• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN PERILAKU SEKS DALAM BERPACARAN PADA REMAJA PRIA DAN WANITA DI SMK SWASTA JAMBI MEDAN TAHUN 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN PERILAKU SEKS DALAM BERPACARAN PADA REMAJA PRIA DAN WANITA DI SMK SWASTA JAMBI MEDAN TAHUN 2015"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN PERILAKU SEKS DALAM BERPACARAN PADA REMAJA PRIA DAN WANITA DI SMK SWASTA JAMBI MEDAN

TAHUN 2015

Devi Safitri Pasaribu , Sri Rahayu Sanusi , Asfriyati

1. Mahasiswa Departemen Kependudukan dan Biostatistik FKM USU 2. Staf Pengajar Kependudukan dan Biostatistik FKM USU

ABSTRACT

Sex behavior is something related to the genitals or things related to things of the intimate dating between men and women. This research aims to know the difference in dating sex behavior in adolescent men and women in SMK Swasta Jambi Medan in 2015. A kind of this research is a descriptive study by qualitative approach study using case study design by depth interview. The subject is adolescent man and women age 15 - 17 years old that consist of sixteen people in SMK Swasta Jambi Medan in 2015. It was conducted on December 2014 - Agustus 2015. The results of research indicates that the difference in dating sex behavior in adolescent men and women the existence of the base of coercion against adolescent women. The things that cause the adolescent do the sex behavior relation is the influence of pornography movie or video, the influence of peers, boyfriend or girlfriend, and the poor supervision from their parent s and family. And the background of sex behavior in adolescent the existence of a sense of shame, carried away, and the coercion factor. It is suggested to the informant do not have sex at a young age, increase the value of religious. The teacher can be the second parents for adolescent in order to guide the adolescents. As a health team, can do to provide counselling about sex, the reproduction health and its impact to the health. It hope the support of government to prevent behavior sex in adolescent in order to unintended pregnancy.

Keywords : Adolescent, Sex Behavior, Dating Pendahuluan

Masa remaja terdiri dari masa remaja awal (10-14 tahun), masa remaja pertengahan (14-17 tahun), dan masa remaja akhir (17-19 tahun). Remaja seringkali diharapkan dapat berperilaku seperti orang dewasa, meskipun belum siap dalam psikologi. Pada masa ini sering terjadi konflik, karena remaja ingin mulai bebas mengikuti teman sebaya yang erat kaitannya dengan pencarian identitas.

Sedangkan dipihak lain mereka masih tergantung dengan orangtua (Sarwono, 2011).

Menurut sejumlah psikolog evolusi, perkembangan evolusi menjelaskan adanya perbedaan gender yang penting dalam sikap seksual dan perilaku seksual. Sebagai contoh dalam sebuah studi, diketahui bahwa laki-laki menyatakan bahwa idealnya mereka ingin memiliki pasangan 18 pasangan

(2)

seksual dimasa hidupnya, sementara perempuan menyatakan bahwa mereka hanya ingin memiliki 4 atau 5 pasangan seksual. Dalam studi lain, 75% laki-laki berkenalan dengan orang yang tidak dikenal dari lawan jenisnya dengan niat untuk berhubungan seks.

Berdasarkan data survey seks bebas di kalangan remaja oleh BKKBN, remaja wanita di kota-kota besar cendrung sudah tidak perawan lagi. Dan hasil survey menunjukkan bahwa separuh perempuan lajang di kota besar khususnya Jabodetabek sudah tidak perawan lagi dan melakukan hubungan seks pranikah. Rentan usia yang melakukan seks pranikah berkisar antara 13–18 tahun. Di wilayah lain di Indonesia seperti Surabaya perempuan lajang yang sudah kehilangan keperawanan mencapai 54%, Bandung 47%, dan Medan 52% (BKKBN, 2013).

Medan sebagai Ibukota provinsi Sumatera Utara termasuk kota nomor tiga terbesar di Indonesia, bahkan Medan sudah dapat dikatakan kota Metropolitan. Potensi budaya free sex di Medan sangat tinggi seperti Jakarta, Bandung, dan lain sebagainya (Profil Kesehatan Kota Medan, 2005).

Data survey SKRRI mengatakan beberapa perilaku berpacaran remaja yang belum menikah sangat mengkhawatirkan. Sebanyak 29,5% remaja pria dan 6,2% remaja wanita pernah meraba atau merangsang pasangannya. Sebanyak 48,1% remaja laki-laki dan 29,3% remaja wanita pernah melakukan berciuman bibir. Sebanyak 79,6% remaja pria dan 71,6% remaja wanita berpegangan tangan. Dan dalam survey tersebut terungkap umur untuk pertama kali berpacaran paling banyak adalah 15–17

tahun, yaitu 45,3% remaja pria dan 47,0% remaja wanita. Dan dari seluruh usia yang telah disurvey yaitu 10–24 tahun hanya 14,8% yang mengaku belum pernah bberpacaran sama sekali (SKRRI, 2012).

Penelitian Youth Center PILAR PKBI Jawa Tengah, diperoleh data perilaku remaja dalam berpacaran, yaitu saling mengobrol 100%, saling berpegangan tangan 93,3%, mencium kening 84,6%, berciuman bibir 60,9%, mencium leher 36,1%, saling meraba (payudara dan kelamin) 25%, dan melakukan hubungan seks 7,6% (Sugiyati, 2008).

Sebuah penelitian yang dilakukan Gatra dengan Laboratorium Ilmu Politik (LIP) Fisip UI terungkap pendapat remaja mengenai perilaku dengan lawan jenis atau pola percintaan dalam pacaran dianggap wajar jika sekedar berbincang sebanyak 99 % responden, pegang tangan 82 %, berpelukan sebanyak 45,9 %. Sedang yang menilai wajar cium pipi 47,3%, mencium bibir 22 %, dan cium leher 11% (Yudrik, 2012).

Hasil temuan KPAI (2010) bahwa dari hasil riset yang dilakukan di 12 kota besar di Indonesia terhadap 2800 remaja pria dan remaja wanita, 76% remaja wanita mengaku pernah pacaran dan 6,3% mengaku pernah making love (ML) dan sementara 72% remaja pria mengaku pernah pacaran dan 10% mengaku pernah making love (ML).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 5 April 2013 di UPTD SMA Negeri 1 Gurah Kabupaten Kediri dengan melakukan wawancara pada 10 siswa diperoleh hasil bahwa sebagian besar 7 siswa (70%) memiliki pengetahuan kurang tentang pacaran dan 3 siswa (30%)

(3)

memiliki pengetahuan cukup. Siswa yang memiliki pengetahuan kurang yaitu sebesar 3 siswa (30%) memiliki perilaku seks pra nikah yang negatif.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Helga di SMU Methodist 1 Medan, (2012) terhadap 100 orang siswa, diketahui bahwa 5 orang siswa (5%) menyatakan pernah melakukan hubungan seks di luar nikah. Dan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni di SMK Negri 8 Medan, (2009) terhadap 102 orang siswa telah melakukan hubungan seks di luar nikah.

Perumusan Masalah

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengungkapkan secara menyeluruh dan kompherensif semua aspek yang terkait dengan perbedaan perilaku seks dalam berpacaran pada remaja pria dan wanita dengan mengambil kasus di SMK Swasta Jambi Medan Tahun 2015.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah ntuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan perilaku seks dalam berpacaran pada remaja pria dan wanita di SMK Swasta Jambi Medan Tahun 2015.

Manfaat Penelitian

1. Bagi Remaja, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi dan memberikan pengetahuan kepada remaja tentang akibat perilaku seks terhadap kesehatan reproduksi dan mengantisipasi perilaku seks tersebut.

2. Bagi Orang Tua, diharapkan kepada keluarga terutama orang tua remaja lebih mengetahui tumbuh kembang putra putrinya sehingga dapat melakukan edukasi dini dan memberikan perhatian lebih pada anak-anaknya yang berada pada usia remaja.

3. Bagi Sekolah, diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu pihak sekolah untuk memperkaya kepustakaan dan untuk peningkatan pendidikan pada remaja tentang dampak yang terjadi pada prilaku seks dalam berpacaran.

4. Bagi Instansi Kesehatan diiharapkan dapat bermanfaat bagi Dinas Kesehatan dan instansi yang terkait untuk memperbaiki perencanaan program kesehatan reproduksi dan dapat memberikan informasi tersebut kesekolah. 5. Bagi Peneliti Lain, diharapkan

dapat digunakan sebagai referensi ilimiah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi pada remaja.

Hasil dan Pembahasan 1. Karakteristik Informan

Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa umur informan antara 15-17 tahun, informan terdiri dari 8 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, urutan anak antara 1-4, 11 orang tinggal bersama orangtua, 3 orang tinggal bersama orangtua asuh, 1 orang tinggal bersama nenek, 1 orang tinggal bersama saudara (Abang), pekerjaan orang tua terdiri dari 6 orang Wiraswasta, 2 orang PNS, 2 orang Guru, 5 orang Buruh, 1 orang Perusahaan.

(4)

2. Waktu Berpacaran

Berdasarkan hasil penelitian terhadap waktu berpacaran pada keseluhan informan yang berjumlah 16 orang bahwa usia pertamkali keseluruhan informan yaitu pada usia 12-15 tahun, dan sekarang informan masih berstatus berpacaran, masing-masing informan memiliki 1-3 mantan pacar, dan masing-masing informan pernah 1-4 kali berpacaran.

3. Konsep Pacaran

Berdasarkan hasil penelitian terhadap konsep pacaran dalam berpacaran yaitu informan berpacaran karena adanya atas dasar cinta (teman tempat curhat, teman berbagi suka dan duka, saling menyayangi, saling mencintai, saling perhatian, suka sama suka, mendewasakan diri, saling mendukung pasangannya), ada remaja bepacaran karena mengikuti tren (teman untuk malam minggu agar tidak malu dikatakan jomblo) dan ada remaja berpacaran untuk memenuhi kebutuhan seksualnya (adanya nafsu).

4. Perilaku Seks Dalam Berpacaran Berdasarkan hasil penelitian terhadap perilaku seks dalam berpacaran diketahui bahwa keseluruhan 16 informan pertama kali jatuh cinta, berciuman dan berpelukan pada usia 12-15 tahun bahkan 7 informan diantaranya telah melakukan hubungan seksual mulai usia 14-16 tahun.

5. Tindakan Perilaku Seks Dalam Berpacaran

Berdasarkan hasil penelitian terhadap tindakan perilaku seks dalam berpacaran bahwa keseluruhan 16 orang informan yang mereka lakukan pada saat berpacaran yaitu mulai dari berpegangan tangan, berciuman (kissing), berpelukan, meraba (petting), bahkan sampai melakukan hubungan seks (coitus).

6. Yang Melatarbelakangi Terjadinya Hubungan Seks Dalam Berpacaran

Berdasarkan hasil penelitian terhadap yang melatarbelakangi 7 orang informan yang melakukan hubungan seks yaitu karena adanya pengaruh dari media sosial (nonton film/video porno), adanya ungkapan ekspresi cinta (pemaksaan) dan terbawak nafsu, kurangnya informasi tentang seks dari orangtua atau keluarga, dan adanya rasa penasaran sehingga timbul ingin coba-coba. 7. Informasi Tentang Perilaku Seks

Dalam Berpacaran

Berdasarkan hasil penelitian terhadap informasi tentang seks pada keseluruhan informan yang berjumlah 10 orang yaitu dari Media sosial dimana informan menonton video porno, kaset porno, broadcast video porno dari bbm dan adanya pengaruh dari teman sebaya (pacar atau sahabat). Sehingga informan sama sekali tidak mendapatkan informasi tentang seks dari orangtua atau keluarga.

(5)

8. Pengetahuan Tentang Akibat Hubungan Seks Terhadap Kesehatan Reproduksi

Berdasarkan hasil penelitian terhadap pengetahuan pada 7 orang informan tentang akibat hubungan seks terhadap kesehatan reproduksi baik. Informan mengetahui akibat perilaku seks yang mempengaruhi terhadap kesehatan reproduksi yaitu adanya KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan), melakukan Aborsi, PMS, dan Nikah dini.

9. Sikap Tentang Akibat Hubungan Seks Terhadap Kesehatan Reproduksi

Berdasarkan hasil penelitian terhadap sikap pada 7 orang informan tentang akibat hubungan seks terhadap kesehatan reproduksi yaitu tidak baik. Dimana informan mengetahui adanya akibat terhadap kesehatan reproduksi tetapi informan tetap melakukan hubungan seks dan setuju adanya hubungan seks dalam berpacaran. Alasan informan tetap melakukannya yaitu karena adanya pengaruh libido/hormon yang meningkat, adanya tabu/larangan dari orangtua, pengaruh dari pergaulan bebas, kurangnya pengetahuan seks dari orangtua.

10. Peran orangtua dan Lingkungan Terhadap Hubungn Berpacaran Berdasarkan hasil penelitian terhadap peran orangtua dan lingkungan terhadap hubungan pacaran terhadap keseluruhan informan yaitu

ada orangtua tidak mengetahui informan memiliki pacar dan tidak dikasih izin untuk berpacaran, ada orangtua memberikan izin untuk berpacaran dan menganggap informan sudah dewasa, ada orangtua yang tidak perduli terhadap informan karena faktor pekerjaan.

11. Alasan Orangtua/Keluarga Terhadap Hubungan Berpacaran Berdasarkan hasil penelitian terhadap alasan orangtua/keluarga terhadap hubungan berpacaran pada 7 orang informan yang sedang berpacaran yaitu ada orangtua/keluarga tidak perduli, takut terganggu dengan kegiatan sekolah yang menyebabkan informan menjadi bolos kesekolah, ada alasannya karena menganggap informan sudah dewas sehingga informan tau mana yang baik dan tidak baik, ada alasannya karena belum waktunya karena informan masih dianggap anak kecil, ada alasannya karena takut dengan zaman sekarang dimana perilaku remaja seperti orang dewasa.

Kesimpulan

1. Karakteristik informan memperlihatkan bahwa umur informan antara15-17 tahun. Informan terdiri dari 8 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Urutan anak yang berbeda-beda, ada informan yang tinggal bersama orangtua dan keluarga (paman dan bibi, nenek, abang). Pekerjaan orangtua yang berbeda-beda yaitu

(6)

wiraswasta, PNS, guru, buruh, dan perusahaan.

2. Waktu berpacaran untuk pertama kali berpacaran pada keseluruhan remaja pria berusia antara 12-15 tahun, masih berstatus berpacaran sampai sekarang, memiliki 2-3 mantan pacar dan pernah 2-4 kali berpacaran. Sedangkan untuk pertama kali berpacaran pada keseluruhan remaja wanita berusia antara 13-15 tahun, masih berstatus berpacaran sampai sekarang, memiliki 1-3 mantan pacar dan pernah 1-3 kali berpacaran.

3. Konsep pacaran dalam berpacaran diartikan dalam 3 konsep. Pertama, keseluruhan remaja pria dan wanita berpacaran karena adanya atas dasar cinta (teman curhat, teman berbagi suka dan duka, saling menyayangi, saling mencintai, saling perhatian, suka sama suka, mendewasakan diri, saling mendukung). Kedua, lebih banyak remaja pria dibandingkan remaja wanita berpacaran untuk mengikuti trend (teman untuk malam minggu agar tidak malu dikatakan jomblo dan ikut-ikutan dengan teman punya pacar). Ketiga, sebagian remaja pria dan wanita berpacaran untuk memenuhi kebutuhan seksual (nafsu atau pemaksaan).

4. Perilaku seks dilakukan oleh keseluruhan remaja pria dan wanita sebanyak 16 orang berusia antara 12-15 tahun dalam berpacaran (mulai dari jatuh cinta, berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, meraba, melakukan hubungan seks). Dan diantaranya 7 orang remaja pria dan wanita

telah melakukan hubungan seks berusia antara 14-16 tahun.

5. Yang melatarbelakangi perilaku seks dalam berpacaran pada remaja pria karena pengaruh media sosial (nonton film/video porno), ekspresi cinta (memaksa), nafsu, kurangnya pendidikan seks dari orang tua atau keluarga dan coba-coba (rasa penasaran). Dan pada remaja wanita karena pengaruh media sosial (diajak nonton film/video porno), ekspresi cinta (pemaksaan), kurangnya pendidikan seks dari orang tua/keluarga.

6. Informasi tentang perilaku seks dalam berpacaran pada remaja pria yaitu dari teman (sahabat), media sosial (menonton film/video porno, broadcast video porno dari bbm), tidak mendapatkan pendidikan seks dari orang tua/keluarga. Dan pada remaja wanita yaitu dari pacar, media sosial (menonton film/video porno, broadcast video porno dari bbm) dan tidak mendapatkan pendidikan seks dari orang tua/keluaraga juga. 7. Pengetahuan pada remaja pria

dan wanita tentang dampak perilaku seks (KTD, aborsi, PMS, dan pernikahan dini) terhadap kesehatan reproduksi sangat baik. Tetapi remaja pria dan wanita tersebut setuju adanya perilaku seks dalam berpacaran disebabkan karena pengaruh libido/hormon yang meningkat, adanya tabu (hal yang wajar)/melanggar larangan bagi yang tidak menahan diri, dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi/pendidikan seks dari orang tua.

(7)

8. Peran orang tua/keluarga dan lingkungan pada remaja pria lebih banyak mengizinkan berpacaran dengan alasan menganggap remaja tersebut sudah dewasa (tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik) dari pada tidak mengizinkan berpacaran dengan alasan terganggu dengan sekolah sehingga menyebabkan bolos/putus sekolah dan sebagian tidak perduli karena faktor pekerjaan. Sedangkan pada remaja wanita lebih banyak tidak diizinkan berpacaran dengan alasan pergaulan yang semakin bebas (menyebabkan hamil), bolos/putus sekolah dari pada mengizinkan berpacaran menganggap remaja tersebut sudah dewasa (tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik) dan tidak boleh dikekang. Saran

1. Diharapkan kepada remaja pria dan wanita jangan berkomitmen dalam berpacaran sebelum menjalin hubungan yang lebih serius, menghilangkan pemikiran bahwa mengikuti trend itu tidak benar, meningkatkan nilai keagamaan, mengikuti dan mengisi waktu luang dengan kegiatan ekstrakurikuler disekolah dan menghindari menonton film porno, membaca novel atau majalah porno.

2. Diharapkan kepada

orangtua/keluarga untuk lebih mengawasi putra putrinya dalam masa perkembangannya dan perlahan-lahan memberikan informasi tentang seks dan pendidikan kesehatan reproduksi, agar remaja tersebut tahu dampak yang akan terjadi apabila remaja tersebut tetap melakukan hubungan

seks. Dan kepada guru dapat menjadi orang tua kedua bagi remaja yang dapat memperhatikan atau membimbing remaja tersebut. 3. Diharapkan dukungan pemerintah

mengedukasi remaja terhadap konsep pacaran untuk tidak melakukan hubungan seks di usia muda agar tidak terjadi Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), aborsi, PMS karena perilaku seks yang mereka lakukan saat berpacaran. Daftar Pustaka

Arifin, 2002. Pacaran dan Remaja. Http://www.google.com/Pacara n-Pada-Remaja.Html

BKKBN, 2007. Remaja Dan SPN (Seks Pranikah). www.bkkbn.go.id. Diakses tanggal 1 April 2014 James, 2011. Data Kota Medan

Remaja Melakukan Hubungan Seksual Pranikah. Http://situs-remaja-masa-kini.co.id diakses tanggal 7 Februari 2015

Kumalasari, Intan, 2012. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan Dan Keperawatan. Jakarta Selatan : Salemba Medika

SKRRI, 2012. Perilaku Pacaran Remaja Mengkhawatirkan. http://pkscibitung.wordpress.co m.bkkbn-perilaku-pacaran-remaja-mengkhawatirkan/. Diakses tanggal 4 Desember 2013

Wahyuni, 2007. Gambaran perilku siswa tentang hubungan seks pra-nikah di SMK negeri 8 Medan. Skripsi. Medan

Sarwono, Sarlito W, 2011. Psikologi Remaja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

(8)

Notoatmodjo, Soekidjo, DR, Prof, 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta

(9)
(10)
(11)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN KETEPATAN PEMBERIAN MP-ASI PADA BAYI DIKELURAHAN TIGABALATA

KECAMATAN JORLANG HATARAN KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2015

Devi C.D. Simbolon1, Heru Santosa2, Asfriyati2 1

Alumni Mahasiswa Departemen Kependudukan dan Biostatistik FKM-USU 2

Staf Pengajar FKM-USU

ABSTRACT

Breastfeeding supplementary food is a supplementary food other than breast milk given to the baby after the baby is 6 months old. In addition to breastfeeding supplementary food, breast milk should still be given to the baby, at least until 24 months. The cause of the baby's growth disorders is due to the provision of complementary feeding by mothers who do not conform with the precision timing, frequency, type, number of foodstuffs, and the weave. The objective of the research was to investigate the relation between knowledge and mother attitude with the breastfeeding supplementary food in giving to the babies at the Tigabalata village in 2015.

This type of research is a survey of analytical by using cross sectional design,the population in the study were all women who had a baby 24 months as many as 57 infants and serve as the total sample. Data was obtained through interviews using a questionnaire and analyzed by chi-square test.

From the results of the chi-square test (α <0.05), indicating there is a significant relationship between the knowledge with accuracy gift weaning infants obtained p = 0.002. And there is a significant relationship between the attitude of a mother with the breastfeeding supplementary food to the babies obtained p = 0.029.

Expected to health workers who work at the health center Tiga Balata more routine counseling on appropriate complementary feeding to mothers personally. Also to mothers who have babies to more frequent follow Posyandu activities and counseling are held in villages as well as increased knowledge and search for health information, especially the provision of complementary feeding.

Keywords: Knowledge, Attitude, Breastfeeding Suplementary food

PENDAHULUAN

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) merupakan makanan lain yang

selain ASI. Makanan ini dapat berupa makanan yang disiapkan

(12)

secara khusus atau makanan keluarga yang dimodifikasi (Juwono: 2003).

Makanan pendamping ASI diberikan terlalu dini justru dapat meningkatkan angka kematian bayi, menggangu sistem pencernaan pada bayi, dan apabila terlambat memberikan juga akan membuat bayi kekurangan gizi (Kodrat, 2010). Salah satu penyebab terjadinya gangguan tumbuh kembang bayi dan anak usia 0-24 bulan di Indonesia adalah rendahnya mutu MP-ASI dan tidak sesuainya pola asuh yang diberikan (Depkes RI, 2007).

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005, menyebutkan bahwa kurang lebih 40% bayi usia kurang dari dua bulan sudah diberi makanan pendamping ASI. Disebutkan juga bahwa bayi usia nol sampai dua bulan diberi makanan pendamping cair (21-25%), makanan lunak/lembek (20,1%), dan makanan padat (13,7%). Pada bayi usia tiga sampai lima bulan yang mulai diberikan makanan pendamping cair (60,2%), lumat/lembek (66,25%) dan padat (45,5%).

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan makanan pendamping ASI yang tidak tepat dan ketidaktahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian makanan pendamping ASI yang benar sehingga berpengaruh terhatap pemberian makanan pendamping ASI (Depkes RI, 2006).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mujirah pada tahun 2009 di poli tumbuh kembang anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama bulan Agustus 2008 dari 46 bayi usia 0 sampai 6 bulan didapatkan 23 bayi

atau 51% sudah mulai diperkenalkan MP-ASI berupa buah-buahan, tepung-tepungan, sayur-sayuran, daging ikan dan telur secara dini.

Survey awal yang dilakukan peneliti di kelurahan Tiga Balata yang didapatkan dari 10 ibu yang memiliki bayi usia dibawah 24 bulan pemberian MP-ASI sudah diberikan pada bayi sejak usia dibawah enam bulan adalah 70%. Didapatkan hasil 4 orang menyatakan kurang memahami pengetahuan tentang MP-ASI, ibu tidak mengerti berapa jumlah, porsi, jenis, frekuensi dan bentuk yang tepat untuk memberikan makanan pendamping ASI pada anaknya. Sehingga ibu memberikan makanan pendamping disamakan dengan makanan orang dewasa hanya jumlahnya yang berbeda. Tiga orang ibu mengatakan mengenalkan makanan tambahan seperti susu formula dan makanan lunak kurang dari 6 bulan agar anaknya kenyang dan tertidur pulas, jika anak diberi makan pisang sewaktu berumur 2 bulan agar anak tidak rewel dan lebih tenang, berat badan anak akan bertambah dan lebih cepat besar. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang benar dan kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat sehingga berpengaruh terhadap sikap ibu dalam pemberian MP-ASI.

Menurut petugas kesehatan di kelurahan Tigabalata apabila diadakan penyuluhan, kebanyakan para ibu memilih tidak hadir dengan berbagai alasan diantaranya jarak yang jauh, anak yang rewel dan pekerjaan rumah yang menumpuk.

Info yang diperoleh dari ibu-ibu kader dan petugas kesehatan di

(13)

kelurahan Tiga Balata masih banyak ibu-ibu yang memberikan MP-ASI yang tidak tepat baik dari segi umur bayi, jenis makanan dan frekuensi pemberiannya . Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus pada bayi yang mengalami gangguan sistem pencernaan.

METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian survei yang bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi di kelurahan Tiga balata Kecamatan Jorlang Hataran Kabupaten Simalungun Tahun 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi 24 bulan di Kelurahan Tigabalata Kecamatan Jorlang Hataran Kabupaten Simalungun yaitu 57 bayi. Sampel penelitian adalah seluruh populasi yang hendak diselidiki di Kelurahan Tigabalata Kecamatan Jorlang Hataran Kabupaten Simalungun yaitu 57 bayi. Sementara yang menjadi sampel harus memenuhi kriteria Inklusi setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel yaitu ibu yang mempunyai bayi 24 bulan.

Teknik pengumpulan data dari data primer didapat langsung dari sumbernya dengan cara survei awal dan wawancara dan data sekunder yang didapat dari Wilayah Kerja Puskesmas Tigabalata Kecamatan Jorlang Hataran Kabupaten Simalungun. Alat ukur yang digunakan dengan kuesioner. Analisa data yang digunakan dengan Univariat dan Bivariat. Analisis

statistik yang digunakan dengan menggunakan program SPSS for windows versi 17.0 dengan menggunakan uji statistik Chi-Square untuk melihat hubungan antara variabel independent dan variabel dependent.

HASIL PENELITIAN &

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Analisis Univariat

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur No Umur N % 1 <25 tahun 10 17,5 2 25-35 tahun 36 63,2 3 >35 tahun 11 19,3 Jumlah 57 100,0

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan No Pendidikan N % 1 SD 4 7,0 2 SLTP 16 28,1 3 SLTA 33 57,9 4 Perguruan Tinggi 4 7,0 Jumlah 57 100,0

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan No Pekerjaan N % 1 IRT 12 21,1 2 Wiraswasta 8 14,0 3 Petani/Buruh 33 57,9 4 PNS 4 7,0 Jumlah 57 100,0

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Suku No Suku N % 1 Batak 48 84,2 2 Jawa 6 10,5 3 Melayu 3 5,3 Jumlah 57 100,0

(14)

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa jumlah responden yang tertinggi berumur 25-35 tahun yaitu sebanyak 36 orang (63,2%). Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan SLTA yaitu sebanyak 33 orang (57,9%). Tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pekerjaan Petani/Buruh yaitu 33 orang (57,9%). Tabel 4 diketahui juga sebagian besar responden bersuku batak yaitu 48 orang (84,2%).

Tabel 5. Distribusi Kategori Pengetahuan Responden No Pengetahuan N % 1 Baik 7 12,3 2 Cukup 12 21,0 3 Kurang 38 66,7 Jumlah 57 100,0

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan kategori kurang tentang ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi yaitu sebanyak 38 orang (66,7%).

Tabel 6. Distribusi Kategori Sikap Responden

No Sikap N %

1 Baik 23 40,4

2 Tidak Baik 34 59,6

Jumlah 57 100,0

Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki sikap kategori tidak baik tentang ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi yaitu sebanyak 34 orang (59,6%).

Tabel 7. Distribusi Ketepatan Pemberian MP-ASI

No Ketepatan N %

1 Tepat 26 45,6

2 Tidak Tepat 31 54,4

Jumlah 57 100,0

Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki ketepatan kategori tidak tepat tentang pemberian MP-ASI pada bayi yaitu sebanyak 31 orang (54,4%).

Analisis Bivariat

Tabel 8. Hubungan Pengetahuan Responden Dengan Ketepatan Pemberian MP-ASI pada bayi No Pengetahuan

Ketepatan Pemberian

MP-ASI Jumlah Nilai

P

Tepat Tidak Tepat

n % n % n % 1 Baik 7 100 0 0 7 100 0,002 2 Cukup 7 58,3 5 41,7 12 100 3 Kurang 12 31,6 26 68,4 38 100 Jumlah 26 45,6 31 54,4 57 100,0

Berdasarkan tabel 8 diperoleh dari 38 responden pengetahuan kurang dimana 12 orang (31,6%) yang tepat dan 26 orang (68,4%) tidak tepat dengan pemberian MP-ASI pada bayi. Hasil chi-square diperoleh nilai p=0,002. Maka dapat disimpulkan ada hubungan secara signifikan antara pengetahuan dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi.

Tabel 9. Hubungan Sikap

Responden Dengan Ketepatan

Pemberian MP-ASI No Sikap

Ketepatan Pemberian MP-ASI

Jumlah Nilai

P

Tepat Tidak Tepat

N % n % n %

1 Baik 15 62,5 9 37,5 24 100 0,029

2 Tidak Baik 11 33,3 22 66,7 33 100

(15)

Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa diperoleh 33 responden sikap kategori tidak baik dimana 11 orang (33,3%) tepat dan 22 orang (66,7%) tidak tepat dengan pemberian MP-ASI pada bayi. Hasil chi-square diperoleh nilai p=0,029. Maka dapat disimpulkan ada hubungan secara signifikan antara sikap dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi.

PEMBAHASAN

1. Ketepatan Pemberian MP-ASI Hasil analisis univariat dari 57 responden yang tinggal di Kelurahan Tiga Balata Kecamatan Jorlang Hataran Kabupaten Simalungun menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak tepat dalam pemberian MP-ASI pada bayi yaitu sebanyak 31 orang (54,4%). Padahal jika makanan pendamping ASI diberikan terlalu dini dan tidak sesuainya pola asuh yang diberikan justru dapat menggangu sistem pencernaan pada bayi, dan apabila terlambat memberikan juga akan membuat bayi kekurangan gizi serta gangguan tumbuh kembang bayi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Atik Setyaningsih (2007) menunjukkan bahwa sebanyak 17 responden (56,7%) yang memberikan MP-ASI sejak dini.

Persentasi ketepatan pemberian MP-ASI tidak ada setengah dari sampel yang diambil, ibu merasa dengan memberikan makanan tambahan bayi akan sehat serta bayi cepat tumbuh besar. Padahal anak– anak yang diberikan makanan pendamping ASI setelah

berumur 6 bulan umumnya lebih cerdas dan memiliki daya tahan tubuh lebih kuat, serta mengurangi risiko terkena alergi akibat makanan.

2. Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Ketepatan Pemberian MP-ASI pada Bayi

Dari hasil analisa statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p value = 0,002 (p<0,05), artinya ada hubungan secara signifikan antara pengetahuan responden dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Irvani (2005) di Cimahi, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan dengan variabel ketepatan pemberian MP-ASI.

Pengetahuan Makanan

Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah Pengetahuan tentang Makanan tambahan yang diberikan pada bayi berusia 6 bulan sampai bayi berusia 24 bulan. Peranan MP-ASI sama sekali bukan untuk menggantikan ASI, melainkan hanya untuk melengkapi ASI. (Yenrina, 2008 ).

Pengetahuan tentang MP-ASI seorang ibu juga besar pengaruhnya bagi perubahan sikap dan perilaku didalam pemilihan bahan makanan yang selanjutnya berpengaruh pada tumbuh kembang dan gizi anak yang bersangkutan. Sebagian besar ibu yang memiliki pengetahuan baik dan cukup seharusnya menerapkan pola pemberian ASI dan MP-ASI yang baik pada anak, namun dalam penelitian yang dilakukan tentang pola pemberian ASI dan MP-ASI

(16)

baik pada anak 24 bulan masih tidak tepat.

3. Hubungan Sikap Ibu Dengan Ketepatan Pemberian MP-ASI pada Bayi

Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh nilai p value = 0,014 (p<0,05), artinya ada hubungan secara signifikan antara sikap ibu dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Lianda (2010) mengenai hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap pemberian MP-ASI yaitu ada hubungan sikap dengan pemberian MP-ASI.

Sikap merupakan reaksi tertutup dan belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Peranan MP-ASI sama sekali bukan untuk menggantikan ASI, melainkan hanya untuk melengkapi ASI. Kemudian masih ada ibu yang setuju pada bayi berusia 7-9 bulan diberikan lebih dari 6 kali makanan tambahan setiap hari, padahal bayi di usia tersebut kebutuhan akan asupan zat gizi sebaiknya diberi makanan tambahan pendamping air susu ibu 2-4 kali sehari.

Umumnya alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI yang tidak tepat sesuai usia bayi adalah karena bayi sering menangis sehingga ibu menganggap bahwa bayinya masih lapar, ibu merasa dengan memberikan makanan tambahan bayi akan sehat serta bayi cepat tumbuh besar.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi di Kelurahan Tiga Balata Kec. Jorlang Hataran Kab. Simalungun. Dimana kurangnya pengetahuan yang dimiliki maka kurang perilaku yang dilakukan dalam pemberian MP-ASI yang tepat dengan nilai p = 0,002.

2. Adanya hubungan antara sikap ibu dengan ketepatan pemberian MP-ASI pada bayi di Kelurahan Tiga Balata Kec. Jorlang Hataran Kab. Simalungun. Dimana dengan sikap yang tidak baik maka responden dalam pemberian MP-ASI juga tidak tepat dengan nilai p= 0,029.

Saran

1. Diharapkan kepada pihak petugas kesehatan yang bekerja di Puskesmas yang berada di kelurahan tersebut, lebih

meningkatkan program

komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang MP-ASI pada ibu-ibu hamil dan ibu yang mempunyai bayi umur 6-24 bulan dalam bentuk melakukan penyuluhan tentang MP-ASI yang tepat kepada ibu-ibu secara personal.

2. Diharapkan kepada Puskesmas mengarahkan Bidan desa untuk lebih rutin memberikan informasi mengenai MP-ASI yang tepat kepada ibu-ibu.

3. Diharapkan kepada ibu yang memiliki bayi untuk lebih sering

(17)

mengikuti kegiatan posyandu dan penyuluhan yang diadakan di kelurahan tersebut. Dan meningkatkan pengetahuan dan mencari informasi kesehatan terutama dengan keterkaitan ketepatan pemberian MP-ASI

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI., 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP- ASI) Lokal, Jakarta. diakses tanggal 10 April 2015

http://www.depkes/makana n pendamping ASI.com

Depkes RI., 2007. Pedoman Pemberian Makanan Bayi dan Anak, Jakarta: Depkes RI.

Dheny., 2011. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Pemberian Makanan Pendamping ASI Bayi di Posyandu Karya Mulya Jetis Jaten, Surakarta.

Ina, Hernawati., 2008. Gambaran Karakteristik Ibu yang Memberikan Makanan Pendamping ASI pada Bayi Usia Kurang dari 6 Bulan di Posyandu Cirumpak Tengah Kec. Kronjo. www.inahernawati.com . Diakses pada tanggal15 mei 2015

Juwono, Lilian., 2003. Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Pemberian MP-ASI pada Bayi Usia 0-6 Bulan , Depok: FKM UI

Kodrat, L.,2010. Dahsyatnya ASI dan Laktasi. Yogyakarta: Media Baca.

Krisnatuti dan Yenrina., 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI, Jakarta: Puspa Swara.

Lawson, Marget., 2003. Makanan Sehat Untuk Bayi dan Balita, Jakarta, Dian Rakyat.

Notoatmodjo, Soekidjo., 2005. Metodologi Peneltian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.

___________________., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta: Rineka Cipta.

Sari, Irvani., 2005. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Perilaku Pemberian MP-ASI Pada Bayi 6-12 Bulan di Puskesmas Cimahi Selatan Kota Cimahi. Skripsi. Depok: FKM UI.

Setyaningsih, Atik., 2007. Hubungan Karakteristik Ibu dengan Pemberian MP-ASI Dini pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Posyandu Warna Sari Desa Glonggong Nogosari Boyolali.

Yenrina., 2008. Menyiapkan Makanan Pendamping, Jakarta: Puspa Swara.

(18)

1

KARAKTERISTIK PENDERITA HIV/AIDS DI RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013–2014

Janni Togumaito Butarbutar1, Rahayu Lubis2, Hiswani2

1

Mahasiswa Peminatan Epidemiologi FKM USU

2

Dosen Departemen Epidemiologi FKM USU Jl. Universitas No.21 Kampus USU Medan, 20155

Email: jannibutarbutar@yahoo.com ABSTRACT

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) is specific illness (syndrome) collecting caused by damaging immune system which is related to HIV (Human Immunodeficiency Virus). Prevalance rate of AIDS in Indonesia in 2014 was 23,48 with CFR of AIDS was 1,67. The main purpose of this research is to know characteristic of HIV/AIDS patients.

This research is descriptive study with case series design. The population and sample was all HIV/AIDS patients as many as 145 cases. Type of data collected is secondary data which is analyced by chi square-test.

The result of research showed the characteristic based on highest demograhy social with the age 30-39 years (49,0%), male (72,4%), Senior High School passed (55,2%), enterpreuner (53,1%), married (66,9%), Pematangsiantar Living (57,9%), highest infection transmission of heterosexual (65,5%), Clinic with no opportunity Infection (OI) (54,5%), Tuberculosis as OI type (48,5%), number of CD4<200 (60,0%), stop therapy phase (64,1%), alive living (76,6%). It is faound that no significant and different proportion between age and infection transmission (p=0,372), sex and last living (p=0,297), work status and infection transmission (p=0,172), marrige status and infection transmission (p=0,190). There is significant difference proportion between sex and infection transmission (p<0,001), and also clinic and last living (p<0,001).

It is suggested for society to be faithful to one person as living mate to prevent transmission through heterosexual in promiscuity, to public figure especially to public religion to get involved in morality education for education for society. It is suggested for staff of HIV/AIDS Poly clinic to monitor patient obedience in consuming ARV and to record information more detail about type of opportunity infection of patients. It is suggested to local government to close prostitution place in Bukit Maraja.

Keywords: Characteristic, HIV/AIDS PENDAHULUAN

Masalah Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah besar yang mengancam banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari penyakit ini. HIV/AIDS menyebabkan krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, pembangunan negara, ekonomi, pendidikan dan juga krisis ke-

manusiaan. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi.(Djoerban,Z.dan Samsuridjal D., 2010)

Berdasarkan data WHO (2014), 15 juta orang meninggal karena HIV di dunia pada tahun 2013 (CFR 42,86 %). Diper – kirakan 35.000.000 orang hidup dengan HIV sampai dengan akhir tahun 2013 dan 21.000.000 orang di dunia terinfeksi HIV

(19)

2 pada tahun 2013 (WHO, 2014). Wilayah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi adalah Sub Sahara Afrika dengan CFR AIDS 6,25%. Sedangkan Amerika Utara, Eropa Tengah dan Eropa Barat terdapat 2,3 juta penderita HIV/AIDS dengan CFR 1,65% (UNAIDS, 2009).

Di Indonesia, kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada 1987yang terjadi pada seorang warga negara asing di Bali. Per- kembangan penyakit HIV/AIDS terus me- nunjukkan peningkatan (Bappenas, 2013). Menurut Ditjen PP & PL (2014) bahwa kasus tertinggi HIV dan AIDS berada di provinsi Papua dengan prevalensi kasus AIDS sebesar 359,43, diikuti oleh provinsi Papua Barat dengan prevalensi 228,03, Bali (prevalensi 109,52), Kalimantan Barat (dengan prevalensi 38,65). Sedangkan di Indonesia, prevalensi AIDS pada tahun 2014 adalah 23,48 (Dirjen PP&PL Depkes RI, 2014).

Kasus baru HIV di Sumatera Utara pada tahun 2012 sebesar 821 dan AIDS sebesar 643. Ini mengakibatkan jumlah ku- mulatif kasus HIV/AIDS meningkat tajam menjadi 6.430 kasus, dengan prevalensi HIV per 100.000 penduduk adalah 6,21 dan prevalensi AIDS sebesar 4,87 (Dinkes Sumut, 2012).

Hasil survei pendahuluan yang di- lakukan di RSUD DR. Djasamen Saragih Pematangsiantar, diperoleh jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun 2013-2014 terdapat 145 kasus, 61 kasus dari 543 orang yang melakuan tes pada tahun 2013 dan 84 kasus dari 506 orang yang melakukan tes tahun 2014. Jumlah kasus ini diperoleh dari data pengunjung yang melakukan tes HIV di Poliklinik HIV/ AIDS RSUD Dr. Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar. Maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik penderita HIV/ AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013-2014.

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah belum diketahuinya karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Dr.

Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013-2014.

Adapun tujuan dari penlitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih tahun 2013 – 2014. METODE PENELITIAN

Penelitianini bersifat deskriptif dan menggunakan desain case series. Populasi penelitian ini adalah seluruh data penderita HIV/AIDS yang tercatat dalam laporan bulanan dan rekam medik dengan jumlah penderita sebanyak 145 penderita pada tahun 2013–2014. Sampel pada penelitian ini merupakan seluruh data penderita HIV/ AIDS yang berkunjung di Poliklinik HIV/ AIDS RSUD Dr. Djasamen Saragih tahun 2013–2014 (total populasi). Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari laporan bulanan dan rekam medik di Poliklinik HIV/AIDS RSUD Dr. Djaseman Saragih tahun 2013 – 2014 dan dicatat sesuai dengan variabel yang diteliti. Data univariat dianalisis secara deskriptif sedangkan data bivariat dianalisis dengan menggunakan uji chi-square. Kemudian disajikan dalam bentuk narasi, table distribusi proporsi, diagram bar, dan diagram pie.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 Distribusi Penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Berdasarkan Karakteristik Penderita Tahun 2013-2014 Sosiodemografi f=145 (%) Umur (tahun) < 20 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun ≥ 50 tahun 3 42 71 23 6 2,1 29,0 49,0 15,9 4,0 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 105 40 72,4 27,6

(20)

3 Tingkat Pendidikan Tidak/Belum Sekolah Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Akademi/Sarjana 1 9 39 80 16 0,7 6,2 26,9 55,2 11,0 Pekerjaan PNS Pegawai Swasta Wiraswasta Sopir Petani

Ibu Rumah Tangga Pelacur Honorer Petugas Parkir Perawat Tidak Bekerja 4 6 77 13 7 17 4 3 3 1 10 2,8 4,1 53,1 9,0 4,8 11,6 2,8 2,1 2,1 0,7 6,9 Status Pernikahan Belum Menikah Menikah Janda/Duda 33 97 15 22,8 66,9 10,3 Daerah Tempat Tinggal

Wilayah Kota Pematangsiantar Luar Wilayah Kota

Pematangsiantar 84 61 57,9 42,1 Cara penularan Heteroseksual Homoseksual Perinatal Transfusi Darah Napza Suntik (IDU)

95 6 1 2 41 65,5 4,1 0,7 1,4 28,3 Keadaan Klinis Penderita

Tidak Ada Infeksi Oportunistik Ada Infeksi Oportunistik

79 66

54,5 45,5 Jenis Infeksi Opurtunistik

Tuberkulosis Kandidiasis Diare Cryptosporidia Hepatitis Pneumonia 39 29 7 4 1 48,8 36,2 8,8 5,0 1,2 Jumlah CD4 (sel/μl) >500 200-500 <200 3 21 36 5,0 35,0 60,0 Tahap Terapi ARV

Lini 1 Lini 2 Stop 29 4 59 31,5 4,4 64,1 Keadaan Terakhir Penderita

Hidup Meninggal 111 34 76,6 23,4 Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui distribusi proporsi berdasarkan umur pada penderita HIV/AIDS tertinggi adalah kelompok umur 30–39 tahun yaitu

49,0% dan terendah pada kelompok umur <20 tahun yaitu 2,1%. Tingginya proporsi penderita HIV/AIDS pada kelompok umur 30-39 menunjukkan bahwa penderita pada kelompok umur tersebut masuk ke dalam kelompok usia produktif yang aktif secara seksual serta termasuk ke dalam kelompok umur yang menggunakan NAPZA suntik (Kemenkes RI., 2014).

Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasarkan jenis kelamin lebih banyak pada yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 72,4%. Rasio antara jenis kelamin, ditemukan bahwa perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah sekitar 2,6:1. Kasus HIV/AIDS pada laki-laki lebih tinggi karena perilaku seksual dan penyalahgunaan NAPZA (Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif) yang lebih sering dilakukan oleh kaum laki–laki di – bandingkan perempuan (Depkes RI,2010).

Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasarkan tingkat pendidikan yang tertinggi adalah tamat SLTA yaitu 55,2% dan terendah adalah tidak/belum sekolah yaitu 0,7%. Dari tabel diatas juga dapat diketahui bahwa penderita HIV/AIDS juga terjadi pada semua tingkat pendidikan. Hal ini dapat disebabkan karena jika seseorang dengan pendidikan tinggi walaupun telah memiliki pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS, tidak dengan sendirinya akan diikuti dengan tindakan positif berupa upaya konkrit untuk mencegah HIV/ AIDS (Rustamaji, A, N., 2000).

Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasarkan pekerjaan yang ter– tinggi adalah wiraswasta yaitu 53,1%, sedangkan yang terendah adalah perawat yaitu 0,7%.

Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasarkan status pernikahan yang tertinggi adalah menikah (66,9%) dan yang terendah adalah janda/duda (10,3%).

Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasarkan tempat tinggal yang lebih banyak berada di wilayah Kota Pematangsiantar yaitu 57,9%. Tingginya

(21)

4 jumlah penderita yang berasal dari dalam wilayah Kota Pematangsiantar dikarena – kan lokasi RSUD Dr. Djasamen Saragih yang berada di Pematangsiantar. Selain itu Kota Pematangsiantar merupakan salah satu daerah yang dekat dengan lokalisasi Bukit Maraja, sehingga memungkinkan menjadi tempat untuk melakukan hubung- an seksual berisiko secara lebih bebas.

Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasarkan cara penularan teringgi adalah melalui heteroseksual yaitu 65,5%, dan terendah perinatal yaitu 0,7%. Tinggi- nya penderita dengan cara penularan heteroseksual berganti pasangan menunjuk kan perilaku yang buruk baik pada laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian untuk mencegah penularan HIV/AIDS secara seksual dapat dihindari dengan setia terhadap satu pasangan.

Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasarkan keadaan klinis pen– derita yang lebih tinggi adalah tidak ada infeksi oportunistik yaitu sebesar 54,5%. Tingginya penderita pada kelompok ini mungkin saja dikarenakan mereka masih berada pada kondisi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini biasa- nya berlangsung dalam kurun waktu 8–10 tahun. Namun bisa saja penderita sudah menunjukkan gejala akibat infeksi opor- tunistik dalam waktu yang lebih cepat (Kurniawati, N.D., & Nursalim., 2011). Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya 45,5% dari penderita HIV/AIDS telah me- nunjukkan infeksi oportunistik.

Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasakan jenis infeksi oportunistik tertinggi adalah Tuberkulosis yaitu 48,8% dan yang terendah Pneumonia yaitu 1,2%. Tingginya penyakit Tuberkulosis dikarena- kan oleh infeksi tuberkulosis berkaitan erat dengan HIV. Hal ini dikarenakan orang dengan HIV imunitas selulernya rusak, sedangkan infeksi tuberkulosis memiliki kaitan dengan rusaknya sistem kekebalan seluler (Djoerban, Z., 2011).

Distribusi penderita HIV/AIDS ber dasakan jumlah CD4 tertinggi adalah CD4 <200 sel/μl darah (60%) dan terendah CD4 >500 sel/μl darah (5,0%). Infeksi HIV berkaitan dengan perunan jumlah CD4. HIV masuk ke dalam tubuh menginfeksi CD4 dan merusak sel ini sampai sel ter- sebut mati sehingga jumlahnya menurun. Penurunan CD4 menunjukkan tingkat ke – rusakan sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang menurun membuat tubuh mudah terserang berbagai jenis penyakit (Lasmadiwati, E., dkk, 2005). Pe- meriksaan CD4 berguna untuk memulai, mengontrol serta mengubah rejimen ARV yang diberikan. Dengan mengetahui jum- lah CD4 sebelum dan selama menjalani terapi ARV maka dapat dilihat keberhasil-an atau kegagalkeberhasil-an dari terapi tersebut (Murtiastutik, D., 2008). Karena itu, pe– meriksaan jumlah CD4 seharusnya dilaku- kan sebelum dan setelah menerima terapi ARV.

Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasarkan tahap terapi ARV tinggi adalah pada tahap Stop yaitu 64,1% dan terendah Lini 2 yaitu 4,4%. Tingginya penderita pada tahap stop dikarenakan oleh penderita meninggal, gagal follow up serta pindah dari pelayanan di Poliklinik HIV/ AIDS RSUD Dr. Djasamen Saragih Pe– matangsiantar. WHO (2004) menyatakan jangkauan terapi HIV merupakan masalah kesehatan yang harus ditangani dengan cepat. Perawatan penderita HIV/AIDS memerlukan ARV sebagai pilihan terapi. Tanpa adanya akses terhadap ARV, penderita HIV/AIDS tidak dapat mencapai kesehatan fisik dan mental terbaik yang bisa diperoleh, serta tidak bisa melawan penyakitnya karena harapan hidupnya terlalu singkat (Murtiastutik, D., 2008) .Oleh karena itu kegiatan pemantauan pasien oleh petugas klinik CST (Care Support Treatment) harus semakin ditingkatkan untuk mendukung keberhasil- an program terapi ARV.

(22)

5 Distribusi proporsi penderita HIV/ AIDS berdasarkan keadaan terakhir lebih banyak hidup yaitu 76,6%. Replikasi HIV sangat cepat dan terus-menerus sejak awal terinfeksi. Replikasi virus yang terus-menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuh semakin berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi opur– tunistik (Murtiastutik, D., 2008). Banyak -nya pe-nyakit yang muncul pada akhir-nya akan membawa penderita HIV/AIDS kepada kematian (Lasmadiwati, E., dkk, 2005).

Tabel 2 Distribusi Proporsi Umur Penderita HIV/ AIDS Berdasarkan Cara Penularan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematang – siantar Tahun 2013 – 2014 Umur (tahun) < 20 20-39 >39 Total Cara Penular-an f % f % f % f % Seksual Non Seksual 1 2 1,0 4,5 79 34 78,2 77,3 21 8 20,8 18,2 101 44 100 100

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa distribusi proporsi pen– derita HIV/AIDS melalui transmisi penular an seksual pada kelompok umur <20 tahun adalah 1,0%, kelompok umur 20–39 tahun adalah 78,2%, dan kelompok umur >39 tahun adalah 20,8%. Penderita HIV/AIDS dengan cara penularan non seksual pada kelompok umur <20 tahun adalah 4,5%, kelompok umur 20–39 tahun adalah 77,3%, dan kelompok umur >39 tahun adalah 18,2%.

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,372. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan cara penularan.

Tabel 3 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Cara Penularan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematang – siantar Tahun 2013–2014 Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Total Cara penularan f % f % f % Seksual Non Seksual 64 41 63,4 93,2 37 3 36,6 6,8 101 44 100 100

Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penderita dengan cara penularan seksual pada jenis kelamin laki-laki yaitu 63,4%, dan perem- puan yaitu 36,6%. Proporsi penderita de- ngan cara penularan non seksual pada jenis kelamin laki-laki yaitu 93,2%, dan per-empuan yaitu 6,8%.

Dari hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p<0,001. Hal ini menunjukkan ada perbedaan pro- porsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan cara penularan.

Tabel 4 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Berdasar- kan Keadaan Terakhir Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematang – siantar Tahun 2013–2014

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total Keadaan Terakhir f % f % f % Hidup Meninggal 78 27 70,3 79,4 33 7 29,7 20,6 111 34 100 100 Berdasarkan tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa dari 111 penderita yang hidup sebanyak, 78 orang yaitu 70,3% adalah laki-laki dan 33 orang yaitu 29,7% adalah perempuan. Selanjutnya, dari 34 penderita meninggal, 27 orang yaitu 79,4% adalah laki-laki dan 7 orang yaitu 20,6% adalah perempuan.

Dari hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,297. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis ke – lamin berdasarkan keadaan terakhir pen – derita.

Tabel 5 Distribusi Proporsi Status Pekerjaan Pen- derita HIV/AIDS Berdasarkan Cara penularan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014 Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja Total Cara penularan f % f % f % Seksual Non Seksual 96 39 95,0 88,6 5 5 5,0 11,4 101 44 100 100 Berdasarkan tabel 5 di atas dapat diketahui proporsi penderita HIV/AIDS dengan cara penularan seksual pada

(23)

6 penderita yang bekerja yaitu 95,0% dan yang tidak bekerja yaitu 5,0%, sedangkan proporsi penderita HIV/AIDS dengan cara penularan non-seksual yang bekerja adalah 88,6% dan tidak bekerja adalah 11,4%.

Dari hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,172. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status pe – kerjaan berdasarkan cara penularan.

Tabel 6 Distribusi Proporsi Status Pernikahan Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Cara Penularan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013– 2014 Status Pernikahan Menikah Belum Menikah Janda/ Duda Total Cara Penularan f % f % f % f % Seksual Non Seksual 70 27 69,3 61,4 19 14 18,8 31,8 12 3 11,9 6,8 101 44 100 100

Berdasarkan tabel 6 di atas dapat diketahui proporsi status pernikahan ber – dasarkan cara penularan, dari 101 penderita dengan cara penularan melalui hubungan seksual, terdapat 70 orang (69,3%) menikah, 19 orang (18,8%) belum menikah dan 12 orang (11,9%) berstatus janda/duda. Selanjutnya, dari 44 penderita dengan cara penularan non seksual, ter- dapat 27 orang (61,4%) berstatus me – nikah, 14 orang penderita (31,8%) belum menikah,dan 3 orang penderita (6,8%) ber- status janda/duda.

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi – Square diperoleh nilai p=0,190. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status pernikahan berdasarkan cara penularan.

Tabel 7 Distribusi Proporsi Keadaan Klinis Pen – derita HIV/AIDS Berdasarkan Keadaan Ter akhir Penderita di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014 Keadaan Klinis Tidak Ada IO Ada IO Total Keadaan Terakhir f % f % f % Hidup Meninggal 72 7 64,9 20,6 39 27 35,1 79,4 111 34 100 100

Dari tabel 7 diatas, proporsi keada- an klinis penderita HIV/AIDS berdasarkan keadaan terakhir penderita dapat diketahui bahwa dari 111 orang penderita HIV/AIDS yang hidup, terdapat 72 orang (64,9%) tidak ada IO, 39 orang (35,1%) ada IO. Se- dangkan, dari 34 orang penderita yang me- ninggal, hanya 7 orang (20,6%) tidak me- miliki IO, 27 orang (79,4%) memiliki IO.

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Chi-Square diperoleh nilai p<0,001. Hal ini menunjukkan ada per- bedaan proporsi yang bermakna antara ke- adaan klinis berdasarkan keadaan terakhir penderita.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Karakteristik penderita diperoleh bahwa proporsi penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematang – siantar tahun 2013-2014 tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (49,0%), jenis kelamin laki–laki (72,4%), tingkat pen – didikan tamat SLTA (55,2%), pekerjaan wiraswasta (53,1%), berstatus menikah (66,9%), serta bertempat tinggal di wi– layah Kota Pematangsiantar (57,9%), trans misi penularan heteroseksual (65,5%), ke- adaan klinis penderita tidak ada ditemu- kan infeksi oportunistik (54,5%), jenis in- feksi oportunistik Tuberkulosis (48,8%), jumlah CD4 penderita <200 sel/μl (60%), tahap ARV stop (64,1%), dan keadaan terakhir penderita hidup (76,6%).

Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan trans – misi penularan. Ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin ber – dasarkan cara penularan. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan keadaan terakhir penderita. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara status pekerjaan ber dasarkan cara penularan. Tidak ada per – bedaan proporsi yang bermakna antara status pernikahan berdasarkan cara penularan. Ada perbedaan proporsi yang

(24)

7 bermakna antara keadaan klinis berdasar – kan keadaan terakhir penderita.

Saran

Kepada masyarakat harus setia pada satu pasangan (be faithful) untuk mencegah penularan melalui heteroseksual berganti-ganti pasangan, kepada tokoh masyarakat, khususnya tokoh agama untuk ikut berperan dalam pendidikan moral masyarakat agar setia pada satu pasangan (be faithful) dan tidak menggunakan narkoba sehingga dapat mencegah penular- an seksual melalui heteroseksual berganti-ganti pasangan maupun narkoba suntik, kepada petugas Poliklinik HIV/AIDS RSUD Dr. Djasamen Saragih diharapkan meningkatkan pelaksanaan program pen – dampingan ODHA agar tidak terjadi gagal follow up, serta memantau kepatuhan me – ngonsumsi ARV pasien dan mencatat informasi lebih rinci mengenai jenis infeksi oportunistik penderita, dan kepada Pemerintah setempat agar menutup lokal – isasi di Bukit Maraja sehingga tidak me – mungkinkan terjadinya praktek prostitusi. DAFTAR PUSTAKA

Bappenas., 2013. Laporan Pencapaian Tujuan Milinium Indonesia 2013. http://www.bappenas.go.id/files/191 3/5229/laporan pencapaian tujuan millinium indonesia 2013. Diakses tanggal 03 Februari 2015.

Depkes RI., 2010. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Jakarta. Dinkes Sumut., 2012. Profil Kesehatan

Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. Medan.

Dirjen PP&PL Depkes RI., 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia di- laporkan Sampai Desember 2013. Jakarta.

Djoerban, Z. dan Samsuridjal D., 2010.HIV/AIDS di Indonesia dalam Buku Ajar Ilmu Pe- nyakit Dalam Edisi V. Jilid III. Aru W. Sudoyo. Dkk (editor). Edisi ketiga. Cetakan Kedua, Interna Publishing. Jakarta.

Djoerban, Z., 2011. Membidik AIDS: Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA.GalangPress.Yogyakarta. Kemenkes RI., 2014. Profil Kesehatan

Indonesia Tahun 2014. Jakarta. Kurniawati, N.D., Nursalim. 2011.

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Salemba Medika: Jakarta.

Lasmadiwati, E., dkk. 2005. Potensi Diri dan Alam untuk Peng- obatan HIV/AIDS. Penebar Swadaya. Depok.

Murtiastutik, D., 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Airlangga University Press: Surabaya.

Rustamaji, A, N., 2000. Membidik AIDS Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA. Penerbit Galang Press Yogyakarta dan Yayasan Memajukan Ilmu Penyakit Da – lam, Yogyakarta.

UNAIDS., 2009. Global Summary of the AIDS Epidemic December 2008. http://ata.unaids.org/pub/EpiReport/2 008/JC1700-Epi-Up-date2009en.pdf. Diakses 04 Februari 2015.

WHO.,2014.The Fact Of HIV/AIDS. http://www.who.int/mediacentre/fact sheets/fs360/en. Diakses 20 Februari 2015.

(25)

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA PUTRI TENTANG DISMENOREA DAN TINDAKAN DALAM

PENANGANAN DISMENOREA DI SMP SWASTA KUALUH KABUPATEN LABUHAN

BATU UTARA TAHUN 2015

Yuli S. BR Sitorus1, Sri Rahayu Sanusi2, Maya Fitria2

1

Alumni Mahasiswa Departemen Kependudukan dan Biostatistik FKM-USU

2

Staf Pengajar FKM-USU ABSTRACT

Dysmenorrhea is pain in the abdomen and pelvic area experienced by women as a result of her menstrual period. Dysmenorrhoea is one of the most common gynecological problems experienced by women of all ages. The incidence of dysmenorrhoea in the world is very large, approximately 50% of all women in the world suffer from dysmenorrhoea. This study aims to determine the correlation between knowledge and attitudes of young women with the action in the treatment of dysmenorrhoea in Junior High School Kualuh district Labuhan Batu Utara 2015.

This type of research is a survey by using explanatory research approach. The population in the study were all students who had as many as 53 people dysmenorrhoea class I, II, III, and made the total sample. Data was obtained through interviews using a questionnaire and analyzed by chi-square test.

From the results of the chi-square test (α <0.05), indicating there is a significant relationship between knowledge and action in the treatment of dysmenorrhoea (p = 0.005). And test results showed no relationship between attitude and action in the treatment of dysmenorrhoea (p = 0.045).

Expected that the students are always looking for health information, especially in the treatment of dysmenorrhoea through electronic media, textbooks on reproductive health, especially the health of adolescents in a school environment. And to the school in order to involve students in a health seminar activities.

Keywords: Knowledge, Attitude, Dysmenorrhea PENDAHULUAN

Menstruasi merupakan siklus reproduksi pada wanita. Gangguan-gangguan yang berhubungan dengan menstruasi dapat mengakibatkan

gangguan dalam proses

reproduksinya. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan menstruasi dapat memberi pengaruh

pada wanita dalam proses reproduksinya sehingga penting bagi wanita untuk memahami proses menstruasi agar dapat menjalankan fungsi reproduksi secara optimal (Kusmiran, 2011).

Pemahaman tentang menstruasi sangat diperlukan untuk dapat

(26)

mendorong remaja yang mengalami ganguan menstruasi agar mengetahui dan mengambil sikap yang terbaik mengenai permasalahan reproduksi yang mereka alami berupa kram, nyeri karena ketidaknyamanan yang dihubungkan dengan menstruasi yang disebut dismenore (Sembiring, 2011).

Permasalahan kesehatan reproduksi remaja saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian. Kesehatan reproduksi remaja tidak hanya masalah seksual saja tetapi dengan menyangkut segala aspek tentang reproduksinya, terutama pada remaja putri yang nantinya akan menjadi seorang wanita yang bertanggung jawab kepada keturunannya.

Menstruasi dimulai saat pubertas dan kemampuan seseorang wanita untuk mengandung anak atau masa reproduksi. Menstruasi dimulai antara usia 12-15 tahun, tergantung pada berbagai faktor seperti kesehatan wanita, status nutrisi dan berat tubuh relatif terhadap tinggi tubuh, menstruasi berlangsung sampai mencapai usia 45 tahun (Progestian,2010).

Nyeri haid/dismenore adalah keluhan ginekologi akibat ketidakseimbangan hormon progesteron dalam darah sehingga mengakibatkan timbul rasa nyeri yang paling sering terjadi pada wanita. Wanita yang mengalami

dismenore memproduksi

prostaglandin 10 kali lebih banyak dari wanita yang tidak dismenorea. Prostaglandin menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus, dan pada kadar yang berlebih akan mengaktivasi usus besar. Penyebab

lain dismenore dialami wanita dengan kelainan tertentu.

Menurut Latthe yang dikutip (Alfrianne,2008) dari data WHO rata-rata insidensi terjadinya dismenore pada wanita muda antara 16,8-81%. Rata-rata di negara-negara Eropa dismenore terjadi pada 45-97% wanita. Dengan prevalensi terendah di Bulgaria (8,8%) dan tertinggi mencapai 94% di negara Finlandia.

Hasil penelitian (Ningsih, 2014) hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan dismenorea di SMA Negeri 7 Manado terbanyak memiliki pengetahuan kurang sebanyak 54,5% dan memiliki perilaku penanganan dismenore kurang sebanyak 50,0%. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya informasi yang didapat dan pendidikan tentang dismenorea di sekolah.

Berdasarkan wawancara peneliti kepada seorang guru yang mengajar di SMP Swasta Kualuh didapatkan keterangan bahwa pada saat proses belajar mengajar terdapat beberapa siswa yang mengalami nyeri haid, dan siswa tersebut meminta ijin untuk pulang kerumah pada saat jam pelajaran dan tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Berdasarkan survei

pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di SMP tersebut jumlah semua siswa kelas I, II dan III adalah 105 orang dengan rincian kelas I berjumlah 33 orang ( 18 laki-laki, dan 15 perempuan), kelas II berjumlah 37 orang ( 14 laki-laki, dan 23 perempuan), dan kelas III berjumlah 35 orang ( 13 laki-laki, dan 22 perempuan), jumlah keseluruhan remaja putri sebanyak

Gambar

Tabel 1  Distribusi  Penderita  HIV/AIDS  di  Rumah  Sakit  Umum  Daerah  Dr.
Tabel 2  Distribusi  Proporsi  Umur  Penderita  HIV/
Tabel 1.  Distribusi  Karakteristik  Keluarga  di Kelurahan Kenangan Baru   No.  Karakteristik  Keluarga  Ayah  Ibu n % n  %  1
Tabel  1  Distribusi  Berdasarkan  Karakteristik  Mahasiswa FKM  No  Karaketistik  n  %  Jenis Kelamin  1  Laki-Laki  15    15,6  2  Perempuan  81    84,4  Jumlah   96  100,0  Umur  1  17  10    10,4  2  18  22    22,9  3  19  15    15,6  4  20  27    28,1
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kata Kunci : Punishment; Kedisiplinan Shalat Berjama’ah; Permasalahan yang sering terjadi di Dayah pada umumnya berkaitan dengan kedisiplinan santri di lingkungan

Ancas saka panliten iki yaiku: (1) ngandharake wewatakane paraga kang ana ing cerbung RRPB, (2) ngandharake wujud kolonialisme kang ana ing cerbung RRPB, (3)

Berdasarkan kondisi yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pada Tugas Akhir ini akan membahas bagaimana peninjauan pengaruh potensi likuifaksi terhadap

 Akhirnya kebanyakkan negara kapitalis maju kerana kerajaan campur tangan dalam pembangunan ekonomi terutama melalui dasar fisikal, melabur dalam perusahaan yang

Sinta Puspit a Sari, Tahun 2013 Tinjuan Pelaksanaa n Pelepasan Informasi Medis Untuk Keperluan Visum et repertum Dari Aspek Teori Hukum Kesehatan di Rumah

mendapat respon positif dari orang tua, bayi tidak hanya akan mengalami perkembangan kelekatan secara aman ( secure attachment ) dengan orang tuanya, tatapi juga memperoleh

Siswa lebih senang denganpembelajaran menggunakan banyak media (multimedia) yang dapatmemvisualisaikan seperti video pembelajaran yang dapat menggambarkan proses

Tujuan dari Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah untuk membentuk mahasiswa praktikan agar menjadi calon tenaga pendidik yang profesional, sesuai dengan prinsip-prinsip