• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECERDASAN EMOSIONAL PARA GURU YANG MENG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KECERDASAN EMOSIONAL PARA GURU YANG MENG"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

YANG MENGHADAPI PENSIUN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Guna

Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi

RETNO KUSUMASTUTI 05.40.0141

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

(2)

Skripsi ini aku persembahkan untuk

Tuhan Yang Maha Esa, serta Bapak dan Ibu yang

(3)

Cara Paling Singkat dan Paling Pasti Untuk Hidup Secara

Terhormat Di Dunia Adalah Hidup Sebagaimana Adanya.

(Socrates)

Sebuah Kesalahan Tidak Akan Menjadi Kebenaran Sesering

Apapun Dilakukan. Sebuah Kebenaran Tidak Akan Menjadi

Kesalahan, Meskipun Tidak Ada yang Pernah Mendengarnya.

(Mahatma Gandhi)

Tes Utama Terhadap Kecerdasan Kita Bukanlah dalam Seberapa

Besar Pengetahuan Kita Akan Apa yang Harus Dilakukan.

Melainkan Pada Apa yang Kita Lakukan di Saat Kita Tidak Tahu

Apa yang Harus Dilakukan.

(4)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan karya ini dengan lancar. Serta berbagai

pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan karya ini, antara lain :

1. Ibu Th dewi setyorini, S.Psi., M. Si selaku dekan Fakultas Psikologi, yang

dapat membuat peneliti menjadi termotivasi.

2. Bapak Drs M.L Oetomo selaku dosen pembimbing utama yang telah

membimbing peneliti, memberikan saran, kritik, juga petuah yang

menyejukkan hati serta memberi pencerahan, yang selalu dapat meluangkan

waktunya yang berharga bagi peneliti.

3. Bapak Drs Suharsono selaku dosen wali yang dapat membimbing peneliti.

4. Para dosen psikologi yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang

telah membantu peneliti dalam menyelesaikan karya ini.

5. Para subyek yaitu SS, N, dan SD yang sangat membantu peneliti demi

kelancaran proses pembuatan karya ini, yang telah meluangkan waktunya bagi

peneliti, serta dapat memberikan warna selama berlangsungnya proses

tersebut.

6. Teman-teman Laboratorium Psikodiagnostik, yang telah membantu peneliti

dalam melaksanakan tes TAT.

7. Para staf tata usaha yang telah membantu peneliti, terutama saat pendaftaran

(5)

8. Bapak dan Ibu yang selalu mencintai dan menyayangiku, selalu memberiku

dukungan setiap saat, baik moril maupun materiil. Peneliti juga menyayangi

Bapak dan Ibu, peneliti akan selalu memberikan yang terbaik bagi kalian,

membuat kalian bahagia dan bangga.

9. Mbak Asih dan Mas Nyoto, kakak-kakakku yang selalu memberi dukungan

bagi peneliti, selalu membuat peneliti menjadi semangat dan berusaha menjadi

lebih baik lagi.

10. Adhit, My Lovely Nephew, yang selalu membuat peneliti tertawa karena

celoteh dan tingkahnya yang lucu serta membuat peneliti belajar kesabaran.

11. My Old Sister, Nana, terimakasih atas kebersamaan yang telah kamu berikan dari awal kuliah hingga saat ini. Peneliti berharap keadaan yang seperti ini

tidak akan berubah sampai kapanpun. You Are My Best Listener, terimakasih karena kamu juga selalu bersedia mendengarkan keluh kesahku.

12. Cicikku ‘Nyak’ (Kristin), terimakasih atas kebersamaannya selama ini,

terimakasih karena telah menjagaku, kamu telah mengajarkanku tentang

banyak hal, hingga ada sedikit perubahan yang positif dalam sifat dan sikapku.

13. Eyangnda (Berlian), matur nuwun sanget Eyang, telah memberiku warna

dalam hidup, memberi semangat dalam berbagai hal.

14. Sahabatku sejak kecil, Ai, semoga persahabatan kita tak lekang oleh waktu.

Peneliti doakan selalu yang terbaik buatmu.

15. Temanku, Indra, terimakasih telah hadir dalam hidupku, kamulah orang yang

dapat aku ajak diskusi dan berdebat. Tempat aku selalu mencurahkan keluh

(6)

16. Teman-temanku, Rakhel, Ayu, Gendut, Anggit, terimakasih telah memberiku

dukungan dan semangat hingga skripsi ini selesai dengan lancar.

17. Pasukan Lepete Ceria : Ade, Nandi, Nana, Veena, Anggit, Lala, Poe-3, Seto,

Dian. Kebersamaan yang paling menyenangkan bersama kalian. Perhatian dan

pengertian selalu aku dapatkan dari kalian. Saat sedih, aku temukan sukacita

di wajah kalian. Thanks for all

18. Teman-temanku kuliah : Citra, Icha, Nanachan, Okta, Stella, Agnes,

terimakasih canda tawanya selama ini.

19. Teman-teman KAPKI : Nanik, Keren, Desy, dan brother Topan. Selalu

kunantikan kebersamaan seperti dulu lagi.

20. Keluarga Widya : Mas Kandar, budhe, mbak QQ, Devina. Thanks

21. Serta segenap pihak yang telah membantu peneliti, yang tidak dapat peneliti

sebutkan satu persatu.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..…..1

HALAMAN PERSEMBAHAN...2

HALAMAN MOTTO……….….3

UCAPAN TERIMAKASIH……….4

DAFTAR ISI…...7

DAFTAR TABEL...9

DAFTAR DIAGRAM...10

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...12

B. Tujuan Penelitian...19

C. Manfaat Penelitian...20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Emosional...21

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional...23

3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional………..……….26

4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional……….….30

5. Penelitian Beberapa Tokoh Mengenai Kecerdasan Emosional…...32

B. Guru yang Menghadapi Pensiun 1. Pengertian Guru yang Menghadapi Pensiun………...36

(8)

3. Kondisi yang Mempengaruhi Penyesuaian Terhadap Pensiun...38

4. Fase-fase Pensiun...40

C. Analisa Kecerdasan Emosional Para Guru yang Menghadapi Pensiun...42

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Kualitatif...48

B. Subyek Penelitian 1. Populasi Penelitian...50

2. Teknik Pengambilan Sampel...50

C. Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara...51

2. Observasi...52

3. Tes...54

D. Metode Analisis Data...56

E. Validitas dan Reliabilitas...59

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN A. Persiapan Pengumpulan...61

B. Pelaksanaan Penelitian...61

C. Hasil Pengumpulan Data 1. Kasus 1...63

2. Kasus 2...84

(9)

BAB V HASIL PENELITIAN

A. Rangkuman...126

B. Pembahasan...131

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan...134

B. Saran...136

DAFTAR PUSTAKA...138

LAMPIRAN Pedoman Wawancara...142

Pedoman Observasi...145

Hasil Wawancara Subyek 1...146

Hasil Wawancara Subyek 2...155

Hasil Wawancara Subyek 3...163

Keterangan Koding Hasil Wawancara...171

TAT Versi Murray Subyek 1...172

TAT Versi Murray Subyek 2...197

TAT Versi Murray Subyek 3...226

Item-item Pertanyaan Kecerdasan Emosional Subyek 1

Item-item Pertanyaan Kecerdasan Emosional Subyek 2

Item-item pertanyaan Kecerdasan Emosional Subyek 3

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Reaksi yang Muncul Saat Menghadapi Pensiun Subyek 1...70

Tabel 2 : Keterampilan Emosional Subyek 1...71

Tabel 3 : Reaksi yang Muncul Saat Menghadapi Pensiun Subyek 2...91

Tabel 4 : Keterampilan Emosional Subyek 2...92

Tabel 5 : Reaksi yang Muncul Saat Menghadapi Pensiun Subyek 3...112

(11)

TABEL DIAGRAM

Diagram 1 : Analisa Kecerdasan Emosional Guru yang Menghadapi Pensiun....36

Diagram 2 : Kecerdasan Emosional Guru

yang Menghadapi Pensiun Subyek 1...72

Diagram 3 : Kecerdasan Emosional Guru

Yang Menghadapi pensiun subyek 2...93

Diagram 4 :Kecerdasan Emosional Guru

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap individu yang memiliki pekerjaan, pastinya akan mengalami

banyak hal selama menggeluti pekerjaannya, baik itu pegawai pemerintah

ataupun pekerja swasta. Masa-masa sulit di awal pekerjaan hingga tiba

saatnya untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan sehingga dapat sukses

dalam pekerjaannya, akan dialami oleh setiap individu di dalam pekerjaannya.

Setelah mengalami semua itu, tiba saatnya di usia lanjut, ketika kondisi fisik

sudah menurun dan usia mulai bertambah tua, orang harus siap untuk

menghadapi masa pensiun.

Masa pensiun tidak dapat dihindari oleh tiap orang yang bekerja.

Setiap perusahaan dan instansi pemerintah telah menetapkan batasan usia

tertentu untuk pensiun bagi pegawainya. Mau tidak mau jika usia telah

bertambah dan diikuti dengan kondisi fisik yang menurun, setiap pegawai

akan menghadapi masa pensiun, entah individu tersebut menyukainya atau

tidak.

Pensiun sering diidentikkan dengan tanda seseorang memasuki masa

tua. Banyak orang mempersepsikan secara negatif dengan menganggap bahwa

pensiun itu merupakan pertanda bahwa dia sudah tidak berguna dan tidak

dibutuhkan lagi karena usia tua dan produktivitas makin menurun, sehingga

(13)

Menurut Hurlock (1992, h. 380) tahap terakhir dalam kehidupan sering

dibagi menjadi usia lanjut dini yang berkisar antara usia enam puluh sampai

tujuh puluh dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir

kehidupan seseorang.

Salah satu tugas perkembangan yang harus dilalui oleh individu yang

lanjut usia adalah mempersiapkan diri memasuki masa pensiun. Pensiun

diawali dengan berhentinya seseorang dari suatu pekerjaan formal yang

semula digelutinya, karena kondisi fisik dan bertambahnya usia. Hal itu tidak

dapat dihindarkan, setiap individu pasti akan bertambah usia dan jika saat itu

tiba maka masa pensiun harus siap dihadapi.

Di Indonesia, menurut PP RI No. 32 tahun 1979, batasan usia pensiun

bagi pegawai negeri ditetapkan pada umur 56 tahun. Batas usia tersebut dapat

melonggar menjadi 58, 60, atau 65 tahun apabila seseorang menduduki

jabatan tertentu yang telah diatur dalam PP tersebut (www. dikti.co.id).

Pensiun merupakan akhir dari suatu pekerjaan, tidak ada satupun

individu yang bekerja tidak mengalami masa pensiun, hanya cara mereka

dalam menghadapinya yang berbeda satu sama lain. Pensiun seharusnya

membuat individu senang karena dapat menikmati hari tua mereka, namun

tidak sedikit pula individu yang merasa bingung bahkan cemas ketika

mendekati masa pensiun. Banyak alasan dikemukakan, merasa kehilangan

pekerjaan yang selama ini digeluti sehingga jika pensiun tidak lagi memiliki

kesibukan, selain itu masalah perekonomian juga ikut andil, jika tidak lagi

(14)

Bagi sebagian orang, pensiun dirasa sebagai suatu hal yang membuat

depresi, stress, jenuh, dan hidup terasa tidak lagi bermakna. Bagi orang yang

setiap harinya bekerja dari pagi hingga siang atau sore hari, saat pensiun akan

menjadi hari-hari membosankan tanpa pekerjaan, tidak ada lagi yang bisa

dikerjakan untuk mengisi waktu.

Guru merupakan suatu pekerjaan yang menuntut seseorang untuk

berinteraksi dengan orang lain. Sikap para guru terhadap pensiun pasti

bervariasi, dari sikap yang senang karena merasa akan bebas dari tugas dan

tanggungjawab sampai ke sikap yang gelisah karena memikirkan sesuatu yang

harus dilepaskan, padahal bagi individu itu sangat berarti yaitu pekerjaan, atau

mungkin ada hal lain lagi yang membuat mereka gelisah. Seorang guru

menularkan ilmu yang dimiliki pada murid-muridnya, serta berkomunikasi

dengan guru yang lain untuk mengembangkan prestasi akademik muridnya.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan subyek di awal survey,

diketahui bahwa bagi sebagian guru, dapat melihat muridnya belajar dan

bercanda dengan murid yang lain merupakan suatu kebahagiaan tersendiri

bagi seorang guru. Bagi sebagian guru, mereka mulai berpikir jika pensiun

nantinya, mereka tidak dapat menikmati saat-saat bersama para muridnya lagi.

Selain itu, hilangnya pekerjaan membuat sebagian guru kebingungan sehingga

memutar otak untuk mencari solusinya.

Hilangnya pekerjaan yang semula dimiliki, cukup membuat sebagian

guru bingung. Mereka yang semula dapat menjadikan kegiatan mengajar

(15)

kehilangan kesibukan tersebut. Apalagi bagi guru yang tidak memiliki

pekerjaan sampingan, dan mengajar adalah pekerjaan serta kegiatan

satu-satunya. Bagi mereka yang memiliki pekerjaan sampingan, dapat melanjutkan

pekerjaannya itu saat masa pensiun tiba. Namun bagi mereka yang tidak

memilikinya, akan kebingungan saat memikirkan kesibukan yang nantinya

dapat dilakukan saat pensiun.

Selain tidak dapat berkumpul lagi dengan anak didik dan hilangnya

pekerjaan, pendapatan yang didapat juga akan berkurang. Saat masih menjadi

pegawai pemerintah, selain gaji, tunjangan juga akan diperoleh sehingga

semua kebutuhan akan tercukupi, bukan hanya sekedar untuk makan dan

minum, kebutuhan untuk membeli barang mewah tentunya dapat dijangkau

dengan mudah. Namun, jika pensiun semua hal itu akan sulit dicapai, apalagi

bagi mereka yang masih memiliki tanggungan, yaitu anak yang masih

bersekolah, terlebih lagi jika sudah menginjak perguruan tinggi. Tidak sedikit

uang yang dikeluarkan ketika membiayai anak yang bersekolah di perguruan

tinggi. Hal ini cukup membuat mereka, orang tua yang berprofesi sebagai

guru menjadi gundah ketika masa pensiun semakin dekat. Setelah pensiun

mereka hanya akan menerima uang pensiunan yang jumlahnya tidak seberapa

jika dibandingkan dengan uang yang mereka peroleh saat mereka masih

bekerja, dan tentunya tidak memperoleh tunjangan lagi. Mereka memikirkan

uang yang mereka peroleh itu cukup untuk membiayai pendidikan anak-anak

(16)

Beberapa hal di atas dapat menimbulkan kekhawatiran bagi para guru

yang akan mendekati masa pensiun. Sebagai contoh, Pak Harto seorang guru

yang menghadapi masa pensiunnya dengan rasa khawatir, memiliki ketakutan

akan pendapatan setelah pensiun yang jumlahnya hanya sedikit, sedangkan

dia masih harus menyekolahkan anaknya, selain itu dia juga merasa harga

dirinya turun di mata istrinya yang masih bekerja (Katamsi, 2007).Pak Ardi

berusia 61 tahun bersama istrinya bingung mengatur uang pensiun yang

jumlahnya minim untuk kebutuhan sehari-hari. Selain mereka berdua, ada

juga, Ibu Mira yang tidak memiliki kesiapan apa-apa saat menghadapi

pensiun suaminya, padahal mereka masih memiliki tiga orang anak yang

masih sekolah, sedangkan suaminya dan dirinya sendiri tidak memiliki

pekerjaan sampingan (Sulistiarto, 2007).

Sudah diutarakan bahwa setiap orang mempunyai sikap yang

bervariasi jika mendekati masa pensiun, tergantung kondisi emosionil

seseorang dalam menghadapi semua masalah yang terjadi pada dirinya. Back

(Hurlock, 1992, h. 419) juga mengutarakan bahwa hal-hal yang dapat

mempengaruhi seseorang dalam menerima masa pensiun adalah kondisi

emosionil para pekerja terhadap pensiun itu sendiri. Apabila pensiun semakin

dianggap sebagai perubahan ke status baru, maka pensiun akan semakin tidak

dianggap sebagai membuang status yang berharga dengan demikian akan

terjadi transisi yang lebih baik.

Berdasarkan uraian Back di atas diketahui bahwa kondisi emosionil

(17)

bekerja ke keadaan tanpa pekerjaan akan membuat individu tidak terlalu

terbebani, karena dengan demikian dia akan mempersiapkan rencana-rencana

yang akan dilakukan setelah pensiun nantinya. Namun kenyataannya, tidak

banyak orang yang dapat mengatur emosinya dengan baik, sehingga akan sulit

menerima keadaannya yang akan menghadapi masa pensiun.

Menurut Goleman (2007, h. 7) kecerdasan emosional mencakup

pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi

diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengatur suasana hati dan

menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta

kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan

terdalam orang lain, untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya dengan

orang lain.

Kecerdasan emosional menuntut tiap individu untuk belajar mengakui

dan menghargai perasaan terhadap diri sendiri dan orang lain, dan untuk

menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam

kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.

Individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi pastinya lebih

bisa mengelola emosinya dengan baik daripada orang lain yang kecerdasan

emosinya rendah, akan lebih bisa menguasai perasaan dan pikirannya sendiri,

sehingga dapat sukses meskipun mendekati atau bahkan sudah mengalami

masa pensiun. Mereka yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dapat

berpikir tentang langkah mereka selanjutnya, sehingga tidak akan mengalami

(18)

pekerjaan baru untuk mengisi kekosongan tanpa pekerjaan, dengan begitu

pendapatan juga akan mulai membaik meskipun masa pensiun telah datang

dan kebutuhan sehari-hari dapat tercukupi.

Kebanyakan orang lebih mementingkan IQ (Intelegensi Quotient)

daripada kecerdasan emosional (Emotional Quotient). Padahal hanya dengan nalar saja tidak cukup, tanpa kecerdasan emosional seseorang tidak dapat

memahami dirinya sendiri, tidak dapat mengerti dan memahami tentang

masalah yang sedang dihadapinya serta bagaimana cara mengatasi

permasalahan tersebut.

Kecerdasan emosional yang dimiliki masing-masing individu yang

menghadapi masa pensiun seharusnya dapat membuat dirinya mengerti serta

memahami penyebab munculnya kecemasan yang mereka alami dan

bagaimana cara mengatasinya. Dapat terbebas dari rasa cemas dan mencari

jalan keluar yang terbaik bagi permasalahannya.

Berdasarkan beberapa hal di atas, peneliti ingin melakukan penelitian

mengenai kecerdasan emosional para guru yang menghadapi pensiun. Adapun

perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah

sebagai berikut:

1. Penelitian Arbadiati dan Kurniati (2007) mengenai hubungan

antara kecerdasan emosi dengan kecenderungan problem focused

(19)

kecenderungan problem focused copingnya, dan begitu pula sebaliknya.

2. Sari juga melakukan penelitian tentang kecerdasan emosional

(2005). Hasilnya, kecerdasan emosional berperan dalam

mengurangi kecenderungan psikopatik pada remaja delinkuen.

3. Dalam penelitian Arfiana, Setyorini, dan Prabowo (2005) yang

menggunakan subyek beberapa karyawan dalam suatu perusahaan,

terbukti bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional maka

semakin rendah stres kerja pada masing-masing karyawan tersebut.

4. Maria Margareta (2006) melakukan penelitian tentang hubungan

antara kecerdasan emosional guru dengan strategi mengajar yang

efektif dalam kurikulum berbasis kompetensi. Terlihat bahwa

karakteristik guru yang mampu mengajar secara efektif antara lain

adalah guru yang emosinya stabil, kreatif dan inovatif, terbuka

pada keberagaman kebutuhan peserta didiknya dan memiliki

motivasi mengajar yang tinggi.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecerdasan emosional para

(20)

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan bidang Psikologi

Perkembangan.

2. Manfaat Praktis

Dapat menambah pengetahuan dan berguna bagi guru yang akan

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990

oleh Peter Salovey dan John Mayer, mereka mendefinisikan kecerdasan

emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang

melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri

sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan

menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan

(dalam Shapiro, 1999, h. 5).

Salovey dan Mayer melontarkan kecerdasan emosional untuk

menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi

keberhasilan. Kualitas-kualitas itu antara lain; empati, mengungkapkan

dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian,

kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan

masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap

hormat (dalam Shapiro, 1999, h. 5).

Gardner yang mencetuskan istilah kecerdasan pribadi, dianggap

Salovey dan Mayer sebagai dasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan

pribadi menurut Gardner adalah suatu keterampilan yang berhubungan

(22)

Disamping itu, kecerdasan emosional juga berkaitan dengan kemampuan

untuk mengelola perasaan dan memotivasi, merencanakan, dan meraih

tujuan dari kehidupan (dalam Goleman, 2007, h. 57).

Menurut Goleman (2007, h. 7) kecerdasan emosional mencakup

pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk

memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengatur

suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan

kemampuan berpikir, serta kemampuan untuk mengendalikan dorongan

emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain, untuk memelihara

hubungan sebaik-baiknya dengan orang lain. Goleman juga menambahkan

bahwa kecerdasan emosi bukan berarti memberi kebebasan kepada

perasaan untuk berkuasa melainkan mengelola perasaan sehingga

terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja

sama dengan lancar menuju sasaran bersama (Goleman, 2003,h. 9).

Jack Block, seorang ahli psikologi, menyatakan bahwa seseorang

yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mantap secara sosial, mudah

bergaul, tidak mudah takut atau gelisah, berkemampuan besar untuk

melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk memikul

tanggungjawab, dan mempunyai pandangan moral, simpatik serta hangat

dalam hubungan dengan orang lain, dan memandang dirinya sendiri secara

positif (dalam Goleman, 2007, h. 60).

Gottman (2003, h. 2) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional

(23)

menyadari perasaan orang lain, mampu berempati, menghibur,

membimbing, kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, menunda

pemuasan, memberi motivasi pada diri sendiri, membaca isyarat sosial

orang lain dan menangani naik turunnya kehidupan.

Berdasarkan pernyataan dari beberapa ahli diatas mengenai

kecerdasan emosional, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional adalah suatu keterampilan seseorang dalam mengendalikan

dirinya, mengerti serta memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain,

mampu mengendalikan dorongan emosinya, dan dapat menciptakan

suasana yang hangat dalam hubungannya dengan orang lain.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional tidaklah muncul begitu saja, kecerdasan

emosional yang dimiliki tiap-tiap orang dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Goleman (2007, h. 29) salah satu tokoh yang menyebutkan faktor-faktor

tersebut sebagai berikut :

a. Faktor internal

1. Faktor bawaan

Kehidupan emosional telah muncul saat bayi, meskipun belum

memahami, dan mengetahui cara kerja amigdala dan hippocampus, struktur otak tersebutlah yang memunculkan kembali informasi

serta menentukan apakah informasi tersebut mempunyai nilai emosi

(24)

seseorang, kerusakan pada korteks frontal akan menurunkan

dorongan hati, mudah cemas, dan sering terjebak dalam kesulitan.

2. Kemarahan

Zillman (dalam Goleman, 2007, h. 83) pemicu amarah adalah

perasaan terancam bahaya. Kemarahan yang meledak-ledak atau

sifat emosional yang dimiliki seseorang tidak dapat membuatnya

cakap tentang kecerdasan emsoionalnya.

3. Kesedihan

Kesedihan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan depresi. Hal

yang dapat dilakukan untuk melawan depresi adalah bersosialisasi,

dengan bersosialisasi maka kecerdasan emosional seseorang dapat

terlatih.

4. Harapan

Dari sudut pandang kecerdasan emosional, mempunyai harapan

berarti seseorang tidak akan terjebak dalam kecemasan, bersikap

pasrah, atau depresi dalam menghadapi sulitnya tantangan atau

kemunduran.

b. Faktor eksternal

1. Pembelajaran emosi

Pembelajaran emosi di masa kanak-kanak dapat mempunyai

pengaruh besar terhadap temperamen. Sifat otak yang mudah sekali

dibentuk pada masa kanak-kanak dapat membuat

(25)

pengukiran jalur-jalur saraf secara permanen sepanjang hidup.

Diadakannya keterampilan emosional pada masa kanak-kanak dapat

mengembangkan kecerdasan emosionalnya, sehingga tidak mudah

mengalami frustrasi, sakit hati, dan kecemasan.

2. Pengasuhan orangtua

Kecerdasan emosional diajarkan bukan saja melalui hal-hal yang

dilakukan dan dikatakan oleh orangtua langsung kepada

anak-anaknya, tetapi juga dalam contoh-contoh yang mereka berikan

untuk menangani perasaan (Gottman, 2003, h. 2). Interaksi

emosional antara orangtua dengan anak akan berpengaruh besar

pada masa depan anak karena dengan memahami ikatan-ikatan

emosional yang kuat dengan anak berarti menolong anak

mengembangkan kemampuan emosionalnya (Gottman, 2003, h.

15).

3. Lingkungan

Seseorang yang hidup di lingkungan yang buruk apalagi sejak kecil,

tidak dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya dengan baik.

Di lingkungan sekitarnya hanya ada tindak kekerasan dan

kejahatan, dari situ seorang anak tidak dapat belajar bagaimana

memahami perasaan orang lain, serta membina hubungan dengan

orang lain.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

(26)

bawaan, kemarahan, kesedihan, harapan; dan faktor eksternal yang

mencakup pembelajaran emosi, pengasuhan orang tua, lingkungan.

3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Shapiro (1999,h. 24) mengemukakan enam aspek kecerdasan

emosional, yaitu :

a. Keterampilan emosi dari segi moral

Terdiri dari kemampuan untuk berempati dan peduli, bersikap jujur

dan integritas, dan kemampuan untuk mengatasi emosi moral negatif

yaitu rasa malu dan rasa bersalah.

b. Keterampilan berpikir

Terdiri dari kemampuan untuk berpikir realistis dan optimis

c. Keterampilan memecahkan masalah

d. Keterampilan sosial

Kemampuan bergaul dengan orang lain, terdiri dari kemampuan untuk

mengenali, menafsirkan dan bereaksi secara tepat terhadap

situasi-situasi sosial.

e. Keterampilan untuk memotivasi diri dan berprestasi

f. Keterampilan mengelola emosi

Kemampuan untuk meningkatkan perasaan-perasaan positif,

(27)

Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2007, h. 57) membagi dan

memperluas kemampuan kecerdasan emosional dalam lima wilayah

utama, yaitu :

a. Mengenali emosi diri

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.

Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu,

mengobservasi, mengenali perasaan yang dimiliki diri sendiri.

b. Mengelola emosi

Menangani perasaan agar perasaan dapat diungkapkan dengan tepat.

Kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,

kemurungan, atau ketersinggungan.

c. Memotivasi diri sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan, untuk memberi

perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, dan menguasai diri sendiri,

dan untuk berkreasi.

d. Mengenali emosi orang lain

Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri

emosional, merupakan keterampilan bergaul.

e. Membina hubungan

Seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan keterampilan

mengelola emosi orang lain. Keterampilan sosial, kemampuan

seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, keterampilan ini

(28)

Goleman (2007, h. 274) mengemukakan tujuh unsur utama

kemampuan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional :

a. Keyakinan

Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku,

dan dunia.

b. Rasa ingin tahu

Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu itu bersifat positif dan

menimbulkan kesenangan.

c. Niat

Hasrat dan kemampuan untuk berhasil, dan untuk bertindak

berdasarkan niat itu dengan tekun. Hal ini berkaitan dengan perasaan

terampil, perasaan efektif.

d. Kendali diri

Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan

pola yang sesuai dengan usia, suatu rasa kendali batiniah.

e. Keterkaitan

Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan

pada perasaan saling memahami.

f. Kecakapan berkomunikasi

Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan,

dan konsep dengan orang lain. Hal ini berkaitan dengan rasa percaya

(29)

g. Kooperatif

Kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan

kebutuhan orang lain dalam kegiatan kelompok.

Dulewics dan Higgs (dalam Martin, 2003, h. 47) mengemukakan

tujuh elemen utama kecerdasan emosional, yaitu :

a. Penyadaran diri (self awareness)

b. Manajemen emosi (emotional management) c. Motivasi diri (self motivation)

d. Empati (emphaty)

e. Mengelola hubungan (handling relationship)

f. Komunikasi interpersonal (interpersonal communication) g. Gaya pribadi (personal style)

Jeanne Segal (1999, h. 50) menyebutkan bahwa kemampuan

memahami pribadi dan antarpribadi berasal dari empat keterampilan

emosional yang membentuk kecerdasan emosional, yaitu :

a. Kesadaran emosional, yang membuat perbedaan bagaimana seseorang

memberi tanggapan terhadap konflik dan ketidakpastian

b. Penerimaan, yang membuat orang dapat terhindar dari stres atau

kecemasan

c. Kesadaran aktif, yang membuat seseorang mengetahui diri sendiri serta

menyadari emosi-emosi dan pikiran-pikirannya

d. Empati, yang membuat orang dapat menempatkan dirinya pada

(30)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

kecerdasan emosional terdiri dari kesadaran emosional, penerimaan,

kesadaran aktif, dan empati.

4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional

Menurut Martin (2003, h. 26) kelebihan orang-orang yang

memiliki kecerdasan emosional tinggi dibandingkan orang lain tercermin

dari fakta :

a. Pada posisi yang berhubungan dengan orang banyak, mereka lebih

sukses bekerja. Terutama karena lebih berempati, komunikatif, lebih

tinggi rasa humornya, dan lebih peka akan kebutuhan orang lain.

b. Para salesmen, penyedia jasa, atau profesional lainnya yang memiliki

kecerdasan emosional tinggi, nyatanya lebih disukai pelanggan, rekan

sekerja dan atasannya.

c. Mereka lebih bisa menyeimbangkan rasio dan emosi. Tidak terlalu

sensitif dan emosional, namun juga tidak dingin dan terlalu rasional.

Pendapat mereka dianggap selalu obyektif dan penuh pertimbangan.

d. Mereka menanggung stres lebih kecil karena biasa dengan leluasa

mengungkapkan perasaan, bukan memendamnya. Mereka mampu

memisahkan fakta dengan opini, sehingga tidak mudah terpengaruh

oleh gosip, namun berani untuk marah jika merasa benar.

e. Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang

tinggi mereka selalu mudah menyesuaikan diri karena fleksibel dan

(31)

f. Di saat yang lainnya menyerah, mereka tidak putus asa dan frustrasi,

justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Mubayidh (2007, h. 73) menyebutkan orang dewasa yang memiliki

kecerdasan emosional tinggi, tercermin dari :

a. Lebih siap menerima tuntutan lingkungan.

b. Lebih mampu menghadapi tekanan lingkungan dan keadaan.

c. Lebih mampu memahami emosi dan perasaan orang lain.

d. Menjalankan tanggung jawab sosial dengan lebih baik.

e. Lebih mampu beradaptasi.

f. Lebih mampu memperkirakan karakter persoalan secara detail dan

cepat memberikan solusinya.

g. Lebih mampu bekerja dalam tim.

h. Lebih mampu memperkirakan perbedaan antara realitas di lapangan

dengan harapan.

i. Lebih optimis dalam menjalani hidup.

j. Lebih mampu berperilaku positif meski dalam keadaan sulit.

Di sisi lain, Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang

rendah, sering mengalami problem emosi dan menampakkan perilaku

bermusuhan. Mereka tidak mengetahui emosi dan perasaan mereka

dengan baik. Mereka tidak mampu mengungkapkan emosi dan perasaan

melalui lisan maupun tulisan. Akibatnya, mereka tampak sering marah dan

sangat sensitif tanpa mengetahui sebab yang sebenarnya (Mubayidh, 2007,

(32)

emosionalnya sering kali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya

untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil

alih kekuasaan. Mereka mudah marah dan amat tidak peka akan

perasaannya, sehingga larut dalam perasaan-perasaan itu dan bukannya

mencari perspektif baru. Akibatnya, mereka kurang berupaya melepaskan

diri dari suasana hati yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas

kehidupan emosional mereka. Sering kali mereka merasa kalah dan secara

emosional lepas kendali.

Dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kecerdasan emosional yaitu

orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah, tidak mengetahui

emosi dan perasaan mereka dengan baik, tidak mampu mengungkapkan

emosi dan perasaan melalui lisan dan tulisan; sedangkan orang yang

memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu memahami emosi dan

perasaan orang lain, mampu beradaptasi, serta menjalankan tanggung

jawab sosial dengan lebih baik.

5. Penelitian Beberapa Tokoh Mengenai Kecerdasan Emosional

Walter Mischel, seorang psikolog dari Universitas Stanford, sekitar

30 tahun yang lalu melakukan ’percobaan marshmallow’. Dia memberi

sejumlah marshmallow (jajanan manis ala Eropa) kepada sejumlah anak berusia 4 tahun. Sebelum meninggalkan anak-anak itu ia berkata,

marshmallow dalam jumlah lebih banyak akan diberikan kepada mereka yang mampu menahan diri selama 15 menit untuk tidak makan

(33)

berhasil lulus ’ujian’ itu. Kemudian Mischel memusatkan penelitian

selama 14 tahun berikutnya pada perkembangan anak-anak itu. Penelitian

Mischel tersebut membuktikan bahwa anak-anak yang sanggup menunda

reward berkembang menjadi pemuda yang memiliki karakter (Mubayidh, 2007, h. 216) :

a. Lebih percaya diri dan lebih matang secara sosial.

b. Lebih kuat pribadi dan pengaruhnya.

c. Mempunyai tekad kuat.

d. Lebih sanggup beradaptasi dengan kegagalan.

e. Lebih tahan menghadapi penderitaan atau ketegangan.

f. Lebih mampu mengendalikan diri dalam menghadapi tekanan.

g. Lebih mampu menghadapi tantangan, dan tidak mudah menyerah.

h. Lebih mandiri.

i. Mendapatkan kepercayaan dari orang lain, dijadikan tempat mengadu

orang lain.

j. Lebih jujur.

k. Lebih kreatif dan spontan.

l. Setelah waktu berjalan cukup lama, mereka tetap mampu

mengendalikan diri dan menunda penerimaan reward untuk

menjalankan kewajibannya dulu.

Di sisi lain, anak-anak yang menghabiskan marshmallow mempunyai

sifat-sifat negatif (Mubayidh, 2007, h. 217), antara lain :

(34)

b. Lebih cenderung memperlihatkan sifat membangkang.

c. Ragu-ragu dalam mengambil keputusan.

d. Sangat rentan untuk goyah saat menerima rintangan atau kegagalan.

e. Memandang diri dengan pendangan negatif, seakan dirinya tidak

berguna.

f. Saat menghadapi tekanan atau ketegangan, lebih memilih untuk

menarik diri atau stagnan.

g. Kurang jujur.

h. Tamak, tidak merasa puas, dan menuntut yang lebih.

i. Dengki dan pencemburu.

j. Saat reaktif saat menghadapi kegoncangan.

k. Kurang bisa mengendalikan diri, kurang mampu untuk menunda

menerima penghargaan.

Ternyata anak-anak yang mampu menahan diri itu lebih maju

perkembangan sosial, akademik maupun karirnya, dibanding mereka yang

tidak mampu (dalam Martin, 2003, h. 43). Hal ini membuktikan bahwa

kemampuan mengendalikan emosi mempunyai peranan yang sangat besar

terhadap kesuksesan.

Kecerdasan emosional membantu manusia untuk menentukan

kapan dan di mana bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya.

Kecerdasan emosional juga membantu manusia mengarahkan dan

mengendalikan emosinya. Studi yang dilakukan oleh Sigdal Barsade di

(35)

manajemen di beberapa kantor perusahaan. Mereka harus membuat

kesepakatan tentang mekanisme pembayaran gaji para karyawan. Di antara

sukarelawan itu ada seseorang yang berperan sebagai pembicara utama

dan menunaikan beberapa peran sekaligus. Misalnya, terkadang dia

diminta berbicara dengan muka ceria dan penuh semangat; atau berbicara

dengan tenang dan hangat; atau bicara dengan nada tolol dan patah hati;

atau bicara dengan nada bermusuhan dan emosional. Hasilnya, orang ini

dinilai berhasil memerankan berbagai suasana emosi yang mewakili

karakter semua sukarelawan. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa

perasaan dan emosi yang baik akan melahirkan solidaritas dan kerjasama

antaranggota. Keduanya juga memunculkan sikap adil dan prestasi yang

lebih baik dalam kelompok (dalam Mubayidh, 2007, h. 18).

Penelitian Rosenthal dari Universitas Harvard, menyebutkan

bahwa orang yang mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain

cenderung akan lebih berhasil dalam bisnis, bekerja, dan hidup

bermasyarakat. Studi di zaman modern menunjukkan bahwa faktor yang

paling mendorong pelanggan untuk membeli barang adalah kemampuan

penjual untuk mengenali perasaan pelanggan, dan kemudian merespon

perasaan ini dengan tepat. Banyak pembeli mengakui, ia lebih menyukai

penjual yang mau mendengarnya dan mampu memahami hakikat apa yang

diinginkan dan dibutuhkannya (dalam Mubayidh, 2007, h. 19).

Beberapa usahawan Indonesia yang meraih kesuksesan berkat

(36)

penggagas ”Teh Botol Sosro”. Hanya dengan berbekal pendidikan dasar,

dia mulai usahanya dari kota kecil Slawi dan Tegal. Adrie Mongso,

seseorang yang di Sekolah Dasar saja tidak tamat ini merupakan pelopor

kata-kata mutiara terbitan ’Harvest’. Dia mengaku bahwa modal kerjanya

hanya kemampuan berkomunikasi dan keyakinan pada sebuah prinsip.

Selain menjadi pengusaha, dia juga seorang motivator terkenal. A Tham

Gozali, pendiri dan pelopor ”A Tham Tailor” bermodal kemampuan

menjahit yang dipelajarinya di kampung halamannya di Singkawang,

Kalimantan Barat, dia nekat berangkat ke Jakarta. Lambat laun

kemampuannya melayani dan memahami kebutuhan konsumen

membawanya pada kesuksesan. Meski latar belakang pendidikannya

hanya SD ternyata dia mampu menjadi salah seorang penjahit terkemuka

di Indonesia (dalam Martin, 2003, h. 37).

B. Guru yang Menghadapi Pensiun

1. Pengertian Guru yang Menghadapi Pensiun

Menurut Poerwadarminta guru (1983, h. 335) adalah orang yang

kerjanya mengajar, sedangkan menurut Djamarah (2005, h. 31) guru

adalah semua orang yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap

pendidikan murid-muridnya baik secara individu ataupun secara klasikal,

di sekolah maupun di luar sekolah.

Pensiun berarti bahwa perusahaan memberikan sejumlah uang

(37)

setelah mereka bekerja dalam waktu yang lama, atau setelah mencapai

suatu batas usia tertentu (Ranupandojo, 1987, h. 277).

Flippo (1987, h. 283) menyebut pensiun sebagai suatu ”peran tanpa

peran”. Dalam suatu masyarakat yang dibangun berdasarkan etika kerja,

peralihan dari suatu peran kerja produktif yang nyata pada suatu hari telah

menanamkan keyakinan bahwa pensiun mengakibatkan penyakit mental

dan jasmani serta kadang-kadang kematian yang terlalu cepat. Pensiun

merupakan suatu peristiwa penting dalam daur kehidupan seseorang,

pensiun memaksa suatu peningkatan dalam ruang lingkup pengambilan

keputusan tentang kehidupan pribadi seseorang.

Schwartz berpendapat bahwa pensiun merupakan akhir pola hidup

atau masa transisi ke pola hidup baru. Pensiun selalu menyangkut

perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara

keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu (Hurlock, 1992, h. 417 ).

Back (dalam Hurlock, 1992, h. 419) menjelaskan bahwa apabila

pensiun semakin dianggap sebagai perubahan ke status baru, maka

pensiun akan semakin tidak dianggap sebagai membuang status yang

berharga dengan demikian akan terjadi transisi yang lebih baik.

Jadi dapat disimpulkan bahwa guru yang akan menghadapi pensiun

adalah seseorang yang mengalami masa transisi menuju ke hidup yang

baru karena kondisi fisik dan batasan usia, setelah sekian lama bekerja

sebagai pengajar, mempunyai wewenang dan tanggungjawab terhadap

(38)

2. Kategori Sikap Terhadap Pensiun

Havighurst (Hurlock, 1992, h. 418) membagi sikap terhadap

pensiun menjadi dua kategori, yaitu :

a. Pengalihan peran (transformer)

Mengubah gaya hidup dengan menciptakan gaya hidup yang baru dan

menyenangkan diri sendiri. Melepaskan berbagai peran lama dan

menjalankan peran baru.

b. Pemelihara peran (maintainers)

Terus bekerja dengan melakukan pekerjaan penggal waktu setelah

pensiun. Pekerjaan yang dilakukan merupakan lanjutan dari pekerjaan

yang sebelumnya.

Jadi kategori sikap tehadap pensiun terdiri dari pengalihan peran

dan pemelihara peran.

3. Kondisi yang Mempengaruhi Penyesuaian Terhadap Pensiun

Terdapat berbagai macam kondisi yang mempengaruhi

penyesuaian terhadap pensiun. Baik tidaknya penyesuaian diri seseorang

saat pensiun dipengaruhi oleh (Hurlock, 1992, h. 419) :

a. Para pekerja yang pensiun secara sukarela akan menyesuaikan diri

lebih baik dibandingkan dengan mereka yang merasakan pensiun

dengan terpaksa terutama bagi mereka yang masih ingin melajutkan

(39)

b. Kesehatan yang buruk pada waktu pensiun memudahkan penyesuaian

sedangkan orang sehat mungkin cenderung melawan untuk melakukan

penyesuaian diri.

c. Berhenti dari pekerjaan secara bertahap ternyata lebih baik efeknya

dibandingkan jika tiba-tiba berhenti dari kebiasaan bekerja, karena

sebagian orang tidak bisa mengatur persiapan pola hidup tanpa

pekerjaan.

d. Pekerja yang mengembangkan minat tertentu guna menggantikan

aktivitas kerja rutin, akan menghasilkan kepuasan yang dulu diperoleh

dari pekerjaannya, tidak akan mengalami kesulitan saat pensiun, yang

secara emosional membingungkan, misalnya sulit menemukan minat

pengganti.

e. Kontak sosial, jika tinggal di rumah sendiri, sedangkan anak-anak

sudah menikah, orang pensiunan memutuskan untuk melakukan

kontak sosial.

f. Semakin sedikit perubahan yang harus dilakukan terhadap kehidupan

semasa pensiun semakin baik penyesuaian diri dapat dilakukan.

g. Status ekonomi yang baik, yang memungkinkan seseorang untuk hidup

dengan nyaman dan menyenangkan.

h. Status perkawinan yang bahagia sangat membantu penyesuaian diri

terhadap masa pensiun.

i. Semakin para pekerja menyukai pekerjaan mereka, semakin buruk

(40)

j. Semakin besar masyarakat sekitar menawarkan berbagai kegiatan,

akan mempemudah penyesuaian terhadap pensiun.

k. Sikap anggota keluarga terhadap masa pensiun mempunyai pengaruh

yang amat besar terhadap sikap pekerja.

Dapat disimpulkan bahwa baik tidaknya penyesuaian diri

seseorang saat menghadapi pensiun dipengaruhi oleh kondisi kesehatan,

kontak sosial, status ekonomi, status perkawinan, memiliki minat tertentu

untuk menggantikan aktivitas kerja rutin.

4. Fase-fase Pensiun

Seorang ahli gerontologi, Robert Atchley (dalam Santrock, 2002,

h. 228) menggambarkan tujuh fase pensiun yang dilalui oleh orang-orang

dewasa, yaitu :

a. Fase jauh (the remote phase)

Kebanyakan individu sedikit melakukan sesuatu untuk mempersiapkan

fase pensiun. Seiring dengan pertambahan usia mereka yang

memungkinkan pensiun, mereka mungkin menyangkal bahwa fase

pensiun akan terjadi.

b. Fase mendekat (the near phase)

Para pekerja mulai berpartisipasi di dalam program pra-pensiun.

Program ini membantu orang-orang dewasa memutuskan kapan dan

bagaimana mereka seharusnya pensiun dengan mengakrabkan mereka

dengan keuntungan-keuntungan dan dana pensiun yang diharapkan

(41)

mengenai isu-isu yang lebih komprehensif, seperti kesehatan fisik dan

mental.

c. Fase bulan madu (the honeymoon phase)

Fase terawal dari fase pensiun, banyak individu merasa bahagia.

Mereka mungkin dapat melakukan segala sesuatu yang tidak pernah

dilakukan sebelumnya, dan mereka menikmati aktivitas-aktivitas

waktu luang yang lebih.

d. Fase kekecewaan (the disenchantment phase)

Orang-orang dewasa lanjut menyadari bahwa bayangan pra-pensiun

mereka tentang fase pensiun ternyata tidak realistic.

e. Fase re-orientasi (reorientation phase)

Para pensiunan mencatat apa yang masih dimiliki, mengumpulkannya

bersama-sama, dan mengembangkan alternatif-alternatif kehidupan

yang lebih realistik.

f. Fase stabil (the stability phase)

Orang-orang dewasa telah memutuskan berdasarkan suatu criteria

tertentu untuk mengevaluasi pilihan-pilihan pada fase pensiun dan

bagaimana mereka akan menjalani salah satu pilihan yang telah dibuat.

g. Fase akhir (the termination phase)

Peranan fase pensiun digantikan oleh peran sebagai pesakitan atau

peran tergantung karena orang-orang dewasa lanjut tidak dapat

(42)

Jadi tujuh fase pensiun yang akan dialami oleh setiap orang adalah

Fase jauh (the remote phase), Fase mendekat (the near phase), Fase bulan

madu (the honeymoon phase), Fase kekecewaan (the disenchantment

phase), Fase re-orientasi (reorientation phase), Fase stabil (the stability

phase), Fase akhir (the termination phase).

C. Analisa Kecerdasan Emosional Para Guru yang Menghadapi Pensiun

Setiap individu yang bekerja pastinya akan mengalami masa pensiun,

baik bagi mereka yang bekerja di sebuah perusahaan ataupun yang bekerja di

instansi pemerintah. Perusahaan ataupun pemerintah telah menetapkan batasan

usia tertentu untuk pensiun bagi karyawan atau pegawainya. Saat masa

pensiun tiba, hal itu tidak dapat dihindari oleh setiap orang. Ketika kondisi

fisik menurun, produktivitas makin menurun, dan usia bertambah tua, masa

pensiun semakin di depan mata.

Guru merupakan suatu pekerjaan di instansi pemerintah, itu artinya guru

memiliki batasan usia tertentu untuk pensiun. Ketentuan tersebut telah diatur

di dalam PP RI No. 32 tahun 1979 (www. dikti.co.id), yang berisi batasan usia

pensiun bagi pegawai negeri ditetapkan pada umur 56 tahun. Meskipun

batasan usia ini nantinya bersifat longgar, namun tetap saja setiap guru akan

mengalami masa pensiun di usia tua mereka.

Para guru menghadapi masa pensiun dengan cara yang berbeda-beda

satu sama lain. Beberapa diantara mereka merasa senang karena dapat

(43)

mereka menanggapi pensiun dengan hati gembira. Namun, tidak sedikit pula

dari mereka yang gelisah dan khawatir saat menghadapi pensiun. Pensiun

dirasakan sebagai akhir dari segalanya, banyak alasan yang dikemukakan

untuk hal itu.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti, diperoleh informasi

bahwa kehilangan pekerjaan, pendapatan akan berkurang, kebersamaan

dengan para murid yang menjadikan hiburan bagi mereka akan lenyap begitu

saja, beberapa hal tersebut merupakan alasan yang membuat para guru

menjadi cemas saat masa pensiun semakin mendekat. Faktor ekonomi dan

faktor sosial di atas menjadi masalah yang sangat besar bagi mereka.

Berkurangnya pendapatan akan berpengaruh pada kehidupan rumah tangga

sehari-hari, cara mereka memenuhi kebutuhan rumah tangga akan berbeda

seperti saat pekerjaan masih digeluti, terlebih lagi jika masih memiliki

tanggungan, yaitu anak yang masih sekolah, tentunya hal itu akan membuat

mereka khawatir tentang keuangan rumah tangga. Interaksi dengan murid dan

rekan sekerja akan berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali, hal ini akan

membuat mereka merasa sepi karena tidak adanya teman sebaya yang dapat

dijadikan tempat berkeluh kesah. Para guru sudah memutar otak sedemikian

rupa untuk mencari solusi dalam menghadapi beberapa permasalahan yang

akan dihadapinya tersebut, bahkan sebelum pensiun itu benar-benar dialami.

Oleh sebab itu, reaksi masing-masing guru yang akan menghadapi pensiun

berbeda satu sama lain. Ada beberapa dari mereka yang khawatir hingga

(44)

mengatasi masalah-masalah yang nantinya akan muncul saat pensiun.

Sehingga mereka telah menyiapkan beberapa solusi untuk mengatasinya,

bahkan solusi ini sudah dipikirkan jauh sebelum para guru menghadapi

pensiun. Meskipun demikian, diantara para guru yang sudah memikirkan

solusi inipun, masih terdapat beberapa individu yang merasa khawatir

meskipun sudah menemukan solusi bagi permasalahan yang sebenarnya

belum terjadi.

Adanya sikap yang bervariasi ketika menghadapi masa pensiun

tergantung kondisi emosionil seseorang dalam menghadapi semua masalah

yang terjadi pada dirinya. Kecerdasan emosional seseorang sangat

mempengaruhi kehidupan seseorang, dengan adanya kecakapan dalam

kecerdasan emosionalnya akan membuat orang menyadari apa yang sedang

terjadi dalam dirinya, bagaimana perasaannya saat itu, serta bagaimana cara

menghadapi setiap permasalahan yang terjadi pada dirinya, dan dapat

mengendalikan emosinya dengan baik.

Menurut Goleman (2007, h. 7) kecerdasan emosional mencakup

pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi

diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengatur suasana hati dan

menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta

kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan

terdalam orang lain, untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya dengan

(45)

Aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Shapiro

(1999,h. 24), antara lain adalah keterampilan emosi dari segi moral,

keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan untuk memotivasi

diri dan berprestasi, keterampilan mengelola emosi, keterampilan

memecahkan masalah. Sedangkan menurut Segal (1999, h. 50), kecerdasan

emosional terbentuk dari kesadaran emosional, penerimaan, kesadaran aktif,

dan empati.

Segal (1999, h. 211) mengatakan jika seseorang yang keluar dari

pekerjaannya dan berniat untuk mencari pekerjaan di tempat lain, kebutuhan

ekonomi memaksanya berada dalam situasi kerja yang tidak sesuai. Maka

orang tersebut tidak akan merasa nyaman dengan lingkungan barunya jika dia

tidak dapat menggunakan emosinya dengan baik untuk tetap terkendali dan

menjaga kepuasan di tempat kerjanya yang baru, tapi jika orang tersebut

mampu menggunakan emosinya dengan baik, dia akan merasa mendapat

pekerjaan yang tepat, hasil dan deskripsi pekerjaan akan tampak sempurna di

matanya.

Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional rendah tidak dapat

mengambil keputusan, serta tidak dapat memecahkan masalah dengan baik.

Mereka juga tidak tahu bagaimana caranya memikirkan perasaan orang lain,

kurang dapat berinteraksi dengan orang lain, bahkan yang lebih buruk lagi

mereka tidak mampu merasakan apa yang disukainya dan apa yang tidak

disukainya, tidak dapat memahami perasaannya sendiri (Segal, 1999, h.10).

(46)

cakap secara emosional, tidak mampu mengelola emosinya dengan baik akan

cenderung mengalami depresi setiap menemui masalah, meskipun terkadang

itu merupakan masalah kecil, namun jika dia tidak dapat mengatasinya dengan

baik, masalah kecil tersebut dapat menjadi masalah yang besar baginya.

Berdasarkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki

kecerdasan emosional yang tinggi tentunya dapat mengelola emosinya dengan

baik, sehingga reaksi positiflah yang muncul saat menghadapi masa pensiun.

Masa pensiun tidak akan membuat mereka mengalami hal yang tidak

menyenangkan, namun akan membuat mereka dapat berkarya di hari tuanya.

Mereka juga tidak akan merasa kehilangan seseorang karena keterampilan

sosialnya yang bagus, membuat mereka dapat berinteraksi dengan semua

orang dimanapun dia berada dan dalam situasi apapun. Sebaliknya, bagi

mereka yang kecerdasan emosionalnya rendah akan menghadapi masa pensiun

dengan rasa khawatir serta gelisah tentang sesuatu yang akan dihadapinya

nanti setelah pensiun benar-benar sudah dialami, dengan kata lain reaksi

negatif muncul ketika menghadapi masa pensiun. Kecerdasan emosional yang

dimiliki para guru seharusnya dapat membuat mereka memahami apa yang

mereka rasakan, bagaimana harus bertindak untuk mengatasi permasalahan

(47)

Diagram 1

Analisa Kecerdasan Emosional Guru yang Menghadapi Pensiun

Pensiun

Pendapatan berkurang

Pendapatan berkurang Kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari

Pekerjaan hilang Pensiun

Kebersamaan dengan murid berkurang

Kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari

Menganggur, bosan

Kesepian

Reaksi yang Muncul

Kesadaran Aktif Empati

Kecerdasan Emosional

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Kualitatif

Setiap melakukan suatu penelitian ilmiah, metode penelitian harus selalu

digunakan agar hasil yang nantinya diperoleh dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya. Oleh sebab itu, dalam penelitian mengenai peran kecerdasan

emosional pada para guru yang menghadapi pensiun menggunakan sebuah

metode penelitian, yaitu metode penelitian kualitatif. Hal ini sesuai dengan

tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu untuk mengetahui seberapa besar

peran kecerdasan emosional pada para guru yang menghadapi pensiun.

Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan

metode studi kasus. Menurut Mulyana (2002, h. 201) studi kasus adalah uraian

dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu

kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi

sosial, sedangkan penelitinya berupaya menelaah sebanyak mungkin data

mengenai subyek yang diteliti.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2008, 4) mendefinisikan

metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati. Mereka juga menambahkan bahwa pendekatan kualitatif

(49)

hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel

atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

John W. Creswell (1994, h. 1) mendeskripsikan penelitian kualitatif

sebagai proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah

manusia, berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan

kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun

dalam sebuah latar ilmiah.

Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2008, h. 4) menyebutkan bahwa

penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang

secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam

kawasannya maupun dalam peristilahannya.

Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998, h. 30) penelitian

kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif,

transkripsi, wawancara, catatan lapangan, gambar foto, rekaman video yang

kemudian diterjemahkan ke dalam pandangan-pandangan dasar interpretatif

dan fenomenologis. Pandangan dasar tersebut adalah ; 1) realitas sosial adalah

suatu yang subyektif dan diinterpretasikan bukan sebagai suatu yang berada di

luar individu, 2) manusia tidak secara sederhana mengikuti hukum-hukum

akan di luar diri, melainkan rangkaian makna dalam menjalani kehidupannya,

3) ilmu didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersifat induktif ideografis

dan tidak bebas nilai, 4) penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan

(50)

Berdasarkan pengertian dari beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan

bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan tujuan

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

B. Subyek Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi menurut Hadi (2001, h. 70) adalah individu-individu

untuk siapa kenyataan-kenyataan yang didapat dari sampel yang hendak

digeneralisasikan. Oleh karena itu, populasi merupakan sejumlah individu

yang setidaknya mempunyai satu ciri atau sifat yang sama.

Kriteria yang digunakan dalam menentukan populasi pada

penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Guru yang akan menghadapi pensiun

b. Waktu mengajar hanya tinggal 1 tahun lagi

c. Tidak mempunyai pekerjaan sambilan saat masih menjadi guru

2. Teknik Pengambilan Sampel

Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998, h. 53) mengemukakan

karakteristik pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif sebagai

berikut :

a. Diarahkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah

(51)

b. Tidak ditentukan sejak awal namun dapat berubah sesuai dengan

pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.

c. Diarahkan pada kecocokan konteks bukan pada keterwakilan.

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sample adalah pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang

erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya

(Hadi, 2001, h. 82).

C. Metode Pengumpulan Data

Poerwandari (1998, h. 61) menyatakan bahwa sesuai dengan sifat

penelitian yang terbuka dan luwes, metode dan tipe pengumpulan data dalam

penelitian kualitatif juga beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan

penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Di dalam penelitian ini metode

pengumpulan data yang digunakan adalah :

1. Wawancara

Menurut Hadi (2002, h. 62) wawancara merupakan metode

pengumpulan data dengan jalan tanya-jawab sepihak yang dikerjakan

dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan. Pada

umumnya dua orang atau lebih hadir secara fisik dalam proses tanya jawab

tersebut, dan masing-masing pihak dapat menggunakan saluran-saluran

komunikasi secara wajar dan lancar. Moleong (2008, h. 186)

(52)

pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Dalam penelitian ini, pedoman wawancara yang akan dilakukan

adalah wawancara bebas terpimpin. Hal ini dilakukan agar informasi yang

diperoleh lebih mendalam dan tujuan penelitian dapat dicapai semaksimal

mungkin. Wawancara longitudinal dilakukan dengan memberikan

beberapa pertanyaan pada keluarga terdekat subyek, misalnya orang tua

atau kakak subyek. Hal ini dimaksudkan agar peneliti dapat memperoleh

data tentang kecemasan subyek semenjak kecil hingga dewasa dan pada

saat menghadapi pensiun. Dalam hal ini, peneliti menggunakan alat bantu

seperti tape recorder, buku catatan, serta pena untuk membantu jalannya wawancara.

Beberapa hal yang ingin diketahui melalui wawancara adalah sebagai

berikut :

a. Kondisi keluarga subyek

b. Hubungan subyek dengan murid

c. Kecintaan subyek terhadap pekerjaannya

d. Rencana setelah pensiun

e. Lingkungan tempat tinggal

2. Observasi

Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan dengan sistematik

(53)

dilakukan adalah observasi non partisipan, Dalam penelitian ini, agar hasil

yang diperoleh tidak terbatas, observasi dilakukan tidak hanya pada saat

wawancara saja, namun observasi juga dilakukan saat subyek sedang

mengajar atau saat mengikuti kegiatan di sekolah tempatnya mengajar,

bahkan saat subyek berada di rumahpun dapat dilakukan observasi.

Patton (dalam Poerwandari, 1998, h. 63) mengungkapkan bahwa

data hasil observasi menjadi sangat penting karena :

a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam konteks

dimana hal yang diteliti ada atau terjadi.

b. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersifat terbuka, berorientasi

pada penemuan daripada pembuktian, dan telah mempertahankan

piliha untuk mendekati masalah secara lebih induktif.

c. Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh subyek

penelitian sendiri kurang disadari.

d. Observasi memungkinkan diperolehnya data yang karena berbagai

sebab tidak dapat diungkapkan melalui wawancara.

e. Observasi memungkinkan peneliti bergerak lebih jauh dari persepsi

selektif yang ditampilkan subyek penelitian atau pihak lain.

f. Observasi memungkinkan peneliti merefleksi dan bersikap introspeksi

(54)

Hasil observasi yang nantinya diperoleh, diharapkan dapat

mendukung data yang telah didapat dari wawancara sebelumnya. Dalam

observasi ini, peneliti ingin mengetahui :

a. Kondisi fisik subyek

b. Perilaku yang cenderung ditampilkan selama proses observasi

c. Sikap dan perilaku subyek terhadap murid-muridnya saat mengajar

d. Interaksi subyek dengan keluarga dan teman kerjanya

e. Ekspresi dan bahasa tubuh yang muncul saat wawancara, misalnya saat

menjawab pertanyaan subyek membutuhkan waktu yang lama,

menghindari pertanyaan, dan lain sebagainya

3. Tes

Cara individu mempersepsi dan menginterpretasi materi tes atau

”menstrukturisasikan” situasi akan menecerminkan aspek-aspek dasar dari

fungsi psikologisnya. Maka materi tes bisa berfungsi sebagai semacam

saringan dimana responden ”memproyeksikan” proses pikiran, kebutuhan,

kecemasan, dan konflik khas (Anastasi, 1997, h. 46).

Anastasi (1997, h. 47) juga menambahkan bahwa teknik proyektif

sangat efektif dalam menyingkapkan aspek tertutup, laten, atau tak sadar

dari kepribadian.

Di dalam penelitian ini, tes proyektif yang digunakan adalah TAT

(Thematic Apperception Test) untuk mengungkapkan ada atau tidaknya kecemasan dalam diri subyek. Peneliti menggunakan TAT karena melalui

(55)

memproyeksikan keinginan, pengalaman, perasaan dan konflik-konflik di

dalam dirinya. Serta adanya asumsi bahwa semakin tidak terstruktur atau

semakin ambigu suatu stimuli, maka semakin kecil kemungkinan adanya

reaksi defensif pada subyek (Anastasi, 1997, h. 47).

TAT mengajukan stimuli yang jauh lebih tersruktur dan meminta

respon verbal yang lebih kompleks dan terorganisir secara bermakna.

Interpretasi atas respon-respon atas penguji biasanya didasarkan pada

analisis isi yang sifatnya agak kualitatif. Materi-materi TAT terdiri dari 19

kartu yang memuat gambar-gambar kabur dalam warna hitam dan putih

serta satu kartu kosong. Responden diminta untuk mengarang cerita yang

sesuai dengan tiap gambar, menceritakan apa yang mengarah pada

peristiwa, mendeskripsikan apa yang terjadi pada waktu itu, dan apa yang

dirasakan serta dipikirkan oleh karakter dalam gambar lalu memberikan

hasilnya. Dalam hal kartu yang kosong, responden diminta untuk

membayangkan gambar tertentu pada kartu itu, mendeskripsikannya, dan

kemudian membuat cerita tentang hal itu (Anastasi, 1997, 52).

Kecerdasan emosional dalam penelitian ini diungkap dengan

menggunakan sejumlah pertanyaan yang dibuat oleh Jeanne Segal dengan

berpegang pada teori Daniel Goleman. Landasan Segal dalam membuat

sejumlah pertanyaan itu adalah bahwa setiap orang tidak benar-benar

merasa, tapi mengira bahwa orang itu merasa. Orang yang mengira bahwa

dirinya merasa, tidak mengetahui apa yang benar-benar penting untuknya.

(56)

unik yang telah membentuk kepribadiannya, karena itu orang tersebut

kemudian bertindak seperti orang lain.

Segal membuat 15 item pertanyaan yang mengukur kecerdasan

emosional melalui perilaku, karena menurut Segal (1999, h. 24)

kecerdasan emosional berdasarkan pada bagaimana seseorang bertindak

pada situasi tertentu dan dimana kekuatan emosi terletak. Beberapa hal

yang dapat diungkap dari 15 item pertanyaan tersebut antara lain adalah

kesadaran emosional, penerimaan, kesadaran aktif, dan empati. Keempat

hal tersebut merupakan keterampilan emosional yang membentuk

kecerdasan emosional seseorang. Dari 15 item pertanyaan tersebut dapat

dilihat apakah subyek memiliki kecerdasan emosional rendah atau tinggi.

D. Metode Analisis Data

Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2008, h. 248) analisis data

kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain.

Patton (dalam Poerwandari, 1998, h. 87) menegaskan bahwa satu hal

yang harus diingat peneliti adalah kewajiban untuk memonitor dan

melaporkan proses serta prosedur-prosedur analisisnya dengan jujur dan

(57)

Patton (dalam Poerwandari, 1998, h. 105) mengungkapkan hal-hal

penting untuk analisis data kualitatif, yaitu sebagai berikut :

1. Mempresentasikan secara kronologis peristiwa yang diamati dari awal

hingga akhir.

2. Mempresentasikan insiden-insiden kritis atau peristiwa-peristiwa kunci

berdasarkan urutan kepentingan insiden tersebut.

3. Mendeskripsikan setiap tempat, setting, atau lokasi yang berbeda sebelum

mempresentasikan gambaran dan pola umumnya.

4. Memfokuskan analisis dan presentasi pada individu-individu atau

kelompok-kelompok bila memang individu atau kelompok tersebut

menjadi unit analisis primer.

5. Mengorganisasikan data dengan menjelaskan proses-proses yang terjadi

(proses seleksi, proses pengambilan keputusan, proses komunikasi, dan

lain-lain).

6. Memfokuskan pengamatan pada isu-isu kunci yang diperkirakan akan

sejalan dengan upaya menjawab pertanyaan primer penelitian.

Langkah-langkah teknik analisis (dalam Poerwandari, 1998, h. 87) yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Mengorganisasikan data yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan

tes grafis dengan sistematis dan selengkap mungkin, yang dilakukan

dengan mendokumentasikan dan menyimpan data-data tersebut.

2. Melakukan koding pada materi yang sudah diperoleh, hal ini dimaksudkan

(58)

mendetail materi sehingga dapat memunculkan gambaran tentang topik

yang dipelajari.

3. Melakukan pemahaman konseptual data yang mengacu pada kemampuan

memperoleh insight, memberi makna data, memahami dan memilah data

mana yang esensial dan mana yang tidak.

4. Membuat kesimpulan sementara yang bertujuan menajamkan tema dan

pola yang ditemukan dari data.

5. Melakukan interpretasi data melalui konteks pemahaman diri, pemahaman

biasa yang kritis dan pemahaman teoritis.

Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini dianalisis dengan

menggunakan tiga unsur (Sugiyono, 2008, h. 246) :

1. Data reduction (reduksi data)

Merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal

yang penting, dicari tema dan polanya. Reduksi data dapat dilakukan

dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu, dengan demikian

akan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data

selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Data display (penyajian data)

Pengorganisasian data sehingga tersusun dalam pola hubungan. Dengan

demikian, akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi,

merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+3

Referensi

Dokumen terkait

Secara khusus kekuatan dari pelaksanaan Peraturan Wali Kota Semarang tentang Kawasan Tanpa Rokok ini di Stasiun Tawang adalah adanya dukungan dari pihak

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti mempunyai gagasan untuk mengadakan penelitian tentang adakah korelasi kecerdasan spiritual dengan motivasi belajar siswa pada

Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan syarat yang sangat mendasar adalah

Efektivitas Minyak Serai Wangi dan Fraksi Sitronellal Terhadap Pertumbuhan Jamur Phytopthora palmivora Penyebab Penyakit Busuk Buah Kakao.. Minyak Atsiri Piper aduncum

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

(1998) dalam Nurwahyuni (2001), perbanyakan tanaman jeruk secara in vitro melalui kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah dapat menghasilkan bibit

komunitas yaitu cerminan dan kesadaran kritis, membangun identitas komunitas, tindakan representasi dan politis, praktek yang berhubungan dengan budaya, asosiasi

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang