• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa Progdi Bimbingan & Konseling di Universitas Kristen Satya Wacana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Mahasiswa Progdi Bimbingan & Konseling di Universitas Kristen Satya Wacana"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Konsep Diri

2.1.1 Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya,

yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan

berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar

dan konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan

menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari.

“the self as seen, perceived and experrienced by him. This is the perceived

self or the individual’s self concept.” (Fitts, 1971:3)

Konsep diri adalah sebagaimana diri dipersepsikan, diamati, serta dialami

oleh individu. Konsep diri merupakan susunan pola persepsi yang terorganisir.

Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting

dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan

(frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts menjelaskan

konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika individu

memper-sepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan

penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukan

suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya

sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia diluar

(2)

9

disebut juga diri fenomonal. Diri fenomenal ini adalah diri yang diamati,

dialami, dan dinilai oleh individu sendiri, yaitu diri yang ia sadari. Keseluruhan

kesadaran atau persepsi ini merupakan gambaran tantang diri atau konsep diri

individu.

Fitts juga mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap

tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang, kita akan

lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut. Pada

umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan gagasan-gagasan tentang

dirinya sendiri ( Agustiani 2009)

Menurut Fitts (1971) konsep diri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor sebagai berikut :

a. Pengalaman terutama pengalaman interpersonal, yang memunculkan

perasaan positif dan perasaan berharga

b. Kompetensi dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain

c. Aktualisasi diri, atau implementasi dan realisasi dari potensi pribadi

yang sebenarnya

2.1.2 Dimensi-dimensi dalam Konsep Diri

Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yaitu sabagai

berikut :

1. Dimensi Internal

Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal

(internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu

(3)

10

berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk

:

a. Diri identitas (identitiy self)

Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada

konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “siapakah saya?” Dalam

pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang

diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan

untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya,

misalnya “saya ita”. Kemudian dengan bertambahnya usia dan

interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang

dirinya juga bertambah, sehingga ia dapat melengkapi keterangan

tentang dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti “saya

pintar tapi terlalu gemuk” dan sebagainya.

b. Diri perilaku (behavioral self)

Diri prilaku merupakan persepsi individu tentang tingkah

lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang

dilakukan oleh diri”. Selain itu begian ini berkaitan erat dengan diri

identitas. Diri yang adekuat akan menunjukan adanya keserasian

antara diri identitas dengan diri perilakunya, sehingga ia dapat

mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri

sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri

sebagai penilai.

(4)

11

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan

evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator)

antara diri identitas dan diri pelaku.

Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang

dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan

pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi

juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih

berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya.

Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atai

seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang

rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah

pula dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar

pada dirinya. Sebaliknya bagi individu yang memiliki kepuasan

diri yang tinggi, kesadaran dirinya lebih realistis, sehingga lebih

memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan

keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke

luar diri, dan pada akirnya dapat berfungsi lebih konstruktif.

Ketiga bagian internal ini mempunyai peranan yang berbeda-beda,

namun saling melengkapi dan berinteraksi membentuk suatu diri yang

utuh dan menyeluruh.

(5)

12

Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan

dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain

diluar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya

diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama dan sebagainya.

Namun, dimensi yang dikemukakan oleh Fitts adalah dimensi eksternal

yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas lima bentuk,

yaitu :

a. Diri Fisik (Physical self)

Diri fisik menyangkut pesepsi seseorang terhadap keadaan

dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang

mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek,

menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek,

gemuk, kurus).

b. Diri etik-moral (moral-ethical self)

Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya

dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini

menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan

Tuhan, kepuasan akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai

moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.

c. Diri Pribadi (personal self)

Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang

(6)

13

fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh

sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh

mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

d. Diri Keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukan perasaan dan harga diri seseorang

dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini

menunjukan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap

dirinya sebagai anggota keluarga, serta peran maupun fungsi yang

dijalankannya sebagai anggota suatu keluarga.

e. Diri Sosial (social self)

Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi

dirinya dengan orang lain maupun di lingkungan sekitarnya.

Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya

dalam dimensi eksternal ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan

interaksinya dengan orang lain.

Seluruh bagian ini, baik internal maupun eksternal, saling

berinteraksi dan membentuk suatu kesatuan yang utuh untuk

menjelaskan hubungan antara dimensi internal dan dimensi eksternal,

Fitts mengemukakan suatu analogi dengan mengumpamakan diri

secara keseluruhan sebagai sebuah jeruk, yang dapat dipotong secara

horizontal maupun vertikal. Potongan yang diperoleh dengan cara

horizontal akan tampak berbeda dari yang dipotong secara vertikal,

(7)

14

sama. Jika bagian-bagian internal dianggap sebagai lapisan-lapisan

yang membentuk jeruk tersebut, maka diri identitas merupakan bagian

yang paling dalam, diri tingkah laku merupakan kulit luar, dan diri

penerimaan adalah bagian yang mengantarai kedua bagian lainnya itu.

Sedangkan bagian diri eksternal dapat diumpamakan sebagai

bagian-bagian vertikal dari jeruk itu.

Masing-masing merupakan bagian lain, dan semua bagian ini turut

menentukan bentuk dan struktur jeruk tersebut secara keseluruhan.

Bagian-bagian internal dan eksternal teresebut saling berinteraksi satu

sama lain, sehingga dari tiga dimensi internal dan lima dimensi

eksternal akan diperoleh lima belas kombinasi yaitu identitas fisik,

identitas moral-etik, identitas pribadi, identitas keluarga, identitas

sosial, tingkah laku fisik, tingkah laku moral-etik, tingkah laku pribadi,

tingkah laku keluarga, tingkah laku sosial, penerimaan fisik,

penerimaan moral-etik, penerimaan pribadi, penerimaan keluarga, dan

(8)

15 2.1.3 Perkembangan Konsep Diri

Perkembangan konsep diri merupakan proses yang terus berlanjut

disepanjang kehidupan manusia, Symonds (1951, dalam Fitts, 1971)

mengatakan bahwa persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat

kelahiran, tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan munculnya

kemampuan perseptif. Diri (self) berkembang ketika individu merasakan

bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari orang lain. Ketika ibu dikenali sebagai

orang yang terpisah dari dirinya dan ia mulai mengenali wajah-wajah orang

lain, seorang bayi membentuk pandangan yang masih kabur tentang dirinya

sebagai seorang individu.

Pada usia 6-7 tahun, batas-batas dari diri individu mulai menjadi lebih jelas

sebagai hasil dari eksplorasi dan pengalaman dengan tubuhnya sendiri. Selama

periode awal kehidupan, konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh

persepsi tentang dirinya sendiri. Kemudian dengan bertambahnya usia,

pandangan tentang diri ini menjadi lebih banyak didasari oleh nilai-nilai yang

diperoleh dari interaksi dengan orang lain (Taylor, 1953; Comb & Snygg,

1959)

Selama masa anak pertengahan dan akhir, kelompok teman sebaya mulai

memainkan peran yang dominan, menggantikan orang tua sebagai orang yang

turut berpengaruh pada konsep diri mereka. Anak makin mengidentifikasikan

diri dengan anak-anak seusianya dan mengadopsi bentuk-bentuk tingkah laku

dari kelompok teman sebaya dan jenis kelamin yang sama. Selama masa anak

(9)

16

masa pubertas terjadi perubahan drastis pada konsep diri. Remaja yang masih

muda mempersepsikan dirinya sebagai orang dewasa dalam banyak cara,

namun bagi orang tua ia teteap anak-anak. Walapun ketidaktergantungan dari

orang dewasa masih belum mungkin terjadi dalam beberapa tahun, remaja

mulai terarah pada pengaturan tingkah laku sendiri.

Karena perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi remaja pada

hampir semua area kehidupan, konsep diri juga berada dalam keadaan terus

berubah pada periode ini. Ketidakpastian masa depan, membuat formulasi dari

tujuan yang jelas merupakan tugas yang sulit. Namun, dari penyelesaian

masalah dan konflik remaja inilah lahir konsep diri orang dewasa. Nilai-nilai

dan sikap-sikap yang merupakan bagian dari konsep diri pada akhir masa

remaja cenderung menetap dan relatif merupakan pengaturan tingkah laku

yang bersifat permanen. Pada usia 25-30 tahun biasanya ego orang dewasa

sudah terbentuk dengan lengkap, namun mulai dari sini konsep diri menjadi

semakin sulit berubah.

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri menurut Inge (2007),

antara lain adalah sebagai berikut :

a. Orang lain

Seseorang mengenal tentang dirinya dengan mengenal orang

lain terlebih dahulu. Konsep diri seorang individu terbentuk dari

(10)

17

Tidak semua orang berpengaruh pada diri seseorang. Yang paling

berpengaruh adalah orang-orang yang disebut significant others, yakni

orang-orang yang sangat penting bagi diri seseorang.

b. Kelompok acuan (reference group)

Dalam kehidupannya, setiap orang sebagai anggota masyarakat

menjadi anggota berbagai kelompok. setiap kelompok memiliki

norma-norma sendiri. Diantara kelompok tersebut, ada yang disebut kelompok

acuan, yang membuat individu mengarahkan perilakunya sesuai dengan

norma dan nilai yang dianut kelompok tertentu. Kelompok inilah yang

mempengaruhi konsep diri seseorang.

2.1.5 Pengukuran Konsep Diri

Terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang dapat digunakan untuk

mengukur konsep diri, diantaranya adalah :

a. Wawancara/Interview digunakan sebagai teknik pengumplan data

apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk

menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila

peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih

mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.

b. Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang

spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara

dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalau

berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada

(11)

18

c. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperankat pertanyaan atau pernyataan tertulis

kepada responden untuk dijawabnya.

d. Skala merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk

menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur,

sehingga alat ukur tersebut apabila digunakan dalam pengukuran

akan menghasilkan data kuantitatif.

Tetapi dalam penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data

skala, dikarenakan dengan skala, maka nilai variabel yang diukur dengan

variabel tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan

lebih akurat, efisien dan komunikatif. Dan item pada skala biasanya

berupa penerjemahan dari indikator perilaku guna memancing jawaban

secara tidak langsung, sehingga meskipun responden memahami isi

pertanyaan atau pernyataan, namun tidak menyadari arah jawaban yan

dikehendaki dan kesiumpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh

pertanyaan tersebut.

2.2 Perilaku Seksual Pranikah 2.2.3 Pengertian Perilaku

Menurut Skinner (2001) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa

perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Perilaku manusia dari segi biologis adalah tindakan atau

aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas

(12)

19

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus Skinner membedakan

perilaku menjadi dua :

a. Perilaku tertutup (Covert Behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung

atau tertutup. Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada

perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang

terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat

diamati secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka (Overt Behavor)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata

atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam

bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau

dilihat orang lain.

Skiner dalam Notoatmodjo (2001) mengemukakan bahwa perilaku adalah

merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan atau

respon, respon dibedakan menjadi dua respon :

a. Respondent response atau reflexive respon, ialah respon yang

ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu yang relatif tetap.

Responden respon (Respondent behaviour) mencakup juga emosi

respon dan emotional behaviour.

b. Operant respons atau instrumental respon adalah respon yang timbul

dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang ini

(13)

20 2.2.4 Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh

hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis maupun sesama

jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama (Sarwono, 2013)

Menurut Struart dan Sundeen (1999), perilaku seksual yang sehat dan

adaptif dilakukan ditempat pribadi dalam ikatan yang sah menurut hukum.

Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang

dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun

menurut agama dan kepercayaaan masing-masing (Mu’tadin, 2002)

2.2.5 Aspek-aspek Perilaku Seksual Pranikah

Aspek perilaku yang terdapat dalam perilaku seksual pranikah dapat dilihat

dalam tahap-tahap perilaku seksual yang diberikan oleh Soetjiningsih (2008):

a. Berpegangan tangan

b. Memeluk/dipeluk bahu

c. Memeluk/dipeluk pinggang

d. Ciuman bibir

e. Ciuman bibir sambil berpelukan

f. Meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan

berpakaian

g. Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian

h. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian

i. Meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian

(14)

21

k. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian

l. Hubungan seksual

Menurut Sarwono (2010) remaja melakukan berbagai macam perilaku

seksual beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari

berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau

meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama (sexual intercourse).

Perilaku seksual pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat mengakibatkan

berbagai dampak yang merugikan remaja itu sendiri.

2.2.6 Faktor-faktor Penyebab Perilaku Seksual Pranikah

Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada

remaja menurut Sarwono (2013) adalah sebagai berikut :

a. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual

(libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini

membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual

tertentu.

b. Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penuaan

usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang

tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah

(sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun

karena norma sosial yang makin menuntut persyaratan yang makin

tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental,

(15)

22

c. Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku

dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks

sebelum menikah. Bahkan, larangnannya berkembang lebih jauh

kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi.

Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdpat

kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.

d. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya

penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa

yang dengan adanya teknologi canggih (video, cassette, fotocopy,

satelit, VCD, telepon genggam, internet dan lain-lain) menjadi tidak

terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan

ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari

media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum

pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang

tuanya.

e. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya mauoun karena

sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks

dengan anak tidak terbuka terhadap anak, malah cenderung

membuat jarak dengan anak dalam masalah yang satu ini.

f. Di pihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan

pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam

masyarakat sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan

(16)

23 2.2.7 Dampak Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan berbagai dampak pada

remaja, diantaranya sebagai berikut :

a. Dampak psikologis

Dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja

diantaranya seperti perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah

diri, bersalah dan berdosa.

b. Dampak fisiologis

Dampak fisiologis dari perilaku seks pranikah tersebut

diantaranya dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan

dan aborsi.

c. Dampak sosial

Dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual yang

dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah

pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi

ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak

keadaan tersebut.

d. Dampak fisik

Dampak fisik lainnya sendiri adalah berkembangnya penyakit

menular seksual di kalangan remaja, dengan frekuensi penderita

penyakit menular seksual (PMS) yang tertinggi antara usia 15-24

(17)

24

kemandulan dan rasa sakit kronis serta meningkatkan risiko terkena

PMS dan HIV/AIDS.

2.2.8 Pengukuran Perilaku Seksual Pranikah

Terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang dapat digunakan untuk

mengukur perilaku seksual pranikah, diantaranya adalah :

e. Wawancara/Interview digunakan sebagai teknik pengumplan data

apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk

menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila

peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih

mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.

f. Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang

spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara

dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalau

berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada

orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain.

g. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara memberi seperankat pertanyaan atau pernyataan tertulis

kepada responden untuk dijawabnya.

h. Skala merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk

menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur,

sehingga alat ukur tersebut apabila digunakan dalam pengukuran

(18)

25

Tetapi dalam penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data

skala, dikarenakan dengan skala, maka nilai variabel yang diukur dengan

variabel tertentu dapat dinyatakan dalam bentuk angka, sehingga akan

lebih akurat, efisien dan komunikatif. Dan item pada skala biasanya

berupa penerjemahan dari indikator perilaku guna memancing jawaban

secara tidak langsung, sehingga meskipun responden memahami isi

pertanyaan atau pernyataan, namun tidak menyadari arah jawaban yan

dikehendaki dan kesiumpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh

pertanyaan tersebut.

2.3 Hubungan Antara Konsep Diri Dan Perilaku Seksual Pranikah

Konsep diri sangat erat kaitannya dengan individu. Konsep diri sangat erat

kaitannya dengan ide, pikiran, kepercayaan dan keyakinan yang diketahui, serta

dipahami oleh individu tentang dirinya. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan

individu dalam membina hubungan interpersonal. Seiring dengan tingkat

pertumbungan dan perkembangan individu, konsep diri akan terbentuk karena

pengaruh lingkungan. Selain itu konsep diri juga akan dipelajari oleh individu

melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain termasuk berbagai stressor yang

dilalui individu itu. Hal ini akan membentuk persepsi individu terhadap pengalaman

akan situasi tertentu(Listya, 2007).

Selanjutnya Cooley (dalam Burns, 1993) mengatakan bahwa konsep diri

seseorang dapat terbentuk oleh pendapat yang diyakini oleh orang lain sehingga hal

(19)

26

orang lain. Pernyataan tersebut mengindikasi bahwa pendapat orang lain dapat

membentuk konsep diri individu.

Karena konsep diri merupakan faktor yang berpengaruh dalam perilaku

individu, ia akan berperilaku sesuai dengan konsep dirinya. Sehubungan dengan ini

Fitts (1971) mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap perilaku

seseorang. Konsep diri dapat menyebabkan seseorang mempunyai sikap positif atau

negatif terhadap suatu hal.

Wahyuningsih (2008), remaja perlu memiliki konsep diri yang baik agar dapat

mengendalikan dan menekan atau mengontrol seminim mungkin sikap dan perilaku

seks pranikah, setiap remaja akan memiliki konsep diri dan sehingga apabila remaja

tersebut memiliki konsep diri yang baik maka remaja tersebut akan memiliki

kontrol diri terhadap perilaku seks pranikah dengan baik atau tinggi, begitu

sebaliknya apabila remaja memiliki konsep diri kurang, maka remaja tersebut akan

memiliki sikap kontrol diri berperilaku seksual pranikah yang rendah dan dapat

menghasilkan tingkah laku yang tidak sesuai. Karena perubahan-perubahan yang

terjadi mempengaruhi remaja pada hampir semua area kehidupan, konsep diri juga

berada dalam keadaan teru berubah pada periode ini. Nilai-nilai dan sikap-sikap

yang merupakan bagian dari konsep diri pada akhir masa remaja cenderung

menetap dan relatif merupakan pengatur tingkah laku yang bersifat permanen,

(Agustiani, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo(2015) menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan perilaku seksual

(20)

27

Batik Surakarta. Begitu juga dengan hasil penelitian dari Chotimah (2015)

yang menyatakan bahwa ada hubungan positif yang kuat signifikan antara

konsep diri dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa DIII kebidanan

Poltekes Bhakti Mulia Sukoharjo.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mantik (2014) yang

menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan

perilaku seksual pranikah pada Mahasiswa di Bali.

2.4 Hipotesis

Ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan perilaku seksual

pranikah pada Mahasiswa progdi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen

Referensi

Dokumen terkait

Surat pernyataan salah satu dan/atau semua pengurus badan usaha tidak masuk dalam daftar hitam.dn tidak ada pengalaman

[r]

Yang merupakan elemen multimedia yang dapat menggambarkan pesan yang ingin disampaikan melalui gambar, video digital merupakan bagian penting dari multimedia yang paling

[r]

[r]

The correlation function differs for individual reflectors: the peak is high and thin for the areas on the rock, but it is lower and wider for the areas on the glacier due to

- Menunjukkan contoh hukum yang mencerminkan Allah bersifat

Dalam kaitannya dengan inovasi pendidikan, maka apa yang telah dilakukan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari pada masanya, dengan melakukan upaya-upaya yang dianggap..