• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Motivasi Berprestasi Terhadap komitmen Kerja Pegawai dengan Kepemimpinan sebagai Variabel Moderating Di Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Motivasi Berprestasi Terhadap komitmen Kerja Pegawai dengan Kepemimpinan sebagai Variabel Moderating Di Universitas Sumatera Utara"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka

penyusunan penelitian ini. Kegunaanya untuk mengetahui hasil yang telah dilakukan

oleh peneliti terdahulu.

Desianti (2008:1) dalam penelitiannya Pengaruh Gaya Kepemimpinan

Terhadap Komitmen Organisasi PT. Pos Indonesia (Persero) Semarang, yang

bertujuan untuk menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap boatmen

organisasi, dengan mengukur pengaruh gaya kepemimpian transformasional dan

kepemimpinan transaksional terhadap komitmen organisasi. Apakah ada pengaruh

yang positif dan signifikan dari gaya kepemimpinan yang dikumpulkan secara

langsung dengan metode koesioner, yaitu multifaktor leadership questionnaire

(MLQ) untuk mengukur persepsi komitmen organisasi. Populasi penelitian ini

karyawan PT Pos Indonesia (Persero) Semarang yang meliputi kantor pos cabang

Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Jumlah sampel sebanyak 150 responden yang

diambil dengan teknik proportional random sampling. Metode analisis adalah

kualitattf dan kuantitatif Analisis kuantitatif yang dilakukan dengan menggunakan uji

regresi berganda dengan uji hipotesis yang ditetapkan pada tingkat signifikansi 5 %.

Berdasarkan hasil penelitian ini diperolah bahwa gaya kepemimpinan

(2)

dan signifikan terhadap komitmen organisasi dengan besar pengaruh yang berbeda.

Kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap

komitmen organisasi dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional.

Suliman (2002:1) dalam penelitiannya dengan melakukan kuesioner kepada

1000 karyawan yang dilakukan dengan teknik random sampling dari 20 perusahaan di

Timur Tengah menguji pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja

pegawai (karyawan) dimana komitmen organisasi diukur melalui dua dimensi yaitu

komitmen yang timbul secara langsung (affective commitment) maupun komitmen

yang berkelanjutan (continuance commitment), hasil penelitiannya menunjukan bahwa komitmen yang kuat baik melalui komitmen yang timbul secara langsung

(affective Commitment) maupun komitmen yang berkelanjutan (continuance

commitment) memberikan kontribusi yang tinggi dalam meningkatkan dan memenuhi kepuasan kerja pegawai. Dengan komitmen yang kuat, pegawai akan termotivasi

untuk bekerja keras untuk kemajuan organisasi.

Sugito (2008 : 6) dalam penelitiannya Hubungan Antara Kepuasan Kerja dan

Kompensasi Dengan Komitmen Karyawan Pada Organisasi (Studi Kasus Pada PT.

Inti Karya Persada Tehnik. Variabel yang diteliti kepuasan kerja, kompensasi dan

komitmen karyawan dengan menggunakan metode deskriptif dan korelasional dengan

melibatkan 83 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja

tergolong tinggi. Kompensasi tergolong baik dan komitmen karyawan pada

organisasi tergolong tinggi. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kepuasan

(3)

ini memberikan arti bahwa semakin tinggi kepuasan kerja maka semakin tinggi

komitmen organisasi.

Prantiya (2008:1) dalam penelitiannya Kontribusi Fasilitas Belajar dan

Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Kimia pada Siswa SMA Negeri 1

Karangnongko Kabupaten Klaten menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara

kontribusi fasilitas belajar, dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar kimia.

Dengan model regresi dapat dipakai untuk memprediksi variabel terikat, atau dapat

dikatakan bahwa hasil analisis regresi menunjukan model sudah tepat. Variabel yang

dipilih pada variable independen yaitu fasilitas belajar, dan motivasi berprestasi dapat

menerangkan variasi variabel hasil belajar kimia sebesar 45,7, sedangkan sisanya

54,3% oleh variabel lain.

Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu

NO Nama /

Job Statisfaction dan

organizational

Motivation Employes Job Commitment

(4)

NO Nama /

(5)

NO Nama /

Leadership Job Satisfaction, Organizational

Leadership memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap Job Satisfaction,

(6)

2.2.Landasan Teori

2.2.1. Teori Komitmen Kerja

Keberhasilan pengelolaan instansi pemerintah sangatlah ditentukan oleh

keberhasilan dalam mengelola sumber daya manusia. Seberapa jauh komitmen

pegawai terhadap instansi pemerintah tempat mereka bekerja, sangatlah menentukan

instansi pemerintah itu dalam mencapai tujuannya. Dalam dunia kerja komitmen

pegawai terhadap instansi pemerintah sangatlah penting, karena jika para pegawai

berkomitmen pada instansi pemerintah, mereka mungkin akan lebih produktif.

Mowday dalam Sopiah (2008:155) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional, yaitu merupakan dimensi perilaku penting yang

dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai

anggota organisasi. Selanjutnya Blau dan Boal dalam Sopiah (2008:155) menyebutkan komitmen organisasi organisasional sebagai keberpihakan dan loyalitas

karyawan terhadap organissai dan tujuan organisasi.

Schatz dan Schatz dalam Batubara (2010:112) mengatakan bahwa komitmen merupakan hal yang paling mendasar bagi setiap orang dalam pekerjaannya. Tanpa

ada suatu komitmen, tugas-tugas yang diberikan kepadanya sukar untuk terlaksana

dengan baik. Yousef dalam Darwito (2008:33) mengemukakan bahwa pekerja

dengan komitmen yang tinggi akan cenderung lebih sesuai dengan tujuan dan

nilai-nilai organisasi, mau memberikan usaha lebih kepada organisasi dan berupaya

memberikan manfaat kepada organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan

(7)

Menurut Griffin dalam Sihite (2007:25) menyatakan komitmen organisasi

adalah sikap yang mencerminkan sejauhmana seseorang individu mengenal dan

terikat pada organisasinya. Alwi (2001:57) komitmen organisasi adalah sikap

karyawan untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya

mencapai misi, nilai-nilai dan tujuan perusahaan. Komitmen adalah bentuk loyal yang

lebih konkrit yang dapat dilihat dari sejauh mana karyawan mencurahkan perhatian,

gagasan dan tanggungjawabnya dalam upaya perusahaan mencapai tujuan. Mc

Neese-Smith dalam Muhadi (2007:21) menyatakan komitmen organisasional

merupakan sebagai ukuran kekuatan identifikasi karyawan dengan tujuan dan nilai

organisasi serta terlibat didalamnya, komitmen oganisasi juga menjadi indikator yang

lebih baik bagi karyawan yang ingin tetap pada pekerjaannya atau ingin pindah

Mathis dan Jackson dalam Nurjanah (2008:17) menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap

tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi

tersebut. Menurut Nasution dalam Sihite (2007:25) menyatakan komitmen organisasi adalah pengikat antara individu dengan suatu organisasi, gagasan atau proyek yang

diwujudkan dalam mendedikasikan dirinya bagi pencapaian misi organisasi.

Sedangkan menurut Hatmoko dalam Amilin dan Dewi (2008:15) komitmen

organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan

sasaran-sasaran, nilai-nilai organisasi, kesediaan dan kemauan untuk berusaha

(8)

Morrow, Mc Elroy dan Blum dalam Nurjanah (2008: 34) komitmen

organisasi terbangun bila masing-masing individu mengembangkan tiga sikap yang

saling berhubungan terhadap organisasi. Tiga sikap tersebut adalah: 1) Pemahaman

atau penghayatan dari tujuan perusahaan (identification), 2) Perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan (involvement), pekerjaan adalah menyenangkan, dan 3) Perasaan loyal (loyality), perusahaan adalah tempat kerja dan tempat tinggal.

Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen kerja

adalah keterikatan pegawai pada organisasi dimana pegawai tersebut bekerja karena

menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi dan bersedia untuk berusaha dengan

sungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan tetap mempertahankan keanggotaan

organisasi.

Porter et al dalam Robbins (2003 : 119) menemukan pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja. Byars dan Rue dalam Mukhyi dan Sunarti

(2007:155) mentakan bahwa faktor-faktor kepuasan kerja dapat mempengaruhi

komitmen karyawan pada organisasi. Kepuasan kerja nampak dalam tahap positif

karyaawan terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan

kerjanya. Sebaliknya karyawan yang tidak terpuaskan oleh faktor-faktor yang

berkaitan dengan pekerjaan Nampak memiliki sikap negatif yang mencerminkan

kurangnya komitmen mereka terhadap perusahaan seperti sering mangkir,

produktivitasnya rendah, perpindahan karyawan, tingginya tingkat kerusakan,

timbulnya kegilasahan serta terjadinya tuntutan-tuntutan yang berakhir dengan

(9)

Sedangkan Menurut Qolqiutt, et al (2009:63) komitmen organisasi terletak

berdampingan dengan job performance dan dipengaruhi oleh berbagai factor. Menurut Colquitt, et al (2009: 34) komitmen organisasi dipengaruhi oleh kepuasan

kerja, stress/tekanan, motivasi, keadilan, dan pengambilan keputusan. Hasil penelitian

Salami (2008: 94) bahwa komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain oleh faktor demografi, kecerdasan emosi, kepuasan kerja

dan motivasi berprestasi. Desianty (2005:81) menyimpulkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan antara variabel kepemimpian transformasional terhadap

komitmen organisasi.

Menurut Mathis dan Jeckson dalam Sihite (2007:33) bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi cenderung mempengaruhi satu sama lain, orang yang relatif

puas dengan pekerjaannya akan lebih berkomitmen pada organisasi dan orang-orang

yang berkomitmen terhadap organisasi lebih mungkin untuk mendapatkan kepuasan

yang lebih besar. Seseorang yang tidak puas akan pekerjaannya atau yang kurang

berkomitmen pada organisasi akan terlihat menarik diri dari organisasi baik melalui

ketidakhadiran atau masuk keluar pekerjaan.

Komitmen dicontohkan sebagai fungsi kepercayaan terhadap organisasi dan

pengalaman kerja, karakteristrik organisasi harusnya menjadi faktor yang

mempengaruhi kepercayaan pegawai terhadap organisasi dan oleh karena itu pada

level komitmen pegawai; karakteristik kerja harusnya menjadi faktor utama yang

(10)

2.2.1.1.Teori Komitmen Organisasi

Menurut Sopiah (2008:157) komitmen organisasi ditandai dengan adanya : (1)

Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organisasi. (2)

Kemauan untuk mengutamakan tercapainya kepentingan organisasi, dan (3)

Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota organisasi.

Menurut Mayer, Allen dan Smith dalam Sopiah (2008:157) ada tiga

komponen komitmen organisasi yaitu :

1. Affective Commitmen, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari

organisasi karena adanya ikatan emosional.

2. Continnance Commitmen, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan

lain atau karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain.

3. Normative Commitmen, timbul dari nilai-nilai dalam diri

karyawan-karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran

bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya

dilakukan.

Pedoman untuk meningkatkan komitmen organisasi menurut Dessler dalam

Sihite (2007:28) adalah melalui : 1) berkomitmen pada nilai utama manusia, 2)

memperjelas dan mengomunikasikan misi anda, 3) menjamin keadilan organisasi, 4)

(11)

Menurut Alwi (2001:58) menyatakan bila organisasi memperhatikan

kepentingan karyawan seperti upah, gaji, perlindungan dan kesejahteraan, maka

komitmen karyawan terhadap organisasi akan tumbuh kuat. Menurut Straus dalam

Alwi (2001:58) menyatakan bahwa membangun komitmen karyawan sangat terkait

dengan bagaimana komitmen perusahaan terhadap karyawan. Perusahaan

memberikan pelayanan apa kepada karyawan. Keterlibatan dan partisipasi karyawan

secara luas merupakan bagian terpenting dari strategi komitmen yang tinggi dari

perusahaan.

Menurut Drennan dalam Alwi (2001:58) ada lima cara untuk membangun loyalitas atas dasar komitmen, yaitu :1) menciptakan tujuan yang jelas dan komitmen

untuk menjalankannya, 2) komunikasi yang jelas, visioner dan konstan, 3)

memberikan kepercayaan kepada karyawan, 4) berbagi keuntungan.

2.2.1.2. Faktor-Faktor Komitmen Organisasi

Menurut Luthans dalam Sihite (2008:29), faktor-faktor penentu komitmen organisasi adalah variabel-variabel (umur, masa jabatan dalam organisasi, dan

pembagian seperti positif atau negatif, afeksi, atau kedudukan kontrol internal dan

eksternal) dan organisasi (desain kerja dan gaya kepemimpinan pengawas).

Menurut Luthan dalam Sihite (2007:29) ada tiga komponen komitmen organisasi, yaitu :

1. Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan

(12)

efektif kuat akan selalu melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung

jawabnya karena ingin berbuat lebih banyak lagi di organisasi.

2. Komponen normatif merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang

kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi. Pekerja dengan

komitmen normatif yang tinggi, memiliki perasaan membela organisasi

meskipun ada tekanan sosial, mereka merasa perlu untuk

mempertahankan organisasi.

3. Komponen continuance berarti komponen berdasarkan persepsi pegawai

tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi;

Pekerja yang terlibat dalam organisasi didasarkan kepada komitmen

berkelanjutan ini, maka pekerja tersebut akan tetap bertahan dalam

organisasi karena mereka merasa bahwa jika mereka keluar akan

menimbulkan biaya yang besar bagi diri mereka

Arggyris dalam Sihite (2007:30) membagi komitmen dalan dua bagian besar yaitu Komitmen eksternal dan komitmen internal yaitu :

1. Komitmen eksternal dibentuk oleh lingkungan kerja. Komitmen ini muncul

karena adanya tuntutan terhadap penyelesaian tugas dan tanggungjawab

yang harus diselesaikan oleh para karyawan yang menghasilkan adanya

reward dan punishment. Peran manajer dan supervisor sangat vital dalam

menentukan timbulnya komitmen ini karena belum adanya suatu kesadaran

(13)

2. Komitmen internal merupakan komitmen yang berasal dari seseorang untuk

menyelesaikan tugas, tanggung jawab dan wewenang berdasarkan pada

alasan dan motivasi yang dimilikinya. Pemberdayaan sangat terkait dengan

komitmen internal dari individu pekerja. Proses pemberdayaan akan

berhasil bila ada motivasi dan kemauan yang kuat untuk mengembangkan

diri dan memacu kreativitas individu dalam menerima tanggungjawab yang

lebih besar. Munculnya komitmen internal sangat ditentukan oleh

kemampuan pemimpin dan lingkungan organisasi dalam menumbuhkan

sikap dan perilaku professional dalam menyelesaikan tanggungjawab

perusahaan.

Steers dalam Sopiah (2008:163) mengidentifikasi ada 3 faktor yang

mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi yaitu : (1) Ciri pribadi pekerja,

termasuk masa jabatannya dalam organisasi dan variasi kebutuhan dan keinginan

yang berbeda dari tiap karyawan. (2) Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan

kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja, (3) Pengalaman kerja, seperti

keterandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan

dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi.

David dalam Sopiah (2008:163) mengemukakan empat faktor yang

mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi : (1) faktor personal, misalnya

usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan kepribadian; (2)

karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik

(14)

misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi seperti sentralisasi atau

desentralisasi, kehadiran serikat pekerja dan tingkat pengendalian yang dilakukan

organisasi terhadap karyawan; dan (4) pengalaman kerja.

Stum dalam Sopiah (2008:164) mengemukakan ada 5 faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasional : (1) budaya keterbukaan, (2)

kepuasan kerja, (3) kesempatan personal untuk berkembang; (4) arah organisasi dan

(5) penghargaan kerja yang sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan Young et.al dalam

Sopiah (2008:164) mengemukakan ada 8 faktor yang secara positif berpengaruh

terhadap komitmen organisasional : (1) kepuasan terhadap promosi, (2) karakteristik

pekerjaan, (3) komunikasi, (4) kepuasan terhadap kepemimpinan, (5) pertukaran

ekstrinsik, (6) pertukaran intrinsik, (7) imbalan intrinsik, dan (8) imbalan ekstrinsik.

2.2.1.3.Komitmen Kerja Pegawai

Meyer dan Allen dalam Sihite (2007:32) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Tenaga kerja dengan komponen afektif tinggi, masih

bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota

organisasi. Sementara itu tenaga kerja komponen continuance tinggi, tetap bergabung

dengan organisasi karena mereka membutuhkan organisasi. Tenaga kerja yang

memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena

mereka harus melakukannya.

Setiap tenaga kerja memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan

komitmen organisasi yang dimilikinya. Tenaga kerja yang memiliki komitmen

(15)

berdasarkan continuance. Pegawai yang tetap ingin menjadi anggota akan memiliki

keinginan untuk menggunakan usaha sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya

mereka yang terpaksa menjadi anggota organisasi akan menghindari kerugian

finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak

maksimal.

Mulyadi dalam Sihite (2007:31) menyatakan komitmen kerja karyawan

berkaitan dengan bagaimana karyawan akan berperilaku dalam perusahaan.

Karyawan yang berkomitmen mencurahkan energi emosional dan perhatiannya ke

perusahaan. Komitmen dapat dideteksi dari bagaimana karyawan berhubungan satu

dengan lainnya dan bagaimana perasaan mereka terhadap perusahaan. Seorang

karyawan akan memiliki komitmen terhadap perusahaannya jika ia melihat

kemungkinan untuk belajar dan bertumbuh. Jika karyawan sebagai individu

merasakan sebagai bagian dari suatu masyarakat yang terhormat dan memiliki

kepedulian, dalam diri karyawan tersebut akan tumbuh komitmen.

Komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman

sosialisasi, perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif

menimbulkan perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai, sehingga menimbulkan rasa

loyal kepada organisasi dan cenderung memikirkan akibat yang diambil jika keluar

dari organisasi, apakah organisasi di luar sebagai pengganti dapat memberikan

kepusan di dalam diri.

Komitmen kerja pegawai di Universitas Sumatera Utara didasarkan pada

(16)

memberikan promosi jabatan sesuai dengan kemampuan dan adanya pengembangan

karir sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga pegawai merasa kepuasan dan

memiliki motivasi berprestasi.

Mowday, Porter, dan Steers dalam Sugito (2008: 78-79) menyatakan bahwa komitmen karyawan memiliki tiga aspek utama, yaitu : a.) Identifikasi diwujudkan

dalam bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan

memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para

pegawai ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan

keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana

saling mendukung diantara para pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana

tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi

tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan organisasi yang

dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula, b)

Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk

diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan mereka akan mau dan

senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja.

Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah

dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan

keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah

diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, dengan melakukan

hal tersebut maka pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang

(17)

melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan

dengan apa yang mereka ciptakan, dan c) Loyalitas pegawai terhadap organisasi

memiliki makna kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan

organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa

mengharapkan apapun. Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam

organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap

organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan

adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk

bekerja.

Komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a) Makin

lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk

menerima tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk

bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi

yang lebih tinggi, b) Adanya peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga

dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk

meninggalkan organisasi tersebut, c) Adanya keterlibatan sosial yang dalam dengan

organisasi dan individu-individu yang ada, hubungan sosial yang lebih bermakna,

sehingga membuat individu semakin berat meninggalkan organisasi, dan d) Akses

untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.

2.2.1.4. Pengukuran dan Indikator Komitmen Organisasi

(18)

merasakan, kebutuhan dan keinginan, biaya (pengorbanan), percaya (setia) dan

loyalitas. Sedangkan Mowday, Steers, Porter dalam Mas’ud (2004:67) indikator komitmen kerja diukur berdasarkan delapan faktor yaitu : bekerja melampaui target,

membanggakan organisasi kepada orang lain, menerima semua tugas, kesamaan nilai,

bangga menjadi bagian organisasi, organisasi memberi inspirasi, gembira memilih

bekerja pada organisasi ini, dan peduli terhadap nasib organisasi.

Berdasarkan indikator-indikator komitmen kerja dari beberapa pendapat ahli

di atas maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengertian komitmen

kerja adalah suatu tingkatan perasaan yang dimiliki seseorang karyawan untuk terikat

dengan pekerjaan serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan

tetap setia mempertahankan keanggotaan dirinya di dalam organisasi. Adapun

faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen kerja pegawai adalah : personal, lingkungan

pekerjaan, kesempatan untuk berkembang, komunikasi, kepuasan kerja.

2.2.2. Teori Kepuasan Kerja

Organisasi merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang yang

melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan. Tujuan tersebut

dapat berupa tujuan pribadi anggota organisasi dan tujuan global organisasi. Melalui

kajjan ilmu perilaku organisasi dapat dipahami bahwa aktivitas manusia dalam

mencapai tujuan dilatarbelakangi oleh perilaku idnividu, perilaku kelompok, dan

(19)

produktivitas dan kinerja, tingkat kemangkiran, perputaran karyawan (turnover), dan

kepuasan kerja (Robbin, 2003 : 115).

Seseorang yang memiliki kepuasan kerja tinggi akan memperlihatkan sikap

yang positif terhadap pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak puas akan

memperlihatkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu sendiri (Robbins, 2003 :

115).

Kepuasan kerja seorang pegawai tergantung karesteristik pegawai dan situasi

pekerjaan. Setiap pegawai akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai

dengan sistem nilai yang berlaku dalam dirinya.. Semakin banyak aspek dalam

pekerjaan yang sesuai dengan kepentingan dan harapan pegawai tersebut maka

semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya dan sebaliknya.

Vroom dalam Luthan (2005 : 136) menggambarkan kepuasan kerja sebagai sikap positif terhadap pekerjaan pada diri seseorang. Bukti-bukti penelitian terhadap

kepuasan kerja dapat dibagi menjadi beberapa katagori seperti, kepemimpinan,

kebutuhan psikologis, penghargaan atas usaha, manajemen ideologi dan nilai-nilai,

faktor-faktor rancangan pekerjaan dan muatan kerja.

Selanjutnya, menurut Locke dalam Luthan (2005 : 136) kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian

pekerjaan atau pengalaman kerja. Locke membagi sembilan dimensi pekerjaan yang

merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya dan memiliki kontribusi yang

(20)

peng-akuan, benefit, kondisi kerja, supervisi, rekan sekerja, dan perusahaan

(manajemen).

Menurut Luthan (2005 : 137), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi

pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai

penting. Misalnya, jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras

daripada yang lain dalam depertemen, tetapi menerima penghargaan lebih sedikit,

maka mereka mungkin akan memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan,

dan atau rekan kerja mereka. Mereka tidak puas. Sebaliknya, jika mereka merasa

bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan pantas, maka mereka

mungkin akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka. Mereka merasa

puas.

Dari pendapat-pendapat Robbins, Vroom, Locke, dan Luthan tersebut di

atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah tingkatan perasaan yang

diterima seseorang dari mengerjakan pekerjaan yang didasarkan pada perbandingan

antara yang diterima pegawai dari hasil pekerjaannya dibandingkan dengan yang

diharapkan, dinginkan dan dipikirkannya.

Teori kepuasan kerja berdasarkan hirarki kebutuhan Abraham Maslow adalah:

1) Kebutuhan fisiologi yakni kebutuhan paling dasar manusia yakni kebutuhan akan

pakaian, perumahan, makanan, seks, dan kebutuhan ragawi lainnya. 2). Kebutuhan

keamanan, kebutuhan akan keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan

emosional. 3) Kebutuhan sosial mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik,

(21)

internal, seperti harga diri, otonomi, prestasi, dan faktor rasa hormat ,misalnya status,

pengakuan, dan perhatian 5). Kebutuhan aktualisasi diri yaitu dorongan untuk

menjadi yang mampu dikerjakannya, mencakup pertumbuhan, mencapai

potensialnya, dan pemenuhan diri (Robbin, 2003:116).

Menurut Mangkunegara, (2000:159), teori-teori yang berhubungan dengan

kepuasan kerja antara lain : 1) Teori keseimbangan (equity theory) dikembangkan oleh Adam, yang terdiri dari komponen input, outcome, comparison dan equity in

equity. Pertama, input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, misalnya pendidikan, pengalaman, sikll, usaha,

peralatan pribadi, jumlah jam kerja. Kedua, outcome adalah semua nilai yang

diperoleh dan dirasakan pegawai, misalnya upah, keuntungan tambahan, status

simbol, pengenalan kembali, kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan

diri. Ketiga, equity in equity dimana menurut teori ini puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan antara input-outcome dirinya dengan

output-outcome pegawai lain, 2) Teori perbedaan (discrepancy theory) dipelopori

pertama kali oleh Porter yang berpendapat bahwa untuk mengukur kepuasan dapat

dilakukan dengan cara menghitung selisih antara yang seharusnya dengan kenyataan

yang dirasakan pegawai. Apabila seseorang memperoleh lebih besar dari yang

diharapkan maka orang tersebut akan menjadi puas, sebaliknya jika memperoleh

sesuatu yang lebih kecil dari yang diharapkannya maka terjadi ketidakpuasan, 3)

(22)

masukan dan keluaran pekerjaan mereka tetapi dengan masukan dan keluaran orang

lain, dan kemudian berespon untuk menghapuskan setiap ketidakadilan.

Individu-individu tidak hanya perduli akan jumlah mutlak ganjaran atas kerja mereka, tetapi

juga berhubungan dengan jumlah yang diterima orang lain, 4) Teori pemenuhan

kebutuhan (need fulfillment theory), menyimpulkan bahwa kepuasan kerja pegawai tergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan. Pegawai akan merasa puas

apabila ia mendapatkan yang dibutuhkannya. Makin besar kebutuhan pegawai

terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut, demikian juga sebaliknya pegawai akan

merasa tidak puas jika kebutuhannya tidak terpenuhi, dan 5) Teori pandangan

kelompok (social reference group theory) menyikapi kepuasan seseorang berdasarkan pandangan dan pendapat kelompok acuan. Seseorang akan merasa puas

apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan kelompok

acuan. Sedangkan Madura (2001:82) teori pengharapan (expectancy theory)

menyatakan bahwa usaha seseorang karyawan dipengaruhi oleh hasil yang

diharapkan (penghargaan) atas usaha tersebut.

Teori-teori kepuasan kerja tersebut di atas merupakan dasar dalam mengkaji

dan meneliti mengenai kepuasan kerja. Kesimpulan dari teori-teori tersebut bahwa

kepuasan kerja dipengaruhi oleh sesuatu yang berada di dalam dan di luar diri

karyawan.

Kepuasan kerja karyawan terbentuk karena adanya faktor-faktor yang

melatarbelakanginya. Seperti kajian teori-teori kepuasan kerja sebelumnya, kepuasan

(23)

beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai hasil kajian dari

beberapa penulis dan peneliti, untuk selanjutnya dipilih beberapa faktor terpenting

sebagai kajian penelitian ini.

Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kepuasan adalah faktor

yang berhubungan dengan pekerjaan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor yang

berhubungan dengan kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, faktor yang berhubungan

teman sekerja, faktor yang berhubungan dengan pengawasan, faktor yang

berhubungan dengan teman sekerja, faktor yang berhubungan dengan pegawasan,

faktor yang berhubungan dengan promosi jabatan/pengembangan karir dan faktor

yang berhubungan dengan gaji. Faktor-faktor tersebut merupakan item instrumen Job

Describsion Index yang digunakan banyak peneliti dalam mengkaji kepuasan kerja (Jewell dan Siegal dalam Juliandi, 2003:47)

Menurut Siagian (2002:126), kepuasan kerja ialah sikap umum seseorang

terhadap pekerjaannya. Artinya secara umum dapat dirumuskan bahwa seseorang

yang memiliki rasa puas terhadap pekerjaannya akan mempunyai sikap yang positif

terhadap organisasi dimana ia berkarya. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat paling

sedikit empat faktor yang turut berperan dalam kepuasan kerja, yaitu : 1) Pekerjaan

yang menantang, 2) Penerapan sistem penghargaan yang adil, 3) Kondisi yang

sifatnya mendukung, dan 4) Sifat rekan sekerja.

Selanjutnya Indrawijaya dalam Wahyuningrum (2008: 54) mengemukakan bahwa kepuasan kerja nampak dalam hasil pekerjaan. Alasan menyatakan kepuasan

(24)

menimbulkan kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan, 2) Kesehatan jiwa :

pekerjaan adalah faktor yang dapat menimbulkan tekanan psikologi, dan 3)

Kesehatan jasmaniah : terdapat hubungan antara pekerjaan dengan umur, karena

pekerja yang menyenangi pekerjaan akan memiliki umur panjang.

Luthan (2005:138) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja adalah: pekerjaan itu sendiri, gaji/honor, kesempatan promosi, pengawasan,

kondisi kerja dan rekan kerja. Kemudian Alwi (2001:118) menyatakan berbagai

bentuk kepuasan antara lain : 1) Kepuasan dengan kompensasi yang diterima, 2)

Kepuasan dengan tugas, 3) Kepuasan dengan penataan kerja, dan 4) Kepuasan

dengan peluang kedepan melalui jabatan. Sedangkan Blum dalam As’ad (2003:114) yang mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja meliputi: 1)

Faktor individual, seperti usia, kesehatan, jenis kelamin, 2) Faktor Sosial, seperti

interaksi dan hubungan dengan orang lain, dan 3) Faktor dalam pekerjaan, seperti

upah, kondisi kerja dan lain-lain.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja di Universitas Sumatera Utara meliputi :

administrasi/kebijakan Universitas Sumatera Utara, promosi, kesempatan untuk

berkembang, tanggung jawab, kondisi kerja, dan rekan kerja.

2.2.3. Teori Motivasi Berprestasi

Motivasi berasal dari kata Latin movere yang berarti dorongan atau daya

(25)

bawahan atau pengikut (Hasibuan, 2007: 92). Menurut Luthans dalam Thoha

(2007:207), motivasi terdiri tiga unsur, yakni kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goals). Motivasi, kadang-kadang istilah ini dipakai silih berganti dengan

istilahistilah lainnya, seperti misalnya kebutuhan (need), keinginan (want), dorongan (drive), atau impuls.

Motivasi adalah suatu perangsang keinginan (want) dan daya penggerak

kemauan bekerja seseorang; setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin

dicapai (Hasibuan, 2007: 95). Moekiyat dalam Hasibuan (2007:95), motif adalah

suatu pengertian yang mengandung semua alat penggerak alasan-alasan atau

dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu.

Menurut Berelson dan Steiner dalam Hasibuan (2007:95), sebuah motif adalah suatu

pendorong dari dalam untuk beraktivitas atau bergerak dan secara langsung atau

mengarah kepada sasaran akhir. Motivasi muncul karena adanya dorongan untuk

memenuhi kebutuhan.

Kebutuhan-kebutuhan itu terdiri dari kebutuhan fisiologis (seperti makan,

minum), kebutuhan akan rasa aman tentram, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi,

kebutuhan untuk dihargai dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, kebutuhan

untuk berprestasi merupakan kebutuhan manusia pada peringkat yang tertinggi.

(Siagian, 2002:103). Mc Clelland dalam Thoha (2007:236), membedakan tiga kebutuhan pokok manusia. Ketiga kebutuhan tersebut adalah kebutuhan berprestasi,

(26)

Motivasi sebagaimana didefinisikan oleh Robbins (2003 : 104) merupakan

kemauan untuk menggunakan usaha tingkat tinggi untuk tujuan organisasi, yang

dikondisikan oleh kemampuan usaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan individu.

Dalam definisi ini ada tiga (3) elemen penting yaitu; usaha, tujuan dan kebutuhan.

Elemen usaha merupakan pengukuran intensitas. Usaha yang diarahkan menuju dan

konsisten dengan tujuan organisasi merupakan jenis usaha yang seharusnya dicari,

dan motivasi merupakan proses pemenuhan kebutuhan.

Jae (2000 : 76) menunjukan bahwa motivasi pegawai sangat efektif untuk

meningkatkan dan memenuhi kepuasan kerja pegawai dimana faktor-faktor motivasi

tersebut diukur melalui faktor intrinsik (kebutuhan prestasi dan kepentingan) dan

faktor ekstrinsik (keamanan kerja, gaji dan promosi).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai motivasi yang telah diuraikan

di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu usaha yang

mendorong seseorang untuk bersaing dengan standar keunggulan, dimana standar

keunggulan ini dapat berupa kesempurnaan tugas, dapat diri sendiri atau prestasi

orang lain. Pegawai yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi nampaknya akan

memperoleh prestasi yang lebih tinggi

Motivasi berprestasi seseorang akan tercermin pada perilaku. Ada beberapa

ciri yang menjadi indikator orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi.

Individu yang motif berprestasi tinggi akan menampakkan tingkah laku dengan

(27)

memilih pekerjaan yang resikonya sedang (moderat ), mempunyai dorongan sebagai

umpan balik (feed back) tentang perebutannya dan berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara kreatif.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua buah karakteristik yang membedakan

antara seseorang yang motivasi berprestasinya rendah dengan orang yang yang

motivasi berprestasinya tinggi. Kedua karakteristik itu ialah : a) Kemauan untuk

melakukan aktivitas yang menunjukkan suatu prestasi orang yang motivasi

berprestasinya tinggi akan mempunyai anggapan bahwa keberhasilan disebabkan oleh

kemampuan dan usaha yang sungguh-sungguh. Anggapan seperti ini akan

menyebabkan orang tersebut bangga apabila dapat menyelesaikan suatu pekerjaan.

Rasa bangga ini menyebabkan bertambahnya keinginan untuk melakukan aktifitas

yang lain. b) Kegigihan berusaha. Usaha adalah faktor yang tidak setabil karena

bertangung pada kemampuan seseorang, orang yang motivasi berprestasi tinggi akan

cenderung bekerja keras sesudah mengalami kegagalan untuk mecapai sukses pada

waktu-waktu selanjutnya, ia akan terus berusaha untuk mencapai tujuan yang

sebelumnya gagal di capai. Sebaliknya orang yang motivasi berprestasi rendah

menganggap kegagalan disebabkan oleh ketidakmampuan. Kemampuan adalah faktor

yang stabil, tidak dapat di ubah oleh kemampuan semata-semata. Oleh karena itu,

dalam anggapannya kegagalan akan diikuti oleh rentetan kegagalan pula. Pada

individu yang rendah motivasi berprestasinya, usahanya untuk berprestasi juga lemah

(28)

Dalam proses belajar, motivasi seseorang tercermin melalui ketekunan yang

tidak mudah patah untuk mencapai sukses, meskipun dihadang banyak kesulitan.

Motivasi juga ditunjukkan melalui intensitas unjuk kerja dalam melakukan suatu

tugas. McClelland menunjukkan bahwa motivasi berprestasi (achievement motivation) mempunyai kontribusi sampai 64 persen terhadap prestasi belajar (Triluqman, 2007:1. www.heritl.blogspot.com. )

Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan

terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja

maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki

daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan

dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang (Sudrajat, 2008:1.

www.wordpress.com. ).

Dari uraian tentang ciri-ciri orang yang memiliki motivitas tinggi, akhirnya

dapat dinyatakan bahwa individu akan mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan

mempresepsikan bahwa keberhasilan adalah merupakan akibat dari kemauan dan

usaha. Sedangkan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah akan

menpersepsikan bahwa kegagalan adalah sebagai akibat kurangnya kemampuan dan

tidak melihat usaha sebagai penentuan keberhasilan.

Menurut Herzberg dalam Andreni (2003: 20) faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang

bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain: 1)

(29)

Tanggungjawab (responsibility), 4) Peluang untuk maju (advancement), 5) Kepuasan

kerja itu sendiri (the work it self), dan 6) Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth).

Sedangkan faktor pemelihara (maintenance faktor) disebut juga hygiene faktor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan

kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke

dalam faktor ekstrinsik, meliputi: 1) Kompensasi, 2) Keamanan dan keselamatan

kerja, 3) Kondisi kerja, 4) Status, 5) Prosedur perusahaan, dan 6) Mutu dari supevisi

teknis dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan

dengan bawahan.

Berdasarkan uraian diatas faktor-faktor yang relevan dalam mempengaruhi

motivasi berprestasi pada Universitas Sumatera Utara adalah : pengakuan atas

prestasi, perlakuan yang wajar, pengakuan sebagai individu, penghargaan atas

pekerjaan, kesempatan untuk maju atau promosi.

2.2.4. Teori Kepemimpinan

Kepemimpinan berasal dari akar kata “pemimpin”, maksudnya adalah orang

yang dikenal oleh dan berusaha mempengaruhi para pengikutnya untuk merealisir

visniya (Sagala, 2009:114). Kepemimpinan adalah kekuatan dinamis penting yang

(30)

melalui suatu proses untuk mempengaruhi orang lain, baik dalam organisasi maupun

di luar organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam situasi dan kondisi

tertentu. Proses mempengaruhi tersebut sering melibatkan berbagai kekuasan seperti

ancaman, penghargaan, otoritas, maupun bujukan dan motivasi. (Sagala, 2010:124).

Konsep gaya kepemimpinan ini menunjukkan adanya kombinasi bahasa,

tindakan dan kebijakan tertentu, yang menggambarkan pola yang cukup konsisten

yang digunakan oleh pemimpin dalam membantu orang lain/bawahan/ kelompoknya

dalam mencapai hasil yang diinginkan bersama (Pace & Faules, 1998: 277).

Pendapat serupa dikemukakan oleh Robbins (2003:3) yang berpendapat

bahwa gaya kepemimpinan merupakan suatu strategi atau kemampuan dalam

mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Bass (dalam

Wutun, 2001:345), gaya kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu

hubungan yang cenderung mengikuti pola/strategi tertentu untuk pencapaian tujuan

bersama. Sedangkan Lewis dalam Jewel dan Siegal (1998:435) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan suatu pengaruh dari seorang pemimpin terhadap

kelompok atau pengikut untuk meningkatkan kepatuhan dalam usaha mencapai

tujuan bersama.

Menurut Wutun (2001:345) salah satu konsep kepemimpinan yang dapat

menjelaskan secara tepat pola perilaku kepemimpinan atasan yang nyata ada dan

mampu memuat pola-pola perilaku dari teori kepemimpinan lain adalah

kepemimpinan transformasional dari Bass. Bass dalam (Wutun, 2001:350),

(31)

kesadaran para bawahannya mengenai pentingnya nilai kerja dan tugas mereka.

Pemimpin berusaha memperluas dan meningkatkan kebutuhan melebihi minat pribadi

serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk

kepentingan organisasi (Wutun, 2001:352).

Menurut Hay (2004:69) seorang pemimpin transformasional akan berusaha

memotivasi, membangkitkan semangat dan minat para bawahan, di samping itu tetap

berusaha meyakinkan akan tujuan dan misi organisasi. Pemimpin transformasional

juga akan berusaha melihat, memperhatikan, mengenali kemampuan individu yang

berguna untuk organisasi. Pemimpin transformasional berusaha meyakinkan bawahan

bahwa untuk bersama-sama menciptakan produktivitas kerja tinggi, usaha keras,

komitmen, dan kapasitas kerja yang tinggi.

Menurut Yammarino dan Bass dalam Daryanto dan Daryanto (2006:35) pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai

peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya.

Pemimpin transformasional juga mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi

masa depan dengan bawahannya, serta meningkatkan kebutuhan bawahan pada

tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Pemimpin

transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas

mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih

besar. Pemimpin transformasional juga akan berusaha mengartikulasikan visi masa

depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual,

(32)

Pemimpin transformasional cenderung berusaha untuk memanusiakan

manusia melalui berbagai cara seperti memotivasi dan memberdayakan fungsi dan

peran karyawan untuk mengembangkan organisasi dan pengembangan diri menuju

aktualisasi diri yang nyata (Wutun, 2001:351).

Bass dalam Wutun (2001:352) menambahkan bahwa kepemimpinan transformasional adalah bagaimana pemimpin mengubah (to transform) persepsi,

sikap, dan perilaku bawahan terlepas dari meningkat-tidaknya perubahan yang terjadi.

Secara konseptual, kepemimpinan transformasional (to transform) adalah sebagai

kemampuan pemimpin dalam mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja,

dan nilai-nilai kerja bawahan sehingga bawahan akan lebih mengoptimalkan kinerja

untuk mencapai tujuan organisasi.

Berdasarkan definisi-definisi Hay, Yammarino dan Bass, Wutun dan Bass

diatas dapat dikemukakan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kemampuan

memimpin atasan dalam mengubah lingkungan kerja, memotivasi dan menginspirasi

bawahan, menerapkan pola kerja dan nilai-nilai moral, menghargai dan

memperhatikan kebutuhan bawahan sehingga bawahan akan lebih mengoptimalkan

kinerja untuk mencapai tujuan organisasi.

Brown dalam Suhana (2007:45) menguji pengaruh perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan dan tugas terhadap komitmen organisasi.

Temuannya menunjukkan bahwa perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada

(33)

mendorong kreativitas dan menekankan pengembangan berpengaruh secara positif

pada komitmen afektif karyawan. Sementara perilaku kepemimpinan yang

berorientasi pada tugas juga berpengaruh terhadap komitmen afektif karyawan, meski

tingkat pengaruhnya lebih rendah.

Penelitian yang dilakukan Chen (2004, dalam Nurjanah, 2008:72) menunjukkan bahwa budaya organisasi dan gaya kepemimpinan berpengaruh

signifikan positif terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja dan kinerja

karyawan. Menurut Bass dan Avolio dalam Suryanto (2005:58-59) menemukan

bahwa kepemimpinan transformasional memiliki empat komponen perilaku, yaitu : 1)

Idealized Influence adalah perilaku seorang pemimpin transformasional yang memiliki keyakinan diri yang kuat, selalu hadir di saat-saat sulit, memegang teguh

nilai-nilai moral, menumbuhkan kebanggaan pada pengikutnya, yang bervisi jelas,

dan langkah-langkahnya selalu mempunyai tujuan yang pasti, dan agar bawahan mau

mengikutinya secara suka rela, ia menempatkan dirinya sebagai tauladan bagi para

pengikutnya tersebut, 2) Individualized Consideration, adalah perilaku pemimpin transformasional, di mana ia merenung, berpikir, dan selalu mengidentifikasi

kebutuhan para bawahannya, berusaha sekuat tenaga mengenali kemampuan

karyawan, membangkitkan semangat belajar pada para karyawannya, memberi

kesempatan belajar seluas-luasnya, selalu mendengar bawahannya dengan penuh

perhatian, dan baginya adalah kunci kesuksesan sebuah karya, 3) Inspirational Motivation, adalah upaya pemimpin dalam memberikan inspirasi para pengikutnya

(34)

bawahan mencapai standar yang tinggi. Pemimpin akan mengajak bawahan untuk

memandang ancaman dan masalah sebagai kesempatan belajar dan berprestasi. Oleh

karenanya, pemimpin transformasional menciptakan budaya untuk berani salah,

karena kesalahan itu adalah awal dari pengalaman belajar segala sesuatu. Bagi

pemimpin kata adalah senjata utamanya, dengan ‘kata’ pula ia bangkitkan semangat

bawahan. Pemimpin akan menggunakan simbol-simbol dan metafora untuk

memotivasi mereka, bicara dengan antusias dan optimis, dan 4) Intellectual Stimulation. Imajinasi, dipadu dengan intuisi namun dikawal oleh logika

dimanfaatkan oleh pemimpin ini dalam mengajak bawahan berkreasi. Pemimpin

berusaha mengajak bawahan untuk berani menentang tradisi uang, dan mengajak pula

bawahan untuk bertanya tentang asumsi lama. Pemimpin menyadari bahwa sering

kali kepercayaan tertentu telah menghambat pola berpikir, oleh karenanya, pemimpin

mengajak bawahannya untuk mempertanyakan, meneliti, mengkaji dan jika perlu

mengganti kepercayaan itu.

Menurut Robbin (2003:473) faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan,

yaitu terdiri dari dimensi (1) charisma atau idealism; (2) inspirasi atau motivasi; (3)

stimulasi intelektual; (4) pertimbangan individual. Sedangkan indikator gaya

kepemimpinan yaitu; (1) visi dan misi, menanamkan kebanggaan, meraih

penghormatan dan kepercayaan; (2) mengkomunikasikan harapan tinggi,

menggunakan simbol untuk memfokuskan pada usaha; menggambarkan maksud

(35)

masalah secara hati-hati; (4) memberikan perhatian pribadi, melayani secara pribadi,

melatih dan menasehati.

Sedangkan menurut Wutun (2001:353) kepemimpinan memiliki lima aspek

yaitu : 1) Atributed Charisma : pemimpin yang memiliki kharisma memperlihatkan visi, kemampuan keahliannya serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan

organisasi dan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi, 2) Idealized

Influence : pemimpin berusaha mempengaruhi bawahan dengan komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, komitmen dan keyakinan, serta memiliki

tekad untuk mencapai tujuan dengan tetap mempertimbangkan akibat-akibat moral

dan etik dari setiap keputusan yang dibuat, 3) Inspirational Motivation : pemimpin bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan melalui pemberian

arti, partisipasi dan tantangan terhadap tugas bawahan, 4) Intelectual Stimulation : pemimpin berusaha mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan

mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya, dan 5) Individualized Consideration : pemimpin berusaha memberikan perhatian kepada bawahan dan menghargai sikap bawahan terhadap organisasi

Berdasarkan indikator-indikator kepemimpinan dari beberapa pendapat ahli di

atas maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan kepemimpinan pemimpin di

Universitas Sumatera Utara adalah : karisma, inspirasi, ransangan intelektual,

(36)

2.3. Kerangka Konseptual

Komitmen kerja karyawan dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya

kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi berprestasi. Komitmen organisasi

sebagai sebuah sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan kepada organisasi dan

merupakan suatu proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengungkapkan

perhatian mereka terhadap organisasi, terhadap keberhasilan organisasi serta

kemajuan yang berkelanjutan.

Porter dalam Oktaviansyah (2008 : 59) mengatakan bahwa komitmen organisasi didefinisikan sebagai pengidentifikasian dan keterlibatan dari seorang

individu terhadap organisasi tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Mowday,

Porter, dan Steers dalam Oktaviansyah (2008 : 59) yang mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sifat hubungan antara pekerja dan organisasi. Individu yang

mempunyai komitmen tinggi terhadap organisasi dapat dilihat dari keinginan kuat

untuk tetap menjadi anggota tersebut, kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi

kepentingan organisasi tersebut, dan kepercayaan akan dan penerimaan yang kuat

terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

Adanya komitmen organisasi yang tinggi pada pegawai akan membuat

pegawai terhindar dari perilaku-perilaku keorganisasian yang negatif misalnya

membolos, mangkir, pindah kerja ke perusahaan lain, meninggalkan jam kerja, dan

(37)

Menurut Colquitt, et al (2009: 34) komitmen organisasi dipengaruhi oleh

kepuasan kerja, stress/tekanan, motivasi, keadilan, dan pengambilan keputusan. Hasil

penelitian Salami (2008: 94) bahwa komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor, antara lain oleh faktor demografi, kecerdasan emosi, kepuasan

kerja dan motivasi berprestasi. Desianty (2005:81) menyimpulkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan antara variabel kepemimpian terhadap komitmen

organisasi. Dalam hal ini kepemimpinan memiliki pengaruh yang lebih besar

terhadap komitmen organisasi karena pemimpin lebih memberikan perhatian,

dorongan motivasi dan mampu memahami keinginan karyawannya. Anwar (2008:7)

menyimpulkan bahwa pimpinan yang menunjukkan perilaku kepemimpinan adalah

adanya komitmen yang tinggi untuk memberikan penghargaan kepada siapa saja

individu yang menunjukkan kinerja yang baik, beretos kerja, memberi keteladanan,

tepat waktu menghadiri undangan, tepat waktu datang bertugas, tepat waktu dalam

menunaikan janji, dan menunjukkan sikap ingin bekerja sama.

Pengaruh pemimpin atau atasan terhadap bawahan dapat dilihat dari para

bawahan merasakan adanya kepercayaan, kebanggaan, loyalitas dan rasa hormat

kepada atasan, dan mereka termotivasi untuk melakukan melebihi apa yang

diharapkan (Bass dalam Natsir, 2004:2-3). Menurut Aviolo dalam Kaihatu dan Rini

(2007:51), bahwa fungsi utama dari seorang pemimpin adalah memberikan pelayanan

sebagai katalisator dari perubahan (catalyst of change), namun saat bersamaan sebagai seorang pengawas dari perubahan (a controller of change). Case dalam

(38)

perbedaan dalam mendefinisikan kepemimpinan, akan tetapi secara umum mereka

mengartikannya sebagai agen perubahan (an agent of change).

Kepuasan kerja dalam beberapa penelitian dihubungkan secara positif dengan

komitmen. Robbins (2003 : 115) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu

sikap umum terhadap pekerjaan seseorang sebagai perbedaan antara banyaknya

ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang diyakini yang seharusnya

diterima.

Motivasi berprestasi itu sendiri menurut Edward dalam Nugrahney (2009 :

19) adalah kebutuhan individu untuk berbuat lebih baik dari orang lain yang

mendorong individu untuk menyelesaikan tugas lebih sukses dan untuk mencapai

prestasi yang lebih tinggi. Menurut Hall dan Lindzey dalam Nugrahney (2009 : 19)

bahwa motivasi berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan dengan prestasi,

yaitu menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial atau fisik, mengatasi

rintangan-rintangan dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing untuk

melebihi perbuatannya yang lampau dan mengungguli orang lain.

Peningkatan kepuasan kerja, motivasi berprestasi dan kepemimpinan

berpotensi dapat meningkatkan komitmen kerja. Pegawai yang puas terhadap

pekerjaannya, secara logis akan memiliki komitmen tinggi. Semakin tinggi

kepemimpinan maka semakin tinggi komitmen organisasi, demikian pula pegawai

yang memiliki motivasi berprestasi, secara logis akan lebih konsisten dalam

(39)

lanjut, maka kepuasan kerja, motivasi berprestasi dan kepemimpinan secara langsung

dapat berpengaruh terhadap komitmen kerja.

2.3.1 Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Kerja

Kepuasan kerja adalah tingkatan kenikmatan yang diterima orang dari

mengerjakan pekerjaan. Kepuasan kerja didasarkan pada perbandingan antara yang

diterima pegawai dari perusahaan dibandingkan dengan yang diharapkan, diinginkan

atau dipikirkan seseorang. Kepuasan karyawan merupakan ukuran sampai seberapa

jauh perusahaan dapat memenuhi harapan karyawannya yang berkaitan dengan

berbagai aspek dalam pekerjaan dan jabatannya. Karyawan yang tidak puas biasanya

mempunyai motivasi kerja yang rendah sehingga dalam bekerja pun biasanya kurang

bersemangat, malas, lambat bahkan bisa banyak melakukan kesalahan dan lain-lain

yang bersifat negatif sehingga akan menimbulkan pemborosan biaya, waktu dan

tenaga.

Apabila seseorang merasa telah terpenuhinya semua kebutuhan dan

keinginannya oleh organisasi maka secara otomatis dengan penuh kesadaran mereka

akan meningkatkan tingkat komitmen yang ada dalam dirinya. Kepuasan kerja dapat

terpenuhi maka komitmen terhadap organisasi akan timbul dengan baik, sehingga

kepuasan akan berdampak terhadap komitmen organisasi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, diduga adan pengaruh positif antara

(40)

dikatakan semakin tinggi kepuasan kerja pegawai akan semakin meningkat komitmen

kerja pegawai dalam bekerja di Universitas Sumatera Utara.

2.3.2 Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Komitmen Kerja

Motivasi berprestasi merupakan

Motivasi berprestasi yang dimiliki oleh pegawai maka akan muncul kesadaran

pegawai Universitas Sumatera Utara untuk selalu mencapai kesuksesan (perilaku

produktif dan selalu memperhatikan kualitas) dapat menjadi sikap dan perilaku

permanen pada diri individu. Motivasi berprestasi akan dapat mendobrak

bekal untuk meraih sukses. Sukses berkaitan

dengan perilaku 'produktif dan selalu memperhatikan/menjaga 'kualitas' produknya.

Motivasi berprestasi merupakan konsep personal yang inheren yang merupakan

faktor pendorong untuk meraih atau mencapai sesuatu yang diinginkannya agar

meraih kesuksesan. Untuk mencapai kesuksesan tersebut setiap orang mempunyai

hambatan-hambatan yang berbeda, dan dengan memiliki motivasi berprestasi yang

tinggi, diharapkan hambatan-hambatan tersebut akan dapat diatasi dan kesuksesan

yang dinginkan dapat diraih.

building

block

Berdasarkan uraian tersebut di atas, diduga adan pengaruh positif antara

motivasi berprestasi pegawai terhadap komitmen kerja dalam pekerjaannya. Dapat

dikatakan semakin tinggi motivasi berprestasi pegawai akan semakin meningkat

komitmen kerja pegawai dalam bekerja di Universitas Sumatera Utara.

ketahanan individu dalam menghadapi tantangan hidup sehingga mencapai

(41)

1.3.3 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Komitmen Kerja

Seorang pemimpin mempunyai tujuan dan visi misi yang jelas, serta memiliki

gambaran yang menyeluruh terhadap organisasinya di masa depan. Pemimpin dalam

hal ini berani mengambil langkah-langkah yang tegas tetapi tetap mengacu pada

tujuan yang telah ditentukan guna keberhasilan organisasinya, misalnya saja dalam

menerapkan metode dan prosedur kerja, pengembangan staf secara menyeluruh,

menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, juga termasuk di dalamnya berani

menjamin kesejahteraan bagi para stafnya.

Memelihara komitmen organisasi, peran seorang pemimpin sangat

dibutuhkan, dan kepemimpinan yang efektif menjadi syarat utama. Pemimpin yang

efektif dalam menerapkan gaya tertentu dalam kepemimpinannya terlebih dahulu

harus memahami siapa bawahan yang dipimpinnya, mengerti kekuatan dan

kelemahan bawahannya, dan mengerti bagaimana cara memanfaatkan kekuatan

bawahan untuk mengimbangi kelemahan yang mereka miliki.

Kepemimpinan merupakan pemimpin yang memberikan pertimbangan dan

rangsangan intelektual yang diindividualkan pada para bawahan atau pengikut.

Kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh adanya lingkungan kerja yang baik dengan

tidak memihak kepada salah satu pegawai dalam promosi jabatan dan pengembangan

karir sehingga pegawai akan memiliki komitmen kerja yang tinggi pada Universitas

(42)

komitmen kerja pegawai jika pegawai merasa diperhatikan kemampuannya dan selalu

diberi dorongan untuk terus berusaha dalam mencapai keinginannya.

Kepemimpinan yang dapat membina hubungan baik antara pimpinan dengan

pegawai, mampu memotivasi pegawai untuk bekerja dengan baik sehingga

memunculkan adanya kepuasan kerja dan motivasi berprestasi dari pegawai. Secara

langsung maupun tidak langsung kondisi ini dapat meningkatkan komitmen kerja di

Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, diduga

bahwa ada pengaruh positif secara bersama-sama antara kepemimpinan, kepuasan

kerja dan motivasi berprestasi pegawai terhadap komitmen kerja. Dengan kata lain

semakin baik kepuasan kerja, motivasi berprestasi dan kepemimpinan maka semakin

tinggi komitmen kerja pegawai.

Berdasarkan uraian di atas, secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini

dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

Komitmen Kerja (Y)

Kepemimpinan (X3) Motivasi

Berprestasi (X2) Kepuasan Kerja

(43)

2.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseeptual yang telah

diuraikan, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kepuasan kerja berprestasi berpengaruh positif terhadap komitmen kerja

pegawai Universitas Sumatera Utara.

2. Motivasi berprestasi berpengaruh positif terhadap komitmen kerja

pegawai Universitas Sumatera Utara.

3. Kepuasan kerja dan Motivasi berprestasi berpengaruh positif terhadap

komitmen kerja pegawai Universitas Sumatera Utara.

4. Kepuasan kerja dan motivasi berprestasi dengan kepemimpinan sebagai

variabel moderating berpengaruh positif terhadap komitmen kerja pegawai

Gambar

Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Kelancaran perjalanan kereta api merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kenyamanan dan keaman bagi penguna kereta api. Sehinga tdak terjadi kesalah pahaman pada jadwal

Setelah berhasil menemukan model yang sesuai dengan masalah tersebut selanjutnya mencari dan menentukan algoritma untuk penyelesaiannya, dan algoritma yang digunakan adalah

Laporan Capaian Kompetensi atau Rapor adalah kumpulan nilai dan deskripsi penguasaan kompetensi seluruh mata pelajaran masing-masing peserta didik, yang merupakan rekaman

Ajaran Machiavelli mendukung kekuasaan raja secara mutlak. Golongan yang mendapatkan hak istimewa dalam sistem monarkhi absolut di Perancis adalah... Keterlibatan Perancis

Tujuan pembuatan website berbasis flash ini ditujukan untuk memberi kemudahan dalam pelayanan pemesanan menu makanan atau minuman serta penyampaian informasi yang

Karena jasa review dan kompilasi tidak memberikan assurance seperti di audit, maka akuntan dan klien harus membangun pemahaman bersama tentang jasa yang akan

Transfer depo yang diharapkan dapat mempercepat pengangkutan sampah, ternyata sebagian masih berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah sementara (TPS) karena

Dalam hal ini digunakan, hasil- hasil penelitian atau pendapat para ahli yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengkonsumsi ikan yang mengandung zat