BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris di mana tanah diperuntukkan bagi
kemakmuran hidup rakyatnya. Dalam hal ini sesuai Undang-Undang Dasar 1945
pasal 33 ayat (3) yang berbunyi :
“Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.”
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menganut asas unifikasi yang
artinya hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air, artinya hanya ada satu sistem
yaitu yang ditentukan dalam pasal 5 UUPA,
“hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.1
Minangkabau merupakan salah satu wilayah di Indonesia di mana hubungan
antara masyarakat dan tanah tidak bisa dipisahkan dari hukum adat.
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi
putra dan timur asing yang mempunyai upaya memaksa, lagi pula tidak
dikodifikasikan.2 Jadi sistem hukum adat adalah sistem yang tidak tertulis, yang
1
A.P. Parlindungan ,Konversi Hak – Hak Atas Tanah,(Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 1
2Abdul Manan, Hukum Islam Dalam Berbagai Wacana, (Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003),
tumbuh dan berkembang serta terpelihara sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakatnya, karena hukum adat sifatnya tidak tertulis maka hukum adat
senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat dan yang berperan dalam melaksanakan hukum adat ini
adalah pemuka adat itu sendiri sebagai pemimpin yang disegani dan berpengaruh
dalam lingkungan masyarakatnya.3
Peradaban manusia sejak dahulu di dalam sejarah sudah menjelaskan
bagaimana cara untuk mempertahankan kelangsungan keturunannya dengan
mempersiapkan lahan pertanian atau harta benda yang bisa diwariskan bagi keturunan
anak cucunya kelak agar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik.
Kebiasaan ini lambat laun menjadi ajaran-ajaran adat pada suku-suku tertentu.
Kebiasaan adat lebih dititikberatkan kepada norma-norma adat atau kebiasaan leluhur
yang kesemuanya merujuk kepada hak otoritas kepala suku apakah itu laki-laki
ataupun perempuan, klanmatriarkiataupatriarki.4
Hukum adat Minangkabau tanah harta pusaka tinggi merupakan harta
kekayaan yang harus dipertahankan karena wibawa kaum ditentukan dari luas tanah
yang dimiliki kaum tersebut dan untuk menandakan bahwa ia orang Minangkabau
asli sesuai dengan pepatah adat yaitu :5
3Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sungut,
Budaya Dan Hukum Adat di Minangkabau, (Bukit Tinggi : Kristal Multimedia, 2010), hlm. 224
4Patriarkidiartikan sebagai sistim masyarakat yang menelusuri garis keturunan melalui pihak
bapak (suami). Sebaliknya matriarki, kelompok masyarakat yang menelusuri garis keturunan melalui pihak ibu (istri), Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 128
5Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, (Padang : Sri
“Ado tapian tampek mandi, (ada tepian tempat mandi)
Ado basasok bajarami, (ada sawah yang menghasilkan)
Ado bapandam pakuburan, (ada tanah yang khusus digunakan untuk makam
keluarga).”
Tanah adalah suatu hak yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Tanah
adalah tempat untuk mencari nafkah, mendirikan rumah atau tempat kediaman,
menjadi tempat dikuburnya orang pada waktu meninggal dan juga sumber
penghidupan bagi keluarga. Artinya, tanah adalah hal yang sangat diperlukan
manusia.
Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak kemenakan dalam
istilah adat disebut juga dengan “Pusako Basalin “6bagi harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat seperti pepatah berikut :
Tajua indak dimakan bali
Tasando indak dimakan gadai
Artinya :
Terjual tidak bisa dibeli
Agunan yang tidak dapat digadai.
Bagi masyarakat adat Minangkabau, tanah harta pusaka tinggi tidak boleh
diperjualbelikan atau digadaikan. Perbuatan menggadai tanah harta pusaka tinggi
diperbolehkan hanya untuk keperluan kepentingan kaum atau menjaga martabat
6Pusako Basalin adalah pemindahan harta pusaka yang diturunkan dari satu generasi ke
kaum. Menggadai tanah harta pusaka tinggi harus dilakukan secara musyawarah antar
anggota kaum dan harus mendapat persetujuan anggota kaum tersebut untuk
menggadai. Adanya larangan ini pada hakikatnya adalah untuk menjaga agar jangan
sampai harta pusaka tersebut berpindah keluar dari kekuasaan kaum dan menjadi
milik orang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kaum tersebut. Ada
ketentuan adat tanah harta pusaka tinggi itu dapat digadaikan harus memenuhi salah
satu syarat berikut:7
1. Mayat tabujua di tangah rumahartinya tanah pusaka tinggi dapat digadaikan apabila untuk biaya pemakaman.
2. Rumah gadang katirisan artinya apabila rumah kaum (rumah gadang) perlu diperbaiki (renovasi).
3. Gadih gadang alun balakiartinya untuk mengawinkan perempuan yang telah cukup dewasa yang kalau tidak dikawinkan dapat membuat malu kaumnya atau kepala suku.
4. Mambangkik batang tarandam artinya untuk menegakkan penghulu karena penghulu sebelumnya telah meninggal.
Jika tidak ada karena sebab yang 4 (empat) perkara tersebut, tanah harta
pusaka tinggi tersebut tidak boleh dijual atau digadaikan. Sebelum melakukan hal
tersebut, supaya dicari terlebih dahulu jalan lain, jika sudah habis tenggang (waktu)
dan tidak dapat juga, barulah dilakukan menggadai tanah harta pusaka tinggi tersebut.
Sesungguhnya diizinkan menggadai dengan sebab yang empat tersebut,
apabila hendak melakukan perbuatan itu tidak boleh dengan sengaja. Penghulu yang
mengepalai kampung itu wajib menyuruh kaumnya berusaha mencari bermacam
-macam jalan sebelum menggadai, namun bila usaha kaumnya tidak berhasil dan
7A.A.Navis,Alam Terkembang Menjadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta:
harus melangsungkan atau membiayai salah satu dari 4 (empat) penyebab tersebut
maka dengan persetujuan seluruh kaum barulah harta pusaka tinggi itu dapat
digadaikan menurut adatnagariitu.8
Gadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota kaum harta pusaka
tinggi tersebut sudah sepakat. Harta yang digadaikan dapat ditebus kembali dan tetap
menjadi milik ahli warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu
manggadai biasanya tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum “sabarek
sapikua”(seberat sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.9
Si penggadai memperoleh sejumlah emas, rupiah atau uang yang diukur
dengan luas harta yang digadaikan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagaisando (sandra), maka boleh ditebusi
oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun
kesawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi
uang atau emas tadi.10
Selama itu pemegang gadai berwenang untuk mempergunakan atau
mengambil manfaat dari tanah tersebut. Pemegang gadai adalah orang yang
menyerahkan sejumlah emas, rupiah atau uang kepada pemilik tanah yang
memperoleh hak gadai atas tanah yang dimaksud, hak gadai itu berakhir dengan
penebusan emas, rupiah atau uang yang menjadi tebusan itu sebanyak yang pernah
8Ibrahim Dt.Sanggoeno Diradjo, Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang,
(Bukit Tinggi : Kristal Multimedia, 2010), hlm. 239
9
diserahkan oleh pemegang gadai, dengan demikian maka jelaslah bahwa sungguhpun
pemilik tanahnya sama-sama menerima sejumlah emas, rupiah atau uang dari pihak
lain, hak gadai itu bukanlah hak jaminan atau hak tanggungan.11
Orang yang banyak harta yang berupa materiil dikatakan orang berada atau
orang kaya, tetapi menurut pandangan adat di Minangkabau, orang berada atau
banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka tinggi turun temurun yang
dimilikinya. Dari status adat, orang atau kaum lebih terpandang jika memiliki banyak
harta pusaka yang bukan karena dibeli.12
Yang dimaksud harato pusako tinggi ialah segala harta pusaka yang diwarisi
secara turun temurun sebagaimana dalam pepatah adat menyatakan sebagai berikut:13 Birik-birik tabang ka sawah(birik-birik terbang ke sawah)
Dari sawah tabang ka halaman(dari sawah terbang kehalaman)
Basuo di tanah bato(bertemu ditanah bata)
Dari niniak turun ka mamak(dari ninik turun ke mamak)
Dari mamak turun ka kamanakan(dari mamak turun kemenakan)
Patah tumbuah hilang baganti(patah tumbuh hilang berganti)
Pusako baitu juo(pusaka demikian juga)
Tanah harta pusaka tinggi ini merupakan jaminan untuk kehidupan dan biaya
anak kemenakan di Minangkabau, terutama untuk kehidupan masyarakat yang
berlatar belakang kehidupan agraris di dusun dannagari.
11Dirman,Perundang-Undangan Agraria di Indonesia, (Jakarta : J.B.Wolters, 1958), hlm. 108
12Azmi Bagindo,Cimbuak – Forum Silaturahmi dan Komunikasi Masyarakat Minangkabau,
Bukit Tinggi tanggal 1 April 2008
Tanah di Minangkabau merupakan suatu pengikat untuk berdirinya suatu
organisasi (kaum) dan penggunaan tanah tersebut dapat dilakukan secara bersama
sehingga akan menjamin kelangsungan hidup organisasi (kaum) tersebut.14
Selama ini penyebutan tentang harta di Minangkabau sering tertuju
penafsirannya kepada harta yang berupa materiil saja seperti sawah, ladang, tabek
(kolam ikan), rumah gadang, bukit, hutan yang diwariskan secara turun temurun
kepada anak/kemanakan perempuan, balai (tempat berkumpul), mesjid atau langgar
(surau), tanah pemakaman dinikmati pemakaiannya oleh seluruh anggota kaum.15 Di samping harta yang berupa materiil ini ada pula harta yang berupa
immateriil yakni sako (gelar pusaka) merupakan kekayaan tanpa wujud memegang
peranan yang sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat di Minangkabau
seperti pemberian gelar penghulu (datuak) diberi dengan menggunakan upacara adat
yang menghabiskan biaya yang cukup banyak, peralatan atau perlengkapan penghulu
(datuak) semua harta tersebut diwariskan secara turun temurun kepada anak laki-laki
dari saudara perempuan.16
Pusako (pusaka) atau harta pusaka adalah segala kekayaan berwujud
(materiil) yang diwariskan nantinya kepada anak kemanakan. Harta Pusaka adalah
harta milik bersama (kolektif) yang tidak boleh dibagi menjadi hak perorangan oleh
orang yang menerima pusaka, melainkan wajib selamanya menjadi hak bersama
14 Iskandar Kamal, Beberapa Aspek Dari Hukum Kewarisan Matrilineal ke Bilateral di
Minangkabau,dalam Mukhtar Naim, (Padang : Center for Minangkabau studies, 1968), hlm. 12 15Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sunggut,Op Cit,hlm. 305
dalam kaum yang menerima pusaka secara turun temurun, semua anggota kaum sama
berhak atas pemakaian harta tersebut, dan diawasi dan dipelihara oleh Mamak Kepala
Waris untuk kelangsungan hidup para kemenakan anggota kaum.17
Seseorang yang sedang memegang dan mengusahai harta pusaka tersebut
adalah sebagai peminjam pakai dan ia tidak berhak mengalihkan dan melakukan
perbuatan hukum lainnya atas harta pusaka tersebut dengan cara apapun juga, bila ia
meninggal dunia maka dengan sendirinya harta tersebut kembali kepada kaumnya.
Hasil keputusan rapat yang dilakukan oleh ninik mamak, cadiak pandai,alim
ulama di Bukit Tinggi pada tahun 1952 dan dikuatkan dalam Seminar Hukum Adat
Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968 menyimpulkan mengenai
harta pusaka di Minangkabau dibedakan atas empat bahagian yaitu :
1. Harta Pusaka Tinggi
2. Harta Pusaka Rendah
3. Harta Pencaharian
4. Harta Suarang
Harta pusaka tinggi adalah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun
temurun dari orang-orang tua terdahulu, yang tidak diketahui lagi siapa yang
pertama-tama memperoleh atau mendapatkan harta yang diwarisi secara turun
temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Masyarakat adat
Minangkabau menganut sistem matrilineal, mereka hidup dalam masyarakat yang
kekerabatannya dihitung menurut garis ibu semata-mata dan pusaka serta waris
diturunkan menurut garis ibu pula sehingga seorang anak tidak menerima warisan
dari ayahnya melainkan dari ibu, mamak atau bibinya.
Harta pusaka tinggi diturunkan jauh lebih tinggi yaitu dari ninik (nenek
perempuan) diwariskan ke uwo, dari uwo ke mande (ibu) dan dari mamak ke
kemenakan.18
Harta pusaka rendah adalah harta hasil pencaharian suami istri dalam suatu
perkawinan dan apabila perkawinan tersebut terhenti karena perceraian atau karena
meninggal salah satu pihak maka harta yang didapat selama perkawinan dalam
masyarakat adat di Minangkabau dibagi dua, apabila yang meninggal suami maka
setengah menjadi hak kemanakan dalam kaumnya, apabila yang meninggal istri maka
setengah menjadi hak ibu atau saudara perempuannya dan sisa setengah menjadi hak
istri/suami dan anaknya.19
Harta pewarisan yang pada awalnya adalah merupakan harta pusaka rendah
akan menjadi harta pusaka tinggi bila telah diwariskan berdasarkan sistemmatrilineal
dalam kaitannya dengan penambahan harta pusaka tinggi yang berfungsi sebagai
pengikat diantara sesama kaum yang biasanya berbentuk rumah gadang dan tanah
pusaka. Tanah ini merupakan suatu pengikat untuk berdirinya suatu organisasi
(kaum) dan penggunaan tanah tersebut dapat dilakukan secara bersama sehingga akan
menjamin kelangsungan hidup organisasi (kaum) tersebut.20
18Edison Piliang dan Nasrun Marajo Sunggut,Op Cit,hlm. 264 19Ibid,hlm. 268
Pada masa sekarang ini tanah harta pusaka tinggi yang merupakan milik kaum
keadaannya tidak lagi sama seperti masa dahulu. Dalam beberapa hal tanah harta
pusaka tinggi tersebut telah mengalami pengurangan yang disebabkan oleh makin
bertambahnya jumlah anggota kaum sehingga dalam kaum tersebut didirikan lagi
penghulu yang tercipta dua atau tiga mamak kepala kaum yang baru yang berakibat
harus dibaginya tanah harta pusaka tinggi yang lama untuk mamak kepala kaum yang
baru tersebut.
Tanah harta pusaka tinggi sebagai alat pemersatu keluarga yang kepemilikan
secara kolektif dapat dalam bentuk samande atau seibu, dalam bentuk (ganggam
bauntuak)21, sajurai22, seperut (saparuik), sesuku, senagari masih tetap berfungsi dengan baik, sebagai simbol kebersamaan dan kebanggaan keluarga dalam sistem
kekerabatan matrilinial di Minangkabau tetap bertahan.
Dalam perkembangan di masyarakat Minangkabau, gadai dapat terjadi diluar
empat syarat adat yang telah ditetapkan dan yang menjadi syarat mutlak untuk
terlaksananya gadai adalah kata sepakat dengan ahli waris yang bersangkutan dengan
pusaka tersebut.23
Istilah gadai tanah dikenal juga sebagai menjual gadai, manggadai,
mamagang atau pagang gadai. Berkaitan dengan pagang gadai24 ini, perlu juga
21Ganggam bauntuk adalah peruntukan tanah ulayat kaum oleh mamak kepala kepada
anggota kaumnya secara hirarkis diperuntukkan perumahan dan usaha lain di mana mamak kepala warisnya menggali penggunaan tanah tersebut, Amir MS,Pewarisan Harato Pusako Tinggi Dan Pencaharian(Citra Harta Prima : Jakarta, 2011),hlm. 29
22Sajuraiadalah sama berasal dari satu perut seorang nenek (Uwo)
23Idrus Hamkimy Dt. Rajo Penghulu,Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau,
(Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 129
24 Pegang gadai adalah suatu transaksi di mana seseorang menyerahkan sebidang tanah
disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp thn 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria-UUPA)
yang berbunyi : “Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang
pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai dipanen”.
Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam halpagang gadai.
Oleh karena itupagang gadaidi Minangkabau masih tetap seperti semula dan
masih berlangsung secara asas kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan
suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial. Sebab harta pusaka tinggi itu
dapat berfungsi membantu kesulitan hidup dalam kaum masingmasing yang sama
-sama memiliki tanah harta pusaka tinggi.
Orang dalam kampuang atau orang dalam suku berhak melarang atau
membatalkan orang menggadaikan tanah harta pusaka tinggi kalau tidak menurut
aturan adat yang berlaku di Minangkabau. Apabila perbuatan itu dilakukan juga,
dengan tidak mau mengindahkan larangan adat, maka perbuatan kedua belah pihak
itu, baik si penggadai maupun si yang menerima gadai dinyatakan salah dan batal
hukumnya.
Apabila pekerjaan yang salah itu disetujui oleh penghulu atau tokoh
masyarakat, maka yang menyepakati pekerjaan itu dinyatakan salah juga menurut
aturan adat di Minangkabau, yaitu melanggar larangan adat tentang penjagaan tanah
harta pusaka tinggi di dalamnagari.
Pihak-pihak yang menyetujui hal tersebut dianggap sengaja mau
menghilangkan atau melenyapkan harta pusaka tinggi orang yang menggadai
tersebut. Sebab kalau tidak disetujuinya, niscaya tidak akan ada pihak lain melakukan
gadai harta pusaka tinggi, meskipun sudah ada kesepakatan seluruh ahli warisnya.
Apabila orang dalam kampuangatau orang dalam suku yang tahu tetapi tidak
melarang perbuatan orang yang suka menggadaikan tanah harta pusaka tinggi maka
akan mendatangkan kesusahan kepada orang sekampungnya atau kepada orang
sesukunya sebab dengan banyak digadaikannya tanah harta pusaka tinggi tersebut
ahli waris menjadi kekurangan tanah harta pusaka tinggi dalam sekaum dan memberi
aib atau malu kepada orang sekampung atau sesukunya.
Seandainya harta pusaka tinggi mereka sudah habis dijual atau digadaikan
dengan jalan yang tidak sesuai dengan ketentuan aturan adat, orang sekaum atau
sesuku itu ditakutkan akan menjadi orang jahat, menipu, atau menjadi pencuri,
penyamun dan lain-lain yang memberi kesusahan serta malu kepada orang
sekampung dan sesuku. Begitulah aturan orang-orang tua yang memiliki tanah harta
pusaka tinggi itu dahulunya, supaya harta itu terpelihara tetap ada dan dinikmati
hasilnya sampai kepada anak cucunya dan selanjutnya.
Di masa sekarang aturan pemeliharaan tanah harta pusaka tinggi telah hampir
hilang, sebab tidak dijaga lagi dengan sebaik-baiknya oleh penghulu dan pihak-pihak
Pada masa mamaknya atau di masa niniknya banyak memiliki tanah harta
pusaka tinggi pada masa sekarang tanah harta pusaka tinggi tersebut sudah tinggal
sedikit karena telah habis terjual atau digadaikan, dengan tidak menurut aturan yang
berlaku oleh adat di Minangkabau. Begitu juga dengan orang-orang di dalam
kampuang itu sendiri, mereka memudahkan tentang bagaimana tata cara menggadai
tanah harta pusaka tinggi secara adat yang seharusnya berlaku.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut
mengenai “Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam
Masyarakat Adat Minangkabau Di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan gadai tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam
Nagari Kamang Mudiak?
2. Faktor - faktor apa saja yang menyebabkan dilakukannya gadai atas tanah
harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?
3. Bagaimana dampak dari adanya perkembangan syarat adat menggadai tanah
harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, adapun tujuan yang
1. Untuk mengetahui pelaksanaan gadai tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten
Agam Nagari Kamang Mudiak.
2. Untuk mengetahui factor-faktor yang menyebabkan dilakukannya gadai tanah
harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.
3. Untuk mengetahui dampak dari adanya perkembangan syarat adat menggadai
tanah harta pusaka tinggi di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keadaan tentang gadai tanah harta
pusaka tinggi di Minangkabau. Dalam pelaksanaannya yang masih tumbuh dan
berkembang di masyarakat tapi kurang diperhatikan oleh sistem hukum yang ada.
Kajian penelitian ini diharap bermanfaat untuk pelaksanaan gadai di
tengah-tengah masyarakat saat ini di mana apabila pelaksanaan gadai terus dilakukan maka
perlu disusun aturan dengan tidak merubah aturan gadai pada dasarnya agar mengikat
pihak yang bersangkutan untuk menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari.
D. Manfaat Penelitian
Kajian penelitian diharapkan bermanfaat terhadap pelaksanaan, faktor
penyebab serta dampak terhadap perilaku gadai tanah yang tumbuh dan berkembang
di tengah-tengah masyarakat. Secara ilmiah agar menambah wawasan berfikir agar
gadai tanah yang dilakukan jangan sampai mengandung unsur pemerasan karena hal
itu bertentangan dengan Undang-Undang.
Penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai kerangka landasan dalam membuat kebijakan hukum
setiap revolusi sains itu akan mengubah perspektif historis masyarakat yang
mengalaminya.25 Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi dan menghasilkan kemanfaatan
dalam bidang pengetahuan dan menjadi bahan lebih lanjut untuk melahirkan
peraturan pelaksanaan mengenai Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta
Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten Agam Nagari
Kamang Mudiak.
2. Manfaat Praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan masukan kepada para
akademis, praktisi maupun bagi pihak terkait mengenai Perkembangan Syarat
Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di
Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang ada di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di Program Magister
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum
ada penelitian sebelumnya yang berjudul tentang “Perkembangan Syarat Menggadai
Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam Masyarakat Adat Minangkabau di Kabupaten
25Thomas S.Khun,The Structure of Scientific Revolution,(California,Berkeley : 1962), hlm.
Agam Nagari Kamang Mudiak” akan tetapi kalaupun ada yang membahas mengenai
gadai di mana objek kasus dan perumusan masalah tidaklah sama, penelitian yang
membahas mengenai gadai yaitu :
Refliza, NIM 117011073, mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2011, berjudul “Kajian
Hukum Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau di Kecamatan
Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 56/PRP/1960
Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian”
Dengan perumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana keberadaan gadai tanah dalam masyarakat Minangkabau di
Kecamatan Sungayang?
b. Bagaimana pelaksanaan pasal 7 Undang-Undang No.56 Prp/1960 di
Kecamatan Sungayang?
c. Bagaimana penyelesaian sengketa gadai tanah yang telah berlangsung 7
tahun atau lebih di Kecamatan Sungayang?
Oleh karena itu penelitian yang dilakukan ini jelas dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena senantiasa memperhatikan
ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian, maka diperlukan
hukum serta norma-norma hukum. Dalam menjawab permasalahan tersebut di atas
dalam kerangka konseptual dibutuhkan pendekatan secara teoritik yaitu melalui
pendekatan kepustakaan dengan menggunakan buku-buku khusus yang berkaitan
dengan gadai tanah harta pusaka tinggi di Minangkabau.
Kerangka teori sangat diperlukan dalam penulisan ilmiah ini menempati
kedudukan yang penting karena memberikan sarana kepada kita untuk bisa
merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik.
Teori merupakan bagian yang sangat penting dari penelitian ini. Dengan
demikian, tentunya akan memudahkan dalam menyusun arah dan tujuannya. Teori
bertujuan menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu
terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang
dapat menunjukkan ketidaksesuaian atau ketidakbenarannya.26 Teori mampu meningkatkan keberhasilan penelitian karena teori mampu menghubungkan setiap
penemuan-penemuan yang nampaknya berbeda ke dalam suatu keseluruhan dan
memperjelas proses-proses yang terjadi di dalamnya.
Teori dapat memberikan penjelasan terhadap hubungan-hubungan yang
diamati dalam suatu penelitian. Menurut M. Solly Lubis,bahwa :
“teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang
26 J.J.J. M, Wuisman, Penyunting M.Hisyam, Asas-Asas Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,
dijelaskan. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”27
Teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum
positif. Pada saat orang mempelajari hukum positif, maka ia sepanjang waktu
dihadapkan pada peraturan-peraturan hukum dengan segala cabang kegiatan dan
permasalahannya. Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah “membikin jelas
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang
tertinggi.”28
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori,
tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan
pegangan teoristis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya. Sedangkan
tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan
dan menginterprestasikan hasil penelitian dan menghubungkannya dengan
hasil-hasil penelitian yang terdahulu.29
Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.
Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:30
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur, konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi; c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;
27M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian,(Bandung : CV.Mandar Maju, 1994), hlm. 27
28Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum,(Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 260 29Ashshofa Burhan,Metode Penelitian Hukum,(Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm. 19
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa ”dalam setiap proses perubahan
senantiasa akan dijumpai faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik yang
berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat akan tetapi yang lebih
penting adalah identifikasi terhadap faktor yang mendorong perubahan atau yang
menghalanginya.”31
Teori menjabarkan arah serta jalan pikiran yang sesuai dengan bentuk
kerangka yang relevan serta yang dapat menerangkan masalah-masalah tersebut.
Adapun kerangka teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Roscoe Pound menyatakan bahwa kontrol sosial diperlukan untuk
mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
ketertiban sosial. Hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi
keluarga, pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur
ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.
Hukum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah hukum kodrati
yang “positif”, versi ideal dari hukum positif pada masa dan tempat tertentu,
“naturalisasi” untuk kepentingan kontrol sosial manakala kekuatan yang ditetapkan
oleh masyarakat yang terorganisasi tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar yang
memadai.
31Soerjono Soekanto, et all,Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum,(Jakarta : Bina Aksara,
Fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan rekayasa
sosial (social engineering). Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal atau
beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian
hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang
memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui
berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep
“kepentingan” juga berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan
batas-batas yang diakui dan ditetapkan.
Kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumber dari fakta mengenai
kelangkaan yang mendorong kebutuhan untuk menciptakan sebuah sistem hukum
yang mampu mengklasifikasikan berbagai kepentingan serta menyahihkan sebagian
dari kepentingan-kepentingan itu. Ia menyatakan bahwa hukum tidak melahirkan
kepentingan, melainkan menemukannya dan menjamin keamanannya. Adanya
tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan
individual atau personal dengan kepentingan public atau sosial. Semua itu diamankan
melalui dan ditetapkan dengan status “hak hukum”.
Hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya
yaitu: “Law as a tool of social engineering” (Bahwa Hukum adalah alat untuk
memperbaharui atau merekayasa masyarakat).32 Sebagai teori pendamping yaitu :
a. Teori Eugen Ehrlich bahwa hukum positive berbeda dengan hukum yang
hidup atau (living law), hukum positive hanya akan efektif jika ia selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau pola-pola kebudayaan
(culture patterns), pusat perkembangan hukum bukan terletak pada
badan-badan legeslatif, keputusan-keputusan badan-badan yudikatif atau ilmu hukum tapi
justru terletak pada kehidupan masyarakat itu sendiri (Soemitro : 1984)
b. Teori Keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yang hidup pada awal
abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial.33 John Rawls melihat kepentingan utama dari teori keadilan adalah sebagai jaminan stabilitas hidup
manusia dan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.
John Rawls mempercayai struktur masyarakat yang adil adalah stuktur
masyarakat asli di mana hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan,
kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan terpenuhi.
John Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah
situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip keadilan yang akan
digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik, teratur, tertib sehingga
tercipta hidup yang harmonis.
Ketidakadilan adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana
prinsip - prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat
yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for
33 Hari Chand,Modern Jurisprudence, ( Kuala Lumpur : International Law Book Review,
redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar
inilah kemudian dibuat persetujuan asli (original agreement) antara anggota
masyarakat secara sederajat.34
Menurut masyarakat di Minangkabau dalam menggadai tanah harta pusaka
tinggi harus memenuhi syarat adat yang sudah berlaku. Gadai tanah harta pusaka
tinggi selama ini tidak memiliki batasan atau tidak terikat dalam jangka waktu
tertentu.
2. Konsepsi
Konsep termasuk bagian dari sebuah teori. Konsep dapat diartikan pula
perencanaan yang dapat membuat kerelevanan hubungan terhadap realitas. Tujuan
dari konsepsi sendiri agar terhindar dari kesalahpahaman ataupun kesalahpengertian
penafsiran terhadap setiap istilah yang digunakan terutama dalam judul penelitian,
bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan pihak lain.
Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun agar di dalam
menangani proses penelitian yang dimaksud35
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi
dengan realitas. Jadi di dalam penelitian ini diartikan beberapa pemahaman konsep
dasar atau istilah agar di dalam pelaksanaanya diperoleh hasil penelitian yang sesuai,
bermanfaat dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
34Ibid
35Faisal Sanapiah,Format-Format Penelitian Sosial,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999),
a. Hukum adat Minangkabau adalah hukum adat yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat Minangkabau di Nagari Kamang Mudiak Kecamatan
Kamang Magek Kabupaten Agam. Proses perubahan sosial di Minangkabau
pada umumnya terjadi akibat penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang
merubah pola hidup yang dulunya bersifat agraris kearah perdagangan
membawa pengaruh pada keluarga dan masyarakat. Pertambahan penduduk
menyebabkan daya dukung tanah sebagai sumber ekonomi tidak lagi
mencukupi kebutuhan masyarakatnya.
b. Harta Pusaka Tinggi adalah segala harta pusaka yang diwariskan secara turun
temurun dari orang terdahulu dari beberapa generasi menurut garis keturunan
ibu menjadi kepunyaan kaum secara bersama-sama (kolektif) semua anggota
kaum sama berhak atas harta pusaka tersebut.
c. Gadai dalam hukum adat Minangkabau adalah pemindahan hak garapan atas
sebidang tanah sementara dari pemilik kepada orang lain dengan menerima
sejumlah uang, emas atau rupiah yang disepakati antara pemilik tanah dengan
pemegang gadai.
d. Objek barang gadai adalah barang tidak bergerak seperti sawah, ladang,
gurun, bukit, kolam ikan.
Berbeda dengan hukum yang berlaku di Indonesia pasal 1150 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) bahwa gadai adalah suatu hak yang
diperoleh seorang yang berpiutang ialah barang bergerak misalnya mobil,
tidak bergerak pemindahan hak sementara menurut pasal 1162 KUHPerdata
disebut Hak Tanggungan.
e. Gadai yang sah adalah gadai yang telah disetujui oleh segenap ahli waris, satu
orang saja tidak menyetujui gadai menjadi batal demi hukum.
f. Penerima Gadai adalah orang yang sanggup memberi sejumlah uang, emas
atau rupiah sesuai kesepakatan dan penerima gadai punya hak pertama untuk
menggarap tanah gadaian kecuali jika dia mau menyerahkan garapan kepada
orang lain. Penerima gadai tidak boleh menggadaikan lagi tanah yang
dipegangnya pada orang lain tanpa seizin pemilik tanah. Sekarang karena ada
pengaruh hukum Barat pemegang gadai boleh menggadaikan lagi
(herverpanding) pada pihak lain.36
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode merupakan unsur paling utama dan didasarkan
pada fakta dan pemikiran yang logis sehingga apa yang diuraikan merupakan suatu
kebenaran. Metodelogi penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang akan
digunakan dalam melakukan suatu penelitian. Penelitian hukum pada dasarnya dibagi
dalam 2 (dua) jenis penelitian yaitu penelitian empiris dan penelitian normatif. yang
dimaksud dengan penelitian empiris adalah penelitian secara langsung di masyarakat
melalui wawancara langsung sedangkan yang dimaksud dengan penelitian normatif
merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder sehingga disebut pula
penelitian kepustakaan.
Penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Sosiologis di mana merupakan
suatu proses atau gejala yang terjadi dan berkembang pada masyarakat yang tidak
sesuai dengan hukum adat yang berlaku, penelitian ini diharapkan berguna
menyelesaikan permasalahan yang ada. Oleh sebab itu langkah-langkah tersebut
harus sesuai dan saling mendukung antara peraturan hukum yang ada dengan
kenyataan yang terjadi di masyarakat sehingga tercapai suatu data yang akurat dan
nyata yang kemudian data ini diolah untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang
baik dan benar serta memberikan kesimpulan yang tidak meragukan. Maka dalam
penulisan membutuhkan data yang akurat baik data primer maupun data sekunder.
Adapun data tersebut diperoleh dengan melakukan pendekatan sebagai berikut :
1. Jenis Dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah Yuridis Empiris/Sosiologis, yaitu
mengemukakan apa yang ada berdasarkan fakta empirik dengan mengemukakan
pernyataan mengenai hal apa yang terjadi.37 Dengan menceritakan kejadian serta aturan-aturan yang sudah berlaku yang memiliki akibat dikemudian hari dan
perbandingan yang terjadi pada saat ini.
Yuridis Empiris/Sosiologis ini bertujuan untuk memahami bahwa hukum itu
tidak semata-mata sebagai satu perangkat aturan perundang-undangan yang bersifat
normatif belaka, akan tetapi hukum dipahami sebagai perilaku masyarakat dengan
37Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Surabaya : Kencana Prenada Media, 2005),
gejala-gejala dan membentuk pola dalam kehidupan masyarakat yang selalu
berinteraksi dengan aspek ekonomi, sosial dan budaya.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Deskriptif Analitis yaitu
penelitian yang berusaha menghubungkan antara norma atau aturan yang berlaku
dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Penelitian berusaha menemukan proses
bekerjanya hukum.38
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam
pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang
dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian
dilakukan secara metodoligis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud
berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu
sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu
kerangka tertentu.39
Atas permasalahan yang dikemukakan metode pendekatan Deskriptif
Analisis, karena penelitian ini memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau
gejala yang diteliti yang menekankan pada fakta sebagaimana aturan yang berlaku
dengan keadaan yang sebenarnya, selanjutnya data dan fakta diolah yang
mendapatkan suatu penafsiran. Dan diharapkan akan memperoleh suatu gambaran
38Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta : UI-Press, 1984), hlm. 52 39Soerjono Soekanto dan Sri, Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Radja
yang bersifat menyeluruh dan sistematis, kemudian dilakukan suatu analisis terhadap
data yang diperoleh dan pada akhirnya didapat pemecahan masalah.
3. Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian di nagari Kamang Mudiak Kabupaten Agam
sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan masih ada pelaksanaan gadai
terhadap tanah harta pusaka tinggi sampai saat ini di luar 4 (empat) syarat yang
diperbolehkan menurut adat di Minangkabau. Nagari Kamang Mudiak yang terdiri
dari 8 (delapan)jorongsebagai sampel dalam penelitian.
4. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah warga masyarakat di 8 jorong di nagari Kamang Mudiak,
Kabupaten Agam yang pernah melaksanakan gadai tanah harta pusaka tinggi.
Sampel penelitian diambil 2 (dua) orang yang pernah melaksanakan gadai di
setiap nagari yang diambil dari 8 jorong. Penentuan pengambilan sampel dalam
penelitian ini dilakukan secara kelayakan (purposive sampling) dan diperkirakan
dapat menjawab permasalahan yang akan diteliti karena di 8jorongtersebut di mana
penduduknya adalah masyarakat yang homogen dari segi budaya, agama, bahasa
belum banyak percampuran dari luar, sehingga diharapkan penelitian ini mendapat
hasil yang lebihakurat.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan untuk
a. Penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan
yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada
responden.
b. Penelitian kepustakaan agar dapat membandingkan teori dan kenyataan yang
terjadi di lapangan. Melalui studi kepustakaan ini diusahakan pengumpulan
data melalui mempelajari buku-buku, artikel-artikel, majalah, surat kabar,
internet serta referensi lain yang berkaitan dan berhubungan dengan penelitian
ini, bertujuan mendapat data sekunder.
6. Alat Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini, adalah
dengan :
a. studi dokumen
b. wawancara :
1) terhadap 16 orang responden
2) terhadap nara sumber :
a) Kepala Suku
b) Wali Jorong
c) Wali Nagari
d) Kerapatan Adat Nagari (KAN)
7. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data
dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Data
sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk
selanjutnya dianalisis menggunakan metode kualitatif yang dilakukan untuk
memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan, yakni cara berfikir yang dimulai
dari hal yang bersifat khusus untuk selanjutnya menarik hal-hal yang umum sebagai