BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Pisang Raja 2.1.1 Morfologi
Musa X paradisiaca AAB. merupakan jenis tanaman berbiji, berbatang semu yang dapat tumbuh sekitar 2,1 - 2,9 meter, berakar serabut yang tumbuh menuju bawah sampai kedalaman 75 - 150 cm, memiliki batang semu tegak yang berwarna hijau hingga merah dan memiliki noda coklat atau hitam pada batangnya. Helaian daunnya berbentuk lanset memanjang yang letaknya tersebar dengan bagian bawah daun tampak berlilin. Daun ini diperkuat oleh tangkai daun yang panjangnya antara 30 - 40 cm. Memiliki bunga yang bentuknya menyerupai jantung, berkelamin satu yaitu berumah satu dalam satu tandan dan berwarna merah tua. Buahnya melengkung ke atas, dalam satu kesatuan terdapat 13 - 16 buah dengan panjang sekitar 16 - 20 cm (Daniells, dkk., 2001).
2.1.2 Sistematika
Menurut Tjitrosoepomo (2000), sistematika tumbuhan pisang raja adalah: Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Class : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Familia : Musaceae Genus : Musa
2.1.3 Sinonim
Sinonim dari tanaman pisang raja (Musa X paradisiaca AAB) menurut Valmayor, dkk. (2012) adalah:
Inggris : Plantain, raja Filipina : Radja, daliri dalaga Thailand : Kluai khai boran Malaysia : Pisang raja 2.1.4 Kandungan kimia
Kulit buah pisang raja mengandung zat seperti protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B dan C (Atun, dkk., 2007), senyawa golongan flavonoid yaitu katekin, gallokatekin dan epikatekin serta senyawa golongan tanin (Someya, dkk., 2002).
2.1.5 Khasiat
Kulit buah pisang raja digunakan sebagai obat penyakit kuning, antidiare, obat gangguan pencernaan (dispepsia) seperti penyakit maag, obat luka, menurunkan kolesterol darah, dapat digunakan sebagai tepung untuk olahan makanan (Cahyono, 2009), melembabkan kulit, menghilangkan bekas cacar, menghaluskan tangan dan kaki, antinyamuk dan menjaga kesehatan retina mata dari kerusakan akibat cahaya berlebih (Satuhu dan Supriyadi, 2008).
2.2 Ekstraksi
2.2.1 Pengertian ekstraksi
keperluan tertentu. Simplisia yang digunakan umumnya sudah dikeringkan, tetapi kadang simplisia segar juga dipergunakan. Simplisia dihaluskan lebih dahulu agar proses difusi zat-zat berkhasiatnya lebih cepat (Syamsuni, 2006).
2.2.2 Tujuan ekstraksi
Tujuan ekstraksi dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat dalam simplisia masih berada dalam kadar yang tinggi sehingga memudahkan untuk mengatur dosis zat berkhasiat karena dalam sediaan ekstrak dapat distandardisasikan kadar zat berkhasiat sedangkan kadar zat berkhasiat dalam simplisa sukar diperoleh kadar yang sama (Anief, 1999).
2.2.3 Metode ekstraksi
Menurut Depkes RI (1989) ada beberapa metode ekstraksi yaitu: 1. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
b. Perkolasi
diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan gaya kapiler yang cenderung untuk menahan. Untuk menentukan akhir perkolasi, dilakukan pemeriksaan zat aktif secara kualiitatif pada perkolat terakhir. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi yang sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak.
2. Cara panas a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar.
b. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu umumnya pada temperatur 40 - 50ºC.
c. Infundasi
-20 menit). Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.
d. Sokletasi
Sokletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak, pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur.
2.3 Uraian Bakteri
Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Ukuran bakteri bervariasi, baik penampang maupun panjang, tetapi pada umumnya diameter bakteri adalah sekitar 0,2 - 2,0 mm dan panjang berkisar 2 - 8 mm (Pratiwi, 2008).
Menurut Tranggono dan Latifah (2007), berdasarkan bentuknya bakteri dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu:
1. Coccus, berbentuk bulat. 2. Bacillus, berbentuk batang. 3. Spirillae, berbentuk spiral. 2.3.1 Perkembangbiakan bakteri
Pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dipengaruhi oleh: 1. Suhu
tertentu. Menurut Dwidjoseputro (1978), klasifikasi bakteri berdasarkan suhu hidupnya yaitu:
a. Bakteri psikofil (oligotermik), yaitu bakteri yang dapat hidup antara suhu 0 -30oC, sedangkan suhu optimumnya antara 10 - 20oC.
b. Bakteri mesofil (mesotermik), yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu antara 5-60oC, sedangkan suhu optimumnya 25 - 40oC.
c. Bakteri termofil (politermik), yaitu bakteri yang tumbuh dengan baik pada suhu 50 - 60oC, meskipun demikian bakteri ini juga dapat berkembangbiak pada temperatur lebih rendah atau lebih tinggi dari itu, yaitu dengan batas 40 - 80oC.
2. pH
Bakteri dapat hidup paling baik pada pH optimal, yakni 6,5 - 7,5. Beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan sangat asam atau sangat alkali. Bila bakteri dibiakkan dalam suatu medium yang semula pHnya tertentu, maka kemungkinan pH ini akan berubah oleh adanya senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama masa pertumbuhan (Pelczar dan Chan, 1998).
3. Oksigen
Menurut Volk dan Wheeler (1993), berdasarkan kebutuhan oksigen bakteri dikelompokkan menjadi:
a. Bakteri anaerob, yaitu bakteri yang tidak hanya tak dapat tumbuh di tempat yang ada oksigennya bahkan mati dengan adanya oksigen.
c. Bakteri aerob, yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen bebas dalam hidupnya.
d. Bakteri aerotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup dengan adanya oksigen, namun bakteri ini tidak menggunakan oksigen untuk metabolismenya. 4. Tekanan osmosis
Osmosis merupakan perpindahan air melewati suatu membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media (Pratiwi, 2008). Bakteri dapat tumbuh dengan baik pada media yang isotonis dengan isi sel bakteri. Media pertumbuhan bakteri harus mempunyai tekanan osmosis yang sama dengan bakteri (Dwijoseputro, 2010).
5. Nutrisi
Sumber zat makanan (nutrisi) bagi bakteri diperoleh dari senyawa karbon, nitrogen, sulfur, unsur logam (natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, tembaga dan kobalt), vitamin dan air untuk fungsi-fungsi metabolik dan pertumbuhannya (Brooks, dkk., 2005).
2.3.2 Fase pertumbuhan bakteri
Pertumbuhan bakteri meliputi empat fase, yaitu: 1. Fase lag
Fase lag merupakan fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Pada fase ini tidak ada peningkatan jumlah sel, namun ada peningkatan ukuran sel (Pratiwi, 2008).
2. Fase eksponensial (fase log)
pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial (Pratiwi, 2008).
3. Fase stasioner
Pertumbuhan bakteri berhenti pada fase ini dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati. Karena pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik (Pratiwi, 2008).
4. Fase kematian
Pada fase ini terjadi penurunan nutrisi yang diperlukan oleh bakteri sehingga bakteri memasuki fase kematian. Laju kematian melampaui dari laju pertumbuhan, dan pada akhirnya pertumbuhan bakteri menjadi terhenti (Volk dan Wheeler, 1993).
2.4 Bakteri Propionibacterium acne
Sistematika bakteri Propionibacterium acne adalah sebagai berikut: Kingdom : Bacteria
Divisi : Actinobacteria Class : Actinobacteridae Ordo : Actinomycetales Familia : Propionibacteriaceae Genus : Propionibacterium Species : Propionibacterium acne
2.5 Bakteri Staphylococcus epidermidis
Sistematika bakteri Staphylococcus epidermidis adalah sebagai berikut: Kingdom : Bacteria
Divisi : Protophyta Class : Bacilli Ordo : Bacillales
Familia : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus
Species : Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur. Staphylococcus epidermidis membentuk koloni berupa abu-abu sampai putih, non patogen, koagulasi negatif, tidak memfermentasi manitol, dapat bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada kulit. Infeksi lokal bakteri ini tampak sebagai jerawat dan infeksi folikel rambut atau abses (Brooks, dkk., 2005).
2.6 Pengujian Aktivitas Antibakteri
Penentuan kepekaan bakteri terhadap antibakteri tertentu dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu dilusi atau difusi. Penting sekali menggunakan metode standar untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba.
a. Metode dilusi
uji dan diinkubasi. Tahap akhir dimasukkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz, dkk., 2001).
b. Metode difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat), selain faktor antara obat dan organisme. Meskipun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan menghasilkan uji kepekaan dengan baik (Jawetz, dkk., 2001).
c. Metode turbidimetri
Bakteri yang bertambah banyak pada media cair akan menyebabkan media menjadi keruh. Alat yang digunakan untuk pengukuran adalah spektrofotometer dengan cara membandingkan densitas optik antara media tanpa pertumbuhan bakteri dan media pertumbuhan bakteri (Pratiwi, 2008).
2.7 Jerawat
2.7.1 Penyebab terjadinya jerawat
Menurut Mitsui (1997), penyebab terjadinya jerawat adalah sebagai berikut: 1. Hormonal
Sekresi kelenjar sebaseus yang hiperaktif dipacu oleh pembentukan hormon testosteron (androgen) yang berlebih, sehingga pada usia pubertas akan banyak timbul jerawat pada wajah, dada, punggung, sedangkan pada wanita selain hormon androgen, produksi lipida dari kelenjar sebaseus dipacu oleh hormon luteinizing yang meningkat saat menjelang menstruasi.
2. Makanan
Para pakar peneliti di Colorado State University Department of Health and Exercise menemukan bahwa makanan yang mengandung kadar gula dan kadar karbohidrat yang tinggi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menimbulkan jerawat. Secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa mengkonsumsi terlalu banyak gula dapat meningkatkan kadar insulin dalam darah, dimana hal tersebut memicu produksi hormon androgen yang membuat kulit jadi berminyak dan kadar minyak yang tinggi dalam kulit dapat memicu timbulnya jerawat.
3. Kosmetik
Penggunaan kosmetik yang melekat pada kulit dan menutupi pori-pori, jika tidak segera dibersihkan akan menyumbat saluran kelenjar palit dan menimbulkan jerawat yang disebut komedo. Kosmetik yang paling umum menjadi penyebab timbulnya jerawat yaitu kosmetik pelembab yang langsung menempel pada kulit. 4. Infeksi bakteri
Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis dapat menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol, asam lemak bebas tersebut memungkinkan terjadinya lesi komedo.
2.7.2 Penanggulangan jerawat
Usaha pengobatan jerawat menurut Wasitaatmadja (1997), dapat dilakukan dengan 3 cara:
1. Pengobatan topikal
Prinsip pengobatan topikal adalah mencegah pembentukan komedo (jerawat ringan), ditujukan untuk mengatasi, menekan peradangan dan kolonisasi bakteri, serta penyembuhan lesi jerawat dengan pemberian bahan iritan dan antibakteri topikal seperti: sulfur, resorsinol, asam salisilat, benzoil peroksida, asam azelat, tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin.
2. Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk penderita jerawat sedang sampai berat dengan prinsip menekan aktivitas bakteri, menekan reaksi radang, menekan produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Golongan obat sistemik misalnya: pemberian antibiotik (tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin). 3. Bedah kulit
Bedah kulit ditujukan untuk memperbaiki jaringan parut yang terjadi akibat jerawat. Tindakan dapat dilaksanakan setelah jerawat sembuh baik.
2.8 Uraian Gel
partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem fase tunggal dan dua fase (misalnya Gel Aluminium Hidroksida). Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar homogen dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang terdispersi dalam cairan (misalnya karbomer dan tragakan). Gel sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonit) (Ditjen POM, 1995).
Keunggulan gel pada formulasi sediaan: 1. Waktu kontak lama
Kulit mempunyai barrier yang cukup tebal, sehingga dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk zat aktif dapat berpenetrasi.
2. Kadar air dalam gel tinggi
Jumlah air yang banyak dalam gel akan menghidrasi stratum corneum sehingga terjadi perubahan permeabilitas stratum corneum menjadi lebih permeabel terhadap zat aktif yang dapat meningkatkan permeasi zat aktif.
3. Resiko timbulnya peradangan ditekan
Kandungan air yang banyak pada gel dapat mengurangi resiko peradangan lebih lanjut akibat menumpuknya lipida pada pori-pori, karena lipida tersebut merupakan makanan bakteri jerawat (Lieberman, 1997).
2.8.1 Hidroksi propil metil selulosa (HPMC)
secara luas banyak digunakan dalam aplikasi produk kosmetik dan aplikasi lainnya (Rowe, dkk., 2005).
2.8.2 Propilen glikol
Propilen glikol banyak digunakan sebagai pelarut dan pembawa dalam pembuatan sediaan farmasi dan kosmetik, khususnya untuk zat-zat yang tidak stabil atau tidak dapat larut dalam air. Propilen glikol adalah cairan bening, tidak berwarna, kental, hampir tidak berbau dan memiliki rasa manis sedikit tajam. Dalam kondisi biasa, propilen glikol stabil dalam wadah yang tertutup baik dan juga merupakan suatu zat kimia yang stabil bila dicampur dengan gliserin, air atau alkohol (Rowe, dkk., 2005).
2.8.3 Metil paraben