• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang D 902007007 BAB VII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang D 902007007 BAB VII"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 7

Jejak Kasus

Survival Strategy

Komunitas Miskin yang

Terpinggirkan

Kasus Pertama: M emutus Lingkaran Setan Kemiskinan

Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang menghuni kawasan pemakaman, bertempat di atas makam, atau mendirikan bangunan di sela-sela kubur atau lahan yang belum atau tidak bisa digunakan mengubur jenasah seperti misalnya di lereng kawasan itu. Kawasan Gunung Brintik berada di pinggir Kali Semarang, di tepi Jalan Dr. Sutomo. Area tersebut bersebelahan dengan makam Bergota Semarang. Seiring perjalanan sejarah komunitas itu, ada sebagian komunitas yang telah survive, dan berkembang, ada yang masih mirip seperti permulaan kehidupan di kawasan makam Gunung Brintik, dan ada pula yang sedang berkembang. Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang merupakan komunitas miskin yang terpinggirkan.

(2)

rendah pendapatan rendah, dan kembali miskin. Lingkaran kemis-kinan seperti itu harus diputus.

Pembangunan kemampuan kebertahanan hidup, untuk survive, berdasarkan sejarahnya, bisa belajar dari salah satu survival strategy-nya dunia intelligence yang disebut IM AO, singkatan dari Improvise, M odify, Adapt dan Overcome. Strategi ini diajarkan kepada para calon agen intelligence sebelum mereka diterjunkan di lapangan atau daerah lawan. Sebagus apapun mereka digembleng dengan berbagai pengetahuan dan latihan fisik di camp, dunia di luar sana bisa sangat berbeda dengan medan teori dan latihan. Oleh karenanya untuk mampu survive di medan yang bisa jadi sama sekali berbeda ini, mereka harus mampu berimprovisasi, memodifikasi situasi, beradaptasi dengan kondisi dan mengatasi (overcome) seluruh permasalahan yang muncul sampai akhirnya dapat menguasai medan dan memenangkan peperangan. (Improvise, M odify, Adapt, Overcome|Redstate archive.redstate.com/story/2005/2/27/18-3947/135: Feb 27, 2005 -Improvise, M odify, Adapt, Overcome... to those being interviewed by the W ashington Post the Central Intelligence Agency).Diunduh 14 April 2012.

Kadangkala langkah strategi ini terdiri dari hanya tiga langkah saja yaitu IMO (Improvise, M odify, Overcome) tanpa Adapt, atau Improvice, Adapt, Overcome (IAO).

“Improvise, M odify, Adapt, Overcome”…This is the motto of the Marines. It comes in several forms; sometimes only three (removing Adapt, I think); sometimes rearranged. I quote it this way from the 2003 movie “The Recruit”. Here, it is applied toward CIA agents. (www.mindspring.com/ ~cjamison.) The United States Marine Corps calls it, “Improvise, Adapt and Overcome.” The M arine Corps has been successful employing this concept mostly because of the creativity of its people and their success-based attitude. “Problem Solving: Improvise, Adapt, Overcome” Posted

Tuesday, February 1, 2011

(3)

Paparan tentang bagaimana cara memutus lingkaran setan kemiskinan itu seperti halnya yang dilakukan oleh satu diantara sejumlah lembaga swadaya masyarakat, tersebutlah “Pelayanan Sosial GAram dan RAgi M asyarakat” (PS GARAM )” Semarang, sebuah Yayasan yang berpangkalan di W isma Sanjaya. di daerah Jangli dekat Jatingaleh Semarang.

M elakukan Improvisasi. W aktu itu sore hari sekitar pukul 14.00 W IB, Senin 22 Desember 2008, di W isma Sanjaya. Kuketuk pintu, dan muncullah seorang frater (calon imam) yang menyambutku dengan senyum dan kusambut jabatan tangannya dengan hati yang sejuk.

“Selamat sore, kepareng badhe sowan Romo? (bolehkah hendak menghadap Romo?) “Kemudian Frater menjawab,” Oh ya, silahkan. Katuran lenggah (dipersilakan duduk)”.

Ditemani seorang dosen UNNES mantan calon biarawan saya bertemu Romo Djoko. Tidak mudah untuk masuk kawasan biara ini. Pertemuan sore itu saya memperoleh data-data tentang aksi-aksi kebijakan PS GARAM untuk masyarakat yang terpinggirkan.

“Romo, perkenankan saya memperoleh informasi tentang PS GARAM, aktifitas dan strategi yang ditempuh serta kebijakan yang dilakukan untuk orang miskin yang terpinggirkan”, permohonan saya kepada Romo.

(4)

telah menyita waktu Romo terlalu banyak, karena biara itu tengah padat kegiatan mempersiapkan kegiatan akhir tahun.

Dari bahan tertulis yang Romo berikan itu ada tertulis “Sementara dari kami bersyukur atas berlangsungnya pelayanan sosial kami, semakin banyak orang bertanya, “Apa itu kelompok pelayanan sosial GARAM ?”. Tersirat bahwa telah ada orang lain yang juga nenanyakan apa yang saya tanyakan tentang pelayanan sosial itu.

Selanjutnya, ”…..Dari pihak kami sendiri, sebenarnya kami tidak ingin berbicara banyak, tapi kemudian kami pandang perlu juga untuk memperkenalkan keberadaan kelompok kami, dan apa kegiatan-kegiatan yang sementara ini bisa kami lalukan.

Ketika kami memulai kegiatan kami, memang bukan upacara peresmian yang kami lakukan, bukan pula upacara penandatanganan perjanjian kerjasama yang kami buat. Pemukulan gong pun tidak sempat kami adakan. Pada waktu itu kami mulai dengan menabur ide sederhana untuk menjadikan hidup beriman kami memasyarakat. Pertemuan dengan banyak teman yang se-ide memungkinkan kami mewujudkan ide itu dalam kegiatankegiatan yang sederhana pula.

Kemudian kami menyadari bahwa pola hidup yang kami pilih itu ternyata cocok dengan pola hidup siapa yang kami ikuti selama ini, yang meneguhkan mereka yang mau bergabung dalam kelompok sahabat-sahabat-Nya dengan kata-kata-Nya. Ia mengatakan, “kamu adalah garam dunia”. Seperti yang tertulis di Injil M atius bab 5 ayat 13.

Semoga perkenalan ini semakin meningkatkan mutu relasi dan mempererat kerjasama kita, supaya Tuhan sendiri semakin dimuliakan dalam kehidupan manusia.”

(5)

suatu perwujudan dari “preferential option for the poor”. Pendidikan rohani di W isma Sanjaya pun memerlukan pintu keluar bagi para frater, untuk bisa masuk terlibat dalam pergulatan kaum miskin itu. Bukan live in yang terutama dipilih, karena hidup sebagai orang miskin bisa dilaksanakan di rumah sendiri, tetapi keterlibatan yang bertahan sepanjang tahun, karena pergulatan kaum miskin bukan pula pergulatan yang sementara sifatnya, tetapi pergulatan sepanjang hidup mereka.

“…Kami menyadari, bahwa gereja adalah umat Allah yang sedang berziarah. Maka, kerjasama dengan banyak teman sepeziarahan, siapapun yang berkehendak baik, menjadi ungkapan kesadaran kami bahwa kami tidak sendirian tetapi berziarah bersama-sama degan banyak teman yang mem-punyai minat dan peduli yang sama.”

Pada mulanya adalah minat dan peduli yang sama di dalam hati. M inat dan peduli yang sama telah mempersatukan mereka untuk melibatkan diri pada usaha mengurangi kesenjangan sosial yang muncul dewasa ini. M aka jadilah suatu kelompok kerja.

“Sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami meskipun tidak banyak, minat dan peduli terarah pada mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersisih, terutama pada anak-anak,” Tambah Frater Nono yang sering mendampingi dan memberikan penjelasan kepada saya ke daerah/komunitas pendampingan.

(6)

rentenir yang meminjamkan uang dengan bunga yang sangat tinggi. UBSP ini bisa berkembang, sampai mereka bersepakat untuk memberi nama UBSP “Subur M akmur”. Pengenalan kami dengan penduduk setempat mengembangkan pelayanan kami di bidang-bidang lain: pendampingan kelompok belajar anak-anak, dan ibu-ibu yang buta huruf. Dan bagi para ibu dan remaja putri yang berminat diadakan kursus menjahit. Sayang, kemudian muncul keberatan dari berbagai pihak Sehubungan dengan perkembangan situasi dan kondisi wilayah kelurahan M angun Harjo Kec. Tugu pada waktu itu. M aka, kegiatan di Tanggul Sari tidak bisa dilanjutkan (9 Februari 1993).

Banyak halangan justru menjadi tantangan bagi kami. M inat dan peduli kami hidup terus, dan mencari serta menemukan perwujudannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Sementara itu kegiatan kami dalam kerjasama dengan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata (KKS) untuk mendampingi kelompok belajar di M ukti Harjo jalan terus, dan berkembang ke wilayah binaan KKS di Delik Sari dan Kalialang, serta wilayah lain seperti Gunung Brintik sampai sekarang.

M emodifikasi Situasi

”...Strategi baru yang kami tempuh, yang penting bagi kami minat dan peduli kami menjadi nyata”, tulis Romo Joko dalam suatu lembar tulisannya. Lewat bakti Insani Suster-suster PI Bongsari dimulailah mendampingi kelompok belajar.

(7)

menjumpai kenyataan, bahwa mereka sesungguhnya tidak bodoh. M ereka dibuat bodoh oleh karena suatu sistem yang menempatkan mereka pada posisi sulit untuk memperoleh fasilitas hidup, sehingga mereka menjadi anak-anak yang miskin dan terlantar....”, lanjut keterangan dalam lembaran-lembaran tulisan itu.

Sejak tahun 1994, UNIKA Soegijapranata memulai pelayanan pendampingan anak-anak pemulung, yang bermukim di Tandangsari. Kerjasama dengan M udika Lingkungan Gunung Brintik serta kelompok Kerja Bantuan Hukum (KKBH), para frater dan suster PM Y mendampingi anak-anak belajar di tempat-tempat itu.

”Dalam perjalanan waktu, kemudian kami merumuskan beberapa gagasan pokok tentang kelompok kerja kami, yang kemudian disebut dengan Pelayanan Sosial GAram dan RAgi M asyarakat (PS. GARAM )”, lanjut keterangan tertulis dari Romo. Diberi nama demikian untuk menghidupkan kesadaran akan panggilan dan perutusan mereka sebagai warga gereja yang berperan menjadi garam dan ragi dalam masyarakat dewasa ini.

Kehidupan Pelayan Sosial ini berdasar pada penghayatan iman kristiani yang bertumpu pada pewartaan kabar gembira yang ditujukan kepada kaum miskin dan siapa saja yang menderita. Pewartaan kabar gembira menjadi tugas pokok, yang harus selalu dilaksanakan oleh murid-murid Kristus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dewasa ini.

(8)

mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.

Kesadaran baru akan panggilan dan perutusan murid-murid Kristus untuk terlibat membangun dunia baru menurut Konsili Vatikan II diwujudnyatakan dalam keprihatinan bersama dengan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita.

Visi dan misi bersama itulah yang menjadi dasar kehidupan PS. GARAM, sesuai dengan amanat Kristus, ”Kamu adalah garam dunia” (M at 5:13).

PS GARAM bertujuan untuk berpartisipasi dalam meningkatkan mutu kehidupan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, dalam segala aspek kehidupannya.

Sarana untuk mencapai tujuan ditentukan dalam kesepakatan bersama sesuai dengan kebutuhan. M ereka dilayani dengan mengutamakan asas musyawarah untuk kepentingan mereka yang miskin dan menderita. Di dalam usaha mewujudkan tujuan di atas, PS GARAM tidak bekerja sendiri melainkan bekerjasama dengan berbagai pihak.

(9)

memperjuangkan visi dan misi PS GARAM , dan secara sukarela melaksanakan kegiatan PS GARAM

Partisipasi dapat diwujudkan mulai dengan memupuk minat dan peduli yang sama terutama pada kaum miskin dan siapa saja yang menderita. Untuk mereka itu kita bisa berbagi hidup. M enurut Yesus lima potong roti dan dua ikan cukup untuk memberi makan banyak orang.

Yang ada pada anda: waktu, tenaga, barang-barang dan uang bisa disatukan untuk meneruskan karya penyelamatan terutama untuk kaum miskin dan siapa saja yang menderita.

Pertemuan bulanan diadakan untuk meneguhkan kelompok kerja PS GARAM sebagai kelompok basis untuk berdoa bersama, sharing pengalaman, evaluasi kegiatan dan pegembangan pelayanan.

Pelayanan sosial ini merupakan sarana untuk bersama-sama mengembangkan Gereja, yang aggotanya banyak dan pelayannya beraneka sebagai persekutuan (communia) dan untuk mengemban perutusan (missio) menghadirkan Kerajaan Allah di dalam masyarakat kita.

Untuk mengupayakan cita-cita itu dikembangkan hidupnya jaringan akar rumput kelompok-kelompok basis ke dalam maupun ke luar. Dan merasa diteguhkan oleh sabda Tuhan sendiri, yang menya-takan ”kamu adalah garam dunia” (M as 5:13).

(10)

M elakukan Adaptasi dan Partisipasi Pada Kelompok Dampingan

Tabel 7.1.

Gambaran Umum Program Kerja PS. GARAM

No Jenis Kegiatan

Nama

Kegiatan Tujuan Kelompok Sasaran

1. Ming-belajar yang benar, mening-katkan prestasi belajar

(11)

Pada tanggal 27 Januari 2009 saya menghadiri Perayaan Ekaristi HUT PS. GARAM KE-16 di Seminari TOR Sanjaya, Jangli. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk melakukan trianggulasi sumber. W awancara dengan para pendamping dari frater dan non-frater (relawan). Saat itu bertempat di halaman bagian dalam W isma Sanjaya, Seminari TOR Sanjaya Jalan Jangli Semarang dilaksanakan Perayaan Ekaristi Hari Ulang Tahun ke-16 “Pelayanan Sosial GARAM Semarang.” Dalam perayaan yang dimulai jam 17.00 itu. Setelah selesai M isa Syukur ditampilkan seorang “Penyanyi Idola Cilik” satu di antara hasil kegiatan pendampingan PS GARAM Semarang dari kelompok dampingan Kelurahan M uktiharjo.

Hadir pula para pendamping, suster, dan para relawan yang mengabdi di Gunung Brintik. “…Penyanyi ini kelas 5, ayahnya seorang kuli angkut di daerah pertokoan kain. Ibunya seorang buruh cuci,” bisik mas Danang seorang koordinator relawan pendampingan

Sebut saja namanya Cahya. Pada saat pendampingan ia sering mengerjakan tugas sambil bernyanyi. Pendampingnya sebut saja M as Kartono. Ia mendekati Cahya yang sedang mengerjakan PR M ate-matika. Umumnya mengerjakan M atematika itu dengan serius dan tenang, dan tidak mengganggu temannya. M as Kartono malah mendekatinya sambil menyapa, “Kamu suka menyanyi?” “…Suka,” jawab Cahya singkat. Kemudian disepakatilah waktu sore hari untuk berlatih menyanyi diiringi orgel oleh M as Kartono seminggu sekali.

Cahya mengikuti audisi di Jawa Tengah, dan hasilnya ia termasuk tiga besar yang kemudian dikirim ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan pemilihan Idola Cilik di sebuah televisi swasta di Jakarta.

(12)

Overcoming

Sampai pada saat penelitian ini dilaksanakan PS GARAM memiliki 13 lokasi kerja kelompok dampingan dan 5 lokasi kerja bekerjasama dengan kelompok dan komunitas swadaya yang peduli terhadap masyarakat miskin kota, masyarakat marginal, dan pinggiran.

Kompleksitas permasalahan semakin besar, pendam-pingan selanjutnya bekerjasama dengan lembaga pendidikan formal misalnya dengan LKBH UNIKA, dan saling melengkapi kegiatan Yayasan Pangudi Luhur. Kerjasama dengan yayasan-yayasan seperti Yayasan Penyelenggara Illahi (para suster), kerjasama dengan kelompok non formal setempat misalnya M udika (satu di antara kelompok muda-mudi) di Gunung Brintik Semarang.

Untuk kasus pertama ini Strategy IM AO dilakukan oleh interventor yaitu PS GARAM. Komunitas makam Gunung Brintik berpartisipasi terhadap strategi yang dilakukan PS GARAM itu.

Analisis

Kegiatan-kegiatan pembangunan pada berbagai sektor telah banyak mengakibatkan kerusakan alam yang serius di darat dan di laut, dan pada saat yang sama telah memorak-porandakan sistem-sistem sosial, ekonomi dan budaya masya-rakat, dan menghempaskan mereka ke pinggir jalan, pinggir sungai, bahkan sampai di kuburan, seperti dicontohkan di W ilayah M akam Gunung Brintik Semarang ini.

(13)

Kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap overcoming tersebut: Kegiatan utama yang dilaksanakan dan dikembangkan adalah pendampingan kelompok belajar anak-anak miskin dan terlantar. Tujuannya adalah menumbuhkan kepribadian yang utuh pada anak bimbingan sesuai dengan tingkat perkembangan anak dengan prioritas, penanaman nilai-nilai, melalui proses belajar yang benar meningkatkan prestasi anak

Bentuk kegiatan berupa pendampingan belajar dengan memperhatikan dinamika pribadi setiap anak. M elalui kegiatan ini pembimbing berhasil menemani anak untuk keluar dari kesulitan-kesulitan belajar yang bersifat psikologis seperti rasa malu, gampang menyerah, sulit konsentrasi, yang menghambat kemampuan anak untuk mendayagunakan kemampuan berpikirnya secara maksimal. Penanaman nilai dalam konteks kehidupan konkret yang dialami anak dalam kehidupannya sehari-hari. Pembentukan komunitas yang memiliki ikatan batin antara anggotanya

Dapat dicontohkan bahwa orang miskin akan melahirkan orang miskin dapat dipatahkan. M isalnya M bak Anis, seorang anak mbok blanjan, dia lulus SM P dan berketrampilan menjahit sekarang bekerja di garment. Lalu M as Yadi, anak tukang becak, beliau tidak lagi mengemis di pintu masuk kuburan dan mengamen dari rumah ke rumah atau toko ke toko, tetapi beliau bekerja serabutan sebagai sopir angkutan kota. Sebut juga M as Anto sebagai W akil Kepala sebuah SM A Swasta, yang kemudian tidak lagi bertempat tinggal di dalam kuburan itu.

(14)

Dalam teori pembangunan masyarakat seperti yang dikemukakan Ife dan Tesoriero (2012), dalam buku Community Development: Alternatif Pengembangan M asyarakat di Era Globalisasi, pemberdayaan (empowerment) merupakan proses membangun dedikasi dan komitmen yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. M elalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, masyarakat Gunung Brintik yang telah diberdayakan akan mempunyai kemampuan yang memadai. Namun, kemampuan saja tidaklah cukup karenanya harus dibarengi dengan motivasi sehingga mereka berbuat, sementara sumber motivasi adalah karena adanya kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenuhi (Khan, 2005). Penggalian motivasi intrinsik dari dalam komunitas maka Gunung Brintik itu menjadi kekuatan dalam survival strategy komunitasnya

Ringkasan

Improvisasi ini meliputi pengkajian berbagai kemungkinan dari usaha yang dilihat dari perspektif yang berbeda.

Ada upaya membuka “tembok“ biara, mencari jalan agar para penghuni biara memahami persoalan masyarakat. Ada upaya membangkitkan semangat para penggiat LSM , mengadakan kursus menjahit, koperasi yang memberikan pinjaman modal kepada ibu-ibu yang anaknya ikut pendampingan. Kegiatan tersebut mendapat tentangan masyarakat setempat dengan isu SARA.

M emodifikasi situasi

(15)

anaknya pandai; dan kelompok 4: orang tua tak mampu, anaknya bodoh.

Kelompok terakhir itulah yang diutamakan dalam pelayanannya. M erekalah yang dirasa sangat membutuhkan pendam-pingan. Aktivis Lembaga Swadaya M asyarakat melakukan pendampingan belajar antara lain setiap hari Kamis sore secara terencana dan terjadwal.

Anggota komunitas membantu menyediakan dan menata tempat di wilayah kuburan di Gunung Brintik, di pinggir jalan, dan di pinggir kali, bahkan di atas kuburan. Pendamping memberikan bantuan makanan tam-bahan untuk anak sekolah (PM TAS) peserta dampingan pada Kamis kedua.

Beradaptasi dengan kondisi

Lembaga Swadaya membuat program kerja dan melaksanakan-nya. Pendampingan belajar untuk anak, membuat kursus menjahit untuk remaja, mengadakan arisan yang hasilnya digunakan menambah modal mbok blanjan yang suaminya tukang becak.

Jumlah peserta pendampingan belajar meningkat setiap ada program PM TAS. Jumlah meraka satu kelompok (sekitar 40 peserta) menjadi dua kelompok sekitar 70 peserta. Pendampingan juga dilakukan kepada anak jalanan, dengan memberikan nasehat dan tatakrama yang dilakukan oleh para pendamping (frater, suster, dan relawan) kepada para pengamen di jalanan.

M engatasi (overcome) seluruh permasalahan yang muncul

(16)

formal setempat misalnya M udika (satu di antara kelompok muda-mudi) di Gunung Brintik.

W alau masih ada penduduk miskin di W ilayah M akam Gunung Brintik Semarang, terutama anggota warga RT 10 yang KTP saja tidak punya, namun banyak anak dampingan dapat dientaskan dari kemiskinan melalui program itu. Orang miskin akan melahirkan orang miskin seperti yang diteorikan lingkaran setan kemiskinan itu dapat ditepis, dan putuslah mata rantai lingkaran setan kemiskinan itu, bila memang lingkaran itu benar-benar ada.

Kasus Kedua: I ntervensi Negara terhadap Pembangunan Komunitas

Improvisasi (pengkajian berbagai kemungkinan dari usaha yang dilihat dari perspektif yang berbeda).

Hasil penelitian pada orang miskin yang dilakukan oleh Sri Suwartiningsih di TPA Jatibarang Semarang, strategi yang digunakan disana dapat disampaikan sebagai berikut:

“… penulis menggunakan model AGIL, dari Parsons sebagai kerangka acuan perbincangan. M enurut Parsons suatu masyrakat dapat bertahan apabila mempunyai empat sub sistem, yaitu: Adaptation (penyesuaian), Goal attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latent/arah panduan. (Suwartiningsih 2010: 323)

Suwartiningsih (2010) berpendapat, negara absen di sana. Absennya negara terhadap pemulung, membuat pemulung merasa tidak perlu ikut ambil bagian dalam proses kebijakan-kebijakan Pemerintah. Bagi mereka yang terpenting adalah memikirkan kelang-sungan hidup mereka.

(17)

Dalam hal peran Negara inilah yang membedakan ada tidaknya intervensi terhadap sebuah komunitas miskin yang terpinggirkan. Temuan-temuan ini nyata membedakan terhadap temuan-temuan di lokasi yang berbeda yaitu di dalam Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang.

Sebagai satu kasus, ada dua keluarga dalam observasi saya, sebut saja nama “Bu Parto” sebagai kepala keluarga yang single parent. Beliau seorang janda beranak tiga. Ketiga orang anak tersebut adalah seorang remaja pengamen sekaligus sebagai anak jalanan, dan dua orang anak sesusia SD bersekolah di Gunung Brintik.

Pemerintah memberikan bantuan berupa bangunan kepada Komunitas M akam Gunung Brintik, yang diterima oleh YPL. Bangunan itu didirikan di depan SD Gunung Brintik yang dikelola pula oleh YPL. Agak unik bangunan ini, karena seolah menghubungkan lereng gunung M akam Gunung Brintik dengan tembok pembatas sekolah di atas SM P “elite” Dominico Savio, dan jalan masuk ke SD Gunung Brintik mblobos (masuk lorong) dibawahnya.

”Kabarnya untuk bangunan SD itu pemerintah mengucurkan dana sebesar tiga ratus enam puluh juta rupiah. Kami bangun SD itu habis sekitar lima ratus juta rupiah”, ujar salah seorang guru SD YPL. Ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi dan dedikasi Yayasan, lembaga swadaya masyarakat dalam komunitas makam itu sangat tinggi. Pada umumnya bila bantuan yang turun sebesar 360 juta yang jadi bangunan sekitar 300 juta (dikurangi pajak dan sebagainya). Untuk kasus ini Partisipasi komunitas sangat tinggi, terbukti bukan mengurangi penggunaan dana bantuan, justru menambah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas bantuan tersebut.

(18)

dermawan yang disalurkan kepada keluarga yang sangat kekurangan, untuk kemudian antara lain membayar sekolah. Tetapi perlu dimaklumi, bantuan itu pernah ada yang tidak digunakan untuk membayar sekolah melainkan digunakan untuk keperluan orang tuanya. Untuk seragam sekolah juga kami tidak gratiskan”, lanjut Bapak Kepala Sekolah dengan wajah serius, namun terlihat menerawang dan menghela nafas cukup panjang sambil bersandar di dinding tembok ruang kelas sembari menyilangkan kaki dan tangan seolah lunglai.

Tersebutlah keluarga kedua, satu keluarga muda sebut saja “M as Bagus” dan “M bak Cantik”. Keluarga muda yang dikaruniai seorang bayi mungil dan lucu ini tinggal tidak menetap di kawasan RT 10. Sebuah kawasan wilayah kuburan yang dihuni oleh para pendatang, yang menurut orang-orang sekitar sebagai pendatang illegal. Asal menempati begitu saja. Tidur diatas makam yang beratap, atau membuat gubug atau rumah sederhana di sela-sela kuburan. M as Bagus dan M bak Cantik berasal dari kawasan Kali Banjir Kanal Barat. Adanya penertiban dan normalisasi Banjir Kanal Barat membuat keluarga muda itu tergeser, tergusur, terhempas ke dalam kuburan di tengah kota itu. Penderitaan keluarga muda itu bertumpuk-tumpuk ketika ternyata perkawinannya itu tidak direstui orang tua.

“Tetangga saya itu kadang-kadang bayinya di-emong orang, sambil diajak meminta-minta di bangjo, atau ya.. di jalan-jalan itu. Kasihan…”, kata seorang saya teman yang bekerja di Balai Kota Semarang

(19)

kemudian M as Bagus membayar semuanya. M as Bagus kemudian mencium bayi itu dan bergegas lari karena angkutan umum terlihat bergerak untuk melanjutkan perjalanan. Itu sepenggal kisah seorang penghuni Kawasan Gunung BrintikSemarang.

Sulit kita membedakan pengemis yang sesungguhnya dan pengemis yang pura-pura menjadi pangamen. Antara pengemis dan pengamen tak ada perbedaan mendasar. Kalau diperhatikan dengan seksama tidak ada perbedaan mendasar antara kehidupan seorang pengemis dengan orang-orang yang mengamen. Para pengemis dikatakan tidak bekerja, tapi apakah pekerjaan itu? Dalam praktiknya, orang tidak peduli apakah suatu pekerjaan itu berguna atau tidak, produktif atau bersifat parasit; satu-satunya hal yang penting adalah bahwa pekerjaan itu harus menghasilkan, mendatangkan hasil, untuk dapat bertahan hidup.

M emodifikasi situasi

Ketika pembersihan terhadap pengamen dan gepeng (gelandangan dan pengemis) dilakukan terungkap ada di antara pengemis itu adalah pekerja serabutan yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Setelah bekerja atau pada saat tidak ada pekerjaan, mereka menggunakan sisa waktu untuk mengemis, atau meminta-minta, atau mengumpulkan derma. Hingga saat ini pengemis/pengamen dan gelandangan masih menjadi masalah serius. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi persoalan ini. Razia, misalnya, terus-menerus dilakukan.

Beradaptasi dengan kondisi

Pernah ada isu, pemerintah "mengancam" memidanakan pengemis yang membawa bayi sewaan. Hal itu terkategorikan sebagai mengeksplortasi anak, dan melanggar UU Perlindungan Anak.

(20)

terus bertambah. Yang menarik justru disampaikan Kapolrestabes Semarang Kombes Elan Subilan pada sebuah acara akhir tahun 2012 lalu, mengatakan, provinsi ini memiliki jumlah gelandangan dan pengemis (gepeng) paling banyak daripada provinsi lain di Indonesia. (Suara M erdeka, M inggu 20 Januari 2013).

M engatasi (overcome) seluruh permasalahan yang muncul.

Gelandangan dan pengemis tak hanya beroperasi di wilayah sendiri, mereka juga membanjiri Jakarta, Bandung dan sejumlah kota lain. Kalau benar apa yang dikatakan oleh orang nomer satu dalam pengendalian ketertiban masyarakat di Semarang, ini menjadi ironis dengan berbagai prestasi pembangunan yang disandang provinsi ini.

Saya lakukan wawancara Tanggal 4 Januari 2010, dan 15 M ei 2012 kepada mantan Ketua RT 01 yang bertempat tinggal di kaki Gunung Brintik, di bibir Kali Semarang, pada hunian yang telah mapan dan layak huni.

“Dulu ketika Pak Ro jadi Ketua RT di wilayah Gunung Brintik, RT berapa dulu itu pak?”

Beliau menjawab, ”Saya RT 01 RW 03, Kampung W onosari termasuk meliputi RW 03 itu kawasan Gunung Brintik didalamnya.

“Penduduknya berapa pak?”, lanjut pertanyaan saya.

Jawab Pak Ro,” Kalau penduduk secara umum itu dari RT 01 sampai RT 10 lebih 400 KK jadi cukup padat. Setiap RT rata-rata 40 KK lebih. RT 04 yang cukup padat ada lebih dari 57 KK. Gunung Brintik mulai RT 06 sampai RT 10.”

Saya bertanya minta penjelasan,”…Yang di puncak itu? Mata pencaharian yang paling banyak dilakukan mereka apa Pak?”

(21)

serabutan, mulai dari yang paling sederhana pengemis, kemudian sampai dengan buroh-buroh (…maksudnya tenaga /buruh dengan pekerjaan seadanya) yang secara pasti tidak setiap hari, buruh pembuat bunga tukang becak juga ada. Hanya sangat sedikit yang punya pekerjaan tetap baik swasta maupun PNS bakan di atas pun (…maksudnya kawasan hunian dalam makam di RT yang baru berkembang, RT 10.) tidak ada PNS, jadi semua serba serabutan.

“Kalau yang di sekitar pak Rom saya lihat sangat berhasil dari kegiatan-kegiatan seperti itu, pak rom dulu di situ tahun berapa awalnya?”

“Saya tahun 2000 di tempat RT 01, kebetulan kalau di lingkungan bawah istilah secara umum pendatang lebih banyak dan penduduk asli yang awal membuka lingkungan itu memang di bawah sementara di atas itu berupa relokasi, relokasi dari para….. istilahnya kalau dulu…. itu gelandangan kemudian orang-orang yang memang dipindahkan dari tempat lain kemudian dikolala oleh pihak yayasan Sugiyopranoto dan diberikan semacam rumah-rumah sederhana itu awalnya tahun 80-an informasinya dan dari situlah kemudian tempat-tempat lain ditempati oleh para pendatang yang mempunyai pekerjaan serabutan tadi.”

“Itu saya lihat kalau siang jaman dulu ada peminta-minta yang kadang-kadang agak kasar memberut kendaraan sekarang kelihatannya tidak ada lagi, itu ada informasi bahwa disitu ada beberapa kepedulian masyarakat sekitar katakanlah yayasan. Di sekitar Pak Rom yayasan apa saja yang diketahui pak Rom “

(22)

anak jalanan tetapi kalau sudah didampingi relatif sedikit dan nampaknya tidak ada perilaku-perilaku yang bersifat merusak. Kemudian kepedulian-kepedulian yang lain itu dari pihak kami selain dari pihak gereja dan ada juga pihak yayasan Islam itu ada beberapa TPQ yang memang membina anak-anak supaya tumbuh menjadi anak-anak yang lebih berguna…. (ada interload dari interviewer: TPQ ….. norma-norma nilai-nilai). Iya betul di sana ada TPQ Nurul Hidayah, ada TPQ Al Huda, kemudian ada SD Istiqomah selain SD Gunung Brintik yang memang didirikan oleh Yayasan Sugiyopranoto, atau oleh Pangudi Luhur atau Yayasan Pendidikan Pangudi Luhur jadi satu Yayasan dengan Dominico hanya memang untuk Gunung Brintik bisa dikatakan diperuntukan untuk W arga Gunung Brintik yang tempatnya memang di puncak

“Kemudian itu Pak Ro saya liat perkembangan yang positif adakah memang menurut Pak Ro karena ada kepedulian sosial penanaman nilai-nilai tadi itu sopan santun dan seterusnya, seperti contohnya Pak Ro yang relatif berhasil dan dari kawasan situ yang sedikit banyaknya memberikan supporting, keliatannya apakah memang benar ada pengaruh dari nilai-nilai sopan santun, tata karma keikutsertaan handarbeni di kawasan itu sehingga banyak orang-orang yang singgah di puncak tadi itu (maksdunya Puncak Gunung Brintik) yang gelandangan, pengemis sekarang ada perubahan tingkah laku sehingga menjadi lebih baik?”.

(23)

ada pengaruh yang cukup untuk mengajak warga sehingga kalau saya bandingkan tahun 2000 terus terang mahuk di jalan masih banyak tetapi kerjasama dengan tokoh dengan kamtibmas boleh dikatakan diatas 2005 tidak dijumpai lagi anak-anak atau pemuda, warga yang mabuk di jalan ini sebagai indikator bagi kita mulai ada perubahan, walaupun kalau sepneuhnya memang blm bisa tapi perbuatan-perbuatan yg merusak saya rasa tdak terjadi lagi sudah aman, gotong royong sudah dan kerjasama sudah relatif bagus apalagi bantuan dari pemerintah dana-dana pembagnunan relatif baik karena daerah tersebut merupakan daerah perhatian tokoh politik sebagai lumbung suara. Tokoh tersebut memanfaatkan untuk memperbaiki fasilitas yg ada disitu.”

“Kalau yang di puncak itu penduduknya keluar masuk atau semua punya KTP ?

“Yang sampai tahun 2008 yang sempat tidak punya KTP adalah RT 10, karena saat itu RT 10 bekas hutan dan sangat nempel dengan daerah makam, tetapi secara pelan tapi pasti itu beberapa tanah dibuat yang namanya membayar pajak yang semula tidak membayar pajak (…tidak jelas) karena syarat di keluarahan membayar pajak maka setelah itu karena RT 10 adalah RT terakhir dan KK nya juga masih sedikit itu akhirnya bisa dikatakan semua mendapat KTP, dan KTP menjadi penduduk setempat dan rata-rata setelah menjadi penduduk disitu dan relatif jarang ada yang pindah (interload alamatnya RT gitu ya bukan jalan apa, nomer berapa karena dimakam) tetap ada nomernya pasti RT dulu dan RW ”

“Itu berarti kuburannya di kapling-kapling gitu ya?”

(24)

minta itu akan digunakan lagi jadi yang paling tahu mana tanah yang kosong adalah mereka atau para penguasa istilahnya, istilahnya yang membersihkan saja kalau juru kunci artinya lain lagi penguasa seluruhnya tapi kalau itu hanya penguasa wilayah”

“Kalau ada orang membutuhkan makam disitu hubungannya langsung kepada kantor yang didepannya Pak Rom atau?”

“Biasanya langsung ke kantor yang ada di Bergota itu tapi kemudian menghubungi petugas yang menguasai karena dia tahu yang lahan yang mana, bisanya kalau penduduk setempat dimakamkan berkumpul, ada lahan yang biasa umumnya untuk orang Gunung Brintik “

“Lewatnya Bergota atau langsung bisa juga lewat SD kalau dari bawah ke atas"

“Kalau dari bawah, ada 2 jalur, satu lewat sebelah SM P Dominico satu lewat Karyadi yang lewat depan Polrestabes naik ke atas, itu bisa sampai atas hanya kalau lewat Polrestabes tembus sampai dengan Mugas kemudian kalau lewat sebelah Dominico Savio tembusnya Kelurahan

“Itu yang di puncak konon ada semacam gaji dari Pemkot apa mereka ini diangkat jadi pegawai negeri atau semacam honor gitu?”

(25)

“Kalau yang di RT 10 tadi itu apa ada dari pihak pemerintah langsung kepada perorangan itu atau lewat RT nya kalau ada kepedulian semacam itu?”

“Lewat RT, termasuk dari pihak gereja atau dari manapun selalu lewat RT dan RW jadi tidak berhubungan dengan masyarakat langsung, jadi boleh dikatakan semua jenis bantuan atau semua jenis informasi yang dibutuhkan mendapat apapun itu pasti semua lewat RT dan RW ”

“Kalau yang dari Yayasan Garam itu yang dampingi studi, yang belajar itu setiap hari Kamis, apakah itu sebagai suatu bantuan non formal itu antar teman dibantu untuk belajar juga atau ada kerjasama dengan RT setempat atau lurah?”

“Yang jelas untuk setiap bantuan selalu ada kerjasama dengan pihak RT dan RW seijin luarah dan bisaanya sudah dikoordinasikan dalam pertemuan dengan RT dan RW jadi beberapa LSM ataupun pihak-pihak yang terlibat dalam proses katakanlah pembinaan di luar sana memang sebanar-nya sudah menjelaskan di forum RW jd kemudian mereka punya program dan kemudian dari RW , RT akan menyetujui dan kemudian baru umumnya mereka dari pihak luar akan melakukan kegiatan.”

“Yang terakhir Pak Ro yang menarik ini, itu ada kelompok situ bukan yang kelompok tapi individu yang ber-hasil seperti istrinya Pak Ro, ada Dr. Irene sekrarang sekolah di Amerka Serikat kemudian ada W akil Kepala Loyola yang barusan saja meninggal dari puncak situ malah, ketika mereka sudah berhasil ada yang kemudian bertempat tinggal di tempat lain seperti Pak Jukri bertempat tinggal di dekat Don Bosco tapi yang sangat menarik dari kearifan local itu setelah mereka berhasil justru tetap di situ kemudian ikut berpartisipasi membangun setempat dengan kearifan lokalnya itu, sesungguhnya yang menjadi semangat terutama dari Pak Ro dan keluarga yang berhasil tadi apa yang sesungguhnya menyemangati apakah rasa ikut memiliki wilayah itu dan saudara disitu atau apa yang menjadi motivasi Pak Ro sekeluarga?”

(26)

sudah sekolah tinggi dan secara ekonomi agak mapan secara umum msh bertempat tinggal di Gunung Brintik.karena seperti pak lik saya itu suatu hari sudah di puri anjasmoro itu sudah dikatakan jadi ketua RW tapi suatu hari dia tetap ambil rumah di situ dan kembali lagi, jadi motivasi terbesar kalau menurut pengamatan saya adalah ikatan keluarga dan ketenangan jadi walapun di lingkungan yang secara geografis berat karena memang lereng-lereng (interload: motiviasi spiritual semacam itu) ya semacam ada kebersamaan, ketenangan disamping memang akses untuk keluar dan sebagainya memang praktis karena memang di pusat kota (interload: oh ya akses ekonominya ya) akses ekonomi jadi bisa dikatakan walaupun tadi pekerjaannya serabutan tapi bisa dikatakan mereka juga mendapat semuanya katakanlah tidak pernah ada yang istilahnya kelaparan (interload: mendapatkan semuanya ya) ya jadi di dalam data dulu tahun 2008 ada BLT di RW 03 tidak terlalu banyak yang mendapat karena walaupun tidak punya pekerjaan yang dikatakan sebagai karyawan atau pegawai iya serabutan tapi setiap hari ada pekerjaan, itu yang serabutan bagi yang pekerja tetap mungkin ada suatu penilaian dari saya ketika mempunyai ekonomi yang cukup lumayan dan hidup di kampung dia merasa menjd orang penting shg merasa persaingan ekonomi tidak tinggi termasuk saya barangkali merasa lebih tenang ketika lingkungan ekonomi tidak terlalu tinggi saya tidak kemrungsung, merasa tidak bersaing bahkan saya menjadi golongan tanda kutip seperti org yang dihargai jadi itu kenyamanan sosial barangkali, di samping keluarga sebagian besar umumnya jadi beberapa orang yang sempat punya kedudukan-kedudukan juga masih punya keluarga di situ masih banyak. Bahkan kadang-kadang masih membeli beberapa rumah yang memang dijual dan ini baru ini juga beberapa tahun ini ada juga kelaurga yang sudah puluhan atau bahkan lebih dari 50 tahun di luar kota dan ini anaknya kembali di gang 3 kebetuilan kerja di Jaksaan Tinggi Jateng jadi menantu dan anaknya kembali ke sini walaupun orang tuanya di Bandung dan pakde-pakdenya di Jakarta. Karena itu termasuk salah satu orang yang sangat sukses RT 01”.

(27)

“Iya, jadi mungkin ada semacam istilah eman-eman kalau harus meninggalkan kampung …jadi ada nilai spiritual… jadi ada semacam senang, ketenangan, kecocokan, termasuk saya barangkali ada tempat di rumah tapi saya lebih senang bertempat tinggal di situ karena istri saya tidak boleh pindah oleh orang tuanya sepanjang masih bisa membeli rumah disekitar situ.”

“Oh ya, kalau airnya yang di bawah ada sumur atau ledeng itu?”

“Kalau untuk saya untuk mandi itu sumur tapi untuk keper-luan lain ada ledeng dari pam sampai dengan agak tinggi kemudian ada sumur umum yang dibangun oleh Belanda dan disalurkan-salurkan kemudian ada sumur umum yang dibuat warga di puncak di Gunung Brintik disalurkan ke warga untuk semuanya kalau yang bawah karena airnya agak rembesan dari sungai memang masyarakat tidak memanfaatkan untuk keperluan memasak tapi di atas airnya sangat jernih karena kedalamannya mendekati 50 sampai 70 meter jadi memang itu disalurkan, jadi ada beberapa sumur umum yang dibangun oleh RW dan disalurkan ke beberapa warga jadi ada pengurus sumur umum jadi setiap bulan bayar berapa, tapi ada warga yang memang membuat sumur kemu-dian disalurkan dan membayar, airnya bagus dan ada tetang-ga saya sumur saya tidak begitu bagus tetapi tetangtetang-ga di rumah pak de saya itu sumur yang dibangun Belanda sangat bagus cuma bedanya air yang dibuat Belanda sangat dalam, yang mencarikan sumur umum semacam orang pintar zaman dulu sehjng tidak boleh ditutup jadi ada beberapa sumur salah satunya di pojok rumah keluarga besar istri saya.”

“Kalau yang jualan bunga itu apa ada bantuan modal dari luar atau seratus persen dari warga Pak Ro”

(28)

“Ada dari koperasi juga kelihatannya ya”

“Sana ada dua kelompok usaha, ada kelompok kios-kios bu-nga dua satu yang dianggap sebagai pedagang kaki lima berarti itu PKL itu mulai gang lima sampai delapan kemudian gang lima sampai gang satu namanya pedagang dan jasa, jadi ada warung-warung mulai gang lima sampai satu sebagian besar dan bertempat tinggal disitu, sementara gang lima sampai delapan tidak bertempat tinggal di kios itu jadi sore tutup. (interload: istilahnya Kopaja) Koperasi Pedagang dan Jasa yang satu koperasi PKL dan mereka ada iuran ada pengurusnya sehingga kalau kelurahan akan berhubungan ya dengan pengurusnya dan mereka beriuran jang untuk jaga keamanan sehingga setiap malam ada hansip yang menjaga di pos hansip gang 5… yang membiayai warga melalaui RT …RT melalui Kopaja serta PKM itu.”

“Bagaimana kepercayaan tentang M bah Brintik.”

“Kalau di sana itu M bah Brintik dianggap yang M bahu Rekso jadi banyak warga yang dianggap diimpeni wujud dari kepercayaan itu setiap warga yang punya gawe itu bisa dikatakan pasti dari M bah Brintik kalau tidak dianggap warga itu sudah melepaskan diri dari budaya setempat, ketika saya mau mengkhitankan anak oleh warga disarankan untuk sowan ke mbah brintik kemudian oleh juru kuncinya didoa-kan di makam itu dengan harapan semacam restu, tidak hanya orang yang dikatakan tinggal di puncak sampai RT 01 masih melaksanakan itu (interload: RT 01 di dekat Pak Ro) dekat jalan Dr. Sutomo RT 01, RT 03 dekat jalan raya (interload: yang atas yang SD RT 10) RT 10 yang turun ke punggung kearah keluruhan, puncak RT 07, RT 08 turun sebelah kanan, RT 09, 10 ke kanan. “

“M bah Brintik dari Demak?”

(29)

kemudian Nyai Brintik ada di Gunung Brintik (interload: yang selatan gunung apa), ujung dari bukit bergota adalah Gunung Brintik. Gunung Brintik adalah dataran tertinggi yang di pusat kota jadi ujung dari Bukit Bergota adalah Gunung Brintik itu, dan ada lembah ada puncak lagi namanya Bukit M ugas.

Cerita rakyatnya memang dulu menjadi pusat Pandaran I, yang ada di Gunung Brintik hanya petilasan Pandanaran I didatangi orang-orang untuk bertapa. Gunung Brintik dulu adalah pulau, ketika masa-masa itu yg namanya daerah gedung batu masih laut. Gunung brintik ini adalah pulau kecil/dipantai pulau Jawa.”

Analisis: Konsep yang dipakai/teori apa yang dipakai

M odal Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang: M odal M anusia (human capital), Knowledge capital, Social Capital. M odal moral/spiritual (spiritual capital) M odal ekonomi (economic capital/business capital), modal intelek-tual (intelektual capital), Natural capital, Public institutional capital, modal emosional (emotional capital), modal keta-bahan (adversity Capital), modal moral,dan modal kesehatan. Akhirnya komunitas itu berhasil dan berkembang dari illegal menjadi legal.

Kondisi-kondisi apa saja yang berpengaruh terhadap over-coming-nya tersebut.

Ada lima kunci pelajaran untuk memahami masalah kemiskinan.

Pertama, orang miskin menanggung tanggungjawab terlalu banyak aspek dari kehidupan mereka.

(30)

Ketiga, ada alasan-alasan yang baik bahwa beberapa pasar bukan untuk orang miskin, atau bahwa orang miskin menghadapi harga buruk.

Keempat, negara-negara miskin bukan bernasib gagal karena mereka miskin, atau karena mereka telah memiliki sejarah yang buruk. Namun banyak dari kegagalan ini paling tidak disebabkan oleh karena konspirasi para elit yang me-megang kendali ekonomi dan perancang kebijakan (Banerjee,& Duflo 2011:270-271).

Kelima, akhirnya, harapan-harapan mereka pupus mengharapkan kehadiran mereka di sana; para politisi tak seorangpun tertarik untuk mencoba meningkatkan kehidu-pan rakyat. M enurut Banerjee "mengubah harapan-harapan tidaklah mudah, namun itu bukan berarti tidak mungkin".

Ringkasan

Ada Intervensi Negara ke dalam Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang.

Proses intervensi untuk orang miskin yang terpinggirkan yang dilakukan oleh Negara, teridentifikasi berdampak pada keberhasilan survival strategy yang dilakukan orang miskin yang terpinggirkan yaitu Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang.

Bantuan Negara dapat berupa Uang tunai, pangan, papan/bangunan/jalan, bahan/alat usaha, regulasi dan kebijakan.

Kasus Ketiga: I ntervensi NGO’s Terhadap Komunitas M iskin Yang Terpinggirkan

Deskripsi

(31)

Upaya peningkatan taraf hidup masyarakat di wilayah Gunung Brintik berbeda dengan langkah-langkah yang ditempuh masyarakat di tempat lain. Pembangunan di tempat ini banyak yang dilakukan secara terbalik atau dari sudut pandang yang berkebalikan dari langkah-langkah membangun di daerah lain.

Pembangunan di tempat lain seperti di Banjir Kanal Barat atau di pinggiran jalan dengan cara pedagang diusir dan digusur, di kawasan Gunung Brintik ini pedagang ditata rapi berderet berjualan bunga, tanaman hias, pupuk, pot bunga, dan usaha karangan bunga.

Bila di tempat lain kuburan adalah tempat orang mati, di Gunung Brintik ini kuburan juga tempat orang hidup. Ada kuburan di dalam rumah, dan ada rumah di dalam kuburan. Bila di tempat lain besar tuntutan untuk sekolah gratis, disini sekolah-sekolah yang berada di kawasan penghuni kuburan ini menolak sekolah gratis. Program pendidikan gratis dinilai oleh para guru dan kepala sekolah di Gunung Brintik ini justru tidak mendidik siswa untuk ber-partisipasi. Seperti yang diceritakan oleh Bapak Paeno (Kepala SD PL Gunung Brintik),” untuk membayar pakaian seragam sebesar tiga puluh ribu rupiah (Rp 30.000,-) Siswa dibantu sebesar Rp 20.000,-, dan yang Rp 10.000,- siswa harus membayar”.. Ini wujud pendidikan untuk berpartisipasi, yang merupakan unsur penting di dalam modal sosial. “Potongan harga untuk sekolah didapat dari Unit Penjahitan, dan donatur yang tidak mengikat seperti para ibu pensiunan pegawai Pertamina ataupun dari Komunitas Tugu M uda”, lanjut penjelasan bapak kepala sekolah.

Adalah kasus intervensi NGO terhadap aktivitas Komunitas M iskin dan terpinggirkan di Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang:

(32)

sharing kami dapatkkan dari seorang pemuda berusia 22 tahun, sebut saja dia Ari. M as Ari ini merupakan salah satu pemuda yang berperan dalam terbentuknya Sanggar Serabi. Ketika kami meminta informasi seputar sanggar dan isinya, M as Ari sungguh antusias dengan kedatangan kami, dan dengan sukacita menceritakan sekilas tentang sanggar mungil ini. Sebelum sanggar ini di berdiri sekitar tahun 1996 ada paguyuban yang namanya PAJS (Paguyuban Anak Jalanan Semarang). PAJS inilah yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak jalanan di Semarang.

Ternyata sumber daya (resources) yang dimiliki tidak sepenuhnya cocok (match) dengan medan yang dihadapi, maka harus siap me-modifysumber daya tersebut sehingga bisa optimal menopang usaha yang dilakukan.

Keberadaan PAJS tidak senangi oleh beberapa pihak, seperti preman-preman di daerah tersebut termasuk juga pemerintah. Sampai suatu saat base camp PAJS diserang oleh preman-preman yang katanya merupakan suruhan dari pemerintah kota Semarang untuk membubarkan aksi PAJS ini yang rasionalnya di duga telah mengganggu kenyamanan dalam kota. Banyak anak jalanan (PAJS) ini dikejar-kejar.

M enurut penuturan seorang pengamen, saat aksi penyerangan besar, sekitar tahun 2000, anak-anak jalanan yang ketakutan ini akhirnya pergi menyebar, ada yang ber-lindung ke Yogyakarta atau daerah-daerah lain yang lebih aman dan bergabung dengan anak-anak jalanan di kota tersebut.

(33)

pas-pasan. Di rumahnya yang sederhana pernah di tempati sekittar puluhan anak jalanan yang membutuhkan tempat tidur. Saat ditanyai kenapa beliau tertarik menam-pung anak jalanan beliau menjawab kalau dia merasa kasihan akan kehidupan anak ini, disamping itu juga kebersamaan dan kekerabatan anak ini juga sangat kuat.

M engadaptasi sumberdaya

Dengan keterbukaan hati Bu Prapto menerima anak jalanan yang datang kerumahnya yang kadang minta dikeroki ada juga yang datang minta makan, selain itu juga banyak anak jalanan yang datang ke rumah beliau hanya ingin curhat dengan beliau. Ibu banyak bercerita mengenai kehidupannya beserta anak jalanan. Jadi bagi anak jalanan yang mengenal bu Prapto mereka menganggap ibu ini sebagai orang tua mereka. Hal mulia ini justru menjadi gunjingan penduduk Brintik, para tetangga Ibu Prapto justru malah membenci dan memusuhi Ibu Prapto karena dianggap telah mencemarkan perkampungan dengan menampung anak-anak jalanan liar yang dianggap sampah pemerintah. W alaupun demikian, Ibu Prapto, dibantu mas Ari dengan keluarganya tidak mundur dari apa yang telah diputuskannya dalam membantu anak-anak jalanan tersebut. Ibu juga menceritakan ulang aksi penyerangan besar oleh preman-preman kota, sekitar tahun 2000 lalu, anak-anak jalanan yang ketakutan waktu itu akhir nya pergi menyebar, dibantu oleh Ibu Prapto, M as Ari dan anak-anak jalanan ada yang berlindung ke Yogyakarta dan daerah-daerah lain dan bergabung dengan anak-anak jalanan di kota tersebut. Selama mengungsi ternyata Ibu Prapto dan keluarga selalu datang seminggu sekali ke Jogjakarta untuk mengirimkan beras, atau pakaian seadanya, atau bahan pokok lainnya untuk bertahan hidup anak-anak jalanan tersebut. Ketika keadaan dimungkinkan sudah mulai membaik, pada tahun 2004 anak-anak jalanan ini pun kembali ke Semarang dan mempunyai basecamp di sanggar serabi ini.

(34)

muncul tersebut pada waktunya siap untuk bertahan hidup, survive, bahkan berkembang.

Intervensi yang dilakukan oleh NGO yang bekerja di Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang ini sangat halus, dan tidak semua tahap pelaksanaan strategi untuk survive itu diintervensi. Pelaku atau iterventornyapun bisa tidak berasal dari pengurus atau pengelola organisasi formal. Kadang kala ada suatu kelompok atau organisasi yang tanpa bentuk. M ereka adalah kumpulan individu yang memiliki minat dan perhatian yang sama, berkumpul mencari solusi bersama. M ereka sulit untuk diobservasi dari luar. Bantuan yang tulus dari seorang ibu, katakanlah Bu Prapto, merupakan intervensi yang halus yang mengatasi soal kebutuhan primer (makan, berteduh, bahkan “kerokan” untuk menjaga kesehatannya. Bantuan sebuah “sulak” dari seorang suster untuk tidak sekadar meminta derma kepada para pengguna jalan, tetapi juga memberikan jasa membersihkan kaca pengendara mobil di jalan raya itu.

Analisis

Anggota Komunitas M akam Gunung Brintik Semarang, mereka itu semua adalah “Anak Semua Bangsa”. Bila saya memperhatikan frasa Anak Semua Bangsa maka teringat saya buku kedua dari Karya tulis Pramoedya Ananta Toer (Tetralogi Pulau Buru). Tetralogi ini merupakan roman empat serial yaitu Bumi M anusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. (Toer, 2011).

(35)

didiklah penguasa dengan perlawanan (halaman sampul tetralogi Jejak Langkah (Toer, 2011). Roman keempat berjudul Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh dimana-mana untuk merekam apapun yang digiatkan aktivitas pergerakan itu. Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan pe-rumah kaca-an

Ada kemiripan antara IM AO dan tetralogi, yang tentunya berbeda setting dan kondisinya. Intervensi sosial sebagai cara atau strategi memberikan bantuan kepada masyarakat (individu, kelompok, komunitas). Intervensi sosial merupakan metode yang digunakan dalam praktik di lapangan pada bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Intervensi sosial adalah upaya perubahan terencana terhadap individu, kelompok, maupun komunitas. Dikatakan 'perubahan terencana' agar upaya bantuan yang diberikan dapat dievaluasi dan diukur keber-hasilannya. Intervensi sosial dapat pula diartikan sebagai suatu upaya untuk memperbaiki keberfungsian sosial dari kelompok sasaran perubahan, dalam hal ini, individu, keluarga, dan kelompok. Keberfungsian sosial menunjuk pada kondisi di mana seseorang dapat berperan sebagaimana seharusnya sesuai dengan harapan lingkungan dan peran yang dimilikinya.

(36)

Tujuan utama dari intervensi sosial adalah memperbaiki fungsi sosial kelompok sasaran perubahan. Ketika fungsi sosial seseorang berfungsi dengan baik, diasumsikan bahwa kondisi sejahtera akan semakin mudah dicapai. Kondisi sejahtera dapat terwujud manakala jarak antara harapan dan kenyataan tidak terlalu lebar. M elalui intervensi sosial, hambatan-hambatan sosial yang dihadapi kelompok sasaran perubahan akan diatasi. Dengan kata lain, intervensi sosial berupaya memperkecil jarak antara harapan lingkungan dengan kondisi riil .

Strategi yang digunakan untuk dapat berhasil mengatasi Kemalangan di Gunung Brintik adalah: Partisipasi terhadap masuknya intervensi, Adaptasi/Internalisasi Nilai-Nilai Sosial, Serabutan sebagai mata pencaharian yang dilakukan

Partisipasi sebagai suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Dalam defenisi tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan emosi. Partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun bidang mental serta penentuan kebijaksanaan.

Bentuk partisipasi yang nyata yaitu:

(37)

pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk mewu-judkannya dengan memberikan pengalaman dan peng-tahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya.

Partisipasi peserta dampingan, partisipasi Bu Prapto pada Sanggar Serabi penting untuk menciptakan upaya tercapainya kebertahanan hidup, misalnya mengirim beras kepada Anak Jalanan yang melarikan diri ke luar kota.. Dengan demikian tujuan yang sudah direncakan bisa dicapai semaksimal mungkin.

Ringkasan

Bila pembangunan umumnya dimulai dengan program yang besar disertai unsur politik yang kuat, maka pembangunan di kawasan Gunung Brintik ini dimulai dari gerakan non-formal melalui pendampingan, dan dilakukan intervensi dengan pendampingan dan pemberian motivasi untuk membangkitkan motivasi intrinsik untuk mampu membangun dengan kekuatan dari diri sendiri, dari anggota komunitasnya sendiri.

Tidak ada proses belajar tanpa partisipasi dan keaktifan anak didik yang belajar. Setiap anak didik pasti aktif dalam belajar, hanya yang membedakannya adalah kadar/bobot keaktifan anak didik dalam belajar. Ada keaktifan itu dengan kategori rendah, sedang dan tinggi. Disini perlu kreatifitas guru dalam mengajar agar siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.

Penggunaan strategi dan metode yang tepat akan menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. M etode belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif karena siswa lebih berperan serta lebih terbuka dan sensitif dalam kegiatan belajar mengajar.

(38)

Kasus Keempat: Program Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Deskripsi

Kampung W onosari terdiri dari dua Rukun W arga (RW ) yaitu RW III dan RW IV. Kedua RW ini mempunyai karakteristik, potensi dan permasalahan yang cukup kompleks. M ata pencaharian penduduk beraneka macam seperti pedagang, buruh, namun terbanyak adalah bekerja pada sektor informal seperti tukang becak, pembuat bunga kertas, penyedia bibit tanaman bias, warung makan dan sebagainya. Di antara mata pencaharian tersebut yang dianggap paling mapan adalah pemilik kios bunga.

Kios bunga di Kampung W onosari berdiri sepanjang jalan Dr. Sutomo dari depan Lapangan Garnisun sampai dekat Kompleks Gereja Katedral Randusari. Secara umum kios bunga ini terdiri dari tiga bagian atau kelompok yaitu kios tanaman hias mulai dari W onosari Gang I sampai HI, kios bunga kertas dari W onosari Gang III sampai Gang IV, dan kios pot bunga dan perlengkapan hias lainnya mulai dari W onosari Gang IV sampai W onosari Gang VII. Kegiatan ekonomi kios-kios ini berlangsung setiap hari, bahkan malam hari.

Penduduk Kelurahan Randusari sangat hetoregen, baik dilihat dari agama, suku bangsa maupun keadaan ekonomi. Data tahun 2009 jumlah penduduk Kelurahan Randusari adalah 7540 jiwa yang secara administrasi mendiami di 7 RW dan 54 RT yang berada di tiga Kampung yaitu Kampung Randusari, W onosari dan Krajan.

(39)

jumlahnya sangat sedikit, itupun pendatang yang lebih dahulu mendiami wilayah itu. W arga asli umumnya sudah menempati Kampung W onosari sejak tahun 1930-an, jadi sampai sekarang sudah 4 generasi.

Dilihat dari agama yang dianutnya, mayoritas mereka beragama Islam, sisanya Kristen dan Katholik. Selain terdapat Gereja Katedral Randusari, di Kampung W onosari juga terdapat 2 sarana peribadatan agama Kristen lainnya. Sedangkan jumlah masjid ada 2 buah dan 4 buah mushola. Secara umum kehidupaan beragama di Kampung W onosari relatif baik dan kehidupan toleransi beragama tinggi. Konflik-konflik yang terjadi, termasuk masalah pembagian BLT tidak berakar dari masalah agama.

Sarana Umum M asyarakat

Sarana pendidikan di Kampung W onosari ada dua buah SD/setingkat yaitu SD Gunung Brintik dan M I Istiqomah yang keduanya dikelola yayasan swasta. Sedangkan lembaga pendidikan formal TK tidak ada, yang ada TPQ di setiap masjid atau mushola. Sekolah SM P dan SMA tidak ada.

Sarana jalan di Kampung W onosari umumnya jalan setapak yang berliku-liku naik turun. Di sepanjang jalan Dr. Sutomo menuju Kampung W onosari terdapat 8 jalan kampung yaitu W onosari I - W onosari VIII. Antara jalan kampung terhubung dengan jalan setapak yang tidak semuanya dapat dilalui sepeda motor, apalagi mobil.

Pasar sebagai sarana pengembangan ekonomi tidak ada di Kampung W onosari, yang ada adalah kios-kios kecil. Pasar terdekat adalah Pasar Bulu dan Pasar Randusari. Untuk mendapatkan kebutuhan konsumsi selain ke kedua pasar tersebut, penduduk Kampung W onosari membeli dari pedagang keliling maupun pedagang kecil yang mangkal di mulut gang.

(40)

Lapangan Garnizun Kalisari setiap sore hari. Sementara anak-anak yang tidak menuju lapangan hanya bermain di jalan-jalan kampung di sekitar rumahnya atau di atas jembatan yang melintang di atas Kali Semarang.

Ternyata di lapangan sumber daya (resources) yang dimiliki tidak sepenuhnya cocok (match) dengan medan yang dihadapi. Sampailah pada kondisi yang harus siap me-modify sumber daya tersebut sehingga bisa optimal menopang usaha yang dilakukan.

Tahap strategi memodifikasi

Pendataan W arga M iskin wilayah Gunung Brintik Kampung W onosari.

Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah program pemerintah yang diberikan kepada keluarga yang tergolong miskin sebagai akibat adanya kenaikan Bahan Bakar M inyak, khususnya minyak tanah. Naiknya harga miknyak tanah dari dari Rp 300,- /liter menjadi Rp.700,-/liter dan terus naik lagi menjadi Rp. 1.500,-/liter mengakibatkan daya beli masya-rakat menurun, apalagi bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. BLT diberikan setiap bulan melalui kantor pos yang ditunjuk. Pada tahun 2008 setiap Rumah Tangga Sasaran (RTS) mendapat BLT sebesar Rp. 300.000,- setiap bulan, sedangkan pada tahun 2009 setiap RTS men-dapat Rp.200.000,- setiap bulan. Penerimaan kepada RTS dilakukan setiap 3 bulan sekali.

Sebelum berhak menerima BLT, diadakan pendataan yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh kelurahan. Untuk verifikasi data yang telah dilakukan oleh petugas kelurahan maka pemerintah bekerja dengan LSM tertentu. Dengan prosedur kerjasama demikian maka diharapkan data RTS yang berhak mendapat BLT tidak salah. Namun yang terjadi di Kampung W onosari tidak semulus dan sesuai persis dengan petunjuk pemerintah.

(41)

masing-masing. Petugas yang ditunjuk oleh kelurahan, yang kebetulan warga Kampung W onosari, sudah memegang data berdasarkan perkiraannya sendiri. Setiap RT sudah ada data warga miskin yang akan diajukan kepada pihak LSM yang akan menverifikasi data. Keluarga yang tergolong miskin maka harus memenuhi 14 kriteria miskin dari 20 kriteria yang ditentukan. Ada 8 (delapan) kriteria pokok untuk menentukan kemiskinan suatu rumah tangga. Dari 8 (delapan) kriteria pokok tersebut masing-masing masih dibagi menjadi beberapa kriteria seperti tersebut di bawah ini.

1. Pangan, yang terdiri dari :

a. Rata-rata frekuensi makan dalam sehari, terdapat tiga kriteria yaitu 1 x sehari, 2x sehari dan lebih dari 2 kali.

b. Frekuensi makan daging (sapi/kerbau/kambing/domba/ayam /jeroan/hati/dendeng) dan telor yang diadakan keluarga dalam satu minggu. Ada lima pilihan yaitu tidak pernah sama sekali, tidak menentu, paling sedikit satu minggu sekali, dua kali dalam satu minggu dan lebih dari dua kali dalam satu minggu.

2. Tempat Tinggal, terdiri dari:

a. Status rumah yang ditempati saat ini, yang terdiri dari lima pilihan yaitu ikut keluarga/orang lain, mengontrak, fasilitas kantor/lembaga/kaum, milik sendiri di lokasi pihak lain, dan milik sendiri.

b. Luas lantai rumah yang dihuni, tidak ada pilihan, namun untuk dikategorikan miskin luas rumah kurang dari 8 m2 setiap anggota

keluarga, jadi kalau anggota keluarga 4 orang maka minimal luas rumah 32 m2.

c. Jenis lantai rumah, ada empat alternatif pilihan yaitu semua lantai terbuat dari tanah, di atas 50% lantai rumah terbuat dari tanah, di atas 50% lantai rumah terbuat dari semen (plester), dan di atas 50% lantai rumah terbuat dari ubin.

(42)

dari bahan bekas pakai non permanen, semua dinding rumah terbuat dari bambu dan atau kayu berkualitas rendah, di atas 50% diding rumah terbuat dari bambu dan atau kayu, sebagian dinding sudah terbuat dari tembok batu/kayu berkualitas, dan seluruh dinding terbuat dari tembok batu/kayu berkualitas. e. Ketersediaan listrik. Berkaitan ketersediaan listrik ada empat

pilihan yang harus dipilih yaitu belum menggunakan listrik, menyalur dari rumah lain, milik sendiri 450 watt, dan milik sendiri lebih besar dari 450 watt.

f. Ketersediaan air bersih/air minum. M engenai ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari, ada empat kriteria yang harus dipilih yaitu sumber air tidak dilindungi (sungai, empang, air hujan), sumur dangkal, membeli secara eceran atau langganan, dan PAM / sumur dalam (artetis).

g. Jamban/W C yang digunakan untuk menentukan kemiskinan sebuah keluarga terdiri dari empat pilihan yaitu tidak memiliki jamban (di sungai, kebun, sawah), jamban umum Jamban milik institusi, dan jamban milik sendiri.

3. Sandang, terdiri dari:

a. Rata-rata jumlah pakaian baru yang dapat dibeli oleh keluarga dalam setahun terakhir, dengan empat pilihan yaitu tidak pernah membeli baru, hanya membeli satu stel, membeli 2 stel, dan membeli lebih dari 2 stel.

b. Apakah setiap anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk dirumah/bekerja/sekolah/bepergian, dengan tiga pilihan yaitu tidak pernah berbeda, kadang-kadang berbeda dan selalu berbeda.

4. Kesehatan, yang terdiri dari 3 kriteria yaitu:

(43)

pelayanan kesehatan, dan selalu dibawa ke sarana pelayanan kesehatan.

b. Bila dibawa ke sarana pelayanan kesehata, kepada siapa pengobatan dilakukan? Jawabannya ada 4 pilihan yaitu dibawa ke pengobatan tradisional/alternatif atau dukun, dibawa ke sarana kesehatan Puskesmas/RS, dibawa ke dokter/mantri/bidan, dan dibawa ke sarana pelayanan kesehatan lainnya.

c. Bila ada anggota keluarga yang sakit dan memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan/rumah sakit, apakah mampu membiayai? Ada empat jawaban yang bisa dipilih, yaitu tidak dapat membiayai, dapat bantuan dari pemerintah, dapat membiayai dengan bantuan keluarga/pihak lain, dan dapat membiayai sendiri.

5. Penghasilan, terdiri dari 3 kriteria, yaitu :

a. Sumber penghasilan rumah tangga, yang terdiri dari bantuan/sumbangan keluarga/pihak lain, upah, gaji, uang pensiun, dan penghasilan lainnya.

b. Status pekerjaan utama KK, dengan empat pilihan yaitu tidak bekerja/pengangguran, buruh, berusaha sendiri, dan berusaha dengan mempekerjakan bu-ruh tetap.

c. Alasan tidak bekerja, yaitu karena sakit, tidak dapat pekerjaan, dan alasanlainnya yang diminta untuk disebutkan.

d. Keterampilan yang dimiliki, terdiri dari pertukang-an/penjahitan, perbengkelan, pembuatan barang kerajinan, pembuatan kue/makanan, usaha tani, usaha peternakan, usaha perikanan darat/laut, dan keterampilan lainnya untuk disebutkan, dengan jawaban hanya ya atau tidak.

(44)

f. Jenis keterampilan dan usaha yang dibutuhkan oleh anggota keluarga guna menambah penghasilan keluarga, dengan pilihan jawaban hanya ya dan tidak dari beberapa pilihan, yaitu pertukangan/penjahitan, perbengkelan, pembuatan barang kerajinan, pem-buatan kue/makanan, usaha tani, usaha peternakan, usaha perikanan darat/laut, dan keterampilan lainnya untuk disebutkan

6. Pengeluaran keluarga, yang hams diisikan dalam bentuk rupiah untuk beberapa jenis pengeluaran meliputi:

a. Pangan terdiri dari padi-padian/makanan pokok, lauk pauk, minyak, gula, kopi, teh, bumbu, gas.

b. Tempat tinggal, terdiri dari sewa, kontrak, perawatan/ perbaikan, listrik, air, telepon.

c. Sandang, berupa pengeluaran untuk pakaian.

d. Pendidikan, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk bayar sekolah, transport anak sekolah, buku, tas, alat tulis.

e. Kesehatan, meiputi biaya pengobatan (obat, jasa dokter, rawat inap, akomodasi).

f. Sosial, yang terdiri dari pengeluaran untuk kondangan, arisan, iuran RT, kematian, rekreasi.

g. Transportasi, yang dikeluarkan untuk seluruh anggota keluarga yang bekerja.

h. Lain-lain yaitu pengeluaran yang belum tercantum di atas.

(45)

8. Kepemilikan aset keluarga, seperti TV, radio/tape recorder, VCD/DVD player, handphone/seluler, komputer/laptop, kulkas, mebel, sepeda, sepeda motor, mobil, perhiasan emas, ternak, tanah berupa sawah, pekarangan, kebun, dan tegalan. Berdasarkan data warga miskin yang sudah ada di kelurahan, selanjutnya warga diberi blangko untuk diisi sesuai dengan variabel penentuan kemiskinan.

KK yang tergolong miskin di Kampung W onosari Kelurahan Randusari Kecamatan Semarang Selatan ada 218 KK dari 377 KK. Sebenarnya 261 KK yang tergolong miskin tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya, sebab banyak data tambahan yang diberikan pengurus RT kepada pihak kelurahan agar digolongkan sebagai warga miskin. Pengurus RT umumnya mendapat desakan dari warga agar memasukkan sebanyak-banyaknya data warga miskin, dengan harapan akan mendapat BLT. Keadaan masyarakat Kampung W onosari pada umumnya bersedia dikategorikan sebagai warga miskin asalkan mendapat bantuan, baik bantuan untuk kepentingan lingkungan maupun bantuan pribadi. Ketika petugas kelurahan membagikan blangko pendataan warga miskin untuk mendapatkan BLT, maka banyak warga lain yang belum terdaftar mengajukan diri untuk didaftar, dengan memfotocopy blangko yang dimiliki warga lainnya.

Berdasarkan daftar warga miskin yang masuk ke pihak kelurahan, kemudian dikirimkan ke Pemerintah Kota. Oleh Pemkot, data tersebut diserahkan kepada pihak LSM yang bertugas memverifikasi data dengan mengunjungi langsung setiap warga yang tergolong miskin dengan tujuan untuk mencocokkan data yang terkumpul dengan keadaan yang sebenarnya. Namun yang terjadi di Kampung W onosari, oleh pihak LSM tidak semua keluarga yang tergolong miskin dikunjungi untuk diverifikasi, melainkan hanya

(46)

W arga masyarakat umumnya hanya mengetahui bahwa yang berhak menentukan penerima BLT adalah Ketua RT, bukan BPS berdasarkan verifikasi data yang diajukan.

Kepala keluargayang mendapat BLT di RW III dari 218 KK yang diajukan, yang disetujui sebanyak 107 KK atau 49,08%. Dengan demikian warga Kampung W onosari yang mendapat BLT cukup banyak dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penerima BLT di Kelurahan Randusari yaitu 418 KK, atau mencapai 25,59%. Namun demikian bagi warga Kampung W onosari, 107 KK yang berhak menerima BLT menimbulkan banyak masalah intern warga kampung yang cukup berkepanjangan selama program BLT tahun 2008 dan 2009 dilakukan pemerintah karena alur proses pendataan tidak dijalankan dengan benar. Alasan sebagai pembenar bagi pihak kelurahan adalah 1). Data warga miskin di kelurahan sudah ada, berdasarkan data penerimaan beras miskin (raskin) sehingga penerima raskinotomatis warga miskin, 2). Petugas pendata warga miskin adalah warga Kam-pung W onosari sendiri yang mengetahui kondisi warga, 3). Keterbatasan waktu yang mendesak agar kelurahan segara menyampaikan data warga miskin ke pihak Pemerintah Kota.

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian, perlu disebutkan pula bahwa salah seorang pelopor dari bisnis penginapan atau home stay di Sidemen itu tidak lain justru adalah penglingsir (raja/kepala

Remittance memiliki kontribusi yang dominan terhadap penambahan aset kekayaan keluarga dan berdampak positif disektor pertanian melalui usaha dibidang

Apa yang mendorong anda lebih memilih bekerja dibandingkan di rumah sebagai istri dan ibu dari keluarga

Transformasi sosial ekonomi yang terjadi di Desa Blimbingsari dimotori oleh peran sentral kepemimpinan yang transformatif yang digerakan oleh nilai spiritual yang

Demikian pula seturut pandangan de Haan dan Zoomers (Marschkel and Berkes, 2006), konsep pemenuhan kebutuhan hidup adalah usaha yang dilakukan individu, rumah tangga, atau

Kecenderungan skala usaha dalam jumlah yang terbatas pada kedua model usaha seperti ini hanya untuk mendapatkan keuntungan seadanya, disesuaikan dengan modal (uang) yang

Simpulan dari bab ini adalah bahwa strategi kebertahanan hidup (survival strategy) dari manusia yang berstatus orang miskin yang terpinggirkan yang tinggal di

Konsep pemberdayaan masyarakat yang diutarakan di atas sesuai dengan apa yang telah diusung oleh Moeljarto (1987) bahwa pemberdayaan masyarakat yang dijalan dengan