• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Terorisme dalam Pandangan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tindak Pidana Terorisme dalam Pandangan Islam"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Satu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 24 Mei 2017, terjadi dua kasus

bom bunuh diri dalam selang waktu kurang lebih lima menit di dua lokasi yang

berdekatan di sekitar terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tercatat 5 orang

dinyatakan tewas (2 orang pelaku dan 3 orang petugas polisi) dan 11 korban luka

(lima diantaranya adalah warga sipil).

Belum lama negeri dengan segala kemajemukannya ini menikmati masa

damai setelah kasus Bom Kampung Melayu, tiba-tiba pada hari Minggu, 13 Mei

2018, kota terbesar nomor dua di Indonesia yang terletak di timur pulau Jawa,

Surabaya, digegerkan oleh peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di beberapa

tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. 17 orang dinyatakan tewas dalam

rangkaian bom bunuh diri yang dimulai pukul 07.00 WIB, dan berakhir keesokan

harinya pada pukul 08.50 WIB tersebut.1

Citra Indonesia sebagai negara yang cinta damai, dan lebih

mengutamakan asas musyawarah dan kekeluargaan dalam menyelesaikan

masalah, kembali tercoreng di mata dunia. Namun, di atas itu semua, kaum

Muslimin adalah golongan yang paling dirugikan dalam kasus ini. Bagaimana

tidak? Dari sekitar 10 kasus bom bunuh diri, sejak Bom Bali Jilid I di tahun 2002

hingga Bom Surabaya yang terjadi baru-baru ini, seluruhnya melibatkan Muslim

garis keras, sebagai pelaku bom, dan mentargetkan golongan non Muslim dan

polisi sebagai korbannya. Ini tentu saja semakin memperkuat stereotype Islam dan

kaum Muslimin yang terlanjur buruk di mata dunia.

Meskipun peristiwa itu merupakan ulah sebagian kecil gerakan Islam

yang mengklaim bahwa kesempurnaan adalah milik diri mereka sendiri, dan

hanya diri mereka-lah yang benar-benar merepresentasikan jama‟atul muslimin,

dan memandang kelompok-kelompok lain menyimpang dari jalan yang lurus,

1

(2)

namun kaum Muslimin lain, yang lebih mencintai kedamaian dan keseimbangan,

turut menjadi korban pembunuhan karakter yang mereka rancang secara sistematis

tersebut. Seharusnya klaim-klaim semacam ini tidak sepantasnya dimiliki oleh

golongan Islam apapun yang menjalankan aktifitas-nya di kawasan bumi Islam,

dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia ini.2

Sebenarnya kasus-kasus bom bunuh diri di Indonesia bukanlah pemicu

lahirnya label Islam sebagai agama teroris. Isu terorisme mencuat, sekaligus

melekat dalam jubah keislaman, setelah tragedi Menara Kembar World Trade

Center (WTC) pada tanggal 11 September 2001. Meskipun sebenarnya diskursus terorisme bukanlah merupakan fenomena baru. Aksi terorisme secara aktual telah

ada sejak munculnya konstelasi politik di kalangan Syi‟ah yang dipelopori oleh

Hasan bin Sabah (1057), dan rezim-rezim diktator yang berkuasa seperti Vladimir

Lenin (1924), Adolf Hitler (1945), dan Yoseph Stalin (1953).3

Dalam sejarah Islam sendiri dikenal kelompok sempalan sekte Assassin

pecahan kelompok Syi‟ah Ismailiyyah. Sekte ini juga dikenal dengan sebutan

Al-Hasyasyin, yang berafiliasi kepada Daulah Fathimiyah di Mesir dalam urusan politiknya. Sekte Islam radikal ini menghalalkan pembunuhan terhadap

lawan-lawan politiknya, yaitu golongan Bani Saljuk yang mereka klaim telah tersesat

dari jalan yang benar pada abad ke-11 dan ke-13. Tindakan mereka ini oleh

sebagian sejarawan dikategorikan sebagai aksi terorisme.4

Selain kelompok Al-Hasyasyin, ada juga aliran Islam radikal dari

golongan Kha wa rij, yang juga tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan

terhadap pihak-pihak lain yang tidak sepaham, baik dalam bidang keagamaan

maupun politik. Abegebriel (2005:470) mengatakan bahwa istilah kha wa rij

dinisbahkan dari kata kharaja, yang dalam bahasa Arab berarti ‘keluar’. Jadi,

2

Musthafa Muhammad Thahhan. 2007. Rekontruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern. Solo: Era Intermedia. Hal. 23-24.

3

Farid Muttaqin dan Sukardi. 2001. Teroris Serang Islam: Babak Baru Benturan Barat-Islam. Bandung: Pustaka Hidayah. Hal. 33.

4

(3)

golongan Khawarij adalah sekelompok orang yang keluar dari kekhalifahan Islam

yang sah dan tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat.5

Salah satu alasan teroris melakukan tindakan terorisme adalah faktor

ideologis yang erat kaitannya dengan isu fundamentalisme, radikalisme, dan

fanatisme keagamaan. Pada umumnya pelaku-pelaku pengeboman termotivasi

oleh semangat jihad yang digaungkan oleh guru-guru mereka, sebagaimana

diungkapkan oleh trio Bom Bali, Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron. Target

yang mereka incar selalu sama, yaitu golongan yang mereka anggap

berseberangan dengan keyakinan mereka. Bahkan Imam Samudra menganggap

dirinya tidak berdosa ketika dikonfirmasi mengenai beberapa umat Muslim yang turut menjadi korban dalam aksi pengebomannya. Dia mengatakan bahwa, “Jika mereka (korban Muslim)sedang ber-amal shalih, seperti menca ri nafkah untuk keluarganya, maka mereka mati syahid.” Ideologi semacam ini tentu saja sangat membahayakan, bukan hanya untuk golongan non Muslim, tapi juga bagi umat

Islam, karena orang akan dengan mudahnya membunuh orang lain hanya karena

perbedaan ideologi.

Teroris dalam hukum di Indonesia sering dijadikan media implementasi

loyalitas dan ketaatan keagamaan yang merupakan bagian dari strategi

perjuangan. Strategi perjuangan ini kemudian dipopulerkan dengan semboyan

jihad fii sabiilillah. Namun, meskipun berlindung di balik perintah jihad, ternyata banyak orang yang tidak berdosa juga turut menjadi korban, dan kepentingan

publik menjadi rusak, serta memunculkan fenomena disharmonisasi nasional.6

Tulisan ini dibuat untuk menganalisis tindak pidana terorisme dalam pandangan

hukum Islam, dan langkah apa saja yang seharusnya ditempuh pemerintah dalam

menindak pelaku terorisme, serta apakah sanksi hukum yang paling tepat bagi

(4)

1.2. Permasalahan

Permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap tindak pidana terorisme?

2. Bagaimana pemerintah Republik Indonesia menyikapi tindak pidana

terorisme?

3. Apakah sanksi hukum yang paling tepat bagi pelaku tindak pidana terorisme?

1.3. Tujuan

Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Menegaskan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan tindak pidana

terorisme.

2. Memberikan penilaian terhadap efektifitas langkah yang ditempuh

pemerintah Republik Indonesia untuk mengatasi tindak pidana terorisme.

3. Sebagai masukan kepada anggota legislatif dalam menyusun undang-undang

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

TERORISME DALAM PANDANGAN ISLAM

2.1. Islam dan Terorisme

2.1.1. Terorisme

Terorisme adalah sebutan yang ditujukan kepada kelompok atau

golongan tertentu yang melakukan aksi teror. Sedangkan kata teror sendiri

secara etimologis berasal dari bahasa latin terrere yang berarti

menyebabkan ketakutan.7 Secara Terminologis, terorisme diartikan sebagai

“Tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara sengaja dengan tujuan untuk mempenga ruhi atau mengintimidasi orang lain atau kelompok laindgn tujuan untuk membuat yang bersangkutan merasa tidak aman, tidak nyaman, dan diakhiri dengan tindaka n penghancuran fisik maupun non-fisik.”8

Sedangkan menurut Literatur Sosiologi Barat, terorisme adalah

sebuah bentuk aksi bermotif politik yang mengabungkan unsur-unsur

psikologi, seperti mengancam dan aksi kekerasan, yang dilakukan oleh

individu atau sekelompok kecil individu dengan tujuan agar tuntutan mereka

terpenuhi.9 Adapun PBB mendefinisikan terorisme sebagai

perbuatan-perbuatan yang membahayakan jiwa manusia yang tidak berdosa,

menghancurkan kebebasan asasi, atau melanggar kehormatan manusia. Pada

dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memilki konotasi

yang sensitif karena terorisme mengakibatkan timbulnya korban warga sipil

yang tidak berdosa.10

7

Mark Juergens Meyer. 2002. Teror atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama. Edisi Terjemahan oleh M. Sadat Ismail. Jakarta: Mizan Press. Hal. 5.

8

Eusta Supono. 2002. Terorisme. Artikel dalam dalam Harian Bernas Edisi Kamis, 17 Oktober 2002. Hal. 2.

9

Agus Supriyanto. 2010. Hukum Jihad dan Terorisme dalam Perspektif Al-Quran. Mashlahah Vol. 1 No. 1 Edisi Juli 2010. Hal. 33.

10

(6)

Berikut ini beberapa pandangan ulama yang mewakili suara umat

Islam tentang terorisme:

1. Majma‟ Al-Fiqhi Al-Islamy (Lembaga Fiqih Internasional) membuat

definisi bahwa, “Terorisme adalah suatu permusuhan yang ditekuni

oleh individu-individu, kelompok-kelompok atau negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia, baik dalam bidang agama, darah, akal, harta, maupun kehormatan.11

2. Majma Al-Buhus Al-Islamiyah Al-Azhar berpendapat bahwa, “Terorisme adalah perbuatan membuat takut ora ng-orang yang aman, menghancurkan kema shlahatan dan tonggak kehidupan mereka, serta melampaui batas terhadap harta, kehormatan kebebasan, dan kemuliaan manusia dengan penuh kesewenang-wenangan da n kerusakan di muka bumi.” 12

3. Majelis Ulama Indonesia memberikan pengertian bahwa, “Terorisme

adalah adalah salah satu bentuk kejahatan yang terorganisir (well-organized crime) bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar bia sa (extra ordina ry crime) yang tidak membeda -bedakan sasaran (indiscriminate) terhadap kemanusiaan dan peradaban, yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perda maian dunia, serta merugikan kesejahteraaan masyara kat.”13

4. Hasyim Muzadi (mantan Ketua PBNU) berpendapat bahwa,

“Terorisme adalah aksi kekerasaan yang menimbulkan ketakutan dan kekacauan umum dengan sasa ran yang tidak jela s dan aksi yang tidak terukur. Aksi tersebut bisa dilakukan secara terorganisir maupun tidak.14

11

Agus Supriyanto. Op cit. Hal. 32. 12

Agus Supriyanto. Op cit. Hal. 34. 13

Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme. Hal. 80.

14

(7)

5. Said Aqil Siradj (mantan Ketua PBNU) menyebut aksi terorisme

dengan istilah irhab, yaitu kejahatan yang mengancam dan merenggut

jiwa manusia. Terorisme termasuk kejahatan kelas berat. Ini berbeda

dengan sikap fanatik yang berlebihan dalam menjalankan suatu

keyakinan, yang disebut dengan istilah tanaththu‟. Orang-orang yang

bersikap tanaththu‟ belum tentu melakukkan irhab, namun

pelaku-pelaku irhab biasanya memiliki sikap tanaththu.15

Dalam sejarah, kata terorisme sebenarnya sudah lazim digunakan

dalam pengertian politis untuk merujuk pada serangan terhadap tatanan sipil

pada akhir abad XVIII. Namun tragedi runtuhnya menara WTC membuat

istilah ini kembali mengemuka dalam wacana internasional yang dipelopori

Amerika. Dengan tuduhan aksi terorisme, Amerika dan sekutu-sekutunya

kemudian memulai propaganda-nya dengan melancarkan serangan-serangan

fisik ke negara-negara Islam, termasuk juga kepada kaum Muslimin yang

hidup sebagai kaum minoritas, dan secara sistematis menebarkan virus

terorisme ke berbagai wilayah dunia, terutama ke negara-negara dengan

kelompok-kelompok Islam tertentu, tak terkecuali Indonesia.

Meskipun tindak pidana terorisme dapat dilakukan oleh siapa saja

di luar Islam, baik oleh lembaga-lembaga besar seperti negara maupun

organisasi-organisasi yang lebih kecil seperti kelompok-kelompok

keagamaan tertentu (Yahudi, Nasrani, Hindu, Buddha), akan tetapi

sepertinya dunia barat telah sepakat untuk memberi label kepada Islam

sebagai agama terorisme, yang akhirnya membentuk opini bahwa Islam

adalah agama kekerasan. Sehingga, seakan-akan terbangun kesan bahwa

kaum Muslimin adalah satu-satunya umat yang bertanggung jawab atas

setiap aksi teror.

Sebagai agama sama wi terakhir, Islam bukanlah agama yang

mengumpulkan orang-orang barbar yang senang berbuat terror.

Sebagaimana namanya, Islam merupakan agama yang melambangkan

15

(8)

keselamatan dan kedamaian, dan akan selalu terus menggaungkannya ke

seluruh belahan dunia. Islam adalah suatu sistem yang sangat komprehensif

yang di dalamnya terkandung nilai-nilai ideologi, keyakinan, moralitas, dan

juga hukum. Sayangnya, akibat ulah segelintir orang yang tidak

bertanggung jawab, pesan damai yang disampaikan oleh para ulama dalam

setiap majelis dan kajian Islam seolah hilang ditelan suara bom, jerit tangis

korban, dan debu serta puing-puing dari aksi pengeboman. Hal ini tentu saja

menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi seluruh umat Islam di dunia. Di satu

sisi, umat Muslim harus berjuang membersihkan kredibilitas agama Islam,

di lain sisi kaum Muslimin dipaksa harus bersabar menghadapi tekanan dan

kekerasan dunia barat.

2.1.2. Hukum Islam tentang Terorisme

Terminologi terorisme dalam bahasa Arab memiliki makna yang

identik dengan al-irhaab (intimidasi), al-hiraaba h (perampokan), al-baghy

(pemberontakan), qaathi„ ath-thariiq atau quththa„ ath-thariiq

(pembegalan), dan al-„unf (kekerasan atau kekejaman). Menurut Abd

al-Hayy al-Farmaawiy (2006:101-104), istilah-istilah yang semakna dengan

terorisme disebutkan sebanyak 80 kali di dalam Al-Quran, antara lain

al-baghy, ath-thughyân (kesewenang-wenangan atau melampaui batas, seperti

di QS. Al-Hud ayat 112), azh-zhulm (kezaliman seperti di QS. Al-Furqan

ayat 19), al-i‟tida‟ (melampaui batas seperti di QS. Al-Baqarah Ayat 190,

QS. Al- Maaidah ayat 87), al-qatl (pembunuhan seperti di QS. Al-Maaidah

ayat 32), al-harb (peperangan seperti QS. Al-Maaidah ayat 33-34), dan

ayat-ayat lainnya.16

Satu hal yang perlu ditegaskan, istilah-istilah di atas dikategorikan

sebagai aksi teror hanya jika memenuhi kriteria atau unsur-unsur terorisme,

misalnya dilakukan dengan aksi kekerasan, menimbulkan kepanikan

masyarakat, menimbulkan kerugian jiwa dan materi lainnya, dan memiliki

16

(9)

tujuan politik. Berikut ini terminologi Islam tentang terorisme yang banyak

dibahas dalam kitab-kitab fiqih, baik kitab fiqih klasik maupun

kontemporer:

1. Al-Irhaab

Secara etimologi, kata irhab merupakan kata turunan yang berakar pada

kata rahiba yang berarti ancaman atau intimidasi,17 namun dapat juga

diartikan sebagai akhaafa (membangkitkan rasa takut) atau fazza‟a

(membuat rasa ngeri atau membuat hati bergetar).18 Secara terminologi,

kata irhaab diartikan sebagai rasa takut yang ditimbulkan oleh aksi-aksi

kekerasan seperti pengrusakan, pembunuhan, dan pengeboman.

Sedangkan Al-Irhaabiy artinya orang-orang yang menempuh jalan teror

dan kekerasan.19 Salah satu ayat Al-Quran yang memaktub perintah

irhaab adalah QS. Al-Anfaal ayat 60 yang berbunyi:

ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan (irhaab) musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang ka mu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepada mu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfaal, 8:60)

17

Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif. Hal. 539.

18

Abu al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhûr alAfriqî al-Mishrî. 1990. Lisân al-„ArabJilid I. Beirût: Dâr Shâdir. Hal. 436; dan Luis Ma’lûf. Al-Munjid fî al-Lughah

wa al-A‟lâm. Beirut: Dâr al-Masyriq. Hal. 282.

19

(10)

Sayangnya, surat Al-Anfaal di atas disalahgunakan oleh penganut Islam

radikal untuk menggentarkan musuh-musuh Islam dengan aksi teror

pengeboman. Meskipun kata al-irhaab dalam ayat tersebut memiliki

makna derivatif yang identik dengan teror, akan tetapi pengertian

semantik dari ayat tersebut tidak sama dengan pengertian yang telah

mereka belokkan. Dalam Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab

(2002:461) mengatakan bahwa pengertian dari menggentarkan musuh

Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya dalam ayat tersebut bukan ditujukan kepada masyarakat umum, orang-orang yang tidak bersalah, dan bukan juga kepada

seluruh orang-orang yang bersalah, tetapi hanya ditujukan kepada

musuh-musuh Allah dan musuh-musuh masyarakat umum yang ingin

menimbulkan mudharat. Ayat ini sebenarnya merupakan perintah

Allah kepada umat Islam agar senantiasa dalam keadaan siap siaga

untuk menghadapi musuh Allah dan musuh umat Islam. Siap siaga yang

dimaksud di sini dapat berupa persiapan militer secara menyeluruh,

antara lain meningkatkan kuantitas dan kualitas pasukan tempur,

peralatan tempur (pedang, tombak, dan kuda), serta menjaga pos

perbatasan. Dengan persiapan seperti itu akan memberikan dampak

psikologis bagi musuh agar tidak meremehkan umat Islam dan bahkan

bisa menimbulkan ketakutan pihak musuh.20

2. Al-Hiraabah

Kata al-hiraabah sendiri dalam bahasa Inggris memiliki arti forest

and/or mountain robbery (perampokan di tengah hutan atau di lereng pegunungan, termasuk juga di jalan raya). Dengan pegertian ini, kata

tersebut memiliki pengertian yang sama dengan qitha‟ath thoriiq

(pembegalan).21 Al-hiraabah termasuk tindak pidana kriminal karena

mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban dalam suatu tatanan

20

M. Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Mishbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur‟an Vol. V. Jakarta: Lentera Hati. Hal. 461.

21

(11)

masyarakat. Aksi tersebut biasanya ditandai dengan penggunaan senjata

yang bertujuan menciptakan kekacauan, membunuh, merusak dan

merampas harta benda, menghancurkan lahan pertanian dan peternakan

serta menolak eksistensi paraturan perundang-undangan.22 Ulama fiqih

mendefinisikan al-hiraabah dengan konsepsi yang agak berbeda,

contohnya Abdul Rahman Al-Jaziriy yang menjelaskan pandangan

berbagai madzhab. Menurutnya, dalam pandangan Hanafiyah,

al-hiraabah adalah “Kelua r untuk mengambil harta disertai dengan kekera san, menakut-nakuti atau mengancam pengguna jalan akan membunuh mereka atau merampas harta benda mereka. Sedangkan

menurut Syafi’iyyah, al-hiraabah adalah Keluar untuk memperoleh

harta atau membunuh atau menakut-nakuti dengan menggunakan kekera san atau kekuatan (power) di tempat sepi.” 23

Imâm Mâlik

memberikan pengertian al-hirâbah dengan bahasa yang jelas, yaitu “Mengambil hartaorang lain dengan tipu muslihat, baik menggunakan kekuatan maupun tidak.” Teror yang ditebarkan oleh pelaku al-hiraabah adalah menebar rasa takut kepada masyarakat dan musuh-musuh mereka dengan cara merampok dan/atau membunuh. Oleh

karena itu, tindak pidana (jariimah) al-haraabah juga masuk ke dalam

kategori tindakan terorisme.

3. AL-Baghy

Al-Baghy (pemberontakan) dapat dikategorikan aksi terorisme jika dilakukan dengan kekerasan, menimbulkan kepanikan dan kerusakan

tatanan kehidupan masyarakat. Jadi, tidak semua aksi pemberontakan

dapat dikelompokkan sebagai terorisme. Sekalipun tidak terdapat

kesepakatan tentang memasukkan al-baghy (pemberontakan) sebagai

bagian dari terminologi terorisme dalam Islam, Badr Nâshir (2005:57)

justru berpendapat bahwa al-baghy (pemberontakan) merupakan

22

Dede Rosyada. 1999. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 90-91.

23

(12)

terorisme.24 Kesamaan yang dimiliki oleh al-baghy dengan al-hiraabah adalah keduanya sama-sama menimbulkan gangguan stabilitas

keamanan. Adapun perbedaan di antara keduanya teretak pada

tujuannya. Al-hiraabah ditujukan untuk menguasai harta orang lain

dengan menggunakan kekerasan, sedangkan al-baghy ditujukan untuk

mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah melalui kudeta.

Dengan demikian keduanya juga memiliki perbedaan faktor yang

melatarbelakangi-nya, yaitu ekonomi dan politik. Dalam politik hukum

Islam, kelompok-kelompok yang melanggar hukum dan ingin merebut

kekuasaan disebut al-baaghy (tunggal) dan al-bughaat (jamak), yang

diartikan sebagai mencari dan menuntut sesuatu dengan cara lalim dan

sewenang-wenang. Jadi intinya, kaum bughaat adalah golongan yang

berseberangan dengan kepala pemerintahan yang sah dengan menolak

hak dan kewajibannya atau bermaksud menggulingkannya.25

Apapun bentuknya, tindakan terorisme yang dilakukan oleh kaum

Muslimin, meskipun mereka mengatasnamakan perbuatan mereka sebagai

manifestasi ketaatan mereka terhadap perintah Allah yang dituangkan ke dalam

ayat-ayat jihad dalam Al-Quran dan perintah Rosululloh dalam Al-Hadits, baik itu

pembunuhan, pengeboman, pembajakan, perampokan, pengintimidasian, maupun

pemberontakan, merupakan tindakan yang diharamkan dan tidak dapat

dibenarkan. Hal itu didasari oleh pertimbangan-pertimbangan berikut:

1. Terorisme bertentangan dengan nash-nash yang melarang manusia untuk

berbuat kerusakan di muka bumi, sebagaimana yang diterangkan dalam QS.

Al-Baqarah 2:11, QS. Al-An’aam 6:151, QS. Al-A’raaf 7:56 dan 85, dan QS.

Al-Qashash 28:77. Dimana teks-teks dalam ayat-ayat tersebut menggunakan

shighat nahy (larangan), sedangkan setiap larangan memiliki hukum asal haram, terkecuali ada keterangan atau penjelasan yang mengubah hukum

24

Badr bin Nâshir al-Badr. 2005. Al-Irhâb Haqîqatuh Asbâbuh, Mauqif al-Islâm minh. Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah. Hal. 57.

25

(13)

dasar tersebut. Ini sejalan dengan kaidah ushul, yakni al ashlu fin nahy attahriimu (asal dari larangan adalah keharaman);26

2. Terorisme bertentangan dengan prinsip adh-dharûriyyât al-khams, yang

menegaskan bahwa umat Islam berkewajiban melindungi lima kebutuhan

manusia, yaitu penjagaan terhadap agama (hifzhu ad-diin), penjagaan

terhadap diri (hifzhu an-nafs), penjagaan akal (hifzhu al-aql), penjagaan

keturunan (hifzhu an-nasl), dan penjagaan terhadap harta (hifzhu al-maal).27

Kalau seseorang membunuh, menciderai, dan merusak harta manusia lainnya

berarti telah melanggar hak-hak dasar manusia lainnya (human rights);28 dan

3. Terorisme bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan,

permusyawaratan, dan keadilan dalam Islam, padahal prinsip-prinsip tersebut

sangat ditekankan dalam Islam.

Ketiga pertimbangan di atas mempertegas bahwa terorisme sebenarnya

adalah merupakan penyalahgunaan konsep jihad dengan menggunakan aksi teror

dalam Islam, dan oleh sebab itu haram hukumnya.

2.2. Tindakan Pemerintah terhadap Aksi Terorisme

Menurut hukum di Indonesia, terorisme adalah kejahatan luar biasa dan

merupakan kejahatan internasional karena banyaknya pelaku teroris yang terikat

satu sama lain dalam jaringan antar negara. Menurut Perpu Nomor 1 Tahun 2003,

yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang dimaksud dengan tindak pidana

terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang yang dengan segaja menggunakan

kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa

takut terhadap publik secara luas. Tindakan dengan cara merampas kemerdekaan

(14)

atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau menghancurkan

obyek-obyek vital yang strategis atau fasilitas publik/internasional tersebut,

bahkan dapat menimbulkan korban yang bersifat massal. Berdasarkan definisi

tersebut, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai aksi terorisme jika memenuhi

unsur-unsur di bawah ini:

a. Dilakukan dengan menggunakan cara kekerasan dan anacaman untuk

menciptakan ketakutan publik;

b. Ditujukan kepada negara, atau masyarakat, atau individu, atau kelompok

masyarakat tertentu;

c. Menyebarkan teror yang meresahkan masyarakat, seperti membunuh,

menghancurkan obyek-obyek vital milik negara, merusak fasilitas publik

yang dapat menimbulkan korban jiwa;

d. Melakukan kekerasan dengan cara yang sistematis dan terorganisir dengan

maksud untuk mendapatkan dukungan; dan

e. Menjadikan kelompok tertentu sebagai sasaran teror, seperti pemerintah,

kelompok etnis tertentu, partai politik tertentu, dan sebagainya.

Merujuk pada data-data dan fakta di lapangan, setiap aksi terorisme,

siapapun pelakunya, kapanpun terjadinya, dan dimanapun lokasinya, secara garis

besar memiliki tiga sifat yang fundamental, yaitu:

1. Pengrusakan secara massif terhadap aset-aset publik, baik properti, sumber

daya alam, maupun pusat-pusat kebudayaan;

2. Pembunuhan warga sipil, yang tentu saja tidak dibenarkan dalam hukum

apapun, baik dalam keadaan perang apalagi dalam suasana damai; dan

3. Menimbulkan ketakutan secara luas di masyarakat.

Tindak pidana terorisme dalam hukum pidana di Indonesia telah diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II Bab I tentang Kejahatan

Terhadap Keamanan Negara, Bab VII tentang Kejahatan yang Membahayakan

Keamanan Umum Bagi Orang atau Barang (yang merupakan bagian unsur

(15)

atau Pengrusakan Barang. Dalam KUHP bahwa dapat dikatakan sebagai tindak

pidana terorisme jika tindak pidana tersebut membuat kekacauan bagi keamanan

suatu negara dan membahayakan keamanan bagi masyarakat umum dengan

pengerusakan dan penghancuran barang milik negara yang mempunyai dampak

yang besar bagi suatu negara. Adapun ancaman pidana bagi pelaku terorisme yang

terdapat dalam KUHP adalah sebagai berikut:

a. Makar yang bertujuan agar wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau untuk

memisahkan diri dari negara, diancam penjara seumur hidup, atau selama

waktu tertentu, atau maksimal 20 tahun (Pasal 106);

b. Makar untuk menggulingkan pemerintah, diancam penjara maksimal 15

tahun, sedangkan untuk otak makar diancam penjara seumur hidup, atau

maksimal 20 tahun (Pasal 107 Ayat (1) dan (2));

c. Melakukan pemberontakan dengan senjata, diancam penjara maksimal 15

tahun, adapun pemimpin pemberontakan diancam penjara seumur hidup atau

maksimal 20 tahun (Pasal 108 ayat (1) dan (2));

d. Sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan, atau banjir, diancam penjara

maksimal 12 tahun jika membahayakan barang orang lain, maksimal 15 tahun

jika membahayakan nyawa orang lain, dan penjara seumur hidup atau

maksimal 20 tahun jika mengakibatkan orang lain kehilangan nyawa (Pasal

187);

e. Merusak dan menghancurkan barang, atau melukai dan membunuh hewan

orang lain diancam penjara maksimal 2 tahun 8 bulan (Pasal 406);

Tindak pidana terorisme yang kian meresahkan membuat pemerintah

mengkategorikannya sebagai tindak pidana khusus, dengan mengeluarkan

Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme. Mengingat banyaknya kasus tindak pidana terorisme yang tidak lagi

menggunakan KUHP menjadikan tindak pidana yang dimaksud dalam kelima

pasal tersebut diatas bukan merupakan unsur dari kejahatan tindak pidana

(16)

terorisme adalah perbuatan melawan hukum sesuai dengan penjelasan dalam pasal

6, yaitu:

Setiap orang yang dengan segaja menggunakan kekera saan atau ancaman kekera saan menimbulkan suasana teror atau rasa ta kut terhadap orang seca ra meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampa s kemerdekaan atau hilangnya nya wa atau harta benda orang lain, atau menga kibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Delik-delik formil tindak pidana terorisme sesuai yang diatur oleh UU

No. 15 Tahun 2003, terdapat dalam pasal-pasal berikut:

1. Pasal 7 mengatur bahwa tindak pidana terorisme adalah perbuatan-perbuatan

yang menggunakan kekerasaan atau ancaman kekerasaan yang menimbulkan

suasana teror atau rasa takut secara meluas di tengah-tengah masyarakat, atau

menimbulkan korban secara missal;

2. Pasal 8 mengatur tindak pidana terorisme yang dilakukan terhadap segala hal

yang berkaitan dengan pesawat udara, seperti merusak bangunan untuk

pengamanan lalu lintas udara (termasuk menghalangi pengamanannya),

merusak alat pengamanan penerbangan (termasuk mengambil atau

memindahkan, dan memasang alat yang keliru), dan tindakan membahayakan

keselamatan penerbangan lainnya;

3. Pasal 9 mengatur tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan senjata api,

amunisi, bahan-bahan peledak dan bahan-bahan lain yang berbahaya, seperti

memiliki, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan,

memasukkan ke dan mengeluarkannya dari Indonesia;

4. Pasal 10 mengatur tentang tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan

penggunaan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,

radioaktif atau komponennya untuk menimbulkan teror atau rasa takut secara

(17)

5. Pasal 11 mengatur tentang tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan

penyediaan dan pengumpulan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme

sebagaimana diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10;

6. Pasal 12 mengatur tentang tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan

penyediaan dan pengumpulan dana untuk senjata kimia, senjata biologis,

radiologi, mikroorganisme, radio aktif, dan yang semacamnya;

7. Pasal 13 mengatur tentang tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan

pemberian bantuan kepada pelaku tindak pidana terorisme;

8. Pasal 14 mengatur tentang tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan

perencanaan dan penggerakkan orang untuk melakukan tindak pidana

terorisme;

9. Pasal 15 mengatur tentang tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan

permufakatan, percobaan, ataupun pemberian bantuan untuk melakukan

tindak pidana terorisme; dan

10. Pasal 16 mengatur tentang tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan

orang dari luar wilayah NKRI yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana,

atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme;

Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, termasuk implementasinya di lapangan, merupakan upaya

terbesar pemerintah dalam menghadapi aksi terorisme yang telah menimbulkan

rasa takut dan disharmonisasi dalam skala nasional di Indonesia.

2.3. Sanksi Hukum yang Sesuai bagi Pelaku Terorisme

Dalam perspektif hukum Islam, jarimah atau tindak pidana (delik

hukum) dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Jarimah hudud, artinya delik hukum yang sanksi hukumannya telah

ditetapkan oleh syara‟ untuk mencegah seseorang terjerumus ke dalam

kejahatan yang sama sekaligus menghapus dosa-dosanya. Yang termasuk ke

(18)

a. Had Az-Zina (hukuman bagi pelaku perzinaan) untuk penjagaan keturunan dan nasab, berupa jilid atau cambuk sebanyak 100 kali dan

diasingkan selama satu tahun (bagi pelaku zina ghoiru muhshon belum

pernah menikah) dan rajam atau hukuman mati dengan cara dilempari

dengan batu (bagi pelaku zina muhshon atau sedang/pernah menikah);

b. Had al-Qadzf (hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berzina dengan tanpa saksi dan bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga diri,

berupa jilid atau cambuk sebanyak 80 kali;

c. Had al-Khamr (hukuman bagi orang yang mengkonsumsi khamr (segala sesuatu yang memabukkan)) untuk menjaga akal, berupa jilid atau cambuk sebanyak 80 kali (menurut Imam Syafi’i, 40 kali sebagai hukum

had dan 40 kali sebagai hukum ta‟zir yang dijatuhkan hanya jika

dipandang perlu oleh hakim);

d. Had as-Sariqah (hukuman bagi pencuri) untuk menjaga harta, berupa potong tangan dan kaki;

e. Had al-Hirâbah (hukuman bagi para pengganggu keamanan) untuk menjaga jiwa, harta, harga diri, dan kehormatan, berupa hukuman mati

(qishash) jika sampai menghilangkan nyawa orang lain, hukuman mati dengan disalib jika melibatkan perampasan harta dan pembunuhan,

pemotongan anggota badan jika hanya melibatkan perampasan harta

orang lain; dan pengasingan jika hanya menakut-nakuti orang dan tidak

melibatkan perampasan harta maupun pembunuhan;

f. Had al-Baghi (hukuman bagi para pemberontak) untuk menjaga agama dan jiwa, berupa hukuman mati; dan

g. Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama, berupa hukuman mati dan hukuman tambahan berupa perampasan hartanya (Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat seluruh hartanya dirampas, sedangkan menurut Imam Abu Hanifa hanya harta yang dikumpulkan

setelah murtad saja yang dirampas adapun harta yang diperolehnya

(19)

2. Jarimah ta‟zir, artinya pelanggaran yang hukumannya, baik bentuk maupun

jenisnya, tidak ditetapkan secara syar‟i, sehingga wewenang putusan berada

di tangan hakim. Jarimah ta‟zir dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan hak Allah, artinya segala sesuatu

yang mengancam kemaslahatan umum, seperti berbuat kerusakan di

muka bumi, dan tidak taat kepada ulil amri.

b. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba,

artinya segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan individu, seperti

menghina dan tidak membayar hutang.

Dengan ketentuan hukum di atas, maka hukuman yang paling setimpal

bagi pelaku tindak pidana terorisme adalah penegakkan hukum Islam. Mengingat

pelaku-pelaku aksi terorisme mendasari tindakannya pada perintah jihad, maka

mereka juga harus dihukum berdasarkan hukum Islam. Kemudian

pelaksanaannya-pun jangan terlalu lama. Ketika telah jatuh putusan, maka harus

segera dieksekusi. Dengan begitu akan menimbulkan efek jera kepada pelakunya,

dan membuat calon-calon teroris lain berpikir ratusan kali sebelum mereka

(20)

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Meskipun hukum Islam lebih banyak bicara tentang tindak pidana

dengan jumlah korban perorangan, sedangkan aksi terorisme merupakan tindak

pidana kriminal yang biasanya melibatkan korban yang lebih dari satu, namun

sebagai konsep dasar, hukum Islam sepertinya relatif lebih tepat menjadi basis

dari konsep hukum yang menyangkut tindak pidana terorisme.

3.2. Saran

Sanksi hukuman berupa hukuman mati, pemotongan tangan dan kaki, jilid

atau cambuk, pencabutan hak waris, serta pengasingan bagi pelaku pelanggaran

hukum Islam dapat pula diimplementasikan kepada pelaku terorisme. Hukuman

mati (qishash) diterapkan dalam kasus yang menyebabkan hilangnya nyawa

seseorang, potong tangan dan kaki kepada pelaku pengrusakan objek-objek vital

yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak (QS. Al-Maidah 5:33), jilid atau

cambuk diterapkan kepada penebar kabar dusta yang menimbulkan teror atau rasa

takut secara luas, pencabutan harta waris diberlakukan karena sengaja melukai

dan membunuh korban sesama Muslim yang mengisyaratkan permusuhan

terhadap Islam, dan pengasingan diberlakukan kepada pelaku aksi terorisme yang

Referensi

Dokumen terkait

melalui cara pre-emtif yaitu penanaman nilai/norma terhadap seseorang,cara preventif yaitu merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran

Essential oil Lemon sebagai antibakteri terhadap bakteri pembusukan buah Melon potong segar lebih baik dibanding Jeruk, ditunjukkan oleh daya hambat

Segala materi yang digunakan seharusnya berhubungan dengan topik yang sedang dibahas di dalam pelajaran, sehingga fokus dalam proses pengajaran bahasa asing tidak

Agenda Clustering Requirement untuk clustering Tipe data dalam cluster analysis Interval-scale variable Binary variable Nominal variable Ordinal variable Ratio-scaled

Hasil temuan penelitian dari Kiranasari(2011)memperlihatkan bahwaperbedaan respon antara laki-laki dan perempuan yang terjadi tidak begitu mempengaruhi

Mulia (pembelian tgl. Dijual barang dagangan secara kredit pd CV. Biaya sewa kantor bulan Desember 1998 Rp. Diterima kembali brg dagangan yang dijual tgl 17 Des. Diterima pembayaran

Dengan adanya komposit EPDM dengan karet alam dan bahan proses lainnya (Tabel 1) maka terjadi ikatan sambung silang yang membentuk struktur jaringan tiga dimensi

Revitalisasi Peran Keluarga dalam Membangun Generasi Bangsa yang Berkarakter..., hlm.. Begitu juga dengan orang tua yang hobi membaca dan mengajarkan anaknya untuk