• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Balita"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan zat gizi karena masih dalam taraf perkembangan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5 tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya pada usia 1-3 tahun makanan yang dikonsumsi tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu, sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat memilih makanan yang disukainya (Supriatin, 2004).

Beberapa kondisi dan anggapan orang tua dan masyarakat justru merugikan penyediaan makanan bagi kelompok balita salah satunya yaitu anak balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik, dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya untuk makanannya dan walaupun tidak mencukupi, sering tidak diberi kesempatan untuk minta lagi atau mengambil sendiri tambahannya (Santoso, 2009).

2.1.1 Status Gizi Balita

(2)

zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri.

Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh asupan makanan, pencernaan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. (Almatsier, 2009).

2.2 Penilaian Status Gizi Anak Balita

Penilaian status gizi adalah proses keadaan tubuh seseorang kemudian dibandingkan dengan baku standar yang tersedia (Arisman, 2004). Pemantauan status gizi anak balita mengunakan metode antropometri sebagai cara untuk menilai status gizi. Mengingat keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka dalam penelitian ini peneliti mengunakan penilaian status gizi dengan cara pemeriksaaan fisik yang disebut antropometri (Supariasa, 2012).

Antropometri telah dikenal sebagai indikator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun masyarakat. Pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya memerlukan latihan sederhana (Supariasa, 2012).

(3)

status gizi, diantaranya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa, 2012).

Status gizi yang normal menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi telah memenuhi kebutuhan tubuh. Kementrian Kesehatan RI (Kemenkes) mengeluarkan standar antropometri penilaian status gizi anak yang digunakan sebagai acuan bagi Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan pihak lain yang tekait dalam penilaian status gizi anak.

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

INDEKS KATEGORI

STATUS GIZI AMBANG BATAS (Z-SCORE) Berat Badan

2.3 Angka Kecukupan Gizi Anak Balita

(4)

golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Almatsier, 2009)

Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi individu. Kecukupan gizi tersebut dianjurkan untuk dipenuhi dari konsumsi pangan anak balita setiap harinya.

Tingkat kecukupan zat gizi individu dapat diperoleh dari perbandingan antara asupan zat gizi dengan standar angka kecukupan gizi seseorang.

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Balita Rata-Rata Per Hari bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat memberi gambaran mengenai kualitas makanan masyarakat (Suparlan, 2010).

(5)

Pola makan di suatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor ataupun kondisi setempat, yang dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu :

a. Faktor yang berhubungan dengan persediaan atau pengadaan bahan pangan. Dalam kelompok ini termasuk faktor geografi, iklim, dan kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi jenis tanaman dan jum\lah produksinya di suatu daerah.

b. Faktor ekonomi dan adat istiadat. Taraf sosial ekonomi dan adat kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam pola konsumsi penduduk. Di samping itu, kebijakan dalam bidang pangan, misalnya pemberian bantuan atau subsidi terhadap bahan tertentu, dalam berpengaruh dalam pola konsumsi.

Faktor jumlah anggota keluarga, sosial budaya dan besarnya pengeluaran untuk pangan juga berperan dalam mempengaruhi susunan makanan dalam keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan dalam jumlah yang mencukupi dipengaruhi oleh ketersediaan dan harga bahan makanan. Bahan makanan yang harganya mahal atau jarang biasanya tidak pernah atau jarang dihidangkan dalam susunan makanan keluarga (Apriadji, 2009).

(6)

akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Baliwati, 2004).

Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa keluarga dengan pendapatan yang rendah akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari 3 kali menjadi 2 kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging.

Khomsan (2003) menyatakan bahwa konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makannya, selain itu juga akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan sehingga kecukupan konsumsi pangan perlu mendapat perhatian. Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengonsumsi pangan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada.

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan, Kecukupan Gizi dan Status Gizi Balita

(7)

1. Umur

Pada usia 1-5 tahun merupakan masa golden age di mana pada masa itu dibutuhkan zat tenaga yang diperlukan bagi tubuh untuk pertumbuhannya (Adriani, 2014).

Semakin bertambah usia akan semakin meningkat kebutuhan zat tenaga yang dibutuhkan oleh tubuh untuk mendukung meningkatnya dan semakin beragamnya kegiatan fisik (Apriadji, 2009).

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi seseorang. Anak laki-laki lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein daripada anak perempuan, karena secara kodrati laki-laki memang diciptakan lebih kuat daripada perempuan. Hal ini dengan mudah dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan (Adriani, 2014). 3. Pendidikan Orangtua

Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya (Soetjiningsih, 2012).

(8)

yang baik untuk konsumsi keluarga. Ibu rumah tangga yang berpendidikan akan cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam mutu dan jumlahnya, dibanding dengan ibu yang pendidikannya lebih rendah.

Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya (Supriatin, 2004). 4. Pekerjaan Orangtua

Status ekonomi rumah tangga dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga yang lain. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan anggota keluarga lain akan menentukan seberapa besar sumbangan mereka terhadap keuangan rumah tangga yang kemudian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti pangan yang bergizi, dan perawatan kesehatan. Jadi, terdapat hubungan antara konsumsi pangan dan status ekonomi rumah tangga serta status gizi masyarakat (Suhardjo, 2003).

(9)

terjadi perubahan dalam susunan makanan, karena peningkatan pendapatan tersebut memungkinkan mereka mampu membeli pangan yang berkualitas dan berkuantitas lebih baik. Asupan makanan yang tidak cukup baik dari segi jumlah maupun kualitas dalam jangka lama akan menyebabkan terjadinya gangguan gizi. Keadaan kurang gizi akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit, mempengaruhi tingkat kecerdasan dan prestasi belajar, produktivitas kerja dan pendapatan (Suhardjo, 2007).

Kartika (2002) menyatakan bahwa ada hubungan antara pekerjaan orangtua dengan status gizi balita. Rumah tangga dengan kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai atau yang berpenghasilan tetap hanya lebih sedikit ditemukan anak yang berstatus gizi kurang (14,2%). Rumah tangga dengan jenis pekerjaan kepala keluarga yang berpendapatan tidak tetap yaitu sebagai buruh ditemukan lebih banyak jumlah anak yang berstatus gizi kurang (25,4%).

5. Pendapatan Keluarga

Tingkat pendapatan adalah rata-rata pendapatan per bulan keluarga yang dihitung dari total pengeluaran makanan dan non makanan kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga (BPS, 2011).

(10)

keluarga berpenghasilan rendah. Kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan makanan juga bergantung dari bahan makanan. Bahan makanan yang harganya mahal biasanya jarang dan bahkan tidak ada (Adriani, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Kartika (2002) menunjukkan bahwa tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin tidak memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Asupan makanan yang tidak mencukupi, anggota rumah tangga termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Umumnya, jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung ikut membaik juga.

Berdasarkan hasil penelitian Pertiwi (2012) menunjukkan bahwa rendahnya konsumsi energi dan protein keluarga disebakan karena lebih dari separuh (76,6%) keluarga memiliki pendapatan kategori rendah, sehingga mempengaruhi keluarga dalam mengakses pangan yang cukup. 6. Jumlah Anggota Keluarga

(11)

Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata.

Dalam keluarga dengan anak yang terlalu banyak akan sulit untuk diurus, sehingga suasana rumah kurang tenang dan dapat mempengaruhi ketenangan jiwa anak. Suasana demikian secara tidak langsung akan menurunkan nafsu makan bagi anak yang terlalu peka terhadap suasana yang kurang menyenangkan (Apriadji, 2009).

Harper (2010), mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang.

Kartika (2002) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga mempunyai pengaruh terhadap timbulnya masalah gizi karena dapat mempengaruhi pendistribusian pangan dalam keluarga.

(12)

Pengetahuan penting peranannya dalam menentukan asupan makanan. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap perilaku dalam memilih makanan yang akan berdampak pada asupan gizinya. Dengan adanya pengetahuan tentang gizi, masyarakat akan tahu bagaimana menyimpan dan menggunakan pangan (Suhardjo, 2007).

Pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga yang sesungguhnya berpenghasilan cukup, tetapi makanan yang dihidangkan seadanya saja (Moehji, 2009).

(13)

Pertiwi (2012) menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dapat mempengaruhi rendahnya tingkat konsumsi energi dan protein pada anak balita. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik cenderung memilih makanan yang lebih baik dari pada ibu yang berpendidikan rendah.

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan landasan teori, maka kerangka konsep yang berkaitan antara variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Faktor sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anggota keluarga) dan budaya masyarakat (pengetahuan, pola makan, makanan pantangan, distribusi makanan

Data primer meliputi karakteristik keluarga dan individu contoh (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga), karakteristik balita ( jenis kelamin

Faktor yang mempengaruhi status gizi pada pertumbuhan anak yaitu salah satunya adalah pola makan anak tersebut, yang akan berpengaruh pada pertambahan berat badan, dan tinggi

Pola pangan rumah tangga akan mempengaruhi status gizi balita karena setiap makanan yang dikonsumsi keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi balita. Pola pangan balita dapat

tik anak dan keluarga balita stunted dan normal, pola asuh makan dan frekuensi konsumsi pangan pada anak balita stunted dan normal, perbedaan

5) Pendidikan Orang Tua : Tingkat pendidikan mempengaruhi pola konsumsi makan melalui cara pemilihan bahan makanan dalam hal kualitas dan kuantitas. Pendidikan orang

Pendapatan yang tinggi berhubungan dengan konsumsi vitamin pada anak dan pola makan keluarga Anak yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah di Inggris memiliki

Perilaku merokok dalam keluarga dapat mempengaruhi status gizi anak balita yang tinggal serumah, karena konsumsi energi anak yang memiliki anggota keluarga perokok