• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerajaan Kerajaan Islam di Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kerajaan Kerajaan Islam di Aceh"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

 About  Contact Us  Privacy Policy 

 

Acehpedia

 Home

 ACEH PEDIA

o o o o o

 INFO BERITA

 PENDIDIKAN DAN HUKUM

o o o o o

 SYAR'IAH  WISATA ACEH  INDEKS

Home » New Posting » Sejarah Aceh » Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh Boy Mawardi SH 13.29 New Posting , Sejarah Aceh

Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh

Kesultanan Islam Lamuri

(2)

Lamuri Sulthanate Place

1. Sejarah

Data tentang sejarah berdirinya Kesultanan Lamuri masih simpang siur. Data yang pernah dikemukakan sejumlah orang tentang kesultanan ini masih bersifat spekulatif dan tentatif. Tulisan ini masih sangat sederhana dan bersifat sementara karena keterbatasan data yang diperoleh.

Secara umum, data tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita dari luar, seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab, India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal, seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang keberadaan kesultanan ini.

Data tentang lokasi kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt, seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini terletak di sudut sebelah barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamuri merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires, letak Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah Biheue. Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas dari pantai hingga ke daerah pedalaman.

Menurut T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa

(3)

Berdasarkan sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun demikian, dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan laut atau pantai dan kemudian meluas ke daerah pedalaman. Persisnya, letak kesultanan ini berada di sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu bernama Bandar Lamuri. Kata “Lamuri” sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya). Istana Lamuri sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri telah ada sejak pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun 943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai kerajaan Islam yang berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban untuk mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga datang melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.

Menurut Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri pernah diserang oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada akhirnya, Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri bukan kerajaan kecil karena terbukti sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti Kerajaan Chola.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri merupakan tempat pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M semua rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah

historiografi Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan

(4)

mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kesultanan Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.

Menurut Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di Kesultanan Lamuri

adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang sultan di Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat pemerintahan Kesultanan Lamuri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara sungai. Sejak saat itu, nama Kesultanan Lamuri dikenal dengan nama Kesultanan Makota Alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan Lamuri

beserta dengan Kerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir (Pidie), Perlak, Benua

Tamiang, dan Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan bahwa Kesultanan Lamuri merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam. Nama kesultanan ini berasal dari salah satu desa di Kabupaten Aceh Besar, yang pusat pemerintahannya berada di Kampung Lamreh.

2. Silsilah

(Masih dalam proses pengumpulan data)

3. Periode Pemerintahan

Kesultanan Lamuri berumur sekitar lebih dari 6 abad karena terhitung sejak tahun 900-an hingga tahun 1513. Kesult900-an900-an ini berakhir setelah menyatu bersama deng900-an beberapa kerajaan lain di Aceh ke dalam Kesultanan Aceh Darussalam.

4. Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Lamuri mencakup daerah yang kini dikenal sebagai wilayah administratif Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.

5. Struktur Pemerintahan

(5)

penguasa yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang perdana menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut (dengan gelar laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama

(atau disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung jawab

pada urusan pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung komunikasi antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).

6. Kehidupan Sosial-Budaya

Kesultanan Lamuri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan masyarakat di kesultanan ini di samping mengandalkan hasil pertanian juga mengandalkan hasil perdagangan yang dilakukan masyarakat sekitar dengan pedagang-pedagang dari luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil perdagangan yang dimaksud berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan ternak. Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak perdagangan dari luar untuk datang ke Lamuri dan wilayah Aceh secara keseluruhan. (HS/sej/36/12-07)

Sumber:

“Kerajaan Lamuri”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Lamuri, diakses tanggal 15 Desember 2007.

“PariwisataNangroeAcehDarussalam”,dalamhttp://www.tamanmini.com/

anjungan/nad/pariwisata/kota_banda_aceh, diakses tanggal 15 Desember 2007.Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh.

Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

“Menapaki Sejarah Kota Banda Aceh”, dalam

http://zainalbakri.multiply.com/journal?&page_start=60, diakses tanggal 15 Desember 2007.

Kerajaan Islam Jeumpa, Khilafah

Islam Pertama Nusantara

Latar Belakang (Menurut Teori, Data, Penelitian dan Sejumlah Ahli Sejarah)

(6)

Islamisasi di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah (Arab).

Bukan maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara mendetil, namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia.

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam, Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab.

Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.

(7)

Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.lv

Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika.lvi

Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.

Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.

Shahrianshah Salman Al-Farisi Pendiri Kerajaan Jeumpa Aceh (777 M)

(8)

Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.

Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintoe Rayeuk” (Pintu Besar).

Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi.

Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.

Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau keturunan raja-raja Parsia. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Dikarenakan :

Beliau memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada moyangnya. Beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja’far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini.

(9)

Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia.

Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga.

Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman Al-Parsi memilih kota kecil di wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara? Ada beberapa kemungkinan, Beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana, Beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah), Keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya dan Menghindar dari pandangan penguasa.

Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama. Mengingat Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia.

Kemungkinan Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak terlalu menyolok. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.

(10)

mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.

Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.

Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran dengan Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang.

Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.

(11)

ulama dan pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel.

Berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan bagi para ulama dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum ditemukan data tentang masalah ini.

Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim.

Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.

(12)

menaklukkan dan mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah yang telah mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh Darussalam.

Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.

Kesultanan Islam Peureulak

1. Sejarah

Analisis dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia dipahami melalui sejumlah teori. Aji Setiawan, misalnya melihat bahwa datangnya Islam ke nusantara bisa ditelisik melalui tiga teori, yaitu teori Gujarat, teori Arab, dan teori Persia. Teori Gujarat memandang bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah melalui jalur perdagangan Gujarat India pada abad 13-14. Teori ini biasanya banyak digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah seorang penganutnya, W.F. Stuterheim menyatakan bahwa Islam mulai masuk ke nusantara pada abad ke-13 yang didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Menurut teori ini, masuknya Islam ke nusantara melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa.

Teori Persia lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara masyarakat Indonesia pada saat itu dengan budaya Persia. Sebagai contoh misalnya

kesamaan konsep wahdatul wujud-nya Hamzah Fanshuri dengan al-Hallaj. Sedangkan

(13)

berargumen bahwa para pedagang Arab yang mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7 atau 8 juga sekaligus melakukan penyebaran Islam di nusantara pada saat itu. Penganut teori ini lainnya, Naquib al-Attas melihat bahwa bukti kedatangan Islam ke nusantara ditandai dengan karaktek Islam yang khas, atau disebut dengan “teori umum tentang Islamisasi nusantara” yang didasarkan pada literatur nusantara dan pandangan dunia Melayu. Di samping tiga teori umum di atas, ada teori lain yang memandang bahwa datangnya Islam ke nusantara berasal dari Cina, atau yang disebut dengan teori Cina.

Berdasarkan paparan teori-teori di atas, dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad 7 atau 8 M. Pada abad ke-13, Islam sudah berkembang pesat. Menurut catatan A. Hasymi, Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Negeri Aceh.

Nama Kesultanan Perlak sebagai sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia kurang begitu dikenal dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai. Namun demikian, nama Kesultanan Perlak justru terkenal di Eropa karena kunjungan Marco Polo pada tahun 1293.

a. Sejarah Masuknya Islam

Kesultanan Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera. Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari pasukan-pasukan pengikutnya.

Pada tahun 840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa sejumlah da‘i yang bertugas untuk membawa dan menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong memeluk Islam.

(14)

Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi sultan pertama di Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah.

b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah

Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.

Aliran Syi‘ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi‘ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi‘ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi‘ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.

Sebagai informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap pemikiran dan pengikut Syi‘ah.

(15)

Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023).

Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua aliran tersebut.

2. Silsilah

Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada rajanya, yaitu Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja Negeri Perlak secara lengkap belum ditemukan. Sedangkan daftar nama sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak adalah sebagai berikut:

1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)

2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)

3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)

4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)

5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)

6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)

7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)

8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)

9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)

10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)

11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)

12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)

13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)

14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)

15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)

(16)

17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267

18. 18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)

Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).

3. Periode Pemerintahan

Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.

Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.

4. Wilayah Kekuasaan

Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.

6. Kehidupan Sosial-Budaya

(17)

Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.

Sumber :

Setiawan, Aji. 2006. “Islam Masuk ke Indonesia”, www.islamlib.com.Smith Alhadar, “Sejarah dan Tradisi Syiah Ternate”, www.fatimah.org.www.osdir.com.

wikipedia.org.

Kesultanan Samudera Pasai

Nisan Pasai

1. sejarah

Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat keyakinan bahwa Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding Dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu peradaban adikuasa di dunia. Jika Dinasti Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan Samudera Pasai sudah menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1297 Masehi.

(18)

Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa Kesultanan Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta menempatkan nama Sultan Malik Al Salih sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo, 2006:50). Nama Malik Al Salih sendiri dikenal dengan sebutan dan penulisan yang berbeda, antara lain Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh.

a. Asal-Usul Penamaan Samudera Pasai

Nama lengkap Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang artinya “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M. Zainuddin, 1961:116). Pusat pemerintahan kerajaan tersebut sekarang sudah tidak ada lagi namun diperkirakan lokasinya berada di sekitar negeri Blang Melayu. Nama “Samudera” itulah yang dijadikan sebagai nama pulau yang kini disebut sebagai Sumatra, seperti yang disebut oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah Pulau Perca.

Sedangkan para pengelana yang berasal dari Tiongkok/Cina menyebutnya dengan nama “Chincou”, yang artinya “Pulau Emas”, seperti misalnya yang diketahui berdasarkan tulisan-tulisan I‘tsing. Raja Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singasari

yang terkenal, menyebut daerah ini dengan nama Suwarnabhumi, yang artinya ternyata

sama dengan apa yang disebut oleh orang-orang Tiongkok, yakni “Pulau Emas”.

Kesultanan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Catatan tertulis yang selama ini diyakini oleh para sejarawan untuk melacak sejarah

Kesultanan Samudera Pasai adalah tiga kitab historiografi Melayu yakni HikayatRaja

Pasai, Sejarah Melayu, danHikayat Raja Bakoy. Hikayat Raja Pasai memberikan andil yang cukup besar dalam upaya menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai, meskipun nuansa mitos masih menjadi kendala dalam menafsirkan kebenarannya.

(19)

sudah tiba dan singgah di daerah yang kemudian menjadi tempat berdirinya Kesultanan Samudera Pasai (M.D. Mansoer, 1963:59).

Pendapat Moens mendapat dukungan dari beberapa kalangan, termasuk Prof. Gabriel

Ferrand, melalui karyanya yang berjudul L‘Empire (1922), juga dalam buku The Golden

Khersonese (1961) yang ditulis oleh Prof. Paul Wheatley. Kedua karya itu menyandarkan data-datanya pada keterangan para pengelana dari Timur Tengah yang melakukan perjalanan ke wilayah Asia Tenggara. Baik Gabriel Ferrand maupun Paul Wheatley sama-sama menyepakati bahwa sejak abad ke-7 Masehi, pelabuhan-pelabuhan besar di Asia Tenggara, termasuk di kawasan Selat Malaka, telah ramai dikunjungi oleh kaum musafir dan para saudagar yang berasal dari Asia Barat. Disebutkan juga bahwa pada setiap kota-kota dagang tersebut telah terdapat fondasi-fondasi atau permukiman-permukiman dari para pedagang Islam yang singgah dan menetap di situ.

H. Mohammad Said, seorang jurnalis sekaligus penulis yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti dan menerbitkan buku-buku hal ihwal Aceh, termasuk tentang Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam, cenderung menyimpulkan bahwa asal-muasal penamaan “Pasai” berasal dari para pedagang Cina.

Menurut Said, istilah “Po Se” yang populer digunakan pada pertengahan abad ke-8

Masehi, seperti yang terdapat dalam catatan-catatan dan laporan perjalanan pengelana dari Cina, identik dan mirip sekali dengan penyebutan kata “Pase” atau “Pasai” (Said, 1963:2004-205).

Ada pula pendapat yang menyebut bahwa nama “Pasai” berasal dari kata

“tapasai”,yang artinya “tepi laut”. Kata “tapa” masih banyak dijumpai dalam

bahasa-bahasa Polinesia yang berarti “tepi”. Kata “sai” dapat dimaknai sebagai “laut”, yang juga

termasuk dalam kosa kata Melayu-Polinesia atau Nusantara. Kata “Pasai” adalah

sinonim dari kata “pantai”. Begitu pula kata “samudera” yang juga berarti “tidak jauh dari

laut”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” mengandung arti yang kurang lebih sama, yaitu “negara yang terletak di tepi laut” (Slamet Muljana, 2005:136).

(20)

Odorico, Ibnu Batutah, Tome Pires, serta berita-berita dari Cina. Sedangkan sumber dari dalam negeri salah satunya seperti yang termaktub dalam kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis dalam kurun abad 13 sampai abad ke-14 Masehi.

Ibnu Batutah, seorang pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya, dalam catatannya mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345 M. Ibnu Batutah, yang singgah di Pasai selama 15 hari, menggambarkan Kesultanan Samudera Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah.‘‘ Ibnu Batutah menceritakan, ketika sampai di negeri Cina, ia melihat kapal Sultan Pasai di negeri itu. Memang, sumber-sumber Cina ada yang menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti.

Catatan pada Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra, termasuk Kerajaan Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan Mongol yang berada di bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan Samudera/Pasai mulai mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada 1282. Kerajaan Samudera/Pasai menjalin hubungan dengan imperium besar di Asia itu melalui perutusan Cina yang kembali dari India Selatan dan singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap sebagai permulaan kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol (Muhammad Gade Ismail, 1997:23).

Papan Makam Sultan Pertama Samudera Pasai

Informasi lain juga menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa Kesultanan Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan-kerajaan lain di luar negeri. Selain itu, dalam catatan perjalanan berjudul Tuhfat Al-Nazha, Ibnu Batutah menuturkan, pada masa itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.

(21)

kota tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai Samudera dan kemudian lekat dengan nama Samudera Pasai serta menjadi simbol untuk menyebut Pulau Sumatra. Kota Pasai, menurut catatan Tomi Pires, ditaksir berpenduduk tidak kurang dari 20.000 orang (Ismail, 1997:37).

Marco Polo melaporkan, pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama di kepulauan nusantara, yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco Polo berkunjung ke Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih, tepatnya tahun 1292 Masehi, ketika kerajaan ini belum lama berdiri namun sudah memperlihatkan potensi kemakmurannya. Marco Polo singgah ke Samudera Pasai dalam rangkaian perjalanannya dari Tiongkok ke Persia. Kala itu, Marco Polo ikut dalam rombongan dari Italia yang melawat ke Sumatra sepulang menghadiri undangan dari Kubilai Khan, Raja Mongol, yang juga menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo menyebutkan, penduduk di Pasai pada waktu itu masih banyak yang belum memeluk agama (Islam), namun

komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan nama Saraceen— sudah

cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh. Marco Polo menyebut kawasan yang disinggahinya itu dengan nama “Giava Minor” atau “Jawa Minor” (H. Mohammad Said, 1963:82-83).

Selain sumber-sumber tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana, keterangan lain yang setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan, seperti makam-makam kuno yang dibuat dari batu granit atau pualam dan mata uang—

bernama Deureuham atau Dirham— yang ditemukan di Kecamatan Samudera,

Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As Salih, pendiri Kesultanan Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang tertera pada sebuah nisan yang ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan kapan Malik Al Salih dilahirkan belum ditemukan keterangan yang lebih jelas.

(22)

Sumber-sumber tentang asal-muasal Kesultanan Samudera Pasai versi sarjana-sarjana Barat yang dirumuskan pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda ternyata berbeda dengan apa yang diyakini tokoh-tokoh sejarawan dan cendekiawan nasional

pada masa setelah Indonesia merdeka. Dalam “Seminar Sejarah Nasional” yang diselenggarakan di Medan, Sumatra Utara, tanggal 17-20 Maret 1963, maupun dalam

seminar "Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh", yang digelar pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh, yang antara lain dihadiri oleh Prof Hamka, Prof A.

Hasjmy, Prof H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said, dan M.D. Mansoer, telah dimunculkan perspektif yang berbeda dalam upaya menelisik riwayat berdirinya

Kesultanan Samudera Pasai.

Berdasarkan sejumlah petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara serta dua naskah lokal yang ditemukan di Aceh yakni "Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula" karya Abu Ishaq Al Makarany dan "Tawarich Raja-Raja Kerajaan Aceh", para pakar sejarah nasional berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke-11, atau tepatnya tahun 433 Hijriah alias tahun 1042 dalam penanggalan Masehi (Sufi & Wibowo, 2005:52).

Mengenai lokasi berdirinya Kesultanan Samudera Pasai, telah dilakukan juga usaha-usaha penelitian dan penyelidikan, salah satunya upaya penggalian yang dikerjakan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Dari upaya penyelidikan ini diketahui bahwa lokasi Kesultanan Samudera Pasai terletak di daerah bernama Pasai, yakni yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Menurut G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang serius menyelidiki tentang sejarah Kesultanan Samudera Pasai, mengatakan bahwa letak Pasai mula-mula berada di sebelah kanan Sungai Pasai, sementara Samudera terletak di sisi kiri sungai. Namun, lama-kelamaan, kedua tempat ini terhimpun menjadi satu dan kemudian dijadikan tempat berdirinya sebuah kerajaan besar, yakni Kesultanan Samudera Pasai (T. Ibrahim Alfian, 1973:21).

b. Samudera, Pasai, dan Pengaruh Mesir

(23)

“Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”, Slamet Muljana menulis bahwa Nazimuddin Al Kamil, Laksamana Laut dari Dinasti Fathimiah di Mesir, berhasil menaklukkan sejumlah kerajaan Hindu/Buddha yang terdapat di Aceh dan berhasil menguasai daerah subur yang dikenal dengan nama Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan sebuah kerajaan di muara Sungai Pasai itu pada 1128 Masehi dengan nama Kerajaan Pasai. Alasan Dinasti Fathimiah mendirikan pemerintahan di Pasai didasarkan atas keinginan untuk menguasai perdagangan di wilayah pantai timur Sumatra yang memang sangat ramai.

Untuk memuluskan ambisi itu, Dinasti Fathimiah mengerahkan armada perangnya demi merebut Kota Kambayat di Gujarat, membuka kota pelabuhan di Pasai, dan menyerang daerah penghasil lada yakni Kampar Kanan dan Kampar Kiri di Minangkabau. Dalam ekspedisi militer untuk merebut daerah di Minangkabau itu, Nazimuddin Al-Kamil gugur dan jenazahnya dikuburkan di Bangkinang, di tepi Sungai Kampar Kanan pada 1128 itu juga (Muljana, 2005:133). Pada 1168, Dinasti Fathimiah, yang berdiri sejak tahun 976 Masehi, dikalahkan oleh tentara Salahuddin yang menganut madzhab Syafi‘i. Dengan runtuhnya Dinasti Fathimiah, maka hubungan Pasai dengan Mesir otomatis terputus.

Dalam sumber yang sama disebutkan bahwa penerus Nazimuddin Al-Kamil sebagai penguasa Kerajaan Samudera adalah Laksamana Kafrawi Al-Kamil, namun pada 1204 Masehi kekuasaan Kerajaan Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan Jani dari Pulau We. Di bawah kendali Laksamana Johan Jani yang merupakan peranakan India-Parsi, Kerajaan Pasai bertambah kuat dan sempat menjelma menjadi negara maritim yang paling kuat di Nusantara (Muljana, 2005:114).

Di Mesir, muncul dinasti baru untuk menggantikan Dinasti Fathimiah. Dinasti baru itu adalah Dinasti Mamaluk yang hidup dalam rentang waktu dari tahun 1285 sampai dengan 1522. Seperti halnya pendahulunya, Dinasti Mamaluk juga ingin menguasai perdagangan di Pasai. Pada tahun-tahun awal berdirinya, Dinasti Mamaluk mengirim utusan ke Pasai, yakni seorang pendakwah yang lama belajar agama Islam di tanah suci Mekkah bernama Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad, bekas ulama dari Pantai Barat India.

(24)

Kerajaan Samudera maupun Kerajaan Pasai, keduanya berada di muara Sungai Pasai dan menghadap ke arah Selat Malaka.

c. Riwayat Samudera Pasai dalam Hikayat

Versi lain tentang riwayat muncul dan berkembangnya Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari sejumlah hikayat yang mengisahkan eksistensi kerajaan ini, terutama dalam Hikayat Raja Pasai. Menurut pengisahan yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai, kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Malik Al Salih mula-mula bernama Kerajaan Samudera. Adapun Kerajaan Pasai adalah satu pemerintahan baru yang menyusul kemudian dan mengiringi eksistensi Kerajaan Samudera. Asal mula pemberian nama kedua kerajaan ini terdapat cerita yang melatarbelakanginya.

Dalam Hikayat Raja Pasai dikisahkan, munculnya nama Kerajaan Samudera bermula

ketika Marah Silu sedang berjalan-jalan bersama anjing kesayangannya yang bernama Pasai. Ketika mereka tiba di suatu tanah tinggi, anjing milik Marah Silu tiba-tiba menyalak keras karena bertemu dengan seekor semut merah yang berukuran besar. Marah Silu kemudian menangkap semut raksasa tersebut dan lantas memakannya. Dari sini timbul ilhamnya untuk menamakan kerajaan yang baru didirikannya dengan nama Kerajaan Samudera yang dalam bahasa asalnya bisa diartikan sebagai “semut merah yang besar”.

Salinan Halaman Pertama Hikayat Raja Pasai

(25)

dengan akrabnya. Ketika Sultan Malik Al Salih hendak menangkapnya, pelanduk tersebut lari ke pelukan anjing Sultan yang bernama Pasai itu. Dalam keheranannya, Sultan Malik Al Salih kemudian berpikiran untuk membangun sebuah negeri di tempat itu.

Setelah negeri tersebut berdiri, oleh Sultan Malik Al Salih diberi nama Pasai, seperti nama anjing kesayangannya yang menjadi inspirasi dibangunnya negeri baru tersebut. Anjing itu sendiri kemudian mati di negeri baru tersebut. Sebagai wakil Sultan Malik Al Salih yang tetap bersemayam di Kerajaan Samudera, maka dititahkanlah putra Sultan yang bernama Muhammad Malikul Zahir untuk memimpin Kerajaan Pasai (Russel Jones [ed.], 1999:23).

Meskipun cukup banyak peneliti yang menyandarkan Hikayat Raja Pasai sebagai

landasan sumber informasi untuk menguak sejarah dan asal-usul Kesultanan Samudera Pasai, namun tidak sedikit pula yang meragukan kebenarannya. Hal ini disebabkan karena hikayat bukanlah suatu rangkaian catatan sejarah murni, melainkan banyak yang disisipi dengan cerita-cerita yang belum tentu benar-benar terjadi, malah tidak jarang kisah-kisah itu berupa mitos yang sukar diterima logika, sebagai legitimasi pemerintahan kerajaan yang ada pada masa itu.

Keraguan atas kebenaran yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai tersebut antara lain

seperti yang dikemukakan oleh A.D. Hill yang menyatakan bahwa dari teks Hikayat

Raja Pasai ternyata hanya sepertiga bagian awal saja. Demikian pula dengan Teuku

Ibrahim Alfian yang karena kecewa terhadap Hikayat Raja Pasai dalam menyebutkan

data sejarah, maka ia terpaksa mengambil informasi dari sumber-sumber lain. Bahkan,

Snouck Hugronje pernah menyebut bahwa Hikayat Raja Pasai adalah “a chlidren fairy

story”. Pernyataan pedas Hugronje ini tampaknya merupakan suatu puncak

kefatalan Hikayat Raja Pasai sebagai sumber informasi terhadap sejarah. Data tersebut

menujukkan bahwa selama ini karya-karya tulis tersebut telah dilihat dalam dimensi pragmatis lewat kajian historis atau pun filologis (Siti Chamamah Soeratno, 2002:36).

d. Perjalanan Eksistensi Samudera Pasai

(26)

yang berasal dari Mon Khmer (Champa) yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh sebelum masuk dan berkembangnya agama Islam.

Leluhur yang mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha di Aceh tersebut di antaranya adalah Maharaja Syahir Po-He-La yang membangun Kerajaan Peureulak (Po-He-La) di Aceh Timur, Syahir Tanwi yang mengibarkan bendera Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan (Bireuen), Syahir Poli (Pau-Ling) yang menegakkan panji-panji Kerajaan Sama Indra di Pidie, serta Syahir Nuwi sebagai pencetus berdirinya Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Dalam Hikayat Raja Pasai diceritakan bahwa Marah Silu berayahkan Marah Gadjah

dan ibunya adalah Putri Betung. Marah Silu memiliki seorang saudara laki-laki bernama Marah Sum. Sepeninggal orang tuanya, dua bersaudara ini meninggalkan kediamannya dan mulai hidup mengembara. Marah Sum kemudian menjadi penguasa di wilayah Bieruen, sedangkan Marah Silu membuka tanah di hulu Sungai Peusangan yang terletak tidak jauh dari muara Sungai Pasai hingga akhirnya ia menjadi pemegang tahta Kerajaan Samudera.

Batu Nisan Sultan Malik Al Salih

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Marah Silu alias Sultan Malik Al Salih memeluk Islam atas bujukan utusan Dinasti Mamaluk dari Mesir, yakni Syaikh Ismail

dan Fakir Muhammad. Keislaman Marah Silu ditegaskan kembali dalam Hikayat Raja

(27)

diperkirakan pula bahwa agama Islam yang masuk ke Aceh dibawa langsung dari Mekkah (Sufi & Wibowo, 2005:58-59).

Data-data tentang Islam di Pasai menurut Hikayat Raja Pasai menunjukkan bahwa Pasai adalah tempat pertama kali yang diislamkan. Tampaknya, demikian seperti yang

ditulis dalam Hikayat Raja Pasai, Nabi Muhammad (Rasulullah) pulalah yang membawa

Islam ke Samudera/Pasai, ialah dalam tatap muka di kala tidur antara Marah Silu dengan Rasulullah. Nabi Muhammad pula yang mensyahdatkan dan membuat Marah Silu dapat membaca Alquran sebanyak 30 juz, yakni sesudah Rasulullah meludahi mulut Marah Silu. Rasulullah pula yang membuat Marah Silu telah berkhitan. Islamisasi lewat peran langsung Rasulullah kiranya menunjukkan proses yang esensial bagi Pasai. Dalam proses inilah Marah Silu tinggal dinobatkan sehingga proses Islamisasi dapat berjalan dengan lancar (Chamamah, 2002:40).

Ketika Malik Al Salih dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Samudera pertama, upacara penobatan dilakukan dengan gaya Arab di mana Malik Al Salih dinobatkan dengan mengenakan pakaian kerajaan anugerah dari Mekkah. Ini berarti, penobatan dilakukan secara Arab, bukan dengan cara India. Artinya lagi, Malik Al Salih kemungkinan besar sudah memeluk agama Islam pada saat dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Samudera. Setelah upacara penobatan, sekalian hulubalang dan rakyat serta-merta menjunjung dan menyembah sultan baru mereka dengan menyerukan: “Daulat Dirgahayu Syah Alam Zilluilahi fil-alam”. Penyebutan gelar kehormatan kepada raja tersebut juga sangat lekat dengan nama Arab.

Dalam rangkaian upacara yang sama, juga telah ditetapkan dua Orang Besar, sebagai penasehat Sultan, yakni Tun Sri Kaya dan Tun Sri Baba Kaya. Aroma Islam semakin terasa ketika kedua Orang Besar ini kemudian diberi gelar berkesan Arab, masing-masing dengan nama Sayid Ali Khiatuddin untuk Tun Sri Kaya dan Sayid Asmayuddin untuk Tun Sri Baba Kaya (Said, 1963:85).

(28)

Di bawah pimpinan Sultan Muhammad Malikul Zahir, Kerajaan Pasai mengalami masa kejayaan. Ibnu Batutah merekam masa-masa keemasan yang dicapai Kerajaan Pasai pada era pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir ini. Ibnu Batutah mencatat bahwa tanah-tanah di wilayah Kerajaan Pasai begitu subur. Aktivitas perdagangan dan bisnis di kerajaan itu sudah cukup maju, dibuktikan dengan sudah digunakannya mata uang, termasuk mata uang yang terbuat dari emas, sebagai alat transaksi dalam kehidupan ekonomi warga Kerajaan Pasai. Selain menjalin kongsi dengan negara-negara dari luar Nusantara, hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Pulau Jawa pun begitu baik. Bahkan, para saudagar Jawa mendapat perlakuan yang istimewa karena mereka tidak dipungut pajak. Biasanya, kaum pedagang dari Jawa menukar beras dengan lada.

Makam Sultan Muhammad Malikul Zahir

Ibnu Batutah mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Ibnu Batutah tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai. Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi dinding yang megah. Ibnu Batutah mencatat bahwa ia harus berjalan sekitar empat mil

dengan naik kuda dari pelabuhan yang disebutnya Sahra untuk sampai ke pusat kota.

Pusat pemerintahan kota itu cukup besar dan indah serta dilengkapi dengan menara-menari yang terbuat dari kayu-kayuan kokoh. Di pusat kota ini, tulis Ibnu Batutah, terdapat tempat tinggal para penguasa dan bangsawan kerajaan. Bangunan yang terpenting ialah Istana Sultan dan masjid (Ismail, 1997:37).

(29)

Apabila penjelasan dari Ibnu Batutah ini dianggap benar, maka dapatlah dikatakan bahwa Kota Pasai sebagai pusat pemerintahan sultan-sultan yang berkuasa di Pasai, pada tengah-tengah areal terdapat suatu daerah inti yang ditempati oleh Istana Sultan. Istana tersebut memiliki pagar yang berfungsi sebagai batas yang membedakan kawasan Istana Sultan dengan kawasan pasar di mana aktivitas perdagangan dan kegiatan lainnya berlangsung.

Masih menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan sosok pemimpin yang memiliki gairah belajar yang tinggi dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Batutah juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Ibnu Batutah bahkan memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul Zahir sebagai salah satu dari tujuh raja di dunia yang memiliki kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar biasa menurut Ibnu Batutah antara lain Raja Melayu Sultan Muhammad Malikul Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah perkasa, serta Raja Turkistan yang bijaksana.

Kesan Ibnu Batutah terhadap sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir memang begitu mendalam. Sebagai raja, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan orang yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian terhadap fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Sultan Muhammad Malikul Zahir tidak pernah bersikap jumawa. Sultan ini, kata Batutah, adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. “Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” begitu Ibnu Batutah menggambarkan sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir. Kerendahan hati sang Sultan tersebut salah satunya ditunjukkan saat menyambut rombongan Ibnu Batutah (Republika, 21 Mei 2008).

(30)

transaksi dan disinggahi para saudagar dari berbagai penjuru bumi, seperti dari Siam (Thailand), Cina, India, Arab, hingga Persia (Iran).

Di samping sebagai pusat perdagangan, Kesultanan Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam dan muncul sebagai pemerintahan pertama di Nusantara yang menganut ajaran Islam. Kejayaan Kesultanan Samudera dan Kesultanan Pasai yang berlokasi di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Perlak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Dalam kurun abad ke-13 hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu komoditas andalannya. Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan produksi yang cukup besar. Tak cuma itu, Pasai pun merupakan produsen komoditas lainnya seperti sutra, kapur barus, dan emas.

Sultan Muhammad Malikul Zahir mempunyai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir pada akhirnya meninggal dunia karena sakit, tampuk kepemimpinan Kerajaan Pasai untuk sementara diserahkan Sultan Malik Al Salih, yang juga memimpin Kerajaan Samudera, karena kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir masih berusia sangat belia. Oleh Sultan Malik Al Salih, kedua cucunya itu diserahkan kepada tokoh-tokoh yang piawai supaya mereka dapat dengan baik memimpin kerajaan pada suatu saat nanti. Malikul Mahmud diserahkan kepada Sayid Ali Ghiatuddin, sementara Malikul Mansur dididik oleh Sayid Semayamuddin.

(31)

Sejak tahun 1346, kepemimpinan Kesultanan Samudera Pasai di bawah rezim Sultan Malikul Mahmud digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad Permadala Permala. Setelah dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Samudera Pasai, ia kemudian dianugerahi gelar kehormatan dengan nama Sultan Ahmad Malik Az-Zahir. Dalam Hikayat Raja Pasai dikisahkan, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dikaruniai lima orang anak, tiga orang di antaranya laki-laki sementara dua sisanya adalah anak perempuan. Tiga putra Sultan Ahmad Malik Az-Zahir masing-masing bernama Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil, serta Tun Abdul Fadil. Sedangkan dua anak perempuannya diberi nama Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara.

Sempat terjadi hal yang sungguh memalukan dalam perjalanan kepemimpinan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang pada akhirnya memang lekat dengan citra sebagai pemimpin yang buruk. Menurut Hikayat Raja Pasai, Sang Sultan ternyata menaruh berahi terhadap kedua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Sikap yang keterlaluan dari Sultan Ahmad Malik Az-Zahir ini tentu saja menimbulkan kemurkaan dari banyak pihak, termasuk Tun Beraim Bapa yang tidak lain adalah putra sulung Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.

Tun Beraim Bapa sekuat tenaga melindungi kedua saudara perempuannya dari kebuasan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dengan melarikan mereka untuk diamankan di suatu tempat. Merasa ditentang oleh anaknya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir naik pitam dan kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membunuh Tun Beraim Bapa. Pangeran yang seharusnya menjadi putra mahkota ini akhirnya tewas setelah memakan racun yang diberikan utusan sang ayah (Jones [ed.], 1999:35-56). Tidak lama kemudian, kedua saudara perempuan Tun Beraim Bapa pun menyusul abangnya dengan memakan racun yang sama.

Keganasan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir belum berhenti sampai di situ. Sang Sultan kembali berulah biadab ketika mendengar kabar bahwa ada seorang putri dari Kerajaan Majapahit, Radin Galuh Gemerencang, jatuh cinta kepada putra kedua Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, yakni Tun Abdul Jalil. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir merasa terhina karena ia sendiri juga menaruh hati pada kecantikan putri Raja Majapahit tersebut.

Maka kemudian, seperti yang termaktub dalam Hikayat Raja Pasai, Sultan Ahmad Malik

(32)

Sesampainya di Pasai, rombongan dari Majapahit itu mendapat kabar bahwa pujaan hati Radin Galuh Gemerencang sudah tewas, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sang Putri tidak kuasa menahan sedih dan kemudian menenggelamkan diri ke dalam laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil telah dibenamkan sebelumnya. Sisa rombongan pengawal yang mengiringi Radin Galuh Gemerencang segera kembali ke Jawa dan melapor kepada Raja Majapahit tentang kejadian tragis tersebut.

Sang Raja tentu saja murka mendengar kematian putrinya serta kebiadaban Sultan Pasai itu, dan kemudian segera menitahkan kepada bala tentara Majapahit untuk bersiap menyerang Kerajaan Pasai. Meski sempat memberikan perlawanan, ternyata armada perang Kerajaan Majapahit lebih unggul dan berhasil menduduki Pasai. Karena semakin terdesak, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir melarikan diri ke suatu tempat bernama Menduga, yang terletak kira-kira lima belas hari perjalanan dari Negeri Pasai.

Sementara itu, seusai meraih kemenangan gemilang dengan menaklukkan Pasai, pasukan perang Majapahit mulai bersiap untuk kembali ke Jawa setelah sebelumnya mengambil harta rampasan dan tawanan perang dari Pasai. Dalam perjalanan menuju Jawa, laskar tentara Majapahit terlebih dahulu singgah di Palembang dan Jambi untuk menaklukkan kedua negeri itu, sekaligus membawa barang jarahan yang semakin banyak. Demikianlah kisah penaklukan oleh Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan

Pasai seperti yang dikisahkan dalam kitab Hikayat Raja Pasai (Jones [ed.],

1999:57-65).

Dalam silsilah para penguasa yang memimpin Kesultanan Samudera Pasai, ternyata terdapat sultan perempuan yang pernah bertahta di kerajaan besar tersebut. Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah) Malikul Zahir bertahta dari tahun 1420 hingga 1428 atau kurang lebih delapan tahun lamanya. Sultanah Nahrasiyah memiliki penasehat bernama Ariya Bakooy dengan gelar Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy sebenarnya merupakan sosok kontroversial. Ia pernah diperingatkan kaum ulama agar tidak mengawini puterinya sendiri namun peringatan itu ditentangnya. Bahkan, Ariya Bakooy kemudian malah membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya tewas di tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yang tidak lain adalah suami Sultanah Nahrasiyah, dengan bantuan Sultan Mahmud Alaiddin Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465).

(33)

tertulis nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: ”Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci ratu yang terhormat, almarhum yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra Sultan Mailkus Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya. Mangkat dengan rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.” (Pocut Haslinda

Hamid Azwar, www.modusaceh-news.com, 2009).

Kompleks Makam Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah)

e. Keruntuhan dan Peninggalan Peradaban Samudera Pasai

Kejayaan Kesultanan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari peradaban terbesar di Jawa waktu itu, yakni dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah Mada sebagai mahapatihnya yang paling legendaris. Gadjah Mada diangkat sebagai patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 Masehi oleh Raja Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gadjah Mada naik pangkat menjadi Mahapatih ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah palapa sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Mahapatih Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran Kesultanan Samudera Pasai di seberang lautan sana. Majapahit khawatir akan pesatnya kemajuan Kesultanan Samudera Pasai. Oleh karena itu kemudian Gadjah Mada mempersiapkan rencana penyerangan Majapahit untuk menaklukkan Samudera Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara Majapahit, yang menganut agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di Aceh. Ekspedisi Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan.

(34)

pasukannya dan mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga sekarang dikenal dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada (Muljana, 2005:140).

Selanjutnya, Gadjah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan penyerbuan melalui jalan darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara Perlak dan Pedawa. Serangan dari darat tersebut ternyata mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai istana.

Wilayah Kekuasaan Imperium Majapahit, termasuk Samudera Pasai

Selain alasan faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga karena faktor kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran rakyat Kesultanan Samudera Pasai telah membuat Gadjah Mada berkeinginan untuk dapat menguasai kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali dan Kesultanan Samudera Pasai pun masih mampu bertahan sebelum akhirnya perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh Majapahit di Selat Malaka.

Hingga menjelang abad ke-16, Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa Pasai pernah menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan (Said, 1963:125).

(35)

Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Pasai kian lama semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450. Apalagi ditambah kedatangan Portugis yang berambisi menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu. Orang-orang Portugis yang pada 1521 berhasil menduduki Kesultanan Samudera Pasai (Rusdi Sufi, 2004:57).

Tidak hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh. Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa Kesultanan Aceh Darussalam.

Jejak-jejak peninggalan peradaban Kesultanan Samudera Pasai yang berhasil ditemukan, pada 1913 dan 1915 oleh seorang ilmuwan Belanda bernama J.J. de Vink, yang berinisiatif mengadakan inventarisasi di bekas peninggalan Samudera Pasai. Selanjutnya, pada 1937 telah dilakukan upaya pemugaran pada beberapa makam sultan-sultan Samudera Pasai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian, tahun 1972, 1973, serta tahun 1976 peninggalan Kesultanan Samudera Pasai yang ditemukan di Kecamatan Samudera Geudong, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, telah diinventarisasi oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Perkembangan terbaru, dalam tahun 2009 telah ditemukan beberapa peninggalan yang terkait dengan sejarah Kesultanan Samudera Pasai. Pada bulan Maret 2009, Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam memberitahukan bahwa mereka telah menemukan makam Al Wazir Al Afdal, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Kesultanan Samudera Pasai. Makam itu berlokasi di Desa Teupin Ara, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(36)

periode, yakni pada kurun 1477-1500 dan 1513-1524. Dari penemuan itu diperoleh keterangan bahwa Al Wazir Al Afdal wafat tanggal 7 bulan Zulkaedah tahun 923 H atau 1518 M. Di tahun yang sama, Sultan Zainal Abidin pun wafat. Pada nisan makam Al Wazir Al Afdal, terdapat syair yang menjelaskan tentang kezuhudan bahwa dunia ini fana, tak ubahnya seperti sarang yang dirajut laba-laba. Syair tersebut sama dengan yang tertulis pada makam Sultan Malik Al Salih yang mengungkapkan tenggelamnya

peradaban Samudera Pasai (www.indowarta.com, 25 Maret 2009).

Pada kesempatan yang sama, Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam juga menyatakan telah menemukan sebuah stempel atau cap yang diperkirakan berusia 683 tahun. Stempel kerajaan yang ditengarai milik Sultan Muhammad Malikul Zahir, sultan kedua Samudera Pasai, ini ditemukan tidak jauh dari makam Abdullah bin Muhammad, di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Abdullah bin Muhammad (wafat 816 H/1414 M) sendiri adalah salah seorang keturunan Khalifah Abbasiyah, Al-Mustanshir Billah, yang bergelar Shadr Al Akabir (pemuka para pembesar) di Kesultanan Samudera Pasai pada waktu itu.

Stempel yang ditemukan telah patah pada bagian gagangnya tersebut berukuran 2×1 centimeter, dan tampaknya terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Dari lokasi ditemukannya di Kuta Krueng, diperkirakan cap ini telah digunakan sampai dengan masa pemerintahan pemimpin terakhir Samudera Pasai, Sultan Zainal Abidin (www.acehlong.com, 17 Maret 2009).

Selanjutnya, pada Juni 2009, tim peneliti dari Yayasan Waqaf Nurul Islam (YWNI) Lhokseumawe mengumumkan bahwa mereka telah menemukan makam yang diyakini sebagai tempat persemayaman terakhir Raja Kanayan, seorang panglima perang pada pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin. Makam Raja Kanayan ditemukan di Desa Meunasah Ujoung Blang Me, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa Raja Kanayan wafat pada hari Jum‘at, tanggal 3 Sya‘ban 872 H atau 1468 Masehi. Dengan demikian, Raja Kanayan telah hidup pada masa pemerintahan beberapa rezim Kesultanan Samudera Pasai dan meninggal dunia pada masa Sultan Zainal Abidin.

Selain makam Raja Kanayan, ditemukan pula beberapa makam lainnya. Bahkan, tim peneliti memprediksi masih ada nisan-nisan lain yang amblas ke dalam tanah di kompleks makam yang terletak tidak jauh dari tepi Sungai Pasai sebelah timur itu. Makam-makam yang baru ditemukan tersebut belum tercatat dalam inventaris situs

Referensi

Dokumen terkait

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulai ketika dipimpin oleh Sunan Gunung Jati, yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang menyebarkan agama Islam

Dapatan kajian menunjukkan bahawa faktor penyumbang kepada wujudnya masalah membaca dalam kalangan murid sekolah rendah kerajaan di Brunei Darussalam disebabkan

Misalnya Islam menjadi agama resmi Negara Federasi Malaysia, kerajaan Brunei Darussalam, negara Indonesia (penduduknya mayoritas atau sekitar 90% beragama Islam),

c) Di sumber lain dikatakan bahwa silsilah kerajaan Brunei didapatkan pada Batu Tarsilah yang menuliskan silsilah raja-raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak Batatar, raja

Dapatan kajian menunjukkan bahawa faktor penyumbang kepada wujudnya masalah membaca dalam kalangan murid darjah enam sekolah rendah kerajaan di Brunei Darussalam disebabkan oleh

Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal dunia pada 12 Dzulhijah Tahun 936 Hijriah atau

Penyerahan kedaulatan kesultanan Sulu oleh Spanyol ke penjajah Amerika Serikat yang dianggap illegal dan surat permintaan Sultan Sulu kepada Presiden dan

Ketika kerajaaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah cucu Sultan Alauddin Syah II, Raja Kampar, Tun Megat di Kerajaan Pekantua Kampar meminta salah seorang keturunan Sultan