YANG MENGHADAPI PENSIUN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Guna
Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi
RETNO KUSUMASTUTI 05.40.0141
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
Skripsi ini aku persembahkan untuk
Tuhan Yang Maha Esa, serta Bapak dan Ibu yang
Cara Paling Singkat dan Paling Pasti Untuk Hidup Secara
Terhormat Di Dunia Adalah Hidup Sebagaimana Adanya.
(Socrates)
Sebuah Kesalahan Tidak Akan Menjadi Kebenaran Sesering
Apapun Dilakukan. Sebuah Kebenaran Tidak Akan Menjadi
Kesalahan, Meskipun Tidak Ada yang Pernah Mendengarnya.
(Mahatma Gandhi)
Tes Utama Terhadap Kecerdasan Kita Bukanlah dalam Seberapa
Besar Pengetahuan Kita Akan Apa yang Harus Dilakukan.
Melainkan Pada Apa yang Kita Lakukan di Saat Kita Tidak Tahu
Apa yang Harus Dilakukan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan karya ini dengan lancar. Serta berbagai
pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan karya ini, antara lain :
1. Ibu Th dewi setyorini, S.Psi., M. Si selaku dekan Fakultas Psikologi, yang
dapat membuat peneliti menjadi termotivasi.
2. Bapak Drs M.L Oetomo selaku dosen pembimbing utama yang telah
membimbing peneliti, memberikan saran, kritik, juga petuah yang
menyejukkan hati serta memberi pencerahan, yang selalu dapat meluangkan
waktunya yang berharga bagi peneliti.
3. Bapak Drs Suharsono selaku dosen wali yang dapat membimbing peneliti.
4. Para dosen psikologi yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang
telah membantu peneliti dalam menyelesaikan karya ini.
5. Para subyek yaitu SS, N, dan SD yang sangat membantu peneliti demi
kelancaran proses pembuatan karya ini, yang telah meluangkan waktunya bagi
peneliti, serta dapat memberikan warna selama berlangsungnya proses
tersebut.
6. Teman-teman Laboratorium Psikodiagnostik, yang telah membantu peneliti
dalam melaksanakan tes TAT.
7. Para staf tata usaha yang telah membantu peneliti, terutama saat pendaftaran
8. Bapak dan Ibu yang selalu mencintai dan menyayangiku, selalu memberiku
dukungan setiap saat, baik moril maupun materiil. Peneliti juga menyayangi
Bapak dan Ibu, peneliti akan selalu memberikan yang terbaik bagi kalian,
membuat kalian bahagia dan bangga.
9. Mbak Asih dan Mas Nyoto, kakak-kakakku yang selalu memberi dukungan
bagi peneliti, selalu membuat peneliti menjadi semangat dan berusaha menjadi
lebih baik lagi.
10. Adhit, My Lovely Nephew, yang selalu membuat peneliti tertawa karena
celoteh dan tingkahnya yang lucu serta membuat peneliti belajar kesabaran.
11. My Old Sister, Nana, terimakasih atas kebersamaan yang telah kamu berikan dari awal kuliah hingga saat ini. Peneliti berharap keadaan yang seperti ini
tidak akan berubah sampai kapanpun. You Are My Best Listener, terimakasih karena kamu juga selalu bersedia mendengarkan keluh kesahku.
12. Cicikku ‘Nyak’ (Kristin), terimakasih atas kebersamaannya selama ini,
terimakasih karena telah menjagaku, kamu telah mengajarkanku tentang
banyak hal, hingga ada sedikit perubahan yang positif dalam sifat dan sikapku.
13. Eyangnda (Berlian), matur nuwun sanget Eyang, telah memberiku warna
dalam hidup, memberi semangat dalam berbagai hal.
14. Sahabatku sejak kecil, Ai, semoga persahabatan kita tak lekang oleh waktu.
Peneliti doakan selalu yang terbaik buatmu.
15. Temanku, Indra, terimakasih telah hadir dalam hidupku, kamulah orang yang
dapat aku ajak diskusi dan berdebat. Tempat aku selalu mencurahkan keluh
16. Teman-temanku, Rakhel, Ayu, Gendut, Anggit, terimakasih telah memberiku
dukungan dan semangat hingga skripsi ini selesai dengan lancar.
17. Pasukan Lepete Ceria : Ade, Nandi, Nana, Veena, Anggit, Lala, Poe-3, Seto,
Dian. Kebersamaan yang paling menyenangkan bersama kalian. Perhatian dan
pengertian selalu aku dapatkan dari kalian. Saat sedih, aku temukan sukacita
di wajah kalian. Thanks for all
18. Teman-temanku kuliah : Citra, Icha, Nanachan, Okta, Stella, Agnes,
terimakasih canda tawanya selama ini.
19. Teman-teman KAPKI : Nanik, Keren, Desy, dan brother Topan. Selalu
kunantikan kebersamaan seperti dulu lagi.
20. Keluarga Widya : Mas Kandar, budhe, mbak QQ, Devina. Thanks
21. Serta segenap pihak yang telah membantu peneliti, yang tidak dapat peneliti
sebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………..…..1
HALAMAN PERSEMBAHAN...2
HALAMAN MOTTO……….….3
UCAPAN TERIMAKASIH……….4
DAFTAR ISI…...7
DAFTAR TABEL...9
DAFTAR DIAGRAM...10
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...12
B. Tujuan Penelitian...19
C. Manfaat Penelitian...20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Emosional...21
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional...23
3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional………..……….26
4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional……….….30
5. Penelitian Beberapa Tokoh Mengenai Kecerdasan Emosional…...32
B. Guru yang Menghadapi Pensiun 1. Pengertian Guru yang Menghadapi Pensiun………...36
3. Kondisi yang Mempengaruhi Penyesuaian Terhadap Pensiun...38
4. Fase-fase Pensiun...40
C. Analisa Kecerdasan Emosional Para Guru yang Menghadapi Pensiun...42
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Kualitatif...48
B. Subyek Penelitian 1. Populasi Penelitian...50
2. Teknik Pengambilan Sampel...50
C. Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara...51
2. Observasi...52
3. Tes...54
D. Metode Analisis Data...56
E. Validitas dan Reliabilitas...59
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN A. Persiapan Pengumpulan...61
B. Pelaksanaan Penelitian...61
C. Hasil Pengumpulan Data 1. Kasus 1...63
2. Kasus 2...84
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Rangkuman...126
B. Pembahasan...131
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan...134
B. Saran...136
DAFTAR PUSTAKA...138
LAMPIRAN Pedoman Wawancara...142
Pedoman Observasi...145
Hasil Wawancara Subyek 1...146
Hasil Wawancara Subyek 2...155
Hasil Wawancara Subyek 3...163
Keterangan Koding Hasil Wawancara...171
TAT Versi Murray Subyek 1...172
TAT Versi Murray Subyek 2...197
TAT Versi Murray Subyek 3...226
Item-item Pertanyaan Kecerdasan Emosional Subyek 1
Item-item Pertanyaan Kecerdasan Emosional Subyek 2
Item-item pertanyaan Kecerdasan Emosional Subyek 3
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Reaksi yang Muncul Saat Menghadapi Pensiun Subyek 1...70
Tabel 2 : Keterampilan Emosional Subyek 1...71
Tabel 3 : Reaksi yang Muncul Saat Menghadapi Pensiun Subyek 2...91
Tabel 4 : Keterampilan Emosional Subyek 2...92
Tabel 5 : Reaksi yang Muncul Saat Menghadapi Pensiun Subyek 3...112
TABEL DIAGRAM
Diagram 1 : Analisa Kecerdasan Emosional Guru yang Menghadapi Pensiun....36
Diagram 2 : Kecerdasan Emosional Guru
yang Menghadapi Pensiun Subyek 1...72
Diagram 3 : Kecerdasan Emosional Guru
Yang Menghadapi pensiun subyek 2...93
Diagram 4 :Kecerdasan Emosional Guru
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap individu yang memiliki pekerjaan, pastinya akan mengalami
banyak hal selama menggeluti pekerjaannya, baik itu pegawai pemerintah
ataupun pekerja swasta. Masa-masa sulit di awal pekerjaan hingga tiba
saatnya untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan sehingga dapat sukses
dalam pekerjaannya, akan dialami oleh setiap individu di dalam pekerjaannya.
Setelah mengalami semua itu, tiba saatnya di usia lanjut, ketika kondisi fisik
sudah menurun dan usia mulai bertambah tua, orang harus siap untuk
menghadapi masa pensiun.
Masa pensiun tidak dapat dihindari oleh tiap orang yang bekerja.
Setiap perusahaan dan instansi pemerintah telah menetapkan batasan usia
tertentu untuk pensiun bagi pegawainya. Mau tidak mau jika usia telah
bertambah dan diikuti dengan kondisi fisik yang menurun, setiap pegawai
akan menghadapi masa pensiun, entah individu tersebut menyukainya atau
tidak.
Pensiun sering diidentikkan dengan tanda seseorang memasuki masa
tua. Banyak orang mempersepsikan secara negatif dengan menganggap bahwa
pensiun itu merupakan pertanda bahwa dia sudah tidak berguna dan tidak
dibutuhkan lagi karena usia tua dan produktivitas makin menurun, sehingga
Menurut Hurlock (1992, h. 380) tahap terakhir dalam kehidupan sering
dibagi menjadi usia lanjut dini yang berkisar antara usia enam puluh sampai
tujuh puluh dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir
kehidupan seseorang.
Salah satu tugas perkembangan yang harus dilalui oleh individu yang
lanjut usia adalah mempersiapkan diri memasuki masa pensiun. Pensiun
diawali dengan berhentinya seseorang dari suatu pekerjaan formal yang
semula digelutinya, karena kondisi fisik dan bertambahnya usia. Hal itu tidak
dapat dihindarkan, setiap individu pasti akan bertambah usia dan jika saat itu
tiba maka masa pensiun harus siap dihadapi.
Di Indonesia, menurut PP RI No. 32 tahun 1979, batasan usia pensiun
bagi pegawai negeri ditetapkan pada umur 56 tahun. Batas usia tersebut dapat
melonggar menjadi 58, 60, atau 65 tahun apabila seseorang menduduki
jabatan tertentu yang telah diatur dalam PP tersebut (www. dikti.co.id).
Pensiun merupakan akhir dari suatu pekerjaan, tidak ada satupun
individu yang bekerja tidak mengalami masa pensiun, hanya cara mereka
dalam menghadapinya yang berbeda satu sama lain. Pensiun seharusnya
membuat individu senang karena dapat menikmati hari tua mereka, namun
tidak sedikit pula individu yang merasa bingung bahkan cemas ketika
mendekati masa pensiun. Banyak alasan dikemukakan, merasa kehilangan
pekerjaan yang selama ini digeluti sehingga jika pensiun tidak lagi memiliki
kesibukan, selain itu masalah perekonomian juga ikut andil, jika tidak lagi
Bagi sebagian orang, pensiun dirasa sebagai suatu hal yang membuat
depresi, stress, jenuh, dan hidup terasa tidak lagi bermakna. Bagi orang yang
setiap harinya bekerja dari pagi hingga siang atau sore hari, saat pensiun akan
menjadi hari-hari membosankan tanpa pekerjaan, tidak ada lagi yang bisa
dikerjakan untuk mengisi waktu.
Guru merupakan suatu pekerjaan yang menuntut seseorang untuk
berinteraksi dengan orang lain. Sikap para guru terhadap pensiun pasti
bervariasi, dari sikap yang senang karena merasa akan bebas dari tugas dan
tanggungjawab sampai ke sikap yang gelisah karena memikirkan sesuatu yang
harus dilepaskan, padahal bagi individu itu sangat berarti yaitu pekerjaan, atau
mungkin ada hal lain lagi yang membuat mereka gelisah. Seorang guru
menularkan ilmu yang dimiliki pada murid-muridnya, serta berkomunikasi
dengan guru yang lain untuk mengembangkan prestasi akademik muridnya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan subyek di awal survey,
diketahui bahwa bagi sebagian guru, dapat melihat muridnya belajar dan
bercanda dengan murid yang lain merupakan suatu kebahagiaan tersendiri
bagi seorang guru. Bagi sebagian guru, mereka mulai berpikir jika pensiun
nantinya, mereka tidak dapat menikmati saat-saat bersama para muridnya lagi.
Selain itu, hilangnya pekerjaan membuat sebagian guru kebingungan sehingga
memutar otak untuk mencari solusinya.
Hilangnya pekerjaan yang semula dimiliki, cukup membuat sebagian
guru bingung. Mereka yang semula dapat menjadikan kegiatan mengajar
kehilangan kesibukan tersebut. Apalagi bagi guru yang tidak memiliki
pekerjaan sampingan, dan mengajar adalah pekerjaan serta kegiatan
satu-satunya. Bagi mereka yang memiliki pekerjaan sampingan, dapat melanjutkan
pekerjaannya itu saat masa pensiun tiba. Namun bagi mereka yang tidak
memilikinya, akan kebingungan saat memikirkan kesibukan yang nantinya
dapat dilakukan saat pensiun.
Selain tidak dapat berkumpul lagi dengan anak didik dan hilangnya
pekerjaan, pendapatan yang didapat juga akan berkurang. Saat masih menjadi
pegawai pemerintah, selain gaji, tunjangan juga akan diperoleh sehingga
semua kebutuhan akan tercukupi, bukan hanya sekedar untuk makan dan
minum, kebutuhan untuk membeli barang mewah tentunya dapat dijangkau
dengan mudah. Namun, jika pensiun semua hal itu akan sulit dicapai, apalagi
bagi mereka yang masih memiliki tanggungan, yaitu anak yang masih
bersekolah, terlebih lagi jika sudah menginjak perguruan tinggi. Tidak sedikit
uang yang dikeluarkan ketika membiayai anak yang bersekolah di perguruan
tinggi. Hal ini cukup membuat mereka, orang tua yang berprofesi sebagai
guru menjadi gundah ketika masa pensiun semakin dekat. Setelah pensiun
mereka hanya akan menerima uang pensiunan yang jumlahnya tidak seberapa
jika dibandingkan dengan uang yang mereka peroleh saat mereka masih
bekerja, dan tentunya tidak memperoleh tunjangan lagi. Mereka memikirkan
uang yang mereka peroleh itu cukup untuk membiayai pendidikan anak-anak
Beberapa hal di atas dapat menimbulkan kekhawatiran bagi para guru
yang akan mendekati masa pensiun. Sebagai contoh, Pak Harto seorang guru
yang menghadapi masa pensiunnya dengan rasa khawatir, memiliki ketakutan
akan pendapatan setelah pensiun yang jumlahnya hanya sedikit, sedangkan
dia masih harus menyekolahkan anaknya, selain itu dia juga merasa harga
dirinya turun di mata istrinya yang masih bekerja (Katamsi, 2007).Pak Ardi
berusia 61 tahun bersama istrinya bingung mengatur uang pensiun yang
jumlahnya minim untuk kebutuhan sehari-hari. Selain mereka berdua, ada
juga, Ibu Mira yang tidak memiliki kesiapan apa-apa saat menghadapi
pensiun suaminya, padahal mereka masih memiliki tiga orang anak yang
masih sekolah, sedangkan suaminya dan dirinya sendiri tidak memiliki
pekerjaan sampingan (Sulistiarto, 2007).
Sudah diutarakan bahwa setiap orang mempunyai sikap yang
bervariasi jika mendekati masa pensiun, tergantung kondisi emosionil
seseorang dalam menghadapi semua masalah yang terjadi pada dirinya. Back
(Hurlock, 1992, h. 419) juga mengutarakan bahwa hal-hal yang dapat
mempengaruhi seseorang dalam menerima masa pensiun adalah kondisi
emosionil para pekerja terhadap pensiun itu sendiri. Apabila pensiun semakin
dianggap sebagai perubahan ke status baru, maka pensiun akan semakin tidak
dianggap sebagai membuang status yang berharga dengan demikian akan
terjadi transisi yang lebih baik.
Berdasarkan uraian Back di atas diketahui bahwa kondisi emosionil
bekerja ke keadaan tanpa pekerjaan akan membuat individu tidak terlalu
terbebani, karena dengan demikian dia akan mempersiapkan rencana-rencana
yang akan dilakukan setelah pensiun nantinya. Namun kenyataannya, tidak
banyak orang yang dapat mengatur emosinya dengan baik, sehingga akan sulit
menerima keadaannya yang akan menghadapi masa pensiun.
Menurut Goleman (2007, h. 7) kecerdasan emosional mencakup
pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi
diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta
kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan
terdalam orang lain, untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya dengan
orang lain.
Kecerdasan emosional menuntut tiap individu untuk belajar mengakui
dan menghargai perasaan terhadap diri sendiri dan orang lain, dan untuk
menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
Individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi pastinya lebih
bisa mengelola emosinya dengan baik daripada orang lain yang kecerdasan
emosinya rendah, akan lebih bisa menguasai perasaan dan pikirannya sendiri,
sehingga dapat sukses meskipun mendekati atau bahkan sudah mengalami
masa pensiun. Mereka yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dapat
berpikir tentang langkah mereka selanjutnya, sehingga tidak akan mengalami
pekerjaan baru untuk mengisi kekosongan tanpa pekerjaan, dengan begitu
pendapatan juga akan mulai membaik meskipun masa pensiun telah datang
dan kebutuhan sehari-hari dapat tercukupi.
Kebanyakan orang lebih mementingkan IQ (Intelegensi Quotient)
daripada kecerdasan emosional (Emotional Quotient). Padahal hanya dengan nalar saja tidak cukup, tanpa kecerdasan emosional seseorang tidak dapat
memahami dirinya sendiri, tidak dapat mengerti dan memahami tentang
masalah yang sedang dihadapinya serta bagaimana cara mengatasi
permasalahan tersebut.
Kecerdasan emosional yang dimiliki masing-masing individu yang
menghadapi masa pensiun seharusnya dapat membuat dirinya mengerti serta
memahami penyebab munculnya kecemasan yang mereka alami dan
bagaimana cara mengatasinya. Dapat terbebas dari rasa cemas dan mencari
jalan keluar yang terbaik bagi permasalahannya.
Berdasarkan beberapa hal di atas, peneliti ingin melakukan penelitian
mengenai kecerdasan emosional para guru yang menghadapi pensiun. Adapun
perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah
sebagai berikut:
1. Penelitian Arbadiati dan Kurniati (2007) mengenai hubungan
antara kecerdasan emosi dengan kecenderungan problem focused
kecenderungan problem focused copingnya, dan begitu pula sebaliknya.
2. Sari juga melakukan penelitian tentang kecerdasan emosional
(2005). Hasilnya, kecerdasan emosional berperan dalam
mengurangi kecenderungan psikopatik pada remaja delinkuen.
3. Dalam penelitian Arfiana, Setyorini, dan Prabowo (2005) yang
menggunakan subyek beberapa karyawan dalam suatu perusahaan,
terbukti bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional maka
semakin rendah stres kerja pada masing-masing karyawan tersebut.
4. Maria Margareta (2006) melakukan penelitian tentang hubungan
antara kecerdasan emosional guru dengan strategi mengajar yang
efektif dalam kurikulum berbasis kompetensi. Terlihat bahwa
karakteristik guru yang mampu mengajar secara efektif antara lain
adalah guru yang emosinya stabil, kreatif dan inovatif, terbuka
pada keberagaman kebutuhan peserta didiknya dan memiliki
motivasi mengajar yang tinggi.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecerdasan emosional para
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan bidang Psikologi
Perkembangan.
2. Manfaat Praktis
Dapat menambah pengetahuan dan berguna bagi guru yang akan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh Peter Salovey dan John Mayer, mereka mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri
sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan
menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan
(dalam Shapiro, 1999, h. 5).
Salovey dan Mayer melontarkan kecerdasan emosional untuk
menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi
keberhasilan. Kualitas-kualitas itu antara lain; empati, mengungkapkan
dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian,
kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan
masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap
hormat (dalam Shapiro, 1999, h. 5).
Gardner yang mencetuskan istilah kecerdasan pribadi, dianggap
Salovey dan Mayer sebagai dasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan
pribadi menurut Gardner adalah suatu keterampilan yang berhubungan
Disamping itu, kecerdasan emosional juga berkaitan dengan kemampuan
untuk mengelola perasaan dan memotivasi, merencanakan, dan meraih
tujuan dari kehidupan (dalam Goleman, 2007, h. 57).
Menurut Goleman (2007, h. 7) kecerdasan emosional mencakup
pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengatur
suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir, serta kemampuan untuk mengendalikan dorongan
emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain, untuk memelihara
hubungan sebaik-baiknya dengan orang lain. Goleman juga menambahkan
bahwa kecerdasan emosi bukan berarti memberi kebebasan kepada
perasaan untuk berkuasa melainkan mengelola perasaan sehingga
terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja
sama dengan lancar menuju sasaran bersama (Goleman, 2003,h. 9).
Jack Block, seorang ahli psikologi, menyatakan bahwa seseorang
yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mantap secara sosial, mudah
bergaul, tidak mudah takut atau gelisah, berkemampuan besar untuk
melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk memikul
tanggungjawab, dan mempunyai pandangan moral, simpatik serta hangat
dalam hubungan dengan orang lain, dan memandang dirinya sendiri secara
positif (dalam Goleman, 2007, h. 60).
Gottman (2003, h. 2) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional
menyadari perasaan orang lain, mampu berempati, menghibur,
membimbing, kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, menunda
pemuasan, memberi motivasi pada diri sendiri, membaca isyarat sosial
orang lain dan menangani naik turunnya kehidupan.
Berdasarkan pernyataan dari beberapa ahli diatas mengenai
kecerdasan emosional, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah suatu keterampilan seseorang dalam mengendalikan
dirinya, mengerti serta memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain,
mampu mengendalikan dorongan emosinya, dan dapat menciptakan
suasana yang hangat dalam hubungannya dengan orang lain.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional tidaklah muncul begitu saja, kecerdasan
emosional yang dimiliki tiap-tiap orang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Goleman (2007, h. 29) salah satu tokoh yang menyebutkan faktor-faktor
tersebut sebagai berikut :
a. Faktor internal
1. Faktor bawaan
Kehidupan emosional telah muncul saat bayi, meskipun belum
memahami, dan mengetahui cara kerja amigdala dan hippocampus, struktur otak tersebutlah yang memunculkan kembali informasi
serta menentukan apakah informasi tersebut mempunyai nilai emosi
seseorang, kerusakan pada korteks frontal akan menurunkan
dorongan hati, mudah cemas, dan sering terjebak dalam kesulitan.
2. Kemarahan
Zillman (dalam Goleman, 2007, h. 83) pemicu amarah adalah
perasaan terancam bahaya. Kemarahan yang meledak-ledak atau
sifat emosional yang dimiliki seseorang tidak dapat membuatnya
cakap tentang kecerdasan emsoionalnya.
3. Kesedihan
Kesedihan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan depresi. Hal
yang dapat dilakukan untuk melawan depresi adalah bersosialisasi,
dengan bersosialisasi maka kecerdasan emosional seseorang dapat
terlatih.
4. Harapan
Dari sudut pandang kecerdasan emosional, mempunyai harapan
berarti seseorang tidak akan terjebak dalam kecemasan, bersikap
pasrah, atau depresi dalam menghadapi sulitnya tantangan atau
kemunduran.
b. Faktor eksternal
1. Pembelajaran emosi
Pembelajaran emosi di masa kanak-kanak dapat mempunyai
pengaruh besar terhadap temperamen. Sifat otak yang mudah sekali
dibentuk pada masa kanak-kanak dapat membuat
pengukiran jalur-jalur saraf secara permanen sepanjang hidup.
Diadakannya keterampilan emosional pada masa kanak-kanak dapat
mengembangkan kecerdasan emosionalnya, sehingga tidak mudah
mengalami frustrasi, sakit hati, dan kecemasan.
2. Pengasuhan orangtua
Kecerdasan emosional diajarkan bukan saja melalui hal-hal yang
dilakukan dan dikatakan oleh orangtua langsung kepada
anak-anaknya, tetapi juga dalam contoh-contoh yang mereka berikan
untuk menangani perasaan (Gottman, 2003, h. 2). Interaksi
emosional antara orangtua dengan anak akan berpengaruh besar
pada masa depan anak karena dengan memahami ikatan-ikatan
emosional yang kuat dengan anak berarti menolong anak
mengembangkan kemampuan emosionalnya (Gottman, 2003, h.
15).
3. Lingkungan
Seseorang yang hidup di lingkungan yang buruk apalagi sejak kecil,
tidak dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya dengan baik.
Di lingkungan sekitarnya hanya ada tindak kekerasan dan
kejahatan, dari situ seorang anak tidak dapat belajar bagaimana
memahami perasaan orang lain, serta membina hubungan dengan
orang lain.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
bawaan, kemarahan, kesedihan, harapan; dan faktor eksternal yang
mencakup pembelajaran emosi, pengasuhan orang tua, lingkungan.
3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Shapiro (1999,h. 24) mengemukakan enam aspek kecerdasan
emosional, yaitu :
a. Keterampilan emosi dari segi moral
Terdiri dari kemampuan untuk berempati dan peduli, bersikap jujur
dan integritas, dan kemampuan untuk mengatasi emosi moral negatif
yaitu rasa malu dan rasa bersalah.
b. Keterampilan berpikir
Terdiri dari kemampuan untuk berpikir realistis dan optimis
c. Keterampilan memecahkan masalah
d. Keterampilan sosial
Kemampuan bergaul dengan orang lain, terdiri dari kemampuan untuk
mengenali, menafsirkan dan bereaksi secara tepat terhadap
situasi-situasi sosial.
e. Keterampilan untuk memotivasi diri dan berprestasi
f. Keterampilan mengelola emosi
Kemampuan untuk meningkatkan perasaan-perasaan positif,
Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2007, h. 57) membagi dan
memperluas kemampuan kecerdasan emosional dalam lima wilayah
utama, yaitu :
a. Mengenali emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu,
mengobservasi, mengenali perasaan yang dimiliki diri sendiri.
b. Mengelola emosi
Menangani perasaan agar perasaan dapat diungkapkan dengan tepat.
Kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan, atau ketersinggungan.
c. Memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan, untuk memberi
perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, dan menguasai diri sendiri,
dan untuk berkreasi.
d. Mengenali emosi orang lain
Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri
emosional, merupakan keterampilan bergaul.
e. Membina hubungan
Seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. Keterampilan sosial, kemampuan
seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, keterampilan ini
Goleman (2007, h. 274) mengemukakan tujuh unsur utama
kemampuan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional :
a. Keyakinan
Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku,
dan dunia.
b. Rasa ingin tahu
Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu itu bersifat positif dan
menimbulkan kesenangan.
c. Niat
Hasrat dan kemampuan untuk berhasil, dan untuk bertindak
berdasarkan niat itu dengan tekun. Hal ini berkaitan dengan perasaan
terampil, perasaan efektif.
d. Kendali diri
Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan
pola yang sesuai dengan usia, suatu rasa kendali batiniah.
e. Keterkaitan
Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan
pada perasaan saling memahami.
f. Kecakapan berkomunikasi
Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan,
dan konsep dengan orang lain. Hal ini berkaitan dengan rasa percaya
g. Kooperatif
Kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan
kebutuhan orang lain dalam kegiatan kelompok.
Dulewics dan Higgs (dalam Martin, 2003, h. 47) mengemukakan
tujuh elemen utama kecerdasan emosional, yaitu :
a. Penyadaran diri (self awareness)
b. Manajemen emosi (emotional management) c. Motivasi diri (self motivation)
d. Empati (emphaty)
e. Mengelola hubungan (handling relationship)
f. Komunikasi interpersonal (interpersonal communication) g. Gaya pribadi (personal style)
Jeanne Segal (1999, h. 50) menyebutkan bahwa kemampuan
memahami pribadi dan antarpribadi berasal dari empat keterampilan
emosional yang membentuk kecerdasan emosional, yaitu :
a. Kesadaran emosional, yang membuat perbedaan bagaimana seseorang
memberi tanggapan terhadap konflik dan ketidakpastian
b. Penerimaan, yang membuat orang dapat terhindar dari stres atau
kecemasan
c. Kesadaran aktif, yang membuat seseorang mengetahui diri sendiri serta
menyadari emosi-emosi dan pikiran-pikirannya
d. Empati, yang membuat orang dapat menempatkan dirinya pada
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
kecerdasan emosional terdiri dari kesadaran emosional, penerimaan,
kesadaran aktif, dan empati.
4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Menurut Martin (2003, h. 26) kelebihan orang-orang yang
memiliki kecerdasan emosional tinggi dibandingkan orang lain tercermin
dari fakta :
a. Pada posisi yang berhubungan dengan orang banyak, mereka lebih
sukses bekerja. Terutama karena lebih berempati, komunikatif, lebih
tinggi rasa humornya, dan lebih peka akan kebutuhan orang lain.
b. Para salesmen, penyedia jasa, atau profesional lainnya yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi, nyatanya lebih disukai pelanggan, rekan
sekerja dan atasannya.
c. Mereka lebih bisa menyeimbangkan rasio dan emosi. Tidak terlalu
sensitif dan emosional, namun juga tidak dingin dan terlalu rasional.
Pendapat mereka dianggap selalu obyektif dan penuh pertimbangan.
d. Mereka menanggung stres lebih kecil karena biasa dengan leluasa
mengungkapkan perasaan, bukan memendamnya. Mereka mampu
memisahkan fakta dengan opini, sehingga tidak mudah terpengaruh
oleh gosip, namun berani untuk marah jika merasa benar.
e. Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang
tinggi mereka selalu mudah menyesuaikan diri karena fleksibel dan
f. Di saat yang lainnya menyerah, mereka tidak putus asa dan frustrasi,
justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Mubayidh (2007, h. 73) menyebutkan orang dewasa yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi, tercermin dari :
a. Lebih siap menerima tuntutan lingkungan.
b. Lebih mampu menghadapi tekanan lingkungan dan keadaan.
c. Lebih mampu memahami emosi dan perasaan orang lain.
d. Menjalankan tanggung jawab sosial dengan lebih baik.
e. Lebih mampu beradaptasi.
f. Lebih mampu memperkirakan karakter persoalan secara detail dan
cepat memberikan solusinya.
g. Lebih mampu bekerja dalam tim.
h. Lebih mampu memperkirakan perbedaan antara realitas di lapangan
dengan harapan.
i. Lebih optimis dalam menjalani hidup.
j. Lebih mampu berperilaku positif meski dalam keadaan sulit.
Di sisi lain, Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang
rendah, sering mengalami problem emosi dan menampakkan perilaku
bermusuhan. Mereka tidak mengetahui emosi dan perasaan mereka
dengan baik. Mereka tidak mampu mengungkapkan emosi dan perasaan
melalui lisan maupun tulisan. Akibatnya, mereka tampak sering marah dan
sangat sensitif tanpa mengetahui sebab yang sebenarnya (Mubayidh, 2007,
emosionalnya sering kali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya
untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil
alih kekuasaan. Mereka mudah marah dan amat tidak peka akan
perasaannya, sehingga larut dalam perasaan-perasaan itu dan bukannya
mencari perspektif baru. Akibatnya, mereka kurang berupaya melepaskan
diri dari suasana hati yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas
kehidupan emosional mereka. Sering kali mereka merasa kalah dan secara
emosional lepas kendali.
Dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kecerdasan emosional yaitu
orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah, tidak mengetahui
emosi dan perasaan mereka dengan baik, tidak mampu mengungkapkan
emosi dan perasaan melalui lisan dan tulisan; sedangkan orang yang
memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu memahami emosi dan
perasaan orang lain, mampu beradaptasi, serta menjalankan tanggung
jawab sosial dengan lebih baik.
5. Penelitian Beberapa Tokoh Mengenai Kecerdasan Emosional
Walter Mischel, seorang psikolog dari Universitas Stanford, sekitar
30 tahun yang lalu melakukan ’percobaan marshmallow’. Dia memberi
sejumlah marshmallow (jajanan manis ala Eropa) kepada sejumlah anak berusia 4 tahun. Sebelum meninggalkan anak-anak itu ia berkata,
marshmallow dalam jumlah lebih banyak akan diberikan kepada mereka yang mampu menahan diri selama 15 menit untuk tidak makan
berhasil lulus ’ujian’ itu. Kemudian Mischel memusatkan penelitian
selama 14 tahun berikutnya pada perkembangan anak-anak itu. Penelitian
Mischel tersebut membuktikan bahwa anak-anak yang sanggup menunda
reward berkembang menjadi pemuda yang memiliki karakter (Mubayidh, 2007, h. 216) :
a. Lebih percaya diri dan lebih matang secara sosial.
b. Lebih kuat pribadi dan pengaruhnya.
c. Mempunyai tekad kuat.
d. Lebih sanggup beradaptasi dengan kegagalan.
e. Lebih tahan menghadapi penderitaan atau ketegangan.
f. Lebih mampu mengendalikan diri dalam menghadapi tekanan.
g. Lebih mampu menghadapi tantangan, dan tidak mudah menyerah.
h. Lebih mandiri.
i. Mendapatkan kepercayaan dari orang lain, dijadikan tempat mengadu
orang lain.
j. Lebih jujur.
k. Lebih kreatif dan spontan.
l. Setelah waktu berjalan cukup lama, mereka tetap mampu
mengendalikan diri dan menunda penerimaan reward untuk
menjalankan kewajibannya dulu.
Di sisi lain, anak-anak yang menghabiskan marshmallow mempunyai
sifat-sifat negatif (Mubayidh, 2007, h. 217), antara lain :
b. Lebih cenderung memperlihatkan sifat membangkang.
c. Ragu-ragu dalam mengambil keputusan.
d. Sangat rentan untuk goyah saat menerima rintangan atau kegagalan.
e. Memandang diri dengan pendangan negatif, seakan dirinya tidak
berguna.
f. Saat menghadapi tekanan atau ketegangan, lebih memilih untuk
menarik diri atau stagnan.
g. Kurang jujur.
h. Tamak, tidak merasa puas, dan menuntut yang lebih.
i. Dengki dan pencemburu.
j. Saat reaktif saat menghadapi kegoncangan.
k. Kurang bisa mengendalikan diri, kurang mampu untuk menunda
menerima penghargaan.
Ternyata anak-anak yang mampu menahan diri itu lebih maju
perkembangan sosial, akademik maupun karirnya, dibanding mereka yang
tidak mampu (dalam Martin, 2003, h. 43). Hal ini membuktikan bahwa
kemampuan mengendalikan emosi mempunyai peranan yang sangat besar
terhadap kesuksesan.
Kecerdasan emosional membantu manusia untuk menentukan
kapan dan di mana bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya.
Kecerdasan emosional juga membantu manusia mengarahkan dan
mengendalikan emosinya. Studi yang dilakukan oleh Sigdal Barsade di
manajemen di beberapa kantor perusahaan. Mereka harus membuat
kesepakatan tentang mekanisme pembayaran gaji para karyawan. Di antara
sukarelawan itu ada seseorang yang berperan sebagai pembicara utama
dan menunaikan beberapa peran sekaligus. Misalnya, terkadang dia
diminta berbicara dengan muka ceria dan penuh semangat; atau berbicara
dengan tenang dan hangat; atau bicara dengan nada tolol dan patah hati;
atau bicara dengan nada bermusuhan dan emosional. Hasilnya, orang ini
dinilai berhasil memerankan berbagai suasana emosi yang mewakili
karakter semua sukarelawan. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa
perasaan dan emosi yang baik akan melahirkan solidaritas dan kerjasama
antaranggota. Keduanya juga memunculkan sikap adil dan prestasi yang
lebih baik dalam kelompok (dalam Mubayidh, 2007, h. 18).
Penelitian Rosenthal dari Universitas Harvard, menyebutkan
bahwa orang yang mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain
cenderung akan lebih berhasil dalam bisnis, bekerja, dan hidup
bermasyarakat. Studi di zaman modern menunjukkan bahwa faktor yang
paling mendorong pelanggan untuk membeli barang adalah kemampuan
penjual untuk mengenali perasaan pelanggan, dan kemudian merespon
perasaan ini dengan tepat. Banyak pembeli mengakui, ia lebih menyukai
penjual yang mau mendengarnya dan mampu memahami hakikat apa yang
diinginkan dan dibutuhkannya (dalam Mubayidh, 2007, h. 19).
Beberapa usahawan Indonesia yang meraih kesuksesan berkat
penggagas ”Teh Botol Sosro”. Hanya dengan berbekal pendidikan dasar,
dia mulai usahanya dari kota kecil Slawi dan Tegal. Adrie Mongso,
seseorang yang di Sekolah Dasar saja tidak tamat ini merupakan pelopor
kata-kata mutiara terbitan ’Harvest’. Dia mengaku bahwa modal kerjanya
hanya kemampuan berkomunikasi dan keyakinan pada sebuah prinsip.
Selain menjadi pengusaha, dia juga seorang motivator terkenal. A Tham
Gozali, pendiri dan pelopor ”A Tham Tailor” bermodal kemampuan
menjahit yang dipelajarinya di kampung halamannya di Singkawang,
Kalimantan Barat, dia nekat berangkat ke Jakarta. Lambat laun
kemampuannya melayani dan memahami kebutuhan konsumen
membawanya pada kesuksesan. Meski latar belakang pendidikannya
hanya SD ternyata dia mampu menjadi salah seorang penjahit terkemuka
di Indonesia (dalam Martin, 2003, h. 37).
B. Guru yang Menghadapi Pensiun
1. Pengertian Guru yang Menghadapi Pensiun
Menurut Poerwadarminta guru (1983, h. 335) adalah orang yang
kerjanya mengajar, sedangkan menurut Djamarah (2005, h. 31) guru
adalah semua orang yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap
pendidikan murid-muridnya baik secara individu ataupun secara klasikal,
di sekolah maupun di luar sekolah.
Pensiun berarti bahwa perusahaan memberikan sejumlah uang
setelah mereka bekerja dalam waktu yang lama, atau setelah mencapai
suatu batas usia tertentu (Ranupandojo, 1987, h. 277).
Flippo (1987, h. 283) menyebut pensiun sebagai suatu ”peran tanpa
peran”. Dalam suatu masyarakat yang dibangun berdasarkan etika kerja,
peralihan dari suatu peran kerja produktif yang nyata pada suatu hari telah
menanamkan keyakinan bahwa pensiun mengakibatkan penyakit mental
dan jasmani serta kadang-kadang kematian yang terlalu cepat. Pensiun
merupakan suatu peristiwa penting dalam daur kehidupan seseorang,
pensiun memaksa suatu peningkatan dalam ruang lingkup pengambilan
keputusan tentang kehidupan pribadi seseorang.
Schwartz berpendapat bahwa pensiun merupakan akhir pola hidup
atau masa transisi ke pola hidup baru. Pensiun selalu menyangkut
perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara
keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu (Hurlock, 1992, h. 417 ).
Back (dalam Hurlock, 1992, h. 419) menjelaskan bahwa apabila
pensiun semakin dianggap sebagai perubahan ke status baru, maka
pensiun akan semakin tidak dianggap sebagai membuang status yang
berharga dengan demikian akan terjadi transisi yang lebih baik.
Jadi dapat disimpulkan bahwa guru yang akan menghadapi pensiun
adalah seseorang yang mengalami masa transisi menuju ke hidup yang
baru karena kondisi fisik dan batasan usia, setelah sekian lama bekerja
sebagai pengajar, mempunyai wewenang dan tanggungjawab terhadap
2. Kategori Sikap Terhadap Pensiun
Havighurst (Hurlock, 1992, h. 418) membagi sikap terhadap
pensiun menjadi dua kategori, yaitu :
a. Pengalihan peran (transformer)
Mengubah gaya hidup dengan menciptakan gaya hidup yang baru dan
menyenangkan diri sendiri. Melepaskan berbagai peran lama dan
menjalankan peran baru.
b. Pemelihara peran (maintainers)
Terus bekerja dengan melakukan pekerjaan penggal waktu setelah
pensiun. Pekerjaan yang dilakukan merupakan lanjutan dari pekerjaan
yang sebelumnya.
Jadi kategori sikap tehadap pensiun terdiri dari pengalihan peran
dan pemelihara peran.
3. Kondisi yang Mempengaruhi Penyesuaian Terhadap Pensiun
Terdapat berbagai macam kondisi yang mempengaruhi
penyesuaian terhadap pensiun. Baik tidaknya penyesuaian diri seseorang
saat pensiun dipengaruhi oleh (Hurlock, 1992, h. 419) :
a. Para pekerja yang pensiun secara sukarela akan menyesuaikan diri
lebih baik dibandingkan dengan mereka yang merasakan pensiun
dengan terpaksa terutama bagi mereka yang masih ingin melajutkan
b. Kesehatan yang buruk pada waktu pensiun memudahkan penyesuaian
sedangkan orang sehat mungkin cenderung melawan untuk melakukan
penyesuaian diri.
c. Berhenti dari pekerjaan secara bertahap ternyata lebih baik efeknya
dibandingkan jika tiba-tiba berhenti dari kebiasaan bekerja, karena
sebagian orang tidak bisa mengatur persiapan pola hidup tanpa
pekerjaan.
d. Pekerja yang mengembangkan minat tertentu guna menggantikan
aktivitas kerja rutin, akan menghasilkan kepuasan yang dulu diperoleh
dari pekerjaannya, tidak akan mengalami kesulitan saat pensiun, yang
secara emosional membingungkan, misalnya sulit menemukan minat
pengganti.
e. Kontak sosial, jika tinggal di rumah sendiri, sedangkan anak-anak
sudah menikah, orang pensiunan memutuskan untuk melakukan
kontak sosial.
f. Semakin sedikit perubahan yang harus dilakukan terhadap kehidupan
semasa pensiun semakin baik penyesuaian diri dapat dilakukan.
g. Status ekonomi yang baik, yang memungkinkan seseorang untuk hidup
dengan nyaman dan menyenangkan.
h. Status perkawinan yang bahagia sangat membantu penyesuaian diri
terhadap masa pensiun.
i. Semakin para pekerja menyukai pekerjaan mereka, semakin buruk
j. Semakin besar masyarakat sekitar menawarkan berbagai kegiatan,
akan mempemudah penyesuaian terhadap pensiun.
k. Sikap anggota keluarga terhadap masa pensiun mempunyai pengaruh
yang amat besar terhadap sikap pekerja.
Dapat disimpulkan bahwa baik tidaknya penyesuaian diri
seseorang saat menghadapi pensiun dipengaruhi oleh kondisi kesehatan,
kontak sosial, status ekonomi, status perkawinan, memiliki minat tertentu
untuk menggantikan aktivitas kerja rutin.
4. Fase-fase Pensiun
Seorang ahli gerontologi, Robert Atchley (dalam Santrock, 2002,
h. 228) menggambarkan tujuh fase pensiun yang dilalui oleh orang-orang
dewasa, yaitu :
a. Fase jauh (the remote phase)
Kebanyakan individu sedikit melakukan sesuatu untuk mempersiapkan
fase pensiun. Seiring dengan pertambahan usia mereka yang
memungkinkan pensiun, mereka mungkin menyangkal bahwa fase
pensiun akan terjadi.
b. Fase mendekat (the near phase)
Para pekerja mulai berpartisipasi di dalam program pra-pensiun.
Program ini membantu orang-orang dewasa memutuskan kapan dan
bagaimana mereka seharusnya pensiun dengan mengakrabkan mereka
dengan keuntungan-keuntungan dan dana pensiun yang diharapkan
mengenai isu-isu yang lebih komprehensif, seperti kesehatan fisik dan
mental.
c. Fase bulan madu (the honeymoon phase)
Fase terawal dari fase pensiun, banyak individu merasa bahagia.
Mereka mungkin dapat melakukan segala sesuatu yang tidak pernah
dilakukan sebelumnya, dan mereka menikmati aktivitas-aktivitas
waktu luang yang lebih.
d. Fase kekecewaan (the disenchantment phase)
Orang-orang dewasa lanjut menyadari bahwa bayangan pra-pensiun
mereka tentang fase pensiun ternyata tidak realistic.
e. Fase re-orientasi (reorientation phase)
Para pensiunan mencatat apa yang masih dimiliki, mengumpulkannya
bersama-sama, dan mengembangkan alternatif-alternatif kehidupan
yang lebih realistik.
f. Fase stabil (the stability phase)
Orang-orang dewasa telah memutuskan berdasarkan suatu criteria
tertentu untuk mengevaluasi pilihan-pilihan pada fase pensiun dan
bagaimana mereka akan menjalani salah satu pilihan yang telah dibuat.
g. Fase akhir (the termination phase)
Peranan fase pensiun digantikan oleh peran sebagai pesakitan atau
peran tergantung karena orang-orang dewasa lanjut tidak dapat
Jadi tujuh fase pensiun yang akan dialami oleh setiap orang adalah
Fase jauh (the remote phase), Fase mendekat (the near phase), Fase bulan
madu (the honeymoon phase), Fase kekecewaan (the disenchantment
phase), Fase re-orientasi (reorientation phase), Fase stabil (the stability
phase), Fase akhir (the termination phase).
C. Analisa Kecerdasan Emosional Para Guru yang Menghadapi Pensiun
Setiap individu yang bekerja pastinya akan mengalami masa pensiun,
baik bagi mereka yang bekerja di sebuah perusahaan ataupun yang bekerja di
instansi pemerintah. Perusahaan ataupun pemerintah telah menetapkan batasan
usia tertentu untuk pensiun bagi karyawan atau pegawainya. Saat masa
pensiun tiba, hal itu tidak dapat dihindari oleh setiap orang. Ketika kondisi
fisik menurun, produktivitas makin menurun, dan usia bertambah tua, masa
pensiun semakin di depan mata.
Guru merupakan suatu pekerjaan di instansi pemerintah, itu artinya guru
memiliki batasan usia tertentu untuk pensiun. Ketentuan tersebut telah diatur
di dalam PP RI No. 32 tahun 1979 (www. dikti.co.id), yang berisi batasan usia
pensiun bagi pegawai negeri ditetapkan pada umur 56 tahun. Meskipun
batasan usia ini nantinya bersifat longgar, namun tetap saja setiap guru akan
mengalami masa pensiun di usia tua mereka.
Para guru menghadapi masa pensiun dengan cara yang berbeda-beda
satu sama lain. Beberapa diantara mereka merasa senang karena dapat
mereka menanggapi pensiun dengan hati gembira. Namun, tidak sedikit pula
dari mereka yang gelisah dan khawatir saat menghadapi pensiun. Pensiun
dirasakan sebagai akhir dari segalanya, banyak alasan yang dikemukakan
untuk hal itu.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti, diperoleh informasi
bahwa kehilangan pekerjaan, pendapatan akan berkurang, kebersamaan
dengan para murid yang menjadikan hiburan bagi mereka akan lenyap begitu
saja, beberapa hal tersebut merupakan alasan yang membuat para guru
menjadi cemas saat masa pensiun semakin mendekat. Faktor ekonomi dan
faktor sosial di atas menjadi masalah yang sangat besar bagi mereka.
Berkurangnya pendapatan akan berpengaruh pada kehidupan rumah tangga
sehari-hari, cara mereka memenuhi kebutuhan rumah tangga akan berbeda
seperti saat pekerjaan masih digeluti, terlebih lagi jika masih memiliki
tanggungan, yaitu anak yang masih sekolah, tentunya hal itu akan membuat
mereka khawatir tentang keuangan rumah tangga. Interaksi dengan murid dan
rekan sekerja akan berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali, hal ini akan
membuat mereka merasa sepi karena tidak adanya teman sebaya yang dapat
dijadikan tempat berkeluh kesah. Para guru sudah memutar otak sedemikian
rupa untuk mencari solusi dalam menghadapi beberapa permasalahan yang
akan dihadapinya tersebut, bahkan sebelum pensiun itu benar-benar dialami.
Oleh sebab itu, reaksi masing-masing guru yang akan menghadapi pensiun
berbeda satu sama lain. Ada beberapa dari mereka yang khawatir hingga
mengatasi masalah-masalah yang nantinya akan muncul saat pensiun.
Sehingga mereka telah menyiapkan beberapa solusi untuk mengatasinya,
bahkan solusi ini sudah dipikirkan jauh sebelum para guru menghadapi
pensiun. Meskipun demikian, diantara para guru yang sudah memikirkan
solusi inipun, masih terdapat beberapa individu yang merasa khawatir
meskipun sudah menemukan solusi bagi permasalahan yang sebenarnya
belum terjadi.
Adanya sikap yang bervariasi ketika menghadapi masa pensiun
tergantung kondisi emosionil seseorang dalam menghadapi semua masalah
yang terjadi pada dirinya. Kecerdasan emosional seseorang sangat
mempengaruhi kehidupan seseorang, dengan adanya kecakapan dalam
kecerdasan emosionalnya akan membuat orang menyadari apa yang sedang
terjadi dalam dirinya, bagaimana perasaannya saat itu, serta bagaimana cara
menghadapi setiap permasalahan yang terjadi pada dirinya, dan dapat
mengendalikan emosinya dengan baik.
Menurut Goleman (2007, h. 7) kecerdasan emosional mencakup
pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi
diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta
kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan
terdalam orang lain, untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya dengan
Aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Shapiro
(1999,h. 24), antara lain adalah keterampilan emosi dari segi moral,
keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan untuk memotivasi
diri dan berprestasi, keterampilan mengelola emosi, keterampilan
memecahkan masalah. Sedangkan menurut Segal (1999, h. 50), kecerdasan
emosional terbentuk dari kesadaran emosional, penerimaan, kesadaran aktif,
dan empati.
Segal (1999, h. 211) mengatakan jika seseorang yang keluar dari
pekerjaannya dan berniat untuk mencari pekerjaan di tempat lain, kebutuhan
ekonomi memaksanya berada dalam situasi kerja yang tidak sesuai. Maka
orang tersebut tidak akan merasa nyaman dengan lingkungan barunya jika dia
tidak dapat menggunakan emosinya dengan baik untuk tetap terkendali dan
menjaga kepuasan di tempat kerjanya yang baru, tapi jika orang tersebut
mampu menggunakan emosinya dengan baik, dia akan merasa mendapat
pekerjaan yang tepat, hasil dan deskripsi pekerjaan akan tampak sempurna di
matanya.
Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional rendah tidak dapat
mengambil keputusan, serta tidak dapat memecahkan masalah dengan baik.
Mereka juga tidak tahu bagaimana caranya memikirkan perasaan orang lain,
kurang dapat berinteraksi dengan orang lain, bahkan yang lebih buruk lagi
mereka tidak mampu merasakan apa yang disukainya dan apa yang tidak
disukainya, tidak dapat memahami perasaannya sendiri (Segal, 1999, h.10).
cakap secara emosional, tidak mampu mengelola emosinya dengan baik akan
cenderung mengalami depresi setiap menemui masalah, meskipun terkadang
itu merupakan masalah kecil, namun jika dia tidak dapat mengatasinya dengan
baik, masalah kecil tersebut dapat menjadi masalah yang besar baginya.
Berdasarkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi tentunya dapat mengelola emosinya dengan
baik, sehingga reaksi positiflah yang muncul saat menghadapi masa pensiun.
Masa pensiun tidak akan membuat mereka mengalami hal yang tidak
menyenangkan, namun akan membuat mereka dapat berkarya di hari tuanya.
Mereka juga tidak akan merasa kehilangan seseorang karena keterampilan
sosialnya yang bagus, membuat mereka dapat berinteraksi dengan semua
orang dimanapun dia berada dan dalam situasi apapun. Sebaliknya, bagi
mereka yang kecerdasan emosionalnya rendah akan menghadapi masa pensiun
dengan rasa khawatir serta gelisah tentang sesuatu yang akan dihadapinya
nanti setelah pensiun benar-benar sudah dialami, dengan kata lain reaksi
negatif muncul ketika menghadapi masa pensiun. Kecerdasan emosional yang
dimiliki para guru seharusnya dapat membuat mereka memahami apa yang
mereka rasakan, bagaimana harus bertindak untuk mengatasi permasalahan
Diagram 1
Analisa Kecerdasan Emosional Guru yang Menghadapi Pensiun
Pensiun
Pendapatan berkurang
Pendapatan berkurang Kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari
Pekerjaan hilang Pensiun
Kebersamaan dengan murid berkurang
Kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari
Menganggur, bosan
Kesepian
Reaksi yang Muncul
Kesadaran Aktif Empati
Kecerdasan Emosional
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian Kualitatif
Setiap melakukan suatu penelitian ilmiah, metode penelitian harus selalu
digunakan agar hasil yang nantinya diperoleh dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Oleh sebab itu, dalam penelitian mengenai peran kecerdasan
emosional pada para guru yang menghadapi pensiun menggunakan sebuah
metode penelitian, yaitu metode penelitian kualitatif. Hal ini sesuai dengan
tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu untuk mengetahui seberapa besar
peran kecerdasan emosional pada para guru yang menghadapi pensiun.
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode studi kasus. Menurut Mulyana (2002, h. 201) studi kasus adalah uraian
dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu
kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi
sosial, sedangkan penelitinya berupaya menelaah sebanyak mungkin data
mengenai subyek yang diteliti.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2008, 4) mendefinisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. Mereka juga menambahkan bahwa pendekatan kualitatif
hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel
atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
John W. Creswell (1994, h. 1) mendeskripsikan penelitian kualitatif
sebagai proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah
manusia, berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan
kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun
dalam sebuah latar ilmiah.
Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2008, h. 4) menyebutkan bahwa
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam
kawasannya maupun dalam peristilahannya.
Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998, h. 30) penelitian
kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif,
transkripsi, wawancara, catatan lapangan, gambar foto, rekaman video yang
kemudian diterjemahkan ke dalam pandangan-pandangan dasar interpretatif
dan fenomenologis. Pandangan dasar tersebut adalah ; 1) realitas sosial adalah
suatu yang subyektif dan diinterpretasikan bukan sebagai suatu yang berada di
luar individu, 2) manusia tidak secara sederhana mengikuti hukum-hukum
akan di luar diri, melainkan rangkaian makna dalam menjalani kehidupannya,
3) ilmu didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersifat induktif ideografis
dan tidak bebas nilai, 4) penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan
Berdasarkan pengertian dari beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan
bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan tujuan
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
B. Subyek Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi menurut Hadi (2001, h. 70) adalah individu-individu
untuk siapa kenyataan-kenyataan yang didapat dari sampel yang hendak
digeneralisasikan. Oleh karena itu, populasi merupakan sejumlah individu
yang setidaknya mempunyai satu ciri atau sifat yang sama.
Kriteria yang digunakan dalam menentukan populasi pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Guru yang akan menghadapi pensiun
b. Waktu mengajar hanya tinggal 1 tahun lagi
c. Tidak mempunyai pekerjaan sambilan saat masih menjadi guru
2. Teknik Pengambilan Sampel
Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998, h. 53) mengemukakan
karakteristik pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif sebagai
berikut :
a. Diarahkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah
b. Tidak ditentukan sejak awal namun dapat berubah sesuai dengan
pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
c. Diarahkan pada kecocokan konteks bukan pada keterwakilan.
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sample adalah pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang
erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya
(Hadi, 2001, h. 82).
C. Metode Pengumpulan Data
Poerwandari (1998, h. 61) menyatakan bahwa sesuai dengan sifat
penelitian yang terbuka dan luwes, metode dan tipe pengumpulan data dalam
penelitian kualitatif juga beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan
penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Di dalam penelitian ini metode
pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Wawancara
Menurut Hadi (2002, h. 62) wawancara merupakan metode
pengumpulan data dengan jalan tanya-jawab sepihak yang dikerjakan
dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan. Pada
umumnya dua orang atau lebih hadir secara fisik dalam proses tanya jawab
tersebut, dan masing-masing pihak dapat menggunakan saluran-saluran
komunikasi secara wajar dan lancar. Moleong (2008, h. 186)
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Dalam penelitian ini, pedoman wawancara yang akan dilakukan
adalah wawancara bebas terpimpin. Hal ini dilakukan agar informasi yang
diperoleh lebih mendalam dan tujuan penelitian dapat dicapai semaksimal
mungkin. Wawancara longitudinal dilakukan dengan memberikan
beberapa pertanyaan pada keluarga terdekat subyek, misalnya orang tua
atau kakak subyek. Hal ini dimaksudkan agar peneliti dapat memperoleh
data tentang kecemasan subyek semenjak kecil hingga dewasa dan pada
saat menghadapi pensiun. Dalam hal ini, peneliti menggunakan alat bantu
seperti tape recorder, buku catatan, serta pena untuk membantu jalannya wawancara.
Beberapa hal yang ingin diketahui melalui wawancara adalah sebagai
berikut :
a. Kondisi keluarga subyek
b. Hubungan subyek dengan murid
c. Kecintaan subyek terhadap pekerjaannya
d. Rencana setelah pensiun
e. Lingkungan tempat tinggal
2. Observasi
Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan dengan sistematik
dilakukan adalah observasi non partisipan, Dalam penelitian ini, agar hasil
yang diperoleh tidak terbatas, observasi dilakukan tidak hanya pada saat
wawancara saja, namun observasi juga dilakukan saat subyek sedang
mengajar atau saat mengikuti kegiatan di sekolah tempatnya mengajar,
bahkan saat subyek berada di rumahpun dapat dilakukan observasi.
Patton (dalam Poerwandari, 1998, h. 63) mengungkapkan bahwa
data hasil observasi menjadi sangat penting karena :
a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam konteks
dimana hal yang diteliti ada atau terjadi.
b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersifat terbuka, berorientasi
pada penemuan daripada pembuktian, dan telah mempertahankan
piliha untuk mendekati masalah secara lebih induktif.
c. Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subyek
penelitian sendiri kurang disadari.
d. Observasi memungkinkan diperolehnya data yang karena berbagai
sebab tidak dapat diungkapkan melalui wawancara.
e. Observasi memungkinkan peneliti bergerak lebih jauh dari persepsi
selektif yang ditampilkan subyek penelitian atau pihak lain.
f. Observasi memungkinkan peneliti merefleksi dan bersikap introspeksi
Hasil observasi yang nantinya diperoleh, diharapkan dapat
mendukung data yang telah didapat dari wawancara sebelumnya. Dalam
observasi ini, peneliti ingin mengetahui :
a. Kondisi fisik subyek
b. Perilaku yang cenderung ditampilkan selama proses observasi
c. Sikap dan perilaku subyek terhadap murid-muridnya saat mengajar
d. Interaksi subyek dengan keluarga dan teman kerjanya
e. Ekspresi dan bahasa tubuh yang muncul saat wawancara, misalnya saat
menjawab pertanyaan subyek membutuhkan waktu yang lama,
menghindari pertanyaan, dan lain sebagainya
3. Tes
Cara individu mempersepsi dan menginterpretasi materi tes atau
”menstrukturisasikan” situasi akan menecerminkan aspek-aspek dasar dari
fungsi psikologisnya. Maka materi tes bisa berfungsi sebagai semacam
saringan dimana responden ”memproyeksikan” proses pikiran, kebutuhan,
kecemasan, dan konflik khas (Anastasi, 1997, h. 46).
Anastasi (1997, h. 47) juga menambahkan bahwa teknik proyektif
sangat efektif dalam menyingkapkan aspek tertutup, laten, atau tak sadar
dari kepribadian.
Di dalam penelitian ini, tes proyektif yang digunakan adalah TAT
(Thematic Apperception Test) untuk mengungkapkan ada atau tidaknya kecemasan dalam diri subyek. Peneliti menggunakan TAT karena melalui
memproyeksikan keinginan, pengalaman, perasaan dan konflik-konflik di
dalam dirinya. Serta adanya asumsi bahwa semakin tidak terstruktur atau
semakin ambigu suatu stimuli, maka semakin kecil kemungkinan adanya
reaksi defensif pada subyek (Anastasi, 1997, h. 47).
TAT mengajukan stimuli yang jauh lebih tersruktur dan meminta
respon verbal yang lebih kompleks dan terorganisir secara bermakna.
Interpretasi atas respon-respon atas penguji biasanya didasarkan pada
analisis isi yang sifatnya agak kualitatif. Materi-materi TAT terdiri dari 19
kartu yang memuat gambar-gambar kabur dalam warna hitam dan putih
serta satu kartu kosong. Responden diminta untuk mengarang cerita yang
sesuai dengan tiap gambar, menceritakan apa yang mengarah pada
peristiwa, mendeskripsikan apa yang terjadi pada waktu itu, dan apa yang
dirasakan serta dipikirkan oleh karakter dalam gambar lalu memberikan
hasilnya. Dalam hal kartu yang kosong, responden diminta untuk
membayangkan gambar tertentu pada kartu itu, mendeskripsikannya, dan
kemudian membuat cerita tentang hal itu (Anastasi, 1997, 52).
Kecerdasan emosional dalam penelitian ini diungkap dengan
menggunakan sejumlah pertanyaan yang dibuat oleh Jeanne Segal dengan
berpegang pada teori Daniel Goleman. Landasan Segal dalam membuat
sejumlah pertanyaan itu adalah bahwa setiap orang tidak benar-benar
merasa, tapi mengira bahwa orang itu merasa. Orang yang mengira bahwa
dirinya merasa, tidak mengetahui apa yang benar-benar penting untuknya.
unik yang telah membentuk kepribadiannya, karena itu orang tersebut
kemudian bertindak seperti orang lain.
Segal membuat 15 item pertanyaan yang mengukur kecerdasan
emosional melalui perilaku, karena menurut Segal (1999, h. 24)
kecerdasan emosional berdasarkan pada bagaimana seseorang bertindak
pada situasi tertentu dan dimana kekuatan emosi terletak. Beberapa hal
yang dapat diungkap dari 15 item pertanyaan tersebut antara lain adalah
kesadaran emosional, penerimaan, kesadaran aktif, dan empati. Keempat
hal tersebut merupakan keterampilan emosional yang membentuk
kecerdasan emosional seseorang. Dari 15 item pertanyaan tersebut dapat
dilihat apakah subyek memiliki kecerdasan emosional rendah atau tinggi.
D. Metode Analisis Data
Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2008, h. 248) analisis data
kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.
Patton (dalam Poerwandari, 1998, h. 87) menegaskan bahwa satu hal
yang harus diingat peneliti adalah kewajiban untuk memonitor dan
melaporkan proses serta prosedur-prosedur analisisnya dengan jujur dan
Patton (dalam Poerwandari, 1998, h. 105) mengungkapkan hal-hal
penting untuk analisis data kualitatif, yaitu sebagai berikut :
1. Mempresentasikan secara kronologis peristiwa yang diamati dari awal
hingga akhir.
2. Mempresentasikan insiden-insiden kritis atau peristiwa-peristiwa kunci
berdasarkan urutan kepentingan insiden tersebut.
3. Mendeskripsikan setiap tempat, setting, atau lokasi yang berbeda sebelum
mempresentasikan gambaran dan pola umumnya.
4. Memfokuskan analisis dan presentasi pada individu-individu atau
kelompok-kelompok bila memang individu atau kelompok tersebut
menjadi unit analisis primer.
5. Mengorganisasikan data dengan menjelaskan proses-proses yang terjadi
(proses seleksi, proses pengambilan keputusan, proses komunikasi, dan
lain-lain).
6. Memfokuskan pengamatan pada isu-isu kunci yang diperkirakan akan
sejalan dengan upaya menjawab pertanyaan primer penelitian.
Langkah-langkah teknik analisis (dalam Poerwandari, 1998, h. 87) yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengorganisasikan data yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan
tes grafis dengan sistematis dan selengkap mungkin, yang dilakukan
dengan mendokumentasikan dan menyimpan data-data tersebut.
2. Melakukan koding pada materi yang sudah diperoleh, hal ini dimaksudkan
mendetail materi sehingga dapat memunculkan gambaran tentang topik
yang dipelajari.
3. Melakukan pemahaman konseptual data yang mengacu pada kemampuan
memperoleh insight, memberi makna data, memahami dan memilah data
mana yang esensial dan mana yang tidak.
4. Membuat kesimpulan sementara yang bertujuan menajamkan tema dan
pola yang ditemukan dari data.
5. Melakukan interpretasi data melalui konteks pemahaman diri, pemahaman
biasa yang kritis dan pemahaman teoritis.
Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan tiga unsur (Sugiyono, 2008, h. 246) :
1. Data reduction (reduksi data)
Merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal
yang penting, dicari tema dan polanya. Reduksi data dapat dilakukan
dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu, dengan demikian
akan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
2. Data display (penyajian data)
Pengorganisasian data sehingga tersusun dalam pola hubungan. Dengan
demikian, akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi,
merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami