritas moral sekaligus mampu mengusahakan

sebuah ruang lingkup kehidupan yang menghayati integritas moralnya dalam

tatanan kehidupan masyarakat. Ruang lingkup pendidikan karakter tidak hanya

individual tetapi juga melibatkan lingkungan sosial. Pendidikan karakter bertujuan

sebagai acuan bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama.87

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian

Pendidikan Nasional menyatakan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah

membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,

bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi

ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.88 Pendidikan karakter akan

memperluas wawasan para pelajar tentang nilai-nilai moral sehingga mereka

85

Nyoman Kutha Ratna, op. cit, hlm. 132

86

Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Gramedia, 2010) hlm. 104-112

87

Muchlas Samani dan Hariyanto, op. cit, hlm. 52

88

(49)

31

semakin mampu dalam mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan

secara moral.89

e. Fungsi Pendidikan Karakter

Fungsi pendidikan karakter telah dirumuskan oleh Pusat Kurikulum, sebagai

berikut:90

1) Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan

berperilaku baik. Pendidikan karakter berfungsi membentuk manusia cerdas

yang berbudi, membaangun semangat dan tekad dengan pikiran yang positif

dan sikap optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan

yang tinggi.91

2) Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur. Pendidikan

karakter menyadarkan bahwa pluralitas suku, bahasa, agama justru

memberikan kekayaan milik bersama yang harus dipelihara dan

dikembangkan.92

3) Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

Pendidikan karakter mengajarkan manusia terbiasa disiplin dan kerja keras.

Karakter disiplin dan kerja keras mampu menjadikan peradaban bangsa

sebagai bangsa yang memiliki daya saing di dalam pergaulan dunia.

f. Pendidikan Karakter dalam Kehidupan Sehari-hari

Pendidikan karakter bisa diselenggarakan dalam bentuk formal seperti

yang dilakukan dalam dunia pendidikan dan juga bisa diselenggarakan secara non

89

Dony Koesoema, op. cit, hlm. 116

90

Muchlas Samani dan Hariyanto, op. cit, hlm.52

91

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 104

92

(50)

formal. Tanpa disadari pendidikan karakter di tengah masyarakat justru lebih

banyak dilakukan karena sejak lahir hingga dewasa manusia selalu berhubungan

dengan masyarakat. Pada dasarnya karakterisasi terbentuk sepanjang hayat

sehingga pendidikan karakter adalah keseluruhan hidup itu sendiri.93

Masyarakat menjadi laboratorium bagi pendidikan karakter. Pendidikan

karakter akan menemukan verifikasi nilainya secara nyata (konkret) ketika

pembelajaran akan norma dan perilaku yang membentuk individu itu semakin

lama menjadi sistem nilai bersama yang mampu menjaga stabilitas masyarakat.94

Masyarakat dimaknai sebagai tempat di mana pada akhirnya pendidikan karakter

itu hadir. Pendidikan karakter juga sebagai sarana pedagogis bagi masyarakat luar

sehingga dapat menumbuhkan perilaku dan tata nilai yang bermakna dalam

kehidupan bermasyarakat. Hasil yang baik dari pendidikan karakter bukan hanya

dilihat dari peserta didik saja tetapi juga masyarakat yang bergerak bersama.95

B. Kerangka Berpikir

Museum didirikan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda

bersejarah sekaligus sebagai sarana pewarisan nilai-nilai dari generasi terdahulu

kepada generasi berikutnya. Pewarisan nilai-nilai di museum bisa dilakukan

dengan menyampaikan cerita di balik koleksi yang ada. Misalnya saja melalui

kegiatan pendampingan kepada masyarakat yang berkunjung ke museum.

Museum Misi Muntilan merupakan museum yang selalu melakukan

pendampingan terhadap masyarakat yang berkunjung. Pendampingan dilakukan

93

Nyoman Kutha Ratna, op. cit, hlm. 239

94

Dony Koesoema, op. cit, hlm. 187

95

(51)

33

agar masyarakat yang datang tidak hanya sekedar melihat koleksi saja.

Pendampingan itu memudahkan masyarakat dalam menemukan nilai-nilai yang

ada termasuk nilai karakter pada tokoh-tokoh yang ditampilkan di Museum Misi

Muntilan. Cerita mengenai tokoh-tokoh yang ditampilkan di museum menjadi

stimulus yang diterima oleh masyarakat melalui panca indera yang selanjutnya

diolah menjadi persepsi. Tokoh-tokoh yang ditampilkan di Museum Misi

Muntilan memiliki karakter yang dapat dijadikan teladan bagi umat yang

beragama Katolik maupun yang bukan Katolik.

Selain menampilkan tokoh-tokoh berkarakter, Museum Misi Muntilan

juga memiliki berbagai kegiatan positif. Kegiatan tersebut di antaranya adalah

Novena Selasa Kliwonan, gelar budaya, dan buka puasa bersama dengan

masyarakat dari pondok pesantren. Hal ini menunjukkan penghayatan terhadap

nilai karakter khususnya dalam toleransi umat beragama dan menghargai

kebudayaan pada masyarakat multikultur.

Tidak hanya pendampingan di museum saja, Museum Misi Muntilan juga

melakukan pendampingan kepada PIA (Pendampingan Iman Anak) dan OMK

(Orang Muda Katolik). Pendampingan dilakukan oleh tim edukasi Museum Misi

Muntilan. Pendampingan ini biasanya dilakukan di museum maupun di luar

museum misalnya di paroki-paroki. Melalui pendampingan ini berbagai karakter

ditanamkan kepada anak-anak maupun remaja. Karakter yang ditanamkan dari

pendampingan tersebut seperti toleransi (bukan hanya terhadap agama saja tetapi

juga toleransi terhadap budaya), kemandirian, percaya diri, dan semangat

(52)

Adanya pendampingan terhadap masyarakat, PIA maupun OMK dan

kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh pengelola museum tersebut

diharapkan muncul persepsi masyarakat terhadap keberadaan Museum Misi

Muntilan sebagai sarana pendidikan karakter.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dibuat skema kerangka berpikir

[image:52.595.86.509.216.640.2]

sebagai berikut:

Gambar I: Kerangka Berpikir MUSEUM MISI

MUNTILAN

KOLEKSI KEGIATAN

MASYARAKAT

PERSEPSI

(53)

35 BAB III

Gambar

Tabel 3. Daftar Ruang Pameran MMM PAM ...............................................
Gambar III. Diagram Data Pengunjung MMM PAM .................................... 50
Gambar I: Kerangka Berpikir
Tabel. 1 Jadwal Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Modifikasi dan penyempurnaan yang telah dilakukan yaitu dengan modifikasi jumlah roller pada pompa peristaltik dari 4 roller yang menjadi 7 roller dapat dilihat pada

Pada jurnal yang ditulis oleh Christia Putra, Ade Iriani, dan Augie David Manuputty tahun 2011, masalah yang terdapat pada sistem ini antara lain harga, kesiapan, jarak

Berdasarkan Tabel 11.5, tampak bahwa pada aspek pemahaman peserta didik dalam pembelajaran matematika hasil uji t independen kelompok eksperimen dan kontrol

Skripsi yang berjudul Analisis Pemasaran Susu Segar Di Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai derajat pendidikan Strata Satu pada

13 Prestasi Kiai Abdul Mujib pada awalnya sangat dipengaruhi oleh faktor interen dari Kiai Abdul Mujib yang sangat cerdas mempunyai potensi sebagai anak mempunyai motivasi

Untuk kegiatan professional kedokteran dan kesehatan, berdasarkan jenis kegiatan dibagi menjadi: Kegiatan pribadi, dokumen bukti dibuat oleh yang bersangkutan dengan

Pengujian cut off USB bertujuan untuk mengetahui Arduino Promicro dapat di- shutdown perangkat PC yang terhubung dengan terminal PATEN dengan cara ketika kapasitas

Kemitraan yang sebaiknya dilakukan adalah sistem kelembagaan yang merupakan komponen- komponen dari pranata sosial dan terkait antara satu dengan yang