• Tidak ada hasil yang ditemukan

SADAR HUKUM di wilayah mangkang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SADAR HUKUM di wilayah mangkang "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SADAR HUKUM A . Latar Belakang

Hukum yang dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam masyarakat yang bertujuan merealisasikan terbentuknya sebuah masyarakat yang nyaman dan berkeadilan, terkadang oleh segelintir orang tidak diindahkan sebagaimana yang dimaksud di atas. Tidak jarang hukum itu dicederai, dilanggar bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang yang memang mempunyai kepentingan, atau orang yang masih menganggap tidak pentingnya sebuah hukum yang ada di masyarakat.

Para pelaku-pelaku pelanggar ataupun pencedera hukum inilah yang dalam kajian sosiologi hukum dapat disebut sebagai orang-orang yang tidak sadar dan tidak patuh hukum. Dan makalah ini membahas tentang kesadaran dan kepatuhan hukum dengan kaitannya dalam masyarakat sosial.

B . Pengertian Kesadaran dan Kepatuhan Hukum

1. Kesadaran berasal dari kata sadar. yang berarti insaf , merasa, tahu atau mengerti . Menyadari berarti mengetahui, menginsafi, merasai. Kesadaran berarti keinsafan, keadaan mengerti, hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang.

Kesadaran hukum dapat berarti adanya keinsyafan, keadaan seseorang yang mengerti betul apa itu hukum, fungsi dan peranan hukum bagi dirinya dan masyarakat sekelilingnya.

2. kepatuhan berasal dari kata patuh. Yang berarti tunduk, taat dan turut. Mematuhi berarti menunduk, menuruti dan mentaati. Kepatuhan berarti ketundukan,ketaatan keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau sesorang. Jadi, dapatlah dikatakan kepatuhan hukum adalah keadaan seseorang warga masyarakat yang tunduk patuh dalam satu aturan main ( hukum ) yang berlaku.

Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada . Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.

a. Kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Indicator kesadaran hukum: 1. Pengetahuan hukum.

2. Pemahaman hukum. 3. Sikap hukum.

4. Pola perilaku hukum.

b. kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengan dukungan sosial. Faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum:

(2)

Kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.

2. Identification:

Terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut.

3. Internalization.

Seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.

C . Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Dalam Budaya Hukum Indonesia

Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama. Namun kalau dilihat secara materiil, sungguh sulit membangun budaya hukum di negeri ini. Sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum

merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku. Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut.

Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu ?. kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesetiaan masyarakat atau subyek hukum itu terhadap hukum yang kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata patuh pada hukum. Secara a contra-rio masyarakat tidak patuh pada hukum karena masyarakat tersebut dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara kesetiaan yang satu bertentangan dengan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada kesetiaan terhadap hukum atau kesetiaan terhadap “kepentingan pribadinya” yang bertentangan dengan hukum, seperti banyaknya

pelanggaran lalu lintas, korupsi, perbuatan anarkisme, dll. Apalagi masyarakat menjadi berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum tidak mempunyai kewibawaan lagi,dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik. Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum. Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum.Jika kita sudah konsisten

(3)

melalui hukum rimba atau kekerasan fisik.

Oleh karenanya hukum harus memiliki kewibawaannya dalam menegakkan supremasi hukum agar masyarakat dapat menghormatinya dalam wujud kepatuhannya terhadap hukum itu sendiri. Dengan demikian perlunya membangun budaya hukum merupakan suatu hal yang hakiki dalam negara hukum, dimana hukum harus dapat merubah masyarakat untuk menjadi lebih baik, lebih teratur, lebih bisa dipercaya untuk memperjuangkan hak dan keadilan, lebih bisa

menciptakan rasa aman. Semoga..!!

Dinamika Kompilasi Hukum Islam

Dinamika Kompilasi Hukum Islam: Dalam Bingkai Hukum Negara Modern(Kajian Penerapan Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan) [1]

Oleh : Pamela Maher Wijaya[2] Abstraksi

(4)

perspektif Etika dan Pemerintahan. Yaitu dilihat dari 3 aspek; Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi) dan Aspek Penegakan Hukum (Law enforcement).

Key word : Kompilasi Hukum Islam, Hukum Modern, Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan.

A. Pendahuluan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum dimaksud, berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam

pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia.[3] Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras.

Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi – substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apa pun

Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamiy , atau dalam konteks tertentu disebut al-syari’ah al-islamiy. Istilah ini dalam literatur Barat dikenal dengan idiom islamic law.[4] T.M. Hasbi Ash-Shidieqy mengutip pendapat Syeikh Mahmud Syaltut, bahwa syari’at atau hukum islam adalah hukum-hukum dan tata aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk diikuti dan dilaksanakan dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan manusia sesamanya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Rasul-Nya, Ijma’ sahabat dan Ijtihad dengan perantara qias, qarienah, tanda-tanda dan dalil-dalil.[5] Kalau kita lihat di dalam aspek politik hukum Islam adalah membangun tata cara kehidupan dan

penghidupan yang diatur dan damai, berdasarkan hukum-hukum perdamaian yang harus terus menerus diperjuangkan.[6]

Penetapan hukum Islam mempunyai herarki, yaitu yang paling utama merujuk Al-Qur’an, kemudian Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dalam konteks hukum modern pun herarki yang paling puncak adalah berdasarkan ketuhanan. Hal ini diungkapkan oleh Thomas Aquinas, Thomas Aquinas menentukan posisi hukum kodrat dalam struktur hirarki hukum. Pertama, Puncak dari herarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta. Kedua, di bawah hukum abadi adalah hukum kodrat, tidak lain adalah partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi.[7] Ketiga, di bawah kodrat adalah hukum positif atau hukum buatan manusia.[8]

(5)

mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani, dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Gazali, diteruskan oleh Izzuddin ibn Abd al-Salam. [9]

Basis teori ini secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan

dileberalisasikan oleh Najamuddin at-Tufi. Kajian utama dalam teori maqasid al-syari’ah adalah mengenai tujuan hukum islam yang diwujudkan dalam bentuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.[10] Oleh karena itu, formulasi dan rekonstruksi peraturan

perundang-undangan, tawaran teoritis dan metode ijtihad apapun dalam menyelesaikan

persoalan-persoalan hukum islam harus mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum dalam hubungan ini adalah persoalan-persoalan hukum kontemporer yang menyangkut bidang mu’amalah.

Penerapan hukum Islam di Indonesia, dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi masalah. Selain itu, dari aspek kemajemukan masyarakat bangsa, hukum yang berlaku juga sebaiknya menganut sistem hukum nasional yang bersifat majemuk (pluralistic).

[11] Secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama sekali kekuasaan negara. Indonesia bukannya sebuah negara Islam tetapi sebuah negara nasional yang tidak memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam, tetapi juga pada umat-umat agama yang lain.

Secara faktual umat Islam Indonesia bukan hanya sekedar merupakan kelompok mayoritas di Indonesia tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari umat Islam di dunia. Hukum Islam menempati posisi sangat strategis bukan saja bagi umat islam indonesia tetapi bagi dunai Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia, untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam bingkai sistem hukum nasional

diperlukan hukum yang jelas dan dilaksnakan baik oleh para aparat penegak hukum ataupun oleh masyarakat. Untuk itu munculah gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam (bingkai sistem hukum nasional) untuk menjembatani penerapan hukum Islam di Indonesia.

Penerapan hukum Islam di Indonesia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pasca-orde baru, polemik seputar posisi syari’alt Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai dua pendekatan ekstrem. Di satu sisi, mereka yang menghendaki penerapan total syari’at lewat jalur negara.[12] Di sisi lain ada kalangan yang menginginkan untuk menolak apa pun yang bernuansa syari’at dari institusi negara.[13]

Untuk mendeskripsikan polemik tentang penerapan hukum Islam di indonesia dalam bingkai hukum negara modern bisa digambarkan dengan Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan. Penerapan hukum islam (kompilasi Hukum Islam) dalam perspektif etika politik dan

pemerintahan dilihat dari 3 aspek : Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi), dan Aspek Penegakan hukum (Law Enforcement).

B. Dinamika Regulasi Kompilasi Hukum Islam (KHI)

(6)

memahami serta melaksanakan hukum Islam dalam konteks hukum nasional atau memasukkan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Permasalahan ini menyebabkan polarisasi tentang proses legislasi hukum Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, bahwa antara agama dan negara perlu ada pemishan secara tegas.[14] Pendapat kedua, bahwa hukum Islam menjadi bagian dari hukum nasional baik simbol maupun substansi.[15] Akhir-akhir ini yang kemudian berhasil memunculkan UU tentang Perbankan Syari’ah.

Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.

1. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam.

Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh

mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi

pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan Suras Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983. [16]

Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan

pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).[17] Sehinga sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama.

2. Landasan Yuridis.

Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang karena menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah

maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.[18]

3. Landasan fungsional.

(7)

telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat

mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.[19]

C. Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool of social enginering”[20]Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Instutusi (organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.

Peradilan dan Hakim-Hakim Agama.

Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 hanya terdiri dua pasal, yaitu pasal 24 dan pasal 25. kemudian Undang-undang organik selanjutnya yang menjabarkan pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 tersebut adalah UU No. 14/1970 yang menentukan adanya empat lingkungan peradilan, yaitu: umum, agama, militer, dan tata usaha negara.[21]Peranan dari para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai ’mulut dari kompilasi’ akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.

Sehingga peradilan Agama secara legalistik berdasarkan pasal 10 UU No 14 Tahun 1970, telah diakui secara resmi sebagai salah satu pelaksana Judicial Power dalam negara hukum Republik Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Majelis Ulama indonesia (MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin)

(8)

Pemerintah (dari atas) menginginkan ulama membuat masyarakat mengerti dan turut atas kebijakan pemerintah, sedangkan masyarakat (dari bawah) mendesak ulama untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.[23]

Lembaga – Lembaga Hukum dan Fatwa dari Organisasi Islam.

Peranan dari lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama dan laim-lain perlu lebih

ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam. Namun juga perlu dijaga jangan sampai terjadi lahirnya berbagai fatwa hukum yang bersifat sangat kontraversial dan dapat membingungkan umat.[24]

Lembaga Pendidikan Tinggi.

Kegiatan penelitaian di bidang Hukum Islam harus lebih digalakan. Lembaga pendidikan sebagai media intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas berjalannya Kompilasi Hukum Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan Kompilasi Hukum Islam.[25]

Lembaga- Lembaga Penelitian dan Pengkajian Pemerintah.

Lembaga- lembaga penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama dan lain sebagainya sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan pengkajian masalah-masalah hukum islam yang berskala nasional.[26]

Media Massa.

Peranan media massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi ilmiah dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga berperan sebagai kontrol terhadap berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. [27]

Penegakan Hukum Islam (rule of law) dalam bingkai Keindonesiaan.

Satu segi dari proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau penegakan hukum yang biasa juga diidtilahkan dengan Law Enforcement. Sebaik-baik materi peraturan, hukum tidak akan bermanfaat kalau segi penegakannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penegakan hukum yang benar.

Kompilasi Hukum Islam sebagi bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat

(9)

Penegakan Hukum Islam dideskripsikan dengan realisasi Kompilasi Hukum Islam. Pembentukan Kompilasi hukum Islam merupakan penjabaran dari pasal 49 Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pasal 49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, untuk mewujudkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan hukum islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.[28]

Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa tunduk

mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak pemeluknya, tetapi ditunjuk seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan pelaksanaan penerapannya. Dengan adanya seperangkat jajaran penguasa dan instansi kekuasaan negara yang ikut campur mengawasi pelaksanaannya, sepanjang hal-hal yang mnyangkut bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan, telah diangkat sebagai aturan yang menyangkut ketertiban umum.

Dengan demikian, kelahiran KHI sebagi hukum positif dan unifikatif, maka praktik private affairs disingkirkan. Sejak KHI lahir dimulai sejarah baru di Indonesia, yang mengangkat derajat penerapan hukum Islam sebagai hukum perdata yang resmi dan bersifat publik yang dapat dipaksakan penerapannya oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama. Adanya pemerataan ke arah paham yang menempatkan hukum Islam yang diatur dalam KHI sebagai hukum perdata yang resmi dan positif, yang memiliki sanksi yang dapat dipaksakan oleh lat kekuasaan negara, sungguh masih berat. Sampai sekarang masih banyak dijumpai kasus perceraian (talak) liar di luar pengadilan. Masih terjadi hal-hal yang lain tidak melalui prosedur hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lia Z Ansor

Suatu ketika, Abdurrahman Ibnu Umar tidak sengaja dan tanpa sepengetahuannya, meminum minuman yang memabukkan. Dengan keadaan menyesal, Abdurrahman menghadap Gubernur Mesir untuk dijatuhi hukuman sebagaimana mestinya, yakni dicambuk dan digunduli di depan khalayak ramai.

(10)

tidak mau, ia mengancam akan melaporkannya kepada ayahnya.

Dengan berat hati, gubernur pun mengeksekusi Abdurrahman sebagaimana aturan yang berlaku waktu itu. Namun, hal ini dilakukan hanya di dalam rumah gubernur, bukan di depan massa.

Singkat cerita, tanpa berniat melaporkannya, ternyata kabar itu menyebar dan akhirnya sampailah ke telinga Umar bin Khattab, yang tiada lain adalah kepala negara sekaligus ayah kandung Abdurrahman Ibnu Umar.

Kemudian Umar bin Khattab mengirim surat kepada gubernur atas perlakuan

istimewanya kepada putranya. ''Engkau mencambuk dan mencukur Abdurrahman di dalam rumahmu. Engkau tahu, hal ini menyalahi aturanku. Abdurrahman tidak lain adalah salah seorang dari rakyatmu yang seharusnya engkau perlakukan

sebagaimana warga negara lainnya.''

''Tapi engkau berpendapat bahwa Abdurrahman adalah putra Amirul Mukminin. Bukankah engkau telah mengetahuinya bahwa bagiku tidak ada suatu perlakuan istimewa untuk seorang pun di hadapan hak Allah yang harus

dipertanggungjawabkan.''

Gubernur sangat paham maksud isi surat tersebut dan segera memulangkan Abdurrahman seperti yang diperintahkan kepala negara. Kemudian Umar bin Khattab menghukum kembali putranya meski kondisi Abdurrahman pada saat itu masih belum pulih dari hukuman sebelumnya.

Begitu mulianya sikap anak dan ayah ini yang sangat mafhum terhadap posisinya sebagai orang yang melakukan kesalahan. Di sisi lain, kecintaan Umar bin Khattab terhadap putranya tidak serta-merta membebaskan putranya dari ancaman

hukuman, justru ia sendiri yang menghukumi putranya agar terbebas hukuman di akhirat dan sebagai bukti bagi rakyatnya bahwa ia tidak membeda-bedakan status dalam penegakan hukum.

Jika semua pejabat pemerintah dan rakyatnya sadar serta menjunjung tinggi

hukum, tidak ada lagi kesenjangan perlakuan hukum dan ketenteraman hidup akan terwujud. Wallahu’alam.

KESADARAN HUKUM

(11)

Pengantar Materi Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kesadaran seseorang akan pengetahuan bahwa suatu perilaku tertentu diatur oleh hukum. Kesadaran hukum pada titik tertentu diharapkan mampu untuk mendorong seseorang mematuhi dan melaksanakan atau tidak melaksanakan apa yang dilarang dan atau apa yang diperintahkan oleh hukum. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran hukum merupakan salah satu bagian penting dalam upaya untuk mewujudkan penegakan hukum.

Akibat dari rendahnya kesadaran hukum masyarakat adalah masyarakat yang tidak patuh terhadap peraturan hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan oleh rendahnya kesadaran hukum tersebut bisa menjadi lebih parah lagi apabila melanda aparat penegak hukum dan pembentuk peraturan perundang-undangan. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya upaya penegakan hukum dan kondisi sistem dan tata hukum yang ada.

Pengertian Kesadaran Hukum

Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH, dalam tulisannya menjelaskan bahwa terdapat kaitan yang sangat erat antara hukum dan kesadaran hukum. Lemaire menyatakan bahwa salah satu faktor dalam penemuan hukum adalah kesadaran hukum sementara Krabbe menyatakan lebih jauh lagi bahwa kesadaran hukum merupakan sumber dari segala sumber hukum.

Scholten berpendapat bahwa kesadaran hukum adalah kesadaran yang terdapat pada setiap manusia tentang apa hukum itu dan apa seharusnya hukum itu. Masih menurut scholten, bahwa kesadaran hukum merupakan suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht) serta antara yang seyogyanya dan tidak seyogyanya untuk dilakukan.

Kesadaran hukum mengenai apa hukum itu adalah kesadaran bahwa hukum itu penting karena memberikan perlindunga terhadap berbagai kepentingan manusia. Berbagai macam kepentingan manusia yang hidup dalam suatu masyarakat memiliki potensi untuk saling bertentangan hingga dapat terjadi konflik yang kemudian merugikan salah pihak dan bahkan mungkin merugikan kepentingan masyarakat.

(12)

Kesadaran Hukum VSÂ Kepatuhan Hukum

Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum merupakan sesuatu yang berbeda. Kesadaran hukum yang dimiliki oleh seseorang tidak serta merta membuat seseorang tersebut akan patuh terhadap hukum. Kesadaran dan kepatuhan hukum bisa dikatakan tidak identik satu sama lain.

Drs. M. Sofyan Lubis, SH dalam tulisannya mengenai kesadaran hukum dan kepatuhan hukum menyatakan bahwa kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah kesetiaan yang dimiliki seseorang sebagai subyek hukum terhadap peraturan hukum yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata. Sementara kesadaran hukum masyarakat merupakan sesuatu yang masih bersifat abstrak yang belum diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata untuk memenuhi kehendak hukum itu sendiri.

Banyak diantara masyarakat yang sesungguhnya telah sadar akan pentingnya hukum dan menghormati hukum sebagai aturan yang perlu dipatuhi, baik itu karena dorongan insting maupun secara rasional. Namun secara faktual, kesadaran tersebut tidak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari atau dalam praktek yang nyata.

Kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat tersebut dapat dengan mudah luntur oleh perilaku oportunis yang memungkinkan seseorang untuk bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar baik materil maupun immateril jika tidak patuh terhadap hukum. Dalam hal ini kepentingan seseorang tersebut akan lebih banyak terakomodir dengan tidak patuh terhadap hukum meskipun harus merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan orang banyak.

Oleh karena itu kesadaran hukum mesti terus didorong untuk ditingkatkan menajdi kepatuhan hukum sehingga konsepsi ideal mengenai kesadaran hukum masyarakat dapat diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh waktu ageing l arutan sol uranium pada suhu ruangan terhadap perubahan viskositas larutan sol uranium, hasil peptisasi campuran larutan uranil nitrat pada pH

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku menggosok gigi dan mengkonsumsi makanan kariogenik dengan kejadian jenis- jenis karies gigi

pada kadar air minyak dan FFA tidak efektif untuk memperbaiki kualitas minyak, namun untuk angka peroksida dan angka yodium sedikit menyumbangkan perbaikan dibandingkan

Terdapat perbedaan kadar trigliserida antara kelompok diet standar ad libitum dengan kelompok diet tinggi minyak sawit maupun kelompok diet tinggi minyak sawit +

(5) Usul pemberhentian Geuchik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f disampaikan oleh pimpinan Tuha Peuet Gampong berdasarkan keputusan

This gender only have 2 (two) answer, man or woman. Thus, the incorrect information will be effect to next attribute which will be given to him. Every native people in an area or

Pada sipilis dan gonore obat yang tepat adalah obat sipilis terutama yang berjenis herbal.. Jika ke dokter maka akan di beri obat antibiotik, baik berbentuk kaplet

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PRAKTIKUM (LKP) KENAIKAN TITIK D IDIH LARUTAN ELEKTROLIT BERBASIS INKUIRI TERBIMBING PAD A PROSES PEREBUSAN TELUR PUYUH.. Universitas Pendidikan Indonesia