• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM SK KPUD TTU YANG MENGALAMI KEKURANGAN YURIDIS DAN PROBLEMATIKA PENEGAKANNYA (Tinjauan Yuridis terhadap SK No. 18 dan 19 Tahun 2010 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Bupati/Wabup TTU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AKIBAT HUKUM SK KPUD TTU YANG MENGALAMI KEKURANGAN YURIDIS DAN PROBLEMATIKA PENEGAKANNYA (Tinjauan Yuridis terhadap SK No. 18 dan 19 Tahun 2010 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Bupati/Wabup TTU)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

13

AKIBAT HUKUM SK KPUD TTU YANG MENGALAMI KEKURANGAN YURIDIS DAN PROBLEMATIKA PENEGAKANNYA (Tinjauan Yuridis terhadap SK No. 18 dan 19 Tahun 2010 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap

Bupati/Wabup TTU)

Oleh : Ferdinandus N. Lobo, SH. MH1 ABSTRACT

Sengkata-sengketa hukum yang dilatari oleh Pilkadal/pemilukadal mekanisme penyelesaiannya sangatlah fariatif atau beragam dan bergantung pada bentuk pelanggarannya. Pelanggaran bisa berbentuk pelanggaran administratif, pidana pemilu atau sengketa atas hasil pemilu. Yang menjadi fokus saya dalam tulisan ini yaitu pelanggaran yang berbentuk pelanggaran administrative di dalam proses Pemilihan Kepala Daerah. Berkenaan dengan hal ini, gugatan tersebut harus diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Prosedur Pemilihan Umum Kepala Daerah (termasuk sengkate hasil Pemilukadal yang diajukan di MK RI). Padahal, penyelesaian melalui Peradilan Tata Usaha Negara akan dapat dilaksanakan jikalau putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan terhadap upaya hukum kasasi yang dilakukan oleh Justisiabelen. Namun, meskipun sudah berkekuatan hukum tetap sekalipun, akan sangat sulit Putusan tersebut baru dapat dilaksanakan setelah melalui suatu proses yang panjang dan dipihak lain putusan terhadap gugatan terhadap hasil Pemilukadal telah dikeluarkan oleh MK RI. Putusan tersebut bersifat final and binding, dengan demikian proses hukum yang demikian lama tersebut menjadi sia-sia.

Key words : Akibat hukum, Keputusan administrasi, kekurangan yuridis

Legal disputes are backed by direct elections of regional heads (Pilkadal / pemilukadal) settlement mechanism is fariatif or vary and depend on the nature of the infraction. Violations may take the form of administrative violations, criminal or electoral disputes over election results. That became my focus in this paper is a violation shaped administrative violations in the process of local elections. In this regard, the lawsuit must be filed with the State Administrative Court. Regional Head Election Procedures (including sengkate results Pemilukadal filed in the Court RI). In fact, the settlement through the State Administrative Court will be implemented if the judgment became final and binding (inkracht). The verdict is final and binding decision of the cassation made by Justisiabelen. However, despite being legally enforceable notwithstanding, the verdict would be very difficult to only be carried out after going through a long process and on the other hand its ruling on a lawsuit against Pemilukadal results have been

1

(2)

14

issued by the Constitutional Court. Such decision shall be final and binding, so long as the law is to be in vain.

egal disputes are backed by direct elections of regional heads Pilkadal / pemilukadal.

Key words: Due to legal, administrative decree, lack of juridical

A. PENDAHULUAN

Setelah era reformasi, Negara Indonesia terus giat berbenah diri untuk mewujudkan diri sebagai Negara yang demokratis. Konsep-konsep penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis secara normative telah tertuang di dalam dalam UUD 1945 (sesudah amndemen) yang kemudian dijabarkan lebih lanjut melalui Peraturaan perundang-undangan pelaksananya. Baik di dalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undaangan pelaksananya telah memencarkan kekuasaan penyelengaraan Negara baik melalui pemencaran kekuasaan secara horizontal melalui Lembaga-lembaga Negara maupun secara vertical dengan mendistribusikan kekuasaan kepada Pemerintah daerah (desentralisasi) melalui pemberian otonomi daerah.

Pemberian otonomi daerah sesungguhnya bertujuan agar semua potensi daerah dapat diberdayakan secara optimal dan bermuara pada terwujudnya kesejahteraan rakyat. Ada yang mengetengahkan bahwa pergeseran penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi tersebut akan membawa dampak positif yaitu2:

1) Secara politis, meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab politik daerah, membangun proses demokratisasi (kompetisi, partisipasi dan transparansi), konsilidasi integrasi nasional (menghindari konflik pusat-daerah dan antar pusat-daerah.

2) Secara administratif akan mampu meningkatkan kemampuan daerah merumuskan perencanaan dan mengambil keputusan strategis, meningkatkan akuntabilitas public dan pertanggungjawaban public.

2

Sunyot o Usman, Ot onomi Daerah, Desent ralisasi dan Demokrat isasi, dalam Edy Suandi, Sobirin M alian (ed.), M emperkokoh Ot onomi Daerah (Kebijakan, Evaluasi dan Saran),

UII Press, Yogyakar t a hlm. 110. 2

(3)

15

3) Secara ekonomis, akan mampu membangun keadilan di semua daerah (maju bersama), mencegah eksploitasi pusat terhadap daerah, serta meningkatkan kemampuan daerah memberikan public goods and services. 4) Secara spasial akan meningkatkan pemerataan kemampuan politik,

administrative dan ekonomi ke daerah-daerah, sehingga pada glirannya dapat menghapus dikotomi Jawa luar Jawa atau Indonesia timur dan barat, serta perkotaan dan pedesaan.

Untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, daerah diberikan keleluasaan untuk memilih dan menentukan sendiri Kepala Daerahnya (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati maupun Walikota/Wakil Walikotanya). Dasar hukum penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bahwa : Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Prinsip yang sama ditemukan pula pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; Pembagian, Dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional, Yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 2 menentukan : Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah.

(4)

16

Perubahan mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang secara langsung (pilkadal/pemilukada) di satu sisi memang membawa dampak positif untuk berkembangnya atmosfer demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, namun di sisi lain terdapat juga catatan hitam yang tertoreh akibat pelaksanaan pilkadal/pemilukadal tersebut. Catatan hitam yang diakibatkan pelaksanaan Pilkadal/Pemilukadal di antaranya berupa besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh masing-masing calon dan terbitnya aneka sengketa hukum yang tercetus oleh pelaksanaan pilkadal/pemilukadal.

Sengkata-sengketa hukum yang dilatari oleh Pilkadal/pemilukadal mekanisme penyelesaiannya sangatlah fariatif atau beragam dan bergantung pada bentuk pelanggarannya. Pelanggaran bisa berbentuk pelanggaran administratif, pidana pemilu atau sengketa atas hasil pemilu. Dari jenis pelanggaran yang dibuat dapat ditelusuri ke mana sengketa hukum tersebut akan diselesaikan. Jikalau sengketanya berkenaan dengan hasil pemilu, maka upaya penyelesaiannya diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan sengketa yang berkaitan dengan pidana Pemilu diselesaikan melalui Peradilan Umum, kemudian jika sengketa berkaitam aspek administrative khususnya berhubungan dengan Surat Keputusan Penetapan Calon (Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, Walikota/Wakil Walikota) maka sengketa tersebut haruslah diajukan ke PTUN. Begitu banyaknya jenis sengketa hukum yang tercetus dalam Pemilukadal, membutuhkan penyelesaian hukum yang tuntas melalui jalur-jalur peradilan yang relevan. Jikalau penyelesaiannya tidak tuntas, bukanlah tidak mungkin Kepala Daerah yang terpilih legitimasinya terus dipertanyakan dan terus diobok-obok3.

Berkiblat pada sengketa pemilukada, saya lebih memfokuskan pada akibat hukum Keputusan KPU yang mengalami kekurangan yuridis dalam tahapan Pemilukada. Sepanjang kurun waktu lebih dari 1,5 tahun terakhir kekisruhan politik terus berkecamuk di Kabupaten TTU yang dilatari sengketa hukum Pemilihan umum Kepala Daerah. Dalam Pemilukadal di TTU tahun 2010 terdapat dua jenis sengketa yaitu Sengketa yang berkaitan dengan hasil pemilu (diajukan ke MK) dan sengketa hukum yang berkenaan dengan SK KPU yang berkaitan dengan Penetapan Calon Bupati/Wabup. Sengketa yang berkaitan dengan hasil pemilikadal telah dapat diselesaikan secara tuntas, namun yang berkaitan dengan SK KPU tentang penetapan

3

(5)

17

calon Bupati/Wakil Bupati masih belum tuntas hingga saat ini. Sengketa hukum tersebut bahkan sudah berkembang meenjadi kekisruhan massa dan bentrokan fisik4.

Ditengarai, bahwa konflik tersebut berawal dari sebelumnya Ferdi Meol yang berpasangan dengan Dominikus Saijao (Paket ESA) hendak bertarung dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Timor Tengah Utara dari jalur independen, tidak lolos verifikasi di KPUD. Paket ESA kemudian menggugat KPUD TTU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang dan menang. KPUD lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Surabaya, namun tetap kalah dan upaya kasasinya disampaikan ke MA KPUD tetap menelan kekalahan5. Padahal, semua tahapan pemilukada sudah selesai dan berlangsung pada tahun 2010. Bupati/Wabup terpilih yaitu Raymundus-Kobes (DUbes) sudah dilantik dan menjalankan tugasnya sejak 21 Desember 2010. Tentu saja KPUD TTU mengalami kondisi yang dilematis untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan putusan PTUN.

Dari kasus hukum di TTU tersebut, yang menjadi obyek dalam sengketa tersebut adalah Surat Keputusan KPU No. 18 dan 19 Tahun 2010 tentang Penetapan Calon Bupati/Wakil Bupati TTU. Keputusan KPU tersebut termasuk dalam kategori sebagai Keputusan Tata Usaha Negara/KTUN (beschikking). Dasar pijakannya adalah Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 yang menegaskan, Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturanperundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dengan demikian, sengketa yang terjadi antara Paket ESA dan KPUD termassuk dalam kategori sebagai sengketa TUN sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 :

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4

Ribuan M assa Demo Agar Bupat i TTU Turun Dari Jabat annya, Jejaknew s.com yang diakses t anggal 2 M ei 2012.

5

(6)

18

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5 tahun 1986, penyelesaian sengketa TUN merupakan kewenangan mutlak PTUN. Paket ESA sudah menggunakan haknya untuk mengajukan gugatan terhadap Keputusan KPU No. 18 dan nomor 19 Tahun 2010 ke PTUN. Tujuan gugatan tersebut adalah untuk menguji apakah keputusan KPUD (beschikking) mengandung kekurangan yuridis (rechts-gebreken) ataukah tidak. kekurangan yuridis bisa berupa kompetensi atau kewenangan dan bias yang berupa prosedur. Kekurangan-kekurangan yuridis inilah yang dapat menyebabkan suatu keputusan itu tidak sah (niet rechts-geldig beschikking)6.

B. KEPUTUSAN TUN DAN AKIBAT HUKUM KEPUTUSAN KPU YANG MENGANDUNG KEKURANGAN YURIDIS

Van Der Pot menguraikan secara positif, empat syarat agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan sah yaitu :

1) Ketetapan haruslah dibuat oleh alat atau organ yang berkuasa (bevoegd).

2) Karena ketetapan merupakan suatu pernyataan kehendak, (wils verklaring) maka pembentukan kehendak tersebut tidak memuata kekuarangan yuridis.

3) Ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang telah ditetapkan dalam perturan yang menjadi dasarnya dan prosedur prmbuatannya harus memperhatikasn cara (prosedur pembuatannya.

4) Isi dan tujuan ketetepan harus sesuai dengan isi dan tujuan ketetapan dasarnya. Menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturanperundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Jika diurai apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, akan ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut :

a. Penetapan tertulis

b. Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat TUN

6

(7)

19

c. Berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan

d. Bersifat kongkrit individual dan final

e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Jikalau ketetapan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka ketetapan tersebut termasuk dalam ketetapan/keputusan yang mengandung kekurangan yuridis (rechts brekking). Donner mengemukakan bahwa kekurangan dalam ketetapan dapat

mengakibatkan bahwa :

1) Ketetapan harus dianggap batal sama sekali. 2) Berlakunya ketetapan dapat digugat :

a) Dalam banding (beroep)

b)Dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging)karena bertentangan dengan undang-undang.

c) Dalam penarikan kembali (intrekking) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan ketetapan tersebut

3) Dalam hal ketetapan tersebut, sebelum dapat berlaku membutuhkan persetujuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan tersebut tidak diberi.

4) Ketetapan tersebut diberikan tujuan lain daripada tujuan permulaannya7.

Mengenai ketetapan yang mengandung kekurangan, oleh Bachsan Mustafa mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

“menerima tidaknya suatu ketetapan yang mengandung kekurangan sebagai ketetapan yang sah pada umumnya tergantung pada hal, apakah syarat yang tidak dipenuhi merupakan Bestaanvoorwarde (syarat mutlak agar sesuatu itu ada. Jika syarat mutlak tidak dipenuhi maka sesuatu tersebut dianggap tidak ada)8. Akibat hukum kebatalan yang seperti ini namanya ongeldigheid extunc atau atau batal mutlak di mana akibat hukumnya adalah ketetapan dianggap tidak pernah ada karena yang mengandung kekuarangan yuridis dari sisi materinya/substansi. Dari kasus SK KPUD TTU akan berakibat batal mutlak jikalau pada esesnsinya KPUD tidak wenang untuk mengeluarkan SK tersebut. Namun, KPUD TTU memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SK Tentang Calon Bupati dan Wakil Bupati yang diperintahkan oleh UU No. 22 Tahun 2007.

Selain itu, dapat juga ketetapan yang tidak sah itu akibatnya adalah sampai waktu pembatalan yang biasa dikenal dengan tidak sah ex nunc (ongeldigheid ex

7

Ibid., hlm. 114.

8

(8)

20

nunc). Kebatalan jenis ini oleh Utrecht biasanya dikenal dengan kebatalan nisbih

atau relatief vernietigbaar di mana pembatalannya hanya dapat dilakukan oleh hakim dan administrasi Negara. Kabatalan nsibih biasanya berkaitan dengan prosedur.

Beranjak dari teori tersebut, SK KPUD TTU digugat karena dinilai mengandung kekuarangan yuridis dari sisi prosedur. Kebatalannya termasuk dalam kategori kebatalan nisbih atau relatief vernietigbaar yang kewenangan pembatalannya hanya dapat dilakukan oleh hakim PTUN dan Adminstrasi Negara yang mengeluarkannya atau AN yang tingkatnya lebih tinggi (KPUD Provinsi atau KPU Pusat). Pembatalan jenis ini akibat hukumnya adalah batal sebagian saja atau gedeeltelijk nietig, bagian lain dari akibat tersebut dianggap sah. Di sini berarti, SK KPU No. 18 dan 19 batal sejak putusan Peradilan TUN berkekuatan hukum tetap (inkracht) sedangkan akibat SK sebelum dibatalkan dianggap vermoden rechtmatigheid.SK KPUD KPUD sebagiannya dianggap sah karena pembuatannya di dasari kewenangan/bevoedgheid

C. PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PUTUSAN TUN

Selama dua puluh delapan tahun eksistensi PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi dan telah menimbulkan sikap pesimisme dan apatisme dalam masyarakat.

(9)

21

Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di kabupaten/kota memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan administratif.

Meskipun UU No. 5 Tahun 1986 telah dirubah sebanya dua kali yaitu dengan UU no. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009, ternyata tetap saja mengalami kendala di dalam penegakannya.

Fakta pembangkangan yang dilakukan oleh KPUD TTU terhadap Putusan Peradilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) ditimbulkan oleh beberapa sebab antara lain :

1) Di dalam UU Tentang PTUN masih terdapat klausul yang menakomodir Asas vermoden van rechtmatigheid atau asas Praesumtio iustae causae yang termaktub dalam Pasal 67 ayat (1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Dengan demikian, untuk membatalkan KTUN haruslah melwati semua tahapan peradilan TUN yang tentu saja memakan waktu yang lama, sedangkan tahapan-tahapan yang berhubungan dengan keberadaan KTUN tidak dapat ditunda/dipending dan ketika putusan PTUN yang inkracht dijatuhkan justeru semua tahapan pemilukadal sudah selesai.

Bahwa dalam Pasal 115 UU PTUN disebutkan bahwa: “Hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan bahwa: “Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain putusan pengadilan yang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan eksekusinya9.berlakunya Pasal ini dapat berdampak pada terjadi perubahan keadaan, sebagaimana yang terjadi di TTU di mana semua tahapan Pemilukada langsung telah selesai.

9

Zairin Harahap. 1997. HukumAcara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: PT.Raja

(10)

22

2) Pelaksanaan keputusan TUN telah bersinggungan/berbenturan dengan Putusan MK tentang sengketa Pilkada TTU atas Perkara NO. 192/PHPU.D-VIII/2010 dan Perkara No. 193 PHPU.D-VIII/2010 yang kemudian dimenangkan oleh Raymundus Fernandez/Aloisius Kobes (Dubes) terhadap gugatan Manis. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yangkewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Di pihak lain, putusan Kasasi yang dikeluarkan oleh MA terhadap Keputusan KPUD TTU No. 18 dan No. 19 Tentang Penetapan Calon Bupati/Wakil Bupati Timor Tengah Utara yang mengabulkan gugatan Paket ESA (Edy Meol dan Dominikus Saijao) atau telah dimenangkan oleh Paket ESA. Sesuai dengan perintah UUD 1945, sifat putusan MK adalah final dan meengikat (final and binding) sebagaimana diteegaskan dalam UUD 1945 Pasal 24 C ayat (1)

3) Meskipun sudah ada langkah maju ketentuan Pasal 116 yang mngatur ketentuan seperti :

(1) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

(11)

23

(3) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (4) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana

dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. (5) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata

cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur

Penjatuhan sanksi sangat bergantung pada peran AN tingkat atasnya akan sangat sulit diterapkan jikalau tidak mempunyai hubungan kewenangan. Dalam kasus hukum di TTU, meskipun sudah Perintah Mensesneg tersebut disampaikan melalui surat bernomor R.73/M.Sesneg/D-4/PU.10.01/4/2012 yang dikeluarkan 5 April lalu. Surat itu sekaligus menanggapi pengaduan kandidat bupati Timor Tengah Utara Ferdi Meol kepada presiden yang mempersoalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung mengenai pencabutan surat keputusan (SK) penetapan calon pasangan bupati/wabup menjadi macan ompong karena antara Presiden dan Mendagri dengan KPUD tidak mempunyai hubungan kewenangan. KPU menurut UUD 1945 merupakan suatu lembaga yang indipenden. Kewengan yang dimiliki oleh KPUD merupakan kewenangan atributuf. Kewenangan KPUD tidak bias dicabut oleh presiden karena kekuasaan KPU bukan merupakan pendelegasian kewenangan dari Presiden.

Dalam Pasal 116 baru mengenal 2(dua) jenis upaya paksa yang dapat diterapkan manakala pihak tergugat (baca: Pejabat Tata Usaha Negara) tidak mentaati dan melaksanakan secara suka rela putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu:

(12)

24

b. Upaya paksa berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan masih dapat diterapkan pula kemungkinan untuk adanya sanksi pengumuman (publikasi) putusan dalam media massa cetak.

Penjatuhan uang paksa (dwangsom) bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau sanksi administrative serta publikasi di media cetak diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pejabat TUN yang sebelumnya sulit untuk dijerat. Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakan hukuman. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan uang paksa (dwangsom)masih menimbulkan problema berkenaan dengan siapa yang akan dibeebankan uang paksa (dwangsom) dan sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.

Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir). Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya dalam kedinasan dan kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang dialami masyarakat harus dibebankan kepada negara karena merupakan kesalahan teknis di dalam menjalankan fungsi Tata Usaha Negara.

Lain halnya jika pada saat Pejabat TUN tidak patuh untuk meklaksanakan putusan PTUN pada saat pejabat tersebut tidak sedang melaksanakan tugas negara. Apabila terjadi hal demikian, maka pertanggungjawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan oleeh Yurisprudensi Counsil d’Etat yang membedakan kesalahan dinas faute de serve) dan kesalahan pribadi (faute de personelle).

(13)

25

putusan PTUN adalah pejabat TUN yang masih aktif dan masih mendapatkan gaji secara rutin. Alangkah efektifnya jikalau pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan. Berkenaan dengan ini, perintah pemotongan gaji harus tertuang dalam amar putusan hakim yang memerintah Kepala kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN).

Namun untuk melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala. Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindahtugaskan ke tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya kordinasi antara PTUN yang satu dengan PTUN yang lainnya, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat TUN pindah di tempat yang tidak ada PTUN. Kendala selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menhadapi kondisi ini adalah dengan cara pejabat yang bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gai yang layak untuk biaya hidup.

(14)

26

oleh presiden karena kekuasaan KPU bukan merupakan pendelegasian kewenangan dari Presiden.

5) Dalam UU PTUN juga masih terdapat klausul yang memungkinkan AN untuk mengabaikan Putusan PTUN yang tertuang dalam Pasal 117 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang isinya :

“Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat 11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna malaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekautan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan. Pasal ini, memberikan ruang untuk AN termasuk KPUD TTU untuk menginterpretasikan “berubahnya keadaan”, untuk menghambat pelaksanaan putusan PTUN.

6) Hal yang paling prinsip adalah tidak adanya eksekutor yang mandiri untuk melaksanakan putusan PTUN.

D. KESIMPULAN

SK KPUD TTU termasuk dalam kategori keputusan/beschikking yang mengandung kekurangan yuridis (rechts-brekking) dari sisi prosedur karena pembuatannya tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 2007. Namun untuk melaksanakan putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), putusan PTUN memiliki kelemahan :

1. Keputusan TUN dianggap rechtmatigheid sebelum mempunyai kekuatan hukum tetap `karena PTUN tidak mengenal penundaan pelaksanaan KTUN, sehingga pelaksanaan SK No.18 dan 19 Tahun 2010 KPUD

2. Pelaksanaa putusan PTUN tentang Pembatalan KTUN No.18 dan 19 telah didahului dengan keluarnya putusan MK berkenaan dengan gugatan tentang hassil pilkada yang sifatnya final dan mengikat. Dengan kondisi ini Putusan PTUN menjadi tidak berkekuatan kesekutorial.

(15)

27

4. Perintah Presiden melalui Mensesneg yang disampaikan melalui surat bernomor R.73/M.Sesneg/D-4/PU.10.01/4/2012 tertangga5 April tentang perintah melaksanakan putusan peradilan TUN yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tidak mengikat atau wajib dilaksanakan oleh KPUD karena KPUD adalah lembaga indipenden yang tidak mempunyai hubungan kewenangan dengan Mensesneg bahkan Presiden sekalipun. Institusi yang dapat memaksa KPUD untuk membatalkan SK No. 18 dan 19 Tahun 2010 adalah KPUD Provinsi atau KPU Pusat karena KPUD menjalankan kewenangan yang didelegasikan oleh KPU Pusat.

5. Sebenarnya penerapan pasal 116, UU No. 9 tahun 2004 sudah menjadi lebih baik dari pada sebelom di revisi. Hal ini dapat dilihat dari sangsi yang lebih berat didalamnya. Namun Uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan permasalahan, antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom), siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.

6. Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir).

7. Untuk melaksanakan Pasal 116 UU No. 51 tahun 2004 tersebut diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Diharapkan nantinya dengan adanya kepastian tentang pejunjuk-petunjuk tersebut pelaksanaan UU Pasal 116 No. 9 tahun 2004 dapat terkontrol dengan seimbang dan adil sehingga membawa kepastian hukum bagi masyarakat.

E. SARAN

Melihat kendala yang dialami PTUN untuk melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap sebaiknya perlu dilakukan amandemen UU No. 5 Tahun 1986 yang memuat :

1. Sengketa berkeenaan dengan tahapan pilkada di PTUN haruslah menggunanakan system acara cepat sehingga PTUN dapat mengambil putusan secara cepat dan permasalahannya ini tidak berlarut-larut. 2. Lembaga khusus yang memiliki kewenangan eksekutorial agar putusan

(16)

28

3. Perlu ditinjau lagi pemberlakuan asas praesumptio iustae causa yang termaktub dalam Pasal 67 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986.

4. Perlu diatur secara mendetail berkenaan dengan bentuk-bentuk sanksi bagi AN yang melakukan pembangkangan terhadap Putusan PTUN yang sudah berkekuatan hukum tetap, termasuk sanksi administrative seperti sanksi pemberhentian bagi yang melakukan pembangkangan. 5. Pasal 116 ayat (5) UU No. 51 Tahun 2009 perlu memperjelas “SIAPA”

yang wajib membayar sanksi apakah AN sebagai personal ataukah sebagai institusi!!! Sebaiknya tanggung jawab pelaksanaannya dikenanakan pada personal/individu sehingga ada efek jera. Besaran sanksi haruslah ada standard minimal pengenaan sanksi pembayaran uang paksa dan/sanksi administrative. Bila perlu mencantumkan pembangkangan sebagai “contempt of court” dan sanksinya juga harus konkrit dan memberikan efek jera.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Zairin, 1997. HukumAcara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Mustafa, Bachsan, Pokok-Pokok hukum Administrasi Negara, PT Citra Aditya, Bandung, 1990.

Usman, Sunyoto, Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Demokratisasi, dalam Edy Suandi, Sobirin Malian (ed.), Memperkokoh Otonomi Daerah (Kebijakan, Evaluasi dan Saran), UII Press, Yogyakarta

Turner, Mark and David Hulme, Governance, Administration and Development, MacMillan Press Ltd. London, 1997

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1994..

Mustafa, Bachsan, Pokok-Pokok hukum Administrasi Negara, PT Citra Aditya, Bandung, 1990.

(17)

29

Jejaknews.com, Ribuan Massa Demo Agar Bupati TTU Turun Dari Jabatannya. Victory News, 19 April 2012, Bupati dan Wakil Bupati Timor Tengah Utara

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi campur kode yang dilakukan oleh Sekarwangi pada data (143) yang ditandai dengan kata yang bercetak tebal „dhawuhe‟ adalah pengaruh tingkat tutur dalam bahasa

(2013, hlm 139) “Sebetulnya sedikit kurang tepat kalau pengamatan ini dipisahkan dengan pelaksanaan tindakan karena seharusnya pengamatan dilakukan pada waktu

Kemampuan literasi sains antar kelompok siswa yang diajar menggunakan metode Creative Problem Solving lebih tinggi dari pada kelompok siswayang diajar menggunakan metode

Sampel diperoleh dari empat tempat peternakan di Jawa, yaitu Desa Kroya Cirebon (A), Desa Pasar Bawang Brebes (B), Desa Kalijoso Magelang (C), dan Desa Modopuro Mojokerto

University ” sudah selayaknya memiliki TV kampus yang dapat dijadikan sebagai bukti dari keseriusan dan eksistensi UIN SUSKA Riau untuk mewujudkan visi tersebut.. Suska TV

Beberapa startegi penanaman nilai-nilai agama pada anak tersebut diharapkan mampu dilaksanakan oleh orangtu secara konsisten sehingga orangtua dapat mendampingi

jumlah peserta 40 (empat puluh) orang atau lebih, jumlah panitia yang dapat diberikan honorarium paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah peserta dengan

Također ta dva klona imaju pozitivne karakteristike na prosječni prinos na položaju Stražeman, pa po tome možemo zaključiti da im odgovara ovaj položaj u smislu kvantitativnih