• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori - Fungsi Media Massa dalam Pembentukan Opini Masyarakat (Studi Deskriptif Tentang Fungsi Media Massa dalam Pembentukan Opini Masyarakat Kelurahan Mangga Perumnas Simalingkar Terhadap Pemberitaan Kebijakan Pemerint

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori - Fungsi Media Massa dalam Pembentukan Opini Masyarakat (Studi Deskriptif Tentang Fungsi Media Massa dalam Pembentukan Opini Masyarakat Kelurahan Mangga Perumnas Simalingkar Terhadap Pemberitaan Kebijakan Pemerint"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Kerangka Teori

Dalam melakukan penelitian, teori membantu peneliti dalam menentukan

tujuan dan arah penelitian dan dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna

pembentukan hipotesis. Teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan

proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan

menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala

tersebut (Kriyantono, 2006: 43). Neuman menjelaskan bahwa teori memberikan

kepada kita suatu kerangka yang membantu dalam dalam melihat permasalahan.

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah:

2.1.7. Media Massa

Perkembangan media massa tidak terlepas dari ilmu komunikasi yang pada

intinya bertujuan untuk menyampaikan pesan karena pada dasarnya media massa

berfungsi menyampaikan pesan kepada masyarakat luas. Sejarah perjalanan media

massa di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut peran media massa. Hal

ini terjadi karena media massa sebagai bagian dari subsistem komunikasi

Indonesia dalam sistem sosial Indonesia, akan dipengaruhi oleh subsistem sosial

lainnya, termasuk ideologi, politik dan pemerintahan negara dimana media massa

itu berada.

2.1.7.1. Pengertian Media Massa

Media massa merupakan media informasi yang terkait dengan masyarakat,

digunakan untuk berhubungan dengan khalayak (masyarakat) secara umum,

dikelola secara profesional dan bertujuan mencari keuntungan (Mondry, 2008:

12). Menurut Bungin (2008: 85), media massa merupakan institusi yang berperan

sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Secara umum,

media massa diartikan sebagai alat-alat komunikasi yang bisa menyebarkan pesan

secara serempak dan cepat kepada audiens dalam jumlah yang luas dan heterogen

(2)

2.1.7.2. Jenis Media Massa

Adapun bentuk media massa antara lain media elektronik (radio, televisi),

media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), buku, film dan internet (Bungin, 2008:

85). Media massa dalam konteks jurnalistik pada dasarnya terbatas pada tiga jenis

media (Yunus, 2010: 27), yaitu:

1. Media cetak, yang terdiri dari surat kabar, tabloid, majalah, buletin/jurnal dan

sebagainya.

2. Media elektronik, yang terdiri dari radio dan televisi.

3. Media online, yaitu media internet seperti website, blog dan lain sebagainya.

2.1.7.3. Peran Media Massa

Dalam menjalankan paradigmanya sebagai institusi pelopor perubahan,

media massa memiliki peran (Bungin, 2008: 85):

1. sebagai institusi pencerahan masyarakat,

2. menjadi media informasi,

3. sebagai media hiburan.

Menurut Denis McQuail (McQuail, 1987:1), media massa memiliki fungsi

penting, antara lain:

1. Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan

lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang

terkait.

2. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan

inovasi dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai pengganti kekuatan

atau sumber daya lainnya.

3. Media merupakan lokasi (forum) yang semakin berperan untuk menampilkan

peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional

maupun internasional.

4. Media berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja

dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam

pengertian pengembangan tata cara, mode , gaya dan norma-norma.

5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk

memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat

(3)

2.1.8. Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa 2.1.8.1.Pengertian Televisi

Televisi sebagai media komunikasi massa berasal dari dua suku kata

yaitu tele yang berarti jarak dalam bahasa yunani dan visi yang berarti citra atau

gambar dalam bahasa latin. Jadi kata “televisi” berarti suatu sistem penyajian

gambar berikut suaranya dari suatu tempat yang berjarak jauh (Olii, 2007: 69).

2.1.8.2.Sejarah Televisi Di Indonesia

Kegiatan penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada tanggal 24 Agustus

1962, bertepatan dengan dilangsungkannya pembukaan pesta olahraga se-Asia IV

atau Asean Games di Senayan. Sejak itu pula Televisi Republik Indonesia yang

disingkat TVRI dipergunakan sebagai panggilan status sampai sekarang. Selama

tahun 1962-1963 TVRI berada di udara rata-rata satu jam sehari dengan segala

kesederhanaannya. Pada tahun 1989, pemerintah memberikan izin operasi kepada

kelompok usaha Bimantara untuk membuka stasiun televisi TPI yang merupakan

stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, disusul kemudian dengan RCTI,

SCTV, Indosiar dan ANTV. Sejak tahun 2000, muncul hampir serentak lima

stasiun televis swasta baru (Metro TV, Trans TV, Trans7, TV One dan Global

TV) dan banyak televisi lokal (Morrisan, 2004: 3).

2.1.8.3.Karakteristik Televisi Sebagai Media Massa

Televisi dapat dikatakan sebagai media komunikasi massa yang dapat

dimiliki oleh masyarakat dibandingkan media massa lainnya. Dengan model audio

visual yang dimilikinya, siaran televisi sangat komunikatif dalam memberikan

pesan. Karena itulah televisi bermanfaat sebagai upaya pembentukan sifat,

perilaku dan sekaligus perubahan pola berpikir (Effendy, 2005: 21).

Televisi sebagai media audiovisual memiliki beberapa sifat diantara lain

(Morrisan, 2004:5) :

1. Dapat didengar dan dilihat bila ada siaran

2. Dapat dilihat dan didengar kembali, bila ditayangkan kembali

3. Daya rangsang tinggi

4. Elektris

5. Sangat mahal

(4)

Televisi memiliki beberapa karakteristik (Ardianto, 2004: 128), sebagai

berikut:

1. Audiovisual

Televisi memiliki kelebihan, yakni dapat didengar sekaligus dilihat

(audiovisual).

2. Berpikir dalam gambar

Pihak yang bertanggung jawab atas kelancaran acara televisi adalah pengarah

acara. Bila ia membuat naskah acara atau membaca naskah acara, ia harus

berpikir dalam gambar (think in picture). Ada dua tahap yang dilakukan

dalam proses berpikir dalam gambar. Pertama adalah visualisasi, yakni

menerjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar

secara individual. Tahap kedua adalah penggambaran (picturization), yakni

kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga

mengandung makna tertentu.

3. Pengoperasian lebih kompleks

Dibandingkan dengan radio siaran, pengoperasian televisi siaran lebih

kompleks dan lebih banyak melibatkan orang. Untuk menayangkan acara

siaran berita saja dapat melibatkan 10 orang lebih. Peralatan yang digunakan

juga lebih banyak dan untuk mengoperasikannya lebih rumit dan harus

dilakukan oleh orang-orang yang terampil dan terlatih. Itulah sebabnya,

televisi menjadi lebih mahal daripada media lain, seperti surat kabar, majalah

dan radio siaran.

2.1.9. Pemberitaan

2.1.9.1.Pengertian Pemberitaan

Dalam buku Here’s The News yang dihimpun oleh Paul De Maeseneer

(Olii, 2007: 27), berita didefinisikan sebagai informasi baru tentang kejadian yang

baru, penting dan bermakna (significant), yang berpengaruh pada para

pendengarnya serta relevan dan layak dinikmati oleh mereka. Walter Lippman

(McQuail, 1996: 190) memfokuskan hakikat berita pada proses pengumpulan

berita, yang dipandang sebagai upaya menemukan “isyarat jelas yang objektif

(5)

Defenisi lain dari berita, menurut James A. Wollert (Sumadiria, 2005: 64)

adalah berita merupakan apa saja yang ingin dan perlu diketahui oleh orang atau

lebih luas lagi oleh masyarakat. Dengan melaporkan berita, media massa

memberikan informasi kepada masyarakat mengenai apa saja yang mereka

butuhkan. Sedangkan menurut Assegaf (Mondry, 2008: 83) berita merupakan

informasi yang menarik perhatian masyarakat yang disusun sedemikian rupa dan

disebarluaskan secepatnya, sesuai periodisasi media.

Dalam kerja media, peristiwa tidak dapat langsung disebut sebagai berita,

tetapi dia harus dinilai terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut mempunyai nilai

berita. Nilai berita tersebut menyediakan standar dan ukuran bagi wartawan

sebagai pedoman kerja dari praktik jurnalistik. Sebuah berita yang mempunyai

unsur nilai berita paling tinggi memungkinkan untuk ditempatkan dalam headline,

sedangkan berita yang tidak mempunyai unsur nilai berita atau setidaknya tidak

berdampak besar akan dibuang. Penentuan nilai berita ini merupakan prosedur

pertama bagaimana peristiwa dikonstruksi (Eriyanto, 2003: 104).

2.1.9.2.Unsur-unsur Pemberitaan

Terdapat beberapa unsur berita yang terkait dengan nilai berita (Mondry,

2008: 141) :

1. Akurat

Suatu berita harus ditulis dengan cermat, baik data seperti angka dan nama

maupun pernyataan.

2. Lengkap

Penulisan berita harus lengkap dan utuh sehingga pihak lain tahu

informasinya dengan benar, tetapi bukan berarti menulis berita harus

dipanjang-panjangkan karena itu tidak efisien.

3. Kronologis

Berita sebaiknya ditulis berdasarkan waktu peristiwa agar urutannya jelas dan

lancar, tidak membingungkan pembaca.

4. Magnitude (daya tarik)

Berita harus ditulis dengan mempertimbangkan daya tariknya. Bila daya tarik

informasi yang diperoleh tidak ada, informasi itu tidak layak dijadikan berita.

(6)

Penulisan berita harus balance. Artinya, dalam menulis berita tidak boleh ada

pemihakan bila terdapat pihak yang berbeda.

2.1.9.3. Penilaian Terhadap Kualitas Pemberitaan

Penilaian terhadap kualitas pemberitaan di televisi dapat ditinjau dari

beberapa hal. Denis McQuail (Morrisan, 2010: 62) mengajukan suatu kerangka

kerja dalam memberikan penilaian terhadap kualitas pemberitaan di televisi, yaitu:

1. Kebebasan media

Kebebasan media mengacu pada hak-hak untuk menyatakan sesuatu secara

bebas dan kebebasan dalam membentuk opini. Dalam mewujudkan

kebebasan media harus terdapat akses bagi masyarakat menuju ke berbagai

saluran informasi dan juga kesempatan untuk menerima berbagai jenis

informasi. Dalam hal ini, kebebasan komunikasi memiliki dua aspek, yaitu

media dalam pemberitaannya harus dapat menyajikan informasi yang

mewakili berbagai suara atau pandangan yang beragam dan memberikan

tanggapan terhadap berbagai keinginan atau kebutuhan yang beragam.

Menurut McQuail (Morissan, 2010: 63), beberapa kriteria yang dapat

dijadikan tolak ukur dalam menilai kebebasan media adalah sebagai berikut:

a) Tidak adanya praktik sensor, perizinan atau berbagai bentuk kontrol oleh

pemerintah sehingga tidak menghambat hak masyarakat untuk menerbitkan

atau menyebarluaskan berita dan opini serta tidak adanya kewajiban untuk

mempublikasikan sesuatu yang tidak dikehendaki untuk dipublikasikan.

b) Hak yang sama bagi seluruh masyarakat untuk menerima secara bebas dan

mendapatkan akses ke sumber-sumber berita, opini, pendidikan dan budaya.

c) Kebebasan bagi media untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber

yang relevan. Dalam arti, sumber-sumber yang relevan juga punya hak

untuk menolak.

d) Tidak ada pengaruh tersembunyi dari pemilik media atau pemasang iklan

dalam hal pemilihan berita atau opini.

e) Kebijakan redaksi berita yang aktif dan kritis dalam menyampaikan berita

(7)

2. Keragaman berita

Prinsip keragaman berita (diversity)adalah upaya media untuk menyajikan

berita yang lengkap dengan menggunakan prinsip keadilan atau (fairness). Media

harus menyajikan berita secara proporsional, berdasarkan topik-topik yang relevan

bagi masyarakat atau dengan kata lain, pemberitaan di televisi harus mampu

mencerminkan keragaman kebutuhan atau minat audiens terhadap berita.

Keragaman berita dapat dinilai berdasarkan empat kriteria:

a) Media dalam menyajikan isi berita harus mampu menyajikan keragaman

realitas sosial, ekonomi dan budaya dalam masyarakat secara proporsional.

b) Media dalam menyebarkan berita harus mampu memberitakan kesempatan

yang lebih kurang sama terhadap berbagai pandangan dalam masyarakat,

termasuk pihak minoritas dalam masyarakat.

c) Media harus bisa berfungsi sebagai forum bagi berbagai pandangan dan

kepentingan yang berbeda dalam masayarakat.

d) Media harus mampu menyajikan pilihan berita yang relevan pada waktu

tertentu (dalam hal adanya peristiwa besar) dan juga keragaman berita

pada waktu lainnya.

3. Gambaran Realitas

Berita yang mengandung bias pada akhirnya akan menjadi berita bohong

atau propaganda sebagaimana sebuah cerita fiksi. Beberapa ciri berita yang

mengandung bias, antara lain sebagai berikut:

a) Media memberikan terlalu memberikan banyak waktu untuk

menyampaikan pandangan pejabat dan kalangan elit masyarakat saja.

b) Berita luar negeri hanya terfokus pada negara-negara kaya saja.

c) Media menyampaikan pandangan yang mengandung bias karena cara

pandnag yang sempit terhadap nasionalisme atau kesukuan.

d) Berita terlalu mengutamakan nilai-nilai yang terlalu mendukung peran

pria atau sebaliknya.

e) Kepentingan kelompok minoritas diabaikan atau dipinggirkan.

f) Terlalu berlebihan dalam menyajikan berita kriminal dan mengabaikan

(8)

4. Objektivitas Berita

Salah satu konsep penting dalam menilai kualitas suatu berita adalah sifat

objektif berita tersebut. Westerstahl dalam penelitiannya di Swedia

mengemukakan pemberitaan yang objektif harus memiliki dua kriteria (Morissan,

2010: 64), yaitu:

a) Faktualitas

Sifat faktual (faktualitas) mengacu pada bentuk laporan berupa peristiwa

atau pernyataan yang dapat diperiksa kebenarannya kepada narasumber

berita dan dapat membedakan dengan jelas antara fakta dan komentar. Sifat

faktualitas suatu berita mencakup keseimbangan, informatif dan netralitas.

b) Tidak Berpihak

Media harus memiliki sikap tidak memihak dengan cara, antara lain

menjaga jarak dan bersikap netral dengan objek pemberitaan. Sikap

ketidakberpihakan suatu media terdiri dari kebenaran dan relevan.

Pemberitaan di media massa memiliki hubungan yang kuat dengan opini

publik. Masyarakat memperoleh informasi melalui pemberitaan di media massa.

Pengetahuan yang diperoleh dari media massa, menjadi bahan pembicaraan

diantara mereka. Ada kalanya mereka mengembangkan gagasan itu untuk

dijadikan bahan diskusi. Inilah yang menjadi langkah awal terbentuknya opini

publik.

2.1.10. Opini Publik

2.1.4.4.Pengertian Opini Publik

Opini adalah suatu pernyataan tentang sikap mengenai suatu masalah yang

bersifat kontroversial. Publik adalah kelompok yang tidak merupakan kesatuan

dan berinteraksi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi. Sehingga

istilah opini publik sering digunakan untuk menunjuk kepada pendapat-pendapat

kolektif dari sejumlah besar orang (Olii, 2007: 20).

Dalam ilmu Komunikasi, opini publik diartikan sebagai proses komunikasi

mengenai soal-soal tertentu, yang apabila dibawa dalam bentuk tertentu kepada

orang-orang tertentu akan memberikan efek tertentu juga. Opini publik tidak

(9)

terjadi perbedaan penafsiran (persepsi) diantara peserta komunikasi. Setiap kali

jaringan komunikasi berubah, maka opini publik juga berubah. Perubahan dalam

opini publik disebut dengan “dinamika komunikasi”, sedangkan substansi opini

publik tidak berubah karena ketika proses pembentukan opini publik berlangsung,

pengalaman dari peserta komunikasi itu telah terjadi.

Menurut William Albiq, opini publik adalah suatu jumlah dari pendapat

individu-individu yang diperoleh melalui perdebatan. Opini publik dapat

merupakan suatu mayoritas pendapat, tapi opini publik bukan mayoritas pendapat

yang dihitung secara “numeric” (menurut jumlah). Mayoritas opini adalah opini

yang dinyatakan atau sedikit-sedikitnya dirasakan oleh lebih dari separuh

orang-orang dari suatu kelompok atau suatu lingkungan (Sumarno, 1990: 29).

2.1.4.5.Proses Pembentukan Opini Publik

Ronald D. Smith mengungkapkan, proses pembentukan opini dimulai dari

beberapa tingkatan:

1. Awareness, berkaitan dengan kesadaran publik terhadap informasi yang

diperoleh.

2. Acceptance, tahap dimana publik merespon secara emosional informasi yang

mereka terima.

3. Action, terkait aksi yang akan dimunculkan mengenai suatu informasi. Aksi

dapat dibagi menjadi dua, yaitu opini dan sikap.

Dalam Effendy (2003: 318), terdapat tiga tahap dalam pembentukan opini

publik, yaitu: efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif.

1. Efek kognitf, berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak

yang semula tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak mengerti menjadi

mengerti, yang tadinya bingung menjadi merasa jelas. Contoh pesan

komunikasi melalui media massa yang menimbulkan efek kognitif antara lain

berita, tajuk rencana, artikel dan sebagainya.

2. Efek afektif, berkaitan dengan perasaan. Akibat dari pemberitaan di media itu

yang akhirnya menimbulkan perasaan tertentu pada khalayak, dan perasaan

(10)

3. Efek konatif, dimana efek ini berkaitan dengan niat, tekad, upaya, usaha yang

memiliki kecenderungan memunculkan sebuah tindakan atau kegiatan. Efek

konatif tidak langsung muncul sebagai akibat terpaan media massa,

melainkan harus melalui efek kognitif dan efek afektif terlebih dulu. Dan

opini publik merupakan hasil akhir dari proses tersebut dan masuk pada efek

konatif.

Bernard Hennessy (Olii, 2007: 40) mengemukakan lima faktor

terbentuknya pendapat umum (opini publik):

1. Adanya isu

2. Nature of Publics

3. Pilihan yang sulit

4. Suatu pernyataan

5. Jumlah orang yang terlibat

Menurut R.P. Abelson (Cutlip 2006: 242), bukan perkara yang mudah

untuk memahami opini seseorang dan publik karena berkaitan dengan unsur-unsur

pembentuknya, yaitu :

1. Kepercayaan mengenai sesuatu (belief)

2. Apa yang sebenarnya dirasakan untuk menjadi sikapnya (attitude)

3. Persepsi (perception), yaitu sebuah proses memberikan makna yang berakar

dari beberapa faktor, yakni :

a.Latar belakang budaya, kebiasaan dan adat istiadat yang dianut

seseorang/masyarakat.

b.Pengalaman masa lalu seseorang/kelompok tertentu menjadi landasan atau

pendapat atau pandangan.

c.Nilai-nilai yang dianut (moral, etika, dan keagamaan yang dianut atau

nilai-nilai yang berlaku di masyarakat)

d.Berita-berita dan pendapat-pendapat yang berkembang yang kemudian

mempunyai pengaruh terhadap pandangan seseorang. Bisa diartikan

berita-berita yang dipublikasikan itu dapat berfungsi sebagai pembentuk

(11)

George Carslake Thompson dalam “The Nature of Public Opinion”

mengemukakan bahwa dalam suatu publik yang menghadapi issue dapat timbul

berbagai kondisi yang berbeda-beda (Sastropoetro, 1990: 106), yaitu:

1. Mereka dapat setuju terhadap fakta yang ada atau mereka boleh tidak setuju;

2. Mereka dapat berbeda dalam perkiraan atau estimation, tetapi juga boleh

tidak berbeda pandangan;

3. Perbedaan yang lain ialah bahwa mungkin mereka mempunyai sumber data

yang berbeda-beda.

2.1.4.6.Kekuatan Dalam Opini Publik

Opini publik atau pendapat umum sebagai suatu kesatuan pernyataan tentang

suatu hal yang bersifat kontroversial merupakan suatu penilaian sosial, maka pada

opini publik melekat beberapa kekuatan yang perlu diperhatikan:

1. Opini publik dapat menjadi suatu hukuman sosial terhadap orang atau

sekelompok orang dalam bentuk rasa malu, rasa dikucilkan, rasa dijauhi, rasa

rendah diri.

2. Opini publik sebagai pendukung bagi kelangsungan berlakunya norma sopan

santun dan susila, baik antara yang muda dan yang lebih tua, maupun antara

yang muda dengan sesamanya.

3. Opini publik dapat mempertahankan eksistensi suatu lembaga atau juga

menghancurkan suatu lembaga institusi.

4. Opini publik dapat mempertahankan atau menghancurkan kebudayaan.

5. Opini publik dapat melestarikan norma sosial.

Dalam hubungannya dengan penilaian terhadap suatu opini publik, perlu

diperhitungkan empat pokok, yaitu:

1. Difusi, yaitu apakah opini yang timbul merupakan suara terbanyak, akibat

adanya kepentingan golongan;

2. Persistence, yaitu kepastian atau ketetapan tentang masa berlangsungnya isu

karena disamping itu opini pun perlu diperhitungkan;

3. Intensitas, yaitu ketajaman terhadap isu; dan

(12)

2.1.11.Peran Media Massa Dalam Opini Publik

2.1.11.1. Hubungan Media Massa Dengan Opini Publik

Media massa dipandang memiliki pengaruh yang kuat dalam membangun

opini publik. Media massa merupakan “alat” untuk menyampaikan pendapat

umum, karena tidak adanya batasan ruang dan waktu sehingga memungkinkan

memiliki pengaruh yang kuat pula. Media massa memberikan

penekanan-penekanan pada pemberitaan tertentu sehingga menciptakan isu-isu penting.

Media massa menyampaikan informasi tertentu dan membawa aspirasi suatu

kelompok atau golongan. Publik yang merupakan bagian dari massa tertarik

terhadap suatu isu aktual menyangkut kepentingan umum melalui media massa.

Dominick (Ardianto, 2004: 58) menyebutkan tentang dampak komunikasi massa

pada pengetahuan, persepsi dan sikap orang-orang. Media massa terutama televisi,

yang menjadi agen sosialisasi (penyebaran nilai-nilai) memainkan peranan

penting dalam transmisi sikap, persepsi dan kepercayaan.

Setiap kali jaringan komunikasi berubah, opini publik juga berubah. Salah satu faktor penyebab pergeseran dalam opini publik adalah media massa. Interaksi antara media dengan institusi masyarakat menghasilkan produk isi media (media content). Oleh audiens, isi media diubah menjadi gugusan-gugusan makna, apakah yang dihasilkan dari proses penyandian pesan itu, menurut Meyer, sangat ditentukan oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya, pengalaman yang lalu, kepribadian dan selektivitas dalam penafsiran (Olii, 2007: 50).

Opini publik dapat direkayasa dan dibentuk dengan memanfaatkan media

massa. Opini publik yang terbentuk ini dapat bernilai positif maupun negatif.

Media massa berupaya menciptakan citra dan opini publik yang positif kepada

khalayak (audiens) sebagai sasaran.

2.1.11.2. Fungsi Media Massa Dalam Pembentukan Opini Publik

Salah satu fungsi pokok media massa (Olii, 2007: 89) adalah sebagai

sumber informasi dan pendapat tentang berbagai peristiwa dalam masyarakat.

Media massa memiliki beberapa fungsi dalam opini publik (public opinion)

(McQuail, 1996: 55), yaitu:

1. Fungsi Informasi: media menjadi fasilitas untuk mendiseminasikan

(13)

2. Fungsi mediasi: media menempatkan diri sebagai penghubung antara realitas

sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi seseorang. Media

dimanfaatkan untuk membentuk opini publik yang berlandaskan fakta empiris

di tengah masyarakat.

3. Fungsi Amplifikasi: media dijadikan sarana untuk memperkuat pernyataan

yang dilontarkan seseorang untuk berubah menjadi pendapat umum yang

berkembang.

4. Media merupakan instrumen strategis yang tidak dapat dilepaskan dalam

public opinion processing.

2.1.11.3. Karakteristik Media Massa Yang Berperan Dalam Pembentukan Opini Publik

Media massa memiliki tiga sifat atau karakteristik yang berperan dalam

membentuk opini publik (Morissan, 2010: 122):

1. Sifat Ubikuitas (ubiquity)

Sifat ubikuitas (ubiquity) mengacu pada fakta bahwa media merupakan

sumber informasi yang sangat luas karena terdapat dimana saja. Dengan kata

lain, ubikuitas adalah kepercayaan bahwa media terdapat dimana-mana.

Karena media terdapat dimana saja, maka media menjadi instrumen yang

sangat penting, diandalkan dan selalu tersedia ketika orang membutuhkan

informasi. Media berusaha mendapatkan dukungan publik terhadap

pandangan atau pendapat yang disampaikannya, dan selama itu pula

pandangan itu terdapat dimana-mana.

2. Sifat Kumulatif (cumulativeness)

Sifat kumulatif (cumulativeness) media mengacu pada proses media yang

selalu mengulang-ulang apa yang disampaikannya. Pengulangan terjadi di

sepanjang program, baik pada satu media tertentu ataupun media lainnya,

baik yang sejenis maupun tidak.

3. Sifat Konsonan (consonant)

Sifat konsonan (consonant) mengacu pada kesamaan kepercayaan, sikap dan

nilai-nilai yang dianut media massa. Noelle-Neuman mengatakan bahwa

(14)

atau melakukan konfirmasi terhadap pemikiran dan pendapat mereka sendiri,

dan menjadikan pemikiran dan pendapat tersebut seolah-olah berasal dari

masyarakat.

2.1.11.4. Kelebihan Media Massa Dalam Pembentukan Opini Publik Kelebihan media massa dalam proses pembentukan opini publik

(McQuail, 1996: 51) antara lain:

1. Media massa mampu menjangkau lebih banyak orang dan wilayah geografis

yang lebih luas.

2. Format dan isi media selalu berhubungan dengan publik. Posisi media sering

menjadi public sphere.

3. Media sebagai juru bahasa yang menjelaskan dan memberi makna terhadap

suatu peristiwa yang menjadi public opinion.

4. Media massa bisa menjadi jaringan interaktif yang menghubungkan

komunikator dengan khalayak beserta feedback-nya.

2.1.12.Penelitian Tentang Fungsi Media Dalam Pembentukan Opini Publik Berikut ini beberapa penlitian tentang fungsi media dalam pembentukan

opini publik:

1. Amiruddin

“Peran Media Dalam Pembentukan Opini Masyarakat di Wilayah

Perbatasan Mengenai Jati Diri Bangsa Indonesia”

Penelitian ini bersifat kualitatif, yang dilakukan dengan mewawancarai

informan dari berbagai kalangan yang dianggap relevan. Penelitian ini

bersifat deskriptif analisis. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan

peran media dalam pembentukan opini masyarakat di wilayah perbatasan

mengenai jati diri bangsa Indonesia. Setelah melakukan wawancara

mendalam terhadap informan dalam penelitian ini, maka peneliti yang

bersangkutan menemukan bahwa wawasan kebangsaan dan jati diri bangsa

Indonesia yang berada di wilayah perbatasan masih rendah, namun tidak

luntur atau mengingkari keempat konsepsus dasar yang membentuk jati diri

(15)

disebabkan minimnya informasi nasional yang dapat mereka peroleh,

sehingga mereka lebih mengenal struktur negara tetangga, Malaysia, daripada

negara mereka sendiri. Peran media nasional di wilayah perbatasan masih

belum optimal, karena masyarakat di wilayah tersebut mengaku lebih mudah

mengakses informasi dari negara tetangga, Malaysia, yang dapat diakses

tanpa harus menggunakan antena parabola. Sehingga pada masyarakat

pedalaman di daerah perbatasan, peran dan keberadaan media dari negara

tersebut lebih dominan. Hal itu disebabkan oleh faktor ekonomi, dimana

masyarakat daerah perbatasan yang tinggal di pedalaman memiliki kehidupan

ekonomi yang rendah, sehingga tidak memungkinkan mereka untuk membeli

alat yang dapat membantu mereka untuk mengakses siaran nasional.

2. Tika Primasiwi (Ilmu Komunikasi UNDIP 2011)

“Pembentukan Opini Publik Tentang Citra Polisi Sebagai Dampak

Berita Tindak Kriminal Polisi di Media Massa”.

Pencitraan positif yang seharusnya dibangun sebagai komitmen menuju

profesionalisme polisi, ternyata sering disalah gunakan oleh oknumnya

sendiri sehungga polisi sering divonis dengan citra negatif. Dari pencitraan

negatif tersebut masyarakat membentuk berbagai opini. Terlebih lagi media

massa yang mengemas berita dan terkadang berlebihan, menimbulkan

berbagai opini yang mengesankan institusi polisi dipandang sinis oleh

masyarakat.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pembentukan opini publik

tentang citra polisi sebagai dampak dari berita tindak kriminal yang dilakukan

polisi dan diangkat di media massa. Teori yang digunakan adalah teori spiral

keheningan oleh Elizabeth Noelle-Neumann. Penelitian ini menggunakan

metodologi kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan ini

mencoba mendeskripsikan secara detail topik yang diteliti.

Hasil dari penelitian ini adalah media massa mempunyai andil dalam

memberitakan berita tentang tindak kriminal polisi. Hal ini menimbulkan

penegasan terhadap ironi yang terjadi bahwa penegak hukum seperti polisi

(16)

seperti yang diungkapkan dalam teori minimalist effect, bahwa efek media

tidak terlampau kuat mempengaruhi masyarakat karena masyarakat

menampung pemberitaan di media dan mencari tahu pendapat orang lain

mengenai pemberitaan negatif di media massa tentang sosok polisi agar

mengetahui apakah fakta yang terjadi sesuai dengan apa yang ada dalam

pemberitaan di media massa. Setelah masyarakat tahu fakta yang sebenarnya,

baru kemudian masyarakat membentuk persepsi yang mencitrakan polisi.

Dari persepsi yang terbentuk dari pengalaman maupun dari terpaan media

massa, masyarakat akhirnya membentuk opini pribadi tentang citra polisi.

Dari opini pribadi tersebut, maka opini seseorang akan terbagi menjadi dua,

yaitu opini mayoritas dan opini minoritas yang berkembang menjadi opini

publik.

3. Himawan Pratama (Ilmu Budaya UI 2009)

“Peran Media Massa Dalam Membentuk Persepsi Mahasiswa Jepang Tentang Islam Terhadap Peristiwa 11 September”

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh peristiwa World Trade Centre yang

terjadi di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang kemudian

disusul oleh invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dan ke Irak. Setelah

peristiwa tersebut, frekuensi pemberitaan yang berkaitan dengan kejadian itu

semakin tinggi di media massa, terutama di televisi. Berbagai program

televisi di berbagai negara yang memberitakan peristiwa itu mengaitkan

kejadian itu dengan Islam, salah satunya di Jepang. Dengan kurang

tersedianya sumber informasi primer tentang Islam, mengakibatkan

masyarakat Jepang menjadi lebih mengandalkan media massa, terutama

televisi, sebagai penghubung dengan dunia Islam, sesuatu yang sangat jauh

dari kehidupan mereka.

Berdasarkan hasil dari penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan

masalah ini, mahasiswa Jepang memiliki frekuensi menonton televisi yang

sangat tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti memilih untuk

melengkapi penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hagiwara Siweru

(17)

membentuk persepsi mahasiswa Jepang tentang Islam terutama

pascaperistiwa 11 September. Adapun teori-teori yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teori komunikasi massa dan teori kultivasi. Dengan

mengacu pada teori kultivasi, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

relevansi pemberitaan media televisi dengan persepsi mahasiswa Jepang

tentang Islam pasca peristiwa 11 September.

Hasil penelitian ini adalah timbulnya persepsi negatif tentang Islam pada

mahasiswa Jepang akibat terbatasnya akses mahasiswa dan masyarakat

Jepang terhadap informasi tentang Islam, serta hubungan kultural dan historis

antara Jepang dan dunia Islam yang tidak terlalu dekat yang mengakibatkan

mahasiswa Jepang memiliki pengetahuan yang kurang memadai tentang

dunia Islam. Terlepas dari fakta itu, bila mengingat kehadiran media massa,

terutama televisi, untuk mengenal dunia Internasional bagi mahasiswa

Jepang, maka peneliti dalam penelitian ini menyebutkan bahwa televisi

memiliki relevansi dengan persepi mahasiswa Jepang tentang Islam pasca-

peristiwa 11 September. Televisi sebagai media yang paling dipercaya

mahasiswa Jepang sebagai penyampai informasi yang kredibel tentu memiliki

pengaruh dalam membentuk persepsi mahasiswa tersebut. Pengaitan

hubungan antara Islam dengan negara-negara yang berkaitan dengan

terorisme di televisi pascaperistiwa 11 September pada akhirnya

menimbulkan persepsi negatif pada negara-negara tersebut yang kemudian

berimplikasi pada Islam. Dalam kerangka teori kultivasi, munculnya persepsi

negatif mahasiswa Jepang tentang Islam dapat dijelaskan sebagai hasil dari

proses kultivasi atau pembelajaran bersama mengenai realitas sosial melalui

pemberitaan yang disampaikan televisi. Informasi tersebut diterima oleh

mahasiswa Jepang yang sebagian besar memberikan penilaian yang tinggi

terhadap kredibilitas televisi. Kemudian dengan mendasarkan argumen yang

diterima melalui pemberitaan di televisi pascaperistiwa 11 September,

mahasiswa Jepang membentuk persepsi tertentu tentang Islam yang secara

tidak langsung “terkultivasi” oleh pemberitaan televisi Jepang tentang Islam

(18)

2.2. Kerangka Konsep

Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena yang sama. Konsep

dibangun dari teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel

yang akan diteliti (Bungin, 2005: 57).

Adapun konsep atau variabel yang terdapat di dalam penelitian ini adalah

Fungsi Media Massa Dalam Pembentukan Opini Masyarakat Kelurahan Mangga

Perumnas Simalingkar Medan Terhadap Pemberitaan Kebijakan Pemerintah

Tentang BBM di Televisi.

2.3. Model Teoritis

(19)

2.4. Operasional Variabel

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka

dibentuklah operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian

dalam penelitian sebagai berikut:

Tabel 2.1 Operasional Variabel

Variabel Penelitian Indikator

Fungsi Media Massa Dalam

Pembentukan Opini Masyarakat

1. Fungsi Informasi

2. Fungsi Mediasi

3. Fungsi Amplifikasi

Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin

2. Usia

3. Pendidikan

4. Pekerjaan

2.5. Defenisi Operasional

Definisi operasional merupakan suatu petunjuk pelaksanaan mengenai

cara-cara untuk mengukur variabel-variabel. Adapun yang menjadi definisi

operasional dalam penelitian ini adalah :

1. Fungsi Media Massa Dalam Pembentukan Opini Masyarakat :

a.Fungsi informasi, yaitu fungsi media televisi sebagai fasilitas untuk

menyampaikan pernyataan sumber terkait kebijakan pemerintah yaitu

BBM, yang dapat menjadi opini publik

b.Fungsi mediasi, yaitu fungsi televisi sebagai media penghubung antara

kebijakan pemerintah tentang BBM dengan fakta empiris yang ada di

masyarakat terkait masalah BBM.

c.Fungsi amplifikasi, yaitu fungsi televisi untuk memperkuat pernyataan

(20)

mengenai BBM sehingga kemudian berkembang menjadi pendapat

umum.

2. Karakteristik Responden:

a.Jenis Kelamin, yaitu jenis kelamin dari responden laki-laki atau

perempuan

b.Usia, yaitu umur atau usia dari responden.

c.Pendidikan, yaitu tingkat pendidikan terakhir responden.

Gambar

Tabel 2.1 Operasional Variabel

Referensi

Dokumen terkait

Orang tua harus mampu mengarahkan anaknya di jalan yang benar, sebagai umat Islam dengan mengarahkan sesuai tuntunan agama dan memberi teladan yang bisa menjadi contoh bagi

Essential oil of Temu lawak tuber at concentration equal or lower than 0.5% v/v and 3% v/v respectively, will be studied in order to assess their potential ability for stimulate Ig

PENERAPAN TEKNIK MIND MAP UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SAINS SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR1. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Selanjutnya, peserta geladi dan KP mengolah dan menganalisis data yang diperoleh untuk mengidentifikasi permasalahan inti yang dialami oleh setiap UKM

Peraturan daerah No.13 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah akan dijelaskan di dalam penelitian ini dimulai dari penjelasan mengenai latar belakang. peraturan daerah

In Part 2 of this activity, you will use Packet Tracer (PT) Simulation mode to view and examine how traffic leaving the local network is handled.. Step 1: Set up for traffic

Auto Daya Keisindo sering adanya kesalahan input data dan adanya kecurangan dari pihak sales yang memalsukan PO atau SPK yang mengakibatkan pengendalian intern penjualan

Dari hasil perhitungan menggunakan metode transportasi dengan dua alternatif yaitu tenaga kerja tetap dan tenaga kerja berubah, sehingga diperoleh hasil yang lebih optimal