BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu yang berperan untuk
mempelajari proses mental dan perilaku manusia. Untuk mempelajari perilaku
manusia, para ahli psikologi telah melakukan berbagai macam pengukuran, atau
dengan kata lain dilakukan tes psikologi. Salah satu pengukuran yang dilakukan
adalah kepribadian manusia. Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari sering
dihubungkan dengan karakter dan sifat individu. Oleh karena itu, ada banyak
peneliti yang melakukan penelitian bagaimana cara untuk mengukur kepribadian
manusia, yaitu sifat-sifat unik yang ada pada tiap-tiap individu (Lahey, 2007).
Pengukuran terhadap kepribadian merupakan hal yang penting dilakukan
karena tiap orang perlu untuk mengenal orang lain ketika hendak berinteraksi,
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan orang lain. Pervin (2005)
mengungkapkan bahwa pengukuran terhadap kepribadian merupakan hal yang
penting karena kepribadian merupakan gambaran keseluruhan dari individu, dan
pentingnya untuk memahami keseluruhan aspek yang berbeda dalam individu dan
bagaimana hubungannya dengan orang lain. Selain itu, pengukuran kepribadian
penting dilakukan karena perlu mempelajari individu yang kompleks, seperti
keunikan seseorang, bagaimana interaksi dengan orang lain. Salah satu
pengukuran yang dilakukan adalah melalui tes, yaitu tes kepribadian. Tes
di bidang tertentu. Memandang hal tersebut, maka merupakan hal yang sangat
penting untuk melakukan tes kerpibadian, baik dalam hal seleksi maupun untuk
menentukan jabatan seseorang. Beberapa contoh yang berkaitan dengan
penggunaan tes kepribadaian adalah perekrutan ataupun penyeleksian karyawan
dalam suatu organisasi. Selain itu, tes kepribadian juga dilakukan ketika hendak
memilih jurusan, dan lain-lain.
Beberapa alat tes telah dikembangkan untuk mengukur kepribadian
individu, antara lain adalah Sixteen Personality Factor (16 PF), NEO Personality
Inventory Revised (NEO-PIR), Big Five Inventory (BFI), Hogan Personality
Inventory (HPI), dan lain-lain. Beberapa alat tes tersebut sudah dikembangkan dan
juga sudah digunakan di Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan salah satu
alat tes, yaitu Big Five Inventory (selanjunya akan disebut BFI). Adapun yang
menjadi alasan penggunaan BFI dalam penelitian ini adalah karena hingga saat ini
BFI dalam tahap pengembangan, sehingga peneliti menganggap penting untuk
meneliti aitem-aitem yang ada dalam BFI. Untuk melengkapi hasil penelitian
sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Mariyanti (2012),
yaitu adaptasi BFI kedalam bahasa Indonesia, dan analisis konstrak pada etnis
Batak juga telah diteliti oleh Samosir (2013), dan analisis DIF administrasi tes
pada aitem BFI (Putri, 2013).
BFI merupakan salah satu alat tes untuk mengukur kepribadian yang
dikonsep dari teori Big Five oleh McCrae & Costa . BFI merupakan tes yang
sering digunakan di berbagai negara, diantaranya Amerika Serikat, Turki, Inggris,
Shackelford, 2008). Memandang bahwa budaya yang ada di negara-negara
tersebut berbeda dengan budaya yang ada di Indonesia, maka sangat diperlukan
suatu tes yang berfungsi sama untuk budaya yang berbeda-beda. Tes yang adil
merupakan tes yang tidak bias. Tes yang tidak bias merupakan tes yang berfungsi
sama meskipun diberikan pada budaya dan negara yang berbeda-beda. Menurut
Camilli & Shepard (1994) dan Clauser & Mazor (1998 dalam Zumbo, 1999), bias
aitem terjadi ketika individu dari satu kelompok cenderung untuk menjawab aitem
dengan benar (atau menyetujui pernyataan dalam aitem) dibandingkan peserta
individu dari kelompok lainnya, karena beberapa karakteristik dari aitem yang
dipakai dalam mengukur atau situasi pengukuran yang tidak relevan dengan
tujuan tes. Jadi, bias aitem dapat menyebabkan alat tes menjadi tidak adil.
BFI terdiri dari 44 aitem. Awalnya BFI dikonstrak dalam bahasa Inggris.
Aitem-aitem yang ada dalam BFI adalah untuk mengungkap kepribadian yang
disusun berdasarkan teori Big Five. Teori yang mendasari BFI adalah Five Factor
Model. Five-Factor Model aslinya didasarkan pada sebuah kombinasi dari dua
pendekatan, yaitu pendekatan leksikal (lexical approach) dan pendekatan statistik
(statistical approach). Pendekatan leksikal merupakan pendekatan yang
berhubungan dengan bahasa, yang artinya adalah bagaimana alat tes bersifat
universal, dan bisa digunakan di budaya yang berbeda-beda. Sedangkan
Pendekatan statistik merupakan pendekatan yang berhubungan dengan
pengelompokan kumpulan asli dari Five Factor Model menjadi lima faktor.
Pendekatan leksikal yang terdapat dalam Five Factor Model dimulai pada tahun
2010) dengan kerja keras untuk menerjemahkan dan mengidentifikasi 17.953
terminologi trait dari bahasa Inggris (yang berisi secara kasarnya sekitar 550.000
catatan asli yang terpisah). Allport dan Odbert kemudian membagi kumpulan asli
dari trait tersebut menjadi empat hal: (1) trait yang bersifat stabil (stable traits),
seperti rasa aman, intelegensi, (2) keadaan, suasana hati, dan aktivitas sementara,
seperti tidak tenang, gelisah (agitated), perasaan gairah, gembira (excited), (3)
evaluasi sosial, seperti mempesona (charming), menjengkelkan (irritating), dan
(4) terminologi yang berhubungan dengan istilah-istilah metafora, fisik, dan
keragu-raguan, seperti kata subur (prolific), sedikit (lean) (Larsen & Buss, 2010).
Five Factor Model telah diteliti lebih dari puluhan peneliti yang
menggunakan sampel yang berbeda-beda. Model ini telah direplikasi setiap
dekade selama akhir abad pertengahan. Model ini telah direplikasi kedalam
bahasa yang berbeda dan dalam format aitem yang berbeda juga (Larsen & Buss,
2010). Para peneliti yang berbeda memiliki variasi yang berbeda-beda dalam
memberi label pada kelima faktor ini seperti budaya (culture), intelek (intellect),
imajinasi (imagination), keterbukaan (openness), terbuka terhadap pengalaman
(openness to experience), dan intelegensi yang berubah-ubah (fluid intelligence)
dan berpikir tenang (tender-mindedness) (Brand & Egan, 1989; De Raad, 1998,
dalam Larsen & Buss, 2010). Penyebab utama dari perbedaan ini adalah
perbedaan peneliti dalam memulai penelitian, yaitu dengan menggunakan
kelompok yang berbeda hingga analisis faktor (Larsen & Buss, 2010). Jadi, dari
beberapa penelitian tersebut, ditemukan bahwa BFI memiliki lima faktor,
Berdasarkan pendekatan leksikal, pengukuran terhadap trait yang muncul
secara universal, yang artinya adalah tetap memperhatikan perbedaan bahasa dan
budaya merupakan hal yang lebih penting dibanding tidak memperhatikan
perbedaan bahasa dan budaya. Penelitian yang berkaitan dengan hal ini telah
dilakukan dibeberapa negara, yaitu di negara Turki, Jerman, Italia. Hasil
penelitian di Turki menunjukkan bahwa faktor openness lebih jelas terlihat,
penelitian di Jerman menunjukkan bahwa kelima faktor BFI menjelaskan
intelegensi, talenta, dan kemampuan seseorang, dan penelitian di Italia
menunjukkan bahwa kelima faktor BFI adalah faktor yang sudah biasa dalam diri
individu yang ditandai dengan aitem-aiten memberontak dan selalu mengkritik
(Larsen & Buss, 2010).
Penelitianmengenai BFI juga dilakukan Schmitt, dkk (2007), yaitu bentuk
dan profil dari deskripsi diri manusia di 56 negara. Jadi, bagian International
Sexuality Description Project menerjemahkan BFI dari bahasa Inggris menjadi 28
bahasa yang diadministrasikan kepada 17.837 orang dari 56 negara. Hasil
menunjukkan bahwa kelima dimensi yang ada pada BFI secara kuat menjelaskan
wilayah-wilayah utama di dunia. Level trait dihubungkan dapat menjadi cara
untuk memprediksi harga diri, sosioseksual, dan profil kepribadian nasional.
Orang-orang dari daerah geografis Amerika Selatan dan Asia Timur menunjukkan
hasil yang signifikan pada dimensi openness dibanding daerah lain yang ada di
dunia.
Penelitian juga telah dilakukan pada mahasiswa, yaitu dengan skor
Costa, 2006), pengukuran mengenai kepribadian five factor yang dilakukan juga
menemukan bahwa mahasiswa cenderung lebih tinggi pada faktor Neuroticism,
Extraversion, dan Openness, dan lebih rendah pada faktor Agreeableness dan
Conscientiousness. Terdapat juga para peneliti yang fokus perhatiannya mengenai
lintas budaya yang disebut dengan multikulturalis. Multikulturalis
mengembangkan sebuah ide yang disebut relativisme kebudayaan, yang
menyatakan bahwa nilai-nilai manusia dapat hanya dinilai dari dalam perspektif
budaya dimana mereka tumbuh, karena nilai-nilai yang ada pada mereka dibentuk
oleh budaya (McCrae & Costa, 2006). Oleh karena itu, sangat penting bagi
peneliti untuk memperhatikan unsur budaya ketika ingin melakukan suatu
penelitian.
Penelitian BFI juga telah dilakukan oleh Mariyanti (2012), yaitu adaptasi
BFI ke dalam bahasa Indonesia. Hasil analisis faktor exploratory ini menunjukkan
jumlah faktor yang sama antara versi asli dengan versi adaptasi dalam Bahasa
Indonesia yaitu terdapat 5 faktor. Namun, terdapat perbedaan pada beberapa
indikator perilaku pada beberapa faktor (yang ditandai dengan nomor aitem yang
berbeda). Perbedaan diduga disebabkan oleh adanya perbedaan budaya antara
Indonesia dengan negara asal BFI. Beberapa aitem yang seharusnya dikategorikan
sebagai faktor tertentu dapat muncul sebagai faktor lain di Indonesia disebabkan
adanya perbedaan kepercayaan dan budaya pada masyarakat Indonesia dengan
negara asal (Mariyanti, 2012).
Indonesia memiliki budaya yang beragam, dan hal ini dapat dilihat dari
Batak Toba, Jawa, Batak Karo, Batak Simalungun dan lain-lain. Etnis yang
berbeda tersebut memberikan pengaruh terhadap individu-individu yang ada
dalam budaya tertentu, baik perilaku, maupun cara berpikir individu (Bangkaru,
2001). Memandang bahwa individu yang memiliki budaya yang berbeda-beda
tersebut, maka dibutuhkan suatu alat tes yang penggunaannya dapat berfungsi
secara adil, sehingga generalisasi alat tes merupakan hal yang penting, terutama
pada budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu sangat penting untuk melihat
bagaimana penggunaan BFI di Indonesia dengan budaya yang beragam, apakah
terdapat perbedaan respon terhadap aitem yang ada pada BFI. Hal ini
berhubungan dengan validitas suatu alat tes, yaitu apakah alat tes tersebut tetap
bekerja sesuai fungsinya ketika diterapkan di berbagai budaya. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh bagaimana pemahaman subjek terhadap aitem yang ada pada
BFI, apakah dengan budaya dan bahasa yang berbeda berpengaruh terhadap
bagaimana subjek memahami aitem yang ada. Menurut Bangkaru (2001),
masing-masing budaya yang ada di Indonesia memiliki nilai budaya, tradisi dan
kepercayaan budaya masing-masing yang membuat satu budaya berbeda dengan
budaya yang lain. Penelitian ini melibatkan etnis karena dengan etnis yang
berbeda, terdapat kemungkinan tes rentan terhadap bias, sehingga membutuhkan
tes yang tidak bias.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia memiliki etnis yang
beragam. Masing-masing etnis memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda. Dari
beberapa etnis dan nilai budaya tersebut, ada dua etnis yang memiliki beberapa
Jawa. Etnis Batak terdiri dari beberapa jenis, antara lain Batak Toba, Batak
Mandailing, Batak Simalungun, Batak Karo, dan Batak Pakpak. Masing-masing
etnis tersebut dipengaruhi oleh budaya Batak Toba. Meskipun masing-masing
etnis memiliki nilai budaya dan kepribadian yang berbeda-beda, akan tetapi
sebagian besar nilai budaya mereka dipengaruhi oleh budaya Batak Toba,
misalnya Mandailing yang mirip dengan budaya Batak Toba, yaitu penggunan
marga hukum adat yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian individu
menjadi terbuka terhadap sesama mereka. Kemudian Simalungun yang
dipengaruhi oleh etnis Melayu dan sedikit budaya Batak Toba, sehingga memiliki
budaya sangat menghargai adanya level dalam hubungan sosial (Bangkaru, 2001).
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti etnis Batak Toba
dan Jawa karena memiliki nilai budaya yang membentuk kepribadian kedua etnis
tersebut menjadi sangat berbeda yaitu orang Batak Toba dengan kepribadian
yang mandiri, sangat menghargai keterbukaan, sadar diri dan sangat menghargai
desentralisasi, sedangkan orang Jawa memiliki stereotip sebagai suku bangsa yang
sopan dan halus, tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup
dan tidak mau terus terang (Harahap & Siahaan, 1987; Endraswara, 2010). Memandang bahwa merupakan hal yang penting untuk mengetahui apakah
aitem-aitem tersebut benar-benar dipahami oleh subjek sesuai dengan tujuan awal
dari BFI, dan juga untuk membuktikan apakah BFI yang sudah diadaptasi bersifat
adil, maka diperlukan sebuah pengujian terhadap aitem-aitem yang ada pada BFI.
Dalam kajian ilmu psikologi, khususnya kajian psikometri disebut uji
disebut dengan DIF). DIF merupakan sebuah kondisi yang terjadi ketika
pengujian terhadap dua kelompok menunjukkan kemungkinan untuk menyetujui
atau tidak menyetujui aitem yang berbeda setelah kemampuan dasar yang telah
disetarakan (Camilli & Shepard, 1994; Clauser & Mazor, 1998 dalam Zumbo,
1999).
Menurut Zumbo (1999), ada dua hal penting yang perlu diperhatikan
ketika menggunakan analisis DIF, diantaranya adalah ketika anda menggunakan
tes yang sudah ada; atau ketika anda mengembangkan pengukuran yang baru atau
memodifikasi pengukuran (Zumbo, 1999; hal 14). Jadi, sebelum memutuskan
untuk menggunakan analisis DIF dalam suatu penelitian, maka kedua hal tersebut
perlu untuk diperhatikan kembali. Penelitian ini menguji DIF dengan alasan
karena peneliti menggunakan alat tes yang sedang dikembangkan, yaitu BFI yang
sudah diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia.
Penelitian mengenai DIF mencakup dua kelompok yang diuji, yaitu
kelompok referensi dan kelompok fokal. Dan hal ini lebih umum dikenal dengan
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Dalam kehidupan sehari-hari
terdapat banyak kelompok referensi dan Fokal, dan seorang individu mungkin
terlibat pada satu atau lebih. Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk
kedalam kelompok Referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok
Fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam penelitian ini, yang
termasuk ke dalam kelompok Referensi adalah etnis Batak Toba, karena
kepribadian etnis tersebut lebih mendominasi dalam faktor-faktor yang terdapat
diri dan sangat menghargai desentralisasi. Sedangkan etnis Jawa termasuk dalam
kelompok Fokal, yaitu dengan kepribadian sebagai suku bangsa yang sopan dan
halus, tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak
mau terus terang. Sehingga dalam penelitian DIF etnis pada BFI ini, peneliti ingin
melihat apakah aitem-aitem yang ada dalam BFI mengandung DIF etnis atau
tidak.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan masalah yang dipaparkan sebelumnya, maka permasalahan
yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Apakah aitem-aitem dalam BFI
versi Indonesia mengandung DIF Etnis?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melengkapi bukti empiris BFI versi
Indonesia merupakan tes yang adil digunakan pada etnis Batak Toba dan Jawa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penilitian ini diharapkan dapat menambah referensi mengenai
keberfungsian aitem-aitem BFI ketika diterapkan dalam budaya Indonesia
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi kepada para praktisi
untuk menggunakan BFI sebagai salah satu alternatif alat tes kepribadian
yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan