• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peran 2.1.1 Definisi Peran - Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peran 2.1.1 Definisi Peran - Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peran

2.1.1 Definisi Peran

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yang sesuai dengan fungsi yang ada dalam masyarakat atau suatu sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan diri seseorang berdasarkan posisinya dimasyarakat (Hidayat, 2006). Sedangkan menurut Kozier (2005) mendefinisikan peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap sesorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu (Mubarak, 2006).

2.1.2 Peran Perawat

(2)

asuhan keperawatan, pembuat keputusan klinik, sebagai pelindung atau advokat kepada klien, manajer kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator dan sebagai pendidik. Sedangkan Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 dalam Hidayat (2007) terdiri dari:

a) Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan.

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.

b) Peran sebagai advokat.

(3)

c) Peran edukator

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien sesudah dilakukan pendidikan kesehatan.

d) Peran koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

e) Peran kolaborator

Peran perawat disini dilakukan kerana perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

f) Peran konsultan

Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informais tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

g) Peran pembaharu

(4)

2.2Infeksi Nosokomial 2.2.1 Definisi

Nosokomial berasal dari bahas Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/ rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai suatu infeksi yang diperoleh pasien atau sesorang di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit karena mikroorganisme patogen yang menginfeksi pasien melalui pemberian pelayanan kesehatan (Potter & Perry, 2005). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.

(5)

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

Darmadi (2008) mengemukakan beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial adalah:

a) Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya), peralatan, dan dan material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain), lingkungan seperti lingkungan internal seperti ruangan /bangsal perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah/pengelolahan limbah, makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita, penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan/bangsal perawatan dapat merupakan sumber penularan), pengunjung/keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan).

b) Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.

(6)

d) Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.

2.2.3 Gejala Klinis Infeksi Nosokomial

Gejala klinis infeksi nosokomial dapat terjadi secara lokal dan sistemik (Potter & Perry, 2005). Gejala klinis local akan memberikan gambaran klinik sesuai dengan organ yang diserang misalnya bila organ paru yang diserang akan menimbulkan gejala seperti batuk, sesak nafas, nyeri dada, gelisah dan sebagainya. Bila organ pencernaan yang terkena maka akan menimbulkan gejala klinis seperti mual, muntah, kembung, kejang perut, dan sebagainya (Darmadi, 2010).

Gejala klinis sistemik menimbulkan gejala (symptom) yang lebih banyak dari pada gejala infeksi local. Biasanya menyebabkan demam, merasa lemas, malaise, nafsu makan menurun, mual, pusing, pembesaran kelenjar limfe dan sebagainya (Potter & Perry, 2005).

2.2.4 Indikator Infeksi Nosokomial

(7)

a) Angka Pasien dengan Dekubitus (Dekubitus Ulcer Rate)

Luka dekubitus adalah luka pada kulit dan/atau jaringan yang dibawahnya yang terjadi di rumah sakit karena tekanan yang terus menerus akibat tirah baring. Luka dekubitus akan terjadi bila penderita tidak dibolak-balik atau dimiringkan dalam waktu 2 x 24 jam. Angka pasien dengan dekubitus adalah banyaknya penderita yang menderita Dekubitus dan bukan banyaknya kejadian Dekubitus. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka pasien dengan dekubitus (APD) adalah:

Banyaknya pasien dengan dekubitus/bulan

X 100% Total pasien tirah baring total bulan itu

b) Angka Infeksi karena Jarum Infus (Intravenous Cabule Infection Rate)

(8)

Banyaknya kejadian infeksi kulit karena jarum infus/bulan

x 100% Total kejadian pemasangan infus pada bulan tersebut

c) Angka Kejadian Luka Operasi (Wound Infection Rate)

Adanya infeksi nosokomial pada semua kategori luka sayatan operasi bersih yang dilaksanakan di rumah sakit ditandai oleh rasa panas (kalor), kemerahan (color), pengerasan (tumor), dan keluarnya nanah (pus) dalam waktu lebih dari 3 x 24 jam kecuali infeksi nosokomial yang terjadi bukan pada tempat luka. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka infeksi luka operasi (AILO) adalah

Banyaknya infeksi luka operasi bersih/bulan

x 100% Total operasi bersih bulan tersebut

2.3 Peran Perawat Dalam Infeksi Nosokomial

(9)

keperawatan mempengaruhi risiko terinfeksi. Faktor standar asuhan keperawatan yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah klasifikasi dan jumlah ketenagaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan dan mempraktikkan teknik aseptik; peralatan dan obat yang sesuai, siap pakai dan cukup; ruang perawatan yang secara fisik dan hygiene yang memadai; aspek beban kerja dalam pembagian jumlah penderita dengan tenaga keperawatan, dan jumlah pasien yang dirawat (Darmadi, 2008).

Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan pengendalian infeksi dengan menggunakan metode yang berdasarkan bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan biaya (Brooker, 2008). Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian infeksi nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002).

(10)

(6) mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi nosokomial.

2.3.1 Peran Perawat Dalam Menjaga Kebersihan Rumah Sakit

Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk pembuangan materi sampah infeksi menurut kebijakan lokal dan negara. Perawat membungkus dan membuang alat-alat yang kotor dengan cara yang tepat. Spesimen laboratorium dari semua pasien ditangani seolah-olah spesimen tersebut dapat menyebabkan infeksi. Semua materi sampah yang berasal dari pasien di buang ditempat sampah khusus (Potter & Perry, 2005).

Setelah memberikan suntikan, perawat harus membuang jarum pada tempat yang tahan tusukan. Jangan pernah melepaskan, membengkokkan atau mematahkan jarum suntik yang telah digunakan dengan tangan. Jarum yang secara tidak sengaja tertinggal di linen atau dengan ceroboh dibuang ke tempat sampah dapat menyebabkan infeksi (Potter & Perry, 2005).

(11)

Menurut WHO (2002), tindakan kebersihan lingkungan rumah sakit meliputi: a) Pembersihan rutin diperlukan untuk menjamin lingkungan rumah sakit untuk

tampak bersih, dan bebas dari debu dan tanah.

b) Kebanyakan dari mikroorganisme terdapat dalam lingkungan/benda yang kotor, dan tujuan pembersihan rutin adalah untuk membuang kotoran tersebut. Baik sabun ataupun deterjen memiliki aktivitas antimikroba, dan proses pembersihan pada dasarnya tergantung pada tindakan mekaniknya.

c) Seharusnya ada kebijakan yang menetapkan frekuensi pembersihan dan alat pembersih yang digunakan untuk dinding, lantai, jendela, tempat tidur, tirai, tabir, perlengkapan, mebel, kamar mandi dan toilet, dan semua peralatan medis yang dapat digunakan kembali.

d) Metode harus sesuai dengan kemungkinan tingkat kontaminasi, dan tingkat pembersihan yang diperlukan. Hal ini dapat dicapai dengan mengelompokkan area ke salah satu dari empat zona rumah sakit:

- Zona A: tidak ada kontak dengan pasien. Pembersihan normal domestik (misalnya administrasi dan perpustakaan).

(12)

tampak kontaminasi dengan darah dan cairan tubuh terlebih dahulu dibersihkan.

- Zona C: pasien yang terinfeksi (bangsal yang terpisah). Bersihkan dengan larutan deterjen/disinfektan, dengan peralatan pembersih yang terpisah untuk setiap ruangan.

- Zona D: pasien yang sangat rentan (pemisahan yang terlindung) atau kawasan yang terlindung seperti ruangan operasi, ruang pengiriman, unit perawatan intensif, unit bayi prematur, dan unit hemodialisis. Bersihkan menggunakan larutan deterjen/disinfektan dan peralatan kebersihan yang terpisah.

Semua permukaan di zona B, C, D, dan semua kawasan toilet harus dibersihkan setiap hari.

e) Pengujian bakteriologi pada lingkungan tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan tertentu seperti penyelidikan epidemi dimana ada dugaan sumber infeksi dari lingkungan.

(13)

2.3.2 Peran Perawat Dalam Pemantauan Teknik Aseptik Termasuk Cuci Tangan dan Penggunaan Alat Pelindung

Tangan dapat menularkan infeksi di rumah sakit dan dapat diminimalkan dengan kebersihan tangan yang sesuai. Dalam mencuci tangan sering dilakukan tidak optimal. Hal ini dikarenakan berbagai alasan, misalnya kurangnya peralatan yang sesuai, tingginya perbandingan jumlah perawat dengan pasien, alergi terhadap produk pencuci tangan, kurangnya pengetahuan perawat tentang risiko dan cara mencuci tangan yang baik dan benar, terlalu lama waktu yang direkomendasikan untuk mencuci tangan (WHO, 2002).

Syarat-syarat mencuci tangan dengan ptimal menurut WHO (2002) meliputi: a) Untuk pencuci tangan :

- Penggerak air: wastafel besar yang membutuhkan sedikit perawatan, dengan perangkat antisplash dan pengendali tanpa menggunakan tangan.

- Produk: sabun atau antiseptik tergantung pada prosedur.

- Fasilitas pengering tanpa kontaminasi (handuk sekali pakai jika memungkinkan).

b) Untuk disinfeksi tangan:

(14)

1) Prosedur

Seharusnya ada kebijakan tertulis dan prosedur untuk mencuci tangan. Perhiasan harus dilepaskan sebelum mencuci tangan. Prosedur kebersihan tangan minimal dapat dibatasi untuk tangan dan pergelangan tangan sedangkan untuk prosedur pembedahan mencakup tangan dan lengan bawah.

Prosedur akan berbeda dengan perkiraan risiko terjadinya infeksi kepada pasien:

- Perawatan rutin (minimal):

- Pencuci tangan dengan sabun tanpa anti septik

- Atau pembersih tangan cepat dan higenis (digosok) dengan larutan beralkohol.

Pencuci tangan antiseptik (sedang) ―pensucian hama pada pasien yang

terinfeksi:

- Pencuci tangan higenis dengan sabun antiseptik mengikuti standar prosedur (misalnya satu menit)

- Pembersih tangan cepat dan higenis: seperti yang sebelumnya. Tindakan pembedahan:

(15)

- Pembersihan tangan dan lengan bawah: mencuci tangan biasa, kemudian cuci tangan dengan menggunakan desinfektan, lalu menggosok tangan, bilas dan ulangi sekali lagi dengan menggunakan desinfektan lalu keringkan.

2) Ketersediaan sumber daya

Peralatan dan produk yang ada di seluruh rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan tidaklah sama. Produk yang digunakan dan tata cara mencuci tangan juga akan berbeda tergantung pada ketersediaan alat dan fasilitas mencuci tangan (WHO, 2002).

Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan minimal (rutin) dapat dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai berikut:

- Sumber daya yang baik: Pencucian tangan minimal; peralatan mencuci tangan dengan menggunakan wastafel besar, air dan alat pengalir air otomatis, sabun cair, handuk sekali pakai; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok dan tentukan waktu kontak antara tangan dan disinfektan, bersihkan hingga kering dengan handuk.

(16)

higenis dengan cara menggosok dan tentukan waktu kontak tangan dengan disinfektan atau alkohol, bersihkan hingga kering dengan handuk.

- Sumber daya sangat terbatas: Pencucian tangan minimal; Peralatan mencuci tangan meliputi: air bersih, sabun, handuk yang dicuci setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan cara menggosok dan tentukan waktu kontak dengan alkohol dan bersihkan hingga kering dengan handuk.

Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan dengan teknik aseptik dapat dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai berikut:

- Sumber daya yang baik: Pencuci tangan antiseptik; peralatan yang digunakan wastafel besar, air dan alat pengalir air otomatis, sikat antiseptik (dilakukan selama satu menit), handuk sekali pakai; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok dan tentukan waktu kontak tangan dengan disinfektan, bersihkan hingga kering dengan handuk.

(17)

tentukan waktu kontak dengan disinfektan atau alkohol, bersihkan hingga kering dengan handuk.

- Sumber daya sangat terbatas: Pencucian tangan sederhana; peralatan mencuci tangan air bersih, sabun, handuk yang dicuci setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok; pembersihan dapat dengan menggunakan alkohol, gosok hingga kering.

Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan steril (maksimal) dapat dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai berikut:

- Sumber daya yang baik: Pencucian dari tangan ke lengan bawah; peralatan mencuci tangan dengan menggunakan wastafel besar, air dan alat pengalir air otomatis, penyikat antiseptik berkualitas baik (kontak selama 3 sampai 5 menit), handuk sekali pakai yang steril; membersihan tangan untuk prosedur bedah dengan menggosok; sabun yang digunakan lembut dan berkualitas baik, disinfektan tangan dilakukan dua kali.

(18)

hingga bersih dengan menggosok; desinfektan tangan dilakukan dua kali.

- Sumber daya sangat terbatas: pencucian dari tangan ke lengan bawah secara sederhana;peralatan mencuci tangan dengan menggunakan air bersih, sabun kering, handuk yang dicuci setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok; pembersihan menggunakan alkohol dilakukan dua kali.

Perlindungan barier harus sudah tersedia bagi perawat seperti gaun, masker, sarung tangan, dan kacamata pelindung (WHO, 2002).

a) Gaun pelindung

Gaun pelindung melindungi perawat dan pengunjung dari kontak dengan bahan dan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Gaun diwajibkan bila masuk ke ruang isolasi. Melepaskan gaun sebelum keluar dari ruangan isolasi pasien, setelah gaun dilepaskan, pastikan bahwa pakaian tidak kontak dengan lingkungan lain.

b) Masker

Masker yang terbuat dari kapas, kasa, atau kertas tidaklah efektif. Masker kertas dengan bahan sintetis untuk penyaring adalah penghalang yang efektif melawan mikroorganisme.

(19)

2) Pelindung dari pasien: perawat mengenakan masker untuk bekerja di ruangan operasi, merawat pasien yang terganggu kekebalannya, untuk tusukan rongga tubuh. Cukup dengan sebuah masker bedah.

3) Pelindung bagi perawat: perawat harus mengenakan masker ketika merawat pasien dengan infeksi pernafasan, atau saat melakukan bronchoscopies atau pemeriksaan serupa.

4) Pasien dengan infeksi yang dapat ditularkan melalui sirkulasi udara harus mengenakan masker bedah saat berada diluar ruang isolasi/ ruang perawatan mereka.

c) Sarung tangan

Sarung tangan digunakan untuk:

1) Pelindung dari pasien: perawat mengenakan sarung tangan untuk prosedur pembedahan, perawatan pasien dengan sistem kekebalan tubuhnya terganggu, prosedur invasif.

2) Sarung tangan yang tidak steril dapat dipakai untuk kontak dengan selaput lendir pasien dimana tangan akan mudah terkontaminasi.

3) Pelindung bagi perawat: perawat menggunakan sarung tangan yang tidak steril untuk merawat pasien dengan penyakit menular yang ditularkan melalui sentuhan, atau melakukan bronchoscopies atau pemeriksaan yang serupa.

(20)

6) Lateks atau polivinil klorida adalah bahan yang paling sering digunakan untuk sarung tangan. Kualitas sarung tangan yang baik yakni tidak adanya pori-pori atau lubang dan durasi penggunaan sangat bervariasi dari satu jenis sarung tangan ke sarung tangan yang lain. Alergi terhadap lateks dapat terjadi, dan pekerjaan program kesehatan harus memiliki kebijakan untuk mengevaluasi dan mengelola masalah ini.

d) Kacamata pelindung

(21)

Tindakan pencegahan infeksi nosokomial dengan menggunakan teknik aseptik dapat terlihat pada infeksi nosokomial yang sering terjadi berikut ini:

a) Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih adalah infeksi nosocomial yang lebih sering ditemukan; 80% dari infeksi ini berkaitan dengan pemasangan kateter. Intervensi efektif dalam pencegahan infeksi karena pemasangan keteter menurut WHO (2002) meliputi:

1) Menghindari kateterisasi bila tidak diperlukan.

2) Bila kateterisasi diperlukan, batasi waktu pemasangan.

3) Mempertahankan praktek aseptik yang sesuai selama memasukkan kateter urine dan juga prosedur urologi invasif lainnya (seperti cystoscopi, urodinamik testing, cystografi).

4) Mencuci tangan secara higenis sebelum memasukkan kateter Menggunakan sarung tangan steril untuk memasukkannya dan menyambungkan dengan urin bag.

5) Pembersihan perineal dengan larutan antiseptik sebelum memasukkan kateter.

6) Memasang kateter dengan menggunakan pelumas/pelicin sebelum memasukkan.

(22)

3) Pelatihan perawat dalam memasang kateter dan perawatan.

4) Mempertahankan kelancaran aliran urin dari kandung kemih dalam urin bag dengan meletakkan urin bag lebih rendah dari kandung kemih. Kateter yang digunakan adalah kateter yang berdiameter terkecil. Bahan kateter (lateks, silicone) tidak mempengaruhi tingkat kejadian infeksi.

Bagi pasien dengan gangguan perkemihan :

1) Menghindari pemasangan kateter yang menetap sedapat mungkin.

2) Bila bantuan pengosongan kandung kemih diperlukan, maka ganti kateter sesering mungkin.

(23)

Letakkan benda-benda kotor pada kantung plastik yang tidak bocor, lepaskan sarung tangan dengan cara membalikkannya tidak memegang daerah yang kotor dan letakkan pada kantung plastik. Buang pada tempat sampah medis kemudian cuci tangan dengan sabun dan air atau gunakan larutan desinfektan (Tietjen, 2004).

Titik temu antara selang kateter dan urin bag harus tetap tertutup dan tersambung. Selama tertutup, isinya masih dianggap steril. Aliran keluar klep pada urin bag harus tetap tertutup dan dibersihkan untuk mencegah masuknya bakteri. Pergerakan kateter di uretra harus diminimalkan untuk mengurangi kemungkinan mikroorganisme mencapai uretra kemudian masuk ke dalam kandung kemih. Kateter dan urin bag harus diganti bila waktu pemasangan sudah beberapa hari atau minggu (Tietjen, 2004).

Selain pemasangan keteter, pencabutan kateter juga dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Prosedur pencabutan kateter sama dengan pemasangan keteter. Perawat harus menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan sebelum dan sesudah prosedur (Tietjen, 2004).

(24)

Kadang-kadang perawat mengambil specimen dari selang drainase dengan menusukkan jarum ke ujung selang. Dalam hal ini perawat harus mendesinfeksi dengan menggunakan alkohol dan larutan yodium sebelum menusuk selang drainase kemudian meletakkan kasa steril di sekeliling ujung selang drainase yang terbuka seperti kateter, sehingga urin terhindar dari kontaminasi bakteri dari luar kateter. Kemudian setelah mengambil specimen urin, tutup dan kunci kembali selang kateter (Poter & Perry, 2005).

b) Infeksi Intravaskuler

Infeksi lokal dan infeksi sistemik dapat terjadi sehingga memerlukan perawatan yang lebih intensif. Praktek memasang kateter intravaskuler menurut WHO (2002) meliputi :

1) Menghidari pemasangan kateter intravaskuler bila tidak ada indikasi medis.

2) Mempertahankan teknik asepsis dalam memsang kateter intravaskuler dan perawatannya.

3) Penggunaan kateter intravaskuler dengan waktu sesingkat mungkin. 4) Mempersiapkan cairan infus secara aseptik sebelum digunakan. 5) Melatih perawat dalam memasang dan merawat kateter intravaskuler Infus

(25)

3) Penggantian infuset tidak terlalu sering dibandingkan dengan penggantian jarum infus, kecuali setelah transfusi darah yang meninggalkan bekuan darah yang dapat membuat aliran tidak lancar.

4) Bila infeksi lokal plebitis terjadi, maka infus harus segera dilepas.

Sedangkan menurut Tietjen (2004), prosedur pemasangan infus dilakukan dengan mencuci tangan dengan sabun kemudian keringkan dengan handuk. Menyambungkan infus set dan botol cairan infus dengan teknik aseptik (jangan menyentuh daerah tusukan pada botol infus). Memakai sarung tangan sebelum prosedur pemasangan infus, mendesinfeksi daerah vena yang akan dipasang infus dengan gerakan memutar kearah luar dari tempat pemasangan. Perhatikan daerah pemasangan infus terhadap tanda flebitis. Fiksasi daerah luka pada pemasangan infus dengan kasa steril kemudian plester. Sebelum melepas sarung tangan, buang kapas/kasa yang terkontaminasi darah ke dalam kantong plastik, lepaskan sarung tangan dan buang ke tempat sampah medis. Kemudian cuci tangan dengan menggunakan larutan klorin 0,5% (Tietjen, 2004).

(26)

Pemeliharaan infus juga harus dilakukan pada pasien yang meliputi : jumlah tetesan, apakah infus terbuka atau lepas, mengecek setiap 8 jam apakah terjadi tanda-tanda flebitis. Pindahkan pemasangan infus setiap 72-96 jam untuk mengurangi flebitis. Infus set juga harus diganti jika rusak atau secara rutin setiap 72 jam. Pada saat mengganti cairan infus jangan menyentuh daerah tusukan jarum atau mendesinfeksi terlebih dahulu daerah tusukan jarum tersebut dengan alkohol 60-90% (Tietjen, 2004).

c) Infeksi Luka

Cara lain untuk mengurangi masuknya mikroorganisme adalah perawatan luka dengan prinsip steril. Untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam luka, perawat harus membersihkan bagian sekitar luka. Perawat menyeka bagian dalam luka kemudian bagian luarnya dengan menggunakan kasa steril. Perawatan luka dilakukan kurang dari 72 jam. Untuk luka tertentu dilakukan setiap hari misalnya luka karena penyakit Diabetes Melitis (Tietjen, 2004).

(27)

2.3.3 Peran Perawat Dalam Melapor Kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi

Infeksi nosokomial dapat terjadi secara sisitemik dan lokal. Tanda dan gejala infeksi dapat berupa adanya merah dan bengkak pada daerah yang terinfeksi, nyeri dan ada drainase atau lesi. Pada saat mengkaji perawat menggunakan sarung tangan. Infeksi sistemik terjadi setelah pengobatan infeksi lokal gagal. Infeksi sisitemik menimbulkan gejala yang lebih besar lagi misalnya pembengkakan kelenjar limfe, hilangnya nafsu makan. mual dan muntah (Potter & Perry, 2005).

Perawat melakukan pengkajian terhadap tanda dan gejala infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien. Bila ditemukan tanda dan gejala infeksi atau masalah-masalah lain yang berkaitan dengan status kesehatan pasien, perawat melaporkan hal– hal tersebut kepada dokter (Potter & Perry, 2005).

(28)

2.3.4 Peran Perawat Dalam Melakukan Isolasi Terhadap Pasien Dengan Penyakit Menular.

Pasien tertentu mungkin memerlukan tindakan pencegahan khusus untuk membatasi penularan organisme yang berpotensi menginfeksi kepada pasien lain. Kewaspadaan isolasi direkomendasikan tergantung pada cara penularannya. Penularan infeksi menurut WHO (2002), dapat melalui:

a) Airborne infeksi: infeksi biasanya terjadi melalui saluran pernapasan, dengan agen ini dalam aerosol (ukuran partikel <5 µm).

b) Infeksi droplet: droplet yang menular (ukuran partikel > 5 µm).

c) Infeksi melalui kontak langsung atau tidak langsung: infeksi terjadi melalui kontak langsung antara sumber infeksi dan kontak tidak langsung melalui terkontaminasi benda.

Menurut WHO (2002), isolasi dan pencegahan penularan infeksi berdasarkan pada standar yang ada, meliputi:

a) Standar rutin tindakan pencegahan yang harus diikuti perawat untuk merawat semua pasien.

(29)

Standar tindakan pencegahan terhadap semua pasien menurut WHO (2002) :

1) Cuci tangan segera setelah kontak dengan materi infeksi. 2) Teknik meminimalkan sentuhan dengan materi infeksi.

3) Pakailah sarung tangan ketika kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, membran mukosa dan barang-barang yang terkontaminasi. 4) Cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan.

5) Semua benda tajam harus ditangani dengan sangat hati-hati. 6) Bersihkan segera tumpahan bahan infeksi.

7) Pastikan bahwa peralatan perawatan pasien, perlengkapan dan linen yang terkontaminasi dengan bahan infektif dibuang, atau didesinfeksi atau disterilisasi pada setiap penggunaan kepada pasien.

8) Pastikan penanganan limbah yang baik.

9) Jika tidak ada mesin cuci yang tersedia untuk linen kotor dengan materi infektif, linen dapat direbus.

Pertimbangan untuk pakaian pelindung meliputi:

1) Gaun: harus dari bahan yang bisa dicuci, dapat di kancing atau diikat di belakang, jika perlu dengan celemek plastic.

2) Sarung tangan: sarung tangan plastik yang tersedia dan biasanya cukup. 3) Masker: masker bedah yang terbuat dari kain atau kertas dapat digunakan

(30)

b) Standar tindakan pencegahan untuk pasien tertentu.

1) Tindakan pencegahan berikut digunakan untuk pasien selain yang dijelaskan di atas: Tindakan pencegahan melalui udara (ukuran partikel<5 µm) (misalnya TBC, cacar air, campak). Berikut ini diperlukan:

- ruangan perawatan dengan ventilasi yang cukup, pintu ditutup, setidaknya pertukaran udara per jam.

- perawat mengenakan masker di ruangan pasien. - pasien tetap berada di dalam ruangan perawatan.

2) Tindakan pencegahan terhadap droplet (ukuran droplet > 5 pm) (misalnya bakteri meningitis, difteri, virus saluran pernapasan). Prosedur berikut diperlukan:

- Ruangan perawatan sendiri untuk pasien, jika tersedia. - Masker bagi pekerja perawatan kesehatan.

- Sirkulasi terbatas bagi pasien, pasien memakai masker bedah jika meninggalkan ruangan.

3) Tindakan pencegahan untuk pasien dengan infeksi enterik dan diare yang tidak dapat dikendalikan, atau lesi kulit yang tidak dapat diatasi. Prosedur berikut diperlukan :

(31)

- Perawat memakai sarung tangan saat memasuki ruangan; gaun pelindung khusus untuk merawat pasien yang beresiko terkontaminasi.

- Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, dan meninggalkan ruangan.

- Membatasi gerakan pasien di luar ruangan.

- Pembersihan lingkungan san peralatan, disinfeksi, dan sterilisasi. 4) Isolasi dibutuhkan untuk merawat pasien dengan risiko infeksi yang

sangat berbahaya dimana dapat menularkan melalui berbagai cara. Prosedur meliputi :

- Pasien ditempatkan ruang isolasi jika memungkinkan.

- Masker, sarung tangan, gaun pelindung, topi, mata perlindungan bagi semua memasuki ruangan.

- Cuci tangan saat masuk dan keluar dari ruangan pembakaran jarum, jarum suntik.

- Desinfeksi instrumen medis.

- Pembersigan kotoran, cairan tubuh, sekresi cairan tubuh. - Desinfeksi linen.

- Membatasi pengunjung dan staf.

(32)

- Pengambilan spesimen pasien dan carlabor pengiriman ke laboratorium

Menurut Potter dan Perry (2005), bila ruangan isolasi tidak tersedia tempatkan pasien dalam satu kamar dengan pasien yang menderita infeksi dengan mikroorganisme yang sama. Bila ruangan tidak tersedia dan pengelompokkan tidak mungkin, pertahankan pemisahan minimal dengan jarak 1 meter antara pasien yang terinfeksi dan pasien-pasien lain dan juga dengan pengunjung. Jika pasien yang diketahui dan diduga terkena infeksi saluran pernafasan harus menggunakan masker pada saat keluar dari kamar.

2.3.5 Peran Perawat Dalam Membatasi Paparan Pasien Terhadap Infeksi yang Berasal Dari Pengujung Dan Peralatan Diagnosis

Sumber infeksi nosokomial mungkin pasien, petugas rumah sakit, atau bisa juga tamu. Mereka mungkin sudah terkena penyakit, berada dalam masa inkubasi (tidak ada gejala), atau dapat juga berupa karier kronis (Tietjen, 2004).

(33)

Pengunjung harus menggunakan alat pelindung ketika memasuki ruang perawatan khusus seperti masker, gaun pelindung, sarung tangan untuk mencegah penularan infeksi. Salah satu cara lain adalah dengan membatasi jumlah pengunjung. Dengan membatasi jumlah pengunjung berarti mengurangi resiko terjadinya penularan infeksi (Tietjen, 2004).

2.3.6 Peran Perawat Dalam Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan Perawatan Dari Penularan Infeksi Nosokomial.

Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap alat-alat yang terkontaminasi dapat mengurangi bahkan memusnahkan mikroorganisme. Di sentral perawatan kesehatan dilakukan desinfeksi dan mensucikan barang-barang yang dapat digunakan kembali.

a) Pembersihan

(34)

Penggunaan peralatan dan perlengkapan perawatan pasien seperti stetoskop, sfigmomanometer, termometer yang dipakai bersama oleh pasien harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan oleh pasien yang lainnya (Potter & Perry, 2005).

Bila membersihkan darah, materi fekal, mucus atau pus, perawat menggunakan masker, kacamata pelindung dan sarung tangan sebagai pelindung terhadap organisme infeksi. Sikat berbulu padat dan deterjen atau sabun dibutuhkan untuk pembersihan (Potter & Perry, 2005).

Langkah berikut ini menjamin bahwa suatu objek disebut bersih:

1) Cuci objek atau benda yang terkontaminasi dengan air dingin yang mengalir untuk membuang materi organik. Jangan menggunakan air panas karena dapat menyebabkan materi organik berkoagulasi dan menempel pada objek, sehingga sulit untuk dibuang.

2) Setelah dibilas, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun dan detergen memiliki kandungan desinfektan yang dapat membunuh kuman patogen pada objek. Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi pada objek yang susah dibersihkan sehingga kotoran mudah dibuang. 3) Bilas objek dengan air hangat.

4) Keringkan objek kemudian lakukan desinfeksi dan sterilisasi.

(35)

b) Disenfeksi

Disenfeksi merupakan proses yang digunakan untuk memusnahkan semua mikroorganisme pada suatu objek/benda, tanpa membunuh spora bakteri (Rutala, dalam Potter & Perry, 2005). Biasanya dilakukan dengan mengguanakan desinfeksi kimia atau pasteurisasi basah (digunakan untuk peralatan terapi pernafasan). Contoh desinfektan adalah alcohol, klorin, glutaraldehid, dan fenol. Desinfeksi biasanya dilakukan pada pakaian, linen, tempat tidur, pispot, benda yang tidak dapat disterilkan dengan menggunakan campuran zat kimia cair atau pasteurisasi basah (Potter & Perry, 2005).

c) Sterilisasi

(36)

Acuan dasar metode sterilisasi menurut WHO (2002) meliputi : 1) Sterilisasi dengan pemanasan

- Sterilisasi basah: rebus dengan air pada suhu 121 o C selama 30 menit, atau suhu 134 o C selama 13 menit dalam autoklaf; (suhu 132 oC selama 18 menit untuk prion).

- Sterilisasi kering: panaskan di suhu 160 oC selama 120 menit, atau di suhu 170 0C selama 60 menit; proses sterilisasi ini sering dianggap kurang dapat diandalkan dibandingkan dengan sterilisasi basah, khususnya untuk perangkat medis yang berongga.

2) Sterilisasi dengan bahan kimia

- Sterilisasi dengan Etilen oksida dan formaldehid sudah tidak dipakai di banyak negara kerena karena menyimpan dan mengandung emisi gas rumah kaca.

Referensi

Dokumen terkait

Lusi Fausia, M.Ec yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak

5ada bayi dan anak usia dibaah  atau 6 tahun, jenis pernapasan adalah pernapasan diagragma atau pernapasan abdomen.3olume oksigen yang di ekspirasi oleh bayi dan anak 4

Bakteri harus dapat tumbuh dalam medium padat dan membentuk koloni yang kompak dan jelas (tidak menyebar) dan memerlukan persiapan waktu inkubasi relatif lama sehingga

rawat inap kelas II terhadap pelayanan keperawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut dari 86 responden secara umum sebagian besar

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Data hasil observasi dalam penelitian upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada materi jajargenjang dengan menggunakan metode penemuan terbimbing di kelas IV

setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian tentang “Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi