• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah DIY telah berkembang seiring waktu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah DIY telah berkembang seiring waktu"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PERKEMBANGAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

untuk memenuhi tugas matakuliah Teori Perkembangan Regional yang dibina oleh Dr. M. Baiquni, M.A.

Oleh:

Lutfiana Devi Kurniawati 13/356106/PGE/1063

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI

(2)

A.Pendahuluan

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah wilayah tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang

(Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai

Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status

ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam

BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara. Sebelum diberlakukannya otoda tahun 2001, terdapat 3 daerah tingkat propinsi di Indonesia yang diberikan keistimewaan oleh pemerintah pusat, yaitu Daerah Istimewa Aceh, Daerah Khusus Ibukota (DKI), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemberian status keistimewaan kepada suatu daerah didasarkan pada pertimbangan historis, peran daerah terhadap perjuangan nasional, dan fungsi daerah tersebut dalam menunjang pembangunan nasional. Pada tulisan ini, akan diuraikan mengenai sejarah dan latar belakang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Propinsi ke-12 di Indonesia.

B.Profil

Sejarah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tidak bisa terlepas dari sejarah perjalanan Kerajaan Mataram Islam. Pada mulanya

kasultanan ini adalah kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati (1575-1601). Kerajaan Mataram Islam mencapai puncaknya pada masa

(3)

1. Kerajaan Mataram Islam

Lahirnya Mataram Islam berkaitan dengan perkembangan kerajaan Pajang. Sebelum menjadi raja Pajang dengan gelar Sutan Hadiwijaya (1546-1586), Joko Tingkir atau Mas Karebet harus berperang melawan Adipati Jipang yang bernama Arya Penangsang. Joko Tingkir dapat mengalahkan Arya Penangsang berkat bantuan Danang Sataujaya. Namun, kemenangan itu terjadi karena strategi bagus yang diberikan oleh ayah Danang Sataujaya (yaitu Ki Ageng Pemanahan) dan tokoh lainnya yang bernama Penjawi. Oleh karena itu, Sutan Hadiwijaya

memberi hadiah tanah Mentaok (sekitar Kota Gede Yogyakarta) kepada Ki Ageng Pemanahan. Kemudian, Ki Ageng Pemanahan membangun Mentaok menjadi sebuah Kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Pajang.

Danang Sataujaya (putra Ki Ageng Pemanahan) menjadikan Kadipaten yang dibangun ayahnya itu menjadi sebuah kerajaan baru yang bernama Mataram Islam. Saat itu, setelah Sutan Hadiwijaya wafat, Pajang merosot. Danang menjadi raja pertama Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1584-1601). Selama masa kepemimpinanya, semua daerah di Jawa bagian tengah dan timur (kecuali Blambangan) berhasil ia taklukkan.

1.1. Puncak Kejayaan Kerajaan Mataram Islam

Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Pulau Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat. Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC (Vereenigde Oost Indische

(4)

1.2. Runtuhnya Kerajaan Mataram Islam

Kejayaan politik dan militer Mataram Islam yang mencapai puncaknya pada jaman Sultan Agung itu akhirnya mulai merosot sedikit demi sedikit. Pengganti Sultan Agung, Hamangkurat I (1647-1677) justru bersahabat dengan VOC. Hamangkurat II (1677-1703) menyerahkan Semarang kepada VOC. Meskipun demikian, Hamangkurat II melawan VOC di Kartasura sampai Kapten Tack meninggal. Hamangkurat III (1703-1708) lebih bersikap menentang VOC. Kemerosotan tajam terjadi pada jaman Sunan Paku Buwono II (PB II) yang memerintah pada tahun 1727 sampai tahun 1749. Pada mulanya, PB II

menyerahkan Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan Madura kepada VOC. Pada tahun 1743 diserahkannya pula Demak dan Pasuruan. Belanda pun

menguasai pelayaran orang Jawa yang berpusat di Tegal, Pekalongan, Kendal,

Tuban, Juwana, dan sebagainya. Sebelum mangkat, PB II menyerahkan seluruh Mataram kepada VOC Belanda.

2. Lahirnya Kasultanan Yogyakarta

Pada jaman pemerintahan Paku Buwono II (1727-1749), Mataram berhasil dikuasai VOC (Belanda). Dengan Perjanjian Ponorogo pada tahun 1743, Belanda menguasai Mataram secara ekonomi dan politik. Belanda berhak atas daerah-daerah pelayaran dan perdagangan yang semula dikuasai Mataram. Kemudian, sistem pemerintahan Mataram (pengangkatan dan pemberhentian pepatih dalem

dan para bupati) dikendalikan sepenuhnya oleh Belanda. Sejak tanggal 11 Desember 1749, Paku Buwono II menyerahkan kedaulatan Mataram kepada Belanda. Dengan demikian, kerajaan Mataram sudah tidak berdaulat lagi secara

de facto dan de jure.

Menyadari situasi itu, Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Hamengku Buwono I) tidak menyetujui sikap lemah Paku Buwono II tersebut. Sebagai reaksinya, pada tanggal 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi meninggalkan istana bersama tiga pangeran lainnya (Pangeran Wijil, Pangeran Krapyak, dan Pangeran Hadiwijoyo). Mereka bergabung dengan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) untuk berperang melawan Belanda dan memberontak. Mereka

(5)

sudah dapat mengepung ibukota Mataram dari 4 penjuru. Sampai pada tahun 1752, sebagian besar wilayah Mataram berhasil mereka ambil alih kembali.

Belanda berusaha melakukan lobi-lobi. Pada tanggal 23 September 1754, Belanda bernegoisasi dengan Pangeran Mangkubumi dan berjanji memberi setengah dari kerajaan Mataram. Akhirnya, dibuatlah Perjanjian Giyanti Gianti yang ditandatangani pada tanggal 13 Pebruari 1755 di Gianti (Salatiga) di bawah pemrakarsa Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel, yang merupakan kesepakatan bersama antara Pangeran Magkubumi, Paku Buwono III (pengganti Paku Buwono II) dan Pemerintah Belanda (Gubernur Hartingh). Dalam perjanjian ini, wilayah kekuasaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yaitu setengah di bagian Barat milik Kerajaan Surakarta dan setengahnya di bagian Timur milik Pangeran Mangkubumi. Adapun wilayah yang diberikan

kepada Pangeran Mangkubumi ini sesungguhnya masih diliputi oleh wilayah pedalaman. Dalam perjanjian ini pula, Pangeran Aryo Mangkubumi dinobatkan menjadi Raja atas setengah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan gelar Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Wilayah yang menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang selanjutnya dikenal juga dengan sebutan Sultan Hamengku Buwono I memperoleh wilayah antara lain Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan. Setelah selesai penandatanganan Perjanjian Gianti, ditetapkan daerah Mataram yang ada dalam kekuasaannya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat yang beribukota di Ngayogyakarta (Kota Yogyakarta). Nama Ngayogyakarta Hadiningrat ditetapkan pada tanggal 13 Maret 1755. Ibukota yang dipilih ini terletak di Hutan Beringin di sebuah desa kecil Pachetokan. Di desa Pachetokan terdapat pesanggrahan yang pernah dibangun Susuhunan Paku Buwono II yang disebut Garjitowati. Nama pesanggrahan ini kemudian diganti dengan nama Ayodya yang kemudian menjadi lokasi

(6)

Pembagian wilayah berdasarkan Perjanjian Giyanti.

Selama masa pembangunan keraton, Sultan Hamengku Buwono I

menempati tempat pemerintahan sementara di Pesanggrahan Ambarketawang di daerah Gamping. Secara resmi, digunakannya pesanggrahan sebagai pusat pemerintahan sementara dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1755. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat baru selesai pembuatannya setahun kemudian.

Penempatan pusat kekuasaan secara resmi di keraton tersebut terjadi pada tanggal 7 Oktober 1756.

3. Lahirnya Kadipaten Paku Alaman Yogyakarta

(7)

dan dipimpin oleh Pangeran Notokusumo tersebut. Kekuasaan itu mencakup sebuah wilayah di dalam kota Yogyakarta dan wilayah-wilayah ”Adikarto” yang berada di daerah selatan Kulon Progo (Kapanewon, Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan Lendah). Pada tanggal 17 Maret 1813, Pangeran Notokusumo mengukuhkan tahtanya dan bergelar Pangeran Adipati Paku Alam I.

4. Reunifikasi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman Pada masa pendudukan Jepang, Kasultanan dan Paku Alaman hendak diadu domba. Penjajah yang mengaku dirinya sebagai ”saudara tua” itu berusaha memancing persaingan di antara dua Projo Kejawen itu. Bibit-bibit perselisihan sengaja ditebar supaya Kadipaten Paku Alaman (Paku Alam VIII) merasa iri dengan Kasultanan yang memiliki Schakle School dan aset-aset lain yang lebih

besar.

Menghadapi gelagat yang tidak baik itu, Paku Alam VIII memutuskan untuk menggabungkan kembali (reunifikasi) Kadipaten Paku Alaman dengan Kasultanan Jogjakarta. Paku Alam VIII segera menyatakan keinginannya tersebut kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Gayung pun bersambut. Sejak saat itu, mereka berdua berkantor bersama di Kepatihan, Yogyakarta. Pada masa-masa berikutnya, kesatuan antara Sri Sultan dan Paku Alam serta kesatuan antara Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman menjadi tiang penyangga NKRI. Kesatuan ini sangat menentukan nasib dan masa depan bangsa Indonesia.

5. Sejarah Perkembangan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman Pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945

Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, beberapa minggu sesudahnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendapatkan desakan untuk segera membuat resolusi kerajaan. Dengan mempertimbangkan kondisi Republik Indonesia yang ketika itu sangat membutuhkan dukungan nasional, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang disebut Amanat 5 September 1945. Pada prinsipnya, isi dekrit kerajaan adalah melakukan integrasi monarki Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam NKRI. Dekrit Amanat 5 September 1945 ini kemudian

(8)

bersamaan. Dekrit integrasi ke dalam NKRI sesungguhnya juga dikeluarkan pula oleh berbagai kerajaan/monarki di seluruh wilayah Nusantara. Secara politik, Amanat 5 September 1945 memberikan dampak yang luar biasa dan

mempengaruhi kerajaan-kerajaan nusantara lain untuk segera bergabung dengan NKRI. Wilayah yang menjadi kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1945 terdiri atas:

1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat, 2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,

3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,

4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat, 5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat. Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:

1. Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat, 2. Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.

Bersamaan dengan dibentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1945 yang diketuai Mochamad Saleh dan Wakil Ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama yang dikenal Amanat 30 Oktober 1945. Isi dari dekrit bersama kerajaan tersebut adalah menyerahkan kekuasaan legislatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Pada tanggal 18 Mei 1946, secara resmi digunakan nama Daerah Istimewa Yogyakarta yang menegaskan penyatuan dua kerajaan dan sekaligus menjadi daerah istimewa dari NKRI. Penggunaan nama DI Yogyakarta ini juga termuat di dalam Maklumat No 18 Tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (Maklumat Yogyakarta No 18). Pemerintahan monarki persatuan kemudian berlangsung hingga dikeluarkannya Undang-Undang No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam undang-undang tersebut disebutkan penegasan secara administratif apabila Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman merupakan bagian integral dari NKRI. Pembagian wilayah administratif berdasarkan UU No 3 Tahun 1950 Tentang DI Yogyakarta adalah:

(9)

2. Kabupaten Gunung Kidul dengan ibukota Wonosari 3. Kulon Progo dengan ibukota Wates

4. Kabupaten Sleman dengan ibukota Sleman 5. Kota Yogyakarta sebagai ibukota Propinsi.

Perubahan pada tatanan pemerintahan daerah kembali dilakukan untuk mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan tujuan pembangunan nasional melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada undang-undang desentralisasi fiskal ini, dilakukan perubahan atas struktur dan wewenang pemerintahan daerah. Istilah pemerintahan Daerah Tingkat (Dati) I diganti dengan Pemerintahan Daerah Propinsi. Pemerintahan Daerah Tingkat (Dati) II diganti dengan Pemerintahan Daerah Kabupatan atau Kota. Berdasarkan ketentuan tersebut, istilah Kotamadya Yogyakarta diganti dengan Kota

Yogyakarta. Dalam hal ini, pemerintahan Kota Yogyakarta memiliki wewenang penuh dalam mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan sasaran otonomi dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.

Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya. Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Subtansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :

1. Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia;

(10)

Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);

3. Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta tetap dalam kedudukannya dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya.

C. Aspek/ Dimensi Penting

Ditetapkannya Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa yang terintegrasi dengan pemerintah Republik Indonesia tidak pernah lepas dari eksistensi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam memliki pemikiran yang hebat untuk membantu perjuangan kemerdekaan maupun mengisi kemerdekaan RI. Berikut adalah eksistensi dan kontribusi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.

1. Sebuah Kerajaan Revolusioner

Bila dipandang dari sudut proses pendirian, Kasultanan Yogyakarta adalah sebuah kerajaan yang hadir karena visi. Pendirinya, Pangeran Mangkubumi adalah seorang visioner. Visinya besar. Cita-citanya adalah melawan Penjajahan dan mempertahankan Mataram sebagai kerajaan yang merdeka. Meski akhirnya nama Mataram tak dipakai lagi, kerajaan baru yang didirikannya merupakan pewaris sah kerajaan Mataram tersebut.

Sekalipun berdiri sebagai salah satu wilayah kerajaan di Pulau Jawa, Ngayogyakarta Hadiningrat tidak menutup pintu untuk setiap upaya yang

dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Tidak sedikit peristiwa-peristiwa pergerakan nasional yang tumbuh dan dimulai di Kerajaan Ngayogyakarta

(11)

Kongres I Budi Utomo (1908), berdirinya organisasi Muhammadiyah. Kontribusi kerajaan ini cukup besar terhadap perjuangan nasional dalam rangka upaya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

2. Membangun Perdaban Indonesia

Dibanding dengan Kraton Yogya, Republik Indonesia adalah sebuah peradaban yang masih sangat muda. Yogya turut membidani kelahiran peradaban baru itu. Ketika RI mengalami masa-masa kelahiran yang sangat kritis, Yogya memberi diri menjadi “ibu pengasuh” dengan segala pengorbanannya. Secara politis itu sangat jelas, ibukota RI dipindah ke Yogya (sejak 1946), Kraton (Sri

Sultan HB IX) mengatur strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk menunjukkan eksistensi RI di mata dunia, dan sebagainya.

Sejak awal, Yogya telah memberikan banyak nutrisi bagi pertumbuhan peradaban Indonesia. RI bagaikan anak bayi yang menyusu pada Yogya sebagai induk semangnya. Banyak gagasan peradaban muncul dari Yogya. Dalam dunia pendidikan misalnya, pemikiran Ki Hadjar Dewantoro merupakan bukti

sumbangsih kearifan lokal Yogya bagi kemajuan peradaban modern Indonesia. Ketika bangsa Indonesia mengalami krisis peradaban, Yogya tampil untuk memberikan koreksi. Sebagai contoh adalah koreksi Sri Sultan HB X terhadap kepemimpinan Orde Baru yang menyalahgunakan konsep kearifan Jawa tentang “ora ilok” (tidak layak), “mbeguguk mangutho waton” (keras kepala), “mbalelo

(memberontak), “aja dumeh” (jangan merasa sok), “unggah-ungguh” (sopan

santun), “tepo-slira” (tenggang rasa), dan “ewuh pakewuh” (rasa segan). Inilah

kritik peradaban yang dilontarkan Sultan HB X dalam orasi Reformasi 1998 silam: “Ora ilok diartikan tidak boleh mengkritik penguasa. Mbeguguk mangutho waton

dan mbalelo hanya disandangkan bagi rakyat yang menuntut haknya sehingga pantas digebug dan dilibas, bukan bagi penguasa yang sudah tidak bisa lagi

menangkap aspirasi rakyat, karena terlalu asyik dengan permainan kekuasaan saja.

Aja dumeh malah dialamatkan bagi rakyat yang tergusur, bukan bagi mereka yang menggusur dan makmur di atas beban pundak rakyat banyak. Unggah-ungguh,

(12)

dinamakan krisis moral, yang berlanjut pada krisis kepercayaan rakyat kepada penguasa!” Hal itu menunjukkan betapa orang Yogya dengan Kraton sebagai pusat peradaban (kearifan asli) masih perlu memberikan nutrisi bagi pertumbuhan peradaban Indonesia.

3. Kepemimpinan Dwi Tunggal

Sejak bersama memimpin Yogyakarta, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII sangat kompak. Dalam hal bermain strategi, mereka pun bertindak dengan sangat solid. Menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949, HB IX dan PA VIII bersepakat untuk membuat isu (fluistercampagne) bahwa seolah-olah mereka berdua akan meletakkan jabatan. Dengan desas-desus seperti itu, Belanda tidak bisa memperalat mereka. Logikanya, jika mereka berdua lengser maka Belandalah

yang harus bertanggungjawab atas kekacauan yang terjadi di Yogyakarta. Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan HB IX-PA VIII memainkan peran penting dalam menjaga eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Pada tanggal 14 Januari 1946, setelah dwi tunggal Soekarno-Hatta berembug dengan dwi tunggal HB IX-PA VIII, diambil keputusan untuk memindahkan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta. Untuk itu, Paku Alam VIII memberikan Puro Pakualaman menjadi tempat tinggal sementara bagi Bung Karno dan keluarganya. Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII menjamin akan menjaga keamanan dan

keselamatan Pemerintahan RI dengan segala kemampuan yang ada.

4. Dedikasi Untuk RI

Sikap dan pemikiran tegas Paku Alam VIII untuk berpihak kepada NKRI mendapat apresiasi dan dukungan penuh dari para Abdi Dalam Puro Pakualaman. Dengan demikian, dedikasi kepada NKRI tersebut merupakan suatu kebulatan tekad seluruh Praja Pakualaman. Dalam sebuah rapat pada tanggal 13 Oktober 1945, Persatuan Abdi Dalem Praja Pakualaman menyatakan sebuah mosi sebagai berikut:

1. Para Abdi Dalam Praja Pakualaman harus teguh, bersatu padu dalam lingkungan negara Republik Indonesia Merdeka, siap mencurahkan segala

(13)

2. Tetap setia dan berdiri di belakang Sri Paduka Ngarsa Dalem Kanheng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII yang telah mendapat kepercayaan penuh dari PJM Presiden Republik Indonesia.

Para Abdi Dalam Praja Pakualaman akan meletakkan jabatannya, jika bangsa lain memerintah Indonesia.

5. Fasilitator Perjuangan

Dalam mendedikasikan diri untuk kepentingan bangsa, Paku Alam VIII (dan Kadipaten Pakualaman) lebih banyak mengambil peran sebagai fasilitator. Sri Sultan HB IX lebih banyak tampil sebagai master mind dan decision maker. Namun, posisi Paku Alam VIII sebagai the second people bukan tidak penting. Dalam masa-masa sulit, peran seorang fasilitator seringkali justru sangat

menentukan.

Peran Paku Alam VIII dan Puro Pakualaman sebagai falitator sangat berarti selama masa revolusi fisik (1945-1949). Selama ibukota RI berada di Yogyakarta (sejak 14 Januari 1946), Puro Pakualaman dipakai sebagai tempat tinggal sementara oleh Presiden sekeluarga. Putri Bung Karno, Megawati, lahir di istana Pakualaman ini. Paku Alam VIII dan Puro Pakualaman memberi bantuan akomodasi dan logistik bagi semua peserta konferensi TKR. Dalam konferensi itu dipilih beberapa pimpinan baru, yaitu Kolonel Sudirman (Pimpinan Tertinggi TKR), Letjend. Urip Sumoharjo (Kepala Staf Umum TKR), dan Sri Sultan HB IX (Menteri Pertahanan). Seluruh pejabat TKR diberi bantuan berupa rumah-rumah dinas oleh Puro Pakualaman. Letjend. Urip Sumoharjo diberi rumah dinas yang berlokasi di jalan Widoro, Kotabaru. Selama perundingan KTN di Kaliurang (8-17 Desember 1947), Puro Pakualaman juga membantu akomodasi.

(14)

6. Penyelamat Ekonomi Indonesia

Wibawa Kasultanan dan HB IX juga mengembalikan kepercayaan

internasional terhadap RI. Pada akhir masa Orde Lama, RI terkucil dari pergaulan internasional karena memutuskan untuk keluar dari PBB. Padahal, pada masa awal Orde Baru, RI sangat membutuhkan bantuan keuangan dari negara-negara dan lembaga-lembaga dunia. Waktu itu perekonomian Indonesia mencapai titik nadir. Dalam hal ini HB IX tampil di pentas dunia untuk menyelamatkan ekonomi RI.

Kredibilitas dan kapasitas HB IX ternyata diakui dunia. Oleh karena itu, dunia kembali mempercayai Indonesia dan tergerak memberi bantuan kepada Indonesia. Presiden Soeharto meminta bantuan HB IX untuk mengurus

kembalinya RI ke PBB, Bank Dunia, dan IMF. HB IX juga diminta oleh Presiden

Soeharto untuk menjadwalkan kembali pembayaran hutang-hutang asing dan mencari kredit baru. Ekonom Widjojo Nitisastroberkomentar: ”Peranan dan figur Sri Sultan telah berhasil mengambalikan kepercayaan terhadap Indonesia di luar dan di dalam negeri!” Perjalanan HB IXkeliling dunia untuk mencari bantuan bagi Indonesia berhasil secara luar biasa. Kunjungan HB IX ke Jepang

menghasilkan kredit US $ 30 juta (1966). Setelah berkeliling di Eropa Barat, HB IX mendapat kredit US $ 170 juta dan janji bantuan US $ 180 juta. Mata dunia pun tertuju pada Indonesia. Atas undangan Jepang, sejumlah negara kreditor (AS, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman Barat) bersama Bank Dunia dan IMF, bertemu dalam “Tokyo Meeting” yang didisain khusus untuk membantu ekonomi

Indonesia (19-20 September 1966). Ketika mengajukan dukungan dana di Belanda, wibawa HB IX sangat besar. Menurut catatan Frans Seda, dalam perundingan yang alot itu HB IX berani berkata lantang: ”Nu of nooit meer!”

(sekarang atau tidak pernah sama sekali). Lobi HB IX yang mendapat simpati pers setempat mendorong Perdana Menteri Belanda, Joseph Luns, menyetujui

perjanjian sebelum HB IX pulang ke Indonesia.

7. Barometer Reformasi 1998

Kejayaan Kasultanan Yogyakarta masih sangat kuat sampai sekarang.

(15)

Yogyakarta menjadi barometer nasional. Gerakan reformasi 1998 terakselerasi oleh momen aksi sejuta massa (pisowanan ageng) yang terjadi pada tanggal 20 Mei 1998. Kantor berita Inggris, Reuters, menyatakan bahwa HB X tenyata masih disegani rakyat dan mempunyai peran strategis yang berdampak luas.

Maklumat yang dikeluarkan oleh Kasultanan dan Pakualaman untuk mendukung gerakan reformasi itu menjadi pegangan bagi rakyat Yogyakarta untuk menentukan sikap. Sultan HB X pun tidak enggan untuk mengkritisi rezim Orde Baru. Sebelum Soeharto lengser, HB X pernah menyampaikan pidato di mimbar bebas UGM. Sabdanya: ”Sebagai tradisi perjuangan yang telah diwariskan para leluhur, saya siap memimpin perjuangan panjang di tengah-tengah masyarakat, rakyat, dan segenap kawulo Yogyakarta Hadiningrat. Jangan lagi rakyat menjadi obyek kekuasaan, kezaliman, dan ketidakadilan. Sekarang ini,

itu semua sudah tamat!” Semua yang hadir pada momen itu spontan berseru: ”Hidup Sultan…hidup Sultan…hidup Sultan!” (Meneguhkan Tahta untuk Rakyat, 1999).

D.Analisis Isu-Isu Pembangunan

Secara kronologis, jelas bahwa keistimewaan Yogya merupakan sebuah keharusan historis. Namun, tuntutan reformasi dan spirit demokrasi masa kini bisa saja mengakhiri periode keistimewaan tersebut. Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh:

1. manuver politik terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10) serta penolakan HB X menjadi gubernur yang tertuang dalam orasi budaya pada saat ulang tahun ke 61 pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan laku spiritual memohon petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak bersedia menjabat gubernur setelah periode kedua masa jabatannya berakhir 2008 (radar jogja, 29/9/10);

2. setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu

(16)

18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2);

3. pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas;

4. ketidak pahaman para penerus dan pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah

kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata

kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI

5. perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila;

6. proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik antara Kasultanan & Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas

(17)

bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai amandemen UUD 45 & UU No. 32/2004.

Secara kronologis, jelas bahwa keistimewaan Yogya merupakan sebuah keharusan historis. Namun, tuntutan reformasi dan spirit demokrasi masa kini bisa saja mengakhiri periode keistimewaan tersebut. Di tengah harapan rakyat yang menyeruak ke permukaan, hingga memunculkan gerakan-gerakan

pro-Keistimewaan, potensi masyarakat untuk menjadi kecewa perlu diperhitungkan. Kecewa pada Pemerintah Pusat, itu jelas. Penundaan sekian lama yang berakibat menggantungnya nasib keistimewaan Yogya membuat hati masyarakat Yogya gelisah. Di tengah tekanan hidup sekarang ini, tidak menutup kemungkinan masyarakat kecewa pada Keraton.

Semakin besar harapan, keyakinan, dan kepercayaan rakyat pada Kraton,

semakin besar pula potensi rakyat untuk menjadi kecewa pada Kraton. Manakala harapan, keyakinan, dan kepercayaan itu tak terpenuhi, rakyat bisa semakin kecewa. Kiranya hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi segenap kerabat Kraton Yogya. Dalam rangka Keistimewaan, masyarakat Yogya berharap sebagai

berikut:

1. Kraton mempunyai visi yang jelas dan tegas tentang posisi dan perannya.

2. Kraton mempunyai kesamaan bahasa dan kesamaan perspektif, serta solid sebagai sebuah institusi.

3. Kraton menjaga keutuhan masyarakat dengan memberikan solusi-solusi implementatif untuk kepentingan kesejahteraan segenap rakyat.

E.Penutup

Dari pembahasan tentang sejarah perkembangan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Lahirnya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman berawal dari runtuhnya Kerajaan Mataram Islam.

2. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam bergabung menjadi satu

(18)

3. Yogyakarta menjadi daerah istimewa karena pertimbangan historis dan mengantarkan dwi tunggal Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur, sementara Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubernur DIY.

4. Kontribusi dan eksistensi Yogyakarta dalam perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan sangatlah besar.

5. Keberadaan pemerintahan monarki Keraton Yogyakarta dalam Negara Republik masih menjadi perdebatan yang segera diperlukan

(19)

DAFTAR RUJUKAN

Anonim. Informasi Umum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Online). www.infoyogyakarta.pdf. Diakses tanggal 9 September 2013.

Anonim. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (Online).

http://www.wikipedia.com Diakses tanggal 9 September 2013.

Anonim. Sejarah Keistimewaan Yogyakarta (Online). http://www.bpkp.go.id. Diakses tanggal 9 September 2013.

Anonim. Sejarah Pendirian Negeri Pakualaman, Kadipaten Pakualaman, Praja Pakualaman Tanggal 17 Maret 1813-1950 (Online).

http://www.sejarahnusantara.com. Diakses tanggal 9 September 2013.

Baskoro, Haryadi. Pakualaman: Satu dari Empat Projo Kejawen (Online).

http://pakualamanyogya.wordpress.com. Diakses tanggal 9 September 2013.

Baskoro, Haryadi. Sebuah Kerajaan Visioner (Online).

http://kasultananyogya.wordpress.com. Diakses tanggal 9 september 2013.

Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga. Sejarah Singkat Provinsi DIY

(Online). http://www.pendidikan-diy.go.id. Diakses tanggal 9 September 2013.

Kusuma, Leo. Latar Belakang Propinsi Daerah istimewa Yogyakarta (Online).

http://leo4kusuma.blogspot.com. Diakses tanggal 9 September 2013.

Koesnodiprodjo, 1951, Himpunan Undang-Undang, Penetapan Pemerintah Republik Indonesia 1945, Penerbit Djakarta, Jakarta.

Poerwokoesoemo, Soedarisman, 1984, Daerah Istimewa Yogyakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Pemerintah Kota Yogyakarta. Sejarah Kota Yogyakarta (Online).

http://www.jogjakota.go.id. Diakses tanggal 9 September 2013.

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejarah (Online).

Referensi

Dokumen terkait

Sensor segera mendeteksi saat sekat dalam kawasan parkir dimasuki oleh mobil, maka antara IR Led Tx dengan Photo Transistor akan tertutup oleh mobil sehingga Photo Transistor tidak

Formulasi yang paling stabil sebagai obat kumur berdasarkan hasil pengujian adalah formulasi dengan konsentrasi ekstrak infusa Buah sawo (Manilkara zapota) 1%.

Pihak sekolah pun harus dapat membantu siswa-siswinya dalam menambah pengetahuan tentang kesehatan khususnya dalam pengetahuan menggosok gigi, salah satunya dengan

keberagamaan wanita sebagai pihak yang berkontribusi besar terhadap terwujudnya toleransi beragama di Indonesia. Melibatkan wanita secara aktif dalam usaha mewujudkan

Fakta menunjukkan bahwa bahan bakar fosil, misalnya: gas alam, minyak bumi dan batu bara, adalah sumber energi yang paling banyak digunakan karena memiliki

Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an, Hadis-hadis yang mengambarkan perilaku Nabi Muhammad dalam kehidupan dan kehidupan para sahabat, telah memotivasi lahir dan

In lumbar degenerative disc patients, the intervertebral disc has a wide range of presentations including changes in disc height, endplate, and within the disc, simoultaneously.

Untuk proses analisa bentuk komponen mesin masalah dimensi benda, perusahaan tidak menggunakan teknik yang benar dalam pengambilan data benda ukur.. Selama ini, pengambilan data