• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nurani Suku Buna' Spiritual Capital dalam Pembangunan D 902006009 BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Studi tentang spiritual capital ini termasuk bidang yang baru karena kalangan ilmuwan belum banyak menaruh perhatian khusus pada topik ini. Penulis memilih kelompok masyarakat suku Buna’ untuk mempelajari seluk-beluk spiritual capital dalam pembanungan. Ternyata pembangunan yang dilaksanakan sering kurang memenuhi harapan karena spiritual capital ini sering diabaikan. Berarti kalau pembangunan dalam segala bidang kehidupan manusia itu diharapkan berhasil dan bermanfaat, maka spiritual capital harus diberi tempat yang wajar.

Dalam seluruh proses pembangunan, spiritual capital itu sangat penting untuk didayagunakan. Spiritual capital tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan erat dengan capital yang lain seperti material capital, intellectual capital dan social capital. Atas dasar pernyataan inilah penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut. Pertanyaan utama ialah, apa itu spiritual capital dalam diri manusia? Apa peranan spiritual capital dalam pembangunan? Apa kaitan spiritual capital dengan tiga capital yang lain? Apakah spiritual capital ini disadari oleh masyarakat suku Buna? Sejauh mana spiritual capital ini didaya-gunakan oleh mereka? Apa dampak positif dan negatif dari pendaya-gunaan spiritual capital oleh suku Buna’? Apa implikasi studi tentang spiritual capital ini bagi pembangunan pada umumnya?

Dalam penelitian, penulis menemukan masyarakat suku Buna’ masih bertahan dengan adat istiadat dan agama mereka, agama asli, biarpun kehidupan mereka sudah sekian jauh terkikis oleh arus modernisasi termasuk arus kristenisasi. Apa yang menjadi dasar ketahanan mereka sampai masih tetap terpelihara adat kekerabatan mereka, adat sekitar siklus hidup mereka, adat pemeliharaan lingkungan hidup mereka dan adat kepercayaan asli mereka?

(2)

2

perubahan itu berasal? Dari dalam dan dari luar masyarakat DHL. Hal-hal apa saja yang berubah dan siap-siapa saja yang berperan dalam perubahan itu? Arus perubahan itu menghanyutkan, menghancurkan ataukah membawa masyarakat DHl menjadi lebih nyaman dan aman? Ke arah manakah perubahan itu sedang menghantar masyarakat DHL? Ke arah yang positif atau negatif? Jawabannya harus dicari di dalam masyarakat itu sendiri dengan ungkapan-ungkapan dari mereka sendiri agar tidak terjadi penilaian yang salah oleh orang yang melihatnya dari luar dan dari jauh.

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ditelusuri untuk dijawab dengan penelitian di kalangan suku Buna’. Hasil studi yang dituangkan dalam tulisan ini memuat uraian tentang arti, peranan dan manfaat dari spiritual capital itu dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh suku Buna’.

DUA PEMAHAMAN:

RELIGIOUS CAPITAL DAN SPIRITUAL CAPITAL

Dua pemahaman ini, religious capital dan spiritual capital sering disamakan atau dicampur-adukkan. Dua hal ini berbeda. Religious capital itu kemampuan manusia untuk menyatakan perasaaan dan pengalamannya dalam agama (Rahmat Subagya 1984:73). Sedangkan spiritual capital itu muncul dari roh manusia yang yang menjadi kemampuan untuk menyadari diri sebagai roh yang mem-badan dan badan yang me-roh. Spiritual capital menjadi dasar untuk religious capital, bukan sebaliknya.

(3)

3 manusia sebagai roh tidak dapat disangkal. Di sini letak perbedaan antara spiritual capital dan religious capital.

Dalam agama ada ritus-ritus dan ritus-ritus itu muncul dalam kurun waktu tertentu dengan latar belakang budaya tertentu. Masyarakat suku Buna’ sudah mempunyai ritus-ritus keagamaan yang sangat kuat berakar sehingga belum bisa dirubah dalam waktu yang singkat. Kalau orang-orang Buna’ melaksanakan ritus agama asli, bahan persembahaan terdiri dari sirih-pinang, nasi, darah dan daging. Kalau mereka menjalankan upacara keagamaan secara Kristen Katolik, mereka mempersembahkan barang-barang persembahan dalam bentuk hostia dan anggur kepada Tuhan yang dipercayai berubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Ini hanya salah satu contoh perbedaan yang sangat mendasar. Masih ada lagi banyak perbedaan-perbedaan yang tidak dapat didamaikan antara kedua agama ini. Akibatnya masyarakat suku Buna’ membenarkan diri dengan mengatakan bahwa membawa persembahan kepada leluhur, roh-roh dan Yang Maha Tinggi itu hanyalah adat. Mereka menyatakan diri katolik dan tidak lagi menganut agama asli mereka.

Entah pembelaan diri atas cara apa pun, tetap ada dua agama, bertemu dalam diri orang-orang yang sama, orang-orang suku Buna’. Dalam agama suku atau agama asli, mereka percaya kepada Hot Esen , Yang Mahatinggi. Atas dasar kepercayaan yang jelas-jelas tertuju kepada Hot Esen inilah penulis memberikan nama kepada agama asli suku Buna’, agama Hot Esen. Agama Hot Esen dengan Agama Kristen Katolik merupakan dua agama yang berbeda. Dua agama ini tidak dapat dipertemukan apalagi dipersatukan. Atau memeluk agama asli atau memeluk agama Kristen Katolik. Tidak mungkin keduanya disatukan atau dicampur-adukkan.

(4)

4

Sumba Timur dan Helena mengadakan penelitian di kalangan masyarakat Mondo di Manggarai, Flores. Dharmaputra menyatakan dengan jelas peranan agama dalam tindakan masyarakat sebagai manifestasi dari nilai-nilai agama yang dipercayai (Dharmaputra 2010: 250). Analisis ini berhenti pada agama. Tindakan masyarakat sebagai manifestasi dari nilai-nilai agama merupakan suatu hasil dari hakikat manusia itu sendiri yang mempunyai kemampuan untuk beragama. Hakikat manusia itu sampai sekarang lazim diketahui sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berbadan dan berjiwa, makhluk berakal budi, makhluk sosial. Penelitian Helena mulai dari kepercayaan masyarakat Mondo kepada leluhur sebagai modal spiritual sampai kepada kemampuan membangun sebagai penghayatan spiritual mereka (Helena 2011:256). Di sini ada keterpaduan antara spiritual capital, religious capital dan social capital. Tetapi tidak secara khusus menyoroti apa itu spiritual capital. Jadi kedua peneliti memberikan sumbangan kepada dunia ilmu pengetahuan di bidang pembangunan tentang modal spiritual yang dinyatakan dalam religious capital dan social capital.

Dua kenyataan yang diungkapkan oleh dua peneliti, Dharmaputra (2010) dan Helena (2011) tentang peranan religious capital dan spiritual capital dalam pembangunan merupakan temuan yang membutuhkan kajian lebih lanjut. Religious capital itu muncul dari spiritual capital. Dan spiritual capital tidak sama dengan religious capital. Dalam hal ini religious capital dan spiritual capital erat berkaitan dan menjadi satu mata rantai keberadaan manusia: spiritual capital memampukan manusia untuk beragama dan religious capital memampukan manusia untuk mengungkapkan kesadaran manusia akan adanya roh dan Roh baik dalam diri maupun di luar diri manusia.

(5)

5 Perumusan ini penulis pandang sebagai satu rumusan yang tepat dan memadai untuk menganalisis pola pikir dan pola tindak manusia dalam pembangunan diri, sesama dan alam sekitar.

SPIRITUAL CAPITAL

IDENTIK DENGAN MODAL NURANI

Agama berkembang bersamaan dengan kemajuan kebudayaan manusia. Agama dapat dibedakan atas tingkat-tingkat kemajuan mulai dari agama primitif sampai kepada agama yang lebih maju seperti agama-agama monotheis. Tapi dalam spiritual capital, tidak ada gradasi atau tingkat-tingkat. Orang yang memeluk agama monotheis seperti Yahwismus, Kristen atau Islam tidak dapat dikatakan memiliki spiritual capital yang lebih maju dari suku-suku yang dikelompokkan sebagai suku-suku primitif. Setiap manusia mempunyai modal nurani yang sama dengan manusia yang lain. Nurani inilah yang dalam tulisan ini diistilahkan dengan spiritual capital dalam kaitan dengan kegiatan manusia sebagai manusia pembangun.

Dengan material capital atau modal nafsu, orang mengupayakan kebutuhan jasmaninya. Di sini modal nurani bertemu dengan modal nafsu (dalam arti positif) untuk mendaya-gunakan benda-benda baik benda mati maupun benda hidup seperti tumbuhan dan hewan di dalam alam untuk kepentingan manusia. Modal nafsu atau dorongan dalam diri manusia untuk memanfaatkan alam ini masuk dalam kategori material capital. Modal nalar atau intellectual capital mendorong orang untuk berpikir tulus dan jujur terhadap orang lain. Inilah intellectual capital atau modal nalar yang didorong oleh spiritual capital untuk membuat manusia itu berpikir jernih. Dengan modal nurani sebagai spiritual capital orang dapat berperilaku sebagai manusia yang berbudi luhur. Dalam hal ini spiritual capital mendorong social capital agar orang berada bersama orang lain dalam kesamaan derajat sebagai sesama manusia.

(6)

6

Nurani disaring oleh nalar dan diperkaya oleh naluri dan ditampung oleh nafsu. Manusia tanpa nurani, akan bersikap ganas terhadap sesama dan alam. Manusia tanpa nalar akan bertindak tanpa arah dan tujuan. Manusia tanpa naluri akan hidup menyendiri dan terasing di dunia ini. Manusia tanpa nafsu akan menjadi kerdil dan menolak kehidupan. Pernyataan-pernyataan ini yang dicari pembuktiannya dalam masyarakat suku Buna’. Ternyata dalam kehidupan mereka sehari-hari yang sedang mengalami perubahan dalam segala segi kehidupan mereka, termasuk dalam hal beragama, empat capital ini menyatu dan itulah yang menjadi daya yang kuat untuk mendorong manusia suku Buna’ itu hidup menantang berbagai gelombang perubahan zaman.

SPIRITUAL CAPITAL

DASAR PERSATUAN MANUSIA

Studi tentang nurani masyarakat suku Buna’ di DHL ini adalah upaya untuk menjawab pertanyaan, apakah spiritual capital itu mempunyai peranan yang sentral dalam pembangunan atau tidak? Apa kaitan antara spiritual capital dengan capital yang lain, material capital, intellecual capital dan social capital dalam diri masyarakat suku Buna’? Apa peranan dari spiritual capital dalam kaitan dengan tiga capital yang lain? Ini menjadi pertanyaan pokok.

(7)

7 tidak bisa atas dasar agama yang dianut tetapi harus atas dasar kemanusiaan yang mempunyai empat capital itu dalam dirinya.

PERUBAHAN DAN RISIKONYA

Perubahan yang dialami suatu kelompok masyarakat adalah sesuatu hal yang lumrah dan alami. Hal itulah yang dialami oleh masyarakat suku Buna’’1 di pulau Timor. Jumlah anggota suku Buna’ ini

tidak terlalu banyak, diperkirakan enam puluh ribu orang, tiga puluhan ribu ada di Timor Indonesia dan tiga puluhan ribu ada di Timor Leste. Sadar atau tidak sadar, mereka sedang menghadapi satu tantangan besar, bertahan hidup atau punah. Bukan punah secara fisik tetapi punah secara kultural. Paling tidak sedang mengalami kekaburan jati diri sebagai satu suku. Itulah suku Buna’ di pedalaman Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.

Banyak unsur-unsur adat kebiasaan yang berasal dari leluhur sedang ditinggalkan. Tetapi ada satu hal yang masih kuat bertahan, kesadaran akan adanya leluhur, roh-roh dan Yang Maha Tinggi. Kesadaran ini adalah kesadaran akan adanya dunia roh. Kesadaran akan adanya dunia roh hanya dapat terjadi karena dalam diri manusia itu sendiri ada roh. Manusia itu terdiri dari unsur jasmani dan roh. Kesadaran ini merupakan kesadaran rohani. Kesadaran rohani ini yang menjadi kemapuan untuk berkontak dengan roh-roh. Kemudian kesadaran dan kemampuan rohani ini yang disebut dengan istilah spiritual capital. Masyarakat suku Buna’ tetap bertahan dalam segala terpaan pengaruh dari dalam dan dari luar itu karena spiritual capital ini.

Setiap orang, setiap kelompok manusia mempunyai spiritual capital. Hal itu suatu kenyataan dasar dari keberadaan manusia. Kebenaran inilah yang ditelusuri melalui studi tentang suku Buna’ di pedalaman Pulau Timor. Perubahan lahiriah didasarkan pada modal dasar ini, spiritual capital. Ada lagi capital yang lain yang sama-sama

1 Nama suku Buna’ ini ditulis Bunaq oleh peneliti asal Perancis, Louis

(8)

8

terdapat dalam diri manusia yaitu material capital (nafsu), intellectual capital (nalar) dan social capital (naluri). Spiritual capital itu bukan agama. Agama itu muncul karena spiritual capital ini. Orang yang sadar akan adanya roh, mempunyai modal untuk beragama. Modal untuk beragama inilah yang dinamakan religious capital. Masyarakat suku Buna’ beralih dari agama mereka agama Hot Esen ke agama Kristen Katolik. Perubahan terjadi dalam beragama, tetapi tidak berubah dalam spiritual capital.

Sejauh mana ada perubahan yang dalam bentuk penyesuaian, pergeseran dalam religious capital atas dasar spiritual capital ini? Sejauh mana spiritual capital itu diseleksi oleh intellectual capital? Dan bagaimana spiritual capital itu diwujudkan dalam kebesamaan dengan orang lain dalam pemunculan social capital? Dan spiritual capital itu tidak melayang saja. Dia terungkap secara nyata dalam diri manusia dan benda-beda serta alam sekitar yang dikenal sebagai material capital. Dalam tulisan ini setiap capital itu diuraikan tersendiri lalu diungkapkaan keterkaitan empat capital itu satu sama lain dalam perubahan satu kelompok masyarakat, dalam hal ini suku Buna’.

Perubahan yang ada ternyata perubahan lahiriah. Hal yang paling mendasar yang tidak berbuah, yaitu spiritual capital yang dinyatakan dalam kepercayaansuku Buna’ pada adanya arwah leluhur, roh-roh dan Yang Mahatinggi.

Orang Buna’ itu sudah seratus tahun lebih memeluk agama Kristen Katolik, tetapi ritus-ritus agama asli mereka, agama Hot Esen2,

tetap dipertahankan. Kebiasaan lain sudah mereka rubah sesuai keadaan

2 Dalam seluruh tulisan ini penulis memakai istilah agama Hot Esen untuk

(9)

9 zaman seperti kebiasaan hidup perkawinan, kekerabatan, mata pencaharian, sistem kepemimpinan, pola makan dan hiburan. Satu hal yang paling jelas, kebiasaan suku Buna’ yang biasa makan ubi telah berubah ke kebiasaan makan nasi, malah ada loncatan jauh ke depan, sudah berkenalan dengan roti dan terbiasa makan roti. Ini salah satu gejala perubahan yang mendasar dan menonjol. Oleh karena itulah tulisan ini diberi judul, Dari ubi ke roti. Ubi yang menjadi makanan harian telah ditinggalkan dan diganti dengan nasi, malahan roti dari terigu dianggap sebagai makanan elit, simbol kemajuan dan status sosial. Inilah perubahan yang sedang terjadi. Ada suatu perubahan yang mengarah kepada memudarnya jati diri.

Keprihatinan dan kekhawatiran akan memudarnya jati diri suku Buna’ inilah yang menjadi motivasi awal dari tersusunnnya tulisan ini. Mereka nanti akan tercatat hanya dalam ingatan dan catatan sejarah kebudayaan kalau keadaan yang sekarang berjalan tidak segera ditangani secara tepat. Cepat atau lambat kelompok ini sedang mengalami perubahan yang mengarah kepada kehilangan segala-galanya, bukan hanya harta fisik tetapi lebih dari itu, kehilangan jati diri. Jati diri yang dimaksudkan di sini adalah harta kekayaan budi berupa akumulasi pengalaman bathiniah yang mewujud dalam penampilan diri pribadi dan kelompok suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

Harta kekayaan budi ini menjadi pendorong (motivator) sekaligus penyemangat (inspirator) dan penarik (aspirator) masyarakat untuk berubah. Jadi ada tiga dimensi dari harta kekayaan budi ini, yaitu motivator, inspirator, aspirator. Harta kekayaan budi itulah yang disebut capital atau modal yang tak ternilai dalam pribadi dan kelompok suatu masyarakat, suatu modal rohani. Dan dalam seluruh tulisan ini, harta kekayaan budi sebagai capital atau modal ini diungkapkan dengan istilah spiritual capital (Danah Zohar & Ian Marshall, 2004).3

3 Istilah spiritual capital ini dipopulerkan oleh Danah Zohar & Ian Marshall,

(10)

10

Untuk menelusuri akar terdalam dari sumber ketahanan mereka inilah dibuat penelitian selama lima tahun, 2006 sampai 2011 ditambah dengan perbendaharaan pengalaman dan pengetahuan penulis tentang suku Buna’ ini dengan pendampingan dari para promotor dan ko-promotor di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Demi intensitas penelusuran ini maka dipilihlah satu kelompok yang merupakan satu kesatuan adat dalam suku Buna’ yaitu: kelompok masyarakat desa Henes dan Lakmaras yang warganya terdiri dari 1.607 jiwa (laki-laki: 824 jiwa; perempuan: 783 jiwa) pada tahun 2010. Jumlah kepala keluarga, 319 KK : desa Henes ada 104 KK dan desa Lakmaras ada 215 KK (Data statistik desa Henes dan Lakmaras 2010). Kelompok orang Buna’ dari dua desa inilah yang dipilih sebagai kelompok contoh ( sampel ) dari keseluruhan suku Buna’.

Masalah yang diteliti itu menyangkut ketahanan masyarakat suku Buna’ dalam mempertahankan eksistensi mereka yaitu apa modal dasar atau capital yang mereka miliki untuk bertahan selama ini biarpun ada berbagai pengaruh yang sedang mengikis ketahanan diri mereka sebagai satu kelompok etnis yang namanya suku Buna’.

Apakah ketahanan mereka itu bersumber dari kuatnya pendaya-gunaan modal berupa material capital dalam bentuk benda-benda jasmaniah seperti alam sekitar, lingkungan hidup dan harta milik? Ataukah ketahanan mereka itu disebabkan oleh kuatnya pendaya-gunaan modal berupa intellectual capital dalam bentuk kearifan lokal, falsafah hidup? Ataukah ketahanan hidup mereka disebabkan oleh ketatnya pendaya-gunaan modal sosial atau social capital berupa tali kekerabatan serta ikatan suku? Ataukah ketahanan hidup ini disebabkan oleh pendaya-gunaan modal yang lain yang lebih mendasar tetapi yang tak kelihatan yaitu spiritual capital, yang terdiri dari kekuatan dari kepercayaan akan adanya roh dari leluhur, roh penghuni langit dan bumi dan Roh Yang Maha Tinggi?

(11)

11 Dalam penelurusan yang melelahkan tetapi membahagiakan tentang peri kehidupan orang-orang Buna’ yang diwakili oleh kelompok masyarakat desa Henes dan Lakmaras, ternyata dari empat capital ini, material capital, intellectual capital, social capital, spiritual capital, yang paling kuat pengaruhnya ialah: spiritual capital. Spiritual capital sendiri tidak lain dari ”kekuatan, pengaruh dan keadaan yang muncul dari kepercayaan, pengetahuan dan praktek rohani dari seseorang atau suatu organisasi, baik perorangan maupun kelompok” (Danah Zohar, 2004).

Pengaruh dari spiritual capital di kalangan masyarakat Buna’ inilah yang diamati, ditelusuri dan diteliti oleh penulis dalam jangka waktu lima tahun, dari tahun 2006 sampai 2011, dan hasilnya dirumuskan lalu dituliskan dalam tulisan ini.

MENEMUKAN SPIRITUAL CAPITAL

DI KALANGAN SUKU BUNA’

Proses mempelajari makna dan peran spiritual capital di kalangan suku Buna’ ini melelahkan namun membahagiakan penulis. Dalam seluruh tulisan ini penulis menyajikan hasil pengkajian dan pendalaman masalah spritual capital dalam keterkaitan dengan tiga capital yang lain. Dalam Bab 2 penulis mengkaji teori-teori tentang spiritual capital, apa itu spiritual capital, bagaimana perkembangan pemahaman ini dan apa saja pengaruhnya dalam kehidupan suatu masyarakat yang dalam penelitian ini difokuskan pada masyarakat suku Buna’ di Desa Henes dan Lakmaras (DHL).

(12)

12

Dalam Bab-bab empirik penulis menghimpun berbagai inormasi, data dan fakta tentang masyarakat suku Buna’ di DHL untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pemaknaan spiritual capital oleh masyarakat DHL dalam hidup sehari-hari. Secara berturut-turut dalam Bab 4 dikemukakan hasil penelitian empirik tentang orang Henes-Lakmaras dalam keseharian mereka. Mereka bekerja, bergaul seperti biasa namun dasar terdalam dari kebiasaan berkerabat itu ialah kesadaran akan modal nurani atau spiritual capital.

Dalam Bab 5 dikemukakan kenyataan tentang masyarakat DHL, bagaimana mereka menata kekerabatan melalui perkawinan. Seluruh anggota masyarakat suku Buna’ di DHL itu terikat dalam tali kekerabatan yang dipercayai sebagai warisan leluhur. Ikatan perkawinan dikukuhkan dengan tahap-tahap ritual yang sarat dengan keterlibatan leluhur dan roh-roh. Ini suatu kesadaran masyarakat akan adanya spiritual capital dalam diri pribadi dan dalam masyarakat.

Dalam Bab 6 dikemukakan hasil penelitian tentang sistem kepemimpinan lokal dan perekonomian rakyat. Pemimpin lokal yang secara hirarkis tersusun mulai dari raja, fetor, temukung dan kabu diyakini sebagai warisan leluhur yang dikukuhkan oleh roh-roh sebagai perantara antara manusia dan Yang Mahatinggi. Atas dasar ini masyarakat sangat menghormati orang-orang bangsawan sebagai perpanjangan tangan Yang Mahatinggi. Para bangsawan ini ada untuk mengatur masyarakat, menata lingkungan dan menegakkan norma-norma adat. Pada pundak mereka ada tanggung-jawab untuk menjamin masyarakat untuk berpenghasilan cukup melalui usaha pertanian dan peternakan. Hasil panen diberikan kepada para bangsawan ini bukan merupakan upeti melainkan sebagai tanda terimakasih atas jasa mereka dalam menata dan melindungi masyarakat.

(13)

13 dipertahankan seperti adu ayam. Permainan ini pun mempunyai nilai-nilai rohani yang berasal dari spiritual capital yang dimiliki masyarakat. Dalam Bab 8 dikemukakan temuan tentang pandangan orang Buna’ di DHL mengenai Hot Esen sebagai esensi religi orang Buna’. Mereka dituduh oleh pihak Gereja Katolik sebagai penyembah berhala. Ternyata tuduhan itu tidak benar karena masyarakat suku Buna’ percaya akan adanya arwah leluhur sebagai pelindung, roh-roh baik dan roh-roh jahat sebagai makhluk yang diberi tempat dalam ritus-ritus dan Roh Mahatinggi yang disembah sebagai Pencipta dan Pemberi rahmat untuk orang-orang yang hidup . Dalam Bab 8 ini muncul dengan sangat jelas peranan spiritual capital sebagai modal yang mendorong orang Buna’ untuk memuja dan beribadat kepada Yang Mahatinggi sesuai alam pikiran mereka.

Seluruh uraian ini dipadukan dalam Bab 9 sebagai sintese dari semua Bab empirik. Dalam sintese ini dikemukakan arti dan peranan spiritual capital dalam pembangunan. Spiritual capital tidak berdiri sendiri. Dalam keterpaduan dengan tiga capital yang lain, pembangunan akan berjalan dengan baik dan membawakan hasil yang bermanfaat untuk manusia.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Tipe masyarakat (apakah mandiri atau tergantung) sangat ditentukan oleh kelas yang mendominasi, kalau birokrasi yang menguasai / mendominasi tidak berorientasi ke publik, maka

keputusan pembelian sepeda motor matic merek Honda Beat di Ambulu Jember. Variabel model menjadi faktor yang paling dominan terhadap

dipengaruhi cuaca selama penanaman, pada tahun 2013 dan 2015 rerata suhu maksimal mencapai 36.98 o C dan 37.33 o C dimana suhu tersebut lebih tinggi dibandingkan rerata

pengelolaan potensi wisata yang berwawasan lingkungan sering berbenturan dengan konsep pembangunan pemerintah, terutama dalam menjadikan suatu kawasan ekowisata sebagai aset

ZOFYAN HARLOKI, S-Pt YASIRLI, S.IP, MM. DONI H-ELMIYADI,

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Tata cara tetap pelaksanaan pengaturan penerimaan hasil pungutan biaya administrasi surat izin mengemudi dan sistem serta prosedur administrasi, diatur lebih lanjut

Membuat sambungan las dengan menggunakan las cair busur listrik dengan cara yang.. benar, dan dilakukan