BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka
penyusunan penelitian ini. Kegunaanya untuk mengetahui hasil yang telah dilakukan
oleh peneliti terdahulu.
Desianti (2008:1) dalam penelitiannya Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Terhadap Komitmen Organisasi PT. Pos Indonesia (Persero) Semarang, yang
bertujuan untuk menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap boatmen
organisasi, dengan mengukur pengaruh gaya kepemimpian transformasional dan
kepemimpinan transaksional terhadap komitmen organisasi. Apakah ada pengaruh
yang positif dan signifikan dari gaya kepemimpinan yang dikumpulkan secara
langsung dengan metode koesioner, yaitu multifaktor leadership questionnaire
(MLQ) untuk mengukur persepsi komitmen organisasi. Populasi penelitian ini
karyawan PT Pos Indonesia (Persero) Semarang yang meliputi kantor pos cabang
Kota Semarang dan Kabupaten Demak. Jumlah sampel sebanyak 150 responden yang
diambil dengan teknik proportional random sampling. Metode analisis adalah
kualitattf dan kuantitatif Analisis kuantitatif yang dilakukan dengan menggunakan uji
regresi berganda dengan uji hipotesis yang ditetapkan pada tingkat signifikansi 5 %.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperolah bahwa gaya kepemimpinan
dan signifikan terhadap komitmen organisasi dengan besar pengaruh yang berbeda.
Kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap
komitmen organisasi dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional.
Suliman (2002:1) dalam penelitiannya dengan melakukan kuesioner kepada
1000 karyawan yang dilakukan dengan teknik random sampling dari 20 perusahaan di
Timur Tengah menguji pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja
pegawai (karyawan) dimana komitmen organisasi diukur melalui dua dimensi yaitu
komitmen yang timbul secara langsung (affective commitment) maupun komitmen
yang berkelanjutan (continuance commitment), hasil penelitiannya menunjukan bahwa komitmen yang kuat baik melalui komitmen yang timbul secara langsung
(affective Commitment) maupun komitmen yang berkelanjutan (continuance
commitment) memberikan kontribusi yang tinggi dalam meningkatkan dan memenuhi kepuasan kerja pegawai. Dengan komitmen yang kuat, pegawai akan termotivasi
untuk bekerja keras untuk kemajuan organisasi.
Sugito (2008 : 6) dalam penelitiannya Hubungan Antara Kepuasan Kerja dan
Kompensasi Dengan Komitmen Karyawan Pada Organisasi (Studi Kasus Pada PT.
Inti Karya Persada Tehnik. Variabel yang diteliti kepuasan kerja, kompensasi dan
komitmen karyawan dengan menggunakan metode deskriptif dan korelasional dengan
melibatkan 83 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja
tergolong tinggi. Kompensasi tergolong baik dan komitmen karyawan pada
organisasi tergolong tinggi. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kepuasan
ini memberikan arti bahwa semakin tinggi kepuasan kerja maka semakin tinggi
komitmen organisasi.
Prantiya (2008:1) dalam penelitiannya Kontribusi Fasilitas Belajar dan
Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Kimia pada Siswa SMA Negeri 1
Karangnongko Kabupaten Klaten menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
kontribusi fasilitas belajar, dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar kimia.
Dengan model regresi dapat dipakai untuk memprediksi variabel terikat, atau dapat
dikatakan bahwa hasil analisis regresi menunjukan model sudah tepat. Variabel yang
dipilih pada variable independen yaitu fasilitas belajar, dan motivasi berprestasi dapat
menerangkan variasi variabel hasil belajar kimia sebesar 45,7, sedangkan sisanya
54,3% oleh variabel lain.
Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu
NO Nama /
Job Statisfaction dan
organizational
Motivation Employes Job Commitment
NO Nama /
NO Nama /
Leadership Job Satisfaction, Organizational
Leadership memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap Job Satisfaction,
2.2.Landasan Teori
2.2.1. Teori Komitmen Kerja
Keberhasilan pengelolaan instansi pemerintah sangatlah ditentukan oleh
keberhasilan dalam mengelola sumber daya manusia. Seberapa jauh komitmen
pegawai terhadap instansi pemerintah tempat mereka bekerja, sangatlah menentukan
instansi pemerintah itu dalam mencapai tujuannya. Dalam dunia kerja komitmen
pegawai terhadap instansi pemerintah sangatlah penting, karena jika para pegawai
berkomitmen pada instansi pemerintah, mereka mungkin akan lebih produktif.
Mowday dalam Sopiah (2008:155) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional, yaitu merupakan dimensi perilaku penting yang
dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai
anggota organisasi. Selanjutnya Blau dan Boal dalam Sopiah (2008:155) menyebutkan komitmen organisasi organisasional sebagai keberpihakan dan loyalitas
karyawan terhadap organissai dan tujuan organisasi.
Schatz dan Schatz dalam Batubara (2010:112) mengatakan bahwa komitmen merupakan hal yang paling mendasar bagi setiap orang dalam pekerjaannya. Tanpa
ada suatu komitmen, tugas-tugas yang diberikan kepadanya sukar untuk terlaksana
dengan baik. Yousef dalam Darwito (2008:33) mengemukakan bahwa pekerja
dengan komitmen yang tinggi akan cenderung lebih sesuai dengan tujuan dan
nilai-nilai organisasi, mau memberikan usaha lebih kepada organisasi dan berupaya
memberikan manfaat kepada organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan
Menurut Griffin dalam Sihite (2007:25) menyatakan komitmen organisasi
adalah sikap yang mencerminkan sejauhmana seseorang individu mengenal dan
terikat pada organisasinya. Alwi (2001:57) komitmen organisasi adalah sikap
karyawan untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya
mencapai misi, nilai-nilai dan tujuan perusahaan. Komitmen adalah bentuk loyal yang
lebih konkrit yang dapat dilihat dari sejauh mana karyawan mencurahkan perhatian,
gagasan dan tanggungjawabnya dalam upaya perusahaan mencapai tujuan. Mc
Neese-Smith dalam Muhadi (2007:21) menyatakan komitmen organisasional
merupakan sebagai ukuran kekuatan identifikasi karyawan dengan tujuan dan nilai
organisasi serta terlibat didalamnya, komitmen oganisasi juga menjadi indikator yang
lebih baik bagi karyawan yang ingin tetap pada pekerjaannya atau ingin pindah
Mathis dan Jackson dalam Nurjanah (2008:17) menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap
tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi
tersebut. Menurut Nasution dalam Sihite (2007:25) menyatakan komitmen organisasi adalah pengikat antara individu dengan suatu organisasi, gagasan atau proyek yang
diwujudkan dalam mendedikasikan dirinya bagi pencapaian misi organisasi.
Sedangkan menurut Hatmoko dalam Amilin dan Dewi (2008:15) komitmen
organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan
sasaran-sasaran, nilai-nilai organisasi, kesediaan dan kemauan untuk berusaha
Morrow, Mc Elroy dan Blum dalam Nurjanah (2008: 34) komitmen
organisasi terbangun bila masing-masing individu mengembangkan tiga sikap yang
saling berhubungan terhadap organisasi. Tiga sikap tersebut adalah: 1) Pemahaman
atau penghayatan dari tujuan perusahaan (identification), 2) Perasaan terlibat dalam suatu pekerjaan (involvement), pekerjaan adalah menyenangkan, dan 3) Perasaan loyal (loyality), perusahaan adalah tempat kerja dan tempat tinggal.
Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen kerja
adalah keterikatan pegawai pada organisasi dimana pegawai tersebut bekerja karena
menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi dan bersedia untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan tetap mempertahankan keanggotaan
organisasi.
Porter et al dalam Robbins (2003 : 119) menemukan pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja. Byars dan Rue dalam Mukhyi dan Sunarti
(2007:155) mentakan bahwa faktor-faktor kepuasan kerja dapat mempengaruhi
komitmen karyawan pada organisasi. Kepuasan kerja nampak dalam tahap positif
karyaawan terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan
kerjanya. Sebaliknya karyawan yang tidak terpuaskan oleh faktor-faktor yang
berkaitan dengan pekerjaan Nampak memiliki sikap negatif yang mencerminkan
kurangnya komitmen mereka terhadap perusahaan seperti sering mangkir,
produktivitasnya rendah, perpindahan karyawan, tingginya tingkat kerusakan,
timbulnya kegilasahan serta terjadinya tuntutan-tuntutan yang berakhir dengan
Sedangkan Menurut Qolqiutt, et al (2009:63) komitmen organisasi terletak
berdampingan dengan job performance dan dipengaruhi oleh berbagai factor. Menurut Colquitt, et al (2009: 34) komitmen organisasi dipengaruhi oleh kepuasan
kerja, stress/tekanan, motivasi, keadilan, dan pengambilan keputusan. Hasil penelitian
Salami (2008: 94) bahwa komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain oleh faktor demografi, kecerdasan emosi, kepuasan kerja
dan motivasi berprestasi. Desianty (2005:81) menyimpulkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara variabel kepemimpian transformasional terhadap
komitmen organisasi.
Menurut Mathis dan Jeckson dalam Sihite (2007:33) bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi cenderung mempengaruhi satu sama lain, orang yang relatif
puas dengan pekerjaannya akan lebih berkomitmen pada organisasi dan orang-orang
yang berkomitmen terhadap organisasi lebih mungkin untuk mendapatkan kepuasan
yang lebih besar. Seseorang yang tidak puas akan pekerjaannya atau yang kurang
berkomitmen pada organisasi akan terlihat menarik diri dari organisasi baik melalui
ketidakhadiran atau masuk keluar pekerjaan.
Komitmen dicontohkan sebagai fungsi kepercayaan terhadap organisasi dan
pengalaman kerja, karakteristrik organisasi harusnya menjadi faktor yang
mempengaruhi kepercayaan pegawai terhadap organisasi dan oleh karena itu pada
level komitmen pegawai; karakteristik kerja harusnya menjadi faktor utama yang
2.2.1.1.Teori Komitmen Organisasi
Menurut Sopiah (2008:157) komitmen organisasi ditandai dengan adanya : (1)
Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organisasi. (2)
Kemauan untuk mengutamakan tercapainya kepentingan organisasi, dan (3)
Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kedudukan sebagai anggota organisasi.
Menurut Mayer, Allen dan Smith dalam Sopiah (2008:157) ada tiga
komponen komitmen organisasi yaitu :
1. Affective Commitmen, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari
organisasi karena adanya ikatan emosional.
2. Continnance Commitmen, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan
lain atau karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain.
3. Normative Commitmen, timbul dari nilai-nilai dalam diri
karyawan-karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran
bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya
dilakukan.
Pedoman untuk meningkatkan komitmen organisasi menurut Dessler dalam
Sihite (2007:28) adalah melalui : 1) berkomitmen pada nilai utama manusia, 2)
memperjelas dan mengomunikasikan misi anda, 3) menjamin keadilan organisasi, 4)
Menurut Alwi (2001:58) menyatakan bila organisasi memperhatikan
kepentingan karyawan seperti upah, gaji, perlindungan dan kesejahteraan, maka
komitmen karyawan terhadap organisasi akan tumbuh kuat. Menurut Straus dalam
Alwi (2001:58) menyatakan bahwa membangun komitmen karyawan sangat terkait
dengan bagaimana komitmen perusahaan terhadap karyawan. Perusahaan
memberikan pelayanan apa kepada karyawan. Keterlibatan dan partisipasi karyawan
secara luas merupakan bagian terpenting dari strategi komitmen yang tinggi dari
perusahaan.
Menurut Drennan dalam Alwi (2001:58) ada lima cara untuk membangun loyalitas atas dasar komitmen, yaitu :1) menciptakan tujuan yang jelas dan komitmen
untuk menjalankannya, 2) komunikasi yang jelas, visioner dan konstan, 3)
memberikan kepercayaan kepada karyawan, 4) berbagi keuntungan.
2.2.1.2. Faktor-Faktor Komitmen Organisasi
Menurut Luthans dalam Sihite (2008:29), faktor-faktor penentu komitmen organisasi adalah variabel-variabel (umur, masa jabatan dalam organisasi, dan
pembagian seperti positif atau negatif, afeksi, atau kedudukan kontrol internal dan
eksternal) dan organisasi (desain kerja dan gaya kepemimpinan pengawas).
Menurut Luthan dalam Sihite (2007:29) ada tiga komponen komitmen organisasi, yaitu :
1. Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan
efektif kuat akan selalu melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya karena ingin berbuat lebih banyak lagi di organisasi.
2. Komponen normatif merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang
kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi. Pekerja dengan
komitmen normatif yang tinggi, memiliki perasaan membela organisasi
meskipun ada tekanan sosial, mereka merasa perlu untuk
mempertahankan organisasi.
3. Komponen continuance berarti komponen berdasarkan persepsi pegawai
tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi;
Pekerja yang terlibat dalam organisasi didasarkan kepada komitmen
berkelanjutan ini, maka pekerja tersebut akan tetap bertahan dalam
organisasi karena mereka merasa bahwa jika mereka keluar akan
menimbulkan biaya yang besar bagi diri mereka
Arggyris dalam Sihite (2007:30) membagi komitmen dalan dua bagian besar yaitu Komitmen eksternal dan komitmen internal yaitu :
1. Komitmen eksternal dibentuk oleh lingkungan kerja. Komitmen ini muncul
karena adanya tuntutan terhadap penyelesaian tugas dan tanggungjawab
yang harus diselesaikan oleh para karyawan yang menghasilkan adanya
reward dan punishment. Peran manajer dan supervisor sangat vital dalam
menentukan timbulnya komitmen ini karena belum adanya suatu kesadaran
2. Komitmen internal merupakan komitmen yang berasal dari seseorang untuk
menyelesaikan tugas, tanggung jawab dan wewenang berdasarkan pada
alasan dan motivasi yang dimilikinya. Pemberdayaan sangat terkait dengan
komitmen internal dari individu pekerja. Proses pemberdayaan akan
berhasil bila ada motivasi dan kemauan yang kuat untuk mengembangkan
diri dan memacu kreativitas individu dalam menerima tanggungjawab yang
lebih besar. Munculnya komitmen internal sangat ditentukan oleh
kemampuan pemimpin dan lingkungan organisasi dalam menumbuhkan
sikap dan perilaku professional dalam menyelesaikan tanggungjawab
perusahaan.
Steers dalam Sopiah (2008:163) mengidentifikasi ada 3 faktor yang
mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi yaitu : (1) Ciri pribadi pekerja,
termasuk masa jabatannya dalam organisasi dan variasi kebutuhan dan keinginan
yang berbeda dari tiap karyawan. (2) Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan
kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja, (3) Pengalaman kerja, seperti
keterandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan
dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi.
David dalam Sopiah (2008:163) mengemukakan empat faktor yang
mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi : (1) faktor personal, misalnya
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan kepribadian; (2)
karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik
misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi seperti sentralisasi atau
desentralisasi, kehadiran serikat pekerja dan tingkat pengendalian yang dilakukan
organisasi terhadap karyawan; dan (4) pengalaman kerja.
Stum dalam Sopiah (2008:164) mengemukakan ada 5 faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasional : (1) budaya keterbukaan, (2)
kepuasan kerja, (3) kesempatan personal untuk berkembang; (4) arah organisasi dan
(5) penghargaan kerja yang sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan Young et.al dalam
Sopiah (2008:164) mengemukakan ada 8 faktor yang secara positif berpengaruh
terhadap komitmen organisasional : (1) kepuasan terhadap promosi, (2) karakteristik
pekerjaan, (3) komunikasi, (4) kepuasan terhadap kepemimpinan, (5) pertukaran
ekstrinsik, (6) pertukaran intrinsik, (7) imbalan intrinsik, dan (8) imbalan ekstrinsik.
2.2.1.3.Komitmen Kerja Pegawai
Meyer dan Allen dalam Sihite (2007:32) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Tenaga kerja dengan komponen afektif tinggi, masih
bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi. Sementara itu tenaga kerja komponen continuance tinggi, tetap bergabung
dengan organisasi karena mereka membutuhkan organisasi. Tenaga kerja yang
memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena
mereka harus melakukannya.
Setiap tenaga kerja memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan
komitmen organisasi yang dimilikinya. Tenaga kerja yang memiliki komitmen
berdasarkan continuance. Pegawai yang tetap ingin menjadi anggota akan memiliki
keinginan untuk menggunakan usaha sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya
mereka yang terpaksa menjadi anggota organisasi akan menghindari kerugian
finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak
maksimal.
Mulyadi dalam Sihite (2007:31) menyatakan komitmen kerja karyawan
berkaitan dengan bagaimana karyawan akan berperilaku dalam perusahaan.
Karyawan yang berkomitmen mencurahkan energi emosional dan perhatiannya ke
perusahaan. Komitmen dapat dideteksi dari bagaimana karyawan berhubungan satu
dengan lainnya dan bagaimana perasaan mereka terhadap perusahaan. Seorang
karyawan akan memiliki komitmen terhadap perusahaannya jika ia melihat
kemungkinan untuk belajar dan bertumbuh. Jika karyawan sebagai individu
merasakan sebagai bagian dari suatu masyarakat yang terhormat dan memiliki
kepedulian, dalam diri karyawan tersebut akan tumbuh komitmen.
Komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman
sosialisasi, perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif
menimbulkan perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai, sehingga menimbulkan rasa
loyal kepada organisasi dan cenderung memikirkan akibat yang diambil jika keluar
dari organisasi, apakah organisasi di luar sebagai pengganti dapat memberikan
kepusan di dalam diri.
Komitmen kerja pegawai di Universitas Sumatera Utara didasarkan pada
memberikan promosi jabatan sesuai dengan kemampuan dan adanya pengembangan
karir sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga pegawai merasa kepuasan dan
memiliki motivasi berprestasi.
Mowday, Porter, dan Steers dalam Sugito (2008: 78-79) menyatakan bahwa komitmen karyawan memiliki tiga aspek utama, yaitu : a.) Identifikasi diwujudkan
dalam bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan
memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para
pegawai ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan
keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana
saling mendukung diantara para pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana
tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi
tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan organisasi yang
dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula, b)
Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk
diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan mereka akan mau dan
senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja.
Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah
dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan
keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah
diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, dengan melakukan
hal tersebut maka pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang
melaksanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan
dengan apa yang mereka ciptakan, dan c) Loyalitas pegawai terhadap organisasi
memiliki makna kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan
organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa
mengharapkan apapun. Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam
organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap
organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan
adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk
bekerja.
Komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a) Makin
lama seseorang bekerja pada suatu organisasi, semakin ia memberi peluang untuk
menerima tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasaan untuk
bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih besar dan peluang mendapat promosi
yang lebih tinggi, b) Adanya peluang investasi pribadi, yang berupa pikiran, tenaga
dan waktu untuk organisasi yang makin besar, sehingga makin sulit untuk
meninggalkan organisasi tersebut, c) Adanya keterlibatan sosial yang dalam dengan
organisasi dan individu-individu yang ada, hubungan sosial yang lebih bermakna,
sehingga membuat individu semakin berat meninggalkan organisasi, dan d) Akses
untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.
2.2.1.4. Pengukuran dan Indikator Komitmen Organisasi
merasakan, kebutuhan dan keinginan, biaya (pengorbanan), percaya (setia) dan
loyalitas. Sedangkan Mowday, Steers, Porter dalam Mas’ud (2004:67) indikator komitmen kerja diukur berdasarkan delapan faktor yaitu : bekerja melampaui target,
membanggakan organisasi kepada orang lain, menerima semua tugas, kesamaan nilai,
bangga menjadi bagian organisasi, organisasi memberi inspirasi, gembira memilih
bekerja pada organisasi ini, dan peduli terhadap nasib organisasi.
Berdasarkan indikator-indikator komitmen kerja dari beberapa pendapat ahli
di atas maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengertian komitmen
kerja adalah suatu tingkatan perasaan yang dimiliki seseorang karyawan untuk terikat
dengan pekerjaan serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan
tetap setia mempertahankan keanggotaan dirinya di dalam organisasi. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen kerja pegawai adalah : personal, lingkungan
pekerjaan, kesempatan untuk berkembang, komunikasi, kepuasan kerja.
2.2.2. Teori Kepuasan Kerja
Organisasi merupakan wadah tempat berkumpulnya orang-orang yang
melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan. Tujuan tersebut
dapat berupa tujuan pribadi anggota organisasi dan tujuan global organisasi. Melalui
kajjan ilmu perilaku organisasi dapat dipahami bahwa aktivitas manusia dalam
mencapai tujuan dilatarbelakangi oleh perilaku idnividu, perilaku kelompok, dan
produktivitas dan kinerja, tingkat kemangkiran, perputaran karyawan (turnover), dan
kepuasan kerja (Robbin, 2003 : 115).
Seseorang yang memiliki kepuasan kerja tinggi akan memperlihatkan sikap
yang positif terhadap pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak puas akan
memperlihatkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu sendiri (Robbins, 2003 :
115).
Kepuasan kerja seorang pegawai tergantung karesteristik pegawai dan situasi
pekerjaan. Setiap pegawai akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai
dengan sistem nilai yang berlaku dalam dirinya.. Semakin banyak aspek dalam
pekerjaan yang sesuai dengan kepentingan dan harapan pegawai tersebut maka
semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya dan sebaliknya.
Vroom dalam Luthan (2005 : 136) menggambarkan kepuasan kerja sebagai sikap positif terhadap pekerjaan pada diri seseorang. Bukti-bukti penelitian terhadap
kepuasan kerja dapat dibagi menjadi beberapa katagori seperti, kepemimpinan,
kebutuhan psikologis, penghargaan atas usaha, manajemen ideologi dan nilai-nilai,
faktor-faktor rancangan pekerjaan dan muatan kerja.
Selanjutnya, menurut Locke dalam Luthan (2005 : 136) kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian
pekerjaan atau pengalaman kerja. Locke membagi sembilan dimensi pekerjaan yang
merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya dan memiliki kontribusi yang
peng-akuan, benefit, kondisi kerja, supervisi, rekan sekerja, dan perusahaan
(manajemen).
Menurut Luthan (2005 : 137), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi
pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai
penting. Misalnya, jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras
daripada yang lain dalam depertemen, tetapi menerima penghargaan lebih sedikit,
maka mereka mungkin akan memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan,
dan atau rekan kerja mereka. Mereka tidak puas. Sebaliknya, jika mereka merasa
bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan pantas, maka mereka
mungkin akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka. Mereka merasa
puas.
Dari pendapat-pendapat Robbins, Vroom, Locke, dan Luthan tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah tingkatan perasaan yang
diterima seseorang dari mengerjakan pekerjaan yang didasarkan pada perbandingan
antara yang diterima pegawai dari hasil pekerjaannya dibandingkan dengan yang
diharapkan, dinginkan dan dipikirkannya.
Teori kepuasan kerja berdasarkan hirarki kebutuhan Abraham Maslow adalah:
1) Kebutuhan fisiologi yakni kebutuhan paling dasar manusia yakni kebutuhan akan
pakaian, perumahan, makanan, seks, dan kebutuhan ragawi lainnya. 2). Kebutuhan
keamanan, kebutuhan akan keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan
emosional. 3) Kebutuhan sosial mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik,
internal, seperti harga diri, otonomi, prestasi, dan faktor rasa hormat ,misalnya status,
pengakuan, dan perhatian 5). Kebutuhan aktualisasi diri yaitu dorongan untuk
menjadi yang mampu dikerjakannya, mencakup pertumbuhan, mencapai
potensialnya, dan pemenuhan diri (Robbin, 2003:116).
Menurut Mangkunegara, (2000:159), teori-teori yang berhubungan dengan
kepuasan kerja antara lain : 1) Teori keseimbangan (equity theory) dikembangkan oleh Adam, yang terdiri dari komponen input, outcome, comparison dan equity in
equity. Pertama, input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, misalnya pendidikan, pengalaman, sikll, usaha,
peralatan pribadi, jumlah jam kerja. Kedua, outcome adalah semua nilai yang
diperoleh dan dirasakan pegawai, misalnya upah, keuntungan tambahan, status
simbol, pengenalan kembali, kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan
diri. Ketiga, equity in equity dimana menurut teori ini puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan antara input-outcome dirinya dengan
output-outcome pegawai lain, 2) Teori perbedaan (discrepancy theory) dipelopori
pertama kali oleh Porter yang berpendapat bahwa untuk mengukur kepuasan dapat
dilakukan dengan cara menghitung selisih antara yang seharusnya dengan kenyataan
yang dirasakan pegawai. Apabila seseorang memperoleh lebih besar dari yang
diharapkan maka orang tersebut akan menjadi puas, sebaliknya jika memperoleh
sesuatu yang lebih kecil dari yang diharapkannya maka terjadi ketidakpuasan, 3)
masukan dan keluaran pekerjaan mereka tetapi dengan masukan dan keluaran orang
lain, dan kemudian berespon untuk menghapuskan setiap ketidakadilan.
Individu-individu tidak hanya perduli akan jumlah mutlak ganjaran atas kerja mereka, tetapi
juga berhubungan dengan jumlah yang diterima orang lain, 4) Teori pemenuhan
kebutuhan (need fulfillment theory), menyimpulkan bahwa kepuasan kerja pegawai tergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan. Pegawai akan merasa puas
apabila ia mendapatkan yang dibutuhkannya. Makin besar kebutuhan pegawai
terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut, demikian juga sebaliknya pegawai akan
merasa tidak puas jika kebutuhannya tidak terpenuhi, dan 5) Teori pandangan
kelompok (social reference group theory) menyikapi kepuasan seseorang berdasarkan pandangan dan pendapat kelompok acuan. Seseorang akan merasa puas
apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan kelompok
acuan. Sedangkan Madura (2001:82) teori pengharapan (expectancy theory)
menyatakan bahwa usaha seseorang karyawan dipengaruhi oleh hasil yang
diharapkan (penghargaan) atas usaha tersebut.
Teori-teori kepuasan kerja tersebut di atas merupakan dasar dalam mengkaji
dan meneliti mengenai kepuasan kerja. Kesimpulan dari teori-teori tersebut bahwa
kepuasan kerja dipengaruhi oleh sesuatu yang berada di dalam dan di luar diri
karyawan.
Kepuasan kerja karyawan terbentuk karena adanya faktor-faktor yang
melatarbelakanginya. Seperti kajian teori-teori kepuasan kerja sebelumnya, kepuasan
beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai hasil kajian dari
beberapa penulis dan peneliti, untuk selanjutnya dipilih beberapa faktor terpenting
sebagai kajian penelitian ini.
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kepuasan adalah faktor
yang berhubungan dengan pekerjaan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor yang
berhubungan dengan kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, faktor yang berhubungan
teman sekerja, faktor yang berhubungan dengan pengawasan, faktor yang
berhubungan dengan teman sekerja, faktor yang berhubungan dengan pegawasan,
faktor yang berhubungan dengan promosi jabatan/pengembangan karir dan faktor
yang berhubungan dengan gaji. Faktor-faktor tersebut merupakan item instrumen Job
Describsion Index yang digunakan banyak peneliti dalam mengkaji kepuasan kerja (Jewell dan Siegal dalam Juliandi, 2003:47)
Menurut Siagian (2002:126), kepuasan kerja ialah sikap umum seseorang
terhadap pekerjaannya. Artinya secara umum dapat dirumuskan bahwa seseorang
yang memiliki rasa puas terhadap pekerjaannya akan mempunyai sikap yang positif
terhadap organisasi dimana ia berkarya. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat paling
sedikit empat faktor yang turut berperan dalam kepuasan kerja, yaitu : 1) Pekerjaan
yang menantang, 2) Penerapan sistem penghargaan yang adil, 3) Kondisi yang
sifatnya mendukung, dan 4) Sifat rekan sekerja.
Selanjutnya Indrawijaya dalam Wahyuningrum (2008: 54) mengemukakan bahwa kepuasan kerja nampak dalam hasil pekerjaan. Alasan menyatakan kepuasan
menimbulkan kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan, 2) Kesehatan jiwa :
pekerjaan adalah faktor yang dapat menimbulkan tekanan psikologi, dan 3)
Kesehatan jasmaniah : terdapat hubungan antara pekerjaan dengan umur, karena
pekerja yang menyenangi pekerjaan akan memiliki umur panjang.
Luthan (2005:138) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja adalah: pekerjaan itu sendiri, gaji/honor, kesempatan promosi, pengawasan,
kondisi kerja dan rekan kerja. Kemudian Alwi (2001:118) menyatakan berbagai
bentuk kepuasan antara lain : 1) Kepuasan dengan kompensasi yang diterima, 2)
Kepuasan dengan tugas, 3) Kepuasan dengan penataan kerja, dan 4) Kepuasan
dengan peluang kedepan melalui jabatan. Sedangkan Blum dalam As’ad (2003:114) yang mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja meliputi: 1)
Faktor individual, seperti usia, kesehatan, jenis kelamin, 2) Faktor Sosial, seperti
interaksi dan hubungan dengan orang lain, dan 3) Faktor dalam pekerjaan, seperti
upah, kondisi kerja dan lain-lain.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja di Universitas Sumatera Utara meliputi :
administrasi/kebijakan Universitas Sumatera Utara, promosi, kesempatan untuk
berkembang, tanggung jawab, kondisi kerja, dan rekan kerja.
2.2.3. Teori Motivasi Berprestasi
Motivasi berasal dari kata Latin movere yang berarti dorongan atau daya
bawahan atau pengikut (Hasibuan, 2007: 92). Menurut Luthans dalam Thoha
(2007:207), motivasi terdiri tiga unsur, yakni kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goals). Motivasi, kadang-kadang istilah ini dipakai silih berganti dengan
istilahistilah lainnya, seperti misalnya kebutuhan (need), keinginan (want), dorongan (drive), atau impuls.
Motivasi adalah suatu perangsang keinginan (want) dan daya penggerak
kemauan bekerja seseorang; setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin
dicapai (Hasibuan, 2007: 95). Moekiyat dalam Hasibuan (2007:95), motif adalah
suatu pengertian yang mengandung semua alat penggerak alasan-alasan atau
dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu.
Menurut Berelson dan Steiner dalam Hasibuan (2007:95), sebuah motif adalah suatu
pendorong dari dalam untuk beraktivitas atau bergerak dan secara langsung atau
mengarah kepada sasaran akhir. Motivasi muncul karena adanya dorongan untuk
memenuhi kebutuhan.
Kebutuhan-kebutuhan itu terdiri dari kebutuhan fisiologis (seperti makan,
minum), kebutuhan akan rasa aman tentram, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi,
kebutuhan untuk dihargai dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, kebutuhan
untuk berprestasi merupakan kebutuhan manusia pada peringkat yang tertinggi.
(Siagian, 2002:103). Mc Clelland dalam Thoha (2007:236), membedakan tiga kebutuhan pokok manusia. Ketiga kebutuhan tersebut adalah kebutuhan berprestasi,
Motivasi sebagaimana didefinisikan oleh Robbins (2003 : 104) merupakan
kemauan untuk menggunakan usaha tingkat tinggi untuk tujuan organisasi, yang
dikondisikan oleh kemampuan usaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan individu.
Dalam definisi ini ada tiga (3) elemen penting yaitu; usaha, tujuan dan kebutuhan.
Elemen usaha merupakan pengukuran intensitas. Usaha yang diarahkan menuju dan
konsisten dengan tujuan organisasi merupakan jenis usaha yang seharusnya dicari,
dan motivasi merupakan proses pemenuhan kebutuhan.
Jae (2000 : 76) menunjukan bahwa motivasi pegawai sangat efektif untuk
meningkatkan dan memenuhi kepuasan kerja pegawai dimana faktor-faktor motivasi
tersebut diukur melalui faktor intrinsik (kebutuhan prestasi dan kepentingan) dan
faktor ekstrinsik (keamanan kerja, gaji dan promosi).
Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai motivasi yang telah diuraikan
di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu usaha yang
mendorong seseorang untuk bersaing dengan standar keunggulan, dimana standar
keunggulan ini dapat berupa kesempurnaan tugas, dapat diri sendiri atau prestasi
orang lain. Pegawai yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi nampaknya akan
memperoleh prestasi yang lebih tinggi
Motivasi berprestasi seseorang akan tercermin pada perilaku. Ada beberapa
ciri yang menjadi indikator orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi.
Individu yang motif berprestasi tinggi akan menampakkan tingkah laku dengan
memilih pekerjaan yang resikonya sedang (moderat ), mempunyai dorongan sebagai
umpan balik (feed back) tentang perebutannya dan berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara kreatif.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua buah karakteristik yang membedakan
antara seseorang yang motivasi berprestasinya rendah dengan orang yang yang
motivasi berprestasinya tinggi. Kedua karakteristik itu ialah : a) Kemauan untuk
melakukan aktivitas yang menunjukkan suatu prestasi orang yang motivasi
berprestasinya tinggi akan mempunyai anggapan bahwa keberhasilan disebabkan oleh
kemampuan dan usaha yang sungguh-sungguh. Anggapan seperti ini akan
menyebabkan orang tersebut bangga apabila dapat menyelesaikan suatu pekerjaan.
Rasa bangga ini menyebabkan bertambahnya keinginan untuk melakukan aktifitas
yang lain. b) Kegigihan berusaha. Usaha adalah faktor yang tidak setabil karena
bertangung pada kemampuan seseorang, orang yang motivasi berprestasi tinggi akan
cenderung bekerja keras sesudah mengalami kegagalan untuk mecapai sukses pada
waktu-waktu selanjutnya, ia akan terus berusaha untuk mencapai tujuan yang
sebelumnya gagal di capai. Sebaliknya orang yang motivasi berprestasi rendah
menganggap kegagalan disebabkan oleh ketidakmampuan. Kemampuan adalah faktor
yang stabil, tidak dapat di ubah oleh kemampuan semata-semata. Oleh karena itu,
dalam anggapannya kegagalan akan diikuti oleh rentetan kegagalan pula. Pada
individu yang rendah motivasi berprestasinya, usahanya untuk berprestasi juga lemah
Dalam proses belajar, motivasi seseorang tercermin melalui ketekunan yang
tidak mudah patah untuk mencapai sukses, meskipun dihadang banyak kesulitan.
Motivasi juga ditunjukkan melalui intensitas unjuk kerja dalam melakukan suatu
tugas. McClelland menunjukkan bahwa motivasi berprestasi (achievement motivation) mempunyai kontribusi sampai 64 persen terhadap prestasi belajar (Triluqman, 2007:1. www.heritl.blogspot.com. )
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan
terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja
maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki
daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan
dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang (Sudrajat, 2008:1.
www.wordpress.com. ).
Dari uraian tentang ciri-ciri orang yang memiliki motivitas tinggi, akhirnya
dapat dinyatakan bahwa individu akan mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan
mempresepsikan bahwa keberhasilan adalah merupakan akibat dari kemauan dan
usaha. Sedangkan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah akan
menpersepsikan bahwa kegagalan adalah sebagai akibat kurangnya kemampuan dan
tidak melihat usaha sebagai penentuan keberhasilan.
Menurut Herzberg dalam Andreni (2003: 20) faktor pemuas yang disebut juga motivator yang merupakan faktor pendorong seseorang untuk berprestasi yang
bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrinsik) antara lain: 1)
Tanggungjawab (responsibility), 4) Peluang untuk maju (advancement), 5) Kepuasan
kerja itu sendiri (the work it self), dan 6) Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth).
Sedangkan faktor pemelihara (maintenance faktor) disebut juga hygiene faktor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan
kesehatan. Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke
dalam faktor ekstrinsik, meliputi: 1) Kompensasi, 2) Keamanan dan keselamatan
kerja, 3) Kondisi kerja, 4) Status, 5) Prosedur perusahaan, dan 6) Mutu dari supevisi
teknis dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan, dan
dengan bawahan.
Berdasarkan uraian diatas faktor-faktor yang relevan dalam mempengaruhi
motivasi berprestasi pada Universitas Sumatera Utara adalah : pengakuan atas
prestasi, perlakuan yang wajar, pengakuan sebagai individu, penghargaan atas
pekerjaan, kesempatan untuk maju atau promosi.
2.2.4. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan berasal dari akar kata “pemimpin”, maksudnya adalah orang
yang dikenal oleh dan berusaha mempengaruhi para pengikutnya untuk merealisir
visniya (Sagala, 2009:114). Kepemimpinan adalah kekuatan dinamis penting yang
melalui suatu proses untuk mempengaruhi orang lain, baik dalam organisasi maupun
di luar organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam situasi dan kondisi
tertentu. Proses mempengaruhi tersebut sering melibatkan berbagai kekuasan seperti
ancaman, penghargaan, otoritas, maupun bujukan dan motivasi. (Sagala, 2010:124).
Konsep gaya kepemimpinan ini menunjukkan adanya kombinasi bahasa,
tindakan dan kebijakan tertentu, yang menggambarkan pola yang cukup konsisten
yang digunakan oleh pemimpin dalam membantu orang lain/bawahan/ kelompoknya
dalam mencapai hasil yang diinginkan bersama (Pace & Faules, 1998: 277).
Pendapat serupa dikemukakan oleh Robbins (2003:3) yang berpendapat
bahwa gaya kepemimpinan merupakan suatu strategi atau kemampuan dalam
mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Bass (dalam
Wutun, 2001:345), gaya kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi suatu
hubungan yang cenderung mengikuti pola/strategi tertentu untuk pencapaian tujuan
bersama. Sedangkan Lewis dalam Jewel dan Siegal (1998:435) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan suatu pengaruh dari seorang pemimpin terhadap
kelompok atau pengikut untuk meningkatkan kepatuhan dalam usaha mencapai
tujuan bersama.
Menurut Wutun (2001:345) salah satu konsep kepemimpinan yang dapat
menjelaskan secara tepat pola perilaku kepemimpinan atasan yang nyata ada dan
mampu memuat pola-pola perilaku dari teori kepemimpinan lain adalah
kepemimpinan transformasional dari Bass. Bass dalam (Wutun, 2001:350),
kesadaran para bawahannya mengenai pentingnya nilai kerja dan tugas mereka.
Pemimpin berusaha memperluas dan meningkatkan kebutuhan melebihi minat pribadi
serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk
kepentingan organisasi (Wutun, 2001:352).
Menurut Hay (2004:69) seorang pemimpin transformasional akan berusaha
memotivasi, membangkitkan semangat dan minat para bawahan, di samping itu tetap
berusaha meyakinkan akan tujuan dan misi organisasi. Pemimpin transformasional
juga akan berusaha melihat, memperhatikan, mengenali kemampuan individu yang
berguna untuk organisasi. Pemimpin transformasional berusaha meyakinkan bawahan
bahwa untuk bersama-sama menciptakan produktivitas kerja tinggi, usaha keras,
komitmen, dan kapasitas kerja yang tinggi.
Menurut Yammarino dan Bass dalam Daryanto dan Daryanto (2006:35) pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai
peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya.
Pemimpin transformasional juga mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi
masa depan dengan bawahannya, serta meningkatkan kebutuhan bawahan pada
tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Pemimpin
transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas
mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih
besar. Pemimpin transformasional juga akan berusaha mengartikulasikan visi masa
depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual,
Pemimpin transformasional cenderung berusaha untuk memanusiakan
manusia melalui berbagai cara seperti memotivasi dan memberdayakan fungsi dan
peran karyawan untuk mengembangkan organisasi dan pengembangan diri menuju
aktualisasi diri yang nyata (Wutun, 2001:351).
Bass dalam Wutun (2001:352) menambahkan bahwa kepemimpinan transformasional adalah bagaimana pemimpin mengubah (to transform) persepsi,
sikap, dan perilaku bawahan terlepas dari meningkat-tidaknya perubahan yang terjadi.
Secara konseptual, kepemimpinan transformasional (to transform) adalah sebagai
kemampuan pemimpin dalam mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja,
dan nilai-nilai kerja bawahan sehingga bawahan akan lebih mengoptimalkan kinerja
untuk mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan definisi-definisi Hay, Yammarino dan Bass, Wutun dan Bass
diatas dapat dikemukakan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kemampuan
memimpin atasan dalam mengubah lingkungan kerja, memotivasi dan menginspirasi
bawahan, menerapkan pola kerja dan nilai-nilai moral, menghargai dan
memperhatikan kebutuhan bawahan sehingga bawahan akan lebih mengoptimalkan
kinerja untuk mencapai tujuan organisasi.
Brown dalam Suhana (2007:45) menguji pengaruh perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan dan tugas terhadap komitmen organisasi.
Temuannya menunjukkan bahwa perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada
mendorong kreativitas dan menekankan pengembangan berpengaruh secara positif
pada komitmen afektif karyawan. Sementara perilaku kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas juga berpengaruh terhadap komitmen afektif karyawan, meski
tingkat pengaruhnya lebih rendah.
Penelitian yang dilakukan Chen (2004, dalam Nurjanah, 2008:72) menunjukkan bahwa budaya organisasi dan gaya kepemimpinan berpengaruh
signifikan positif terhadap komitmen organisasi, kepuasan kerja dan kinerja
karyawan. Menurut Bass dan Avolio dalam Suryanto (2005:58-59) menemukan
bahwa kepemimpinan transformasional memiliki empat komponen perilaku, yaitu : 1)
Idealized Influence adalah perilaku seorang pemimpin transformasional yang memiliki keyakinan diri yang kuat, selalu hadir di saat-saat sulit, memegang teguh
nilai-nilai moral, menumbuhkan kebanggaan pada pengikutnya, yang bervisi jelas,
dan langkah-langkahnya selalu mempunyai tujuan yang pasti, dan agar bawahan mau
mengikutinya secara suka rela, ia menempatkan dirinya sebagai tauladan bagi para
pengikutnya tersebut, 2) Individualized Consideration, adalah perilaku pemimpin transformasional, di mana ia merenung, berpikir, dan selalu mengidentifikasi
kebutuhan para bawahannya, berusaha sekuat tenaga mengenali kemampuan
karyawan, membangkitkan semangat belajar pada para karyawannya, memberi
kesempatan belajar seluas-luasnya, selalu mendengar bawahannya dengan penuh
perhatian, dan baginya adalah kunci kesuksesan sebuah karya, 3) Inspirational Motivation, adalah upaya pemimpin dalam memberikan inspirasi para pengikutnya
bawahan mencapai standar yang tinggi. Pemimpin akan mengajak bawahan untuk
memandang ancaman dan masalah sebagai kesempatan belajar dan berprestasi. Oleh
karenanya, pemimpin transformasional menciptakan budaya untuk berani salah,
karena kesalahan itu adalah awal dari pengalaman belajar segala sesuatu. Bagi
pemimpin kata adalah senjata utamanya, dengan ‘kata’ pula ia bangkitkan semangat
bawahan. Pemimpin akan menggunakan simbol-simbol dan metafora untuk
memotivasi mereka, bicara dengan antusias dan optimis, dan 4) Intellectual Stimulation. Imajinasi, dipadu dengan intuisi namun dikawal oleh logika
dimanfaatkan oleh pemimpin ini dalam mengajak bawahan berkreasi. Pemimpin
berusaha mengajak bawahan untuk berani menentang tradisi uang, dan mengajak pula
bawahan untuk bertanya tentang asumsi lama. Pemimpin menyadari bahwa sering
kali kepercayaan tertentu telah menghambat pola berpikir, oleh karenanya, pemimpin
mengajak bawahannya untuk mempertanyakan, meneliti, mengkaji dan jika perlu
mengganti kepercayaan itu.
Menurut Robbin (2003:473) faktor yang mempengaruhi gaya kepemimpinan,
yaitu terdiri dari dimensi (1) charisma atau idealism; (2) inspirasi atau motivasi; (3)
stimulasi intelektual; (4) pertimbangan individual. Sedangkan indikator gaya
kepemimpinan yaitu; (1) visi dan misi, menanamkan kebanggaan, meraih
penghormatan dan kepercayaan; (2) mengkomunikasikan harapan tinggi,
menggunakan simbol untuk memfokuskan pada usaha; menggambarkan maksud
masalah secara hati-hati; (4) memberikan perhatian pribadi, melayani secara pribadi,
melatih dan menasehati.
Sedangkan menurut Wutun (2001:353) kepemimpinan memiliki lima aspek
yaitu : 1) Atributed Charisma : pemimpin yang memiliki kharisma memperlihatkan visi, kemampuan keahliannya serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan
organisasi dan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi, 2) Idealized
Influence : pemimpin berusaha mempengaruhi bawahan dengan komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, komitmen dan keyakinan, serta memiliki
tekad untuk mencapai tujuan dengan tetap mempertimbangkan akibat-akibat moral
dan etik dari setiap keputusan yang dibuat, 3) Inspirational Motivation : pemimpin bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan melalui pemberian
arti, partisipasi dan tantangan terhadap tugas bawahan, 4) Intelectual Stimulation : pemimpin berusaha mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan
mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya, dan 5) Individualized Consideration : pemimpin berusaha memberikan perhatian kepada bawahan dan menghargai sikap bawahan terhadap organisasi
Berdasarkan indikator-indikator kepemimpinan dari beberapa pendapat ahli di
atas maka dalam penelitian ini dapat disimpulkan kepemimpinan pemimpin di
Universitas Sumatera Utara adalah : karisma, inspirasi, ransangan intelektual,
2.3. Kerangka Konseptual
Komitmen kerja karyawan dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya
kepemimpinan, kepuasan kerja, dan motivasi berprestasi. Komitmen organisasi
sebagai sebuah sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan kepada organisasi dan
merupakan suatu proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengungkapkan
perhatian mereka terhadap organisasi, terhadap keberhasilan organisasi serta
kemajuan yang berkelanjutan.
Porter dalam Oktaviansyah (2008 : 59) mengatakan bahwa komitmen organisasi didefinisikan sebagai pengidentifikasian dan keterlibatan dari seorang
individu terhadap organisasi tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Mowday,
Porter, dan Steers dalam Oktaviansyah (2008 : 59) yang mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sifat hubungan antara pekerja dan organisasi. Individu yang
mempunyai komitmen tinggi terhadap organisasi dapat dilihat dari keinginan kuat
untuk tetap menjadi anggota tersebut, kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi
kepentingan organisasi tersebut, dan kepercayaan akan dan penerimaan yang kuat
terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Adanya komitmen organisasi yang tinggi pada pegawai akan membuat
pegawai terhindar dari perilaku-perilaku keorganisasian yang negatif misalnya
membolos, mangkir, pindah kerja ke perusahaan lain, meninggalkan jam kerja, dan
Menurut Colquitt, et al (2009: 34) komitmen organisasi dipengaruhi oleh
kepuasan kerja, stress/tekanan, motivasi, keadilan, dan pengambilan keputusan. Hasil
penelitian Salami (2008: 94) bahwa komitmen terhadap organisasi dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain oleh faktor demografi, kecerdasan emosi, kepuasan
kerja dan motivasi berprestasi. Desianty (2005:81) menyimpulkan bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara variabel kepemimpian terhadap komitmen
organisasi. Dalam hal ini kepemimpinan memiliki pengaruh yang lebih besar
terhadap komitmen organisasi karena pemimpin lebih memberikan perhatian,
dorongan motivasi dan mampu memahami keinginan karyawannya. Anwar (2008:7)
menyimpulkan bahwa pimpinan yang menunjukkan perilaku kepemimpinan adalah
adanya komitmen yang tinggi untuk memberikan penghargaan kepada siapa saja
individu yang menunjukkan kinerja yang baik, beretos kerja, memberi keteladanan,
tepat waktu menghadiri undangan, tepat waktu datang bertugas, tepat waktu dalam
menunaikan janji, dan menunjukkan sikap ingin bekerja sama.
Pengaruh pemimpin atau atasan terhadap bawahan dapat dilihat dari para
bawahan merasakan adanya kepercayaan, kebanggaan, loyalitas dan rasa hormat
kepada atasan, dan mereka termotivasi untuk melakukan melebihi apa yang
diharapkan (Bass dalam Natsir, 2004:2-3). Menurut Aviolo dalam Kaihatu dan Rini
(2007:51), bahwa fungsi utama dari seorang pemimpin adalah memberikan pelayanan
sebagai katalisator dari perubahan (catalyst of change), namun saat bersamaan sebagai seorang pengawas dari perubahan (a controller of change). Case dalam
perbedaan dalam mendefinisikan kepemimpinan, akan tetapi secara umum mereka
mengartikannya sebagai agen perubahan (an agent of change).
Kepuasan kerja dalam beberapa penelitian dihubungkan secara positif dengan
komitmen. Robbins (2003 : 115) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu
sikap umum terhadap pekerjaan seseorang sebagai perbedaan antara banyaknya
ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang diyakini yang seharusnya
diterima.
Motivasi berprestasi itu sendiri menurut Edward dalam Nugrahney (2009 :
19) adalah kebutuhan individu untuk berbuat lebih baik dari orang lain yang
mendorong individu untuk menyelesaikan tugas lebih sukses dan untuk mencapai
prestasi yang lebih tinggi. Menurut Hall dan Lindzey dalam Nugrahney (2009 : 19)
bahwa motivasi berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan dengan prestasi,
yaitu menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial atau fisik, mengatasi
rintangan-rintangan dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing untuk
melebihi perbuatannya yang lampau dan mengungguli orang lain.
Peningkatan kepuasan kerja, motivasi berprestasi dan kepemimpinan
berpotensi dapat meningkatkan komitmen kerja. Pegawai yang puas terhadap
pekerjaannya, secara logis akan memiliki komitmen tinggi. Semakin tinggi
kepemimpinan maka semakin tinggi komitmen organisasi, demikian pula pegawai
yang memiliki motivasi berprestasi, secara logis akan lebih konsisten dalam
lanjut, maka kepuasan kerja, motivasi berprestasi dan kepemimpinan secara langsung
dapat berpengaruh terhadap komitmen kerja.
2.3.1 Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Kerja
Kepuasan kerja adalah tingkatan kenikmatan yang diterima orang dari
mengerjakan pekerjaan. Kepuasan kerja didasarkan pada perbandingan antara yang
diterima pegawai dari perusahaan dibandingkan dengan yang diharapkan, diinginkan
atau dipikirkan seseorang. Kepuasan karyawan merupakan ukuran sampai seberapa
jauh perusahaan dapat memenuhi harapan karyawannya yang berkaitan dengan
berbagai aspek dalam pekerjaan dan jabatannya. Karyawan yang tidak puas biasanya
mempunyai motivasi kerja yang rendah sehingga dalam bekerja pun biasanya kurang
bersemangat, malas, lambat bahkan bisa banyak melakukan kesalahan dan lain-lain
yang bersifat negatif sehingga akan menimbulkan pemborosan biaya, waktu dan
tenaga.
Apabila seseorang merasa telah terpenuhinya semua kebutuhan dan
keinginannya oleh organisasi maka secara otomatis dengan penuh kesadaran mereka
akan meningkatkan tingkat komitmen yang ada dalam dirinya. Kepuasan kerja dapat
terpenuhi maka komitmen terhadap organisasi akan timbul dengan baik, sehingga
kepuasan akan berdampak terhadap komitmen organisasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, diduga adan pengaruh positif antara
dikatakan semakin tinggi kepuasan kerja pegawai akan semakin meningkat komitmen
kerja pegawai dalam bekerja di Universitas Sumatera Utara.
2.3.2 Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Komitmen Kerja
Motivasi berprestasi merupakan
Motivasi berprestasi yang dimiliki oleh pegawai maka akan muncul kesadaran
pegawai Universitas Sumatera Utara untuk selalu mencapai kesuksesan (perilaku
produktif dan selalu memperhatikan kualitas) dapat menjadi sikap dan perilaku
permanen pada diri individu. Motivasi berprestasi akan dapat mendobrak
bekal untuk meraih sukses. Sukses berkaitan
dengan perilaku 'produktif dan selalu memperhatikan/menjaga 'kualitas' produknya.
Motivasi berprestasi merupakan konsep personal yang inheren yang merupakan
faktor pendorong untuk meraih atau mencapai sesuatu yang diinginkannya agar
meraih kesuksesan. Untuk mencapai kesuksesan tersebut setiap orang mempunyai
hambatan-hambatan yang berbeda, dan dengan memiliki motivasi berprestasi yang
tinggi, diharapkan hambatan-hambatan tersebut akan dapat diatasi dan kesuksesan
yang dinginkan dapat diraih.
building
block
Berdasarkan uraian tersebut di atas, diduga adan pengaruh positif antara
motivasi berprestasi pegawai terhadap komitmen kerja dalam pekerjaannya. Dapat
dikatakan semakin tinggi motivasi berprestasi pegawai akan semakin meningkat
komitmen kerja pegawai dalam bekerja di Universitas Sumatera Utara.
ketahanan individu dalam menghadapi tantangan hidup sehingga mencapai
1.3.3 Pengaruh Kepemimpinan terhadap Komitmen Kerja
Seorang pemimpin mempunyai tujuan dan visi misi yang jelas, serta memiliki
gambaran yang menyeluruh terhadap organisasinya di masa depan. Pemimpin dalam
hal ini berani mengambil langkah-langkah yang tegas tetapi tetap mengacu pada
tujuan yang telah ditentukan guna keberhasilan organisasinya, misalnya saja dalam
menerapkan metode dan prosedur kerja, pengembangan staf secara menyeluruh,
menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, juga termasuk di dalamnya berani
menjamin kesejahteraan bagi para stafnya.
Memelihara komitmen organisasi, peran seorang pemimpin sangat
dibutuhkan, dan kepemimpinan yang efektif menjadi syarat utama. Pemimpin yang
efektif dalam menerapkan gaya tertentu dalam kepemimpinannya terlebih dahulu
harus memahami siapa bawahan yang dipimpinnya, mengerti kekuatan dan
kelemahan bawahannya, dan mengerti bagaimana cara memanfaatkan kekuatan
bawahan untuk mengimbangi kelemahan yang mereka miliki.
Kepemimpinan merupakan pemimpin yang memberikan pertimbangan dan
rangsangan intelektual yang diindividualkan pada para bawahan atau pengikut.
Kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh adanya lingkungan kerja yang baik dengan
tidak memihak kepada salah satu pegawai dalam promosi jabatan dan pengembangan
karir sehingga pegawai akan memiliki komitmen kerja yang tinggi pada Universitas
komitmen kerja pegawai jika pegawai merasa diperhatikan kemampuannya dan selalu
diberi dorongan untuk terus berusaha dalam mencapai keinginannya.
Kepemimpinan yang dapat membina hubungan baik antara pimpinan dengan
pegawai, mampu memotivasi pegawai untuk bekerja dengan baik sehingga
memunculkan adanya kepuasan kerja dan motivasi berprestasi dari pegawai. Secara
langsung maupun tidak langsung kondisi ini dapat meningkatkan komitmen kerja di
Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, diduga
bahwa ada pengaruh positif secara bersama-sama antara kepemimpinan, kepuasan
kerja dan motivasi berprestasi pegawai terhadap komitmen kerja. Dengan kata lain
semakin baik kepuasan kerja, motivasi berprestasi dan kepemimpinan maka semakin
tinggi komitmen kerja pegawai.
Berdasarkan uraian di atas, secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
Komitmen Kerja (Y)
Kepemimpinan (X3) Motivasi
Berprestasi (X2) Kepuasan Kerja
2.6 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseeptual yang telah
diuraikan, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kepuasan kerja berprestasi berpengaruh positif terhadap komitmen kerja
pegawai Universitas Sumatera Utara.
2. Motivasi berprestasi berpengaruh positif terhadap komitmen kerja
pegawai Universitas Sumatera Utara.
3. Kepuasan kerja dan Motivasi berprestasi berpengaruh positif terhadap
komitmen kerja pegawai Universitas Sumatera Utara.
4. Kepuasan kerja dan motivasi berprestasi dengan kepemimpinan sebagai
variabel moderating berpengaruh positif terhadap komitmen kerja pegawai