HUBUNGAN ANTARA PEER PRESSURE DENGAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP NEGERI 2 TUNTANG
OLEH
LARAS KUSUMANING PAWESTRI 802012006
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
HUBUNGAN ANTARA PEER PRESSURE DENGAN SCHOOL WELL-BEING PADA SISWA SMP NEGERI 2 TUNTANG
Laras Kusumaning Pawestri Enjang Wahyuningrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
i
Abstrak
Penelitian ini ingin melihat hubungan antara peer pressure dengan school well-being terhadap siswa SMP Negeri 2 Tuntang. Penelitian dilakukan terhadap 92 siswa kelas 7. Pengumpulan data secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan dua instrumen. School well-being diukur dengan skala school well-being sementara peer pressure diukur
dengan Peer Pressure Inventory (PPI). Wawancara dengan guru dan siswa juga dilakukan untuk menambah gambaran seputar sekolah serta karakteristik siswa dan hubungan antar siswa. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan yang negatif antara peer pressure dengan school well-being (r = 0,201 dengan sig. = 0,027 (p > 0.05).
ii Abstract
This research aims to find the correlation between peer pressure and school
well-being towards student in middle schools located in Tuntang. The participants are 92 students in 7th grade. Quantitative data collection was conducted using two instruments. School well-being was measured using school well-being scale, while peer pressure was
measured using Peer Pressure Inventory (PPI). Interviews with teachers and students were also done in order to obtain more informations about the school, characteristics of student,
and their relationship with other students. The main results of this research show that peer pressure is negatively correlated with school well-being (r = 0,201 dengan sig. = 0,027 (p > 0.05).
PENDAHULUAN
Masaremaja merupakan masa yang penuhgejolak.Menurut WHO, masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang terjadi setelah masa kanak-kanak dan sebelum masa dewasa, dari usia 10 sampai 19 tahun. Pada masa perkembangan ini umumnya masa remaja disebut masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Selain itu, masa remaja disebut juga sebagai masa “psychological learning” dan “social learning”, hal ini berarti masa remaja sedang mengalami suatu pematangan fisik dan pematangan sosial (dalam Rifai, 1984). Menurut Erikson (dalam Hurlock, 1999) menyebutkan bahwa status individu pada masa itu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan perannya. Menurut G. Stanley Hall (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa remaja berada pada pandangan “storm-and-stress” yang berarti masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak,
diwarnai oleh konflik maupun perubahan suasana hati. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Kota Pelajar, Yogyakarta. Seorang siswa yang sedang berpapasan saat pulang sekolah melakukan tindakan kekerasan dengan membacok siswa lain karena saling pelotot dan dilempari batu (Prabowo, 2015). Selain itu, laporan dari Multi-Country Study on
Women’s Health and Domestic Violence menyebutkan bahwa kekerasan fisik dan
intimidasi juga umum terjadi di kalangan remaja. Terdapat 40 negara berkembang menunjukkan bahwa intimidasi terjadi pada 45,2% remaja laki-laki dan 35,8% gadis atau remaja perempuan (Indrarto, 2014).
459 kasus (Setyawan, 2014). Sedangkan di Provinsi Lampung, angka tindakan kekerasan yang terjadi selama dua tahun terakhir terbagi menjadi kekerasan fisik 26.774 kasus, penelantaran 11.886 kasus, kekerasan seksual 4.217 kasus, hingga kekerasan mental 42.877 kasus. Akibatnya posisi persentase kekerasan anak di Lampung masih dalam taraf tinggi sedang (Premeswara, 2015). Beberapa pengaduan yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak (2006) menyatakan bahwa faktor terjadinya kekerasan berasal dari keluarga, lingkungan dan tekanan ekonomi. Selain itu, yang membentuk perilaku anak cenderung mengekspresikan kekerasan adalah fungsi kontrol keluarga yang lemah, sikap masyarakat yang kurang peduli dan lemahnya fungsi kontrol di sekolah (Tjahjono, 2012).
Sulliva, Cleary & Sullivan (2004) mengatakan bahwa perilaku bullying yang biasanya terjadi di sekolah mulai meningkat pada awal secondary school atau setingkat dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Selain itu, menurut Fahrudin (2007)juga menambahkan bahwa murid-murid sekolah bukan saja berani melanggar peraturan sekolah yang berkaitan dengan disiplin seperti; merokok, minum alkohol, merusak fasilitas sekolah, mencuri, berkelahi, bolos sekolah, menganggu pelajaran di kelas, tidak mematuhi arahan guru bahkan mem-bullykawan sekelas atau adik kelas. Kebanyakan anak-anak secara langsung atau pun secara tidak langsung terlibat dalam bullying yang muncul di sekolah mereka (Hawkins, Pepler & Craig, 2001).Berdasarkan total kasus kekerasan di sekolah yang dihimpun, ada 79 kasus anak sebagai pelaku bullying dan 103 kasus dengan anak sebagai pelaku tawuran. Jumlah ini bertambah jika dibandingkan tahun 2014, terdapat 67 kasus bullyingdan tawuran ada 46 kasus (dalam Aziza, 2015).
terjadi (Hidayati, 2012). Menurut Olweus (2003), bullying adalah salah satu definisi umum yang dipergunakan, yaitu tindakan negatif yang dilakukan seseorang atau lebih terhadap orang lain secara berulang-ulang dari waktu ke waktu. Selain itu, Olweus (1993) juga menyatakan bahwa siswa yang melakukan bullying mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak nyaman atau terluka. Berdasarkan studi kerjasama yang dilakukan Olweus dan Rolland (1970 dalam Rigby, 2002), diperoleh kesepakatan mengenai kriteria operasional agar dapat disebut sebagai bullying, maka agresi atau bentuk kekerasan lainnya harus terjadi sedikitnya sekali dalam seminggu atau lebih selama periode waktu satu bulan.Ada tiga aspek bullying yang dibagi oleh Olweus dalam Olweus Bully/Victim Questionnaire (Solberg & Olweus, 2003), yaitu physical bullying,indirect bullying dan verbal bullying.
(2004) mengatakan bahwa verbal bullyingbukan sekedar"permainan anak-anak". Alasan anak-anak cenderung menggodasatu sama lain adalah untuk mendapatkanperhatian, untuk meniru orang lain, merasasuperiorataukuat, bisa diterima oleh teman sebaya, ataukarena perbedaanpendapatantara rekan-rekanatau karenapengaruhmedia(Freedman, 2000).Menggodaorang lainmungkin menyenangkantetapi menjadi tidak menyenangkan jika melukai perasaanorang lain(Freedman, 2000).Tujuan utamadariverbal bullyingadalah untuk menyakitiharga diriorang laindan biasanya dilakukandidepan penonton atau di depan orang lain (American Medical Association, 2005).
Saxon (2004) mendefinisikan verbal bullyingsebagai sebuah pemberian julukan (nama sindiran), mengejek, meremehkan, kritikkejam, pencemaran nama baikpribadi, penghinaan rasial, pelecehanseksual, pemerasan, panggilan teror melalui telepon ataupun e-mail, tuduhan palsu, rumor, dan gosip. Insidenpemberian julukan (nama sindiran) berdasarkan jenis kelamin, ras, etnis, agama, penampilan, kelas sosial, kecacatan, atau perbedaanseksualdapat diklasifikasikan sebagaidiskriminasi dan pelecehan. Sedangkan, Rigby(2008) mengkategorikanverbal bullying menjadi langsung dan tidak langsung. Contoh dari verbal bullying secara langsung seperti menggunakan bahasa yang menghina, membuat nama-panggilan, mengejek dan menggoda secara kejam; sedangkan verbal bullying secara tidak langsung seperti membujuk orang lainuntuk menghinaataupenyalahgunaanseseorang, menyebarkanrumor jahat, panggilan telepon secara anonim, dan menggunakan pesan teks secara ofensifdan juga melalui email. Bullying verbal menurut Solberg & Olweus (2003) adalah sebuah perilaku yang dilakukan
seseorang.Sebuah penelitian melaporkan terdapat 19,4% anak melakukan physical bullying dan 25,8% anak melakukan verbal bullying (dalam Minnesota Departmen of Education, 2010). Selain itu, terdapat presentase mengenai penyebaran rumor dan kebohongan mengenai orang lain sebanyak 38%, mengucilkan secara sosial 31% dan bullying secara fisik sebanyak 21% (Aboud & Joong, 2007).
Fenomena bullying di SMP Immanuel Bandar Lampung merupakan sebuah perilaku yang masih sering terjadi dikalangan para siswa, khususnya verbal bullying yang cenderung lebih banyak dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Kepala Sekolah (Wawancara pribadi, Juli 2015), beliau mengatakan bahwa banyak siswa yang selalu menggunakan kata-kata kasar saat berbicara dengan teman-temannya bahkan memanggil nama temannya dengan sebutan lain bukan memanggil dengan nama sebenarnya dan perilaku itu dilakukan dengan tidak memandang laki-laki atau perempuan dan ada beberapa siswa yang merasa tidak nyaman dengan perlakuan tersebut dikarenakan menyinggung perasaannya. Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di SMP Immanuel (Desember 2015) juga menyatakan adanya perilaku verbal bullying yang dilakukan antara satu siswa terhadap siswa lainnya, seperti mengejek dan menyindir.
antara anak laki-laki dan perempuan (Coloroso, 2006).Selain itu, Less (1986 & 1993) mempelajari bagaimana stereotip yang diberikan tentang maskulinitas dan feminitas menjadi dasar bagi remaja laki-laki dan perempuan di sekolah dalam melakukan verbal bullying.
Ada juga penelitian yang menemukan bahwa laki-laki lebih sering menggunakan seksual verbal abuse, mengganggu atau melakukan agresi verbal pada perempuan dan laki-laki, dibandingkan dengan perempuan (Roberto et al., 2003; Less, 1993; Motter & Thweatt, 1997; Salmivalli et al., 2000; Mahony, 1989; Toldos, 2005; Peets & Kikas, 2006). Sedangkan,ada beberapa penelitian yang tidak menemukan perbedaan gender dalam hal ini (Björkqvist et al. 1992, Tapper & Boulton 2004, Xie et al. 2002). Berbeda dari penelitian di atas, Parke dan Slaby (1983) berpendapat bahwa anak laki-laki lebih agresif dibandingkan anak perempuan dan agresi fisik ditandai dengan anak laki-laki memukul dan mendorong lawan mereka, sedangkan anak perempuan lebih cenderung melakukan verbal agresif, dengan terlibat dalam nama-panggilan dan menceritakan kisah-kisah.Coloroso(2003) menemukan bahwapria dan wanitasama-sama menggunakanverbal bullying, tetapi laki-lakicenderungmenggunakanphysical bullyingdan wanita cenderung
menggunakanrelational bullying. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian lainnya yang mengatakan bahwa anak laki-lakimenggunakanperilakuphysical bullying dan verbal bullying,sedangkananak perempuan cenderungmenggertak secaratidak langsunguntuk
tujuanmerusak hubungan relasinya (relational bullying)(Beaune, 2009;Fekkesetal, 2005; Rownhill, 2007;Hinduja&Patchin, 2009;Henkin, 2005;Shore, 2006).
dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbedaan kecenderungan melakukan verbal bullying antara siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung.Hipotesis dari penelitian ini adalah ada perbedaan kecenderungan melakukan verbal bullying antara siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan tipe penelitian komparatif. Penelitian komparatif adalah penelitian yang bersifat membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di teliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini akan dibandingkan kecenderungan melakukan verbal bullying antara laki-laki dan perempuan.
Variabel Penelitian
Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabelbebas (X) : jeniskelamin (laki-lakidanperempuan) 2. Variabelterikat (Y) : verbal bullying
Subjek Penelitian
kelas yang ditetapkan yaitu kelas VIII. Subjek penelitian ini berjumlah 90 siswa yang terbagi menjadi 45 siswa laki-laki dan 45 siswa perempuan dari empat kelas di kelas VIII.
Alat ukur dan prosedur pengambilan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala, yaitu cara pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan atau pernyataan yang diberikan kepada subjek yang berisi item-item (Azwar, 2002). Skala yang digunakan adalah sub-skala dari kecenderungan perilaku bullying mengenai kecenderungan bullying secara verbal yang telah dimodifikasi oleh penulis berdasarkan pada aspek menurut Olweus dalam Olweus Bully/Victim Questionnaire (Solberg & Olweus, 2003). Pernyataan sub-skala kecenderungan bullying secara verbal disusun dalam bentuk favourable lima penilaian (skala likert) yaitu nilai 1 sampai 5. Respon subjek untuk pernyataan favourable diberikan bobot masing-masing nilai 5 untuk jawaban selalu, nilai 4 untuk jawaban sering, nilai 3 untuk jawaban terkadang, nilai 2 untuk jawaban jarang dan nilai 1 untuk jawaban pernah.
Teknik analisis data
Uji Reliabilitas
Hasil uji reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach menunjukkan hasil yang memuaskan dengan hasil perhitungan reliabilitas sebesar 0,871. Berdasarkan hasil uji yang diperoleh maka alat ukur dapat dikatakan sebagai alat ukur yang reliabel.
Tabel 1. Reliability Statistics Cronbach's
Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
.871 .871 17
Analisis Item
Hasil yang diperoleh dari dua kali pengujian menggunakan program komputer SPSS 16.0menunjukkan bahwa ada 1 aitem yang gugur karena mempunyai nilai corrected item total < 0,3 (Azwar, 2010). Pengujian tersebut mendapatkan hasil bahwa item yang tersisa
adalah 17 aitem yang dianggap memiliki daya diskriminasi baik dengan koefisien korelasi item total adalah sebesar 0,3 (Azwar, 2010).
HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
normal. Sedangkan, sampel perempuan signifikansi yang didapat adalah sebesar 0,367 sehingga dari data tersebut sampel perempuan berdistribusi normal. Maka kedua hasil sampel ini dapat disimpulkan data tersebut berdistibusi normal. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Perempuan Laki_laki
N 45 45
Normal Parametersa Mean 36.2222 35.5333 Std. Deviation
10.80591 1.06186E 1 Most Extreme
Differences
Absolute .137 .141
Positive .137 .141
Negative -.067 -.094
Kolmogorov-Smirnov Z .919 .949
Asymp. Sig. (2-tailed) .367 .329
a. Test distribution is Normal.
Tabel 3. Test of Homogeneity of Variances
JK
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.012 1 88 .911
Analisis Deskriptif
Berdasarkan hasil perhitungan variabel, berikut adalah kategorisasi deskriptifnya. Kategori ini berdasarkan data itemyang memiliki daya diskriminasi baik, sebagai berikut:
Tabel 4. Kategori Skor Kecenderungan Melakukan Verbal Bullying pada Perempuan
No. Interval Kategorisasi Mean F %
1. 71,4 ≤ x ≤ 85 Sangat Tinggi 1 2,2%
2. 57,8 ≤ x < 71,4 Tinggi 0 0%
3. 44,2 ≤ x < 57,8 Sedang 9 20%
4. 30,6≤ x < 44,2 Rendah 36,22 22 48,9%
5. 17≤ x < 30,6 Sangat Rendah 13 28,9%
Tabel 5. Kategori Skor Kecenderungan Melakukan Verbal Bullying pada Laki-laki
No. Interval Kategorisasi Mean f %
1. 71,4 ≤ x ≤ 85 Sangat Tinggi 0 0%
2. 57,8 ≤ x < 71,4 Tinggi 4 8,9%
3. 44,2 ≤ x < 57,8 Sedang 4 8,9%
4. 30,6≤ x < 44,2 Rendah 35,53 20 44,4%
5. 17≤ x < 30,6 Sangat Rendah 17 37,8%
Jumlah 45 100%
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa skor kecenderungan melakukan verbal bullying antara siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung masuk ke
dalam kategori rendah.
Uji Perbedaan
Tabel 6. Independent Samples Test Levene's Test
for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Dari hasil yang telah ada di atas menunjukkan skor t =0,305 dengan signifikansi yang diperoleh sebesar 0,761 (p > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan kecenderungan melakukan verbal bullying pada siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung. Kecenderungan melakukan verbal bullying pada siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung berada dalam kategori rendah. Dengan kata lain, siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung memiliki kecenderungan yang sama untuk melakukan verbal bullying. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Karaman- Kepenekçi dan Çınkır (2004) mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang
ditemukan dalam melakukan verbal bullying pada laki-laki dan perempuan.Selain itu,
laki-lakimemiliki lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan kemarahan mereka
dengan cara melakukan physical bullying dan menggunakan verbal bullying. Sedangkan
perempuan mengekspresikan kemarahannya secara tidak langsung, sehingga lebih
cenderung melakukan relational bullying dan verbal bullying (Turkel, 2007). Selain itu,
Shakeshaft (1995) menambahkan bahwa laki-laki dan perempuan cenderung melakukan
verbal bullying¸ tetapi perempuan melakukan verbal bullying karena mereka mengatakan
sesuai dengan apa yang mereka lihat (kurang menarik) dan laki-laki melakukan verbal
bullying karena menargetkan dirinya berperan sebagaimana peran laki-laki. Perilaku
tersebut dapat terjadi karena adarasa keinginan untuk mendapatkanperhatian, untuk meniru orang lain, merasasuperiorataukuat, bisa diterima olehteman sebaya, ataukarena perbedaanpendapatantara rekan-rekanatau karenapengaruhmedia(Freedman, 2000). Widayanti (2009) menambahkan ada beberapa faktor lain yang menjadikan anak-anak dapat melakukan verbal bullying, yaitu; perasaan berhak (berkaitan dengan pengendalian
kekuasaan terhadap orang lain), fanatisme terhadap perbedaan (perbedaan fisik, agama
maupun status sosial dijadikan sebagai kelemahan yang tidak dihargai) dan memerdekakan
diri sendiri (anak bebas mengelompokan atau memisah-misahkan orang lain).
fenemona yang terjadi di sekolah dan hasil penelitian yang berbeda terjadi karena informasi tentang identitas subjek yang diobservasi dan dibagikan oleh Kepala Sekolah kurang jelas.Selain itu, pilihan jawaban pada skala kecenderungan melakukan verbal bullying yang memuat jawaban tengah (kadang-kadang) membuat subjek memilih jawaban yang relatif aman untuk dirinya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kecenderungan melakukan verbal bullying antara siswa laki-laki dan perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung. 2. Tingkat kecenderungan melakukan verbal bullying pada siswa laki-laki dan
perempuan SMP Immanuel Bandar Lampung termasuk dalam kategori rendah.
Saran
1. Bagi subjek
Subjek diharapkan tetap mempertahankan perilaku yang baik dan dapat lebih meminimalisir lagi perilaku verbal bullying dengan tidak mengatakan hal-hal yang mengganggu orang lain.
2. Bagi guru dan sekolah
3. Bagi peneliti selanjutnya
a) Penelitiselanjutnyadiharapkandapatmengkajiulangpenelitianlebihmendalamden ganmencarifaktor-faktor lain kecenderunganmelakukanverbal bullyingsepertiusia, sosialiasiataupunemosi.
b) Penelitiselanjutnyabisamengobservasilingkungandenganlebihcermat, khususnya pada subjek penelitian yang ingin diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Artaria, M. D. (2010). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan: Penelitian antropometris pada anak-anak umur 6-19 tahun. Jurnal Masyarakat Kebudayaan Dan Politik Volume 22, Nomor 4: 343-349.
Aboud, F. E., & Joong, A. (2007). Intergroup name-calling and conditions for creating assertive bystanders. In S. Levy & M. Killen (Eds.), Intergroup attitudes and relations in childhood through adulthood (pp. 249–260). Oxford: Oxford University Press.
Aziza, K. S.(2015, 19 September). Kasus kekerasan di sekolah, KPAI sebut guru kerap abaikan ejekan antarsiswa.Kompas. Diunduh dari:
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/19/11324731/Kasus.Kekerasan.di.Se kolah.KPAI.Sebut.Guru.Kerap.Abaikan.Ejekan.Antarsiswa.
Colorosa, B. (2007). Stop Bullying (memutus rantai kekerasan anak dari prasekolah hingga SMU). Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.
Eliasson, M. A. (2007). Verbal abuse in school: Constructing gender and age in social interaction. Doctoral Dissertasion. Retrieved from: https://openarchive.ki.se/xmlui/handle/10616/37776
Fahrudin, A. (2007b). Permasalahan sosial di sekolah: Suatu tinjauan dari perspektif pekerjaan sosial sekolah. Makalah disajikan dalam semiloka pekerjaan sosial sekolah anjuran Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Bandung.
Feldman, M. A. (2008). High school outcomes of middle school bullying and victimization(Doctoral Dissertasion). Retrieved from http: scholarcommons.usf.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1234&context
Hawkins, D. L, Pepler D. J& Craig, M.(2001). Naturalistic observation of peer intervention in bullying. Blackwell Publisher, 10, 512-526.
Hidayati, N. (2012). Bullying pada anak: Analisis dan alternatif solusi. Jurnal 14(01), 43-45.
Hungu. (2007). Demografi kesehatan Indonesia. Jakarta : Penerbit Grasindo.
Hurlock, E. (1999). Psikologi perkembangan anak: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga
Lagerspetz et al.(1982): Group aggression among school children in three schools. Scandinavian Joumal of Psychology 23:45-52.
Litz, E. W. (2005). An analysis of bullying behaviors at E.B. Stanley Middle School in Abingdon, Virginia.Doctoral Dissertasion. Retrieved from: dc.etsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2259&context=etd
Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Cambridge.UK: Blackwell Publishing
Olweus, D. (2003). Bullying at school. UK: Blackwell Publishing.
Parke et al.(1983). The development of aggression. Handbook of child psychology, 4th ed, vol. IV. Lampung Post. Diunduh dari: http://lampost.co/berita/kasus-kekerasan-anak-di-lampung-masih-cukup-tinggi
Republika (2014).Aduan bullying tertinggi. (online). Diunduh dari:
http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/10/15/ndh4sp-aduan-bullying-tertinggi
Rifai &Sulastri, M. S.(1984).Psikologi perkembangan remaja: Dari segi kehidupan sosial.Jakarta: Bina Aksara.
Rigby, K.(2002).New perspectives on bullying.London: Jessica Kingsley Publishers.
Setyawan, D. (2014). KPAI : 2014, ada 622 kasus kekerasan anak. Diunduh dari: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-2014-ada-622-kasus-kekerasan-anak/