• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS PADA SEKTOR PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS EFISIENSI TEKNIS PADA SEKTOR PE"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS PADA SEKTOR PERTANIAN PADI DI JAWA TIMUR: PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) II TAHAP

Rina Wibowo1, Bimby Enggar

Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengukur dan menganalisis efisiensi teknis pertanian padi di Jawa Timur. Efisiensi teknis dievaluasi dengan menggunakan pendekatan non-parametrik DEA 2 tahap pada 2217 petani padi pada tahun tanam 2008. Tahap pertama pada metode ini

adalah mengukur efisiensi petani menggunakan metode DEA berdasarkan asumsi Varible

Return to Scale (VRS) dengan pendekatan input oriented, kemudian selanjutnya mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja efisiensi menggunakan model regresi

tobit. Asumsi Varible Return to Scale (VRS) menunjukkan bahwa terdapat 6 daerah yang

berhasil mencapai nilai efisiensi maksimal (100%) yang artinya efisien secara teknis, sedangkan 13 daerah lainnya dalam kondisi inefisien. Ke-13 daerah tersebut berada pada kondisi Increasing Return to Scale (IRS) artinya daerah tersebut beroperasi pada skala optimal, dimana setiap penambahan input menghasilkan proporsi output yang cenderung meningkat. Hasil analisis regresi tobit menunjukkan menunjukkan bahwa jenis benih, jenis pupuk, jenis sawah, tidak ada hama/ OPT, akses kredit, dan bantuan pemerintah terbukti tidak signifikan secara statistik untuk menentukan pengaruh efisiensi hasil panen. Variabel sosioekonomi seperti luas lahan yang dikuasai dan pendidikan signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial. Secara simultan variabel-variabel tersebut tidak signifikan mempengaruhi hasil panen.

Kata kunci : efisiens teknis, DEA, Tobit

ABSTRACT

This study aims to measure and analyze the technical efficiency of paddy farming in East Java. Technical efficiency was evaluated by using a non-parametric DEA 2 stage approach in 2217 rice farmers in the 2008 planting year. The first step in this method was to measure farmers' efficiency using the DEA method based on the Assumption of Varible Return to Scale (VRS) with the oriented input approach, then further estimated the factors that affect the efficiency performance use the tobit regression model. Assumption of Varible Return to Scale (VRS) shows that there are 6 regions that succeed to achieve maximum efficiency value (100%) which means technically efficient, while 13 other areas in inefficient condition. These 13 areas are in the Increasing Return to Scale (IRS) condition, which means that the area operates at an optimum scale, where each input addition produces a proportion of output that tends to increase. The results of the tobit regression analysis showed that the types of seeds, types of fertilizers, types of rice fields, no pests / pests, access to credit, and government assistance proved not statistically significant to determine the effect of crop efficiency. Socioeconomic variables such as land area controlled and significant education affect partial yields. Simultaneously, these variables do not significantly affect the yields.

Keywords: technical efficiency, DEA, Tobit

PENDAHULUAN

1 Email : rinawibowo1604@gmail.com

(2)

Beras merupakan komoditas bahan makanan utama di Indonesia. Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok. Selama 1961 – 2009 konsumsi beras sebagai bahan makanan di Indonesia tumbuh dengan rata-rata 2,84 persen setiap tahun. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia adalah 1,90 persen setiap tahun. Keadaan seperti ini juga berlaku di beberapa negara seperti China, India, Myanmar, Philippines, dan Vietnam.

Rata-rata pertumbuhan per kapita konsumsi beras di Indonesia selama 1961 – 2009 adalah 0,92 persen per tahun, dimana ini adalah kedua tertinggi setelah Cina. Upaya untuk menurunkan penggunaan beras sebagai bahan makanan bagi penduduk sebenarnya telah dijalankan oleh pemerintah Indonesia dengan mendorong diversifikasi bahan makanan, tetapi usaha ini masih belum berhasil hingga sekarang.

Tabel 1. Konsumsi Beras, Jumlah Penduduk, Per kapita Konsumsi Beras Tahun 2009 dan Pertumbuhannya selama 1961 – 2009 di Indonesia dan Beberapa Negara Penghasil Beras di Asia

Cambodia 2,240,754 1.84 13,978 1.90 160.31 -0.06

China 104,260,361 2.69 1,365,580 1.43 76.35 1.24

India 82,380,037 2.04 1,207,740 2.00 68.21 0.04

Indonesia 30,248,388 2.84 237,414 1.90 127.41 0.92

Japan 6,832,277 -0.88 126,552 0.62 53.99 -1.49

Myanmar 6,700,035 1.77 47,601 1.64 140.75 0.13

Pakistan 2,891,343 2.66 170,494 2.66 16.96 0.00

Philippines 11,311,260 3.16 91,703 2.54 123.35 0.61

Thailand 9,140,916 1.77 68,706 1.84 133.04 -0.07

Vietnam 12,270,968 1.89 86,901 1.81 141.21 0.08

Sumber: FAOSTAT (2013), diolah.

Keterangan: *Konsumsi beras sebagai bahan makanan bagi penduduk; GP = rata-rata pertumbuhan

konsumsi beras (%/tahun); GPOP = rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk (%/tahun); GCAP = rata-rata

pertumbuhan per kapita Konsumsi beras (%/tahun)

Dari segi produksi dan konsumsi beras, Indonesia hampir selalu mengalami defisit. Keadaan ini memaksa pemerintah Indonesia untuk menempuh cara yang paling mudah untuk menutupi defisit yaitu dengan mengimpor beras. Selama tahun 1961 – 2009 impor beras Indonesia cukup fluktuatif dan cenderung meningkat. Impor beras meningkat secara perlahan terjadi selama 1965 – 1980, kemudian meningkat dengan cukup tajam dalam tahun 1994 -1996 dan 1998/1999 seperti ditunjukkan oleh Gambar 1. Selama 1961 – 2009 Indonesia mengimpor beras dengan rata-rata 987 ribu ton setiap tahun.

Di Indonesia, daerah-daerah penghasil padi tersebar mulai dari Sumatera hingga Papua. Produktivitas pertanian padi adalah berbeda-beda di antara daerah penghasil. Produktivitas di Bali (5.85 ton per hektar) adalah produktivitas tertinggi dibandingkan dengan daerah-daerah yang lainnya termasuk di Jawa (5.72 ton per hektar) dan di Sumatera (4.41 ton per hektar), meskipun kedua pulau tersebut memiliki luas panen padi lebih luas daripada luas panen padi di Bali dan di daerah-daerah yang lainnya, keadaan ini ditunjukkan oleh Tabel 2.

Berdasarkan pola sebaran produksi yang demikian, Pulau Jawa memiliki peran

sebagai penyangga produksi beras nasional (Mailena et al., 2004). Hal ini menunjukkan

(3)

memberikan informasi bahwa produktivitas pertanian padi di Indonesia masih mungkin untuk ditingkatkan hingga mencapai potensi maksimumnya.

Tabel 2. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Pertanian Padi di Indonesia Tahun 2009

Kawasan Luas Panen(ha) Produksi(ton) Produktivitas(ton/ha)

Sumatera 3,330,613 (25.85) 14,696,457 (22.82) 4.41

Jawa 6,093,603 (47.30) 34,880,131 (54.16) 5.72

Bali 150,283 (1.17) 878,764 (1.36) 5.85

Nusa Tenggara 568,498 (4.41) 2,478,134 (3.85) 4.36

Kalimantan 1,269,655 (9.85) 4,392,112 (6.82) 3.46

Sulawesi 1,399,139 (10.86) 6,801,668 (10.56) 4.86

Maluku 34,963 (0.27) 136,128 (0.21) 3.89

Papua 36,822 (0.29) 135,496 (0.21) 3.68

Indonesia 12,883,576 (100.00) 64,398,890 (100.00) 5.00

Sumber: BPS (2013), diolah

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melalukan penelitian tentang efisiensi teknis dalam pertanian padi. Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Jawa Timur dengan beberapa pertimbangan:

1. Hampir 5 juta atau 19 persen dari sekitar 25,5 juta rumah tangga pertanian di Indonesia berada di Provinsi Jawa Timur di mana jumlah ini adalah yang terbanyak dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia (BPS, 2013).

2. Luas sawah di Provinsi Jawa timur adalah 1,100,517 hektar atau 13,65 persen dari keseluruhan luas sawah di Indonesia dan terbesar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Sebagian besar dari sawah yang digunakan untuk pertanian padi di Jawa Timur adalah sawah irigasi. Luas sawah jenis ini mencapai 879,958 hektar atau 17,96 persen dari luas sawah irigasi di Indonesia, dan juga terbesar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya (BPS, 2013).

3. Produktivitas pertanian padi di Provinsi Jawa Timur (5,78 ton per hektar) adalah tertinggi kedua di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat (5,93 ton per hektar) dan cenderung meningkat (BPS, 2013).

4. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan kontribusi terbesar terhadap tenaga kerja sektor pertanian yaitu sebesar 20 persen, Jawa Tengah 13 persen, Jawa Barat 10 persen, Sumatera Utara 6 persen, Sumatera Selatan 6 persen dan Lampung 4 persen (BPS, 2011).

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat efisiensi pertanian padi di Jawa Timur dan menganalisis pengaruh karakteristik sosio-ekonomi (meliputi pendidikan, umur, luas sawah yang dikuasai), biologikal (jenis sawah, jenis benih, hama/OPT), variabel akses kredit dan variabel bantuan pemerintah terhadap efisisensi teknis pertanian padi di Jawa Timur tahun 2008.

Teori Produksi

Hubungan antara input dan output ini digambarkan oleh sebuah fungsi

produksi. Sebuah produksi dengan satu input variabel dapat ditulis seperti berikut:

(4)

X2

Dalam suatu periode produksi, pada umumnya terdapat lebih dari satu input

variabel. Fungsi produksi dengan dua input variabel dapat tuliskan sebagai:

Q = f(X1, X2 X3,…, Xn) ...(2)

Hubungan ini diilustrasikan oleh isoquant map seperti nampak pada Gambar 1.

Sumber : Nicholson, 2002

Gambar 1. Isoquant Map

Kurva isoquan memiliki empat asumsi, antara lain: pertama, kurva isokuan memiliki

kemiringan yang negatif. Kedua, kurva isokuan yang semakin ke kanan menunjukkan jumlah

output yang semakin tinggi. Ketiga, kurva isokuan tidak pernah berpotongan dengan kurva

isokuan yang lannya. Keempat, kurva isokuan cembung ke titik origin (convex to origin)

(Nicholson, 2002: 166) Dalam konteks ini, sebuah isoquant menunjukkan berbagai

kombinasi dari input (lebih dari satu) yang menghasilkan kuantitas output yang sama. Kemiringan kurva ini menggambarkan tingkat substitusi, atau tingkat dengan mana suatu input akan menggantikan input lainnya pada tingkat output yang sama. Rasio ini disebut

marginal rate of substitution (MRS) dan didefinisikan sebagai: MRSX1,X2 = X2/X1 ...(3)

Respon output terhadap perubahan seluruh input (X1 dan X2) dalam proporsi

yang sama ditunjukkan oleh skala hasil Returns To Scale (RTS). Pertama, skala hasil

konstan Constant Returns To Scale (CRTS) dimana output meningkat secara

proporsional dengan peningkatan seluruh input. Kedua, skala hasil menurun

Decreasing Returns To Scale (DRTS) dimana output meningkat kurang dari proporsi

peningkatan seluruh input. Ketiga, skala hasil meningkat Increasing Returns To Scale

(IRTS) dimana output meningkat lebih dari proporsi peningkatan seluruh input.

Dalam menentukan kuantitas penggunaan input yang mesti digunakan, maka

dalam kasus ini produsen membutuhkan informasi tentang: (a) harga input relatif,

yaitu slope isocost, dan (b) tingkat substitusi input (MRS). Menggunakan prinsip

least cost combination of input, kondisi ini dicapai jika MRS sama dengan harga

input relatif:

(5)

X2

X2* A Q

C0 C1 C2

0 X1* X1

Sumber : Nicholson, 2002

Gambar 2. Least Cost Combination of Inputs Keterangan:

C = isocost

Q = isoquant

Dalam Gambar 2, hal tersebut terjadi pada titik A dengan penggunaan input X1

sebanyak X1* dan X2 sebanyak X2*. Penggunaan input yang memaksimumkan profit,

disamping informasi di atas juga diperlukan informasi tentang harga produk. Gambar 3 menjelaskan konsep pengukuran efisiensi berorientasi input suatu firm yang

menggunakan dua input X1 dan X2 untuk menghasilkan output tunggal Y, dengan

asumsi Constant Return to Scale (CRS).

Sumber : Nicholson, 2002

Gambar 3. Indeks Efisiensi Farrel Berdasarkan Input Oriented

Pada Gambar 3 menunjukkan isoquant dari input X1 dan X2. Jika titik A, B, C

dan D adalah firm yang menghasilkan satu unit produk, maka firm A, B, dan C yang

berada pada isoquant mencapai efisiensi teknis, sementara firm D tidak efisien secara

teknis. Efisiensi teknis firma D dapat diukur dari rasio OC terhadap OD. Dengan

demikian, untuk mencapai efisiensi teknis, firm D dapat mengurangi kedua input.

TE = OC/OD... (4)

Dengan harga input relatif yang tertentu, garis isocost PP’ menunjukkan biaya

minimum untuk menghasilkan satu unit output, sehingga efisiensi ekonomi tercapai pada titik A. Perlu dicatat bahwa biaya produksi pada titik R sama dengan biaya produksi pada titik A. Berdasarkan kondisi ini, Farell mengemukakan bahwa efisiensi

ekonomi firm D dapat diukur sebagai OR/OD, dengan OR/OC menggambarkan

Efisiensi Ekonomi = Efisiensi Teknis x Efisiensi

(6)

Berdasarkan kondisi tersebut, maka hanya firm A yang dapat mencapai

efisiensi ekonomi. Pada firm B dan C terjadi teknis efisien, tetapi tidak untuk efisiensi

alokatif. Sementara pada firm D, baik efisiensi teknis maupun alokatif tidak tercapai.

Efisiensi

Konsep efisiensi pertama kali diperkenalkan oleh Farrel (1957) yang merupakan tindak lanjut dari model yang diajukan oleh Derbeu (1951). Konsep pengukuran efisiensi

Farrel dapat memperhitungkan input majemuk (lebih dari satu input). Farrel menyatakan

bahwa efisiensi sebuah perusahaan terdiri dari dua komponen, yaitu Efisiensi Teknis (Technical Efficiency) dan Efisiensi Alokatif (Allocative Efficiency). Efisiensi teknis mencerminkan kemampuan firma untuk mendapatkan hasil maksimal dari sekumpulan input. Sedangkan efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan firma untuk menggunakan input dalam proporsi yang optimal, mengingat masing-masing harga dan teknologi produksi (Coelli

et al., 1998). Kedua komponen ini kemudian dikombinasikan untuk menghasilkan Efisiensi

Total atau Efisiensi Ekonomi (Economic Efficiency).

Pendekatan DEA (Data Envelopment Analysis)

Dalam pendekatan DEA dikenal dua model pendekatan yang berdasar

hubungan antar variabel input dengan variabel outputnya yaitu model CRS (Constant

Return to Scale) yang dikemukakan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes (1978) serta

model VRS (Variable Return to Scale) yang dikembangkan oleh Banker, Rajiv. D dan

Ram Natarajan (2008) dari model pendahulunya. Model dengan kondisi CRS mengindikasikan bahwa penurunan terhadap faktor produksi (input) tidak akan

memberikan dampak pada penambahan pada hasil produksi (output) (Brazdik, 2006).

Min θλθ

St1 -y

i + Yλ ≥ 0 θxi – Xλ ≥ 0 λ ≥ 0...(5)

Asumsi CRS mendefinisikan bahwa asumsi CRS akan sesuai jika semua rumah tangga beroperasi pada skala optimal karena persaingan yang tidak sempurna, kendala keuangan dan faktor lainnya (Coelli et al., 1998).

Sedangkan model dengan kondisi VRS akan memperlihatkan bahwa penurunan

sejumlah faktor produksi (input) akan memberikan perubahan pada hasil produksi

(7)

Sumber : Coelli et al., 1998 Gambar 4. Kurva Produksi Frontier

Model CRS akan membentuk garis akan membentuk garis perbatasan (frontier) lurus yang proporsional terhadap kenaikan input dan outputnya (OPcR) tanpa memperhitungkan ukuran organisasi, sementara model VRS cenderung akan membentuk garis perbatasan cembung (PvR). Titik R merupakan DMU yang mewakili skala efisiensi optimal dibawah asumsi VRS dan CRS. Sedangkan titik Pv berada pada batasan efisien menurut VRS tapi inefisien menurut CRS. Hasil perhitungan model DEA berorientasi output dan input akan mengidentifikasi DMU yang efisien sama persis.

Hasil dari perhitungan model DEA berorientasi output dan input akan mengidentifikasi DMU yang efisien secara persis sama. Nilai efisiensi untuk model berorientasi output akan sama dengan nilai efisiensi model berorientasi input. Rata-rata nilai efisiensi untuk model VRS orientasi input secara umum akan lebih besar daripada model

CRS berorientasi input (Coelli et al, 2008).

Teori efisiensi dan produktivitas dikemukakan oleh Farrel (1957) yang kemudian

dikembangkan oleh Charnes et al. (1978) dan Banker, Rajiv. D dan Ram Natarajan (2008)

menjadi sebuah model yang diaplikasikan dalam teknik pengukuran nonparametric (DEA).

DEA adalah sebuah teknik aplikasi program linier yang mengukur efisiensi relatif dari setiap

unit produksi dibandingkan dengan unit produksi lainnya yang memiliki tujuan yang sama.

Unit produksi ini dalam DEA disebut Decision Making Unit (DMU) dimana dalam penelitian

ini adalah produktivitas padi yang dievaluasi. Karakteristik dalam DEA adalah mampu untuk

mengukur multi-input dan menghasilkan multi-output. Hal ini yang menjadi keunggulan DEA

dibandingkan dengan analisis rasio atau regresi berganda.

Skor efisiensi yang dihasilkan DEA berkisar antara 0-1 atau 0-100%. Sebuah DMU yang memiliki skor kurang dari 1 dianggap sebagai unit yang relatif tidak efisien

dibandingkan dengan unit-unit lainnya. Untuk membedakan antara hasil panen yang efisien

dengan yang tidak efisien, maka jumlah sampel yang digunakan harus lebih besar dari pada jumlah input dan output.

Dalam DEA masing-masing DMU diberi kebebasan sendiri dalam menentukan

pembobot. Secara umum DEA memberikan bobot yang tinggi untuk input yang

penggunaannya sedikit dan banyak untuk output yang dihasilkan (dan sebaiknya). Kemudian

DEA akan memaksimumkan kemungkinan efisiensi suatu DMU dibandingkan dengan DMU lainnya. Efisiensi relatif dari suatu DMU didefinisikan sebagai rasio dari jumlah antara

output tertimbang dan input tertimbang. Persamaan matematisnya adalah sebagai berikut:

(8)

dimana:

hc = Efisiensi relative DMU (hasil panen yang dievaluasi)

s = Jumlah output

m = Jumlah input

yrc = Nilai dari output r yang dihasilkan DMU

xic = Nilai dari input i yang digunakan DMU

ur = Bobot untuk output r

vi = Bobot untuk input i

Penentuan bobot dapat menjadi masalah meskipun nilai input dan output

masing-masing hasil panen dapat diukur dan diformulasikan kedalam persamaan diatas tanpa melalui

standarisasi. DMU mungkin saja menilai input dan output secara berbeda. Untuk mengatasi

hal tersebut Charnes et al. (1978) melalui optimisasi dengan model CRS, DMU dapat mengadopsi bobot yang dapat memaksimalkan rasio produktivitas dari DMU tersebut tanpa rasio dari DMU lain melebihi 1.

Bentuk ini mengubah rasio produktivitas menjadi pengukuran efisiensi relatif. Maka, ditulis persamaan sebagai berikut:

≤1 untuk tiap daerah dalam sampel

Ur, vi ≥ 0

yrj = Nilai dari output ke-r dari hasil panen ke-j ij = Nilai dari input ke-i dari hasil panen ke-j

ur = Bobot yang dipilih untuk output r

vi = Bobot yang dipilih untuk input i

Fungsi tujuan yang didefinisikan oleh hc bertujuan untuk memaksimumkan rasio

antara output tertimbang dibagi input tertimbang. Fungsi kendala akan menentukan hasil

(9)

Program linier fraksional di atas memiliki jumlah solusi yang tidak terbatas, sehingga formulasi tersebut kemudian diubah kedalam program liner biasa. Maka formulasi tersebut adalah sebagai berikut:

(CRS) dimana DMU diasumsikan beroperasi secara optimal. Sedangkan pendekatan atau

orientasi yang digunakan adalah pendekatan input. Fungsi kendala memaksimumkan output

dan melakukan unifikasi pada input. Artinya, DMU berusaha untuk meminimumkan input

untuk menghasilkan sejumlah output tertentu.

Didalam hasil perhitungan DEA terdapat Peer Group dan penetapan target. Peer Group digunakan untuk menemukan DMU acuan bagi DMU yang inefisien dengan tujuan

untuk meningkatkan efisiensi. DMU yang efisien Peer Group didefinisikan DMU yang

memiliki total skor 1 bila menggunakan bobot dan resources yang sama. Peer Group

ditunjukkan dengan λ bernilai positif dimana λ merupakan bobot DMU terhadap DMU yang tidak efisien. Yang dimaksud DMU yang efisien adalah DMU yang memliki nilai efisiensi

kurang dari 1 dan nilai slack variable tidak sama dengan 0. Semakin positif λ maka semakin

besar bobot DMU tersebut sebagai Peer Group dan yang memiliki nilai tertinggi dalam Peer

Group tersebut yang dijadikan acuan.

Untuk memperbaiki kinerjanya dalam upaya peningatan hasil panen, maka metode DEA memberikan suatu target yang harus dicapai oleh DMU sehingga dapat memiliki hasil

panen yang lebih baik. Penetapan target dapat ditentukan melalui slack variable, sedangkan

koefisien dari slack diperoleh dari kinerja Peer Group/Peer Unit untuk masing-masing DMU

melalui pengolahan DEA. Target perbaikan bisa berupa meminimisasi input atau

memaksimasi output tergantung pendekatan yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan

pendekatan orientasi input, adapun penentuan target:

Output Xina = Xino + OSi

memperkenalkan variabel baru dalam model CRS yang menijinkan pengukuran Technical

(10)

Berdasarkan model DEA di atas, maka secara sederhana (Anderson, et al, 2001) model analisis yang digunakan dalam pengukuran efisiensi masing-masing hasil panen pada penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

u(y)

v(x1)+v(x2)+v(x3)+v(x4)+v(x5) 1 ...(11)

di mana:

u = Bobot tertimbang untuk output

v = Bobot tertimbang masing-masing input

y = Hasil panen

menentukan bobot untuk setiap inputdan output dalam DMU (Darwanto, 2010).

Model Tobit

Pada tahapan ini, akan dilakukan analisis mengenai factor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi. Dengan terlebih dahulu mendapatkan nilai efisiensi pada tahap pertama (first stage) menggunakan metode DEA, maka nilai tersebut akan dianalisis dengan beberapa variabel lingkungan untuk mengetahui hubungan dan sifat hubungan antara variabel-variabel

tersebut terhadap tingkat efisiensi (second stage). Sehingga kedua tahap ini dalam penelitian

ini disebut dengan Two StageData Envelopment Analysis (DEA). Dalam menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi digunakan model tobit.

Perhitungan tobit dikemukakan oleh James Tobin pada 1958 ketika menganalisa pengeluaran pada rumah tangga di Amerika Serikat untuk membeli mobil. Pengeluaran untuk mobil di beberapa rumah tangga menjadi nol (karena rumah tangga tersebut tidak membeli mobil), dan hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil analisa regresi. James Tobin menemukan bahwa jika tetap menggunakan OLS, perhitungan parameter

cenderung mendekati nol dan menjadi tidak signifikan, atau jika signifikan nilainya mengalami bias (terlalu tinggi atau terlalu rendah) dan juga tidak konsisten (jika ada baru, hasilnya tidak sama atau tidak sesuai dengan hasil semula).

Metode tobit mengasumsikan bahwa variabel-variabel bebas tidak terbatas nilainya (non-censored), hanya variabel tidak bebas yang cencured, semua variabel (baik bebas

maupun tidak bebas) diukur dengan benar, tidak ada outocorelation, tidak ada

heteroscedascity, tidak ada multikolinearitas yang sempurna, dan model matematis yang digunakan menjadi tepat. Dalam penggunaan metode analisis regresi untuk penelitian bidang sosial dan ekonomi, banyak ditemui struktur DAT dimana variabel responnya mempunyai nilai nol untuk sebagian observasi, sedangkan untk sebagian observasi lainnya mempunyai nilai tertentu yang bervariasi. Struktur data seperti ini dinamakan data tersensor (McDonald, 2008).

(11)

Taraka, et.al (2010) menjelaskan bahwa penelitian bertujuan untuk mengetahui

efisiensi teknis perusahaan beras di Thailand Tengah dimana output beras tertinggi per areal

telah dicapai dan beras bisa ditanam dua kali dalam setahun. Efisiensi teknis dievaluasi

menggunakan pendekatan Nonparametric atau Data Envelopment Analysis (DEA) di 400

petani padi pada tahun panen 2009/2010. Model regresi tobit juga digunakan dalam penelitian ini dan memberikan hasil menunjukkan bahwa efisiensi teknis rata-rata adalah 51,86 persen, artinya bahwa sebagian besar petani memiliki kemungkinan akan beroperasi pada tingkat yang lebih rendah dari efisiensi teknis. Temuan ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara efisiensi pertanian dan keluarga tenaga kerja, layanan petugas penyuluhan, penggunaan benih bersertifikat dan pengendalian hama padi rumput dan serangga.

Huy (2009), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa efisiensi teknis (TE) adalah

perkiraan kemampuan rumah tangga untuk menghasilkan output maksimal dengan input yang

diberikan. Dihitung menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) dan Stochastic

Frontier Analysis (SFA). Data yang dikumpulkan berasal dari 261 rumah tangga petani padi di Mekong Delta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata antara TE rumah tangga yang disurvei adalah diatas 76 persen dikedua konstan CRS dan VRS. Rata-rata efisiensi skala rumah tangga petani padi ini hampir sama dengan satu. Penentuan kuantitas beras atau hasil dan TE untuk rumah tangga petani padi secara signifikan berhubungan dengan beberapa variabel seperti ukuran plot, benih dan biaya tenaga kerja yang dipekerjakan. Namun, inefisiensi teknis secara signifikan tergantung pada pengalaman bertani seorang petani dan penerapan praktek pertanian maju.

DATA DAN METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) two

stages. Metode DEA dengan prosedur dua tahap (DEA) two stages merupakan pendekatan dengan model DEA dan model Tobit. Pendekatan DEA digunakan untuk mengukur skor efisiensi teknis di tingkat petani kabupaten/ kota. Model kedua menggunakan Tobit karena

nilai inefisiensi dari DEA terbatas 0 dan 1. Artinya petani yang mencapai Pareto Efficiency

selalu memiliki skor inefisiensi dari 0, sehingga variabel dependen dalam persamaan regresi dimungkinkan memiliki distribusi yang tidak normal. Model tobit digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh dari faktor inefisiensi.

Variabel-variabel yang digunakan baik dalam model DEA maupun model Tobit didefinisikan sebagai berikut:

1. Hasil panen (Y)

Variabel ini merupakan Gabah Kering Padi (GKP) yang diperoleh dari lahan pertanian, output padi yang dihitung dalam satuan Kg (GKP)

2. Luas panen (X1)

Variabel luas panen adalah luas area penghasil padi yang dihitung dalam satuan (Ha)

3. Jumlah benih (X2)

Variabel jumlah benih adalah penggunaan benih seperti hibrida, unggul dan lokal yang dihitung dalam satuan (Kg)

4. Jumlah pupuk (X3)

Variabel ini menunjukkan jumlah pupuk yang digunakan dalam proses penanaman seperti urea, TSP/SP36, ZA, KCL, NPK yang dihitung dalam satuan (Kg)

5. Jumlah Tenaga kerja (X4)

(12)

6. Efisiensi Teknis (TE)

Variabel efisiensi teknis adalah hasil skor efisiensi teknis yang dihitung menggunakan model DEA

7. Pendidikan (Z1)

Variabel ini menunjukkan tingkat pendidikan yang diterima petani selama tahun 2008.

Variabel ini berupa dummy tingkat pendidikan formal petani. D = 1 untuk pendidikan

> tingkat SMP dan D = 0 yang lainnya

8. Umur (Z2)

Variabel ini merupakan variabel yang berkisar antara 15 – 98 tahun pada tahun 2008.

Variabel ini berupavariabel dummy tingkat usia petani. D = 1 untuk umur > 40 tahun

dan D = 0 yang lainnya.

9. Luas sawah yang dikuasai (Z3)

Variabel luas lahan yang dikuasai adalah luas sawah yang dikerjakan petani, dalam hal ini baik lahan yang dimiliki, lahan yang berasal dari pihak lain maupun lahan yang berada di pihak lain dalam satuan (Ha)

10. Jenis sawah (Z4)

Variabel jenis sawah adalah variabel dummy kedaan fisik sawah. D = 1 untuk sawah

irigasi dan D = 0 yang lainnya 11. Jenis benih (Z5)

Variabel jenis benih adalah variabel dummy klasifikasi benih yang digunakan petani.

D = 1 untuk benih bersertifikat dan D = 0 yang lainnya

12. Hama/OPT (Z6)

Variabel hama adalah variabel dummy hama yang dianggap sebagai kendala bagi

petani dan tanaman padi. D = 1 untuk tidak ada serangan hama dan D = 0 yang lainnya

13. Akses kredit (Z8)

Variabel ini merupakan variabel dummy kendala permodalan yang dihadapi petani. D

= 1 untuk tidak adanya akses kredit dan D = 0 yang lainnya

14. Bantuan pemerintah (Z9)

Variabel bantuan pemerintah adalah variabel dummy dalam subsidi yang diberikan

(13)

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa data cross section. Keseluruhan variabel, baik variabel input, output, variabel bebas maupun variabel

terikat menggunakan data cross section pada tahun 2008, yang merupakan data survei

rumah tangga petani padi di 19 kabupaten di Jawa Timur. Jumlah seluruh rumah tangga petani yang diteliti adalah 2217 petani yang tersebar pada kabupaten/kota. Data ini bersumber dari survei Struktur Ongkos Usaha Tani Padi (SOUTP) di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia pada tahun 2008. Data ini adalah terkini yang dikumpulkan oleh BPS sebelum Sensus Pertanian (SP) 2013.

DEA adalah sebuah teknik aplikasi program linier yang mengukur efisiensi relatif

dari setiap unit produksi dibandingkan dengan unit produksi lainnya yang memiliki tujuan

yang sama. Unit produksi ini dalam DEA disebut Decision Making Unit (DMU) dimana

dalam penelitian ini terdapat 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur yang dievaluasi. Skor efisiensi yang dihasilkan DEA berkisar antara 0-100%. Sebuah DMU yang memiliki

skor kurang dari 1 dianggap sebagai unit yang relatif tidak efisien dibandingkan dengan

unit-unit lainnya.

Analisis efisiensi dalam penelitian ini menggunakan analisis efisiensi teknis. Analisis tersebut menggunakan asumsi variable return to scale (VRS) dengan pendekatan input orientasi. Alat analisis untuk mengolah data dalam penelitian ini menggunakan bantuan

Software DEAP 2.1.

Hasil dari analisis efisiensi teknis akan menghasilkan dua kondisi daerah, yaitu daerah efisien dan tidak efisien. Bagi daerah yang tidak efisien akan diberikan nilai target perbaikan agar menjadi efisien dengan mengacu pada daerah-daerah yang sudah efisien. Nilai perbaikan diperoleh dari selisih nilai aktual input atau output dengan nilai target perbaikan yang diberikan oleh DEA.

Efisiensi DMU diukur dari rasio output yang diboboti dengan input yang diboboti (total weighted output/total weighted input). Bobot tersebut memiliki nilai positif dan bersifat universal, artinya setiap DMU dalam sampel harus dapat menggunakan seperangkat bobot

yang sama untuk mengevaluasi rasionya (total weighted/total weighted input < 1). Efisiensi

DMU dibagi dua yaitu : 1.) Efisiensi DMU < 1 (kurang dari satu) berarti DMU tersebut tidak efisien (inefisien) dalam menghasilkan tingkat output maksimum dari tiap input; 2) Efisiensi DMU = 1 atau 100% berarti DMU tersebut efisien dalam menghasilkan tingkat output maksimum dari tiap input.

Kedua, mengestimasi model tobit untuk menganalisis faktor-faktor yang dihipotesiskan mempengaruhi tingkat efisiensi teknis. Estimasi dilakukan menggunakan

softwareEviews 6.

Pada penelitian ini model analisis yang digunakan adalah sebagai berikut:

TEi = β1+ β2Z1+ β3Z2 + β4Z3 + β5Z4 + β6Z5 + β7Z6 + β9Z7 + β10Z8 + β11Z9 + Ui ...(12)

Dimana :

TE = Indeks efisiensi DEA

β = Nilai koefisien variabel independen

Z1 = Pendidikan, 1 = untuk pendidikan setara SMP dan 0 = yang lainnya

Z2 = Umur

Z3 = Luas sawah yang dikuasai

Z4 = Jenis sawah, 1 = untuk jenis sawah irigasi dan 0 = yang lainnya

Z5 = Jenis benih, 1 = untuk jenis benih bersertifikat dan 0 = yang lainnya

Z6 = Tidak ada kendala hama/ OPT, 1 = untuk tidak ada kendala hama / OPT dan 0 =

(14)

Z7 = Bantuan pemerintah, 1 = untuk yang mendapatkan bantuan pemerintah dan 0 = yang lainnya

Z8 = Akses kredit, 1 = untuk yang mendapat akses kredit dan 0 = yang lainnya

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Panen Petani Padi di Jawa Timur

Berdasarkan data sampel yang diambil dari SOUTP sebanyak 2217 petani di Jawa

Timur pada tahun 2008. Tabel 3 menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) hasil panen

petani padi Jawa Timur adalah 1544 ton per hektar, dengan hasil panen tertinggi sebesar 33500 ton per hektar dan hasil panen terendah sebesar 43 ton per hektar. Nilai simpangan

baku (standar deviasi) sebesar 945 artinya dari 19 kabupaten/ kota petani padi di Jawa Timur

memiliki distribusi hasil panen yang tidak merata. Rata-rata hasil panen tertinggi adalah Kabupaten Tuban sebesar 2783 ton per hektar dan rata-rata terendah sebesar 405 ton per hektar pada kabupaten Pacitan. Kabupaten Madiun memiliki hasil panen yang tidak merata terlihat dari nilai standar deviasi yang besar yaitu 4515, sedangkan kabupaten Pacitan memiliki hasil panen yang cukup merata terlihat dari standar deviasi yang kecil yaitu 323.

Tabel 3. Hasil Panen Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Luas Panen Petani Padi di Jawa Timur

Tabel 4. menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) luas panen petani padi Jawa

Timur adalah 2961 hektar, dengan luas panen terbesar yaitu 50000 hektar dan luas panen

terkecil yaitu 125 hektar. Nilai simpangan baku (standar deviasi) sebesar 1353 artinya dari 19

(15)
(16)

Tabel 4. Luas Panen Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Jumlah Benih yang Digunakan Petani Padi di Jawa Timur

Tabel 5. menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) jumlah benih yang digunakan

petani padi Jawa Timur adalah 16 kilogram per hektar, dengan jumlah benih yang paling banyak digunakan adalah 200 kilogram per hektar dan jumlah benih paling sedikit digunakan

adalah 1 kilogram per hektar. Nilai simpangan baku (standar deviasi) sebesar 6 artinya dari

19 kabupaten/ kota petani padi di Jawa Timur memiliki distribusi jumlah benih yang digunakan merata.

(17)

Tabel 5. Benih yang Digunakan Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Jumlah Pupuk yang Digunakan Petani Padi di Jawa Timur

Tabel 6. menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) jumlah pupuk yang digunakan

petani padi Jawa Timur adalah 173 kilogram per hektar, dengan jumlah pupuk yang paling banyak digunakan adalah 3250 kilogram per hektar dan jumlah pupuk paling sedikit

digunakan adalah 3 kilogram per hektar. Nilai simpangan baku (standar deviasi) sebesar 87

artinya dari 19 kabupaten/ kota petani padi di Jawa Timur memiliki distribusi jumlah pupuk yang digunakan merata.

(18)

Tabel 6. Pupuk yang Digunakan Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Jumlah Tenaga Kerja Petani Padi di Jawa Timur

Tabel 7. menunjukkan deskripsi nilai rata-rata (mean) jumlah tenaga kerja petani padi

Jawa Timur adalah 61 orang per hari, dengan jumlah tenaga kerja terbanyak 1360 orang per

hari dan jumlah tenaga kerja terkecil sebesar 1 orang per hari. Nilai simpangan baku (standar

deviasi) sebesar 55 artinya dari 19 kabupaten/ kota petani padi di Jawa Timur memiliki distribusi jumlah tenaga kerja yang merata.

(19)

Tabel 7. Tenaga Kerja Petani Padi 19 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Selama tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, luas pertanian padi di Indonesia meningkat sebesar 1,48 persen, di mana pada 2007 luas pertanian padi 12,14 juta hektar menjadi 12,33 juta hektar pada 2008. Seiring dengan peningkatan luas lahan, hasil produksi padi juga meningkat sebesar 5,54 persen dibanding 2007 atau menjadi sebesar 60,33 juta ton dengan produktivitas mencapai 48,94 kuintal per hektar pada 2008 (BPS, 2008). Sementara itu, sebagai salah satu pulau penghasil padi terbesar, pulau Jawa juga mengalami peningkatan produksi selama 2007-2008 sebesar 6,17 persen atau menjadi 32,35 juta ton pada 2008. Peningkatan tersebut salah satunya disebabkan oleh bertambahnya luas panen 71,32 ribu hektar (1,25 persen).

Rata-rata luas lahan yang dimiliki rumah tangga usahatani padi di Jawa Timur adalah 4.039,23 hektar yang terdiri dari lahan sawah dan lahan bukan sawah. Perlu diketahui, lahan sawah merupakan lahan pertanian yang berpetak dan dibatasi oleh pematang, saluran air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status tanah tersebut, sedangkan lahan bukan sawah adalah semua lahan selain lahan sawah seperti lahan pekarangan, huma, ladang, tegalan/kebun, danau, rawa, dan lainnya. Rata-rata lahan sawah yang dimiliki rumah tangga usahatani padi seluas 3.199,18 hektar, sedangkan lahan bukan sawah seluas 840,05 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian padi di Indonesia sebagian besar masih dikelola oleh rumah tangga usahatani skala kecil.

Tabel 8. Persentase Luas Sawah Padi di Jawa Timur

Luas Lahan Sawah (m2) Persentase Petani Padi (%)

< 5.000 81,11

5.000 – 10.000 14,79

10.001-15.000 2,57

15.001-20.000 0,86

20.001-25.000 0,31

> 25.000 0,36

(20)

Berdasarkan Tabel 8. dapat diketahui bahwa mayoritas luas lahan sawah padi yang dimiliki rumah tangga usahatani di Jawa Timur adalah kurang dari 5.000 meter persegi (81,11 persen). Sisanya dimiliki oleh rumah tangga usahatani dengan kepemilikan luas lahan di atas 5000 meter persegi (18,99 persen). Sama halnya dengan di Indonesia, kepemilikan lahan usahatani di Jawa Timur sebagian besar dikuasai oleh rumah tangga usahatani skala kecil (di bawah 5000 meter persegi).

Berdasarkan data hasil survei SOUTP (Struktur Ongkos Usaha Tani Padi) pada 2218 petani (DMU), diketahui bahwa sebagian besar petani menggunakan benih bersertifikat dengan persentase sebesar 72,36 persen. Adapun petani yang tidak menggunakan benih bersertifikat sebesar 27,64 persen. Benih bersertifikat lebih banyak digunakan oleh petani karena kualitas benih yang dapat dipercaya ketimbang benih padi yang tidak bersertifikat.

Perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung dapat menstimulasi pertumbuhan organisme pengganggu tanaman (OPT) karena adanya fluktuasi suhu dan kelembapan udara. Dampak kekeringan dapat menyebabkan populasi ulat pemakan daun, sedangkan pada musim hujan dapat menyebabkan serangan penyakit yang disebabkan oleh cendawan (Ditjenbun). Menurut Nurwansya (2010), Serangan hama atau OPT dapat menyebabkan kerugian diantaranya adalah gagal panen, jumlah produksi menurun, dan menurunkan nilai ekonomis hasil produksi pertanian. Serangan hama / OPT di Jawa Timur pada tahun 2008 mencapai 4,87 persen serangan besar/berat. Serangan sedang mencapai 14,11 persen, serangan ringan/kecil mencapai 27,86 persen dan sisanya sebesar 53,16 persen tidak terkena serangan hama/ OPT.

Peningkatan produksi pertanian tidak lepas dari bantuan yang diterima oleh petani, baik dari pemerintah maupun pihak lain. Bantuan yang diterima oleh petani dapat berupa subsidi harga pupuk maupun subsidi harga benih maupun dalam bentuk bantuan yang lainnya. Sumber bantuan yg diterima petani untuk usahatani padi di Jawa Timur tahun 2008 adalah sebesar 4,91persen berasal dari pemerintah pusat, 9,69 persen berasal dari pemerintah daerah, 0,32 persen berasal dari lembaga non pemerintah, 0,14 persen perorangan, dan 84,94 persen petani tidak menerima bantuan.

Permodalan dapat menjadi kendala utama bagi petani dalam mengembangkan usaha. Sumber permodalan utamanya berasal dari pinjaman bukan bank. Alasan utama tidak meminjam uang dari bank adalah sebesar 11.80 persen petani tidak mengetahui prosedur, sebesar 2,81 persen petani beralasan lokasi bank jauh, sebesar 9,55 persen petani beralasan pinjaman bank memiliki suku bunga yang tinggi, 13,48 persen petani beralasan pinjam bank memiliki proses yang berbelit-belit, dan sebesar 39,33 persen petani memiliki alasan lainnya.

Analisis Model DEA

Objek dalam penelitian ini meliputi 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur pada tahun 2008 melalui survei terhadap 2217 observasi untuk meneliti efisiesnsi teknis pertanian padi

menggunakan metode Data Envelopment Analysis. Penelitian ini menggunakan dua metode,

metode pertama mengunakan Data Envelopment Analysis (DEA) untuk menganalisis

(21)

Tabel 9. Statistik Deskriptif Indikator Input dan Output Model DEA

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa variabel output rata-rata hasil panen tahun 2008 sebesar 1545 ton per hektar. Rata-rata hasil panen tertinggi mencapai 33.500 ton per hektar dan rata-rata terendah sebesar 43 ton per hektar. Nilai standar deviasi yang cukup tinggi mencapai 945 menunjukkan adanya ketidakmerataan hasil panen petani padi pada 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur. Disisi lain beberapa variabel input diantaranya luas panen memiliki rata-rata area seluas 2961 hektar, luas area terbesar 50.000 hektar dan terkecil 125 hektar. Nilai standar deviasi sangat tinggi mencapai 1353 menunjukkan adanya ketidakmerataan luas panen luas panen petani padi pada 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur. Variabel input lain adalah jumlah benih, jumlah benih yang digunakan memiliki rata-rata sebesar 16 kilogram per hektar, dengan jumlah benih paling banyak digunakan sebesar 200 kilogram per hektar dan paling sedikit adalah sebesar 1 kilogram per hektar. Nilai standar deviasi yang sangat rendah sebesar 6 menunjukkan bahwa tidak ada ketidakmerataan dalam penggunaan benih petani padi pada 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur. Jumlah pupuk merupakan bagian dari input yang digunakan dalam faktor produksi pertanian. Jumlah pupuk yang digunakan adalah sebesar 173 kilogram per hektar, penggunaan pupuk tertinggi adalah 3250 kilogram per hektar dan terendah sebanyak 3 kilogram per hektar. Nilai standar deviasi yang tidak terlalu tinggi sebesar 87 menunjukkan bahwa tidak ada ketidakmerataan dalam penggunaan pupuk petani padi pada 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur. Variabel input yang terakhir adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam mengolah sawah. Rata-rata pekerja yang digunakan dalam mengolah pertanian padi adalah 61 orang per hari, dengan pekerja terbanyak mencapai 1360 orang per hari dan terkecil hanya menggunakan 1orang per hari. Nilai standar deviasi yang tidak terlalu tinggi yaitu 55 menunjukkan bahwa tidak ada ketidakmerataan dalam penggunaan pekerja dalam mengolah pertanian padi pada 19 kabupaten/ kota di Jawa Timur.

Analisis efisiensi teknis adalah analisis yang mengukur tingkat efisiensi antara variabel input dan output. Nilai efisiensi teknis digunakan untuk melihat sejauh mana tingkat efisiensi penggunaan input berupa luas panen, jumlah benih, jumlah pupuk dan jumlah tenaga kerja pada 19 kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur untuk menghasilkan panen yang optimal. Terlebih dahulu penulis membagi nilai efisiensi teknis petani padi di Jawa Timur

menjadi 12 kelas interval dengan asumsi constant return to scale (CRS) maupun asumsi

(22)

Tabel 10. Efisiensi Teknis Asumsi CRS Pertanian Padi Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

Sumber: Survei Ongks Usaha Tani Padi, 2008

Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa dari 12 kelas interval yang ada, sebanyak 514 dari 2217 petani memiliki nilai efisiensi teknis antara 57,90 persen sampai dengan 64,90 persen yang sebagian besar merupakan petani yang dari daerah Ponorogo yaitu sebanyak 62 petani. Disisi lain petani dengan nilai efisiensi teknis terendah antara 15,30 persen sampai dengan 22,30 persen adalah sebanyak 20 petani yang sebagian besar merupakan petani yang berasal dari daerah Probolinggo yaitu sebanyak 9 petani.

Tabel 11. Efisiensi Teknis Asumsi VRS Pertanian Padi Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Tahun 2008

S umber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Keterangan :

01: Pacitan

02: Ponorogo

05: Blitar

06: Kediri

08: Lumajang

09: Jember

10: Banyuwangi

11: Bondowoso

13: Probolinggo

14: Pasuruan

16: Mojokerto

17: Jombang

18: Nganjuk

(23)

21: Ngawi

22: Bojonegoro

23: Tuban

24: Lamongan

25: Gresik

Tabel 11 juga terlihat bahwa sebanyak 526 dari 2217 petani memiliki nilai efisiensi teknis antara 59,10 persen sampai dengan 66,10 persen yang sebagian besar merupakan petani yang dari daerah Jember yaitu sebanyak 47 petani. Disisi lain petani dengan nilai efisiensi teknis terendah antara 16,50 persen sampai dengan 23,50 persen adalah sebanyak 12 petani yang sebagian besar merupakan petani yang berasal dari daerah Probolinggo yaitu sebanyak 7 petani.

Tabel 12. CRS, IRS dan VRS Kabupaten Kota di Jawa Timur

Sumber: Survei Ongks Usaha Tani Padi, 2008

(24)

Tabel 13 menunjukkan 3 daerah yang berhasil mencapai kondisi efisien secara teknis (100 persen) dalam memanfaatkan input produksi pada 3 daerah diantaranya Bondowoso, Madiun

dan Tuban. Pada skla menunjukkan skor 100 persen dalam kondisi Constant Return to Scale

(CRS) artinya daerah tersebut sudah mencapai kondisi skala yang optimal, maka tidak perlu meningkatkan atau mengurangi skala produksinya.

Tabel 13. Daerah Efisien pada Asumsi CRS

Sumber: Survei Ongks Usaha Tani Padi, 2008

Tabel 13 menunjukkan 16 daerah yang tidak efisien pada asumsi Constant Return to

Scale (CRS), ke 16 daerah tersebut dalam kondisi Increasing Return to Scale (IRS). Kondisi

Increasing Return to Scale (IRS) menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut skala produksinya belum mencapai skala optimal karena seharusnya tingkat output masih bisa ditingkatkan dengan input yang ada sekarang dan masih berpotensi untuk menurunkan skala produksinya untuk mencapai kondisi skala yang optimal.

Analisis yang dilakukan pada metode DEA adalah berdasarkan kepada evaluasi terhadap efisiensi relatif dari DMU yang sebanding. DMU tersebut dapat dikatakan efisien relatif dibandingkan dengan DMU yang lain dalam satu set sampel penelitian. Selain menghasilkan nilai efisiensi masing-masing DMU, DEA juga memberikan nilai perbaikan bagi DMU yang tidak efisien.

Tabel 13 menunjukkan nilai efisiensi teknis pada asumsi Constant Return to Scale

(CRS) rata-rata kabupaten/ kota di provinsi Jawa Timur adalah sebesar 65 persen. Artinya untuk mencapai kondisi efisien rata-rata daerah masih bisa menurunkan input sebesar 35 persen dari nilai actual input luas panen sebesar 2961,38 hektar menjadi nilai target sebesar 2560,24 hektar, nilai actual jumlah benih sebesar 15,54 kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 12,24 kilogram per hektar, nilai actual jumlah pupuk sebesar 173,09 kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 149,38 kilogram per hektar, dan yang terakhir adalah variabel input jumlah tenaga kerja yaitu nilai actual jumlah tenaga kerja sebesar 61,12 orang per hari menjadi nilai target sebesar 41,34 orang per hari.

Pada 16 daerah yang tidak efisien terdapat 5 daerah yang nilai efisiensinya diatas rata-rata nilai efisiensi kabupaten/ kota di provinsi Jawa Timur dan 11 daerah sisanya masih berada dibawah rata-rata. Hal ini menunjukkan 11 daerah tersebut perlu mendapat perhatian untuk dapat meningkatkan efisiensi dalam penggunaan inputnya dengan menambah input produksinya sesuai dengan target perbaikan yang diberikan dalam analisis efisiensi teknis.

Daerah Probolinggo, adalah daerah yang memiliki nilai efisiensi teknis asumsi Constant

(25)

kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 99 kilogram per hektar, nilai actual jumlah tenaga kerja sebesar 35 orang per hari menjadi nilai target sebesar 23 orang per hari.

Tabel 14. Daerah Tidak Efisien pada Asumsi CRS

Sumber: Survei Ongks Usaha Tani Padi, 2008

Pada bagian kedua analisis teknis menggunakan asumsi Variable Return to Scale

(VRS) dengan pendekatan orientasi input. Analisis dalam asumsi Variable Return to Scale

(VRS) menghasilkan 6 daerah yang efisien dalam menggunakan lahan panen, jumlah benih, jumlah pupuk dan jumlah tenaga kerja (input) untuk menghasilkan panen padi (output)didaerahnya tahun 2008 yang dapat dilihat pada tabel 10. Jika dibandingkan dengan

asumsi CRS yang menghasilkan 3 daerah efisien, asumsi Variable Return to Scale (VRS)

lebih banyak menghasilkan daerah yang efisien. Kabupaten Bondowoso, Madiun, dan Tuban

merupakan 3 daerah yang efisien dalam analisis efisiensi teknis baik dalam asumsi Constant

Return to Scale (CRS) maupun Variable Return to Scale (VRS). Tabel 15. Daerah Efisien pada Asumsi VRS

Sumber: Survei Ongks Usaha Tani Padi, 2008

Tabel 15 menunjukkan 13 daerah yang tidak efisien pada asumsi Variable Return to

(26)

sebesar 93 persen. Artinya untuk mencapai kondisi efisien rata-rata daerah masih bisa mengurangi input sebesar 7 persen dari nilai actual input luas panen sebesar 2961,38 hektar menjadi nilai target sebesar 2710,55 hektar, nilai actual jumlah benih sebesar 15,54 kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 13,04 kilogram per hektar, nilai actual jumlah pupuk sebesar 173,09 kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 159,08 kilogram per hektar, dan yang terakhir adalah variabel input jumlah tenaga kerja yaitu nilai actual jumlah tenaga kerja sebesar 61,12 orang per hari menjadi nilai target sebesar 43.73 orang per hari.

Pada 13 daerah yang tidak efisien terdapat 4 daerah yang nilai efisiensinya diatas rata-rata nilai efisiensi kabupaten/ kota di provinsi Jawa Timur dan 9 daerah sisanya masih berada dibawah rata-rata. Hal ini menunjukkan 9 daerah tersebut perlu mendapat perhatian untuk dapat meningkatkan efisiensi dalam penggunaan inputnya dengan menambah input produksinya sesuai dengan target perbaikan yang diberikan dalam analisis efisiensi teknis. Daerah Probolinggo, Pasuruan dan Ngawi adalah daerah yang memiliki nilai efisiensi teknis

asumsi Constant Return to Scale (CRS) terendah diantara 19 daerah lainnya di provinsi Jawa

Timur pada tahun 2008 dengan nilai efisiensi sebesar 82 persen. Artinya untuk mencapai kondisi efisien darah Probolinggo, Pasuruan dan Ngawi harus mengurangi input produksinya masing-masing sebesar 18 persen dari nilai aktualnya secara berturut-turut dimulai dari daerah Probolinggo adalah nilai actual luas panen sebesar 3105 hektar menjadi nilai target sebesar 2232 hektar, nilai actual jumlah benih sebesar 18 kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 11 kilogram per hektar, nilai actual jumlah pupuk sebesar 152 kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 124 kilogram per hektar, nilai actual jumlah tenaga kerja sebesar 35 orang per hari menjadi nilai target sebesar 29 orang per hari. Daerah berikutnya adalah daerah Pasuruan, nilai actual luas panen sebesar 2770 hektar menjadi nilai target sebesar 2261 hektar, nilai actual jumlah benih sebesar 18 kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 12 kilogram per hektar, nilai actual jumlah pupuk sebesar 155 menjadi nilai target sebesar 127 kilogram per hektar, nilai actual jumlah tenaga kerja sebesar 173 menjadi nilai target sebesar 81 orang per hari. Terakhir adalah daerah Ngawi dengan nilai actual luas panen sebesar 3261 hektar menjadi nilai target sebesar 2658 hektar, nilai target jumlah benih sebesar 16 kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 12 kilogram per hektar, nilai actual jumlah pupuk sebesar 238 kilogram per hektar menjadi nilai target sebesar 194 kilogram per hektar, nilai actual jumlah tenaga kerja sebesar 45 orang per hari menjadi nilai target sebesar 37 orang per hari.

Tabel 16. Daerah Tidak Efisien pada Asumsi VRS

(27)

Analisis Model Tobit

Metode kedua menggunakan Model Tobit untuk menganalisis efisiensi dengan statistik deskriptif untuk variabel efisiensi dapat dilihat pada Tabel 9. Pada umumnya dalam Model Tobit standar batas bawah adalah nol dan batas atas adalah nilai tak terhingga, namun dalam penelitian ini batas bawah tobit ditentukan berdasarkan skor minimum efisiensi teknisnya (TE) agar tobit dapat mensensor semua skor efisiensi teknis (TE) yang sudah ditentukan.

Model tobit yang digunakan dalam penelitian ini dipisahkan berdasarkan penggunaan variabel bebasnya, yaitu model yang mempengaruhi efisiensi teknis yang hanya memasukkan variabel bebas umur dan luas lahan yang dikuasai dan model yang mempengaruhi efisiensi teknis dengan variabel dummy meliputi pendidikan, jenis sawah, jenis benih tidak ada kendala hama/ OPT, akses kredit dan bantuan pemerintah.

Tabel 17. Statistik Deskriptif Variabel yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Tabel 4.16 merupakan faktor - faktor yang diduga dapat mempengaruhi efisiensi teknis diantaranya adalah umur dan luas lahan yang dikuasai. Didalamnya tidak termasuk variabel pendidikan, jenis lahan, jenis benih, hama/ OPT, akses kredit, bantuan pemerintah

karena bentuk data dari keenam variabel tersebut adalah kategorikal (dummy) sehingga akan

(28)

Tabel 18. Distribusi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis (Variabel Dummy)

Sumber: Survei Ongkos Usaha Tani Padi, 2008

Tabel 18 menjelaskan distribusi masing-masing variabel dummy diantaranya sebanyak 83,49 persen petani padi di Jawa Timur tahun 2008 berpendidikan setara SMP, sebanyak 61,66 persen padi di Jawa Timur tahun 2008 memiliki jenis sawah nonirigasi. Variabel lain adalah sebanyak 72,35 persen petani padi di Jawa Timur tahun 2008 menggunakan benih yang tidak bersertifikat, kemudian sebanyak 66,17 persen petani padi di Jawa Timur tahun 2008 memiliki sawah yang terserang hama. Keadaan lain seperti akses kredit juga memiliki persentase sebesar 50,47 persen petani padi di Jawa Timur tahun 2008 tidak memiliki akses untuk kredit, dan yang terakhir adalah variabel bantuan pemerintah sebesar 85,39 persen petani padi di Jawa Timur tahun 2008 mendapatkan bantuan dari pemerintah. Hasil estimasi dari masing-msing model tersebut ditunjukkan dalam Tabel 4.18 berikut.

Tabel 19. Hasil Estimasi Model yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis

(29)

Tabel 20. Hasil Estimasi Model yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis dengan Variabel Dummy

*signifikan 1%, **signifikan 5%, ***signifikan 10%

Hal pertama yang harus dilakukan sebelum mengintepretasi hasil estimasi diatas adalah memastikan bahwa nilai dari parameter-parameter tersebut signifikan secara statistic atau dapat diestimasi secara statistic. Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui apakah model tobit tersebut dapat digunakan sebagai estimator. Berikut adalah beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk model tobit diatas.

Uji Z-Statistik

1. Model yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis

Dari Tabel 19 diatas dapat dilihat bahwa tidak semua variabel independen yang merupakan determinan dari sisi sosioekonomi, variabel umur tidak signifikan secara statistik dalam mempengaruhi hasil panen secara parsial. Variabel sosioekonomi yang lain yaitu luas lahan yang dikuasai signifikan secara statistik dalam mempengaruhi hasil panen secara parsial. Dalam tabel tersebut, variabel yang signifikan secara statistic diberi tanda bintang yang menunjukkan tingkat signifikansi dari masing-masing variabel bebas tersebut.

Besarnya nilai probabilitas z-statsitic variabel umur adalah 0,4184. Dengan batasan tingkat signifikansi 10 persen, maka nilai probabilitas dari variabel tersebut berada pada area

H0 diterima. Hal ini berarti bahwa parameter dari variabel umur tersebut tidak dapat dijadikan

estimator dan variabel tersebut tidak signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial

Nilai probabilitas z-statsitic variabel luas sawah yang dikuasai adalah 0,0345. Dengan batasan tingkat signifikansi 5 persen , maka nilai probabilitas dari variabel tersebut berada

pada area H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa parameter dari variabel luas lahan yang dikuasai

tersebut dapat dijadikan estimator dan variabel tersebut signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial.

Nilai probabilitas z-statsitic dari konstanta adalah 0,0016. Dengan batasan tingkat

signifikansi 1 persen, maka nilai probabilitas konstanta tersebut berada pada area H0 ditolak.

(30)

2. Model yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis dengan Variabel Dummy

Sesuai dengan tabel 20, dapat dijelaskan bahwa hanya terdapat satu variable yang signifikan secara statistic dalam mempengaruhi hasil panen secara parsial. Variabel

independen diantaranya variabel sosioekonomi yaitu pendidikan, sisi biologikal diantaranya jenis sawah dan jenis benih, tidak ada kendala hama/ OPT, akses kredit dan bantuan pemerintah. Hanya terdapat satu variabel bebas yang signifikan secara statistik dalam mempengaruhi hasil panen padi secara parsial.

Besarnya nilai probabilitas z-statistic variabel pendidikan adalah 0.0310. Dengan batasan tingkat signifikansi 5 persen maka nilai probabilitas dari variabel tersebut berada

pada area H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa parameter dari variabel pendidikan tersebut dapat

dijadikan estimator dan variabel tersebut signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial.

Nilai probabilitas z-statistic variabel jenis sawah adalah 0.2981. Dengan batasan tingkat signifikansi 10 persen maka nilai probabilitas dari variabel tersebut berada pada area

H0 diterima. Hal ini berarti bahwa parameter dari variabel jenis sawah tersebut tidak dapat

dijadikan estimator dan variabel tersebut signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial.

Besarnya nilai probabilitas z-statistic variabel jenis benih adalah 0.5962. Dengan batasan tingkat signifikansi 10 persen maka nilai probabilitas dari variabel tersebut berada

pada area H0 diterima. Hal ini berarti bahwa parameter dari variabel jenis benih tersebut tidak

dapat dijadikan estimator dan variabel tersebut signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial.

Nilai probabilitas z-statistic variabel tidak ada hama/ OPT adalah 0.5189. Dengan batasan tingkat signifikansi 10 persen maka nilai probabilitas dari variabel tersebut berada

pada area H0 diterima. Hal ini berarti bahwa parameter dari variabel tidak ada hama/ OPT

tersebut tidak dapat dijadikan estimator dan variabel tersebut signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial.

Besarnya nilai probabilitas z-statistic variabel akses kredit adalah 0.4034. Dengan batasan tingkat signifikansi 10 persen maka nilai probabilitas dari variabel tersebut berada

pada area H0 diterima. Hal ini berarti bahwa parameter dari variabel akses kredit tersebut

tidak dapat dijadikan estimator dan variabel tersebut signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial.

Nilai probabilitas z-statistic variabel bantuan pemerintah adalah 0.2700. Dengan batasan tingkat signifikansi 10 persen maka nilai probabilitas dari variabel tersebut berada

pada area H0 diterima. Hal ini berarti bahwa parameter dari variabel bantuan pemerintah

tersebut tidak dapat dijadikan estimator dan variabel tersebut signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial.

Besarnya nilai probabilitas z-statistic konstanta adalah 0.1097. Dengan batasan tingkat signifikansi 10 persen maka nilai probabilitas dari variabel tersebut berada pada area

H0 diterima. Hal ini berarti bahwa parameter dari konstanta tersebut tidak dapat dijadikan

estimator.

Uji Likelihood Ratio (LR)

Uji Likelihood Ratio ini mirip dengan uji f-statistic pada model regresi Ordinary

Least Square. Dari hasil estimasi dua model yang telah ditunjukkan pada tabel 19 tampak

(31)

menunjukkan bahwa probabilitas Likelihood Ratio tidak signifikan secara statistic. Hal ini berarti bahwa tidak seluruh variabel bebas dalam masing-masing model tersebut secara bersama-sama (simultan) signifikan secara statistik dalam mempengaruhi variabel hasil panen.

Sisi sosioekonomi lain yaitu pendidikan, sisi biologikal diantaranya jenis sawah, jenis benih, kendala hama atau OPT. Kemudian variabel akses kredit dan variabel bantuan pemerintah. Hasil analisis pada model yang mempengaruhi efisiensi teknis hasil panen menggunakan teknik analisis tobit menunjukkan bahwa secara simultan, variabel sisi sosioekonomi diantaranya pendidikan, Sisi biologikal diantaranya jenis sawah, jenis benih, tidak ada kendala hama/ OPT, akses kredit dan bantuan pemerintah tidak signifikan secara statistik dalam mempengaruhi efisiensi teknis hasil panen padi. Akan tetapi bila diamati secara parsial, tidak semua variabel independen signifikan secara statistic. Variabel independen yang terbukti signifikan secara statistic mempengaruhi efisiensi teknis adalah variabel pendidikan.

Keterbatasan Penelitian

Secara umum penelitian ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini belum dapat mencakup analisis secara keseluruhan seperti analisis efisiensi teknis, efisiensi ekonomi dan efisiensi alokasi. Penelitian ini dilakukan hanya terbatas pada analisis teknis, sehingga diharapkan penelitian yang akan datang dapat menganalisis efisiensi secara keseluruhan yang mencakup analisis efisiensi ekonomi dan efisiensi alokasi.

2. Analisis efisiensi pertanian padi di Jawa Timur ini merupakan analisis statsis (periode waktu hanya satu tahun). Hal ini terjadi karena keterbatasan data survey hanya dilakukan sepuluh tahun sekali dan survey baru dilakukan pada tahun 2003. Data mengenai Survei Ongkos Usaha Tani Padi (SOUTP) 2008 merupakan data survei terkini yang dikumpulkan sebelum Sensus Pertanian (SP) 2013. Dengan didukung ketersediaan data yang memadai, penelitian berikutnya diharapkan dapat dilakukan secara dinamis (melibatkan beberapa tahun) sehingga dapat terlihat jelas perubahan efisiensi teknis dalam pertanian padi dari satu periode ke periode berikutnya.

SIMPULAN

Berdasarkan asumsi Variable Return to Scale (VRS) pendekatan input oriented

efisiensi teknis menunjukkan 6 daerah yang berhasil mencapai kondisi efisien yaitu daerah Pacitan, Ponorogo, Banyuwangi, Bondowoso, Madiun, dan Tuban sedangkan 13 daerah lainnya dalam kondisi tidak efisien diantaranya Blitar, Kediri, Lumajang, Jember, Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Ngawi, Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik. Pada 13 daerah yag tidak efisien terdapat 4 daerah yang nilai efisiensinya diatas rata-rata nilai efisien kabupaten/ kota di provinsi Jawa Timur yaitu Blitar, Lumajang, Jember dan Bojonegoro dan 9 daerah sisanya berada dibawah rata-rata yaitu Kediri, Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Ngawi, Lamongan dan Gresik. Enam daerah yang

efisien berada pada kondisi Constant Return to Scale (CRS), sedangkan 13 daerah yang tidak

efisien tersebut berada pada kondisi Increasing Return to Scale (IRS).

Pada analisis efisiensi teknis asumsi Variable Return to Scale (VRS) rata-rata daerah

(32)

kilogram untuk mencapai nilai target sebesar 13,04 kilogram, nilai aktual jumlah pupuk sebesar 173,09 kilogram untuk mencapai nilai target sebesar 159,08 kilogram, dan yang terakhir nilai aktual jumlah tenaga kerja sebesar 61 orang per hari untuk mencapai nilai target sebesar 44 orang per hari.

Variabel sosioekonomi seperti luas lahan yang dikuasai dan pendidikan signifikan mempengaruhi hasil panen secara parsial. Secara simultan variabel-variabel tersebut tidak signifikan mempengaruhi hasil panen.

REFERENSI

Anderson, Timothy R., et al. 2001. Management of Engineering and Technology.

PICMET’01 Portland International Conference : 384-390

Banker, Rajiv. D dan Ram Natarajan. 2008. Evaluating Contextual Variables Affecting

Productivity Using Data Envelopment Analysis. Operations Research, 56 (1): 48-58

Badan Pusat Statistik. 2008. Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2008. Surabaya: Badan

Pusat Statistik Jawa Timur

Badan Pusat Statistik. 2011. Survei Angkatan Kerja Nasional 2011. Jakarta: Badan Pusat

Statistik

Badan Pusat Statistik. 2013. Sensus Pertanian 2013. Surabaya: Badan Pusat Statistik Jawa

Timur

Brazdik, Frantisek. 2006. Non-Parametric Analysis of Technical Efficiency: Factors Affecting

Efficiency of West Java Rice Farms. CERGE-EI Working Paper Series No. 286

Charnes, A, et al. 1978. Measurement the Efficiency of Decision Making Units. European

Journal of Operational Research, 2 (6): 429-444

Coelli, Timothy J, et al. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. 2nd

Edition. United States of America: Springer Online

____________________. 2008. A Guide of DEAP 2.1: A Data Envelopment Analysis

(Computer) Program. CEPA Working Papers. Australia: Departement of Econometrics University of New England

Darwanto. 2010. Analisis Efisiensi Usahatani Padi di Jawa Tengah (Penerapan Analisis

Frontier). Jurnal Universitas Diponegoro Semarang, Vol. 6: 46-57

Fagi, AM, dkk. 2008. Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Subang: Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi

FAO. 2013. Food and Agriculture Organization Statistics (FAOSTAT) 2013. USA: FAO

Gujarati, Damodar N. 2009. Dasar-dasar Ekonometrika. Jakarta: Salemba Empat

Huy, Huynh Truong. 2009. Technical Efficiency of Rice Producing Households in the

(33)

Mailena, Lira, et al. 2014. Rice Farm Efficiency and Factors affecting the Efficiency in

MADA Malaysia. Science Alert, 14: 2177-2182

McDonald, John. 2008. Using Least Squares and Tobit in Second Stage DEA Efficiency

Analysis. Adelaide University

Nicholson, Walter. 2002. Microeconomics Intermediate. Jakarta: Erlangga

Pramono, dkk. 2005. Upaya Peningkatan Padi Sawah Melalui Pendekatan Pengelolaan

Tanaman Terpadu. Agrosains, 7 (1): 1-6

Taraka, Kallika, et al. 2010. Non-Parametric Approach to Evaluate Technical Efficiency of

Rice Farms in Central Thailand, Chulalongkorn. Journal of Economics Malaysia, 22:

(34)

Gambar

Tabel 1. Konsumsi Beras, Jumlah Penduduk, Per kapita Konsumsi Beras Tahun 2009 danPertumbuhannya selama 1961 – 2009 di Indonesia dan Beberapa Negara PenghasilBeras di Asia
Tabel 2. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Pertanian Padi di Indonesia Tahun 2009
Gambar 1. Isoquant Map
Gambar 4. Kurva Produksi Frontier
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berikut ini ringkasan anggaran biaya yang dibutuhkan dalam Penelitian Dosen Muda mengenai Pengembangan Sistem Visualisasi Pembelajaran Matematika Berbasis Multimedia

Hasil ini menunjukkan bahwa adopsi IFRS di Indonesia tidak mempunyai pengaruh pada gabungan rele- vansi nilai informasi akuntansi yaitu laba bersih dan nilai buku

Kholis, 2013, Gejolak Peradaban Islam pada Masa Perang Salib , dalam Umar Faruq Thohir dan Anis Hidayatul Imtihanah (ed), Dinamika Peradaban Islam , Yogyakarta: Pustaka

Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena- fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebutan fenomenologis

Sesuai dengan Undang-Undang RI No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Akademik Tahun 2010 yang berlaku di Politeknik Negeri Jakarta, bahwa

Sebagai pengisi bola lampu karena Argon tidak bereaksi dengan kawat lampu Dipakai dalam industri logam sebagai inert saat pemotongan dan proses lainnya Untuk membuat lapisan

Kepribadian Ririn yang dipengaruhi aspek id dan ego meliputi; trendi dan menarik, malu karena jatuh, takut dan malu bernyanyi, jengkel tidak dapat menyeberang,

Kabupaten/Pemerintah Kota untuk penyelesaiannya. Penyelesaian batas daerah Kabupaten Lombok Barat dengan Kota Mataram sudah terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 55