• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau Di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau Di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris di mana tanah diperuntukkan bagi

kemakmuran hidup rakyatnya. Dalam hal ini sesuai Undang-Undang Dasar 1945

pasal 33 ayat (3) yang berbunyi :

“Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat.”

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menganut asas unifikasi yang

artinya hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air, artinya hanya ada satu sistem

yaitu yang ditentukan dalam pasal 5 UUPA,

“hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.1

Minangkabau merupakan salah satu wilayah di Indonesia di mana hubungan

antara masyarakat dan tanah tidak bisa dipisahkan dari hukum adat.

Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi

putra dan timur asing yang mempunyai upaya memaksa, lagi pula tidak

dikodifikasikan.2 Jadi sistem hukum adat adalah sistem yang tidak tertulis, yang

1

A.P. Parlindungan ,Konversi Hak – Hak Atas Tanah,(Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 1

2Abdul Manan, Hukum Islam Dalam Berbagai Wacana, (Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003),

(2)

tumbuh dan berkembang serta terpelihara sesuai dengan kesadaran hukum

masyarakatnya, karena hukum adat sifatnya tidak tertulis maka hukum adat

senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang

terjadi dalam masyarakat dan yang berperan dalam melaksanakan hukum adat ini

adalah pemuka adat itu sendiri sebagai pemimpin yang disegani dan berpengaruh

dalam lingkungan masyarakatnya.3

Peradaban manusia sejak dahulu di dalam sejarah sudah menjelaskan

bagaimana cara untuk mempertahankan kelangsungan keturunannya dengan

mempersiapkan lahan pertanian atau harta benda yang bisa diwariskan bagi keturunan

anak cucunya kelak agar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik.

Kebiasaan ini lambat laun menjadi ajaran-ajaran adat pada suku-suku tertentu.

Kebiasaan adat lebih dititikberatkan kepada norma-norma adat atau kebiasaan leluhur

yang kesemuanya merujuk kepada hak otoritas kepala suku apakah itu laki-laki

ataupun perempuan, klanmatriarkiataupatriarki.4

Hukum adat Minangkabau tanah harta pusaka tinggi merupakan harta

kekayaan yang harus dipertahankan karena wibawa kaum ditentukan dari luas tanah

yang dimiliki kaum tersebut dan untuk menandakan bahwa ia orang Minangkabau

asli sesuai dengan pepatah adat yaitu :5

3Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sungut,

Budaya Dan Hukum Adat di Minangkabau, (Bukit Tinggi : Kristal Multimedia, 2010), hlm. 224

4Patriarkidiartikan sebagai sistim masyarakat yang menelusuri garis keturunan melalui pihak

bapak (suami). Sebaliknya matriarki, kelompok masyarakat yang menelusuri garis keturunan melalui pihak ibu (istri), Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 128

5Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang : Sri

(3)

Ado tapian tampek mandi, (ada tepian tempat mandi)

Ado basasok bajarami, (ada sawah yang menghasilkan)

Ado bapandam pakuburan, (ada tanah yang khusus digunakan untuk makam

keluarga).”

Tanah adalah suatu hak yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Tanah

adalah tempat untuk mencari nafkah, mendirikan rumah atau tempat kediaman,

menjadi tempat dikuburnya orang pada waktu meninggal dan juga sumber

penghidupan bagi keluarga. Artinya, tanah adalah hal yang sangat diperlukan

manusia.

Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak kemenakan dalam

istilah adat disebut juga dengan “Pusako Basalin “6bagi harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat seperti pepatah berikut :

Tajua indak dimakan bali

Tasando indak dimakan gadai

Artinya :

Terjual tidak bisa dibeli

Agunan yang tidak dapat digadai.

Bagi masyarakat adat Minangkabau, tanah harta pusaka tinggi tidak boleh

diperjualbelikan atau digadaikan. Perbuatan menggadai tanah harta pusaka tinggi

diperbolehkan hanya untuk keperluan kepentingan kaum atau menjaga martabat

6Pusako Basalin adalah pemindahan harta pusaka yang diturunkan dari satu generasi ke

(4)

kaum. Menggadai tanah harta pusaka tinggi harus dilakukan secara musyawarah antar

anggota kaum dan harus mendapat persetujuan anggota kaum tersebut untuk

menggadai. Adanya larangan ini pada hakikatnya adalah untuk menjaga agar jangan

sampai harta pusaka tersebut berpindah keluar dari kekuasaan kaum dan menjadi

milik orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kaum tersebut. Ada

ketentuan adat tanah harta pusaka tinggi itu dapat digadaikan harus memenuhi salah

satu syarat berikut:7

1. Mayat tabujua di tangah rumahartinya tanah pusaka tinggi dapat digadaikan apabila untuk biaya pemakaman.

2. Rumah gadang katirisan artinya apabila rumah kaum (rumah gadang) perlu diperbaiki (renovasi).

3. Gadih gadang alun balakiartinya untuk mengawinkan perempuan yang telah cukup dewasa yang kalau tidak dikawinkan dapat membuat malu kaumnya atau kepala suku.

4. Mambangkik batang tarandam artinya untuk menegakkan penghulu karena penghulu sebelumnya telah meninggal.

Jika tidak ada karena sebab yang 4 (empat) perkara tersebut, tanah harta

pusaka tinggi tersebut tidak boleh dijual atau digadaikan. Sebelum melakukan hal

tersebut, supaya dicari terlebih dahulu jalan lain, jika sudah habis tenggang (waktu)

dan tidak dapat juga, barulah dilakukan menggadai tanah harta pusaka tinggi tersebut.

Sesungguhnya diizinkan menggadai dengan sebab yang empat tersebut,

apabila hendak melakukan perbuatan itu tidak boleh dengan sengaja. Penghulu yang

mengepalai kampung itu wajib menyuruh kaumnya berusaha mencari bermacam

-macam jalan sebelum menggadai, namun bila usaha kaumnya tidak berhasil dan

7A.A.Navis,Alam Terkembang Menjadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta:

(5)

harus melangsungkan atau membiayai salah satu dari 4 (empat) penyebab tersebut

maka dengan persetujuan seluruh kaum barulah harta pusaka tinggi itu dapat

digadaikan menurut adatnagariitu.8

Gadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota kaum harta pusaka

tinggi tersebut sudah sepakat. Harta yang digadaikan dapat ditebus kembali dan tetap

menjadi milik ahli warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu

manggadai biasanya tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum “sabarek

sapikua”(seberat sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.9

Si penggadai memperoleh sejumlah emas, rupiah atau uang yang diukur

dengan luas harta yang digadaikan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagaisando (sandra), maka boleh ditebusi

oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun

kesawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi

uang atau emas tadi.10

Selama itu pemegang gadai berwenang untuk mempergunakan atau

mengambil manfaat dari tanah tersebut. Pemegang gadai adalah orang yang

menyerahkan sejumlah emas, rupiah atau uang kepada pemilik tanah yang

memperoleh hak gadai atas tanah yang dimaksud, hak gadai itu berakhir dengan

penebusan emas, rupiah atau uang yang menjadi tebusan itu sebanyak yang pernah

8Ibrahim Dt.Sanggoeno Diradjo, Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang,

(Bukit Tinggi : Kristal Multimedia, 2010), hlm. 239

9

(6)

diserahkan oleh pemegang gadai, dengan demikian maka jelaslah bahwa sungguhpun

pemilik tanahnya sama-sama menerima sejumlah emas, rupiah atau uang dari pihak

lain, hak gadai itu bukanlah hak jaminan atau hak tanggungan.11

Orang yang banyak harta yang berupa materiil dikatakan orang berada atau

orang kaya, tetapi menurut pandangan adat di Minangkabau, orang berada atau

banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka tinggi turun temurun yang

dimilikinya. Dari status adat, orang atau kaum lebih terpandang jika memiliki banyak

harta pusaka yang bukan karena dibeli.12

Yang dimaksud harato pusako tinggi ialah segala harta pusaka yang diwarisi

secara turun temurun sebagaimana dalam pepatah adat menyatakan sebagai berikut:13 Birik-birik tabang ka sawah(birik-birik terbang ke sawah)

Dari sawah tabang ka halaman(dari sawah terbang kehalaman)

Basuo di tanah bato(bertemu ditanah bata)

Dari niniak turun ka mamak(dari ninik turun ke mamak)

Dari mamak turun ka kamanakan(dari mamak turun kemenakan)

Patah tumbuah hilang baganti(patah tumbuh hilang berganti)

Pusako baitu juo(pusaka demikian juga)

Tanah harta pusaka tinggi ini merupakan jaminan untuk kehidupan dan biaya

anak kemenakan di Minangkabau, terutama untuk kehidupan masyarakat yang

berlatar belakang kehidupan agraris di dusun dannagari.

11Dirman,Perundang-Undangan Agraria di Indonesia, (Jakarta : J.B.Wolters, 1958), hlm. 108

12Azmi Bagindo,Cimbuak – Forum Silaturahmi dan Komunikasi Masyarakat Minangkabau,

Bukit Tinggi tanggal 1 April 2008

(7)

Tanah di Minangkabau merupakan suatu pengikat untuk berdirinya suatu

organisasi (kaum) dan penggunaan tanah tersebut dapat dilakukan secara bersama

sehingga akan menjamin kelangsungan hidup organisasi (kaum) tersebut.14

Selama ini penyebutan tentang harta di Minangkabau sering tertuju

penafsirannya kepada harta yang berupa materiil saja seperti sawah, ladang, tabek

(kolam ikan), rumah gadang, bukit, hutan yang diwariskan secara turun temurun

kepada anak/kemanakan perempuan, balai (tempat berkumpul), mesjid atau langgar

(surau), tanah pemakaman dinikmati pemakaiannya oleh seluruh anggota kaum.15 Di samping harta yang berupa materiil ini ada pula harta yang berupa

immateriil yakni sako (gelar pusaka) merupakan kekayaan tanpa wujud memegang

peranan yang sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat di Minangkabau

seperti pemberian gelar penghulu (datuak) diberi dengan menggunakan upacara adat

yang menghabiskan biaya yang cukup banyak, peralatan atau perlengkapan penghulu

(datuak) semua harta tersebut diwariskan secara turun temurun kepada anak laki-laki

dari saudara perempuan.16

Pusako (pusaka) atau harta pusaka adalah segala kekayaan berwujud

(materiil) yang diwariskan nantinya kepada anak kemanakan. Harta Pusaka adalah

harta milik bersama (kolektif) yang tidak boleh dibagi menjadi hak perorangan oleh

orang yang menerima pusaka, melainkan wajib selamanya menjadi hak bersama

14 Iskandar Kamal, Beberapa Aspek Dari Hukum Kewarisan Matrilineal ke Bilateral di

Minangkabau,dalam Mukhtar Naim, (Padang : Center for Minangkabau studies, 1968), hlm. 12 15Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sunggut,Op Cit,hlm. 305

(8)

dalam kaum yang menerima pusaka secara turun temurun, semua anggota kaum sama

berhak atas pemakaian harta tersebut, dan diawasi dan dipelihara oleh Mamak Kepala

Waris untuk kelangsungan hidup para kemenakan anggota kaum.17

Seseorang yang sedang memegang dan mengusahai harta pusaka tersebut

adalah sebagai peminjam pakai dan ia tidak berhak mengalihkan dan melakukan

perbuatan hukum lainnya atas harta pusaka tersebut dengan cara apapun juga, bila ia

meninggal dunia maka dengan sendirinya harta tersebut kembali kepada kaumnya.

Hasil keputusan rapat yang dilakukan oleh ninik mamak, cadiak pandai,alim

ulama di Bukit Tinggi pada tahun 1952 dan dikuatkan dalam Seminar Hukum Adat

Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968 menyimpulkan mengenai

harta pusaka di Minangkabau dibedakan atas empat bahagian yaitu :

1. Harta Pusaka Tinggi

2. Harta Pusaka Rendah

3. Harta Pencaharian

4. Harta Suarang

Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun

temurun dari orang-orang tua terdahulu, yang tidak diketahui lagi siapa yang

pertama-tama memperoleh atau mendapatkan harta yang diwarisi secara turun

temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Masyarakat adat

Minangkabau menganut sistem matrilineal, mereka hidup dalam masyarakat yang

kekerabatannya dihitung menurut garis ibu semata-mata dan pusaka serta waris

(9)

diturunkan menurut garis ibu pula sehingga seorang anak tidak menerima warisan

dari ayahnya melainkan dari ibu, mamak atau bibinya.

Harta pusaka tinggi diturunkan jauh lebih tinggi yaitu dari ninik (nenek

perempuan) diwariskan ke uwo, dari uwo ke mande (ibu) dan dari mamak ke

kemenakan.18

Harta pusaka rendah adalah harta hasil pencaharian suami istri dalam suatu

perkawinan dan apabila perkawinan tersebut terhenti karena perceraian atau karena

meninggal salah satu pihak maka harta yang didapat selama perkawinan dalam

masyarakat adat di Minangkabau dibagi dua, apabila yang meninggal suami maka

setengah menjadi hak kemanakan dalam kaumnya, apabila yang meninggal istri maka

setengah menjadi hak ibu atau saudara perempuannya dan sisa setengah menjadi hak

istri/suami dan anaknya.19

Harta pewarisan yang pada awalnya adalah merupakan harta pusaka rendah

akan menjadi harta pusaka tinggi bila telah diwariskan berdasarkan sistemmatrilineal

dalam kaitannya dengan penambahan harta pusaka tinggi yang berfungsi sebagai

pengikat diantara sesama kaum yang biasanya berbentuk rumah gadang dan tanah

pusaka. Tanah ini merupakan suatu pengikat untuk berdirinya suatu organisasi

(kaum) dan penggunaan tanah tersebut dapat dilakukan secara bersama sehingga akan

menjamin kelangsungan hidup organisasi (kaum) tersebut.20

18Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sunggut,Op Cit,hlm. 264 19Ibid,hlm. 268

(10)

Pada masa sekarang ini tanah harta pusaka tinggi yang merupakan milik kaum

keadaannya tidak lagi sama seperti masa dahulu. Dalam beberapa hal tanah harta

pusaka tinggi tersebut telah mengalami pengurangan yang disebabkan oleh makin

bertambahnya jumlah anggota kaum sehingga dalam kaum tersebut didirikan lagi

penghulu yang tercipta dua atau tiga mamak kepala kaum yang baru yang berakibat

harus dibaginya tanah harta pusaka tinggi yang lama untuk mamak kepala kaum yang

baru tersebut.

Tanah harta pusaka tinggi sebagai alat pemersatu keluarga yang kepemilikan

secara kolektif dapat dalam bentuk samande atau seibu, dalam bentuk (ganggam

bauntuak)21, sajurai22, seperut (saparuik), sesuku, senagari masih tetap berfungsi dengan baik, sebagai simbol kebersamaan dan kebanggaan keluarga dalam sistem

kekerabatan matrilinial di Minangkabau tetap bertahan.

Dalam perkembangan di masyarakat Minangkabau, gadai dapat terjadi diluar

empat syarat adat yang telah ditetapkan dan yang menjadi syarat mutlak untuk

terlaksananya gadai adalah kata sepakat dengan ahli waris yang bersangkutan dengan

pusaka tersebut.23

Istilah gadai tanah dikenal juga sebagai menjual gadai, manggadai,

mamagang atau pagang gadai. Berkaitan dengan pagang gadai24 ini, perlu juga

21Ganggam bauntuk adalah peruntukan tanah ulayat kaum oleh mamak kepala kepada

anggota kaumnya secara hirarkis diperuntukkan perumahan dan usaha lain di mana mamak kepala warisnya menggali penggunaan tanah tersebut, Amir MS,Pewarisan Harato Pusako Tinggi Dan Pencaharian(Citra Harta Prima : Jakarta, 2011),hlm. 29

22Sajuraiadalah sama berasal dari satu perut seorang nenek (Uwo)

23Idrus Hamkimy Dt. Rajo Penghulu,Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau,

(Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 129

24 Pegang gadai adalah suatu transaksi di mana seseorang menyerahkan sebidang tanah

(11)

disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp thn 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria-UUPA)

yang berbunyi : “Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang

pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib

mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman

yang ada selesai dipanen”.

Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan

yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam halpagang gadai.

Oleh karena itupagang gadaidi Minangkabau masih tetap seperti semula dan

masih berlangsung secara asas kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan

suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial. Sebab harta pusaka tinggi itu

dapat berfungsi membantu kesulitan hidup dalam kaum masingmasing yang sama

-sama memiliki tanah harta pusaka tinggi.

Orang dalam kampuang atau orang dalam suku berhak melarang atau

membatalkan orang menggadaikan tanah harta pusaka tinggi kalau tidak menurut

aturan adat yang berlaku di Minangkabau. Apabila perbuatan itu dilakukan juga,

dengan tidak mau mengindahkan larangan adat, maka perbuatan kedua belah pihak

itu, baik si penggadai maupun si yang menerima gadai dinyatakan salah dan batal

hukumnya.

Apabila pekerjaan yang salah itu disetujui oleh penghulu atau tokoh

masyarakat, maka yang menyepakati pekerjaan itu dinyatakan salah juga menurut

(12)

aturan adat di Minangkabau, yaitu melanggar larangan adat tentang penjagaan tanah

harta pusaka tinggi di dalamnagari.

Pihak-pihak yang menyetujui hal tersebut dianggap sengaja mau

menghilangkan atau melenyapkan harta pusaka tinggi orang yang menggadai

tersebut. Sebab kalau tidak disetujuinya, niscaya tidak akan ada pihak lain melakukan

gadai harta pusaka tinggi, meskipun sudah ada kesepakatan seluruh ahli warisnya.

Apabila orang dalam kampuangatau orang dalam suku yang tahu tetapi tidak

melarang perbuatan orang yang suka menggadaikan tanah harta pusaka tinggi maka

akan mendatangkan kesusahan kepada orang sekampungnya atau kepada orang

sesukunya sebab dengan banyak digadaikannya tanah harta pusaka tinggi tersebut

ahli waris menjadi kekurangan tanah harta pusaka tinggi dalam sekaum dan memberi

aib atau malu kepada orang sekampung atau sesukunya.

Seandainya harta pusaka tinggi mereka sudah habis dijual atau digadaikan

dengan jalan yang tidak sesuai dengan ketentuan aturan adat, orang sekaum atau

sesuku itu ditakutkan akan menjadi orang jahat, menipu, atau menjadi pencuri,

penyamun dan lain-lain yang memberi kesusahan serta malu kepada orang

sekampung dan sesuku. Begitulah aturan orang-orang tua yang memiliki tanah harta

pusaka tinggi itu dahulunya, supaya harta itu terpelihara tetap ada dan dinikmati

hasilnya sampai kepada anak cucunya dan selanjutnya.

Di masa sekarang aturan pemeliharaan tanah harta pusaka tinggi telah hampir

hilang, sebab tidak dijaga lagi dengan sebaik-baiknya oleh penghulu dan pihak-pihak

(13)

Pada masa mamaknya atau di masa niniknya banyak memiliki tanah harta

pusaka tinggi pada masa sekarang tanah harta pusaka tinggi tersebut sudah tinggal

sedikit karena telah habis terjual atau digadaikan, dengan tidak menurut aturan yang

berlaku oleh adat di Minangkabau. Begitu juga dengan orang-orang di dalam

kampuang itu sendiri, mereka memudahkan tentang bagaimana tata cara menggadai

tanah harta pusaka tinggi secara adat yang seharusnya berlaku.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut

mengenai “Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam

Masyarakat Adat Minangkabau Di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan gadai tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam

Nagari Kamang Mudiak?

2. Faktor - faktor apa saja yang menyebabkan dilakukannya gadai atas tanah

harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

3. Bagaimana dampak dari adanya perkembangan syarat adat menggadai tanah

harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, adapun tujuan yang

(14)

1. Untuk mengetahui pelaksanaan gadai tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten

Agam Nagari Kamang Mudiak.

2. Untuk mengetahui factor-faktor yang menyebabkan dilakukannya gadai tanah

harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

3. Untuk mengetahui dampak dari adanya perkembangan syarat adat menggadai

tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keadaan tentang gadai tanah harta

pusaka tinggi di Minangkabau. Dalam pelaksanaannya yang masih tumbuh dan

berkembang di masyarakat tapi kurang diperhatikan oleh sistem hukum yang ada.

Kajian penelitian ini diharap bermanfaat untuk pelaksanaan gadai di

tengah-tengah masyarakat saat ini di mana apabila pelaksanaan gadai terus dilakukan maka

perlu disusun aturan dengan tidak merubah aturan gadai pada dasarnya agar mengikat

pihak yang bersangkutan untuk menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari.

D. Manfaat Penelitian

Kajian penelitian diharapkan bermanfaat terhadap pelaksanaan, faktor

penyebab serta dampak terhadap perilaku gadai tanah yang tumbuh dan berkembang

di tengah-tengah masyarakat. Secara ilmiah agar menambah wawasan berfikir agar

gadai tanah yang dilakukan jangan sampai mengandung unsur pemerasan karena hal

itu bertentangan dengan Undang-Undang.

Penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama sehingga

dapat dimanfaatkan sebagai kerangka landasan dalam membuat kebijakan hukum

(15)

setiap revolusi sains itu akan mengubah perspektif historis masyarakat yang

mengalaminya.25 Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi dan menghasilkan kemanfaatan

dalam bidang pengetahuan dan menjadi bahan lebih lanjut untuk melahirkan

peraturan pelaksanaan mengenai Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta

Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam Nagari

Kamang Mudiak.

2. Manfaat Praktis.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan masukan kepada para

akademis, praktisi maupun bagi pihak terkait mengenai Perkembangan Syarat

Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di

Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang ada di

lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di Program Magister

Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum

ada penelitian sebelumnya yang berjudul tentang “Perkembangan Syarat Menggadai

Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten

25Thomas S.Khun,The Structure of Scientific Revolution,(California,Berkeley : 1962), hlm.

(16)

Agam Nagari Kamang Mudiak” akan tetapi kalaupun ada yang membahas mengenai

gadai di mana objek kasus dan perumusan masalah tidaklah sama, penelitian yang

membahas mengenai gadai yaitu :

Refliza, NIM 117011073, mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2011, berjudul “Kajian

Hukum Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau di Kecamatan

Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 56/PRP/1960

Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian”

Dengan perumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana keberadaan gadai tanah dalam masyarakat Minangkabau di

Kecamatan Sungayang?

b. Bagaimana pelaksanaan pasal 7 Undang-Undang No.56 Prp/1960 di

Kecamatan Sungayang?

c. Bagaimana penyelesaian sengketa gadai tanah yang telah berlangsung 7

tahun atau lebih di Kecamatan Sungayang?

Oleh karena itu penelitian yang dilakukan ini jelas dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena senantiasa memperhatikan

ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian, maka diperlukan

(17)

hukum serta norma-norma hukum. Dalam menjawab permasalahan tersebut di atas

dalam kerangka konseptual dibutuhkan pendekatan secara teoritik yaitu melalui

pendekatan kepustakaan dengan menggunakan buku-buku khusus yang berkaitan

dengan gadai tanah harta pusaka tinggi di Minangkabau.

Kerangka teori sangat diperlukan dalam penulisan ilmiah ini menempati

kedudukan yang penting karena memberikan sarana kepada kita untuk bisa

merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik.

Teori merupakan bagian yang sangat penting dari penelitian ini. Dengan

demikian, tentunya akan memudahkan dalam menyusun arah dan tujuannya. Teori

bertujuan menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu

terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang

dapat menunjukkan ketidaksesuaian atau ketidakbenarannya.26 Teori mampu meningkatkan keberhasilan penelitian karena teori mampu menghubungkan setiap

penemuan-penemuan yang nampaknya berbeda ke dalam suatu keseluruhan dan

memperjelas proses-proses yang terjadi di dalamnya.

Teori dapat memberikan penjelasan terhadap hubungan-hubungan yang

diamati dalam suatu penelitian. Menurut M. Solly Lubis,bahwa :

“teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang

26 J.J.J. M, Wuisman, Penyunting M.Hisyam, Asas-Asas Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,

(18)

dijelaskan. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”27

Teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum

positif. Pada saat orang mempelajari hukum positif, maka ia sepanjang waktu

dihadapkan pada peraturan-peraturan hukum dengan segala cabang kegiatan dan

permasalahannya. Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah “membikin jelas

nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang

tertinggi.”28

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori,

tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan

pegangan teoristis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya. Sedangkan

tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan

dan menginterprestasikan hasil penelitian dan menghubungkannya dengan

hasil-hasil penelitian yang terdahulu.29

Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.

Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:30

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur, konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi; c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

27M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian,(Bandung : CV.Mandar Maju, 1994), hlm. 27

28Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum,(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 260 29Ashshofa Burhan,Metode Penelitian Hukum,(Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 19

(19)

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa ”dalam setiap proses perubahan

senantiasa akan dijumpai faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik yang

berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat akan tetapi yang lebih

penting adalah identifikasi terhadap faktor yang mendorong perubahan atau yang

menghalanginya.”31

Teori menjabarkan arah serta jalan pikiran yang sesuai dengan bentuk

kerangka yang relevan serta yang dapat menerangkan masalah-masalah tersebut.

Adapun kerangka teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Roscoe Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk

mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah

ketertiban sosial. Hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi

keluarga, pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur

ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.

Hukum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah hukum kodrati

yang “positif”, versi ideal dari hukum positif pada masa dan tempat tertentu,

“naturalisasi” untuk kepentingan kontrol sosial manakala kekuatan yang ditetapkan

oleh masyarakat yang terorganisasi tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar yang

memadai.

31Soerjono Soekanto, et all,Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum,(Jakarta : Bina Aksara,

(20)

Fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan rekayasa

sosial (social engineering). Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau

beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian

hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang

memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui

berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep

“kepentingan” juga berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan

batas-batas yang diakui dan ditetapkan.

Kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumber dari fakta mengenai

kelangkaan yang mendorong kebutuhan untuk menciptakan sebuah sistem hukum

yang mampu mengklasifikasikan berbagai kepentingan serta menyahihkan sebagian

dari kepentingan-kepentingan itu. Ia menyatakan bahwa hukum tidak melahirkan

kepentingan, melainkan menemukannya dan menjamin keamanannya. Adanya

tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan

individual atau personal dengan kepentingan public atau sosial. Semua itu diamankan

melalui dan ditetapkan dengan status “hak hukum”.

Hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya

yaitu: “Law as a tool of social engineering” (Bahwa Hukum adalah alat untuk

memperbaharui atau merekayasa masyarakat).32 Sebagai teori pendamping yaitu :

(21)

a. Teori Eugen Ehrlich bahwa hukum positive berbeda dengan hukum yang

hidup atau (living law), hukum positive hanya akan efektif jika ia selaras

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau pola-pola kebudayaan

(culture patterns), pusat perkembangan hukum bukan terletak pada

badan-badan legeslatif, keputusan-keputusan badan-badan yudikatif atau ilmu hukum tapi

justru terletak pada kehidupan masyarakat itu sendiri (Soemitro : 1984)

b. Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yang hidup pada awal

abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial.33 John Rawls melihat kepentingan utama dari teori keadilan adalah sebagai jaminan stabilitas hidup

manusia dan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.

John Rawls mempercayai struktur masyarakat yang adil adalah stuktur

masyarakat asli di mana hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan,

kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan terpenuhi.

John Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah

situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip keadilan yang akan

digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik, teratur, tertib sehingga

tercipta hidup yang harmonis.

Ketidakadilan adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana

prinsip - prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat

yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for

33 Hari Chand,Modern Jurisprudence, ( Kuala Lumpur : International Law Book Review,

(22)

redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar

inilah kemudian dibuat persetujuan asli (original agreement) antara anggota

masyarakat secara sederajat.34

Menurut masyarakat di Minangkabau dalam menggadai tanah harta pusaka

tinggi harus memenuhi syarat adat yang sudah berlaku. Gadai tanah harta pusaka

tinggi selama ini tidak memiliki batasan atau tidak terikat dalam jangka waktu

tertentu.

2. Konsepsi

Konsep termasuk bagian dari sebuah teori. Konsep dapat diartikan pula

perencanaan yang dapat membuat kerelevanan hubungan terhadap realitas. Tujuan

dari konsepsi sendiri agar terhindar dari kesalahpahaman ataupun kesalahpengertian

penafsiran terhadap setiap istilah yang digunakan terutama dalam judul penelitian,

bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan pihak lain.

Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun agar di dalam

menangani proses penelitian yang dimaksud35

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam

penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi

dengan realitas. Jadi di dalam penelitian ini diartikan beberapa pemahaman konsep

dasar atau istilah agar di dalam pelaksanaanya diperoleh hasil penelitian yang sesuai,

bermanfaat dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

34Ibid

35Faisal Sanapiah,Format-Format Penelitian Sosial,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999),

(23)

a. Hukum adat Minangkabau adalah hukum adat yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat Minangkabau di Nagari Kamang Mudiak Kecamatan

Kamang Magek Kabupaten Agam. Proses perubahan sosial di Minangkabau

pada umumnya terjadi akibat penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang

merubah pola hidup yang dulunya bersifat agraris kearah perdagangan

membawa pengaruh pada keluarga dan masyarakat. Pertambahan penduduk

menyebabkan daya dukung tanah sebagai sumber ekonomi tidak lagi

mencukupi kebutuhan masyarakatnya.

b. Harta Pusaka Tinggi adalah segala harta pusaka yang diwariskan secara turun

temurun dari orang terdahulu dari beberapa generasi menurut garis keturunan

ibu menjadi kepunyaan kaum secara bersama-sama (kolektif) semua anggota

kaum sama berhak atas harta pusaka tersebut.

c. Gadai dalam hukum adat Minangkabau adalah pemindahan hak garapan atas

sebidang tanah sementara dari pemilik kepada orang lain dengan menerima

sejumlah uang, emas atau rupiah yang disepakati antara pemilik tanah dengan

pemegang gadai.

d. Objek barang gadai adalah barang tidak bergerak seperti sawah, ladang,

gurun, bukit, kolam ikan.

Berbeda dengan hukum yang berlaku di Indonesia pasal 1150 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) bahwa gadai adalah suatu hak yang

diperoleh seorang yang berpiutang ialah barang bergerak misalnya mobil,

(24)

tidak bergerak pemindahan hak sementara menurut pasal 1162 KUHPerdata

disebut Hak Tanggungan.

e. Gadai yang sah adalah gadai yang telah disetujui oleh segenap ahli waris, satu

orang saja tidak menyetujui gadai menjadi batal demi hukum.

f. Penerima Gadai adalah orang yang sanggup memberi sejumlah uang, emas

atau rupiah sesuai kesepakatan dan penerima gadai punya hak pertama untuk

menggarap tanah gadaian kecuali jika dia mau menyerahkan garapan kepada

orang lain. Penerima gadai tidak boleh menggadaikan lagi tanah yang

dipegangnya pada orang lain tanpa seizin pemilik tanah. Sekarang karena ada

pengaruh hukum Barat pemegang gadai boleh menggadaikan lagi

(herverpanding) pada pihak lain.36

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode merupakan unsur paling utama dan didasarkan

pada fakta dan pemikiran yang logis sehingga apa yang diuraikan merupakan suatu

kebenaran. Metodelogi penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang akan

digunakan dalam melakukan suatu penelitian. Penelitian hukum pada dasarnya dibagi

dalam 2 (dua) jenis penelitian yaitu penelitian empiris dan penelitian normatif. yang

dimaksud dengan penelitian empiris adalah penelitian secara langsung di masyarakat

melalui wawancara langsung sedangkan yang dimaksud dengan penelitian normatif

merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder sehingga disebut pula

penelitian kepustakaan.

(25)

Penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Sosiologis di mana merupakan

suatu proses atau gejala yang terjadi dan berkembang pada masyarakat yang tidak

sesuai dengan hukum adat yang berlaku, penelitian ini diharapkan berguna

menyelesaikan permasalahan yang ada. Oleh sebab itu langkah-langkah tersebut

harus sesuai dan saling mendukung antara peraturan hukum yang ada dengan

kenyataan yang terjadi di masyarakat sehingga tercapai suatu data yang akurat dan

nyata yang kemudian data ini diolah untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang

baik dan benar serta memberikan kesimpulan yang tidak meragukan. Maka dalam

penulisan membutuhkan data yang akurat baik data primer maupun data sekunder.

Adapun data tersebut diperoleh dengan melakukan pendekatan sebagai berikut :

1. Jenis Dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah Yuridis Empiris/Sosiologis, yaitu

mengemukakan apa yang ada berdasarkan fakta empirik dengan mengemukakan

pernyataan mengenai hal apa yang terjadi.37 Dengan menceritakan kejadian serta aturan-aturan yang sudah berlaku yang memiliki akibat dikemudian hari dan

perbandingan yang terjadi pada saat ini.

Yuridis Empiris/Sosiologis ini bertujuan untuk memahami bahwa hukum itu

tidak semata-mata sebagai satu perangkat aturan perundang-undangan yang bersifat

normatif belaka, akan tetapi hukum dipahami sebagai perilaku masyarakat dengan

37Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Surabaya : Kencana Prenada Media, 2005),

(26)

gejala-gejala dan membentuk pola dalam kehidupan masyarakat yang selalu

berinteraksi dengan aspek ekonomi, sosial dan budaya.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Deskriptif Analitis yaitu

penelitian yang berusaha menghubungkan antara norma atau aturan yang berlaku

dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Penelitian berusaha menemukan proses

bekerjanya hukum.38

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam

pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang

dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian

dilakukan secara metodoligis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud

berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu

sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu

kerangka tertentu.39

Atas permasalahan yang dikemukakan metode pendekatan Deskriptif

Analisis, karena penelitian ini memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau

gejala yang diteliti yang menekankan pada fakta sebagaimana aturan yang berlaku

dengan keadaan yang sebenarnya, selanjutnya data dan fakta diolah yang

mendapatkan suatu penafsiran. Dan diharapkan akan memperoleh suatu gambaran

38Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta : UI-Press, 1984), hlm. 52 39Soerjono Soekanto dan Sri, Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Radja

(27)

yang bersifat menyeluruh dan sistematis, kemudian dilakukan suatu analisis terhadap

data yang diperoleh dan pada akhirnya didapat pemecahan masalah.

3. Lokasi Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian di nagari Kamang Mudiak Kabupaten Agam

sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan masih ada pelaksanaan gadai

terhadap tanah harta pusaka tinggi sampai saat ini di luar 4 (empat) syarat yang

diperbolehkan menurut adat di Minangkabau. Nagari Kamang Mudiak yang terdiri

dari 8 (delapan)jorongsebagai sampel dalam penelitian.

4. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah warga masyarakat di 8 jorong di nagari Kamang Mudiak,

Kabupaten Agam yang pernah melaksanakan gadai tanah harta pusaka tinggi.

Sampel penelitian diambil 2 (dua) orang yang pernah melaksanakan gadai di

setiap nagari yang diambil dari 8 jorong. Penentuan pengambilan sampel dalam

penelitian ini dilakukan secara kelayakan (purposive sampling) dan diperkirakan

dapat menjawab permasalahan yang akan diteliti karena di 8jorongtersebut di mana

penduduknya adalah masyarakat yang homogen dari segi budaya, agama, bahasa

belum banyak percampuran dari luar, sehingga diharapkan penelitian ini mendapat

hasil yang lebihakurat.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan untuk

(28)

a. Penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan

yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada

responden.

b. Penelitian kepustakaan agar dapat membandingkan teori dan kenyataan yang

terjadi di lapangan. Melalui studi kepustakaan ini diusahakan pengumpulan

data melalui mempelajari buku-buku, artikel-artikel, majalah, surat kabar,

internet serta referensi lain yang berkaitan dan berhubungan dengan penelitian

ini, bertujuan mendapat data sekunder.

6. Alat Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini, adalah

dengan :

a. studi dokumen

b. wawancara :

1) terhadap 16 orang responden

2) terhadap nara sumber :

a) Kepala Suku

b) Wali Jorong

c) Wali Nagari

d) Kerapatan Adat Nagari (KAN)

7. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data

(29)

dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Data

sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk

selanjutnya dianalisis menggunakan metode kualitatif yang dilakukan untuk

memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan, yakni cara berfikir yang dimulai

dari hal yang bersifat khusus untuk selanjutnya menarik hal-hal yang umum sebagai

Referensi

Dokumen terkait

Orang tua yang ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur, maka terlebih dahulu harus melalui izin dari Pengadilan Agama dengan mengajukan permohonan dispensasi

Trip Assignment digunakan untuk mengetahui dan menghitung prosentase jumlah kendaraan yang melewati masing-masing ruas jalan, dalam Tugas Akhir ini digunakan untuk

yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua Permisif Dan Kontrol Diri Dengan

atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penambahan Daun Trembesi (Samanea Saman) Dengan Level

Untuk mendukung kegiatan siswa dalam belajar terdapat perpustakaan, laboratorium komputer, laboratorium biologi, laboratorium bahasa, laboratorium fisika serta fasilitas lainnya

Sosialisme adalah salah satu ideologi yang berpengaruh besar dalam dunia politik internasional di sekitar abad ke-19.Menguraikan sosialisme ini, namun demikian bukanlah

[r]

Populasi penelitian ini adalah atlet bulutangkis yang tegabung dalam unit kegiatan olahraga cabang buliltangkis Universitas Negeri Padang yang be^-jumlali 42