1
PENGUATAN PERAN KELUARGA
MENDIDIK KARAKTER ANAK
Oleh: Muhammad Tuwah
(Ketua Yayasan Literasi Sumatera Selatan)
Pada 2 Mei 2016 bangsa Indonesia, khususnya dunia pendidikan memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan Hardiknas seyogyanya tidak hanya sebagai kegiatan seremonial belaka, akan tetapi juga dapat menjadi momentum untuk intropeksi dan memikirkan kembali semua aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Apalagi akhir-akhir kita disajikan potret buram wajah pendidikan di tanah air. Perilaku tawuran antar pelajar kian brutal dan anarkis. Ritus kekerasan yang dilakoni pelajar kini tak hanya menjadi menu harian dunia pendidikan, namun juga menebar ketakutan, kepanikan, dan histeria sosial. Belum lagi angka kasus penggunaan narkoba di kalangan pelajar pun mengalami peningkatan.
Berdasarkan data 2014 jumlah pelajar pengguna narkoba ditingkat sekolah dasar (SD) berjumlah 123 orang, sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 292 orang, sekolah menengah atas (SMA) berjumlah 863 orang, dan mahasiswa 40 orang. Secara keseluruhan ada 1.318 orang. Ini data yang tercatat saja, diperkirakan data yang belum tercatat lebih banyak lagi; ibarat gunung es. Karenanya, saat ini Indonesia memang pantas menyandang status darurat narkoba sebab penyalahgunaannya sudah tersebar luas baik dari aspek wilayah, golongan, maupun usia. Berdasarkan Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba tahun 2014, jenis narkoba yang paling banyak disalahgunakan adalah ganja, shabu dan ekstasi. Jenis narkoba tersebut sangat terkenal bagi pelajar dan mahasiswa.
Meskipun pengguna narkoba di kalangan anak usia sekolah, khususnya SD sampai SMA relatif tinggi, tetapi saat ini perlindungan anak dari bahaya narkoba masih belum cukup efektif. Memang telah ada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 20 dinyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Tetapi perlindungan anak dari narkoba masih jauh dari harapan.
2
Syarief Muhidin (1981:52) bahwa “tidak ada satupun lembaga kemasyarakatan yang lebih efektif
di dalam membentuk kepribadian anak, selain keluarga. Keluarga tidak hanya membentuk anak
secara fisik tetapi juga berpengaruh secara psikologis”.
Hal ini dimungkinkan karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pendidikan anak. Di dalam keluarga seorang anak dibesarkan, mempelajari cara-cara pergaulan yang akan dikembangkannya kelak di lingkungan kehidupan sosial yang ada di luar keluarga. Di dalam keluarga seorang anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan fisik, psikis maupun sosial, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Di samping itu pula seorang anak memperoleh pendidikan yang berkenaan dengan nilai-nilai maupun norma-norma yang ada dan berlaku di masyarakat ataupun dalam keluarganya sendiri serta cara-cara untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Di sinilah, fungsi edukasi keluarga sangat penting menanamkan nilai-nilai dan sistem prilaku yang baik (akhlaq al-karimah). Artinya, keluarga pusat pendidikan yang utama dalam membentuk karakter (character building) pada anak. Pendidikan karakter pada hakikatnya bertujuan menciptakan manusia yang cerdas pikiran, moral dan spiritualnya, berbudi pekerti yang luhur, taat menjalankan perintah agama, serta mempunyai mental yang terpuji. Namun secara khusus, penanaman pendidikan karakter di lingkungan keluarga bertujuan untuk menciptakan anak menjadi manusia yang berakhlak mulia, taat kepada perintah agama serta menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.
Menurut Megawangi (2003), penanaman kualitas pendidikan karakter pada anak meliputi sembilan pilar, yaitu; 1). Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya; 2). Tanggung jawab; 3). Disiplin dan mandiri; 4). Hormat dan santun; 5). Dermawan, suka menolong dan gotong royong; 6). Percaya diri, kreatif dan pekerja keras; 7). Kepemimpinan dan adil; 8). Baik dan rendah hati; dan 9). Toleran, cinta damai dan kesatuan. Kendati keluarga mempunyai peran penting untuk membangun karakter anak, tetapi anak juga berhak menentukan dunianya sendiri, sehingga terbentuk suatu karakter pada diri anak. Apabila karakter pada anak buruk, keluarga wajib untuk mengarahkan dan menanamkan karakter baik pada anak. Sehingga anak mempunyai karakter baik yang berguna untuk masa dewasanya.
3
akan tanggung jawabnya. Upaya pembentukan karakter yang kuat tersebut, tentulah tidak dapat dilakukan secara instan, namun memerlukan usaha yang terus menerus dan berkesinambungan.
Selain itu lima upaya orang tua membangun karakter anak di atas, di dalam pendidikan karakter sangat ditekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character), yaitu; pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral, dan perbuatan bermoral.
Hal ini diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilia-niali kebajikan. Pengetahuan tentang moral adalah hal yang penting untuk diajarkan, di antaranya; kesadaran moral dan mengetahui nilai-nilai moral.
Sedangkan perasaan tentang moral merupakan aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang sebagai sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek peradaan bermoral ini dengan cara membangkitkan kesadaran anak akan pentingnya memberikan komitmen terhadap nilai-nilai moral. Sebagai contoh untuk menanamkan kecintaan anak untuk jujur dengan tidak mencontek, orangtua harus dapat menumbuhkan rasa bersalah, malu dan tidak empati atas tindakan mencontek tersebut. Kecintaan pada perasaan bermoral akan menjadi kontrol internal yang paling efektif, selain kontrol eksternal berupa pengawasan orang tua terhadap tindak tanduk anak dalam keseharian.
Kemudian
perbuatan bermoral
adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapatdiwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil dari dua komponen karakter lainya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik, maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi, keinginan, dan kebiasaan.
Dengan demikian, pendidikan karakter terhadap anak hendaknya menjadikan seorang anak terbiasa untuk berperilaku baik, sehingga ia menjadi terbiasa dan akan merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Namun mendidik kebiasaan baik saja tidaklah cukup. Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu menghargai pentingnya nilai-nilai moral. Misalnya, ia tidak memakai narkoba karena mengetahui sanksi hukumnya. Tetapi dengan penuh kesadaran bila ia mencoba-coba memakai narkoba akan berdampak buruk bagi masa depannya.
Keinginan untuk berbuat baik bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Aspek kecintaan inilah yang disebut Piaget sebagai sumber energi yang secara efektif
membuat seseorang mempunyai karakter yang konsisten antara pengetahuan dan tindakannya. Oleh karena itu, aspek ini merupakan yang paling sulit untuk diajarkan, karena menyangkut wilayah emosi (otak kanan). Di sinilah keluarga, khususnya orang tua musti menyediakan
lingkungan yang mendukung pendidikan karakter anak.
Anak akan tumbuh menjadi pribadi
yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula, sehingga
4