• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KONSELING POSITIVE PEER CULTURE UNTUK MENINGKATKAN INTERAKSI SOSIAL SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH INKLUSIF :Studi Pengembangan Model Konseling Bagi Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif MAN, Daerah Istimewa Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL KONSELING POSITIVE PEER CULTURE UNTUK MENINGKATKAN INTERAKSI SOSIAL SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH INKLUSIF :Studi Pengembangan Model Konseling Bagi Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif MAN, Daerah Istimewa Yogyakarta."

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ... i

MOTTO ... ii

PERNYATAAN... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GRAFIK ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I PENDAHULUAN………...…...….... 1

A. Latar Belakang Penelitian ...……...……... 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... .. 16

C. Tujuan Penelitian ... ... 20

D. Asumsi Penelitian ... .. 21

E. Manfaat Penelitian ………... 22

F. Struktur Organisasi Disertasi …………... 23

BAB II KONSELING POSITIVE PEER CULTURE UNTUK MENINGKATKAN INTERAKSI SOSIAL SISWA TUNANETRA ... 24

A. Konsep Pendidikan Inklusif ... 24

B.Konsep Interaksi Sosial ... 28

C.Konsep Ketunanetraan ... 42

(2)

ii

E. Konseling Positive Peer Culture dalam Mengatasi

Masalah Interaksi Sosial ... 78

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 88

BAB III METODE PENELITIAN ... 94

A. Pendekatan Penelitian ... ... 94

B. Operasionalisasi Variabel ... 95

C. Pengembangan Alat Pengumpul Data ... 101

D. Subyek dan Seting Penelitian ... ... 110

E. Prosedur Penelitian ... ... 112

F. Analisis Data ... 119

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 123

A. Hasil Penelitian ... ... ... 123

B. Pembahasan ... 233

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 246

DAFTAR PUSTAKA ... 251

LAMPIRAN DISERTASI ... 257

Lampiran I Instrumen Penelitian ... 258

Lampiran II Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra Dan Kategori Masalah ... 267

Lampiran III Tabel Perhitungan Hasil Intervensi Model Konseling PPC..... 276

Lampiran IV Model konseptual/Hipotetik Konseling PPC ... 312

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pada tahun 2000, UNESCO mengumandangkan seruan Internasional

Education For All (EFA) untuk menggalakkan penuntasan Wajib Belajar

Pendidikan Dasar. Pada sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, seruan

EFA ini ditanggapi dengan munculnya bentuk layanan baru pendidikan bagi anak

berkebutuhan khusus berupa layanan sekolah inklusif. Indra Djati Sidi, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tanggal 20 Januari 2003 mengeluarkan surat perintah Nomor: 380/C.C6/MN/2003 kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inklusif dengan cara menentukan, memfasilitasi, dan membina sekolah perintis pendidikan inklusif.

(4)

kegiatan sosial dan bahkan lebih banyak yang bersifat reseptif, sehingga anggapan

skeptis bahkan suatu stigma atau cap bahwa tunanetra berperilaku kaku (rigidity)

ketika bersosialisasi dengan masyarakat. Tunanetra sering menunjukkan adanya kepribadian dan gerakan yang kaku, hal ini menurut Hadi (2002: 64) disebabkan oleh :

(1) Kurangnya ekspresi dan gerak-gerik muka atau aktivitas tubuh, sehingga memberikan kesan kebekuan muka atau kelangkaan gerak (rigidity); (2) Rigidity dalam gerak dan tingkah laku yang merupakan akibat dari terhambatnya orientasi dan mobilitas, sering diperlihatkan dengan pola tingkah laku adatan ( blindsm ).

Menguasai keterampilan interaksi sosial bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, karena untuk mencapai keterampilan interaksi sosial harus melalui kesiapan psikologis dan pengalaman melalui kegiatan belajar. Belajar adalah proses yang intensitasnya dipengaruhi oleh faktor motivasi dalam diri dan faktor pengaruh dari lingkungan. Berkaitan dengan kemampuan interaksi antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus, Hadis (2003: 46) mengemukakan bahwa tingkat kesulitan pemenuhan kebutuhan interaksi sosial oleh anak berkebutuhan khusus lebih tinggi dibanding siswa normal pada umumnya.

Anak berkebutuhan khusus memiliki harapan untuk dapat diterima oleh masyarakat secara wajar serta dapat melaksanakan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial. Namun karena keterbatasannya, maka anak berkebutuhan khusus memiliki kendala/hambatan dalam kegiatan sosial. Soe (2003: 421) mengemukakan bahwa:

(5)

ketidakacuhan sampai pada kurangnya pemahaman, sehingga menjadi

overprotektif atau bahkan terlalu simpati; (3) Individu normal seringkali

tidak mengetahui bagaimana cara merespon individu penyandang cacat. Beberapa masalah perilaku siswa tunanetra yang sering muncul akibat terhambatnya orientasi dan mobilitas menurut Hadi (2002: 67) meliputi: asyik dengan diri sendiri (self centered), perilaku menutup diri, sangat sensitif, pasif, mudah putus asa, dan tidak dapat menyesuaikan diri pada lingkungannya apalagi dalam keadaan dan situasi lingkungan yang baru. Silberman (Friend, 2005: 426) mengemukakan bahwa beberapa siswa dengan kelemahan penglihatan mempertunjukkan perilaku stereotypic, yaitu pengulangan perilaku yang tidak berkaitan dengan koreksi fungsi penglihatan, contoh: menekan mata, mengibaskan jari, mengayun-ayun kepala atau badan, dan memutar-mutar kepala. Menurut School (Mason, 1997: 36) itu terjadi karena ketidakhadiran atau tiadanya rangsangan yang berhubungan dengan perasaan, pergerakan dan aktivitas yang terbatas dalam lingkungan, dan gangguan sosial. Menurutnya para profesional mencoba mengurangi atau menghapuskan perilaku ini dengan membantu siswa meningkatkan aktivitas, penggunaan strategi perilaku seperti penghargaan atau mengajar alternatif, dan perilaku positif. Untuk mengurangi perilaku stereotypic dan rigidity pada siswa yang memiliki gangguan penglihatan terutama yang belajar di sekolah inklusif, Friend (2005: 424) mengusulkan kegiatan, yaitu:

(6)

Beberapa studi tentang konseling teman sebaya melaporkan bahwa konseling teman sebaya efektif membangun komunikasi dalam aspek kehidupan remaja (Myrick,1993: 27). Kerjasama yang baik dalam kelompok sebaya terutama pada siswa-siswa di sekolah menengah dapat meningkatkan hubungan sosial pada warga belajar di sekolah (Meiyani, 2000). Rusch (1990: 145) menyimpulkan dari beberapa penelitian, mengemukakan bahwa dalam lingkungan akademis, anak-anak yang tidak diterima oleh teman sebaya (peers) mereka, sering tidak masuk sekolah dan tidak mengalami sukses akademis sebanyak bila teman sebaya (peers) menerima mereka. Hasil penelitian evaluasi oleh Heung (2005: 15), secara empiris disampaikan tentang rintisan sekolah integrasi di Hongkong, sejumlah 117 sekolah rintisan menunjukkan bahwa inklusif memerlukan proses penerimaan dan budaya kolaborasi yang besar diantara kelompok siswa; Sikap siswa awas yang positip membantu sosialisasi siswa tunanetra (Aryanto, 2005), Hasil penelitian yang dilakukan mengenai konseling teman sebaya, ternyata model bantuan teman sebaya dapat meningkatkan daya resilience anak asuhan panti sosial (Suwarjo, 2008). Hubungan teman sebaya (peer relationships) khususnya dalam kegiatan bermain, memainkan peranan penting dalam perkembangan kompetensi sosial anak, dan perkembangan kompetensi sosial pada masa kanak-kanak itu sangat menentukan kualitas individu pada masa-masa kehidupan selanjutnya (Tarsidi, 2007).

(7)
(8)

sebuah pusat perawatan swasta di Duluth. Skala konsep diri diberikan dalam tiga tahap pada masing-masing program layanan, dan data yang dilaporkan pada tiga skala instrumen. Pada skala general maladjustment dan personality disorder, ada perbaikan yang signifikan secara statistik pada siswa baru dan siswa senior. Setelah terlibat dalam kelompok PPC, siswa secara signifikan berubah dalam arah yang diinginkan (meningkatkan konsep diri dan lebih rendah penyimpangan terhadap nilai-nilai) pada 13 dari 15 tindakan. Hanya dua perilaku yang tidak menunjukkan perubahan yaitu psychosis dan personality integration. Tercatat bahwa siswa dalam PPC secara signifikan berhasil meningkatkan konsep diri yang positif. Secara khusus, siswa yang nakal, melakukan tindakan pertentangan, tak dpt menyesuaikan diri, memiliki perasaan yang rendah dalam anggota keluarga, dan menganggap dirinya rendah dalam adat istiadat sosial atau etika, setelah melalui program PPC tindakan tersebut sebagian besar telah dihilangkan.

(9)

digunakan oleh guru dalam melaksanakan bimbingan untuk mengembangkan kemampuan bersosialisasi bagi tunanetra di sekolah umum. Berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut dapat digambarkan bahwa siswa tunanetra yang belajar di sekolah umum (sekolah inklusif) masih banyak menghadapi masalah. Masalah-masalah yang dihadapi siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah disebabkan oleh ketidaksiapan secara psikologis dalam menghadapi lingkungan sekolahnya, serta belum atau kurang memiliki pengetahuan/ keterampilan interaksi sosial, sehingga diperlukan bantuan konseling yang layananya lebih mengarah kepada mengidentifikasi masalah psikologis dengan pendekatan yang mampu membantu mengidentifikasi masalah dan mencarikan jalan keluar untuk penguasaan pengetahuan dan keterampilan interaksi sosial.

Shelvin (2005: 6) dalam penelitiannya mengemukakan beberapa masalah yang dihadapi individu akibat kecacatannya (berkebutuhan khusus), yaitu:

(1) Ejekan dan perlakuan kasar, merupakan isu yang lebih luas dibandingkan persahabatan, (2) Iklim sosial di dalam kelas berperan penting dalam penyetaraan martabat dan belajar, tetapi para guru seringkali sibuk dengan urusan kurikulum dan ujian, (3) Setiap orang memerlukan strategi untuk menanggapi secara berani setiap bahasa dan tingkah laku yang menindas, 4) Para siswa yang belajar di kelas inklusif, bertanya `apa yang harus kita pikirkan dan usahakan agar semua orang berpartisipasi aktif dalam belajar?`.

(10)

1) Ada seorang tunanetra yang cukup cerdas. Cita-citanya adalah menjadi seorang pengacara yang berhasil. Dalam perjalanan menuju cita-cita ia mendapat tantangan dari berbagai pihak. Sikap orang disekelilingnya tidak bersifat motivasional, bahkan sebagian besar menolak atau menganjurkan untuk menghentikan saja cita-cita itu, bahkan sering terdengar kata-kata “bagai pungguk merindukan bulan”.2) Seorang tunanetra yang lain senantiasa mendapat pertolongan yang berlebihan dari orang atau masyarakat sekitarnya.

Masyarakat beranggapan bahwa kecacatannya menutup kemungkinan bagi tunanetra untuk mencapai cita-cita tersebut. Sikap negatif masyarakat seperti inilah yang merupakan hambatan atau rintangan bagi tunanetra. Dilain pihak, masyarakat justru memberikan bantuan yang berlebihan, sehingga justru membuat tunanetra menjadi tidak mandiri atau selalu bergantung secara total pada pertolongan orang lain. Ketergantungan pada orang lain di sekitarnya secara total itulah yang menjadi anca atau handicap pada tunanetra ini. Tunanetra yang menggantungkan dirinya kepada orang lain secara total tidak akan mempunyai kemandirian, sehingga pada dirinya berkembang suatu anca yang hal ini juga merupakan dampak dari ketunanetraan.

(11)

dampak personal atau dampak individu, yaitu dampak ketunanetraan yang langsung dialami oleh penderitanya. Kerusakan organ mata dan terganggunya fungsi penglihatan akan memberikan reaksi negatif bagi penyandangnya. Reaksi

negatif tersebut terbentuk dalam tingkatan yang bervariasi, yaitu: (1) Ketunanetraan akan membawa akibat langsung pada penyandangnya, yaitu

(12)

Tunanetra walaupun mengalami kekurangan pada masalah penglihatan, namun tetap mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dengan mewujudkan dalam peran sosial (sosial role) di lingkungan masyarakatnya. Akibat terjadinya kecacatan atau berkebutuhan khusus penglihatan dalam lingkup kehidupan yang luas, akan menimbulkan pandangan atau reaksi yang beragam pada masyarakat. Reaksi masyarakat atas keberadaan tunanetra bisa bersifat positif maupun negatif. Pandangan masyarakat yang bersifat negatif, misalnya : bersikap masa bodoh

(apriori), menganggap tunanetra kurang atau tidak berkepribadian, menganggap

tunanetra selalu bergantung pada orang lain. Secara psikologis pandangan negatif dari masyarakat tersebut menyebabkan tunanetra mempunyai masalah perilaku dalam berinteraksi sosial. Sigelman (Mason,1997: 27) mengemukakan bahwa

handicap yang terjadi disebabkan oleh perasaan tidak beruntung atau kesulitan

dalam melakukan perbuatan sesuai fungsi-fungsi kehidupan secara normal, disebabkan oleh harapan atau sikap-sikap seseorang atau masyarakat terhadap penyandang cacat. Sudah sangat jelas bahwa seorang tunanetra adalah penyandang cacat, hal itu adalah kenyataan yang tidak perlu dan memang tidak dapat diingkarinya. Cacat yang disandangnya berakibat ketidakmampuan atau berkesulitan untuk melakukan sesuatu tugas atau kegiatan tertentu, terutama dalam interaksi sosial. Ketidakmampuan yang diakibatkan oleh kecacatannya sebagian besar dapat ditiadakan melalui konseling dan berbagai latihan dan atau pendidikan, namun hal tersebut belum tentu diperoleh oleh tunanetra.

(13)

dalam memperoleh bimbingan perkembangan. Jadi secara langsung ataupun tidak langsung sikap orang lain yang tidak cacat menjadi penghalang atau handicap bagi tunanetra untuk meniadakan atau memperkecil berbagai ketidakmampuan berinteraksi sosial yang dialami. Terhadap sikap negatif tersebut, penyandang tunanetra akan bereaksi dengan jalan berupaya untuk berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Berhasil atau gagalnya tunanetra dalam mengatasi

anca atau handicap dipengaruhi oleh sikap masyarakat yang awas, sikap

penyandang tunanetra sendiri, dan keadaan atau situasi lingkungan.

Menurut Yeo (2007: 9) daya dorong perlunya pendekatan konseling dalam pemecahan masalah, adalah:

... untuk membantu klien dengan memperkenalkan masalah, walaupun demikian konseling diselenggarakan dengan cara memberi perhatian kepada orang dan hubungan dengan dunianya, bukannya hanya dengan masalahnya. Penekanannya adalah pada membantu klien mendukung sumber daya yang tersedia padanya dan menjadi merasa terikat dengan memanage permasalahan hidup dengan percaya diri (self-reliance).

(14)

yang kondusif lebih mudah memberi penguatan positif daripada penguatan negatif terhadap perubahan perilaku kearah yang efektif.

Penelitian yang dilakukan Aryanto (2005: 52-67) tentang Sikap Siswa Awas Terhadap Siswa Tunanetra Yang Belajar Di SMU, menunjukkan bahwa siswa awas bersikap positif dalam memahami dan menerima keberadaan tunanetra pada proses pembelajaran di sekolah umum, data hasil penelitian yang berkaitan dengan interaksi sosial sebagian besar menyatakan setuju sampai sangat setuju untuk pernyataan positip dalam prosentase antara 56,66 % sampai dengan 80,11 %. Untuk pernyataan negatif sebagian besar menyatakan sangat tidak setuju dalam prosentase antara 23,44 % sampai dengan 32,77 %. Persentase hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar siswa awas disekolah reguler menunjukkan sikap positif dalam mendorong siswa tunanetra untuk belajar secara akademik dan sosial. Dengan potensi sikap positif yang ditunjukkan oleh siswa awas, maka dalam proses bantuan bimbingan konseling, siswa tersebut bisa dijadikan mitra konselor dan guru dengan mengembangkan sebagai peer

counseling fasilitator . Tugas konselor dan guru berikutnya adalah

mengupayakan terbentuknya sebuah peer yang efektif, dengan menyusun kegiatan yang membentuk kelompok siswa menjadi positive peer culture.

(15)

terbiasa dengan pendekatan berbeda. Implikasi dari pendapat tersebut maka bimbingan terhadap tunanetra yang mengalami masalah, baik masalah ketidaksiapan psikologis maupun kurangnya kemampuan keterampilan interaksi sosial, serta kebutuhannya terhadap bantuan dari orang lain yang friendly dan

helpfull dalam pengembangan kegiatan interaksi sosial, maka perlu adanya

kolaborasi pendekatan yang dalam proses konselingnya menggunakan berbagai teknik konseling, serta melibatkan kelompok siswa sebaya yang bersikap positif (positive peer culture).

Layanan pengembangan kehidupan sosial siswa tunanetra yang diharapkan adalah agar siswa tunanetra mampu hidup dan beraktivitas seperti orang normal namun disesuaikan dengan potensi dan kebutuhannya sebagai penyandang tunanetra. Sesuai landasan dasar inklusif Least Restrictive Environment (LRE) dalam layanan terhadap anak berkebutuhan khusus bermaksud agar penempatan anak penyandang berkebutuhan khusus ditentukan atas dasar kebutuhan individu pada tatanan paling tidak terbatas atau yang paling sedikit menghambat. Layanan bimbingan dan pendidikan berupa tatanan yang paling mendekati tatanan normal, tetapi masih memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang diperlukan oleh anak berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai pernyataan Sue (2003: 428) mengenai perkembangan program layanan bagi penyandang cacat adalah:

… telah terjadi pergeseran dalam orientasi program-program bagi individu penyandang cacat, dari pengobatan atau rehabilitasi menjadi `layanan mendekati senormal mungkin` dan mengidentifikasi serta memberdayakan keahlian/ kemampuan yang masih dimiliki.

(16)

Layanan konseling teman sebaya yang telah dilakukan pada persekolahan akan lebih efektif apabila dalam pembentukan kelompok sebaya melalui pengembangan positive peer culture dan mendukung program konseling untuk mengatasi masalah interaksi sosial siswa awas dan seiswa tunanetra di sekolah inklusif.

Pada tahun 2009 layanan pendidikan inklusif juga dilaksanakan oleh Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Maguwoharjo D.I. Yogyakarta. Layanan ini dikhususkan bagi para penyandang kebutuhan khusus yang memiliki kurang penglihatan/siswa tunanetra. Kesempatan inilah yang kemudian digunakan oleh para siswa tunanetra untuk meneruskan pendidikan formal lebih lanjut. Siswa tunanetra yang memilih layanan pendidikan inklusif di MAN Maguwoharjo kebanyakan adalah berasal dari Sekolah Luar Biasa (SLB), sehingga bersekolah di jalur pendidikan formal bersama-sama dengan siswa awas adalah pengalaman yang pertama kali. Keadaan ini menyebabkan terjadinya beberapa masalah, misalnya siswa tunanetra terlihat masih canggung bergaul, kurang terjadi aktifitas interaksi sosial, siswa tunanetra masih bergerombol dengan siswa tunanetra, dan siswa awas masih enggan dan belum mengetahui bagaimana bergaul serta bagaimana cara membantu siswa tunanetra di sekolah.

(17)

bergerombol, siswa tunanetra yang masih enggan keluar dari kelas saat istirahat karena canggung atau malu, dan takut untuk memanggil temannya yang awas.

Hasil observasi di sekolah MAN Maguwoharjo D.I. Yogyakarta tentang keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif menunjukkan bahwa siswa tunanetra masih kesulitan melakukan perjalanan dengan menggunakan tongkat panjang, cara siswa tunanetra dan siswa awas ketika melakukan perjalanan berdampingan kurang menggunakan teknik yang baik, siswa tunanetra masih belum memperlihatkan gerakan mengajak salaman kepada teman awas, siswa tunanetra tidak memberikan respon gerakan tubuh ketika sedang baercakap-cakap, siswa tunanetra kebanyakan masih diam atau pasif dalam kegiatan diskusi di kelasnya, siswa tunanetra masih enggan menjawab atau mengeluarkan pendapatnya, dan siswa tunanetra tidak berani bertanya tentang sesuatu yang sebenarnya dia tidak paham ketika diskusi bersama siswa awas.

(18)

konseling hendaknya berfokus pada pendekatan yang mampu mengidentifikasi masalah dan mengantar ke pemecahan masalah yang dihadapi siswa tunanetra.

Identifikasi masalah, telaah empiris, dan kajian konseptual yang telah dipaparkan, mendasari serta dipandang urgen perlunya pengkajian tentang layanan konseling bagi tunanetra. Perlu mengadakan penelitian suatu model konseling yang mampu mengembangkan kemampuan interaksi sosial pada siswa tunanetra dengan melibatkan dukungan teman sebaya yang memiliki sikap positif (positive

peer culture).

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan dan mencermati latar belakang masalah, maka ada beberapa persoalan yang merupakan masalah mendasar, adalah:

(19)

kepribadian yang negatif, seperti : rendah diri, murung, dan putus asa, Mary Kingsley (Mason, 1997: 23); (4) tunanetra memiliki keterbatasan interaksi dengan lingkungan, akibatnya sering timbul perasaan takut, cemas dan khawatir dalam menghadapi lingkungannya, (Mason, 1997: 28). Perasaan ini akhirnya dapat menyebabkan tunanetra menjadi frustrasi, kesulitan percaya diri, lebih suka menyendiri atau mengasingkan diri, dan kesulitan dalam mengadakan hubungan sosial. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian besar tunanetra mengalami masalah atau beban psikologis, baik yang mempengaruhi pengembangan dirinya maupun dalam rangka berhubungan sosial dengan masyarakat dan lingkungannya. Identifikasi masalah tersebut menjadi landasan perlunya pemberian bantuan konseling terhadap tunanetra dalam mengatasi masalah tingkah laku (kendala intrinsik) yang menghambat interaksi sosial.

(20)

sebaya belum mampu menyesuaikan diri, belum mampu berhubungan/interaksi secara baik dan harmonis. Kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya di sekolah, khususnya teman sebaya di kelasnya merupakan salah satu dari beberapa jenis permasalahan penyesuaian sosial yang dapat mengganggu perkembangan social siswa dalam sekolah.

Identifikasi masalah tersebut menjadi landasan perlunya pemberian bantuan konseling terhadap siswa tunanetra di sekolah inklusif dalam pemberian layanan pengembangan perilaku berinteraksi sosial dan penguasaan keterampilan interaksi sosial. Program layanan konseling disusun dengan menggunakan teknik-teknik konseling yang mampu memotivasi tunanetra untuk melakukan kegiatan interaksi sosial di sekolah inklusif.

(21)

Aryanto (2005: 52-67) menunjukkan bahwa terjadi kontraproduktif dalam hubungan sosial oleh siswa awas terhadap tunanetra di sekolah inklusif, siswa awas memiliki sikap positif terhadap siswa tunanetra, tetapi ternyata siswa awas tidak mengetahui cara merespon dan memberi bantuan terhadap siswa berkebutuhan khusus tersebut.

Data di lapangan menunjukkan bahwa seluruh siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah MAN Maguwoharjo Yogyakarta adalah alumni sekolah dalam layanan Sekolah Luar Biasa (SLB dan SDLB). Sehingga bersekolah di sekolah umum adalah pengalaman baru yang membutuhkan orientasi dan mobilitas lingkungan, kemampuan berinteraksi dengan siswa awas di sekolah, dan kemampuan beradaptasi dengan perilaku-perilaku baru yang muncul dalam pola-pola hubungan sosial di sekolah inklusif. Subyek penelitian siswa tunanetra pada studi pendahuluan terdata sejumlah sembilan siswa tunanetra (tergolong low

vision/kurang penglihatan ringan dan berat, serta totally blind/buta total) yang

duduk di kelas X dan kelas XI.

Identifikasi masalah tersebut menjadi landasan perlunya pemberian bantuan konseling terhadap tunanetra dalam mengatasi gangguan dari lingkungan masyarakat (kendala ekstrinsik) yang menghambat proses interaksi sosial. Konseling diarahkan dengan layanan yang mengembangkan siswa awas teman sebaya untuk berperilaku positif membantu interaksi sosial siswa tunanetra, dengan dikondisikan menjadi teman sebaya positif ( positive peer culture).

(22)

interaksi sosial tunanetra di sekolah inklusif MAN?”. Rumusan masalah utama tersebut dapat dirinci kedalam pertanyaan penelitian yang bersifat operasional, sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran interaksi sosial siswa tunanetra dalam berhubungan dengan siswa awas?

2. Bagaimana rumusan model konseptual dan model operasional desain model konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif?

3. Bagaimana efektifitas desain model konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah penyelenggara inklusif?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan, maka tujuan utama penelitian adalah menghasilkan rumusan model konseling Positive Peer

Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah

inklusif.

Secara operasional, tujuan khusus penelitian adalah untuk :

(23)

3. Mendeskripsikan kondisi interaksi sosial siswa tunanetra yang belajar di sekolah inklusif setelah diberikan perlakuan, meliputi:

a. Kondisi tingkah laku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif.

b. Penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif.

4. Mendeskripsikan efektifitas desain model konseling Positive Peer Culture

(PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial tunanetra di sekolah inklusif.

D. Asumsi Penelitian

1. Corey (2005: 87) mengemukakan bahwa pembentukan perilaku (pola tingkah laku) dengan memberi ganjaran atau penguatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah cara ampuh untuk mengubah tingkah laku seseorang.

2. Peck & Pezzoli (Vorrath, 1985: 140) menyampaikan bahwa para siswa teman sebaya di sekolah yang meluangkan waktu berkualitas dengan teman sekelas yang berkebutuhan khusus akan lebih mudah mengembangkan toleransi dan pemahaman pribadi mereka sendiri daripada perbedaan individu.

(24)

4. Yeo (2007: 9) menyampaikan bahwa proses bimbingan yang melibatkan orang yang benar-benar friendly dan helpfull dalam proses pemberian bantuannya, berimplikasi adanya interaksi atau kedekatan antara konselor dengan konselee. 5. Riola (Samad, 2007: 17) mengemukakan lingkungan sosial yang kondusif lebih

mudah memberi penguatan positif daripada penguatan negatif terhadap perubahan perilaku kearah yang diharapkan.

E. Manfaat Penelitian

Hasil-hasil dari penelitian ini diharapkan berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menyentuh pula aspek guna laksana sebagai tujuan praktis di lapangan. Sesuai dengan rumusan tujuan maka hasil-hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam :

1. Aspek Pengembangan Ilmu Pengetahuan.

a. Berkontribusi dalam menambah contoh kasus layanan konseling behavior dalam konseling tingkah laku dengan seting kelompok PPC untuk menangani masalah interaksi sosial bagi tunanetra.

b. Sebagai bahan pengayaan informasi bagi para ilmuwan konseling dalam mengkaji adanya perubahan perilaku karena pengaruh intervensi lingkungan pada layanan konseling.

2. Aspek Guna Laksana, Kebutuhan yang sangat penting dan mengawali proses

(25)

23

praktis dapat menggunakan produk/acuan model konseling Positif Peer

Culture (PPC) untuk menangani masalah interaksi sosial para siswanya.

3. Bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, hasil penelitian ini

memberi wawasan perlunya pengembangan materi dan strategi perkuliahan yang mengkolaborasikan berbagai pendekatan dalam layanan konseling. Layanan konseling di sekolah inklusif dengan subyek belajar yang memiliki keberagaman kemampuan fisik, perbedaan kharakteristik psikis dan sosial, dan kebutuhan layanan khusus, lebih efektif bila ditangani dengan upaya kolaboratif. Melibatkan bantuan dari teman sebaya positif (PPC) adalah salah satu contoh menangani masalah yang dihadapi siswa dengan seting kelompok.

F. Struktur Organisasi Disertasi

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Tujuan akhir penelitian adalah terumuskannya model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Model penelitian adalah penelitian dan pengembangan pendidikan (Educational R&D). Untuk mendukung model penelitian R&D, penelitian ini menggunakan metode deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode eksperimen. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisa: (1) Perilaku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif, dan (2) Keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif. Metode partisipatif kolaboratif digunakan untuk memvalidasi instrumen, uji kelayakan model hipotetik, dan uji kelayakan model operasional. Metode partisipatif kolaboratif dilakukan dengan bantuan para ahli bidang konseling (validator isi) serta para konselor sekolah dan guru pembimbing khusus (validator empiris). Metode eksperimen digunakan untuk menguji dan mengevaluasi kebermanfaatan model konseling, yaitu Efektifitas model konseling teman sebaya positif (Positive Peer Culture) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

(27)

baseline cross conditions, dan (3) multiple baseline cross variables (Sunanto,

2005: 74). Desain SSR ini untuk mengetahui perkembangan setiap subyek pada suatu kondisi dan setiap jenis keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif selama diberikan model atau perlakuan.

B. Operasionalisasi Variabel

(28)

pola interaksi psikososialnya. Sehingga kedua aspek tersebut dalam pengkajian perkembangan interaksi sosial harus dibahas secara bersama.

1. Tingkah laku sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Secara konseptual, Martin (2007: 3) menyampaikan kata-kata yang sering disinonimkan dengan `perilaku` adalah kegiatan, aksi, kinerja, tanggapan, respon, dan reaksi. Menurutnya, pada dasarnya perilaku adalah segala sesuatu yang seseorang ucapkan atau lakukan. Secara teknis perilaku adalah setiap kegiatan otot atau kelenjar dari suatu organisme. Penelitian ini mendeskripsikan bentuk-bentuk perilaku negatif siswa tunanetra yang menghambat proses interaksi sosial yang muncul setelah terjadinya interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Secara operasional, indikator konkrit tingkah laku sosial menggunakan identifikasi problem tingkah laku dalam berinteraksi sosial berupa Positive Peer

Culture (PPC) Problem-Solving List yang disusun oleh Vorath (1985: 30-31),

(29)

merawat/membantu, memperlakukan sebagai musuh; (8) Mudah marah: sering mengganggu atau bikin gusar atau pemarah;(9) Mencuri: mengambil berbagai hal kepunyaan orang lain; (10) Masalah alkohol atau obat: Penyalahgunaan zat-zat aditif yang bisa menyakiti diri; (11) Pembohong: tidak bisa dipercaya untuk menceritakan tentang kebenaran; (12) Menghadapi (fronting): suka berpura-pura dan bukannya riil/ kenyataan.

2. Keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif

(30)

yaitu keterampilan sosial awal, keterampilan sosial lanjut, dan ditambahkan oleh Cooks, 2003 (Samad, 2007: 3) yaitu unsur keterampilan sosial reseptif dan ekspresif, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan melakukan percakapan (making conversation), menjadi pendengar yang baik (be a good listener), kemampuan memberi pujian (give compliments), dan kemampuan menunjukkan empati (show empathy), yang penting dikembangkan dalam membangun interaksi sosial dengan orang lain.

Secara operasional, indikator konkrit keterampilan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif diwujudkan dalam bentuk keterampilan sosial awal: mendengarkan, memulai percakapan, menikmati percakapan, mengajukan pertanyaan, mengucapkan terimakasih, memperkenalkan diri, memperkenalkan orang lain, dan memberi pujian. Keterampilan sosial lanjut: meminta bantuan kerjasama, memberi instruksi, mengikuti instruksi, meminta maaf, dan meyakinkan orang lain. Unsur keterampilan sosial reseptif dan ekspresif yang lain, meliputi: kemampuan mengenalkan diri (introducing yourself), kemampuan melakukan percakapan (making conversation), menjadi pendengar yang baik (be a

good listener), kemampuan memberi pujian (give compliments), dan kemampuan

menunjukkan empati (show empathy), yang penting dikembangkan dalam membangun interaksi sosial dengan orang lain.

3. Konseling positive peer culture (PPC).

(31)

ditandai oleh kepercayaan dan keterbukaan, dan orang yang dibantu dan masuk dalam kelompok PPC tidak ditempatkan sebagai terdakwa atau orang sakit, melainkan ia pada hakekatnya adalah dalam proses bantuan, dan peer group nya menunjukkan perhatian yang baik. Adalah aktivitas kelompok sebaya yang ditandai oleh persatuan (association) dan kerjasama tatap muka yang bersifat intim yang benar-benar menyentuh aspek kesiapan psikologis. Snell (2000: 52) menyampaikan bahwa fokus konseling dengan positive peer culture (PPC) adalah membantu dan mengawasi klien untuk dapat mengembangkan harga diri

(self-worth), berarti, bermartabat, dan tanggung jawab, agar menjadi merasa terikat

dengan nilai-nilai yang positif dalam hubungan dengan orang lain. Azas konselor

PPC adalah harus mempedulikan hubungan antar pribadi, berhadapan dengan

konseli, dan penuh cinta dalam membantu.

Secara operasional, pendekatan pembentukan kelompok PPC dengan mengikuti langkah-langkah (Snell, 2000: 54), sebagai berikut: (a) Selubung (casing), para siswa teman sebaya kelompok peer mencari informasi tentang suatu hal satu sama lain, (b) Batas Uji (Limit Testing), siswa kelompok peer mengungkapkan kepribadian dan perilaku sebenarnya, mengungkapkan pernyataan dan perasaan diri dalam kelompok, siswa kelompok peer mulai mengenali permasalahan diri sendiri, (c) Polarisasi yang bernilai (Polarization of

Values), sering terjadi perdebatan dalam kelompok, siswa bermasalah

(32)

kelompok, (d) Budaya teman sebaya positif (positive peer culture), siswa kelompok peer memiliki kekuatan yang kompak, mewujudkan sistem nilai kepedulian timbal balik dan berhubungan, mempercayai kepemimpinan dan siswa ada keinginan menghadapi masalah mereka secara individu. Indikator sudah terbentuknya suatu kelompok positive peers, oleh Snell (2000: 32) ditunjukkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Peningkatan toleransi mereka terhadap orang lain; (2) Belajar untuk bersimpati kepada siswa yang memiliki kecacatan/ berkebutuhan khusus; (3) Meningkatkan konsep diri mereka; (4) Lebih sadar akan prasangka orang lain; (5) Mengembangkan prinsip pribadi yang baru dengan memahami kelebihan dan kekurangan orang lain;(6) Membangun persahabatan; (7) Belajar untuk memperhatikan orang lain yang adalah berbeda; (8) Mereka cukup rendah hati; (9) Meningkatkan refleksi diri dan melihat tindakan sendiri dalam pandangan berbeda.

Teknik konseling yang digunakan untuk memberi bantuan meningkatkan interaksi sosial dengan pendekatan Positive Peer Culture (PPC) adalah dengan mengaplikasikan teknik-teknik konseling behavioral. Model konseling Positive

Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial bagi siswa tunanetra di

(33)

C. Pengembangan Alat Pengumpul Data/ Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan cara pengukuran sikap dengan Measurement by

scales yaitu pengukuran sikap atau perilaku dengan menggunakan kuesioner skala

sikap serta menggunakan lembar observasi. Instrumen penelitian ini dikonstruksi untuk memperoleh data tentang: (1) data tingkah laku psikososial siswa tunanetra di sekolah inklusif, dibuat dalam bentuk: (a) kuesioner bagi siswa tunanetra dan kuesioner yang diisi oleh siswa awas yang sekelas dengan masing-masing siswa tunanetra, dilakukan karena siswa awas dalam satu kelas dipandang sebagai sumber informasi utama yang secara langsung mengetahui perilaku sosial siswa tunanetra di kelasnya; (b) lembar observasi berupa pengamatan oleh dua orang pengamat, yaitu oleh konselor sekolah dan guru pembimbing khusus (2) data penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif yang dikumpulkan melalui kuesioner dan observasi.

Untuk mengungkap data penelitian ini diperlukan alat pengumpul data penelitian, yang disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.1.

Data dan Alat Pengumpul Data Penelitian

Aspek Indikator Alat

(34)

d. Masalah otoritas (Authority

problem)

e. Menyesatkan orang lain

(35)

3. Validitas

Pengembangan alat pengumpul data kuesioner adalah menggunakan skala sikap atau penilaian/pengamatan dengan metode `Likert`s Summated Rating

(LSR)`. Prosedur penskalaan adalah dengan metode rating yang dijumlahkan

(method of summated rating ) dari Likert.

(36)

Bentuk laporan data dalam penelitian ini adalah sebuah pernyataan dengan kemungkinan jawaban sebagai berikut: untuk pernyataan tentang tingkah laku siswa tunanetra di sekolah inklusif dan penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra, alternatif jawabannya adalah: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Ragu-ragu (R), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).

Kuesioner dikembangkan berdasarkan prosedur dan kebakuan alat ukur, yaitu sebagai berikut: (1) menyusun kisi-kisi kuesioner/instrumen awal; (2) menimbang

(judgement) butir-butir pernyataan oleh tiga orang pakar (dua orang Doktor BK dan satu

orang Doktor PLB); (3) uji coba dilapangan sebagai dasar penentu tingkat kebakuan pernyataan-pernyataan yang akan digunakan dalam penelitian; dan (4) merumuskan butir-butir item pernyataan untuk alat pengumpul data penelitian.

1. Kisi-kisi kuesioner/instrumen awal

Langkah pertama, dengan menyusun kisi-kisi dan merumuskan butir-butir pernyataan

kuesioner awal sejumlah 135 item pernyataan untuk aspek `interaksi sosial siswa tunanetra`.

2. Penimbangan instrumen (judgement validity)

Langkah kedua, adalah penimbangan instrumen yang dimaksudkan untuk memperoleh

(37)

Koreksi terhadap item yang kurang tepat dan kurang layak, baik mengenai konstruk isi maupun kebahasaannya, oleh peneliti dilakukan revisi atau dibuang sesuai dengan saran-saran para penimbang instrumen tersebut. Untuk lebih mendapatkan kevalid-an tentang keterbacaan naskah instrumen, peneliti melakukan uji keterbacaan terhadap setiap butir item pernyataan dengan meminta bantuan kepada satu guru konselor sekolah dan tiga siswa awas.

Setelah divalidasi oleh para pakar kemudian diadakan revisi terhadap item kuesioner, dan ditetapkan sejumlah 131 item pernyataan untuk aspek `interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusi`. Instrumen yang telah di revisi sesuai kesalahan yang ditemukan dan saran-saran perbaikan, selanjutnya dilakukan uji coba instrumen.

3. Uji coba instrumen

Langkah ketiga, kuesioner diujicobakan dan di hitung bobot nilai skala

pernyataannya, maka diperoleh item pernyataan yang dinyatakan valid untuk digunakan sebagai alat pengumpul data, yaitu sejumlah 78 item pernyataan untuk aspek `interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Langkah-langkah `try out` atau uji coba instrumen di lokasi penelitian adalah sebagai berikut.

a. Lokasi dan Subyek Uji Coba

(38)

b. Penghitungan Bobot Nilai Skala Pernyataan

Setelah dilakukan uji coba instrumen berupa pengisian kuesioner oleh siswa, langkah selanjutnya adalah pengujian bobot nilai skala terhadap instrument dalam bentuk skala sikap. Pengujian bobot nilai skala pernyataan ini dilakukan untuk menguji ketepatan bobot skala setiap pernyataan, sehingga hasil pengukurannya dapat dipergunakan untuk menilai butir item pernyataan mana yang valid untuk dipergunakan dalam pengumpulan data penelitian, sedangkan butir item pernyataan yang tidak valid harus dibuang atau tidak dipergunakan. Sebagaimana disampaikan oleh Azwar (2008: 139) prosedur penskalaan dengan metode rating yang dijumlahkan, dengan asumsi :

(a) setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk pernyataan yang favorable atau pernyataan yang tak-favorabel

(b) jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi dari pada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.

Hasil dari pengujian bobot nilai skala pernyataan diperoleh hasil item-item pernyataan yang dinyatakan valid sejumlah 78 butir pernyataan, yaitu item nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 29, 30, 32, 35, 36, 37, 38, 40, 43, 45, 47, 50, 52, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 63, 66, 67, 69, 70, 72, 74, 75, 78, 79, 80, 81, 83, 86, 87, 89, 90, 91, 94, 95, 96, 98, 99, 100, 104, 105, 108, 109, 113, 114, 117, 120, 126, 127, 128, 130, dan 131, sedangkan item pernyataan tidak valid adalah sebanyak 53 item (lihat lampiran tabel penghitungan bobot nilai skala).

(39)

30, 31, 32, 36, 37, 38, 39, 40, 43, dan 44, sedangkan pernyataan yang tidak valid sebanyak 20 item.

Rekap analisis butir/item sejumlah 131 butir, jumlah subyek 40, rata-rata 468.65, dan tingkat reliabilitas instrumen 0.58.

4. Merumuskan butir-butir item pernyataan untuk alat pengumpul data penelitian.

Interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif memiliki dua aspek variabel, yaitu: tingkah laku siswa tunanetra dalam berinteraksi sosial di sekolah inklusif dan penguasaan keterampilan interaksi sosial oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Tabel 3.2.

Tabel Distribusi Item/ Butir Pernyataan

Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif

Jumlah Item = 78 butir pernyataan.

Komponen Obyek Sikap

Total

1. Tingkah laku siswa tunanetra dalam interaksi sosial di sekolah inklusif

42

2. Keterampilan interaksi social oleh siswa tunanetra di sekolah inklusif

36

T o t a l 78

(40)

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen

Kondisi Interaksi Sosial Siswa Tunanetra pada Sekolah Inklusif

No Komponen

(41)

No Komponen

g. Mengajukan pertanyaan h. Mengucapkan

(42)

D. Subyek dan Seting Penelitian

Penelitian dilakukan di sekolah reguler MAN Maguwoharjo Yogyakarta yang menyelenggarakan layanan sekolah inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dipilihnya D.I. Yogyakarta sebagai daerah penelitian adalah untuk memperoleh jumlah sampel subyek (Tunanetra klasifikasi low vision berat dan klasifikasi

totally blind) yang memenuhi syarat penelitian. Yogyakarta adalah penyelenggara

layanan sekolah inklusif dengan siswa tunanetra yang cukup banyak.

1. Subyek penelitian meliputi:

a) dua ahli yang memiliki kepakaran bidang konseling dan satu ahli pendidikan anak berkebutuhan khusus yang akan digunakan sebagai validator isi model, minimal bergelar Doktor.

b) konselor sekolah dan Guru Pembimbing Khusus yang akan digunakan sebagai validator empiris model operasional sebanyak dua orang dan uji keterbacaan instrumen sebanyak satu orang.

c) siswa tunanetra (klasifikasi kurang penglihatan berat dan klasifikasi buta total) yang bersekolah di sekolah inklusif, sebanyak sembilan orang.

d) siswa awas yang digunakan dalam uji keterbacaan sebanyak tiga siswa, uji coba kuesioner sebanyak 40 siswa awas dan pengisian kuesioner penelian sebanyak 152 siswa awas.

(43)

f) tim monitor treatmen desain Penelitian Subyek Tunggal, yaitu kelompok siswa yang bertugas mencatat kemajuan hasil treatmen model konseling Positive Peer

Culture pada kegiatan eksperimen Single Subject Research (SSR), sebanyak 7

siswa (satu siswa dalam satu kelas inklusif).

2. Seting penelitian

Data di lapangan menunjukkan bahwa seluruh siswa tunanetra yang masuk di sekolah umum/reguler adalah alumni sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama yang masuk dalam layanan Sekolah Luar Biasa (SLB dan SDLB). Sehingga bersekolah di sekolah umum adalah pengalaman baru yang membutuhkan orientasi dan mobilitas lingkungan baru/lingkungan awas, kemampuan berinteraksi dengan siswa awas di sekolah, dan kemampuan beradaptasi dengan perilaku-perilaku baru yang muncul dalam pola-pola hubungan sosial di sekolah inklusif.

(44)

penelitian uji model setiap siswa tunanetra didampingi oleh siswa kelompok

postive peer culture (PPC) di kelasnya. Tugas kelompok PPC adalah

memberikan motivasi kepada siswa tunanetra untuk melakukan tugas interaksi sosial, memberi bimbingan dan contoh berinteraksi sosial, memberi semangat dengan ucapan pujian `...naah gitu loooh..., .... naaah ituu baru Brian (nama tunanetra),...` dan sebagainya. Perubahan perilaku yang terjadi selama sesi konseling atau intervensi uji model pada siswa tunanetra akan dicatat dalam catatan kejadian oleh siswa awas pengamat yang duduk sekelas dengan siswa tunanetra.

E. Prosedur dan Tahap-tahap Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghasilkan model konseling Positive Peer

Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah

(45)
(46)

Tahap 1: Studi Pendahuluan

Kegiatan: Seminar Nasional, Pembuatan Buku Pedoman

(47)

Tahap 1: Studi Pendahuluan

Dilakukan untuk memperoleh berbagai informasi awal, untuk memotret kondisi obyektif di lapangan tentang kesiapan psikologis dan kemampuan interaksi sosial tunanetra, yang akan dijadikan dasar serta digunakan untuk merencanakan atau merancang model teoretik-hipotetik. Kegiatan ini dilakukan dengan survey awal melalui observasi dan wawancara kepada siswa tunanetra dan siswa awas, konselor, Guru Pembimbing Khusus, kepala sekolah. Kegiatan lain adalah menelaah konsep, mengkaji hasil-hasil penelitian yang terkait. Kegiatan meliputi:

a) Survey awal, dilakukan untuk memperoleh kejadian aktual dan faktual berkaitan dengan problem sosial dan kemampuan keterampilan interaksi sosial pada tunanetra yang belajar di sekolah inklusif.

b) Mengkaji konseptual melalui telaah literatur, untuk memperoleh informasi teoretik berkaitan dengan konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk mengembangkan kemampuan keterampilan interaksi sosial.

c) Kajian empiris, dilakukan dengan telaah hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan keterampilan interaksi sosial yang relevan.

d) Merencanakan dan merancang model awal (Model Hipotetik) konseling

Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial

siswa tunanetra.

Tahap 2: Pengembangan dan Validasi Model

(48)

a) Validasi Isi, model hipotetik divalidasikan kepada tiga ahli yang memiliki

kepakaran dalam bidang konseling, yang berkualifikasi Doktor. Model hipotetik yang tervalidasi merupakan model yang sudah valid dalam rumusan isi, kesesuaian teoretik, efisiensi, implementatif.

b) Validasi empirik, model hipotetik divalidasikan kepada para praktisi yang

terlibat langsung dalam pelaksanaan konseling di lapangan, yaitu konselor serta guru pembimbing khusus yang bertugas pada MAN di sekolah inklusif bagi tunanetra. Validasi praktisi ini dimaksudkan untuk mengkaji model hipotetik dan memperoleh informasi tentang kemungkinan kelayakan aplikasi model konseling tersebut sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan/ sekolah. c) Validasi Isi dan Validasi Empirik dari para pakar dan praktisi akan

memberikan informasi dan masukan yang akan digunakan peneliti untuk merevisi model hipotetik dan mengembangkan menjadi Model Operasional.

Tahap 3: Uji Lapangan Efektifitas Model

Model Operasional yang telah dirumuskan, kemudian diaplikasikan dan dilakukan uji keefektifan model di lapangan melalui kegiatan uji operasional atau uji empirik. Kegiatan ini meliputi:

(49)

kelompok positive peer culture (PPC), adegan konseling), diskusi dan refleksi sebagai bahan masukan dan revisi model.

Setelah dilakukan uji kelayakan dan dilakukan revisi model konseling, langkah selanjutnya adalah uji coba terbatas. Uji coba terbatas ini dilakukan dengan tujuan agar model konseling dapat dipahami oleh pengguna model dan dengan mudah dapat diaplikasikan dilapangan. Uji coba terbatas dilakukan melalui diskusi terfokus (focus group discussion).

Dalam diskusi terfokus dipandu langsung oleh peneliti, sedangkan unsur yang dilibatkan dalam uji terbatas adalah konselor, guru pembimbing khusus, siswa awas, dan siswa tunanetra. Dari uji terbatas dihasilkan beberapa saran-saran sebagai masukan untuk perbaikan model operasional dan pedoman operasional model konseling PPC.. Saran-saran yang disampaikan dalam diskusi terfokus tersebut lebih banyak terkait dengan perbaikan redaksi dan penggunaan beberapa istilah teknis yang masih terasa terasing.

Beberapa aspek yang dibahas serta saran-saran perbaikan dalam diskusi terfokus, diantaranya: a) tujuan dirumuskannya model konseling PPC; b) peran konselor; dan c) sesi-sesi pelaksanaan konseling PPC. Hasil diskusi terfokus ini menjadi dasar dilakukannya revisi untuk penyempurnaan model konseling operasional sebelum dilakukannya uji lapangan atau uji empirik.

(50)

sebaya yang memiliki sikap positif sebagai peer support, bagaimana melaksanakan konseling untuk memecahkan masalah kesulitan berinteraksi sosial bagi tunanetra dalam kelompok positive peer culture.

c. Uji Lapangan Efektifitas Model dilakukan menggunakan eksperimen penelitian Subyek Tunggal atau Single Subject Research (SSR) desain Multiple Baseline, yang digunakan untuk mengetahui variasi perkembangan kemampuan interaksi sosial tunanetra di sekolah inklusif selama diberikan model atau perlakuan. Dengan melihat tabel identifikasi problem interaksi sosial siswa tunanetra pada tiap kelas serta tabel masalah interaksi sosial yang tergolong masalah kategori berat, maka uji kelayakan efektifitas model konseling PPC untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif meliputi:

Kelompok Kelas Nama Siswa

d. Uji kelayakan juga dilakukan dengan metode partisipatif kolaboratif melalui diskusi dengan para ahli, teman sejawat, konselor, dan unsur-unsur yang terlibat dalam pengembangan interaksi sosial, selanjutnya memperbaiki pengembangan model operasional secara kolaboratif.

(51)

atau Model Akhir. Model akhir inilah yang akan direkomendasikan untuk dapat dilaksanakan sebagai salah satu model implementatif yang dapat digunakan oleh sekolah.

Tahap 4: Diseminasi dan Distribusi Model

Kegiatan diseminasi dan distribusi akan dilakukan dengan penyebarluasan model teruji melalui publikasi pada kegiatan seminar nasional, penyusunan serta penerbitan buku dan buku saku panduan pembentukan positive peer culture, yang dilakukan setelah kegiatan pokok penelitian selesai dan dihasilkan Model Teruji.

F. Teknik Analisis Data

1. Analisis Kelayakan Model Konseling positive peer culture untuk

Meningkatkan Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif

Teknik yang digunakan dalam menganalisa kelayakan model meliputi uji validitas, uji keterbacaan, dan uji kepraktisan. Uji validitas (validity) rasional dan uji keterbacaan (readability) kelayakan model hipotetik dilakukan oleh dua pakar bidang BK dan satu pakar bidang PLB, minimal berpredikat Doktor. Model hipotetik yang sudah dirumuskan dilakukan uji kelayakan model melalui penilaian oleh para pakar (expert judgment). Uji kelayakan model untuk validasi rasional dilakukan melalui konsultasi dan diskusi dengan dua pakar konseling dan satu pakar pendidikan anak berkebutuhan khusus. Para pakar yang dilibatkan untuk memberikan penilaian, pengkajian dan penimbang (uji validitas) model konseling

positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di

(52)

Uji kepraktisan (usebility) dan uji keterbacaan (readability) kelayakan model operasional dilakukan oleh konselor sekolah, guru pembimbing khusus, dan siswa awas di sekolah inklusif. Uji ini dilakukan melalui diskusi terfokus setelah diadakan uji terbatas model konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif.

Pokok-pokok penimbangan dan pengkajian yang di lakukan oleh para pakar dan praktisi konseling mencakup aspek struktur model dan isi model. Struktur model meliputi judul, penggunaan istilah, sistematika, keterbacaan, kelengkapan, dan kesesuaian antar komponen model. Sedangkan dari aspek isi model meliputi rasional, tujuan, ruang lingkup, pendukung sistem layanan, peranan konselor, prosedur pelaksanaan, dan evaluasi dan indikator keberhasilan.

(53)

2. Analisis Efektifitas Konseling positive peer culture untuk Meningkatkan

Interaksi Sosial Siswa Tunanetra di Sekolah Inklusif.

Pencatatan data pada desain eksperimen yang dirancang dengan pendekatan penelitian Subyek Tunggal atau Single Subject Research (SSR) adalah pencatatan dengan Observasi Langsung, adalah kegiatan observasi secara langsung yang dilakukan untuk mencatat data variabel terikat pada saat kejadian atau perilaku terjadi. (Sunanto, 2005: 20). Jenis pencatatan data yang menggunakan prosedur observasi secara langsung, meliputi: 1) pencatatan kejadian, yaitu dengan cara memberikan tanda tally pada kertas setiap perilaku terjadi; 2) pencatatan durasi, yaitu pencatatan tentang berapa lama suatu kejadian atau target behavior terjadi; 3) pencatatan latensi, adalah pencatatan terhadap berapa lama waktu yang diperlukan subyek untuk memulai suatu perilaku setelah mendapat stimulus; 4) pencatatan interval, adalah pencatatan yang dilakukan dengan membagi periode waktu observasi kedalam interval waktu yang lebih kecil dan mencatat kejadian yang terjadi pada setiap interval waktu tersebut secara terus menerus (continue); dan 5) pencatatan sampel waktu, adalah pengamatan terjadi atau tidak terjadinya target behavior hanya dilakukan pada akhir setiap interval.

Jenis pencatatan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur observasi secara langsung dengan pencatatan kejadian, yaitu dengan cara memberikan tanda tally pada tabel setiap perilaku/ target behavior terjadi. Pencatatan kejadian ini dilakukan dalam berbagai baseline, meliputi: cross

(54)

122

Teknik analisis data dengan sistem pencatatan dan pengukuran Single

Subject Research yang analisis datanya dilakukan subyek per subyek (Heppner,

2008: 188), adalah memperolah gambaran kelayakan operasional desain model konseling Positive Peer Culture (PPC) untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Komponen analisis data untuk desain multiple

baseline adalah dengan metode analisis visual (Sunanto, 2005: 96), yaitu:

1) banyaknya data point (skor) dalam setiap kondisi; 2) banyaknya variabel terikat yang akan diubah; 3) tingkat stabilitas dan perubahan level data dalam suatu kondisi atau antar kondisi; dan 4) arah perubahan dalam kondisi maupun antar kondisi.

Penelitian ini menggunakan dua kelompok subyek siswa tunanetra, yaitu: 1) kelompok siswa yang tergabung dalam konseling dengan pendekatan Positive

Peer Culture (selanjutnya disebut kelompok PPC); dan 2) kelompok siswa yang

tergabung dalam konseling sebaya (selanjutnya disebut kelompok NON PPC). Penggunaan kelompok yang berbeda ini untuk menguji atau melihat perbedaan efektifitas antara konseling sebaya biasa dengan konseling dengan pendekatan

Positive Peer Culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

1.Hasil studi menunjukkan bahwa siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah inklusif MAN Maguwoharjo, D.I. Yogyakarta mengalami masalah dalam berinteraksi sosial dengan siswa awas. Hal tersebut menunjukkan indikasi perlunya bantuan layanan konseling untuk meningkatkan interaksi sosial di sekolah.

2.Model teoretik/hipotetik konseling positive peer culture untuk meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif dikembangkan berdasar kajian literatur dan temuan empirik di lapangan. Model operasional merupakan suplemen yang bersifat praktik dan teknis operasional dalam proses intervensi model.

3.Model konseling positive peer culture terbukti meningkatkan perilaku interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif. Terjadi perubahan yang signifikan dari terdapatnya masalah interaksi sosial pada fase baseline menjadi perilaku yang positif/menaik atau tidak menunjukkan masalah interaksi sosial setelah diberikan intervensi. Simpulan ini dibuktikan oleh data-data:

a. Interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif setelah diberi intervensi

PPC menjadi positif atau menaik. Pada beberapa sesi tampak jejak data

(56)

dari fase ke fase berikutnya siswa tunanetra memerlukan waktu yang cukup. Dalam penelitian ini untuk menaikkan satu target perilaku memerlukan waktu antara dua sampai dengan empat fase intervensi. b. Analisis hasil dalam kondisi menunjukkan grafik dalam kecenderungan

naik positif ( ), hasil intervensi mengarah ke stabil yang memberi petunjuk konseling PPC lebih efektif, jejak data tergambar dalam grafik dalam garis menurun, menaik, dan mendatar, level stabilitas serta rentang pada sesi intervensi terlihat stabil dengan rentang 2 – 7, dan perubahan

level pada sesi intervensi adalah membaik + 5.

c. Analisis hasil antar kondisi menunjukkan perubahan dari variable (pada fase baseline) ke stabil (pada fase intervensi), perubahan levelnya adalah positif (+) atau membaik/meningkat, dan persentase overlap yang rendah antara 0 % sampai dengan 6.67 %.

4.Keterlibatan siswa awas dalam kelompok PPC sangat membantu mengatasi masalah interaksi sosial siswa tunanetra di sekolah inklusif, oleh karenanya dalam proses konseling PPC konselor memotivasi siswa awas anggota kelompok PPC agar menunjukkan perilaku interaksi yang menjadi pembentukan perilaku model bagi anggota kelompok yang mengalami ketunanetraan.

5.Model konseling positive peer culture efektif untuk menangani masalah interaksi sosial pada siswa tunanetra yang belajar di sekolah inklusif.

(57)

dengan siswa awas, terlihat dengan meningkatnya aktifitas siswa tunanetra: berinisiatif mendekati siswa awas yang sedang bermain, sudah jarang ditemui siswa tunanetra yang bergerombol dengan sesama tunanetra, memanggil nama siswa awas yang berada di dekatnya kemudian mengajak bersalaman, ikut bergerombol dengan kelompok siswa awas, tidak canggung keluar kelas dengan bergerak mandiri (independent travel) maupun dengan menggunakan tongkat (long cane travel), mengajak siswa awas pergi ke kantin bersama dan siswa awas menjadi pembimbing (sighted guide), tukar-menukar barang, bercanda atau saling mengejek (secara humoris) dengan siswa awas, mengadakan perjanjian untuk bertemu atau main ke rumah, dan aktifitas lainnya.

(58)

Indikator menaiknya perilaku interaksi sosial pada aspek kemampuan interaksi sosial di sekolah inklusif khususnya masalah kemampuan bertanya dalam suatu percakapan, terlihat dengan aktifitas yang ditunjukkan oleh siswa tunanetra dengan menyela pembicaraan ketika siswa tunanetra tidak tahu maksudnya, aktif bertanya agar pembicaraan tetap berjalan, memberi keterangan atau contoh dalam percakapan, berani mengutarakan pengalamannya, dan tidak takut-takut dalam menjawab pertanyaan.

B.Saran

1. Rekomendasi utama penelitian ini adalah bahwa model konseling positive peer

culture dapat digunakan oleh konselor sekolah dan guru pembimbing khusus pada

MAN atau sekolah yang sederajat penyelenggara pendidikan inklusif untuk

meningkatkan interaksi sosial siswa tunanetra dengan siswa awas.

2. Konselor di sekolah yang menyelenggarakan layanan konseling kelompok, dalam pemilihan kelompok teman sebaya agar menjadi kelompok teman sebaya positif (PPC) hendaknya pembentukan kelompok melalui proses penempatan (seeding) dan menciptakan (creating). Penempatan, siswa diatur dalam suatu perpindahan dari suatu kelompok ke dalam suatu kelompok yang dibentuk. Menciptakan, suatu kegiatan yang diarahkan agar kelompok siswa mencapai perilaku dan budaya positif.

(59)

250

a. Penelitian pada subyek siswa di Madrasah Aliyah Negeri atau swasta serta sekolah yang sederajad yang menyelenggarakan layanan pendidikan inklusif.

b. Penelitian yang melibatkan siswa teman sebaya positif (PPC) untuk berinteraksi sosial di dalam sekolah/persekolahan dan di luar sekolah/lingkungan masyarakat.

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Albert, Paul. 2003. Buildings Inclusive schools. Est Perth: Department of Education and Trainning.

Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Aryanto, Yohanes. 2005.Sikap Guru dan Siswa Awas Terhadap Anak Tunanetra

Yang Belajar Di SMU Cicalengka Kabupaten Bandung. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia.

Azwar, Saifudin. 2008. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Boeree, George. 2008. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Borg, W.R. & Gall, M.D. 1989. Educational Research: An Introduction. London: Longman, Inc.

Brannen, Julia, 1997, Mixing Methods : Qualitative and Quantitative Research, Terjemahan N Nuktah Ar. Fawic Kuede, Jakarta : Penerbit Pustaka Pelajar Offset.

Brendtro, L. and M. Mitchell. 1981. Alternative Schools for Troubled Youth:

Bridging the Domains of Education and Treatment. Reston, Va; Council

for Exceptional Children.

Budiyanto. 2008. Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal. Disertasi. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Bukowski, W.M. 1984. Sociometric Status and Friendship Choice. New York: Journal of Developmental Psychology

Carledge, Gwendolyn, and Fellows M. 1992. Teaching Social Skills to Children. New York: Pergamon Press.

Cole, J.D., Dodge, K.A., and Coppoteli, H. 1982. Dimensions of Types of Sosial

Status. New York: Journal of Developmental Psychology.

(61)

Cowles, E. L. 1982. Report on Positive Peer Culture Treatment Program: 10th

Judicial Circuit, Hannibal, Missouri. Criminal Justice Program,

Northeast Missouri State University: Kirksville, Missouri.

EENET. 2000. Overcoming Resource Barriers, India: ISEC Lessons from the

South, Making a Difference “An International Disability and

Development Consortium (IDDC) Seminar on Inclusive Education

Agra”

Friend & Marilyn. 2005. Special Education. Infusing Sosial skills Instruction in

Daily Activities. Boston: Pearson Education, Inc.

Gargiulo, Richard M. 2006. Special Education in Contemporary Society.Persons

with Visual Impairments. USA: Thomson Learning, Inc.

Garner, H. 1982. Positive Peer Culture Programs in Schools. Baltimore: University Park Press.

Geldard, David and Kathryn. 1998. Basic Personal Counseling:

Solution-approach Counseling. Australia: Cataloguing in publication data.

Goldstein, L. 1972. Behavior View of Counseling. New York: McGraw-Hill. Hackmann, A. 1993. Behavioral and Cognitive Psychotherapies. Supplement

Theories: 1-75.

Hadis, Abdul. 2003. Urgensi Pemberian Layanan B&K untuk Siswa SLB. Jurnal B&K PPS Malang (ISSN 1410-8119) Tahun 10, Nomor 1 Juli 1998. Hadi, Purwaka. 2002. Deskripsi Kemampuan Komunikasi Tunanetra pada

layanan Pendidikan Inklusi. Jurnal `Orthopedagogia` Tahun 2002

Volume I, Makassar

Hall, S. Calvin and Lindzey. 1993. Teori-teori Psikodinamik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hardman, et.al. 1990. Human Exceptionality, Society, School and Family. Boston : Allyn and Bacon.

Harsana, Frans S. 1982. Validasi dan Revalidasi Penyandang Tunanetra. Simposium Kebutaan di UGM tanggal 30 Oktober 1982. Yogyakarta : Pusat Studi dan Perpustakaan IKIP Yogyakarta.

(62)

Heung, Vivian. 2005. Inklusi melalui Pendekatan Sekolah secara menyeluruh di

Hongkongs. Journal `Eenet Asia Edisi Perdana Juni 2005`.

Heppner, Paul and Bruce Wampold. 2008. Research Design in Counseling:

Single Subject Designs. USA: Thomson Brooks/Cole.

Johnsen, H. Berit. And Skjorten, D. Miriam. 2003. Pendidikan Kebutuhan

Khusus. Bandung: SPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi (Klasik Dan Modern) Jilid I dan 2 , terjemahan Robert MZ Lawang, Jakarta : PT Gramedia.

Jose, Randall T. 1985. Understanding Low Vision. New York : American Foundation for the Blind.

Kinney, D. J. Miller, L. Beier, and S. R. Bohannon. 1978. .Self-Concept,

Delinquency, and Positive Peer Culture. Louis University Press:

Criminology 15.

Lewis, Vicky. 2003. Development and Disability: How do Blind Children

Develop. Australia: Blackwell Publishers.

Liliweri, Alo. 1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. Latipun. 2006. Psikologi Konseling. Malang: UPT Penerbitan Universitas

Muhammadiyah Malang.

Macintyre, Christine. 2002. Play for Children with Special Needs. London: David Fulton Publishers Ltd.

Madanes, Cleo. 1981. Strategic Family Therapy. California: Jossey-Bass Inc, Pub. Martin, Garry and Pear J. 2007. Behavior Modification, What is and How to do it.

New Jersey: Pearson Education, Inc.

Mason, Heather. 1997. Visual Impairment (access to education for children and

young people). London : David Fulton Publishers.

Meiyani, Neni. 2000. Layanan Dasar Bimbingan Untuk Pengembangan

Kemampuan Anak Tunanetra Dalam Bergaul Dan Bekerjasama Dengan Kelompok Sebaya Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia.

Gambar

Tabel 3.1. Data dan Alat Pengumpul Data Penelitian
Tabel 3.2. Tabel Distribusi Item/ Butir Pernyataan
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen
Gambar 3.1. Alur Proses Pengembangan Model

Referensi

Dokumen terkait

3) an indefi nite point in time: the other day, ages ago, a long time ago To form a simple past : subject + verb + ed (regular verbs).. Note that some verbs are

As regards Italy, the diffusion of cotton cultivation dates back to about 1850 when the Italian textile industries, like those in other European countries, had a crisis scarcity of

Sedangkan menurut Van Kreveld dalam Indroharto, 32 menyatakan bahwa tindakan diskresi harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) Tidak boleh bertentangan dengan

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: Jumlah telur yang ditetaskan, bobot telur dan bentuk telur (indeks), bobot tetas atau bobot DOD (Day Old Duck) dan nisbah

Tulisan ini merupakan Skripsi dengan judul “ Pengaruh Penambahan Bentonit Termodifikasi Sebagai Pengisi Terhadap Sifat Mekanik Dan Penyerapan Air Pada Komposit

Dalam hal ini, televisi adalah suatu media yang digunakan untuk. meningkatkan perilaku prososial

Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam penelitian ini akan disintesis material komposit dengan penambahan bentonit yang dimodifikasi dengan TiO2 pada matriks poliester, dan

Skala Likert dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu didukung atau ditolak, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab