• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korupsi dan Pendidikan Paradoks yang Ber

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Korupsi dan Pendidikan Paradoks yang Ber"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

FF UNPAR Johnmeidi Tarigan / 2015510005 STUDI ANTI KORUPSI Yung Sutrisno Jusuf / 2015510014 Adventus Caesario / 2015510018

Korupsi dan Pendidikan:

Paradoks yang Berkorelasi

Optimisme Terhadap Pendidikan Dalam Melawan Korupsi

Pengantar

Pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan manusia yang berpengetahuan, berkualitas, dan penuh kebenaran serta baik. Melalui pendidikan, manusia menjadi tahu bagaimana hidup, memaknai kehidupan, dan mampu hidup. Pendidikan juga mendorong manusia untuk mencapai dan mendapatkan sesuatu (harta, takhta). Pendidikan pada masa kini cenderung berorientasi pada profesi dan kecakapan dalam bekerja, artinya terkait memproduksi lulusan yang mampu bekerja.

Korupsi itu pada dasarnya bertentangan dengan kebaikan. Korupsi itu dilakukan secara sistematik, dirancang, dan direncanakan, sifatnya jahat. Manusia bisa saja belajar untuk korupsi, belajar untuk bagaimana caranya mendapatkan harta dan takhta. Koruptor pada umunya adalah mereka yang berpendidikan. Orang yang berada di kalangan atas atau yang berusaha untuk mencapai posisi tinggi cenderung berhubungan dengan korupsi. Belajar dalam konteks pendidikan itu adalah belajar untuk mendapatkan sesuatu. Setelah belajar, akan mampu untuk sesuatu.

Jadi, pendidikan dan korupsi itu suatu paradoksal pada hakekat dan tujuannya. Namun, dapat berkorelasi karena korupsi yang jahat itu mengalahkan kebaikan dalam pendidikan. Sebaliknya, pendidikan yang pada hakekatnya baik itu juga mampu melawan korupsi, asalkan pendidikan itu sungguh menjadi suatu sarana untuk menghasilkan manusia yang benar (akal), baik (moral), dan indah (perilaku).

(2)

dan menghidupi nilai-nilai luhur). Pendidikan tidak sekedar berorientasi pada profesi dan proft, namun pada pengetahuan bagaimana caranya hidup dengan benar, baik, dan indah. Pendidikan itu seharusnya mampu melatih akal untuk mampu mengendalikan perasaan atau hasrat. Orang yang mampu menggunakan akal budinya dengan benar akan dapat berpendirian dengan teguh untuk bereksistensi secara benar, baik, dan indah.

Korupsi Sebagai Kejahatan Sosial

Kata korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptio, corrumpere yang mengandung makna kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, dan lain sebagainya yang bersifat negatif.1 Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau pihak tertentu dengan merugikan orang lain. Sementara Transparansi Internasional mengartikan korupsi sebagai pelaku pejabat publik, baik politisi ataupun pegawai negeri yang secara tidak wajar memperkaya diri (pihak) dengan menyalahkan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan menurut Bank Pembangunan Asia, korupsi adalah “perilaku pejabat di sektor publik dan swasta, yang secara hukum memperkaya diri sendiri atau orang dekatnya, ataupun suatu tindakan bujukan terhadap orang lain untuk melakukan penyalahgunaan wewenang tersebut.

Undang-Undang No.31/1999, No.20/2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengartikan korupsi sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau menyalahgunakan kesempatan atau kesempatan yang ada padanya karena jabatan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kemudian pengertian korupsi ini diperluas sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.

1 Konferensi Wali Gereja Indonesia, Nota Pastoral Konferensi Wali Gereja

(3)

Orang melakukan korupsi karena adanya kebutuhan yang melampaui penghasilan atau karena keinginan yang berlebihan. Dengan adanya ketidakseimbangan ini, godaan untuk bertindak korupsi akan muncul dari dalam diri sendiri dan juga kesempatan yang ada dari luar diri. Kesempatan untuk bertindak korupsi merupakan efek dari lemahnya suatu sistem. Korupsi juga terjadi karena manusia dikuasai oleh keserakahan. Manusia memiliki hasrat yang tidak pernah bisa dipenuhi dan terus menerus keluar dari dalam diri sehingga perlu adanya upaya pembentukan moralitas dan integritas di dalam diri manusia. Keadilan sosial, penyadaran akan hidup seherhana, perbaikan sistem, penegakan hukum, pembentukan moral, iman dan mental merupakan beberapa upaya penghindaran korupsi yang ideal.

Korupsi Kemanusiaan

Korupsi dalam pandangan Aristoteles bermakna perubahan yang memiliki warna penurunan. Sedangkan menurut Lord Acton, korupsi itu berhubungan dengan kekuasaan dan uang. Dua pandangan ini sebenarnya saling melengkapi, Aristoteles memandangnya ke arah akibat dari korupsi dan Lord Acton lebih mengarah ke sebab korupsi. Korupsi sebenarnya terkait dengan uang dan moralitas. Koruptor adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan akses terhadap uang serta kebebasan yang pastinya mereka melakukan perbuatan tidak bermoral.2

Korupsi pada dasarnya dapat ditarik ke ranah flosofs sebagai suatu degradasi dan distorsi kemanusiaan. Korupsi itu telah membusukan makna kemanusiaan dengan segala bidangnya. Bila menilik flsafat Aristoteles, korupsi merupakan suatu gagal paham akan seluruh potensi yang ada pada manusia dan juga kegagalan akan aktualisasi potensi sebagaimana harusnya.3 Korupsi adalah suatu kebusukan akal

2 Binawan, Andang, Korupsi (Dalam Cakrawala) Kemanusiaan, (Jakarta:

(4)

manusia yang senantiasa mengusahakan eksistensi hasrat kodratinya. Korupsi adalah suatu kegagalan manusia dalam proeses menjadi makhluk hidup yang berakal budi.

Manusia dalam kehidupannya selalu tidak menampakan apa yang sungguh-sungguh dirinya. Manusia selalu menampakan penyesuaian dirinya terhadap hidup kerjanya.4 Manusia selalu dikekang oleh keharusannya tunduk pada otoritas kebutuhan hidup. Manusia sejak masa pendidikannya telah gagal memahami kebebasan hidupnya dan hanya terikat pada orientasi hidup yang terkait profesi hidup. Manusia selalu dikekang untuk melihat ke atas dan berusaha mencapai taraf hidup yang diatas dimana tahta dan harta itu senantiasa menggoda untuk merusak kemanusiaannya.

Korupsi bermula dari pikiran yang telah terdistorsi dan tidak terdidik dengan benar karenanya tidak mampu mengendalikan hasrat kemanusiaannya.5 Korupsi adalah suatu kebusukan manusia yang teorganisir dengan memanfaatkan akalnya untuk merusak kemanusiaannya sendiri dan sesamanya.

Korupsi Dalam Dunia Pendidikan

Deputi Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengungkap, bahwa institusi pendidikan yang seharusnya bisa menjadi benteng dalam memerangi korupsi, justru malah terlibat dalam praktik korupsi. Perilaku korup di dunia pendidikan melibatkan mulai dari pembuat kebijakan hingga institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi. Demikian disampaikan Ade Irawan dalam seminar nasional dengan tema” Manajemen Pendidikan menghadapi Isu-isu Kritis Pendidikan” di Gedung Ki Hajar Dewantara Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Sabtu (22/4/2017). Seminar nasional ini diselenggarakan Program Doktor Manajemen Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri (UNJ) angkatan 2016. Ade Irawan menyebutkan, mulai dari oknum kepala dinas, anggota DPR/DPRD,

(5)

pejabat kementerian, guru, kepala sekolah, dosen, dan rektor pun ikut terseret dalam kasus korupsi. Sarana dan prasana sekolah merupakan sumber dana yang paling banyak dicuri. Banyak sekolah rusak, jumlah anak putus sekolah meningkat, dan pungutan kian membebani orangtua murid. Ini merupakan dampak buruk korupsi pendidikan.

Dampak dari Tindakan Korupsi di Bidang Pendidikan

Korupsi sepertinya sudah membudaya dalam kehidupan bangsa Indonesia, perbuatan-perbuatan yang kita anggap biasa seperti memberikan sesuatu kepada orang yang kita hormati dapat digolongkan tindak korupsi. Perbuatan korupsi di bidang pendidikan akan berdampak langsung pada peserta didik sebagai orang yang pertama mendapatkan dampak dari perbuatan korup ini. Karena tindak korupsi di bidang pendidikan dapat saja melanggar Hak Asasi Manusia para peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

1. Kualitas Pendidikan

(6)

dilakukan dengan proses korup akan menempatkan para koruptor baru dalam jabatan guru dan kepala sekolah.

2. Kerugian Finansial

Kerugian fnansial jelas menjadi salah satu dampak dari prilaku korup para pemegang jabatan publik dalam dunia pendidikan. Walau jika dilihat secara oknum nominalnya tidak besar sehingga tidak dapat di tindak dengan KPK tetapi jika diakumulasikan maka akan muncul jumlah yang sangat besar. Hal ini harusnya mendapat perhatian khusus dari aparat penegak hukum dalam tipikor selain KPK yaitu Polisi dan Jaksa untuk mampu menyeret para koruptor dalam bidang pendidikan.

3. Ketidakadilan sosial

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan sila ke-lima dari Pancasila. melalui perilaku pengisian jabatan guru dan kepala seklah selannjutnya perilaku korup dalam penerimaan siswa baru dan undangan dari PTN akan menciderai rasa keadilan dari seluruh warga negara Indonesia. Semua warga negara Indonsia berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Ketika terjadi tindak pidana korupsi dalam bidang pendidikan akan mematikan potensi dari warga negara muda karena mereka akan kehilangan pendidikan yang berkualitas, dan kesempatan untuk mengabdi kepada negara.

4. Pengurangan tingkat partisipasi

Partisipasi warga negara dalam pendidikan merupakan usaha agar mewujudkan warga negara yng terdidik. Semakin banyak partisipasi maka semakin banyak pula warga negara yang terdidik dan hal ini merupakan modal utama negara dalam pembangunan. Tetapi ketika sarana dan prasarana tidak tersedia yang diakibatkan dari tindak korupsi, maka akan menurunkan jumlah partispasi warga negara dalam pendidikan dan ini jelas mengurangi potensi warga negara yang terdidik.

5. Hilangnya akhlak mulia

(7)

dalam membentuk mereka. Sehingga muncul generasi yang memiliki akhlak yang sejalan dengan pejabat dibidang pendidikan.

Korupsi Didukung Pendidikan

Pendidikan seakan menjadi banteng dalam menghadapi korupsi. Namun dalam realitanya selalu kontras. Bahkan seakan pendidikan mendukung adanya korupsi. Ada banyak kasus korupsi yang besar dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi. Satuan pendidikan yang tinggi bukan jawaban atau jaminana bahwa orang akan bersih dari korupsi. Tetap ada sisi dari pendidikan yang digunakan untuk melanggengkan sikap koruptif. Berikut data mengenai hal ini :

75 Persen Pelaku Korupsi Lulusan Pendidikan Tinggi

Direktur Bidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Sujarnako mengemukakan sebanyak 75 persen pelaku korupsi adalah lulusan pendidikan tinggi yang menjabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten, Kota, maupun Provinsi. Data tersebut diambil dari ACFE (Association of Fraud Examiners) tahun 2017. Menurut data ACFE (Association of Fraud Examiners) sebanyak 75 persen pelaku 'fraud' (termasuk tindak korupsi) di dunia dan bahkan 82 persen di Indonesia adalah lulusan pendidikan tinggi.

(8)

Dengan kata lain, masyarakat pembayar pajak Indonesia telah mensubsidi para koruptor karena uang Rp 15,09 triliun itu pun sebenarnya belum benar-benar masuk ke kantong pemerintah karena baru berupa hukuman financial, sebab masih ada tahapan eksekusi oleh pihak kejaksaan untuk merealisasikannya.

Minimnya informasi tentang penjelasan mengenai pemerasan, gratifkasi, dan suap menjadi salah satu faktor tambahan. Negara akan semakin dirugikan ketika para pejabat tidak mengetahui informasi tentang penjelasan yang berkaitan dengan suap, pemerasan, dan gratifkasi. Dengan mengetahui penjelasan ketiga hal tadi maka kemungkinan untuk melakukan tindakan korupsi berkurang.

Penjelasan mengenai suap. Suap merupakan tindakan transaksional. Contohnya ketika masyarakat ingin semua urusannya lancar maka dia membayar uang pelicin kepada pejabat. Pemerasan biasanya dilakukan oleh oknum pejabat yang aktif kepada masyarakat walaupun tidak dengan cara kekerasan. Sedangkan gratifkasi merupakan pemberian hadiah atau imbalan dari masyarakat kepada pejabat, meskipun prosedurnya sudah benar.

Di sisi lain, Chairman Association of Fraud Examiners East Java Region, Romanus Wilopo menyatakan menurut ACFE (Association of Fraud Examiners) kerugian negara pada tahun 2013 di seluruh dunia diakibatkan fraud atau "white collar crime" mencapai 3,7 miliar dolar AS atau setara dengan 30 persen dari uang rakyat dikorupsi.

Mereka yang korupsi dikarenakan perilaku korupsi mereka menganut perilaku 'living beyond means' atau keserakahan mengambil lebih banyak dari yang diperlukan dalam hidup dan pola hidup hedonisme, sehingga ketika ada niat dan kesempatan maupun peluang mereka dengan mudahnya mengambil sesuatu yang lebih banyak dari sewajarnya.6

6

(9)

Koruptor Berpendidikan S2 terbanyak disusul S1 dan S37

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menyatakan berdasarkan data lembaga antirasuah, pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani pihaknya paling banyak berlatar belakang pendidikan S2 atau magister. Ia mengatakan yang paling tinggi yang korupsi itu adalah yang berpendidikan S2. Dari 600-an koruptor yang ditangani oleh KPK, lebih dari 200 orang adalah berpendidikan S2. Koruptor berpendidikan S1 atau sarjana berada di urutan kedua yakni

7

(10)

sekitar 100 orang. Sementara itu, untuk koruptor lulusan S3 atau doktor ada di posisi ketiga dengan jumlah 53 orang.

Korupsi : Dosa Epistemologis Modern

Pada masa kiwari manusia seakan terdegradasi secara status karena suatu tindakan. Tindakan yang menyebabkan terjadinya penurunan status ini adalah “tindakan koruptif”. Sudah dijelaskan diawal bahwa antara hubungan korupsi dengan salah satu aspek yang paling penting dalam kehidupan manusia, yaitu pendidikan. Pendidikan dalam kehidupan manusia sendiri hadir sebagai landasan dalam menjalani kehidupannya sebagai manusia. Statusnya sebagai makhluk rasional sangat dipertaruhkan dengan hasil dari budaya yang sudah dikembangkan sejak dahulu oleh pendahulunya.

Namun, kini seakan terjadi gap antara manusia, status dan perilakunya. Antara pribadi dan perilaku ada yang tidak integral. Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mampu melakukan suatu tindakan yang merugikan dirinya dan sesamanya. Manusia seakan dibutakan oleh hasrat dalam egonya untuk menguasai, memiliki lebih, dan mendapat akses lebih. Dalam hal ini yang terpenting adalah terpenuhinya keinginan ego pribadi.

Dalam keadaan yang seperti inilah yang kami katakan gap antara status manusia dengan prilakunya. Seharusnya sebagai homo sapiens manusia mampu memilah mana tindakan yang baik, benar, dan terlebih indah serta bermanfaat bagi sesamanya. Bukan malah menjadi sesuatu yang “mematikan” bagi sesamanya. Manusia kini mampu berbuat tega layaknya hewan yang hanya mengandalkan insting saja. Bahkan hewan pada tataran tertentu dapat menggunakan instingnya untuk saling melindungi dan membela sesamanya. Manusia menggunakan akal budinya untuk menindas sesamanya. Pendidikan digunakan untuk sarana membodohi kehidupan sesama lainnya.

(11)

Ada suatu yang salah dengan manusia era kini. Menurut kami hal ini jelas ada pengaruhnya dengan aspek pembentuk manusia. Menurut C Taylor, budaya sangat mempengaruhi manusia dalam perkembangannya. Walaupun budaya sendiri juga suatu hasil manusia. Tetapi dikotomi manusia dan budayanya saling berkelindan satu sama lain.

Kemudian dari anggapan Taylor tersebut dapat ditelaah apa yang dilakukan manusia untuk mengetahui sumber ketidak-manusiawi-an tindakannya. Setelah menjalani perenungan kritis nan rigid, kami mengabil asumsi bahwa salah satu aspek dalam budaya ada yang bermasalah. Aspek itu adaalah pendidikan. Pendidikan menjadi suatu akses manusia untuk menjadi suatu yang lain dari dirinya. Dari tidak terpelajar, jadi terpelajar, dari yang tidak bisa jadi bisa dan sebagainya. Saat kami menelisik secara kritis historis dalam pendidikan ternyata dalam tahap ini pendidikan sangat krusial dan penting. Pendidikan menjadi suatu ujung tombak manusia dalam menghadapi kehidupan. Namun dalam rekam jejak sejarahnya pendidikan meninggalkan suatu hal yang janggal. Dalam hal ini yaitu ada kaitannya dengan perilaku koruptif masa kini. Kami menelisik di era modern karena era ini adalah era dimana perkembangan pendidikan dan pola pikir manussia mengalami suatu era keemasan. Era dimana para cendekiawan muncul. Era paling krusial mengenai pendidikan untuk era kini. Saat itu muncul paham “materialisme”.

(12)

Namun yang membedakan secara spesifk adalah Althuser melihat Marx justru dalam perspektif strukturalis.8

Pendidikan bagi Althuser adalah sagmen yang terkena dampak dari kurun pemikiran Marx. Bagi Marx dalam suatu konsep berpikir akan realitas, ia menitikberatkan dan bahkan lebih tepat mengkonsentrasikan pada tataran materialistik. Konsep Marx ini dikarenakan para kaum miskin yang tertindas tirani dan Marx berikhtiar untuk mensejahterakan kaum yang tertindas ini. Marx mencipta suatu masyarakat tanpa kelas dimana kepemilikan milik bersama, semua diatur atas asas kesamarataan.

Bagi Althuser konsep Marx ini dilihat ke arahstrukturalis. Dimana bagi Althuser hal ini sangat idealis. Dan dapat dilihat dalam rekam sejarah juga bahwa konsep Marx gagal membawa kesejah teraan bagi yang tertindas. Bagi Althuser konsep Suprastruktur dan infrastruktur Marx pun justru hanya sebagai idealisme belaka. Setiap konsep ini justru menjadi suatu senjata baru yang semakin menghimpit masyarakat bawah terutama. Althuser dalam bukunya Tentang Ideologi mengatakan bahwa suprastruktur dan infrastruktur ini baik saat mampu berjalan berdampingan secara bersamaan.9

Namun, pada kenyataannya yang terjadi adalah justru yang menjadi tekanan dalam publik hanya kesamarataan dalam aspek infrastruktur saja. Semuanya menjadi terdegradasi dalam ranah material saja. Althuser melihat ini dan ingin mengembalikan idealisme Marx. Hal ini pun merambah ke segmen yang lain. Karena bagi Althuser ideologi Marx itu sangat struktural sekali. Salah satu dampak yang terkena adalah pendidikan. Prndidikan menjadi suatu sagmen atau level dalam bahasa Althuser yang mendapat efek jangka panjang.10 Pendidikan menjadi suatu yang selalu membedakan secara ketat suatu realita ke distingsi subjek dan objek. Hal ini bagi kami menjadi pokok masalah. Pokok yang menyebabkan mengapa semua aspek kehidupan manusia

(13)

menjadi terfegradasi ke tataran materialistik. Manusia seakan ingin menguasai segalanya.

Manusia menjadi seakan menjadi tuan dari realita. Manusia menjadi serakah akan segalanya, terlebih yang sangat penting dalam hidupnya. Hingga tidak ada suatu ukuran kepuasan yang bisa membatasi keserakahan manusia. Hal dampaknya itu terasa hingga kini. Korupsi menjadi suatu jalan yang sangat mulus untuk mencapai kepuasan itu. Ada suatu pola pikir yang keliru pada era lampau yang menjadikan masa kini sebagai korban. Oleh karena itu, menurut kami korupsi juga merupakan dosa sejak era modenisme. Dimana era ini sangat erat kaitannya dengan pembentukan pola pikir masa kini dan bersifat saling mengait degan segala aspek kehidupan termasuk pendidikan.

Dalam Konsep Adam Smith

Dalam bagian ini akan masih berkonsentrasi pada peran dari pendidikan sendiri yang dihadapkan pada korupsi. Pada bagian awal dilihat sebagagi pendidikan pun telah “tercemar” Karena dosa asal oleh Marx yang dikemukakan oleh Althuser. Kali ini tokoh yang mendapat sorotan utama adalah Adam Smith. Dalam perkembangan sejarah bahwa tokoh inilah yang membuat suatu konsep teori bahwa manusia berpangkat sebagai homo economicus. Dalam konsepnya ini Adam Smith menyatakan bahwa manusia itu selalu menjadi makhluk ekonomi. Dalam rangka mempertahankan kelangsungan kehidupannya.11

Namun manusia seakan menjadi terfokus dengan uang demi menjaga kehidupannya. Segalanya menjadi tergantung pada uang. Hingga otentisitas manusia kini menjadi tergadaikan dengan uang. Serta peran pendidikan pun tidak lagi tampak. Bahkan dapat dikatakan pendidikan telah kalah dengan materialisme yang diusung oleh Marx dan Adam Smith. Hingga kini manusia menjadi budak akan uang. Hal ini merambah dengan adanya tingkat korupsi yang semakin marak. Apa lagi

11 Adam Smith, “The Theory of Moral Sentiment”, Glasgow Edition of the works

(14)

dengan adanya latar belakang pendidikan yang tinggi dan telah bercokol dengan jabatan tinggi, korupsi sangat dapat terjadi dan jumlahnya jelas tidaklah sedikit. Justru orang yang berpendidikan tinggilah yang memiliki akses untuk mencapai jabatan-jabatan penting dalam pengambilan keputusan dalam suatu badan atau bentukan perusahaan juga negara. Pendidikan seakan mengamini suatu perilaku koruptif. Karena Adam Smith yang telah mengkonsepsikan homo economicus maka semua manusia menjadi keranjingan dengan uang agar menjamin kebahagiaanya.

Dalam cara pandang ini seakan Adam Smith menjadi tersangka paling cocok dalam perannya dalam pendidikan perkembangan pola piker manusia akan menghambanya pada uang. Namun dalam jurnal yang ditulis oleh Reza A Wattimena dalam Melintas menjadi sangat berbeda peranan dari Adam Smith12. Dalam jurnalnya ia melihat sisi lain dari Adam Smith. Suatu hal yang sangat berbeda dari anggapan sebelumnya yang menjerumuskan sosok Adam Smith sebagai pendosa berat akan korupsi. Dalam jurnalnya menekankan pada konsep Adam Smith mengenai kepantasan (propriety) dan keutamaan (virtue).

Dalam konsep ini membedakan mengenai intensi tindakan seseorang. Tesis utama yang diusung oleh Adam Smith adalah distingsi setiap manusia dapat bertindak dan berperilaku atas dasar rasa kepantasan atau keutamaan yang sejati. Tindakan yang diukur pantas tersebut didorong oleh rasa simpati yang dikondisikan sudah ada secara innate13. Sedangkan yang satunya adalah berdasarkan keutamaan, dimana argument ini juga berkembang pesat dalam ajaran flsafat moral dari Adam Smith. Jelas bahwa Smith bukan hanya mengajarkan mengenai materialisme. Tetapi dalam pengajarannya ia mengedepankan flsafat moralnya ketimbang meterialisme-pragmatisnya. Konsep kepantasan yang dikedepankan oleh Adam Smith adalah suatu tindakan yang sudah biasa kita lakukan secara spontan dan refek saja. Seperti

12 Reza A. Wattimena, Antara Keutamaan dan Kepantasan Adam Smith dan

(15)

kita otomatis minum saat haus dan sebagainya. Sedangkan bertindak sebagai hasil dari konsep keutamaan adalah tindakan yang dilandasi pada rasa kemanusiaan. Tindakan yang menimbulkan rasa kagum dan penghormatan besar akan hal tersebut.14

Oleh karena itu, Adam Smith lebih dekat dengan flsafat Stoa dalam hal jalan ajaran moralitasnya. Ia tetap mengajarkan flsafat moral. Ia juga punya peran dalam pendidikan pola pikir manusia. Maka dalam tahap ini harusnya manusia dapat menggunakan pendidikan sebagai tameng atau penahan perilaku koruptif kini. Karena orang yang katanya telah menekankan materialisme pun telah mengakui betapa lebih luhurnya tindakan berdasarkan keutamaan. Namun mengapa kini korupsi masih saja merajalela. Menurut hemat saya karena pendidikan khas ala Adam Smith kurang mendapat tempat dalam pendidikan kini. Pendidikan kini hanya cenderung mengajarkan ke arah yang lebih profetik-oportunis. Hal ini sudah melenceng dari hakikat dan esensi dasar pendidikan yang menjadikan manusia lebih bermartabat. Pendidikan itu menjadi pedoman dalam menjalani hidup yang baik. Maka menurut kami adagium latin “Non Scholae sed vitae Discimus” adalah suatu seruan agar pendidikan itu tidak sekedar pragmatis, profetik, dan oportunis. Pendidikan itu adalah untuk menjadikan manusia mengalami transformasi diri dan melampaui segala kecenderungan negatifnya. Akal menjadi pengatur perasaan.

(16)

pula sebagai dalang dari sikap koruptif kini. Dengan dalih bahwa orang yang materialis hidupnya hanya menekankan pada uang saja. Kemudian hal itu pun melekat pada koruptor kini. Selama ini dunia hanya kurang melihat ide-ide Marx dan Smith mengenai materialisme dan bahkan cenderung menerima informasi berdasarkan asumsi stigma yang berkembang di masyarakat.

Juga Marx dan Smith seakan menjadi dalang suatu tindakan negatif kini. Hal inilah mengapa dosa kolektif dalam pendidikan (terkhusus pendidikan mengenai materialisme) terjadi karena salah kaprah. Padahal Marx dan Smith membuat ide atau teori ini bukan sama sekali baru untuk mengadakan korupsi tetapi karena respon mereka terhadap keadaan zaman dimana pemegang modal semena-mena merampas hak kesejahteraan kaum buruh. Dengan gagasan-gagasan Marx dan Smith sebenarnya korupsi sedang dilawan dan mereka menawarkan solusi untuk melawan ketidakadilan tersebut.

Penanggulangan Korupsi Dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, seorang peserta didik diajari ilmu pengetahuan dan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam hidup bersama seperti menghargai perbedaan, mengusahakan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan umum. Pendidikan tersebut didapatkan melalui pendidikan karakter sehingga mampu menghasilkan seorang yang memiliki karakter positif dan mentalitas unggul serta integritas tinggi. Pendidikan (sekolah) ditantang untuk menciptakan kurikulum yang terarah bukan hanya pada peningkatan pengetahuan dan keahlian, namun juga terlebih pada kedalaman iman yang diimplementasikan dalam tindakan unggul dan mulia.

(17)

Seringkali dalam usaha belajar kita menemui kebuntuan dalam menuai hasil yang baik. Tentunya dalam hal ini bukan hasil yang semata-mata dicari tetapi perjuangannya untuk mencapai hasil itu dengan kata lain yakni proseslah yang menjadi bagian terpenting. Tindakan menyontek adalah tindakan koruptif yang sangat tidak manusiawi karena dalam hal ini akal budi manusia dicoreng dan direndahkan karena hasrat untuk bereksistensi sebagai yang dipandang baik, namun hal itu tidaklah benar. Paradigma pendagogi refektif adalah suatu pendekatan yang menekankan proses dengan pengolah pengalaman, refeksi, dan aksi. Dalam pendekatan ini, kepekaan moral dan kepekaan sosial ditumbuhkan sehingga seorang peserta didik mampu melihat realitas secara lebih mendalam dan manusiawi. Refeksi merupakan tuntutan kegiatan yang harus senantiasa dilakukan dalam proses menemukan nilai-nilai kehidupan.

Jadi, di dalam dunia pendidikan, korupsi dapat ditanggulangi secara prefentif. Pendidikan adalah proses penanaman nilai-nilai kehidupan sehingga seorang peserta didik mampu menjadi seorang manusia yang semakin humanum. Pendidikan itu menjadikan manusia semakin dekat dengan cara hidup yang berintegritas. Korupsi yang masih ditemui dalam jejak-jejak proses pendidikan harus dihapuskan segera karena melalui pendidikan itulah seharusnya korupsi dihapuskan.

Optimisme Terhadap Pendidikan (Karakter)

(18)

telah menjadi suatu corak kehidupan yang juga dibentuk dalam pendidikan itu.

Belum lagi pendidikan juga telah dimasuki kepentingan politik.15 Pendidikan itu sebenarnya pasti berurusan pada politik, namun politik selalu bermuara pada pembungkaman dan rentan pada urusan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.16 Dalam hal ini sebenarnya pendidikan itu juga mampu memberikan pengaruh yang signifkan bagi perubahan sosial yang ada secara politis. Pengaruh itu bersifat positif karena mampu mengarahkan kehidupan ke arah yang lebih baik. Semuanya itu dilalui melalui suatu proses pendidikan. Paulo Freire memberikan corak “pendidikan kritis” guna merealisasikan perubahan sosial itu.

Pendidikan kritis ala Paulo Freire menekankan pembangunan nalar berpikir dan pemecahan masalah serta mengembangkan paradigma anti kemapanan guna melawan tirani dan dominasi status quo17. Pendidikan kritis menjadikan manusia tahu akan kebenaran. Individu yang kritis tidak akan dengan mudah menerima situasi yang ada, namun selalu bertanya dan menggali kebenaran yang hakiki. Pendidikan kritis membangkitkan kesadaran individu akan segala persoalan yang terjadi di lingkungan hidupnya dan berusaha mencari solusinya.

Pendidikan itu juga terkait dengan mereka yang pada akhirnya akan menjabat atau berada pada posisi puncak. Para pemimpin itu harus didik secara benar agar mampu bereksistensi secara benar juga. Plato memandang bahwa pendidikan bagi seorang pemimpin itu harus mencakup pendidikan akal budi dan perasaan. Pendidikan itu harus mampu menjadikan seorang pemimpin tahu akan kebenaran, bermoral baik, dan berperilaku indah. Plato juga memandang bahwa seorang pemimpin yang berada pada puncak tatanan masyarakat itu akan rentan

15 Mohamad Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia, (Yogkarta : Ar-Ruzz

Media, 2009), hlm. 135-140.

16 Ibid,. hlm. 140.

(19)

terhadap korupsi untuk kepentingan pribadi (keluarga). Pemimpin juga dipandang rentan pada ketidaksetiaan terhadap negara.

Secara jelas, pendidikan bagi para pemimpin menurut Plato itu harus merupakan suatu pendididkan flsafat.18 Mengapa pendidikan flsafat? Bagi Plato pendidikan flsafat akan mampu menuntun seseorang pada kebenaran sejati melalui proses dialektika. Pendidikan ini sebenarnya secara umum dalam konteks masa kini, pada hakikatnya adalah pendidikan guna melatih akal budi agar sungguh mampu menemukan kebenaran yang sejati. Pendidikan akal budi ini juga memampukan seseorang untuk meredam segala hawa nafsu, persaan yang tidak terkendali, dan hasrat liar. Dengan mengendalikan semuanya itu, seseorang akan mampu bereksistensi secara benar dan baik.

Seorang pemimpin itu harus memiliki rasionalitas dan moralitas yang seimbang. Karenanya dengan cara yang demikian akan mempengaruhi cara hidupnya. Memang Plato terlalu ekstrim dalam mengemukakan pandangannya terhadap cara hidup pemimpin yang harus selibat, komunis dalam arti tidak memiliki harta pribadi, dan kesetiaan total bagi negara. Pada dasarnya, dengan pendidikan flsafat dan seni, seorang pemimpin akan tahu mengenai keutamaan dan juga kebenaran. Dengan mengetahui keduanya itu diharapkan seorang pemimpin juga tahu akan kerentanannya ketika berada di posisi puncak.

Pendidikan keutamaan (berkarakter) ini juga tampaknya pada masa kini dibahasakan secara menarik oleh Doni Koesoma. Menurutnya pendidikan adalah

“Usaha sadar yang ditujukan bagi pengembangan diri manusia secara utuh, melalui berbagai macam dimensi yang dimilikinya (religius, moral, personal, sosial, kultural, temporal, institusional, relasional, dan lain-lain) demi proses penyempurnaan dirinya secara terus menerus dalam memaknai hidup dan sejarahnya di dunia ini dalam kebersamaan dengan orang lain”.19

18 David Melling, Understanding Plato, (New York: Oxford University Press,

1987), hlm. 153

(20)

Pendidikan yang mengutamakan pembentukan karakter memampukan individu yang berkarakter itu memiliki kecerdasan, baik, dan menjadi pelaku sejarah atau perubahan.20 Pendidikan berarkater mampu menanamkan keutamaan-keutamaan yang memampukan manusia menjadi individu yang berkualitas positif. Orang yang memiliki keutamaan akan bertanggung jawab di tengah situasi problematik dan kompleks serta berusaha menghindarkan diri dari tindakan atau keputusan yang merusak.21 Pendidikan berkarakter mampu menanamkan nilai-nilai moral dan juga kemampuan untuk memperjuangakan nilai-nilai moral tersebut.

Pengembangan kepribadian dalam pendidikan berkarakter mampu menumbuhkan sikap individu sebagai seorang pelaku sejarah yang mau membela orang kecil, lemah, tersingkir, dan mau memperjuangkan keadilan. Semuanya itu hanya dapat dilakukan oleh individu yang berkeutamaan. Menurut Thomas Aquinas ada beberapa keutamaan yang perlu dimiliki :22

Pengendalian diri (temperantia) yang merupakan suatu kemampuan untuk mengusai emosi dan perasaan. Kedua hal tersebut dapat bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh akal budi.

Keberanian (fortitude) merupakan keutamaan yang menyempurnakan sisi agresif manusia. Kebaikan akan terwujud dan nyata melalui tindakan dan hal itu membutuhkan keberanian. Keberanian juga membuat individu mampu bertahan dan berjuang dalam situasi sulit. Keberanian ini cukup vital karena yang mampu menggerakan indvidu untuk menyelaraskan akal budi dan perasaan serta melakukan tindakan kebaikan yang nyata.

Keadilan (iustitia) merupakan segi sosial dari keutamaan. Akal budi manusia menunjukan bahwa individu hidup dalam kebersamaan dengan orang lain secara natural. Dalam kehidupan

(21)

bermasyarakat dibutuhkan suatu tatanan yang stabil sehingga segala ide dan keyakinan dari setiap individu dapat harmonis satu sama lainnya. Keadilan adalah keutamaan yang menjadikan individu itu mampu menyelaraskan kehendak pribadinya dan kehendak sesamanya.

Kebijakan Praktis merupakan suatu realisasi dari kehendak, akal budi, perasaan, keberanian, dan keadilan menuju eksistensi tindakan yang benar.

Jadi, sebenarnya pendidikan juga merupakan media bagi manusia untuk menjadi bermartabat, berharkat, dan memiliki hak-hak kemanusiaan. Pendidikan juga merupakan penjaga kebaikan hidup manusia dari kejahatan. Pendidikan menurut Paulo Freire adalah suatu pencerahan dalam menghadapi kehidupan di dunia yang penuh dengan dualisme. Pendidikan memampukan manusia bijaksana dalam mengetahui perbedaannya. Pendidikan itu adalah transformator kehidupan berbangsa yang menghasilkan suatu kualitas dalam berpikir, bersikap, dan bertindak yang berdasarkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Solusi untuk Tindakan Korupsi di Dunia Pendidikan  Meningkatkan kualitas SDM pengelola pendidikan.

(22)

pendidikan. Bahkan, sangat mudah terpengaruh tindakan melawan aturan, seperti korupsi. Oleh karena itu, pembenahan sistem rekrutmen pekerja pendidikan adalah keniscayaan.

Meningkatkan kesejehateraan para pekerja pendidikan.

Karena mereka adalah implementator di lapangan. Sebaik apapun perencanaan, jika pelaksananya bobrok, hasilnya dipastikan hancur. Apalagi mereka berhadapan dengan dana besar dan cakupan wilayah yang sangat luas, sehingga rawan penyelewengan. Dengan meningkatkan kesejahteraan, diyakini dapat meningkatkan kinerja dan tanggung jawab mereka sebagai pelayan sektor pendidikan. Mereka bekerja murni untuk kepentingan dunia pendidikan tanpa ada pemikiran memperoleh pendapatan tambahan lain, apalagi yang tidak halal. Akibatnya, korupsi sektor pendidikan dapat direduksi.

Dalam hal ini, dimulai dari sistem penerimaan mahasiswa calon pendidik, kurikulum lembaga pencetak tenaga pendidik yang link dan match dengan kebutuhan, sistem penerimaan calon guru, pembinaan dan pengawasan kinerja pendidik, sistem reward dan punishmet untuk pendidik. Semua harus dilakukan dengan aturan dan mekanisme jelas serta dipayungi hukum yang pasti.

Pendidikan antikorupsi untuk semua.

Pendidikan ini tak hanya untuk peserta didik di semua jenjang pendidikan, tetapi juga pejabat dan politisi yang memiliki otoritas atas kebijakan dan anggaran pendidikan serta rekanan pemerintah pusat dan daerah.

Membangun sistem antikorupsi terutama dalam sistem perencanaan, penganggaran, dan implementasi belanja dana pendidikan. Sistem terutama pada pembagian kewenangan yang memadai pada berbagai institusi pendidikan serta pengawasan atas penggunaan kewenangan tersebut.

(23)

akses terhadap bukti-bukti pertanggungjawaban. Publik dapat melakukan audit sosial guna melihat kepatuhan pengelolaan publik atas peraturan perundang-undangan dan melaporkan kepada pengawas internal dan eksternal pemerintah jika menemukan ketidakpatuhan dalam pengelolaan dana tersebut.

Bila tujuan manusia adalah untuk mencari kebahagiaan yang menyeluruh, pendidikan pun harus membantu seseorang untuk mencapai tujuan hidupnya itu yaitu kebahagiaan.23 Dalam pengertian biasa, pendidikan manusia sering dikatakan untuk membantu anak didik agar berkembang menjadi manusia yang utuh, sempurna, dan yang bahagia. Selanjutnya adalah, budi pekerti. Budi pekerti sering diartikan sebagai sikap dan perilaku yang membantu orang dapat hidup dengan baik. Dalam budi pekerti terdapat sikap yang berhubungan dengan adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. 24Selain itu, budi pekerti juga dapat diartikan sebagai nilai moralitas manusia yang didasari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Semua nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu semua bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang lebih utuh.

Matakuliah Anti-Korupsi

Matakuliah Anti-korupsi ini tidak berlandaskan pada salah satu perspektif keilmuan secara khusus. Berlandaskan pada fenomena permasalahan serta pendekatan budaya yang telah diuraikan diatas, matakuliah ini lebih menekankan pada pembangunan karakter anti-korupsi (anti-corruption character building) pada diri individu mahasiswa.25Dengan demikian tujuan dari matakuliah Anti-korupsi adalah membentuk kepribadian anti-korupsi pada diri pribadi mahasiswa serta membangun semangat dan kompetensinya sebagai agent of change

23 Paul Suparno dkk. 2002. Pendidikan Budi Pekerti – Suatu Tinjauan Umum.

(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 21.

24 Ibid., hlm. 29.

25 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.Direktorat Jenderal Pendidikan

(24)

bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bersih dan bebas dari ancaman korupsi.

Pendidikan : Pilar Anti Korupsi

Bila korupsi itu banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan tinggi ataupun karena adanya kesempatan melalui kewenangan sebagai seorang pemimpin, maka kualitas pribadi seorang pemimpin itulah yang harusnya dibenahi. Seorang pemimpin harus memiliki cara hidup yang selazaimnya sebagai seorang pemimpin sejati yakni setia pada masyarakatnya. Pandangan Plato mengenai flsafat politiknya, terkhusus menyangkut kualitas dan cara hidup seorang pemimpin negara ditentukan oleh proses pendidikan yang dilaluinya. Pemimpin adalah seorang yang telah melewati proses pendidikan sebagai seorang prajurit sejati yang cara hidupnya harus komunis (tidak ada milik pribadi), selibat (tidak berkeluarga), dan setia terhadap kehidupan sosial.26

Untuk menjadi seorang pemimpin sejati, bagi Plato, pendidikan adalah kunci keberhasilannya. Pendidikan flsafat, perlatihan fsik, dan pendidikan seni adalah berbagai proses pendidikan yang harus dilalui seorang calon pemimpin. Pendidikan seni berguna dalam mengolah perasaan seseorang, terutama hasrat menjadi sisi kehidupan yang harus mampu dikelola dan diekspresikan secara positif. Perlatihan fsik menjadi seorang pemimpin memiliki kualitas kesehatan yang baik. Pendidikan flsafat menjadikan puncak dari proses pendidikan seorang pemimpin, yang melaluinya seseorang mampu mencintai kebijaksanaan dan mengetahui mana yang baik dan buruk.

Seorang pemimpin, sejatinya memiliki keutamaan hidup yang mencakup nilai-nilai luhur, dalam flsafat nilai-nilai tersebut dikenal dengan verum, bonum, dan pulchrum. Nilai-nilai itu yang menjaga hidup seorang pemimpin tetap terarah kepada tujuan sejati kehidupan. Karenanya, pendidikan menjadi suatu pilar penting dalam menghasilkan seorang pemimpin yang anti-korupsi. Memang pandangan Plato ini

(25)

terkesan idealis, namun Plato memandang bahwa kehidupan seorang pemimpin seharusnya memang berada pada level teratas dalm kualitas kehidupan manusia.

Korupsi menjadi suatu hal yang paling dekat dengan kehidupan seorang pemimpin. Sejatinya setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Setiap manusia memiliki hasrat untuk menguasai, mencari keuntungan, dan bertindak korupsi. Karenanya, pendidikan berkarakter menjadi kunci utama dalam menghasilkan manusia-manusia berkualitas dan mulia. Pendidikan mampu menjadikan seseorang bijaksana dalam mengekspresikan hasratnya. Pendidikan menjadi seseorang peduli terhadap nilai-nilai luhur dan turut serta memperjuangkannya. Pendidikan memampukan seseorang untuk mengetahui bahwa korupsi itu tidak benar, tidak baik, dan tidak indah.

Simpulan

Korupsi bertentangan dengan esensi dari pendidikan. Korupsi adalah tindakan negatif. Pendidikan adalah suatu proses menuju yang positif. Namun, kebusukan korupsi itu sendiri tetap dapat masuk ke dalam dunia pendidikan. Pendidikan dapat menjadi suatu bentuk perlawanan terhadap korupsi. Melalui pendidikan kita dapat menjadi pribadi yang memiliki integritas, karakter positif, mentalitas unggul, dan kebijaksanaan dalam membela kebenaran dan kebaikan. Secara spesifk, pendidikan juga menjadi media informasi dan pembelajaran anti korupsi. Korupsi dapat dilawan dengan pendidikan yang mulia. Melalui pendidikan, manusia menjadi tahu identitasnya sebagai manusia yang terarah kepada kebenaran.

Sumber

Althusser. 2000. Tentang Ideologi. Yogyakarta : Jalasutra.

(26)

Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta : Kanisius.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

2011. Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Kemendikbud.

Koesoma, Dony. 2012. Pendidikan Karakter : Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta :

Kanisius.

Konferensi Wali Gereja Indonesia. 2017. Nota Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia

2017 : Mencegah dan Memberantas Korupsi. Jakarta : KWI.

Melling, David.. 1987. Understanding Plato. New York: Oxford University Press.

Paul Suparno dkk. 2002. Pendidikan Budi Pekerti – Suatu Tinjauan Umum. Yogjakarta:

Kanisius.

Smith, Adam. 1976. “The Theory of Moral Sentiment”. Glasgow Edition of the works and

Correspondence of Adam Smith, D.D Raphael dab A.L Macfe (ed). Oxford:

University Press.

Wattimena, Reza. 2007. Antara Keutamaan dan Kepantasan Adam Smith dan Filsafat

Stoa. Dalam Jurnal Melintas, volume 23 no.2 Agustus 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Pasal 26 Undang- undang Pengelolaan Keuangan Haji disebutkan bahwa prinsip pengelolaan dana haji yaitu harus difokuskan untuk kepentingan jamaah haji

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konstruksi karakter nasionalisme pada film Soegija, Analisis Isi untuk Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1) Karakteristik industri rumah tangga caping; 2) Proses pembuatan caping; 3) Peta persebaran pemasaran industri rumah tangga caping;

Hal tersebut menjadi salah satu aspek mengapa penelitian ini kurang dapat menggambarkan pengaruh konsep diri terhadap perilaku konsumtif pembelian kosmetik pada

Berdasarkan hasil dari penelitian tentang Identifikasi Jenis Buah Apel Menggunakan Algoritma K – Nearest Neighbor (KNN) dengan Ekstraksi Fitur Histogram, dapat

Hati membuat kolesterol, sangat banyak, sekitar ¾ gram sehari, dari berbagai sumber, termasuk asetat, suatu garam organik yang terbentuk pada metabolisme normal, kolesterol diet dan

Dari urian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh peristiwa yang terjadi pada seseorang (locus of control), pengetahuan

yang terintegrasi untuk menekan potensi bahaya kecelakaan kerja dan kesehatan di institusi pendidikan, sehingga universitas dapat mengembangkan penelitian yang