• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memandang Penggunaan Azimat Produk Buday

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memandang Penggunaan Azimat Produk Buday"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Memandang Penggunaan Azimat (Produk Budaya) di

Indonesia Dengan Perspektif Etika Kristen

Oleh: Wisnu Kismoro, A.Md / FISKOM UKSW / Minat: Ilmu Budaya dan Sosial

kishmorowishnu@gmail.com

abstrak

Keberagaman tidak lagi menjadi hal asing di Indonesia. Perbedaanlah dasar atas adanya keberagaman di negeri ini. dalam sebuah kata, “berbeda” tentu lebih memiliki pengartian yakni adanya sebuah sekat-sekat atas suatu hal, namun akan berbeda ketika sebuah kata “beragam” menggantikannya. Beragam lebih memberikan interpretasi kesatuan yang mengikat hal-hal yang berbeda, dan Indonesia memiliki Pancasila sebagai tali pengikat atas perbedaan yang ada di negara ini. Pada akhirnya agama menjadi jalan yang menuntun masyarakat pemeluknya dalam upaya berkeimanan atau berkeyakinan. Menjadi hal lain ketika kepercayaan menjadi sebuah pembicaraan, ini tentu beruang lingkup pada konteks kepercayaan. Pada intinya kepercayaan merupakan istilah yang melingkupi perilaku berbudaya oleh masyarakat, seperti halnya penggunaan benda bertuah (azimat), dan hal lain sebagainya. Dan ini tentu tidaklah dapat dicampur adukkan dengan keyakinan, yang berinti pada konsepsi keimanan atau keyakinan (perilaku hati) masyarakat. terkait perilaku berbudaya sepertihalnya penggunaan benda bertuah (azimat) , kemudian tiap-tiap agama tentu memiliki prespektif dan Kristen menjadi salah satu perspektiv terkait memandang hal tersebut.

Kata Kunci : Kristen Memandang Azimat

Pendahuluan 1. Latar Belakang

(2)

perbedaan dalam bentuk kekacauan perilaku masyarakat. Perang antar suku, perang antar agama dalam satu Negara yang sama kemudian tidak jarang terjadi. Hal ini tentu adalah dampak dari ketidak bijakan dalam memandang sebuah perbedaan yang memang secara alami muncul dan ada dalam kehidupan.

Negara Indonesia sebagai Negara yang toleransif, kemudian membetuk sebuah ideologi dengan maksud mampu merangkul perbedaan-perbedaan yang memang ada di Negara ini dan memandang perbedaan sebagai keberagaman. Sehingga persatuan terwujud tanpa mengabaikan adanya keberagaman yang melekat pada elemen-elemen kebudayaan, kepercayaan, dan keyakinan. Dan kristen sebagai salah satu agama dari enam agama yang diakui di Indonesia, tentu memiliki kapasitas fikir secara bijak dalam memandang hal yang berbeda bukan sebagai perbedaan, melainkan sebagai keberagaman, dan melalui etika Kristen penulis berusaha untuk mengurai pemahaman tentang keyakinan dan kepercayaan yang secara alami lahir secara beragam dalam kehidupan, yang kemudian “ Bagaimana Memandang Penggunakan Azimat (Produk Budaya) di Indonesia Dengan Perspektif Etika Kristen? ” menjadi sebuah permasalahan yang sedang dibahas dalam penulisan ini.

Kepercayaan dan keyakinan seringkali dianggap sama oleh masyarakat, seolah kepercayaan ya agama, bukan hal lain. Ini tentu memiliki pengaruh dalam cara berfikir atau memandang suatu fenomena budaya. Penulisan ini kemudian sedikit menguraikan terkait kepercayaan dan keyakinan, yang kemudian memilih Kristen sebagai persepktif dalam memandang fenomena penggunaan azimat (produk budaya) oleh masyarakat.

ISI

1. Asumsi Kepercayaan Dan Keyakinan Dalam Perilaku Kehidupan

(3)

etika yang berisi norma-norma yang mengatur pemeluknya dalam berperilaku, baik itu dalam konteks sosial, kepercayaan, bahkan pada konteks keyakinan. Dalam kehidupan sehari-hari, keyakinan dan kepercayaan acapkali dianggap memiliki makna yang sama atau memiliki satu arti, sehingga tidak jarang masih terdapat masyarakat yang berpolitik terhadap agama untuk menganggap benar sebuah perilaku yang individu lakukan. Dalam hal ini Percaya dan yakin, kemudian menjadi sebuah perilaku yang sering kali disorot dalam konteks keagamaan, hal ini terjadi dikarenakan agama sendiri tidak jarang dianggap sebagai hal yang menjadi hakim atau hal yang mengatur mengenai baik dan buruk atau benar dan salah atas sebuah perilaku individu dalam kehidupan. Pada akhirnya, agama pada dasarnya adalah sebuah ajaran (dogma) yang membatasi atau menyekat nilai atas baik buruk pada perilaku berkehidupan, dan yakin adalah berbicara mengenai konsep ketuhanan yang melekat secara internal pada individu sebagai bentuk atau bukti berketuhanan.

Ketika berbicara mengenai keyakinan, kecenderungan konteks pembicaraan adalah mengenai keagamaan dan ketuhanan, namun berbeda jika kita berbicara mengenai kepercayaan, hal yang disorot cenderung mengenai kebudayaan yang dalam lingkup sosial dalam kehidupan. Kepercayaan dan keyakinan pada akhirnya memang bernaung pada payung yang sama, namun bagaimanapun juga, keyakinan dan kepercayaan tetap memiliki sekat yang memisahkan mereka dalam ruang fikir yang berbeda.

2. Konsepsi Ketuhanan Masyarakat di Indonesia

(4)

a. Dinamisme

Istilah “Dinamisme” berasal dari bahasa Yunani “dunamos” yang istilah Inggrisnya adalah “dynamis” yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan, khasiat, atau daya. Jadi, dinamisme adalah sebuah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang misterius. Pada dasarnya, kehidupan manusia primitif tergantung pada alam yang ada disekitar mereka sebab alamlah satu-satunya sumber kehidupan dan menjadi faktor yang sangat dominan untuk survive.Namun, alam yang mereka dambakan itu kadang-kadang tidak bersahabat. Air yang selama ini mereka anggap sangat bermanfaat bagi kehidupan, tiba-tiba mendatangkan bencana, seperti banjir dan tanah longsor. Tanah yang selama ini menyuburkan tanaman, tiba-tiba bergoyang dan menghancurkan harta benda, dll.Hal seperti itulah yang menimbulkan suatu kepercayaan dalam diri mereka bahwa alam memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Dalam masyarakat tertentu, kekuatan itu ditanggulangi dengan berbagai cara. Biasanya yang paling umum yang sudah menjadi tradisi masyarakat primitif adalah memberikan tumbal atau kurban apakah itu hewan dan bahkan manusia.

Menurut Harun Nasution bahwa bagi manusia primitif, yang tingkat kebudayaannya yang masih relatif sangat rendah, setiap benda yang berada disekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius. Masyarakat primitif memberi berbagai nama kepada kekuatan batin itu. Misalnya orang Malanesia menyebutnya dengan “mana”, orang India dengan “shakti”, orang Jepang dengan “kami”, orang Afrika dengan “oudah”, dan orang indian dengan “wakan atau maniti”. Dalam kajian ilmu perbandingan Agama kekuatan batin ini biasanya disebut dengan “mana”. Dalam istilah Indonesia disebut dengan “tuah”. Mana ini dipahami sebagai kekuatan atau kesaktian yang terdapat pada pelbagai benda, misalnya dalam api, batu, tumbuh-tumbuhan, pohon besar, hewan, dan juga pada manusia. Akan tetapi kekuatan atau kesaktian itu tidak dibayangkan sebagai suatu tokoh atau pribadi, jadi bersifat abstrak. Di sini perbedaannya dengan animisme tampak jelas (yang akan dijelaskan pada bagian kedua), kedua-duanya berkenan dengan cara tanggapan manusia terhadap kekuatan. Tetapi dalam animisme kekuatan tersebut dianggap sebagai suatu kekuatan yang berpribadi, sedangkan dinamisme adalah kekuatan yang tidak berpribadi.

(5)

kekuatan yang luar biasa mempunyai mana. Manusia juga mempunyai mana, perwira yang senantiasa menang dalam peperangan, ayah yang mempunyai anak-anak yang luar biasa banyaknya, pemimpin yang bisa memecahkan segala masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya, semua orang ini mempunyai mana. Benda-benda serupa ini semuanya dihormati, dan orang yang semasa hidupnya mempunyai mana, sesuadah mati disembah agar mananya dapat membantu manusia.

b. Animisme

Animisme berasal dari kata latin “anima” yang berarti jiwa atau roh. Bagi masyarakat primitif, semua alam dipenuhi oleh roh-roh yang tak terhingga banyaknya, tidak saja manusia atau binatang, tetapi benda-benda yang tidak hidup juga memiliki roh, seperti tulang atau batu. Jadi, animisme adalah paham tentang semua benda, baik makhluk hidup maupun benda mati mempunyai jiwa/roh. Akan tetapi, walaupun masyarakat primitif telah percaya pada roh, roh atau jiwa itu bagi mereka bukanlah roh sebagaimana yang kita ketahui. Mereka belum mampu membayangkan roh yang bersifat immateri. Karena itu menurut mereka roh terdiri atas materi yang sangat halus sekali. Sifat dari roh ini adalah mempunyai bentuk, umur, dan mampu makan. Roh itu mempunyai kekuatan dan kehendak, bisa merasa senang atau menjadi marah. Kalau marah, dia bisa membahayakan hidup manusia. Oleh sebab itu, kerelaannya harus dicari dan harus diusahakan supaya ia jangan marah. Cara merayu roh itu agar tidak marah dengan memberikan sesajian berupa makanan atau memberikan kurban kepadanya. Jiwa atau roh menurut kepercayaan mereka adalah daya kekuatan yang hidup yang dapat tinggal dalam manusia, binatang, tumbuh-tuhan atau dalam segala yang ada. roh ini adalah sejenis zat yang mempunyai mana, daya kekuatan, atau zat nyawa. Sebagai contoh dalam badan manusia terdapat daya-daya kekuatan jiwa yang banyak sekali jumlahnya, dalam rambut, kuku, darah, dan bahkan ludah. Zat nyawa itu dapat dengan mudah meninggalkan badan, sehingga orang harus berhati-hati bila memotong kuku, rambut, dsb. Daya kekuatan yang paling penting dalam badan manusia adalah nafas, yang disebut dengan jiwa badan. Kepala dan organ reproduksi dianggap sebagai tempat pengumpulan daya kekuatan jiwa yang paling banyak.

(6)

mutlak yang mutlak. Masyarakat primitif sangat relatif dalam tindak-tanduk dan cara berpikir. Sebab, bisa jadi suatu saat benda tertentu ditakuti dan disembah. Pada waktu yang lain, benda itu tidak lagi ditakuti dan disembah karena dianggap tidak memiliki kekuatan ghaib lagi. Para ahli agama berpendapat bahwa dinamisme lebih dulu muncul daripada animisme. Dalam dinamisme belum ada kepercayaan pada roh yang meninggal yang bisa menjalin persahabatan dengan keluarga yang masih hidup. Sedangkan kepercayaan demikian baru muncul dalam animisme. Dengan demikian, dinamisme lebih dulu muncul ketimbang animisme. Dari animisme, kemudian meningkat menjadi politeisme, ke henoteisme, dan terakhir monoteisme.

c. Politheisme

Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa politheisme adalah kelanjutan dari tahap perkembangan kepercayaan animisme. Yang semula mempercayai semua benda mempunyai roh, kemudian dipersonifikasikan lagi menjadi lebih konkret menjadi dewa-dewa. Dewa-dewa ini dalam pengertian bahwa dari sekian banyak benda yang mempunyai roh, ada yang kuat sehingga menimbulkan pengaruh pada alam yang kemudian dijadikan simbol penyembahan atau peribadatan, untuk kemudian diambil fungsinya dan diberi nama sesuai dengan fungsi tersebut, sehingga dewa dalam politheisme lebih kecil jumlahnya daripada roh-roh yang disembah dalam animisme. Seperti ada dewa yang bertugas menerangi alam, dinamakan dewa matahari (Ra dalam agama Mesir kuno), ada dewa yang menurunkan hujan, dinamakan dewa hujan (Indra dalam agama Veda). Ada dewa yang menetapkan nasib baik dan buruk bagi manusia, dinamakan dewi keberuntungan (Fortuna dalam agama Yunani kuno), ada dewa yang mengendalikan angin, disebut dewa angin (Vata dalam agama veda kuno), dll.

(7)

atas, dewa matahari (Ra) sifatnya adalah menerangi alam, begitu juga dewa hujan menurunkan hujan.

Salah satu agama yang secara sistematis punya konsep politheisme adalah agama hindu, terutama pada periode zaman weda (1500 SM).Kitab Rigweda yang nerupakan bagian dari kitab weda, banyak menyebutkan nama-nama dewa seperti Indra, Waruna, Mitra, Nasatya, Dyaus (dewa langit), pertiwi (dewa bumi), Agni (dewa api), soma (dewa minuman keras), surya (dewa matahari), Usas (dewa fajar), Rudra (dewa petir), Saraswati (dewi ilmu pengetahuan), dll. Dari rigweda ini terbukti bahwa bangsa arya (pelaku sejarah zaman wedha) adalah penyembah bermacam-macam dewa sebagai personifikasi kekuatan alam dan kekuatan ghaib yang menguasai segala kejadian dan peristiwa.

d. Henotheisme dan Monotheisme

Henotheisme adalah kepercayaan yang tidak menyangkal adanya banyak Tuhan atau Dewa, tetapi yang patut disembah dan dipuja hanya satu Tuhan yang paling tinggi, berkuasa, dan mulia. Orang-orang yang berpikir lebih mendalam, sistem kepercayaan politheisme tidak memuaskan. Kepercayaan kepada satu Tuhan lebih mendatangkan kepuasan dan diterima akal sehat. Dari sini timbullah aliran yang mengutamakan satu Dewa dari beberapa Dewa untuk disembah. Dewa/Tuhan ini dianggap kepala atau bapak dari Tuhan-Tuhan yang lain. Umpamanya Zeus dalam agama Yunani kuno atau Brahmana dalam agama Hindu.

(8)

Secara historis dikatakan bahwa monotheisme eksplisit, yaitu kepercayaan semata-mata pada satu tuhan, yang dengan terang-terangan mengecualikan dewa-dewa yang lain, merupakan pengakuan paling akhir. Karena dalam konteks politheisme, kepercayaan kepada satu Tuhan selalu dinyatakan. Agama wahyu, seperti Kristen dan Islam ditinjau dari konsep kepercayaan umat manusia adalah akhir dari perkembangan kepercayaan. Namun agama Islam secara historis tidak mengalami evolusi kepercayaan, sebab agama Islam, begitu juga Kristen adalah agama yang diwahyukan dari Tuhan. Dalam agama Islam, ajaran monotheisme yang keras ditunjukkan dengan jelas dalam Al-Quran. Dalam al-Quran banyak kutipan yang memperlihatkan Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan dibicarakan dalam bagian tersendiri, terpisah dari semua bagian dewa yang lain. Jelaslah bahwa suku-suku pra Islam menghormati dewa-dewa partikular seperti al-Uzza, Manat, lata. Dalam kesempatan-kesempatan yang biasa mereka lebih memuja dewa tersebut daripada Allah; persembahan-persembahan lebih ditujukan kepada mereka daripada kepada Allah. Tentu saja cukuplah bahwa Nabi Muhammad memandang diri sebagai pembaharu yang mengajarkan kebenaran iman monotheisme. Beliau merumuskan ajaran pokok dari iman Islam bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Bagi Nabi Muhammad dan penduduk mekah ini berarti semua dewa yang mereka sembah, Allah adalah satu-satunya Tuhan yang benar.

3. Warisan Agama Dan Budaya

(9)

dikerjakan oleh anak secara repetitif dan tanpa disadari menjadi hal yang dapat diterima dalam diri anak.

Agama menjadi salah satu komponen internal pada kepribadian manusia. Agama secara tidak langsung mengatur dan membimbing pemeluknya untuk berperilaku sebagaimana nilai-nilai yang telah menjadi ketentuan dalam ajaran agama sendiri. Jika berbicara mengenai kebenaran dalam kehidupan, tiap agama pada dasarnya memiliki pencapaian yang sama, dan yang berbeda adalah pada konsepsi perilaku dan pemahaman tiap pemeluk agama itu sendiri. Pemeluk pada tiap-tiap agama kemudian akan mendakwahkan agama mereka khususnya pada lingkungan terkecil dalam kedihupan, yaitu keluarga. Dalam konsep keluarga sendiri, orang tua menjadi figur yang memiliki peran dalam mengkondisikan bagaimana sebuah keluarga sebaiknya. Kecenderungan mendakwahkan agama dalam keluarga inti oleh orang tua adalah hal yang terjadi, berkeyakinan sama tidak jarang menjadi alasan atas perilaku tersebut. Orang tua mengajarkan kepada anak, dan anak menjalankan ajaran yang telah dibimbingkan kepada anak, menjadi salah satu bentuk pewarisan agama dalam keluarga.

Berbeda dengan budaya yang memang lingkup perannya adalah kepada masyarakat. Budaya lebih berfungsi sebagai kontrol sosial dalam teritori masyarakat, yang mana ajaran dalam sebuah budaya berakar dari filsafat hidup kebudayaan itu sendiri. Masyarakat tionghoa dalam berprilaku sosial, tentu akan menyeseuaikan dengan nilai-nilai yang secara sepakat telah mengatur lingkungan hidup sosial masyarakat tionghoa, ajaran taoisme meisalnya. Atau pada masyarakat jawa, dan masyarakat lainnya, akan berperilaku sesuai ajaran atau nilai-nilai budaya yang mengatur masyarakat pemeluknya.

4. Azimat Dalam Perspektif Kristen

(10)

menjadi bukti bahwa masuknya sebuah agama dalam lingkup kebudayaan terjadi secara damai. Contoh, pada ritual sembahyangan 7 hari, 100 hari, hingga 1000 hari pasca kematian anggota keluarga adalah ritual yang diwariskan oleh kebudayaan nenek moyang. Ketika di ketemukan dengan iman Kristen, kemudian perilaku dalam ritual berubah, yakni mantra (doa) yang dibaca, velue yang ada dalam konsep keyakinan, menjadi berarah kepada konsep iman kristian, walaupun ritualnya adalah bias dibilang adopsi (jika dipandang dari sudut kristian) dari budaya domestik.

(11)

tersebut mengarah kepada hal yang menjadi sorotan dalam mempertimbangkan suatu hal. Selain itu, mencegah terjadinya banyak kemusyrikan manjadi salah satu alasan tepat menganggap dosa perilaku ini.

Kesimpulan 1. Kesimpulan

Iman pada akhirnya menjadi hal penting yang memiliki kemampuan membentuk diri (core) manusia. Keterbatasan manusia dalam menjaga kualitas iman dalam dirinya kemudian menjadi sebuah permasalahan dalam kehidupan, dan disitulah agama kemudian berperan. Agama sebagai hal yang berisi tentang nilai-nilai yang menjadi patokan dalam berperilaku, tanpa manusia sadari menjadi sekat sehingga manusia dalam perilakunya sehari-hari mengarah kepada konsep keimanan yang diyakini. Antropologi sebuah ilmu yang menyoroti manusia dalam konteks berkehidupan, kemudian menguraikan bagaimana manusia berkepercayaan atau berkeyakinan yang terkover dalam animisme, dinamisme, politheisme, henotheisme dan monotheisme. Agama kemudian menjadi kontrol dalam berperilaku sosial dalam kehidupan manusia. Penggunaan azimat menjadi salah satu bentuk perilaku budaya, yang kemudian hal ini dapat disoroti secara Kristen. Dalam menyoroti hal tersebut, Kristen tentu berpedoman kepada alkitab sebagai mushaf atau bentuk fisik yang menampung firman Tuhan. Dalam ajaran Kristen penggunaan azimat pada akhirnya lebih tepat dianggap atau dihukumi sebagai perilaku dosa, yang mana hal ini telah dibahas pada sub bab E dalam penulisan ini. Keriskanan mengenai berkeyakinan ketika manusia dekat dengan perilaku budaya seperti penggunaan benda bertuah misalnya, menjadi hal yang pada akhirnya harus diperhatikan. Hal ini tentu menjadi sebuah permasalahan ketika manusia tidak mampu atau bisa membatasi atau menciptakan sekat antara berkepercayaan dan berkeyakinan, sehingga menjadi sangat tepat apabila perilaku ini dikategorikan atau dihukumi dosa secara Kristen.

2. Saran

(12)

memang menjadi identitas masyarakat pemeluknya. Agama dan budaya saat ini tidak lagi terbatasi oleh garis yang jelas, namun yang menjadi penting adalah berkeimanan tanpa memandang sama tingkat imanensi orang lain secara sama.

Daftar Pustaka

Armstrong, Keren. 2011. Masa Depan Tuhan sanggahan terhadap fundamentalisme

dan atheisme. Bandung : Mizan Media Utama

Peschke SVD, Karl-Heinz. 2003. Etika Kristiani Jilid II Kewajiban Moral Dalam

Hidup Keagamaan. Surabaya : Ledalero

Peschke SVD, Karl-Heinz. 2003. Etika Kristiani Jilid IV Kewajiban Moral Dalam

Referensi

Dokumen terkait

Penyelidikan epidemiologi terhadap kasus KLB serta penyebaran penyakit difteri pada tanggal 14 – 19 Mei 2015 di Kampung Kumpay Desa Maraya Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak

Berdasarkan hasil tersebut hendaknya karyawan menyadari bahwa perlunya meningkatkan prestasi kerja dengan memperhatikan gaya kepemimpinan otoriter, selain itu karyawan juga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Heriyanti telah memenuhi indikator dalam menerapkan kompetensi profesional seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Negara

hirta menunjukkan rendahnya intensitas serangan CMV, rendahnya konsentrasi virus, terjadi peningkatan aktivitas enzim peroksidase 1,08 – 6,7 kali, dan peningkatan

Hasil! yang! dicapai! dalam! kegiatan! pengabdian! pada! masyarakat! dengan! model! sumur)

Untuk mengetahui sistem perbankan mana yang lebih tahan terhadap semua situasi perekonomian di tanah air, berikut ditampilkan hasil analisis perbedaan rata-rata dua populasi

Syair-syair GK lahir dan hidup di masa modern yakni pada tahun 2002, oleh karena itu timbul pertanyaan ”Apakah parikan dalam syair GK masih mengikuti pola metrum

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis mayor ditolak, artinya tidak terdapat perbedaan