• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter Bangsa yang berBhineka Tunggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Karakter Bangsa yang berBhineka Tunggal"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

382

Karakter Bangsa yang berBhineka Tunggal IKa: Peran PPKn dalam Merivitalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum 2013.

Oleh: Candra Cuga1

Yuliadhani

Abstrak

Dalam konteks kekinian bila melihat kebijakan nasional dalam upaya pelaksanaan kurikulum 2013. Hal ini merupakan momentum untuk kembali mengkaji (revitalisasi) dan mengartikulasikan berbagai persoalan bangsa, terutama dalam kaitannya moralitas warga negara yang kian jauh dari cita-cita dan falasafa Pancasila sebagai rujukan hakekat kenegaraan dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Tentu saja, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila melalui sistem pendidikan nasional di setiap jenis, jenjang, dan jalur pendidikan melalui PPKn itu sendiri. Adanya kurikulum PPKn 2013 menuntut perlunya penghayatan baru kita terhadap PPKn sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada

gilirannya dapat menumbuhkan “civic intelligence” dan “civic participation” serta

“civic responsibility” sebagai anak bangsa dan warga negara Indonesia yang mampu mengembangkan rasa nasionalisme yang tinggi yakni manusia Pancasilais.

Kata Kunci: PPKn, Kurikulum 2013, Pancasila, Karakter Bangsa

Pendahuluan

Dinamika demokratisasi yang terjadi dalam negara Indonesia yang dibayangi oleh isu-isu global kontemporer ikut berpengaruh terhadap eksistensi dan relevansi ideologi dalam menata kehidupan yang kian tidak menampakkan batas-batas wilayah sehingga muncul warga non state atau lebih dikenal dengan netcitizen atau bahkan global citizen. Selain itu, isu-isu global kontemporer atau globalisasi juga mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologi baik universal maupun lokal tetapi pada pihak lain, nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar (crude), semacam ethno-nationalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Indonesia sebagai negara bangsa yang memiliki karakteristik masyarakat yang multicultural bahkan plural menjadi tantangan tersendiri untuk tetap terintegrasi pada bingkai kesatuan yang berBhineka tunggal Ika.

Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia berikutan dengan krisis moneter, ekonomi dan politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis, common platform dan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi. Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa

(2)

383

melalui Penataran P4. Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan politik. Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra, 2008: 3).

Padahal sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) Negara, pandangan hidup, ideology nasional, dan ligature (pemersatu) dalam perikehidupan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Dengan demikian, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dimanis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya seperti itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan huluan keselamatan bangsa. Soekarno melukiskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia itu secara padat dan meyakinkan:

Tetapi kecuali Pancasila adalah satu Weltanschaung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Marauke hanyalah dapat bersatu pada diatas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk diatasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutam sekali, imprealisme. Perjoangan suatu bangsa, perjoangan melawan imprealisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangannya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya (Soekarno dalam Latif Y, 2011: 41)

Pernyataan yang diungkapkan oleh Soekarno dalam melukiskan urgensi Pancasila memberi ilustrasi bahwa Negara Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, dan mempunyai landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan visioner. Ini merupakan titik tolak dari sebuah tujuan dan cita-cita yang fundamental bagi peradaban suatu bangsa. Pentingnya konsepsi dan cita-cita ideal sebagai landasan moralitas suatu bangsa diamini oleh salah satu cendekiawan dan

politisi Amerika Serikat Jhon Gardner “No nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain

a great civilization” (Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika

(3)

384

Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setip Sila memiliki nilai-nilai luhur yang merupakan pengejewantahan dari justifikasi historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati, dipercaya, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaiaan-pencapaian sebuah peradaban bangsa.

Kini permasalahannya adalah bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila-sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada bahasan ini, yang diperlukan adalah bagaimana merevitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai gerakan massif dan menajadi agenda nasional yang terencana dan epektif serta tepat sasaran. Baik melalui saluran politik, ekonomi, social, budaya maupun dalam dunia Pendidikan.

Dalam konteks makalah ini, penulis ingin membatasi ruang lingkup bahasannya dengan mencoba menelaah dan mengkaji lebih jauh bagaimana peran bidang Pendidikan khususnya bidang kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai wahana merevitalisasi nilai-nilai Pancasila untuk manakar karakter bangsa yang berBhineka Tunggal Ika.

PPKn sebagai wahana revitalisasi nilai-nilai Pancasila

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan salah satu bidang kajian dalam konteks pendidikan nasional yang memiliki peran strategis bagi pembentukan karakter bangsa (nation and character building) ditengah heterogenitas masyarakat Indonesia. Realitas pluralitas dan heterogenitas tesebut tergambar dalam prinsip berbhineka, tetapi integrasi dalam kesatuan. Untuk itu, PKn menemukan momentumnya menjadi topik sentral dalam membangun negara bangsa Indonesia. Dengan demikian, Masyarakat multikultural Indoensia tidak bisa dibangun secara taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi yang bisa dilakukan dalam konteks tersebut adalah melalui PPKn (Candra, 2012:1).

Hal ini tentu saja bukan hal baru untuk didiskusikan dalam wacana akademik, akan tetapi menjadi urgen dalam konteks kekinian bila melihat kebijakan nasional dalam upaya pelaksanaan kurikulum 2013. Hal ini merupakan momentum untuk kembali mengkaji dan mengartikulasikan berbagai persoalan bangsa, terutama dalam kaitannya moralitas warga negara yang kian jauh dari cita-cita dan falasafa Pancasila sebagai rujukan hakekat kenegaraan dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Tentu saja, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkewajiban menyelenggarakan pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila melalui sistem pendidikan nasional di setiap jenis, jenjang, dan jalur pendidikan melalui PPKn itu sendiri.

(4)

385

pembelajaran problem based learning, discovery, dan project based learning. Hal ini dilakukan agar pendidikan Pancasila tidak hanya pada tataran teori, namun praktek dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari harus ditampilkan semenarik mungkin (Etin Solihatin, 2013: 6)

Hemat penulis, perubahan nama mata pelajaran PKn menjadi PPKn

memang merupakan sebuah “niat baik” sebagai upaya meyakinkan kepada kita

akan pentingnya Pancasila sebagai landasan filosofis bagi bidang kajian PPKn, tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang amat krusial. Hal yang paling esensi adalah bagaimana peran pendidik (guru dan dosen) dengan “cermat dan cerdas” melaksanakan proses pembelajaran di sekolah/perguruan tinggi melalui beragam media, stategi dan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif serta sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik dalam membentuk karakter yang berBhineka Tunggal Ika yang tidak lain wujudnya adalah karakter Pancasila itu sendiri.

Memang patut disadari bahwa dalam konteks kenegaraan setiap rezim dan pemimpin memiliki ”dialektika” dalam membangun bangsa tidak terkecuali dalam kaitannya kebijakan nasional dalam bidang politik maupun pendidikan. Tiga periodesasi yang dialami oleh bangsa Indonesia berpengaruh dalam tatanan politik, hukum, ekonomi termasuk pendidikan itu sendiri. Bahkan UUD 1945 sebagai salah satu pilar bangsa mengalami amandemen yang menjadi bagian dari dianamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, perubahan bukan sekedar perihal nama semata, asal beda dari masa lalu, melainkan pada tataran substansi kajian serta kinerja dan yang paling esensi adalah perubahan dalam implementasi proses pembangunan perilaku serta karakter warga negara yang cerdas dan baik (good and smart citizen).

Secara teoritis, dampak perubahan mendasar dalam konstitusi sebuah negara- bangsa dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini pernah dikemukakan oleh para ahli politik, seperti Aristoteles (dalam Barker,1995:90) yang mengemukakan bahwa secara konstitusional

“...different constitutions require different types of good citizen... because there are different sorts of civic function,” sedangkan Cogan dalam (Sapriya:2012: 51) mengidentifikasi lima atribut kewarganegaraan yang mungkin akan berbeda di tiap negara sesuai dengan sistem politik dan konstitusi negara masing-masing, yakni: (1) a sense of identity; (2) the enjoyment of certain rights; (3) the fulfilment of corresponding obligations; (4) a degree of interest and involvement in public affairs; and (5) an acceptance of basic societal values. Bagi Indonesia, pembangunan karakter kewarganegaraan akan memiliki kekhususan sesuai dengan ideologi yang dianut, yakni Pancasila dan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, ialah UUD Negara RI 1945. Warga negara Indonesia yang baik yang dicita-citakan/diharapkan adalah warga negara yang patriotik, demokratis, dan Pancasilais (Sapriya, dkk:2012: 51).

(5)

386

pelajaran pun telah ditawarkan, baik yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah untuk jangka waktu tertentu maupun berdasarkan pada tuntutan perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat. Salah satu bidang kajian yang telah menjadi program pendidikan dan ditawarkan di Indonesia yang tetap eksis hingga kini adalah PPKn. Bidang kajian ini secara akademik dikenal sebagai Civic Education atau Citizenship Education. Bagaimana rasionalisasi bidang kajian PPKn sehinggga masih senantiasa relevan dengan kebutuhan dan tuntutan bagi bentukan karakter bangsa yang berBhineka Tunggal Ika?

Civic education atau PPKn sebagai suatu bidang kajian ilmiah dan sistem pembelajaran didasarkan pada paradigma pendidikan yang bertolak dari, dikembangkan dengan kerangka, dan bermuara pada perwujudan cita-cita, nilai dan prinsip nasionalisme ke Indonesiaan, dengan menitikberatkan pada pengembangan warga negara yang mampu dan terbiasa mengambil keputusan yang cerdas dan bernalar.

Secara paradigmatik maka dapat dikatakan bahwa sistem PPKn memiliki tiga komponen, yakni (a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b) program kurikuler PPKn; dan (c) gerakan sosial-kultural kewarganegaraan, yang secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan.

Apabila dilihat secara filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis, PPKn memegang misi suci (mission sacre) untuk pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Winataputra dan Budimansyah, 2007:156). Hal tersebut dapat ditelusuri dari rumusan pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara imperatif menggariskan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kebangsaan atau pendidikan karakter bangsa. Semua imperatif atau keharusan itu menuntut perlunya penghayatan baru kita terhadap pendidikan kewarganegaraan atau PPKn sebagai suatu konsep keilmuan, instrumentasi, dan praksis pendidikan yang utuh, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan

(6)

387

Disamping itu, PPKn sebagai pendidikan disiplin ilmu dengan identitas bidang kajian eklektik yang dinamakan “an integrated system of knowledge”,

“synthetic discipline”, “multidimensional”, dan “kajian konseptual sistemik” memiliki ontologi yang terdiri atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai landasan pokok, Pancasila sebagai landasan filosofis, UUD 1945 sebagai landasan normatif, dan perilaku warga negara sebagai landasan psikologis sedangkan landasan material meliputi nusantara, manusia sebagai pribadi, kekayaan alam dan budaya, kesadaran sebagai manusia, dan jatidiri sebagai bangsa. Secara fungsional, PPKn memiliki dua tugas, yakni (1) tugas dalam bidang telaah untuk membangun body of knowledge sesuai dengan karakteristiknya sebagai scientific boundary line pendidikan disiplin ilmu yang dikembangkan secara fungsional dan/atau hirarkhi dan (2) tugas dalam bidang pengembangan untuk transformasi konsep, nilai, cita-cita, dan keterampilan hidup berkewarganegaraan (Wahab dan Sapriya, 2011)

Apabila menelaah bahasan di atas PPKn sebagai program kurikuler dapat menjadi wadah dalam merivitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai upaya pembentukan karakter bangsa yang berBhineka Tunggal Ika. Dalam Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa (2010: 7) menyebutkan bahwa karakter bangsa

merupakan “kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang unik-baik tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau

sekelompok orang”. Sehingga individu yang telah dijiwai oleh sila-sila Pancasila melaksanakan nilai-nilai berikut :

1. Karakter yang bersumber dari olah hati, antara lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab berempati, berani, mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik

2. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi ipteks dan reflektif

3. Karakter yang bersumber dari olah raga antara lain: bersih, sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih

4. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain, kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air, bangga mengunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja (Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa, 2010: 22).

Upaya membentuk karakter bangsa pada dasarnya adalah proses pewarisan nilai-nilai, cita-cita, dan tujuan nasional yang tertera dalam konstitusi negara serta pesan para pendiri negara (the founding fathers). Pancasila yang memiliki nilai-nilai yang sangat fundamental untuk dikenalkan, dipahamkan dan

(7)

388

Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spritualitas (yang bersifat vertical-transendental) dianggap penting sebagai fundamental kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah Negara sekuler yang

ekestrem, yang memisahkan “agama” dan “negara” dan berpretensi untuk menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas… sebagai negara

yang dihuni oleh penduduk dengan multi agama dan mutikeyakinan, negara Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan…

Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusian universal yang bersumber dari hokum Tuhan, hokum alam, dan sifat-sifat social manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan dunia itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, Bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban

dunia…”. Kedalam, bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab”.

Ketiga, menurut alam pemikiran Pancasila, dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaa, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekpresikan persatuan dalam keberagaman, dan keberagaman dalam persatuan, yang dalam slogan negara dinyatakan

dengan ungkapan “bhineka tunggal ika”…

Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusian serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikamat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik dengan kesetaraan ekonomi yang

menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka “musyawarah mufakat”…

Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusaian, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan social. Di satu sisi, perwujudan keadilan social itu harus mencerminkan imperative etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otentisitas pengalaman sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan social dalam

prikehidupan kebangsaan… (Latif Y, 2011: 42-45)

(8)

389

1. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa Prinsip ini meminta masyarakat Indonesia mengakui keberadaan Tuhan, dengan kata lain prinsip percaya pada Tuhan YME mencerminkan kepercayaan rakyat Indonesia terhadap kehidupan setelah hidup di dunia atau alam baka… Ciri-ciri manusia seperti di atas adalah pencerahan, toleransi, berpandangan luas, hormat, kerjasama, harmonis, keadilan, kebenaran, kewajaran, kenetralan dan kebijaksanaan. Monoteisme diasumsikan dalam keyakinan ini.

2. Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab berharap manusia untuk diperlakukan secara bermartabat sesuai dengan makhluk ciptaan Tuhan. Tujuan utama dari keyakinan ini adalah keselarasan antara nasional dan internasional... Jika dalam pandangan Tuhan semua manusia sama. Kalau begitu pasti terdapat persaudaraan diantara mereka. Ciri-ciri manusia seperti di atas adalah kelurusan moral, tidak berpihak terhadap politisi, kesadaran global, penghormatan terhadap rakyat lain, komitmen untuk kebenaran dan keadilan, bermartabat dan kemanusiaan.

3. Prinsip Persatuan Indonesia mempromosikan tentang nasionalisme, cinta tanah air dan kebutuhan untuk selalu memelihara kesatuan negara dan mempromosikan integrasi nasional. Tujuan utama dari keyakinan ini adalah menjaga keserasian nasional dan dunia berdasarkan pada kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian dunia. Ciri-ciri manusia seperti diatas yakni sikap nasionalis, cinta tanah air, saling menolong, pengorbanan diri, keberanian, perdamaian dan tanggung jawab.

4. Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmad Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menekankan bahwa demokrasi Pancasila

yang terinspirasi dan menyatu dengan prinsip lain Pancasila…Tujuan

utama dari keyakinan ini untuk mendirikan, menjaga dan meningkatkan kesepakatan demokrasi untuk pembangunan bangsa dan negara. Rakyat Indonesia percaya bahwa pernyataan berikut ini benar

”bahwasanya manusia itu berdaulat”, dan mereka mewakilkan

kedaulatan meraka pada Dewan Perakilan Rakyat yang mereka pilih. Setiap rakyat diharapkan untuk memiliki kepercayaan di masyarakatnya dan percaya pada kesederajatan objektivitas dan kejujuran.

(9)

390

falasafah yang memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat, sehingga apabila dipahami secara mendalam, diyakini secara teguh, dan diamalkan secara konsisten diyakini dapat membentuk karakter bangsa yang Berbhineka Tunggal Ika. Dengan demikian pokok-pokok moralitas, prinsip dan nilai-nilai Pancasila harus mampu diimpelmentasikan dalam kurikulum PPKn 2013 sebagai wadah membentuk good and smart citizen.

Guru dalam Kurikulum 2013 dan Guru sebagai Hidden Curriculum

Berdasarkan hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 27-29 Mei 2011, dengan 12.056 responden yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, pengusaha, tokoh masyarakat, TNI, POLRI dan lainnya, di 33

provinsi. Adapun pertanyaan yang diajukan “Bagaimana cara yang tepat untuk memahami Pancasila?” Hasilnya 30% melalui pendidikan, 19% keteladanan

pejabat negara dan pemerintah, 14% keteladanan tokoh masyarakat, 12% melalui media massa, 10% ceramah keagamaan. Pertanyaan selanjutnya “Siapa yang

paling tepat melakukan edukasi dan sosialisasi Pancasila?” Hasilnya 43%

responden menyatakan para guru dan dosen, 28% tokoh masyarakat dan pemuka agama, 20% badan khusus pemerintah, 3% elit politik. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa dunia pendidikan termasuk di dalamnya guru dan dosen sebaiknya menjadi ujung tombak dalam revitalisasi (menghidupkan atau menggiatkan kembali) nilai-nilai Pancasila. Namun dalam melakukan revitalisasi harus didukung, difasilitasi oleh semua unsur dalam negara ini (tidak bisa sendirian), baik lembaga negara, pejabat negara, pemerintah, tokoh masyarakat, pemuka agama, dan media. Dengan demikian secara bersama-sama melaksanakan revitalisasi nilai-nilai Pancasila di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. (Etin Solihatin, 2013: 8).

(10)

391

1. Kurikulum pendidikan dan materi satuan ajar atau materi satuan acara perkuliahan;

2. Kebijakan kegiatan belajar mengajar yang mempraktikkan dan menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.

3. Di samping itu, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 harus pula dicontohkan dalam teladan perilaku para guru, pengurus sekolah, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan semua pihak yang mempunyai kedudukan menentukan atau lebih menentukan, sehingga orang lain dapat belajar mengenai bagaimana nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 diterapkan dalam perilaku nyata dalam kegiatan praktik. (Asshiddiqie, 2011:12-13).

Pemikiran dan gagasan yang diungkapkan oleh beberapa kalangan terkait dengan pentingnya peran Pendidikan untuk melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila dapat ditemukan jawabannya dalam naskah akademik yakni kurikulum 2013, tidak terkecuali bidang mata pelajaran PPKn yang juga mengalami perubahan yang cukup siginifikan sehingga dibutuhkan penelaan lebih jauh dalam menerjemahkan maksud dan cara mengimpelementasikan dalam tahapan praktis. Ini juga harus menjadi tugas dan kewajiban para pendidik, pemerhati dan penggiat PPKn sehingga tidak salah kaprah dalam mengartikulasikan kurikulum tersebut.

Berdasarkan draf Lampiran Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan baik untuk jenjang SMP maupun SMA, keluaran Puskurbuk 2012, muatan Pancasila dapat ditelusuri dari rumusan-rumasan pada Kompetensi Dasar (KD) yang merupakan penjabaran dari lebih lanjut dari Kompetensi Inti (KI). Kemudian KI inilah yang mengorganisasikan KD dalam 4 cakupan yakni KI (1) Sikap, KI (2) Sikap spiritual, KI (3) Sikap Sosial dan KI (4) Keterampilan. Ini menunjukkan luaran yang diingkinkan oleh Kurikulum 2013 yakni warga negara yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual, sosial dan emosional.

Lebih jauh, bila menulusuri draf metodologi pembelajaran dan penilaiaan PPKn tahun 2012, maka empat pilar bangsa menjadi muatan materi yang memiliki ruang lingkup Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika). Hal tersebut dapat dilihat dari substansi materi dalam PPKn yang meliputi Pancasila sebagai dasar negara, ideology dan pandangan hidup bangsa, UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kesepakatan final bentuk Negara Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika sebagai wujud filosofi kesatuan dibalik keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara bangsa. (Winarno, 2013:4).

(11)

392

yang jauh lebih besar dibandingkan dengan ranah kognetif itu sendiri yang pada kurikulum sebelumnya justru mewarnai materi dan kompetensi yang harus dicapai.

Akan tetapi, keberhasilan pembelajaran PPKn tidak hanya tergantung pada kemampuan pendidik dalam mengembangkan kompetensi dan materi pembelajaran saja, tetapi juga didukung oleh metode pembelajaran yang tepat. Pemilihan metode yang tepat dalam proses pembelajaran PKn akan sangat membantu guru maupun siswa untuk mencapai keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan.

Berkaitan dengan hal tersebut, mestinya ada sejumlah pendekatan pembelajaran yang dapat diterapakan dan dikembangkan. Pembelajaran PKn dapat menerapkan pendekatan pembelajaran orang dewasa (adult learning/andragogy). Penerapannya lebih menekankan pada paradigma humanistik, dan pengalaman belajar kontekstual (learning expriences and contextual) agar proses pembelajaran menjadi menyenangkan, lebih bermakna, dialogis, partisipatif dan kreatif. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu digunakan strategi-strategi pembelajaran yang mampu mendekatkan peserta didik pada realitas sosial, dimana peserta didik bisa menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sadar akan tanggungjawab individu dan sosial (learning to be), terdorong untuk berbuat sesuatu (learning to do) dan dapat membangun kehidupan bersama (learning to live together) (Rosyada dkk, 2004:22)

Meskipun adanya kurikulum PPKn 2013, guru sebagai hidden Currikulum menjadi sesuatu yang sangat penting dalam merivitalisasi nilaii-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran di sekolah. Sebagai kurikulum yang baru, kemampuan duru sebagai pedagok yang kreatif harus mampu mengeksplor dan mengartikulasikan kemungkinan dan alternative yang dapat ditempuh dalam mengimpelemntasikan kurikum PPKn 2013. Hal tesebut sebagaimana temuan Candra (2012) sebagai grounded theory dalam bahwa ada beberapa kompetensi atau kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dan dosen dalam melaksanakan pembelajaran PPKn sebagai wahana pendidikan multicultural dalam upaya membentuk karakter warga negara yang multicultural-Bhineka Tunggal Ika: (a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas; (b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman peserta didik; (c) memfasilitasi peserta didik dalam ruang yang demokratis; (d) mampu berkolaborasi dengan pihak mana pun dalam rangka pengembangan materi dan strategi pembelajaran (e) menguasai berbagai pendekatan dan teknik pembelajaran yang mampu megintegrasikan berbagai perbedaan peserta didik, (f) mampu menjadikan lingkungan budaya menjadi sumber belajar, (g) mampu menjadi role mode sebagai warga negara mulitkultural, dan (h) mampu sebagai hidden curriculum dalam pembelajaran. (Candra, 2012: 297). (adaptasi dari temuan penelitian tersebut).

Berbagai kompetensi guru yang ditunjukkan di atas, menjadi penting dalam menghadapi kurikulum PPKn 2013, yang masih membutuhkan waktu dan tenaga serta pemikiran dalam menangkap substansi untuk dipraktekkan dalam proses pembelajaran. Dibutuhkan kemampuan pedagok (guru/dosen) sebagai role mode dalam mendesiminasikan nilai-nilai Pancasila sebagai (nurturant effects)

(12)

393

menekan pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (content matery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja

Simpulan

Upaya untuk melakukan revitalisai nilai-nilai Pancasila dalam bidang Pendidikan merupakan langkah yang strategis untuk mewujudkan karakter bangsa yang berbhineka tunggal ika. PPKn sebagai mata pelajaran dan juga merupakan salah satu bidang kajian yang memiliki tugas dan tanggungjawab dalam membentuk good and smart citizen. Dimana misi suci (mission sacre) dari PPKn itu sendiri yakni membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. nasionalisme yang tinggi yakni manusia Pancasilais.

Daftar PUstaka

Aristotle. (alih bahasa: Ernest Barker, revisi R.F. Stanley). (1995). Politics. New York: Oxford University Press.

Asshiddiqie, J. (2011). Membudayakan nilai-nilai pancasila dan Kaedah-kaedah Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945. Kongres 1 Kongres Pancasila III, diselenggarakan atas kerjasama Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Universitas Airlangga, di Surabaya, 1 Juni, 2011 (Makalah). Diakses pada tanggal 9 desember 2013.

Azra, A. (2008). Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. (Makalah) Semula disampaikan sebagai makalah Round Table Discussion, Eksistensi Pancasila sebagai Ideologi dan Pandangan Hidup Bangsa di Tengah Pergeseran Peradaban Dunii, Lemhanas, 13 Nopember 2007.dimuat pada alamat http://www.setneg.go.id. Diakses pada tanggal 10 desember 2013. Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE.

Candra, C. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan Multikultural dalam membangun warga negara demokratis (Penelitian grounded Theory pada Universitas Negeri Jakarta. Tesis PKn SPs UPI, Bandung: tidak diterbitkan.

Etin, Solihatin, (2013). Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila di Bidang Politik,

Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Perspektif Dunia Pendidikan.” .”

MPR RI dengan Universitas Negeri Jakarta, tanggal 2 Desember 2013 di Gedung Dharma Wanita Patra Jasa Cempaka Putih (makalah). Diakses pada tanggal 10 desember 2013.

(13)

394

Pemerintah Republik Indonesia. (2010). Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025.

Rosyada, Dede, dkk . (2004). Buku Panduan Dosen Pendidikan Kewarganegaran (Civic Education). ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dan The Asia Foundation.

Sapriya dkk (ed). (2012). Transformasi 4 Pilar Kebangsaan Dalam Mengatasi Fenomena Konflik dan Kekerasan: Peran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: CV Maulana Media Grafika.

Sumantri, E. (2008). An Outline Civic Education in South-Asia.Bandung: Rajawali.

Wahab, Aziz & Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.

Winarno, (2013). Pembudayaan nilai-nilai Pancasila melalui Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah (analisis isi kurikulum PPKn 2013). Makalah disajikan pada sesi panel Kongres Pancasila di UGM, Yogyakarta, tanggal 31 Mei-1 Juni 2013. Diakses pada tanggal 10 Desember 2013.

Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007) Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa imbangan campuran WAW dan SP 50% : 50% dan 40%: 60% memberikan perbedaan pengaruh yang sangat ny ata (P < 0,01) terhadap terhadap kandungan

Undang Nomor 12 Tahun 2005 pada tanggal 28 Oktober 2005, telah melahirkan kewajiban konstitusional Negara Indonesia untuk menjunjung tinggi kewajiban internasionalnya

Penggunaan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam menentukan sebaran kesehatan pohon adalah salah satu teknik untuk pemeliharaan pohon di Jalur Hijau Kota Medan

MENURUT ORGANI SASI / BAGI AN ANGGARAN, UNI T ORGANI SASI , PUSAT,DAERAH DAN KEWENANGAN. KODE PROVINSI KANTOR PUSAT KANTOR DAERAH DEKONSEN

Oleh karena itu, untuk meyakinkan apakah 2~a yang terbentuk, merupakan basil aktivasi dari basil korosi akan diteliti lebih lanjut dengan jalan menganalisis air

Upaya yang dilakukan di setiap kebun tergantung permasalahan spesifik pada kebun, salah satu strateginya adalah meningkatkan produktivitas tanaman dengan penerapan

Untuk praktikum biologi dasar tentang sel tumbuhan dan sel hewan, alat-alat yang digunakan diantaranya sebagai berikut : mikroskop digunakan untuk melihat

Tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu bagi Tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu bagi setiap