ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI CABANG
USAHATANI PADI LADANG
DI KA BUPA TEN KA RA W A NG
HENDRI METRO PURBA
A07498176
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
HENDRI METRO PURBA. Analisis Pendapatan dan Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Produksi Cabang Usahatani Padi Ladang Di Kabupaten Karawang (Di bawah bimbingan NUNUNG KUSNADI).
Kebutuhan bahan pangan masyarakat Indonesia masih sangat tergantung
pada beras. Produksi beras nasional sebagian besar disumbangkan oleh produksi
padi sawah, sementara itu ketersediaan lahan sawah dan efisiensi usahatani padi
sawah cenderung mengalami penurunan. Sumbangan padi ladang terhadap
produksi padi nasional masih sangat rendah karena produktivitas padi ladang yang
jauh lebih rendah daripada produktivitas padi sawah. Jika dibandingkan dari segi
laju pertumbuhan produksi, padi ladang juga masih jauh lebih rendah daripada
padi sawah. Mengingat ketersediaan lahan kering bagi usahatani padi ladang
masih sangat besar, maka pengembangan produktivitas usahatani padi ladang
memiliki potensi yang sangat menjanjikan. Oleh karena itu menarik untuk dikaji
bagaimana meningkatkan produktivitas cabang usahatani padi ladang. Penelitian
ini bertujuan untuk (1) menganalisis penyebab rendahnya produktivitas padi
ladang, (2) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi produksi padi ladang
(3) menganalisis efisiensi ekonomis penggunaan faktor-faktor produksi pada
cabang usahatani padi ladang.
Pengumpulan data dilakukan dari bulan Mei hingga Juni 2005 di Desa
Wanajaya, Kecamatan Teluk Jambe, Kabupaten Karawang. Data yang digunakan
adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan
melakukan pengamatan dan wawancara langsung dengan petani responden
dengan mengajukan pertanyaan yang dibuat dalam bentuk kuesioner yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dengan cara penelusuran
kepustakaan buku, laporan penelitian, artikel, majalah, karya ilmiah yang
berkaitan dengan masalah penelitian dan melalui internet. Selain itu data
sekunder juga diperoleh dari Biro Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Balai
Penelitian Tanaman Pangan, Pusat Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dan
Pemerintah Daerah di lokasi penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan
pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas, dan analisis efisiensi ekonomi dengan
rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM).
Pengolahan data dilakukan dengan me nggunakan program Microsoft Excel dan
Minitab 13 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) dengan analisis imbangan
penerimaan dan biaya (analisis R/C ratio), diperoleh nilai rasio R/C atas biaya
total sebesar 0.76 (lebih kecil dari satu), sehingga dapat disimpulkan bahwa
cabang usahatani padi ladang di Desa Wanajaya tidak menguntungkan bagi
petani, (2) faktor- faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi
ladang adalah tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga, yang
signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen. Sedangkan faktor pupuk, benih, dan
pestisida tidak berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan yang ditetapkan, (3)
penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien secara ekonomis dicapai pada saat
penggunaan faktor pupuk sebesar 282.51, faktor tenaga kerja luar keluarga
sebesar 146.33 HOK, penggunaan benih yang semula sebesar 60 kilogram harus
ditingkatkan menjadi 69.69 kilogram, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga
harus dikurangi dari yang semula sebesar 237.37 HOK menjadi sebesar 59.94
HOK, faktor produksi pestisida harus ditingkatkan dari sebesar 1.7 liter dalam
penggunaan aktualnya menjadi sebesar 2.47 liter.
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka disarankan agar (1) penggunaan
faktor produksi pupuk, benih, pestisida tenaga kerja luar harus ditingkatkan dari
penggunaan aktualnya supaya usahatani padi ladang yang dilakukan lebih efisie n
dan menguntungkan bagi petani, (2) pemberian bimbingan dan penyuluhan dari
instansi terkait mengenai teknik budidaya padi ladang yang tepat seperti
kombinasi penggunaan pupuk dan pestisida yang tepat dan pola tanam yang tepat
untuk mencapai usahatani padi ladang yang lebih produktif dan menguntungkan.
ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PRODUKSI CABANG USAHATANI
PADI LADANG
DI KABUPATEN KARAW ANGOleh
HENDRI METRO PURBA
A07498176
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS PERTANIAN
DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh :
Nama : Hendri Metro Purba
NRP : A07498176
Program Studi : Manajemen Agribisnis
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Produksi Cabang Usahatani Padi Ladang Di Kabupaten
Karawang
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi.MS NIP. 131 415 082
Mengetahui, Fakultas Pertanian
Dekan
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PRODUKSI CABANG USAHATANI PADI LADANG DI
KABUPATEN KARAWANG” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK
TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA
SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG
PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI
SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Desember 2005
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dolok Sanggul pada tanggal 16 Juli 1980. Penulis
adalah anak pertama dari enam bersaudara pasangan Bapak T. Purba dan Ibu H.
Situmorang.
Penulis memulai pendidikan dasarnya pada tahun 1986 di SD Negeri 3
Dolok Sanggul, dan menyelesaikannya pada tahun 1992. Penulis melanjutkan
pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Dolok Sanggul, dan lulus tahun
1995. Kemudian, penulis diterima di SMU Katolik Santo Agustinus Jakarta, dan
lulus pada tahun 1998.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Agrinisnis,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, pada tahun 1998 melalui jalur
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Allah Yang Maha Kuasa atas
berkat dan karunia-Nya yang besar yang memberikan segala hikmat dan kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Judul skripsi ini adalah “Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Produksi Cabang Usahatani Padi Ladang di Kabupaten
Karawang”. Sesuai dengan judul tersebut, skripsi ini menganalisis pendapatan
yang diperoleh petani dari kegiatan berusahatani padi ladang, mengana lisis
faktor-faktor yang mempengaruhi produiksi dalam usahatani padi ladang, dan melakukan
analisis efisiensi ekonomis penggunaan faktor produksi pada cabang usahatani
padi ladang.
Penulis menyadari kekurangan dalam penulisan skripsi ini sehingga
diperlukan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. Penulis berharap penelitian
yang dilakukan dapat diterima dan dimanfaatkan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan pihak lain yang berkepentingan.
Bogor, Desember 2005
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada :
1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. selaku dosen pembimbing yang dengan
kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, kritik dan saran dalam
melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Ir. Anna Fariyanti, MS. atas kesediaan menjadi dosen penguji utama.
3. Amzul Rifin, SP, MA. atas kesediaannya menjadi dosen penguji komisi
pendidikan.
4. Orang Tuaku, Bapa dan Uma dan adik-adikku Duddy, Sartika, Markos, Nita,
dan Kardinal atas keberadaan, doa dan dukungannya.
5. Keluarga Tulang Donal, Tulang Suci, dan Tulang Hendra.
6. Ompung Suhut, dan semua keluarga besar di Dolok Sanggul.
7. Keluarga Ompung Berthold di Depok, Ompung Arif di Bandung, dan
Ompung Josua di Pekan Baru.
8. Keluarga Amangboru Mario, Namboru Patar, dan Amangboru Sagala di
Jakarta.
9. Sahabat-sahabatku yang tak tergantikan di Base One : Cay, Edo, Gaga,
Halashon, Victor, Donal, Appara Frenky, John Freddy, Nipar, Ucok, Ogem,
John Wisnu, Echa , Rikky Sitorus, Bang Ivan, Bang Tamlin, dan Maria
Margareth.
10. Lae Viston, Namboru, dan Chamber yang telah menyediakan fasilitas
penginapan, makan gratis, dan dukungan berharga selama turun lapang di
Karawang.
11. Ramaijon Purba atas bimbingan dan bantuannya, beserta semua teman-teman
di Parmasi.
12. Arif Karya Kusuma, teman satu bimbingan dan seperjuangan selama kuliah
dan penulisan skripsi.
13. Pak Enong sebagai penerjemah dan pendamping penulis selama turun lapang.
15. Teman-teman di Darmaga, Bray, Tulus, penghuni Perwira 100, beserta semua
kawan sesama Himaba.
16. Semua pihak lain yang belum saya sebutkan yang telah membantu saya
DAFTAR ISI
2.2.Syarat Tumbuh dan Kelayakan Lahan Tanaman Padi Ladang... 9
2.3. Budidaya Padi Ladang ... 11
2.3.6. Panen dan Pengolahan Hasil Panen... 15
2.3.7.Hama dan Penyakit ... 16
2.4.Sistem Perladangan di Indonesia dan Perkembangannya ... 16
2.5. Perilaku Ekonomi Petani... 21
2.6.Hasil Penelitian Terdahulu... 22
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 29
3.1. Konsep Usahatani ... 29
3.3. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio) ... 32
3.4. Teori Produksi ... 33
3.5. Efisiensi Ekonomi ... 37
BAB IV. METODE PENELITIAN ... 40
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40
4.2. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel ... 40
4.3. Metode Analisis Data ... 41
4.3.1. Analisis Pendapatan Usahatani ... 41
4.3.2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio)... 41
4.3.3. Pendugaan Fungsi Produksi... 43
4.3.4. Analisis Efisiensi Ekonomi... 48
4.4. Definisi Operasional ... 50
BAB V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 54
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 54
5.2. Karakteristik Petani Responden... 58
BAB VI. GAMBARAN USAHATANI PADI LADANG DI DESA WANAJAYA ... 66
6.4. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (Analisis R/C ratio) ... 74
BAB VII. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI DAN EFISIENSI EKONOMI CABANG USAHATANI PADI LADANG ... 76
7.1. Analisis Fungsi Produksi ... 76
7.2. Elastisitas Produksi dan Skala Usaha ... 78
BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 88
8.1. Kesimpulan ... 88
8.2. Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 90
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Volume Beras yang Diperdagangkan di Dunia dan Impor Beras Indonesia
Tahun 1990-2001 ... 2
2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Indonesia Tahun 2004... 4
3. Produksi Gabah Kering Giling di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan Indonesia Tahun 2004... 6
4. Klasifikasi Kriteria Lingkungan Tumbuh Tanaman Padi Ladang... 9
5. Penggunaan Lahan di desa Wanajaya Tahun 2004 ... 54
6. Topografi atau Bentang Lahan Desa Wanajaya ... 55
7. Karakteristik Penduduk Desa Wanajaya Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2005 ... 56
8. Karakteristik Penduduk Desa Wanajaya Berdasarkan Mata Pencaharian... 57
9. Karakteristik Penduduk Desa Wanajaya Be rdasarkan Tingkat Pendidikan.... 58
10. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur ... 58
11. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 59
12. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Garapan ... 61
13. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani ... 62
14. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ... 63
15. Biaya-biaya yang Dikeluarkan Petani Padi Ladang per Hektar per Musim Tanam di Desa Wanajaya Tahun 2005 ... 73
16. Analisis Pendapatan Cabang Usahatani Padi Ladang per Hektar per Musim Tanam di Desa Wanajaya Tahun 2005 ... 74
17. Analisis Ragam Produktivitas Cabang Usahatani Padi Ladang di Desa Wanajaya ... 76
18. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usahatani Padi Ladang di Desa Wanajaya ... 77
19. Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) Usahatani Padi Ladang di Desa Wanajaya Tahun 2005 ... 84
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kurva Fungsi Produksi Total dan Hubungannya Dengan Produk Marjinal
dan Produk Rata-rata (Doll dan Orazem, 1984) ... 34
2. Bagan Prosedur Analisis Pendapatan dan Faktor- faktor Yang
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Analisis Regresi Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas
Cabang Usahatani Padi Ladang Di Desa Wanajaya ... 94
2. Pertumb uhan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Padi
Di Indonesia, Tahun 2001-2005 ... 95
3. Produktivitas Padi Ladang Menurut Propinsi Di Indonesia,
Tahun 2001-2005 (Kwintal/Ha) ... 96
4. Produktivitas Padi Ladang Menurut Propinsi Di Indonesia,
Tahun 2001-2005 (Dalam Ton) ... 97
5. Penggunaan Faktor- faktor Produksi Cabang Usahatani Padi Ladang Di Desa
Wanajaya, Musim Tanam November-April Tahun 2005 ... 98
6. Pengeluaran Cabang Usahatani Padi Ladang Di Desa Wanajaya Musim
Tanam November-April Tahun 2005 ... 99
7. Kuesioner Analisis Pendapatan dan Faktor- faktor yang Mempengaruhi
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara konsumen beras terbesar ketiga di dunia
setelah China dan India1. Apabila salah satu dari negara tersebut mengalami
penurunan produksi dan harus mengimpor untuk mencukupi kebutuhan
domestiknya, maka harga beras dunia akan segera mengalami kenaikan secara
signifikan. Impor beras terbesar dialami Indonesia pada tahun 1999 dimana
Indonesia mengimpor sekitar 4.7 juta ton beras meskipun harus membayar 280
Dollar AS per ton beras untuk mencukupi kebutuhan beras domestik. Pemerintah
karenanya harus mengeluarkan biaya sekitar 1.3 miliar Dollar AS untuk
mengimpor 4.7 juta ton beras1.
Permintaan terhadap beras terus meningkat sejalan dengan pertambahan
populasi dan kenaikan tingkat pendapatan penduduk. Sedangkan pertambahan
produksi beras senderung lebih kecil dan tidak mampu mengimbangi pertambahan
tingkat permintaan beras (Sidik, 2004). Impor beras nasional cenderung
meningkat misalnya dari 615 ribu ton pada tahun 1991 menjadi sekitar 3 juta ton
pada tahun 1995 dan pada tahun 1996 mencapai sekitar 3 juta ton akibat musim
kemarau panjang dan bahkan sempat meningkat drastis hingga sekitar 6 juta ton
pada tahun 1998 akibat terjadinya krisis moneter yang mengakibatkan kenaikan
secara drastis pada harga input pertanian seperti pupuk dan pestisida yang bahan
bakunya sebagian besar diimpor. Laju peningkatan produksi padi cenderung
menurun, sedangkan laju permintaan beras akan selalu meningkat seiring
peningkatan laju pertumbuhan penduduk.
Belum berhasilnya upaya diversifikasi, baik dari sisi produksi maupun
konsumsi pangan, menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia masih
sangat tergantung pada satu jenis bahan pangan yaitu beras. Hingga saat ini
lebih dari setengah jumlah kalori dan lebih dari 40 persen karbohidrat yang
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia berasal dari beras. Menurut FAO
(2004)1, rata-rata penduduk Indonesia mengkonsumsi sekitar 200 kilogram
beras per kapita per tahun . Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas beras dianggap masih relevan untuk mengatasi
masalah peningkatan tingkat permintaan beras dan tingginya impor beras
Indonesia.
Tabel 1. Volume Beras yang Diperdagangkan di Dunia dan Impor Beras Indonesia Tahun 1991-2000
Tahun Perdagangan Beras Dunia (Ton) Indonesia (Ton) Impor Beras Persentase Terhadap Beras Dunia
1991 58.578.212 615.385 10,51
1992 5.263.940 2.615.384 49,68
1993 252.121 156.846 61,02
1994 4.293.138 1.076.924 25,08
1995 6.486.440 3.076.924 47,43
1996 15.389.948 4.615.304 29,99
1997 5.856.188 3.480.750 59,44
1998 28.025.000 6.080.000 21,70
1999 25.150.000 4.183.000 16,50
2000 22.350.000 1.513.000 6,70
Sumber : Situs FAO (http//www.FAO.org/trade/balance), 2000.
Untuk memenuhi kebutuhan beras dalam jangka panjang, pemerintah
mulai mengarahkan perhatiannya kepada pengembangan pertanian di daerah lahan
kering, mengingat ketersediaan lahannya yang cukup luas (Ruchyat, 1993 dalam
Indonesia adalah lahan kering. Untuk tetap mempertahankan swasembada pangan,
maka corak pertanian di masa yang akan datang adalah pertanian lahan kering
(Dwijatmiko, 1991 dalam Maryono, 1996).
Sutari (1982) dalam Netty (1996) mengatakan bahwa lahan kering yang
diusahakan dengan tepat dapat menghasilkan berbagai komoditas
dengan produktivitas yang lebih besar dibandingkan lahan sawah (basah). Selain
itu lahan kering memiliki kedudukan strategis karena :
(a) Lahan kering menempati areal terluas dibandingkan dengan lahan jenis air
seperti sawah, rawa, dan pasang surut.
(b) Lahan kering diperkirakan seluas 123 juta hektar atau 62 persen dari luas
total daratan Indonesia.
(c) Lahan kering merupakan sumber utama penghasil komoditi pertanian untuk
tanaman pangan, sandang, perumahan, dan lain- lain.
(d) Pemanfaatan lahan kering yang semakin meningkat merupakan
pertimbangan penting dalam program pemerintah selanjutnya.
1.2. Perumusan Masalah
Produksi padi nasional masih didominasi padi sawah sedangkan
sumbangan padi ladang masih sangat rendah karena produktivitas dan luas
tanam padi ladang yang jauh lebih rendah daripada produktivitas dan luas
tanam padi sawah. Produktivitas rata-rata padi ladang pada tahun 2004 baru
mencapai 25.68 kwintal per hektar, sementara sumbangan padi ladang
persen dengan luas panen sekitar 9.4 persen dari total luas panen padi
nasional2.
Tabel 2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Indonesia Tahun 2004
Padi Sawah 10.843.004 47,45 51.446.191
Padi Ladang 1.127.034 25,68 2.895.112
Padi Total 11.970.038 45,40 54.341.303
Sumber : Situs Deptan (www.deptan.go.id/ditjentp), 2004
*)Gabah Kering Giling
Jika dibandingkan dari segi laju pertumbuhan produksi, padi ladang juga
masih jauh lebih rendah daripada padi sawah, dimana dari tahun 1969 hingga
1989 produksi padi ladang hanya mengalami peningkatan kira-kira sebesar 45
persen yaitu dari 1.622 ribu ton pada tahun 1969 menjadi 2.345 ribu ton pada
tahun 1989, sementara produksi padi sawah mengalami peningkatan kira-kira
sebesar 140 persen atau meningkat sebesar 24.6 juta ton.
Menurut Ruchyat (1993) dalam Maryono (1996), rendahnya produktivitas
padi ladang tidak terlepas dari keterbatasan faktor tanah, topografi dan iklim pada
lahan kering. Lahan kering mempunyai karakteristik antara lain : (1) tanah kurang
subur, (2) topografi umumnya berlereng sehingga mudah tererosi, (3) curah hujan
rendah. Di samping itu kenyataan juga menunjukkan bahwa keterbatasan faktor
produksi usahatani (lahan, tenaga kerja dan modal) serta pengetahuan petani di
daerah lahan kering menyebabkan pola tanam yang selama ini diusahakan masih
bersifat subsisten. Dari kenyataan tersebut adalah hal yang wajar bila
produktivitas rata padi ladang jauh lebih rendah daripada produktivitas
rata padi sawah dengan tingkat kesuburan tanah yang jauh lebih tinggi, pengairan
yang lebih teratur, dan topografi yang lebih baik untuk usahatani padi.
Tingkat produktivitas padi ladang yang rendah dan laju perkembangan
produksi padi ladang yang relatif lamban juga diakibatkan permasalaha n yang
dihadapi usahatani padi ladang relatif lebih kompleks daripada permasalahan padi
sawah. Kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada peningkatan produksi dan
produktivitas padi sawah dibandingkan padi ladang merupakan salah satu
contohnya, meskipun hal ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat
produktivitas padi sawah yang jauh lebih tinggi dengan kendala peningkatan
produktivitas padi sawah yang jauh lebih ringan daripada kendala peningkatan
produktivitas padi ladang.
Meskipun sumbangan padi ladang terhadap produksi nasional relatif kecil,
tetapi padi ladang ditanam hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Bahkan
sebagian daerah sangat menggantungkan ketersediaan dan kebutuhan berasnya
pada produksi padi ladang. Pertanian padi ladang banyak dijumpai di daerah
transmigrasi lahan kering dan daerah yang topografi lahannya didominasi
perbukitan atau lahan kering dan tidak mendapat fasilitas irigasi (Wana, 2000).
Berdasarkan uraian di atas, maka posisi usahatani padi ladang akan
semakin penting bagi masa depan pertanian Indonesia secara umum dan sangat
potensial bagi peningkatan ketahanan pangan nasional. Permasalahan usahatani
padi ladang relatif lebih kompleks daripada padi sawah. Usahatani padi ladang
memerlukan identifikasi lebih rinci dan jelas pada masing- masing daerah
produsen padi ladang. Identifikasi yang dimaksud antara lain meliputi penelitian
terutama padi ladang dapat ditingkatkan hingga dapat mengimbangi produktivitas
padi sawah bahkan mungkin melampauinya.
Analisis terhadap aspek produksi merupakan salah satu pendekatan yang
penting dalam kebijaksanaan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan terutama
yang menjadi makanan pokok masyarakat. Pendekatan ini dilakukan untuk
mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi produktivitas dan efisiensi ekonomi
pengusahaan padi ladang. Dengan pendekatan ini akan diketahui alternatif
produksi yang paling tepat dalam waktu yang telah ditentukan sehingga nantinya
dapat menjadi salah satu informasi yang berguna dalam pembuatan kebijakan
pertanian seperti halnya dalam usahatani padi ladang. Penentuan alternatif
produksi padi ladang tentu juga harus mempertimbangkan karakteristik
agroklimat yang khas atau unik pada masing- masing daerah produksi disamping
karakteristik sosial ekonominya.
Karawang merupakan salah satu sentra produksi padi di Indonesia. Tabel 5
menunjukkan perbandingan produksi gabah kering giling Kabupaten Karawang
dengan Propinsi Jawa Barat dan produksi total keseluruhan di Indonesia. Pada
tahun 1992 total produksi Kabupaten Karawang mencapai 1,007 juta ton atau
mencapai 8,89 persen total produksi Jawa Barat dan 2,08 persen dari seluruh total
produksi di Indonesia.
Tabel 3. Produksi Padi Gabah Kering Giling di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan Indonesia Tahun 2004
Tahun Karawang
1992 1.007.499 11.320.445 48.240.009
1993 1.007.689 11.188.421 48.181.087
1994 997.796 10.218.744 46.641.524
1995 991.974 11.094.735 49.744.140
1997 989.304 10.746.730 49.377.000
1998 737.429 10.209.499 49.237.000
1999 917.879 10.400.411 50.866.000
2000 917.951 11.154.267 51.898.852
Sumber : Situs Deptan (www.deptan.go.id/ditjentp), 2004
Pada tahun 2000 produksi Kabupaten Karawang mencapai 917 ribu ton
sehingga memberikan kontribusi sebesar 8,22 persen dari produksi Jawa Barat dan
1,76 persen dari seluruh total produksi padi nasional yang mencapai 51,8 juta ton.
Dari tabel tersebut juga dapat dilihat mengenai adanya fluktuasi produksi yang
terjadi tahun demi tahun yang menggambarkan adanya ketidakstabilan produksi
padi yang disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi
antara lain2 :
a. Semakin berkurangnya lahan pertanian yang ada yang disebabkan oleh
berubah fungsinya lahan pertanian menjadi kawasan perumahan dan industri.
b. Belum berfungsinya saluran irigasi secara maksimal untuk mengairi lahan
sawah dengan merata. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan yang
ketat sehingga saluran irigasi banyak dikuasai oleh beberapa orang untuk
kepentingan sendiri dan kelompok tertentu.
c. Pengaruh faktor cuaca dan iklim yang terus berfluktuasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas pada
penelitian ini adalah :
1. Mengapa produktivitas padi ladang lebih rendah dari padi sawah ?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi produktivitas padi ladang ?
3. Bagaimana mencapai tingkat penggunaan faktor- faktor produksi yang efisien
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Menganalisis penyebab rendahnya produktivitas padi ladang.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas padi ladang.
3. Menga nalisis efisiensi ekonomis penggunaan faktor- faktor produksi pada
cabang usahatani padi ladang.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi beberapa pihak, sebagai
berikut:
1. Sebagai bahan kajian bagi pemerintah dalam merumuskan program dan
kebijakan di bidang pertanian dalam usaha penyempurnaan sistem pertanian
terutama untuk usahatani padi ladang.
2. Sebagai masukan bagi petani agar dapat mengelola usahataninya secara
efektif dan efisien.
3. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian yang akan datang agar dapat
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Biologis Tanaman Padi Ladang
Padi ladang merupakan tanaman yang biasa ditanam di lahan kering.
Tanaman ini merupakan tanaman semusim jenis padi (Oryza sativa L.) yang
diusahakan di tanah tegalan kering secara menetap dan kebanyakan ditanam di
daerah tropika. Jenis tradisional (varietas Genjah) memiliki ciri-ciri : berbatang
tinggi, berumur sedang, anakan sedikit, bentuk gabah bulat dan tahan terhadap
kekeringan (Chang dan Vergara dalam Setiawan, 2000).
Basyir et al., (1995) mengemukakan bahwa siklus hidup tanaman padi
ladang berkisar antara 90 hingga 140 hari, tergantung pada varietasnya. Masa
pertumbuhan padi ladang terdiri dari tiga fase : (1) fase vegetatif, (2) fase
reproduktif, dan (3) fase pemasakan. Fase vegetatif merupakan masa pertumbuhan
batang dan daun (55 hari), sejak masa perkecambahan benih sampai pembentukan
primordial bunga pada ujung batangnya. Fase reproduktif adalah masa dari tahap
munculnya primordia bunga sampai waktu keluar bunga (35 hari). Pada fase ini
tanaman padi ladang sangat sensitif terhadap cekaman lingkungan. Fase
pemasakan adalah masa keluarnya bunga sampai gabah masak, sementara tahapan
yang dilalui adalah masak susu sekitar 92 hingga 110 hari setelah tanam, masak
padat sekitar 102 hingga 120 hari setelah tanam, dan masa penuh sekitar 112
hingga 120 hari setelah tanam.
2.2. Syarat Tumbuh dan Kelayakan Lahan Tanaman Padi Ladang
Keberhasilan budidaya tanaman padi ladang ditentukan oleh penyesuaian
panen juga akan baik. Menurut Bey dan Las dalam Setiawan (2000), curah hujan
merupakan unsur iklim yang besar pengaruhnya terhadap suatu sistem usahatani,
terutama pada lahan kering dan tadah hujan. Pada Lahan tersebut padi ladang
lebih banyak ditanam pada musim hujan karena kebutuhan air bagi tanaman
tergantung sepenuhnya pada curah hujan. Gupta dan O’Toole (1986) menyatakan
bahwa curah hujan merupakan unsur agroklimat berpengaruh dominan terhadap
pertumbuhan dan produkisi padi ladang.
Kelayakan lahan untuk pertanaman padi ladang menurut Jones dan Garrity
dalam Setiawan (2000) didasarkan pada kecukupan dan ketersediaan air.
Kecukupan dan ketersediaan air ditentukan oleh empat faktor yaitu : curah hujan,
lamanya musim tanam, kemiringan lahan, dan tekstur tanah. Atas dasar keempat
faktor tersebut, lahan tanaman padi ladang dikelompokkan menjadi empat kelas
yaitu : sesuai, agak sesuai, kering, dan sangat kering.
Tabel 4. Klasifikasi Kriteria Lingkungan Tumbuh Tanaman Padi Ladang Nilai
Sumber : Jones and Garrity dalam Setiawan (2000) Keterangan : MT = musim tanam, periode saat air tanah
cukup bagi pertumbuhan tanaman,
Med = mediteran, Gru = grumosol, And = andosol, La = latosol,
Lingkungan tumbuh akan mendukung pertumbuhan padi ladang apabila
memiliki tekstur tanah halus hingga sedang, kemiringan lahan 0 sampai 8 persen,
curah hujan tinggi (lebih besar dari 1500 mm per tahun) dan musim tanaman
panjang, yaitu 5 hingga 12 bulan per tahun. Ketinggian areal pertanaman padi
ladang bervariasi mulai dari dataran rendah sampai dataran dengan ketinggian
1500 meter di atas permukaan laut, bertopografi datar, bergelombang, dan
berbukit.
Unsur iklim yang berperan dalam keberhasilan budidaya tanaman padi
ladang adalah radiasi dan suhu udara (Basyir et al., 1995). Intensitas radiasi
matahari yang rendah, menurut Gupta dan O’Toole (1986) merupakan penyebab
rendahnya produksi padi ladang. Sedangkan suhu udara berkorelasi positif dengan
produksi padi selama fase vegetatif melalui jumlah tunas yang dihasilkan, tetapi
berkorelasi negatif dengan produksi gabah selama fase pengisian gabah hingga
masa panen (Murata 1976 dalam Setiawan, 2000).
Padi ladang dapat tumbuh hampir pada semua jenis tanah. Menurut
Madkar et al., dalam Setiawan (2000), pertumbuhan dan hasil padi ladang
dipengaruhi oleh tekstur, struktur, unsur hara, dan pH tanah. Tekstur tanah dengan
kemampuan menyimpan air yang tinggi merupakan kondisi yang sesuai bagi
tanaman padi ladang. Tanah dengan kemamp uan menyimpan air yang rendah
dapat menimbulkan masalah kelembabam yang rendah setelah hujan berhenti. Hal
ini dapat menyebabkan ketersediaan unsur hara dalam tanah akan menurun (Gupta
dan O’Toole, 1986). Menurut De Datta dalam Setiawan (2000), perubahan unsur
hara dalam tanah merupakan salah satu faktor yang membatasi produktivitas
berkisar antara 5.5 hingga 6.5. pada pH yang lebih rendah dari 5.0 padi ladang
dapat mengalami gangguan kekahatan unsur P, keracunan Fe dan Al, sedangkan
bila lebih dari 7.0 dapat menyebabkan tanaman padi ladang mengalami kekahatan
unsur Zn (Gupta dan O’Toole, 1986).
2.3. Budidaya Padi Ladang 2.3.1. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah dilakukan pada musim kering sebelum hujan turun, atau
segera setelah tanaman yang mendahuluinya dipanen. Teknih pengolahan tanah
adalah sebagai berikut :
(1) Tanah dibajak atau dicangkul dua kali atau lebih hingga tanah cukup gembur
dan bersih dari rerumputan. Pengolahan tanah harus sampai kedalaman
sedikitnya 25 sentimeter. Pada tanah yang berat (tanah padat dan keras),
dilakukan pengolahan pendahuluan dengan menggunakan garpu. Tanah
lapisan bawah sedapat mungkin terangkat dan dibalik ke bagian atas.
(2) Pada waktu membajak atau mencangkul yang kedua kali, pupuk organik
ditebarkan sebanyak sekitar 20 ton per hektar dengan menggunakan pupuk
hijau, pupuk kandang atau kompos.
(3) Setelah tanah dibajak, tanah harus dihaluskan dengan garpu atau cangkul satu
atau dua kali hingga tanah cukup halus.
(4) Dijaga agar tidak terjadi penggenangan air, karena dapat mengancam
kehidupan sekeliling petak, dengan cara membuat petakan-petakan berukuran
10 × 5 meter atau dengan membuat bagian tengah tegalan lebih tinggi
(5) Tanah dibiarkan saja sambil menunggu benih ditanam pada waktu permulaan
musim hujan.
2.3.2. Pemilihan Benih
Benih yang bermutu adalah yang murni dengan kandungan air maksimal
14 persen, bersih dari campuran atau kotoran-kotoran, bebas dari hama dan
penyakit, segar dan daya berkecambah tinggi (minimal 80 %). Benih yang dipilih
adalah benih yang tenggelam apabila benih dimasukkan dalam larutan garam atau
larutan abu dapur, yang berat jenisnya sekitar 1.01. Benih yang melayang atau
terapung jangan dijadikan benih.
2.3.3. Penanaman
a. Waktu tanam
Waktu tanam sebaiknya dalam bulan Oktober dan November, tetapi
tergantung pada awal musim penghujan, yaitu setelah dua atau tiga kali turun
hujan. Jika menanamnya bersamaan periode berlangsungnya hujan yang terus
menerus, ada kemungkinan benih tersebut terbawa air atau terdorong lebih jauh
masuk ke dalam tanah dan juga dapat berakibat kurang baik untuk tanaman muda
karena akan mengakibatkan gangguan hama dan penyakit yang hebat.
b. Cara menanam
Ada berbagai cara yang dapat digunakan dala m menanam, diantaranya
adalah :
1. Disebar merata langsung ke permukaan tanah. Cara ini kurang lazim karena
membutuhkan banyak benih yaitu sekitar 50 sampai 100 kilogram per hektar.
2. Membuat aluran dengan kayu berujung runcing yang digariskan di atas tanah
sentimeter sedalam 3 sentimeter. Ke dalam aluran ditaburkan benih kemudian
ditutup dengan tanah. Pemakaian benih kurang lebih 30 sampai 40 kilogram
per hektar.
3. Dengan tugal. Pada jarak tertentu dibuat lubang dengan tugal, sedalam 3
hingga 5 sentimeter. Untuk tiap lubang ditanam benih sebanyak 5 hingga 7
butir. Jarak tanam pada tanah yang subur 15 × 20 sentimeter, sedangkan pada
tanah yang kurang subur 15 × 40 sentimeter. jarak tanam yang terbaik adalah
20 × 20 sentimeter. setelah benih dimasukkan, lubang benih ditutup dengan
campuran pupuk P, K, dan pupuk kandang, atau campuran antara pupuk P, K,
dan abu (debu atau tanah halus).
4. Tumpangsari dengan tanaman lain dengan pengaturan sebaik-baiknya
sehingga tidak merugikan tanaman pokok. Tumpangsari dengan jagung dapat
diatur dengan jarak tanam jagung 150 × 60 sentimeter. Pengaturan jarak
tanam yang sebaik-baiknya disamping akan mempertinggi hasil, juga akan
memudahkan dalam melakukan kegiatan lain di dalam pertanaman seperti
penyiangan, pemberantasan hama, dan lain- lain.
2.3.4. Pemupukan
a. Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk organik (pupuk
hijau, pupuk kandang atau pupuk kompos). Pupuk hijau misalnya dengan
menggunakan Crotalaria juncea ditanam 4 hingga 6 bulan sebelum tanah
ditanami padi ladang. Pupuk hijau ini ditanam berbaris dengan jarak antar
barisan sekitar 90 hingga 120 sentimeter. Di sela-selanya dapat ditanami
jagung, ketela, kacang hijau dan sebagainya. Pada permulaan musim hujan
b. Pupuk kandang dan kompos diberikan dengan pengolahan tanah karena pupuk
tersebut lama hancurnya. Kebutuhan pupuk kandang atau kompos sekitar 15
hingga 20 ton setiap hektar.
c. Pupuk organik (pupuk buatan) pada umumnya diberikan dengan dosis 60
sampai 90 kilogram N, 30 kilogram P2O5, dan 30 kilogram K2O tiap hektar.
Pupuk N (1,5 hingga 2 kwintal urea per hektar) diberikan dua kali, setengah
pada saat 3 sampai 4 minggu sesudah benih ditugalkan dan setengah sisanya
pada umur 6 sampai 7 minggu, yaitu masing- masing pada saat dilakukan
penyiangan (dua bulan sejak benih ditugalkan). Pupuk fosfat (0.75 kwintal
TSP) bersama dengan pupuk K (0.5 kwintal KCl) diberikan waktu penanaman
sebagai pupuk dasar setelah dicampur dengan pupuk kandang, abu atau debu
atau tanah halus. Perbandingan campuran pupuk fosfat, kalium, dan pupuk
kandang adalah 0.75 : 1 : 20 (0.75kwintal TSP + 1 kwintal ZK + 20 kwintal
pupuk kandang). Jika abu atau debu halus sebagai campuran digunakan, maka
perbandingannya adalah 1 : 1 : 5.
Cara pemberiannya adalah dengan membuat garitan sepanjang barisan
tanaman, diisi dengan pupuk lalu ditutup lagi dengan tanah. Bila pada pemberian
pertama di sisi yang satu dari tanaman, maka pada pemberian kedua hendaklah
pada sisi lain yang berlawanan. Pupuk organik meliputi sisa-sisa tanaman atau
hewan. Pupuk organik sangat bermanfaat pada tanah-tanah kering untuk
memperbaiki struktur tanah. Tanah yang cukup mengandung bahan organik akan
lebih remah dan memiliki daya menahan air yang lebih besar. Tanah dengan sifat
yang demikian sangat sibutuhkan untuik tanaman padi ladang. Pupuk organik
adalah kadar haranya yang rendah. Untuk me ncukupi kebutuhan hara bagi
tanaman dalam satu hektar, diperlukan sekitar 10 sampai 30 ton bahan organik. Di
samping itu pupuk organik sering mengandung biji-biji gulma sehingga dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman. Kompos disebar pada waktu pembajakan
terakhir, dan pupuk buatan disebar pada waktu penggaruan terakhir.
2.3.5. Pemeliharaan
a. Penyulaman
Sejak tanaman berumur seminggu sampai umur tiga minggu tanaman padi
ladang masih boleh disulam, kadang-kadang sesudah umur satu bulan masih
disulam, tetapi ya ng digunakan untuk menyulam adalah bibit yang diambil dari
rumpun yang besar.
b. Penyiangan
Penyiangan atau pemberantasan gulma dapat dilakukan dengan cara
mekanis atau dengan cara kimiawi. Penyiangan pertama dilakukan pada waktu
tanaman berumur tiga sampai empat minggu. Setelah penyiangan, tanah di
sekeliling tanaman padi dibumbun (didangir) atau dihancurkan sedikit agar
pembuangan air lebih mudah. Penyiangan kedua pada saat tanaman berumur 60
hari. Tanah di sela-sela tanaman dicangkul supaya renggang dan ge mbur.
Kira-kira satu hingga dua minggu sebelum malai padi keluar, tanaman sebaiknya
dibumbun.
2.3.6. Panen dan Pengolahan Hasil Panen
Untuk jenis-jenis yang mudah rontok, panen dilakukan pada stadia masak
kuning yaitu apabila seluruh pertanaman nampak kuning, kecuali buku-buku
tangan isi gabah mudah pecah. Sedangkan untuk jenis-jenis yang tidak mudah
rontok, panen dilakukan pada stadia masak penuh. Cara mengetam,
menggabahkan, mengeringkan dan mengolahnya selanjutnya sama dengan
cara-cara pada padi sawah.
2.3.7. Hama dan Penyakit
Hama yang sering mendatangkan bahaya pada tanaman padi ladang dan
perlu diperhatikan antara lain: lalat bibit yang dapat mengurangi kemampuan
bertunas bahkan mematikan tanaman berumur setengah hingga satu setengah
bulan, walang sangit yang menyebabkan kosongnya sebagian dari malai, kepik
padi hijau, penggerek batang, ulat tentara, tikus, babi hutan, burung, dan lain- lain.
Sedangkan penyakit yang umumnya menyerang padi ladang adalah penyakit
bercak daun (Pyricularia oryzae), penyakit bercak daun Helminthosporium
oryzae, Phytium sp, dan lain- lain.
2.4. Sistem Perladangan di Indonesia dan Perkembangannya
Menurut Soekartawi (1986), ladang atau tegalan adalah suatu lahan
usahatani pada lahan kering yang biasa dipakai untuk usaha bercocok tanam.
Tanaman yang biasa dibudidayakan adalah tanaman yang berumur pendek seperti
padi ladang, jagung, tanaman jenis kacang-kacangan dan umbi- umbian.
Perladangan merupakan wujud dari peradaban jaman dulu yang berlangsung turun
temurun dan masih berkembang hingga sekarang. Praktek perladangan menurut
data arkeologi sudah dimulai pada saat manusia pertama kali mengubah jaman
berburu dan mengumpulkan tanaman liar ke sistem berproduksi tanaman dan
Demikian pula Pelzer dalam Geertz (1963) mengatakan bahwa
perladangan itu ditandai oleh tidak adanya pembajakan, input tenaga-tenaga
sedikit dibandingkan dengan bercocok tanam yang lain, tidak menggunakan
tenaga hewan ataupun pemupukan dan tidak adanya konsep pemilikan tanah
pribadi. Peladang pada umumnya hidup berpencar berjauhan satu dengan yang
lain, baik antara tempat tinggal di dalam desa maupun antar desa yang satu
dengan lainnya. Hal ini bukan karena sifat peladang yang enggan untuk hidup
berdekatan, melainkan merupakan usaha ntuk menyesuaikan antara kepentingan
beercocok tanam dengan keadaan alamnya (Soemarwoto, 1978 dalam Hariyanto,
1994).
Berdasarkan jangka waktu rotasinya, Dinas Kehutanan Kalimantan Barat
(1981) dalam Hariyanto (1994), mengelompokkan pola perladangan menjadi:
a. Berladang berpindah tanpa siklus dan tidak memiliki pemukiman tetap.
b. Berladang dengan siklus panjang, terkadang memiliki pemukiman tetap.
c. Berladang dengan siklus sedang diatas tujuh tahun dan memiliki pemukiman
tetap, terkadang memiliki kebun.
d. Berladang dengan siklus pendek sekitar lima tahun, memiliki pemukiman
tetap dan kebun.
e. Berladang setiap tahun.
Menurut Ditjen Kehutanan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi
(1981) dalam Hariyanto (1994) beberapa sistem perladangan yang ada di
Indonesia adalah :
a. Sistem rotasi alami, yang merupakan sistem yang paling sederhana.
tingkat kesuburannya sudah berkurang atau besarnya gangguan gulma,
diserahkan begitu saja kepada kekuatan alam untuk merehabilitasi dirinya
melalui suksesi alami. Sistem ini terdapat dipedalaman Kalimantan.
b. Sistem tanaman sela, merupakan suatu peningkatan dari sistem rotasi alami.
Lahan- lahan perladangan pada saat penggarapan pertama sudah ditanami
tanaman sela yang ditanam dalam bentuk larikan sejajar kontur, sehingga
dapat berfungsi sebagai pencegah erosi serta penyubur tanah. Tanaman sela
itupun dibiarkan tumbuh sehingga suksesi alami berjalan lebih cepat. Sistem
ini ditemui di Nusa Tenggara Timur terutama Kupang.
c. Sistem tumpang sari. Sejak saat pertama penggarapan ladangnya, para
peladang menanam tanaman keras secara bersamaan dengan tanaman
pangan. Jenis-jenis tanaman keras yang dipilih adalah yang mempunyai
prospek ekonomis baik seperti karet, kelapa, lada, kopi dan cengkeh. Sistem
ini terdapat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Lampung dan
Sumatera Selatan.
d. Sistem talun, yang merupakan perkembangan dari sistem rotasi alami,
sebagai akibat masuknya pertimbangan pemilihan jenis tanaman yang
disesuaikan dengan keadaan pasar dan kondisi fisik lahannya. Yang
dimaksud dengan talun adalah lapangan yang ditanami dengan berbagai
macam pohon, baik kayu-kayuan maupun buah-buahan. Jenis dan susunan
pepohonan tersebut dibuat sedemikian sehingga mempunyai prospek
ekonomis serta sesuai dengan kebutuhan pemiliknya. Sistem talun ini muncul
Simon (1981) dalam Hariyanto (1994), mengemukakan bahwa
perladangan hampir selalu dilakukan dengan cara yang sama. Secara kronologis
pekerjaan yang dilakukan adalah :
a. Pemilihan tempat, dengan urutan prioritas dari yang paling disukai : hutan
perawan, hutan sekunder, belukar dan yang terakhir padang alang-alang.
b. Menebas, yaitu : pemotongan belukar kecil dengan menggunakan parang
c. Menebang, yaitu : memotong pohon berdiameter besar dengan menggunakan
kapak (beliung).
d. Membakar daun dan ranting yang sudah kering. Pembakaran ini selain
ditujukan untuk membersihkan lahan dari sisa-sisa penebasan dan
penebangan, juga berguna untuk mengurangi keasaman tanah.
e. Menugal dan menanam biji. Menugal adalah membuat lubang- lubang pada
permukaan tanah dengan menggunakan ranting atau dahan yang
diruncingkan ujungnya (tuga l) dimana biji-biji padi kemudian dimasukkan.
f. Merumput, yaitu : pekerjaan mencabut/membunuh rumput-rmput yang
tumbuh diantara tanaman padi, karena bila rumput dibiarkan tumbuh lebat,
maka tanaman padi akan tertekan sehingga hasilnya sangat rendah.
g. Menjaga tanaman dari serangan hama seperti babi hutan.
h. Mengetam atau memanen hasil padi.
Selain itu ada kegiatan lain yang menurut Dove (1988) dalam Hariyanto
(1994), pada dasarnya tidak berurutan yaitu : (a) memanen hasil tanaman bukan
padi, (b) membat pondok diladang, (c) membuat alat-alat untuk bekerja di ladang.
Bila ditinjau dari aspek ekonomi peladang berpindah (perladangan) dicirikan oleh
juga ditunjukkan oleh ketidakpastian hasil ya ng disebabkan tingginya pengaruh
iklim, hama dan penyakit. Dengan sifat perladangan yang masih tradisional upaya
pengendalian terhadap hama dan penyakit juga dilaksanakan dengan cara yang
sederhana. Padahal bila dilihat dari lingkungan sistem perladangan kemungkinan
uuntuk terserang hama dan penyakit sangat tinggi dan upaya pengendalian lebih
sulit.
Produktivitas yang rendah cenderung diikuti pula oleh rendahnya kualitas
produksi yang dihasilkan. Akibatnya harga jual produksi yang dihasilkan rendah,
ditamb ah lagi dengan belum adanya prospek pemasaran hasil produksi dan sifat
komoditi yang dihasilkan masih bersifat musiman. Keseluruhan faktor- faktor di
atas menyebabkan rendahnya tingkat pendapatan usahatani peladang berpindah
(Simon, 1981 dalam Hariyanto, 1994).
Dari aspek sosial peladang dicirikan oleh rendahnya tingkat pendidikan,
tingkat ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki peladang dalam pengelolaan
lahan serta tingginya angka kelahiran dan kematian penduduk karena masih
rendahnya tingkat kesehatan. Tempat tinggal yang berpencar dan kemungkinan
pindah mengikuti rotasi perladangan, menyebabkan anak-anak peladang sangat
sulit untuk mengikuti pendidikan formal secara teratur. Bagi pemerintah pun tidak
mudah untuk menyelenggarakan fasilitas pendidikan dan fasilitas sosial lainnya,
bukan karena biayanya yang menjadi mahal, tetapi juga kegunaannya tidak
mencapai tingkat optimal yang diharapkan. Oleh karena itu sebagian dari
peladang tidak berpendidikan sama sekali. Masyarakat di Kalimantan Timur,
pernah sekolah, sedang 27 persen hanya pernah sekolah tidak lebih dari kelas tiga
sekolah dasar.
2.5. Perilaku Ekonomi Petani
Perilaku ekonomi mempunyai tiga hal yang patut diperhatikan (Scott,
1981), yaitu resiko, ketidakpastian, serta keuntungan. Istilah resiko dimaksudkan
kepada terjadinya kemungkinan merugi atau possibility of loss, jadi peluang akan
terjadinya merugi akan diketahui terlebih dahulu. Sedangkan ketidakpastian
adalah sesuatu yang tidak bisa diramalkan sebelumnya, karena peluang terjadinya
merugi belum diketahui sebelumnya (Soekartawi et al., dalam Satria, 1995).
Dillon et al. dalam Soekartawi (1986) memberikan indikasi bahwa
sebagian besar petani subsistem mempunyai keengganan memikul resiko, dengan
kecenderungan yang lebih besar pada pemilik lahan sempit dan umumnya dari
petani penyakap. Pada petani kecil perolehan pendapatan usahataninya akan lebih
banyak digunakan untuk mengembangkan usahataninya. Dalam banyak hal,
sering ditemui bahwa semakin kecil petani melakukan capital formation dalam
usahataninya, karena kelebihan pendapatan sering digunakan untuk kepentingan
lainnya.
Scott (1981), menjelaskan adanya perilaku enggan menerima resiko dalam
pengambilan keputusan petani disebabkan oleh adanya dilema ekonomi petani
sentral yang dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani. Kehidupan petani di
pedesaan begitu dekat dengan batas subsistensi, serta selalu mengalami
ketidakpastian cuaca dan tuntutan-tuntutan dari pihak luar, dan karena itu kondisi
tersebut menyebabkan rumah tangga petani tidak banyak mempunyai peluang
senantiasa ada pada diri petani ialah berusaha menghindari kegagalan yang akan
menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar
dengan mengambil resiko. Dengan kata lain petani berusaha meminimumkan
keuntungan subjektif dari kerugian maksimum. Perilaku demikian yang disebut
juga perilaku safety first atau mendahulukan keamanan merupakan ciri umum
petani. Bukan saja petani miskin yang memiliki perilaku tersebut, tetapi sebagian
besar petani menengah juga bertindak serupa.
2.6. Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai usahatani padi ladang atau padi gogo
dilakukan oleh Susanto (2004). Penelitian ini melakukan analisis tentang
pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor produksi usahatani padi ladang secara
tumpangsari dengan jagung di Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan petani dari produksi
padi ladang per hektar per musim tanam sebesar Rp.1.348.100,- dengan harga jual
rata-rata sebesar Rp.1.700,- per kilogram dan produksi padi ladang per hektar
rata sebesar 793 kilogram dalam bentuk gabah kering panen. Sedangkan
rata-rata jagung yang dihasilkan per hektar sebesar 1.438 kilogram dengan harga jual
rata-rata Rp.450,- per kilogram, sehingga penerimaan dari produksi jagung
sebesar Rp.647.100,-. Jadi, total penerimaan petani dari usahatani padi ladang
yang ditumpangsari dengan jagung sebesar Rp.1.995.200,-.
Biaya tunai yang dikeluarkan dalam usahatani padi ladang tumpangsari
dengan jagung sebesar Rp.683.091,- sedangkan biaya total sebesar
Rp.1.824.575,-. Dengan komposisi biaya seperti ini, pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh
sebesar Rp.170.625,- Jadi rasio R/C atas biaya tunai diperoleh sebesar 2.92, dan
rasio R/C atas biaya total sebesar 1.09. Hal ini berarti dari segi analisis pendapatan
usahatani padi ladang secara tumpangsari dengan jagung menguntungkan karena
penerimaan yang lebih besar dari biaya total yang dikeluarkan.
Dari analisis model fungsi produksi Cobb-Douglas yang dilakukan
Susanto (2004), diperoleh hasil F-hitung yang nyata pada taraf kepercayaan 95
persen, dan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 74.5 dengan nilai koefisien
determinasi terkoreksi (R2-adjusted) sebesar 67.8. Nilai R2-adjusted sebesar 67.8
berarti bahwa 67.8 persen kergaman pada nilai produksi dapat dijelaskan oleh
variabel bebas yang digunakan dalam fungsi produksi yaitu luas lahan, jumlah
benih, pupuk Urea, pupuk KCl, pupuk TSP, dan tenaga kerja. Sedangkan 32.2
persen lainnya dari keragaman nilai produksi dipengruhi faktor- faktor lain di luar
model regresi. Faktor- faktor lain di luar model yang diduga berpengaruh tersebut
adalah tingkat kesuburan lahan, intensitas serangan hama, dan faktor iklim.
Berdasarkan hasil uji-t yang dilakukan Susanto (2004), diperoleh hasil
bahwa faktor produksi jumlah benih, pupuk Urea, dan pupuk TSP berpengaruh
nyata terhadap nilai produksi. Sedangkan faktor produksi luas lahan, puuk KCl
dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap nilai produksi pada taraf
kepercayaan yang ditentukan.
Berdasarkan analisis efisiensi dengan rasio NPM dan BKM, diperoleh
hasil bahwa penggunaan faktor produksi pupuk Urea, KCl, TSP, dan tenaga kerja
tidak efisien (berlebihan), yang ditunjukkan oleh rasio NPM dan BKM yang lebih
kecil dari satu. Sedangkan penggunaan faktor produksi luas lahan dan jumlah
yang tidak efisien ini diduga disebabkan oleh pengetahuan petani yang terbatas
akibat tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi yang rendah serta status
penguasaan lahan.
Penelitian lain mengenai padi ladang dilakukan oleh Rahayu (2001)
dengan judul “Perbandingan Usahatani Padi Ladang Baduy Luar dan Luar Baduy
Dilihat Dari Tingkat Efisiensi dan Subsistensi Usahatani” di Desa Kanekes dan
Desa Jalupang Mulya, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, Banten.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa teknologi usahatani padi ladang yang
digunakan di wilayah Luar Baduy (Jalupang Mulya) lebih maju dibandingkan
dengan Baduy Luar. Hal ini dilihat dari : tingkat pendidikan, luas lahan garapan,
status penguasaan lahan, pengalaman bertani, jenis alat pengolahan lahan, jenis
varietas padi, pupuk, obat dan cara pengobatan hama dan penyakit tanaman, serta
alat pengolahan padi. Namun dari segi analisis pendapatan dengan menggunakan
analisis rasio R/C, usahatani padi ladang di wilayah Baduy Luar (Kanekes)
menghasilkan nilai rasio R/C yang lebih tinggi daripada Luar Baduy (Jalupang
Mulya), dimana rasio R/C atas biaya total untuk Baduy Luar sebesar 0.26
sedangkan R/C atas biaya total untuk luar baduy sebesar 0.11. Demikian juga
dengan R/C atas biaya tunai untuk wilayah Baduy Luar sebesar 1.22, lebih besar
daripada R/C atas biaya tunai untuk Luar Baduy yang sebesar 0.39.
Rendahnya nilai rasio R/C untuk usahatani padi ladang di wilayah Luar
Baduy diduga disebabkan oleh :
(1) Tingkat kesuburan lahan di wilayah Baduy Luar yang lebih subur
dibandingkan dengan wilayah Luar Baduy, dilihat dari segi intensitas
(2) Tingkat upah tenaga kerja luar keluarga di wilayah Luar Baduy lebih tinggi
daripada wilayah Baduy Luar.
(3) Kondisi lingkungan usahatani padi ladang di wilayah Luar Baduy yang
sedang terserang hama dan penyakit.
(4) Penggunaan pupuk dan pestisida yang belum tepat untuk wilayah Luar
Baduy, sementara usahatani padi ladang di wilayah Baduy Luar tidak
menggunakan pupuk dan pestisida sama sekali.
Dilihat dari segi tingkat subsistensi, usahatani padi ladang di wilayah Luar
Baduy tergolong usahatani semi- subsisten mengarah ke komersial
(Transisi-Dinamis), sedangkan usahatani padi ladang untuk wilayah termasuk dalam
usahatani semi-subsisten mengarah ke subsisten (Transisi-Statis). Kesimpulan ini
diambil berdasarkan analisis terhadap : tujuan produksi, nilai rasio upah tenaga
kerja dan rasio faktor input, serta tingkat pendayagunaan lembaga pertanian.
Penelitian yang dilakukan Wana (2000) dengan judul “Analisis
Faktor-faktor Produksi Padi Lahan Kering di Indonesia”, melakukan analisis pendugaan
model respon areal luas panen dan produktivitas padi lahan kering di seluruh
Indonesia. Wana (2000) mengelompokkan Indonesia menjadi tiga daerah regional
yaitu :
Regional I meliputi seluruh provinsi Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
Regional II meliputi seluruh provinsi di pulau Sumatera dan Kalimantan.
Regional III meliputi seluruh provinsi di pulau Sulawesi, NTT, Maluku, Timtim,
dan Irian Jaya.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi
harga beras, luas lahan kering, harga jagung, harga ubikayu, harga kedelai, dan
luas areal panen padi tahun sebelumnya. Sedangkan faktor- faktor yang
mempengaruhi produktivitas padi lahan kering (ladang) di seluruh regional adalah
harga pupuk urea, curah hujan, varietas unggul, dan harga pupuk TSP. Penelitian
ini juga memperoleh kesimpulan bahwa peningkatan produksi dengan
mengupayakan peningkatan luas areal dan produktivitas padi ladang pada
umumnya tidak responsif terhadap faktor- faktor yang berpengaruh, yang memberi
indikasi bahwa di Indonesia terutama di Jawa peningkatan luas areal panen dan
produktivitas sudah hampir mendekati level optimum. Akan tetapi dalam upaya
memenuhi kebutuhan beras nasional dan mengurangi impor beras, kegiatan
produksi harus tetap ditingkatkan.
Yelni (1999) meneliti tentang faktor- faktor yang mempengaruhi
produksi dan pendapatan usahatani padi sawah pada jaringan irigasi teknis (Desa
Tinggar Jaya, Kecamatan Jatilawang) dan irigasi sederhana (Desa Losari,
Kecamatan Rawalo), Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa tingkat produksi per hektar di daerah irigasi teknis lebih
tinggi daripada daerah irigasi sederhana. Perbedaan tingkat produksi tersebut
24.947 kwintal dalam satu tahun (dua musim tanam). Pendapatan atas biaya tunai
dan biaya total yang diperoleh daerah dengan lahan sawah yang menggunakan
irigasi teknis juga lebih tinggi daripada lahan sawah beririgasi sederhana. Rasio
R/C atas biaya tunai di Desa Tinggar Jaya (irigasi teknis) sebesar 2.7554,
sedangkan di Desa Losari (irigasi sederhana) sebesar 2.4193. Rasio R/C atas biaya
total di Desa Tinggar Jaya (irigasi teknis) sebesar 1.5574 dan di Desa Losari
dengan menggunakan analisis model Cobb-Douglas, diperoleh hasil bahwa untuk
usahatani padi sawah di Desa Tinggar Jaya (irigasi teknis), faktor-faktor yang
berpengaruh nyata pada a = 0.05 adalah benih dan pupuk, sedangkan faktor- faktor
yang berpengaruh nyata pada 0.05 < a = 0.10 adalah penggunaan pestisida dan
dummy luas lahan. Sedangkan untuk usahatani padi sawah di Desa Losari (irigasi
sederhana), faktor- faktor yang berpengaruh nyata adalah penggunaan tenaga kerja
dan dummy luas lahan.
Wijaya (2002) melakukan penelitian tentang perbandingan pendapatan
dan efisiensi usahatani padi sawah organik (input rendah) dan usahatani padi
sawah konvensional di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa produktivitas padi organik (input rendah) lebih kecil
dibandingkan padi konvensional. Produktivitas padi organik sebesar 4.569 kg/ha
sedangkan produktivitas padi sawah konvensional sebesar 5.263 kg/ha. Rasio R/C
atas biaya tunai dan atas biaya total pada usahatani padi sawah organik didapat
sebesar 2.68 dan 1.72, sedangkan rasio R/C atas biaya tunai dan atas biaya total
pada usahatani padi sawah konvensional sebesar 2.14 dan 1.63.
Berdasarkan analisis fungsi produksi dengan menggunakan model fungsi
produksi Cobb-Douglas, disimpulkan bahwa usahatani padi organik berada pada
kondisi decreasing return to scale (hasil yang semakin menurun). Faktor- faktor
yang berpengaruh nyata terhadap produksi pada usahatani padi sawah organik
luas lahan, jumlah pupuk TSP yang digunakan, dan tenaga kerja. Sedangkan
faktor- faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi pada usahatani padi
sawah konvensional adalah luas lahan, jumlah benih yang digunakan, pupuk urea,
Berdasarkan analisis efisiensi ekonomi dengan menggunakan rasio Nilai
Produk Marjinal dan Biaya Korbanan Marjinal (NPM/BKM) untuk usahatani padi
sawah organik, diketahui bahwa penggunaan faktor-faktor produksi belum efisien.
Hal ini terbukti dari nilai NPM/BKM semua faktor produksi yang tidak sama
dengan satu. Faktor-faktor yang penggunaannya harus ditingkatkan agar dicapai
level efisien adalah luas lahan, pupuk organik, pupuk daun, pestisida butir, dan
tenaga kerja. Sedangkan faktor- faktor yang penggunaannya berlebihan adalah
pupuk urea dan TSP. Untuk faktor benih dan pestisida cair didapat nilai rasio
NPM dan BKM yang negatif, artinya syarat keharusan untuk mencapai level
efisien tidak teroenuhi sehingga penggunaannya untuk mencapai efisien tidak
dapat diramalkan karena rasio NPM dan BKM tidak akan pernah sama dengan
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Konsep Usahatani
Usahatani adalah setiap kombinasi yang tersusun (terorganisasi) dari alam,
kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian (T.B.
Bachtiar Rifai dalam Hernanto, 1988). Berdasarkan pengertian di atas, maka
suatu usahatani dapat digambarkan lebih rinci sebagai berikut :
a. Adanya lahan dalam luasan dan produk
yang tertentu, unsur ini dalam usahatani
mempunyai fungsi sebagai tempat
diselenggarakannya usaha bercocok
tanam, pemeliharaan hewan ternak dan
tempat keluarga tani bermukim.
b. Adanya bangunan yang berupa rumah petani, gudang, kandang, lantai jemur,
dan lain- lain.
c. Adanya alat-alat pertanian seperti cangkul, parang, garpu, linggis, penyemprot,
traktor, pompa air dan lain- lain.
d. Adanya pencurahan kerja untuk mengolah tanah, menanam, memelihara dan
e. Adanya kegiatan petani yang menetapkan rencana usahataninya, mengawasi
jalanya usahatani dan menikmati hasil usahataninya.
Soeharjo dan Patong (1973) dalam Soekartawi (1986), mengatakan bahwa
ada dua pola usahatani yang sangat pokok yaitu pola usahatani lahan basah dan
lahan kering. Sedangkan bentuk usahatani terdapat tiga jenis yang menunjukkan
bagaimana suatu kondisi diusahakan yaitu : (1) bentuk khusus dimana petani
hanya mengusahakan satu jenis usaha dari sebidang tanah, (2) bentuk tidak khusus
yaitu usahatani yang terdiri dari berbagai cabang usaha pada berbagai bidang
tanah, dan (3) bentuk campuran yaitu usahatani yang memadukan beberapa
cabang usaha secara bercampur, dimana penggunaan faktor- faktor produksi
cenderung bersaing dan batas pemisahan antara cabang usahatani kurang jelas.
Secara umum dalam setiap rumahtangga usahatani pada hakekatnya
terdapat dua kegiatan ekonomi yaitu kegiatan usaha dan kegiatan rumahtangga
atau keluarga. Keluarga usaha menghasilkan produksi, baik yang dijual maupun
untuk dikonsumsi keluarga atau dipergunakan lagi dalam proses produksi
selanjutnya. Untuk kegiatan rumahtangga pada umumnya bersifat konsumtif.
3.2.Pendapatan Usahatani
Pemenuhan kebutuhan hidup rumahtangga usahatani dicukupi dari
pendapatan usahatani. Soeharjo dan Patong (1973) menyatakan bahwa
pendapatan adalah balas jasa dari kerjasama faktor- faktor produksi lahan, tenaga
kerja, modal dan jasa pengelolaan. Pendapatan usahatani tidak hanya berasal dari
kegiatan produksi saja tetapi dapat juga diperoleh dari hasil menyewakan atau
menjual unsur- unsur produksi, misalnya menjual kelebihan alat-alat produksi,
Berkaitan dengan ukuran pendapatan dan keuntungan, Soekartawi (1986)
mengemukakan beberapa definisi :
a. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai uang yang diterima dari
penjualan produk usahatani.
b. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani.
c. Pendapatan tunai usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual.
d. Penerimaan total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai
atau dikeluarkan dalam produksi termasuk biaya yang diperhitungkan.
e. Pengeluaran total usahatani merupakan selisih antara penerimaan kotor
usahatani dan pengeluaran total usahatani.
Secara harfiah pendapatan dapat didefenisikan sebagai sisa dari
pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan.
Pendapatan yang diharapkan tentu saja memiliki nilai positif dan semakin besar
nilainya semakin baik, meskipun besar pendapatan tidak selalu mencerminkan
efisiensi yang tinggi karena pendapatan yang besar mungkin juga diperoleh dari
investasi yang jumlahnya besar pula.
Untuk mengukur keberhasilan usahatani biasanya dilakukan dengan
melakukan analisis pendapatan usahatani. Dengan melakukan analisis pendapatan
usahatani dapat diketahui gambaran keadaan aktual usahatani sehingga dapat
melakukan evaluasi dengan perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan
Untuk menganalisis pendapatan usahatani diperlukan informasi mengenai
keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan.
Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu
tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga
satuan dari hasil produksi tersebut. Sedangkan biaya atau pengeluaran usahatani
adalah nilai penggunaan faktor- faktor produksi dalam melakukan proses produksi
usahatani.
Biaya dalam usahatani dapat dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya
yang diperhitungkan. Biaya tunai usahatani merupakan pengeluaran tunai yang
dikeluarkan oleh petani. Sedangkan biaya yang diperhitungkan merupakan
pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan petani, biaya ini dapat berupa
faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti
sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja
dalam keluarga, penggunaan benih dari hasil produksi dan penyusutan dari sarana
produksi. Pengeluaran usahatani secara umum meliputi biaya tetap (fixed cost)
dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak
dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan. Biaya tetap dapat berupa biaya
sewa lahan, pajak dan bunga pinjaman. Biaya variabel adalah biaya yang sifatnya
dipengaruhi jumlah produksi yag dihasilkan. Biaya variabel dapat berupa biaya
yang dikeluarkan unt uk benih, pupuk, pestisida dan upah tenaga kerja.
Pendapatan usahatani terbagi atas pendapatan kotor usahatani dan
pendapatan bersih usahatani. Pendapatan kotor usahatani mengukur pendapatan
kerja petani tanpa memasukkan biaya yang diperhitungkan sebaga i komponen
dengan biaya tunai usahatani. Sedangkan pendapatan bersih usahatani mengukur
pendapatan kerja petani dari seluruh biaya usahatani yang dikeluarkan.
Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih penerimaan usahatani dengan
biaya total usahatani.
3.3. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio Analysis)
M enurut Soeharjo dan Patong (1973),
pendapatan yang besar bukanlah sebagai
petunjuk bahwa usahatani efisien. Suatu
usahatani dikatakan layak apabila
memiliki tingkat efisiensi penerimaan
yang diperoleh atas setiap biaya yang
dikeluarkan hingga mencapai
perbandingan tertentu.
Kriteria kelayakan usahatani dapat diukur dengan menggunakan analisis
imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis) yang didasarkan pada
perhitungan secara finansial. Analisis ini menunjukkan besar penerimaan
usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan
penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan
atau usahatani dikatakan menguntungkan.
Kegiatan usahatani dikategorikan layak jika memiliki nilai R/C ratio lebih
besar dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya
atau secara sederhana kegiatan usahatani menguntungkan. Sebaliknya kegiatan
usahatani dikategorikan tidak layak jika memiliki nilai R/C ratio lebih kecil dari
satu, yang artinya untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya
atau kegiatan usahatani merugikan. Sedangkan untuk kegiatan usahatani yang
memiliki nilai R/C ratio sama dengan satu berarti kegiatan usahatani berada pada
keuntungan normal.
3.4. Teori Produksi
Setiap proses produksi melibatkan suatu hubungan yang erat antara
faktor-faktor produksi yang digunakan dengan produk yang dihasilkan . Faktor- faktor-faktor
produksi seperti lahan, pupuk, tenaga kerja, modal dan sebagainya sangat
mempengaruhi terhadap besar kecilnya produksi yang diperoleh. Keputusan
penggunaan sumber daya atau input, baik dalam kuantitas maupun kombinasi
yang dibutuhkan dalam suatu tingkat produksi ditentukan oleh petani (produsen).
I II III
Keterangan : TP = Total Produksi
MP = Marginal Product (Produk Marjinal) AP = Average Product (Produk Rata-rata)
Fungsi produksi secara sederhana dapat digambarkan sebagai hubungan
fisik atau hubungan teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan dengan
jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu tanpa memperhatikan faktor