• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB IV"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

95

BAB IV

TINJAUAN TERHADAP PERAN DAN STRATEGI GEREJA DALAM PEMBANGUNAN

KARAKTER TARUNA-PEMUDA DI GPIB JEMAAT BUKIT SION BALIKPAPAN

Untuk menjawab pertanyaan apa peran maupun strategi yang digunakan GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan serta apakah kedua hal tersebut telah membangun karakter yang sesuai dengan perkembangan taruna-pemuda maka diperlukan penganalisaan. Dengan tujuan yang demikianlah maka bab ini ditulis. Penganalisaan tersebut dilakukan dengan menilai hasil penelitian pada bab III dengan menggunakan barometer teori yang dipaparkan pada bab II tentang pendidikan karakter dan peran gereja terhadap pembangunan karakter remaja-pemuda. Oleh karena itu, dalam bab ini analisa akan diuraikan menjadi tiga bagian sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas. Selanjutnya dalam bab ini juga dipaparkan tentang refleksi teologi.

IV.1. Analisa Pendidikan Karakter di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan

IV.1.1. Pemahaman Gereja Bukit Sion Tentang Karakter Kristen

(2)

96

ditunjukan baik oleh satuan pendidikan formal serta keluarga tidak hanya nampak dari perilaku mereka secara langsung kepada subyek yang di didik, namun juga dari banyaknya referensi tertulis yang tersedia.

Bagaimana dengan gereja sebagai salah satu agen atau pilar pendidikan? Berdasarkan temuan dari hasil penelitian maka nampak bahwa pergerakan yang demikian masih belum ditunjukan oleh gereja. Hal itu terjadi sebab gereja tidak hanya terdiri dari satu atau dua orang yang dengan mudahnya menyamakan harapan, visi, serta strategi. Gereja merupakan satu persekutuan yang terdiri dari banyak orang yang percaya kepada Allah.113 Selain itu juga sebagian besar gereja menggunakan sistem struktural. Maksudnya, mereka memiliki sinode sebagai pengatur utama dari gerak gereja yang berada di bawah payungnya, serta memiliki kepengurusan di masing-masing gereja. Dengan keadaan gereja yang demikian tidak mudah untuk menyatukan harapan, visi, serta strategi yang baik untuk gereja. Ide-ide yang pada hakekatnya mengembangkan gereja serta memperluas perannya akan tidak mudah untuk diaplikasikan. Selain itu juga akan menjadi tidak mudah dalam menyatukan pemahaman-pemahaman yang muncul dari individu-individu yang ada. Pemahaman masing-masing individu tentang sesuatu hal pada dasarnya berbeda. Perbedaan tersebut muncul karena mereka tidak hanya memandang dari sudut yang sama, namun dari sudut yang berbeda-beda. Hal ini diakibatkan oleh latar belakang kehidupan yang berbeda. Misal, profesi, tingkat pendidikan, kebudayaan, sosial, termasuk juga keadaan keluarga.

Pemahaman yang berbeda juga terjadi dalam GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan. Dalam hal ini dimiliki oleh pendeta, majelis, dan para pelayan kategorial Persekutuan Taruna (PT) dan Gerakan Pemuda (GP). Mereka adalah

113

(3)

97

pelaksana baik itu kegiatan yang diprogramkan serta yang seharusnya membangun karakter Kristen bagi anak taruna dan pemuda. Kurangnya pemahaman yang mereka miliki dalam hal ini terkait dengan karakter secara umum. Melihat data yang disajikan dalam bab sebelumnya, menunjukan bahwa gereja baru sebatas mengetahui namun belum memahami tentang karakter dan pembangunan. Mengapa dikatakan demikian? Alasannya ialah secara sepintas antara mengetahui dan memahami adalah hal yang sama, namun jika dikaji lebih dalam sesungguhnya terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut yakni nampak dalam tindakan selanjutnya. Dalam artian bahwa ketika gereja hanya sebatas mengetahui maka gereja hanya sebatas tahu setelah melihat maraknya tindakan-tindakan buruk yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam hal ini berarti gereja cukup berhenti pada tahu namun tidak berpotensi untuk bertindak. Berbeda halnya dengan memahami. Memahami berarti mengetahui secara mendalam dan berpotensi besar dalam melakukan tindakan. Oleh karena gereja hanya terhenti pada mengetahui maka berdampak pada ketidak-punyaan strategi khusus dalam membangun karakter para taruna dan pemuda.

(4)

98

dengan merubah sistem pendidikan maka akan berpengaruh pada substansi dari pendidikan, khususnya fokus yang ditargetkan pemerintah untuk dicapai masyarakat. Sebagai contoh, ketika para pelayan atau pengajar duduk di bangku sekolah atau perguruan tinggi, pembangunan karakter bukanlah menjadi fokus dari sistem pendidikan saat itu. Hal tersebut kemudian berdampak pada profesi mereka, khususnya sebagai pelayan maupun pengajar. Di mana mereka menjadi kurang memahami tentang karakter serta pembangunan karakter.

Pada dasarnya pemahaman karakter dalam secara umum adalah dasar seseorang, lembaga, maupun komunitas agama memahami karakter lebih jauh lagi. Maksudnya ialah ketika komunitas agama dalam hal ini gereja mampu memahami konsep umum dari karakter maka mereka akan mampu mengejawantahkannya dalam kehidupan gereja. Selanjutnya, mereka akan mampu membangun karakter menurut nilai-nilai Kristen. Idealnya demikian, namun kenyataan yang terjadi berbeda.

Dalam gereja masih terdapat paradigma yang melihat bahwa pelayanan yang sifatnya membangun iman adalah hal yang terpenting, sehingga mereka lebih terfokus pada melayani jemaat dengan tujuan tersebut. Paradigma yang demikian menunjukkan bahwa gereja masih mengikuti pola yang terbentuk sejak pra– modern.114 Sebenarnya, dengan integritas yang tinggi yang dimiliki oleh gereja, gereja mampu melaksanakan pendidikan yang tidak hanya berkaitan dengan teologi atau rohani melainkan juga non-teologi. Oleh karena itu jika gereja masih mengikuti pola lama yang memisahkan antara yang teologi dan non-teologi, gereja tidak akan dapat melaksanakan perannya dalam membangun karakter.

Pada dasarnya gereja telah berupaya untuk tidak hanya melaksanakan pendidikan yang bersifat teologi. Hal itu nampak di mana bidang sosial berada

114

(5)

99

diposisi kedua setelah rohani. Jemaat merespon dengan cepat ketika memberikan bantuan baik berupa materi maupun jasa kepada yang membutuhkan. Namun hal itu belum terjadi secara nyata dalam bidang pendidikan. Gereja belum maksimal memberikan perhatian terhadap pelayanan di bidang pendidikan. Pernyataan ini juga ditegaskan oleh Pendeta Weinata Sairin sebagai salah satu dari tantangan bagi perkembangan pendidikan yang berbasis Kristen.115 Pendidikan di Indonesia pada hakekatnya dapat berkembang dan bersaing dengan negara-negara lainnya ketika adanya kesadaran dalam diri seluruh pihak yang ada di bangsa ini, termasuk gereja. Kesadaran yang demikian telah dimiliki oleh GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan.

Gereja membutuhkan program-program yang tidak hanya bersifat abstrak, yang tidak sesuai dengan perkembangan anak-anak taruna dan pemuda. GPIB Jemaat Bukit Sion membutuhkan program yang spesifik terkait dengan cara yang dilakukan dalam menumbuh-kembangkan karakter Kristen yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak-anak yang termasuk taruna dan pemuda. Hal itu dapat dilakukan GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan dengan merancang sasaran-sasaran program pada tiap tahun. Misal: tahun pertama harus mengetahui target karakter yang akan dicapai oleh mereka. Atau dengan kata lain bahwa gereja terlebih dahulu memiliki sejumlah nilai-nilai karakter Kristen yang akan ditargetkan kepada seluruh jemaat, khususnya dalam hal ini anak-anak taruna dan pemuda. Nilai-nilai tersebut merupakan pilihan gereja yang dianggap sangat penting untuk dimiliki dan sesuai dengan tingkat perkembangan mereka. Dari nilai-nilai tersebut, gereja kemudian merancang memasukkannya pada setiap kegiatan yang merupakan wujud dari program-program yang ada dengan berbagai cara yang kreatif dan inovatif. Melalui cara-cara tersebut dalam program-program GPIB Jemaat Bukit Sion dapat

115

(6)

100

memiliki tujuan umum dan khusus dalam rangka membentuk dan mengembangkan karakter Kristen di tengah jemaat.

Nampak dari sikap dan tindakan yang tergambar dalam tiap kegiatan gereja menunjukkan bahwa seakan-akan gereja belum memiliki kesadaran tersebut. Pada hakekatnya karakter yang dibangun melalui pendidikan berkaitan erat dengan lingkungan sekitar seseorang itu tumbuh. Dengan demikian, bagi anak-anak Kristen, gereja sebagai komunitas agama yang mereka anut, tentunya berpengaruh. Ketika gereja berhasil membangun karakter Kristen dalam diri mereka maka akan berdampak bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja di masa depan. Anak taruna dan pemuda adalah generasi atau tonggak dari gereja. Mereka adalah penerus yang dapat melakukan pertumbuhan maupun perkembangan gereja di kehidupan yang akan datang. Hal inilah yang penting untuk diketahui dan disadari oleh seluruh pihak gereja.

Pendidikan adalah media yang seharusnya dipergunakan dengan baik oleh gereja dalam membangun karakter para taruna dan pemuda. Untuk membedakan pendidikan tersebut dari pendidikan umum lainnya maka pendidikan yang diberikan harus didasari oleh ajaran-ajaran Kristen (firman Tuhan) yang ditulis dalam Alkitab. Secara langsung N.T.Wright dalam teorinya menegaskan bahwa orang-orang Kristen harus bersedia meneladani tindakan dan sikap positif yang dilakukan Yesus. Berbagai karakter seperti sabar, rendah hati, dermawan, dan mengasihi menjadi model atau teladan yang Ia lakukan.116 Pada hakekatnya seluruh ajaran Kristus yang diimani oleh orang-orang Kristen sifatnya adalah baik. Tidak hanya baik bagi individu dan komunitas iman Kristen, namun juga bagi individu dan komunitas lainnya. Dari uraian ini nampak bahwa iman Kristen berkaitan erat dengan karakter.

116

(7)

101

Seluruh ajaran dan perintah Yesus, baik dalam Perjanjian Lama maupun Baru, dirancang untuk mengungkapkan karakter baik yang dilakukan oleh-Nya. Apabila dikaji lebih dalam, tanpa banyak diketahui oleh orang-orang Kristen bahwa sesungguhnya ketika mereka menaati ajaran dan perintah Yesus maka mereka telah melakukan nilai-nilai karakter yang marak diwacanakan saat ini. Nilai-nilai karakter yang universal, yang diupayakan oleh satuan pendidikan formal maupun keluarga untuk dilakukan adalah nilai-nilai yang telah lama dilakukan oleh orang-orang yang percaya kepada Yesus. Nilai-nilai tersebut tidak hanya diwariskan oleh Yesus secara langsung kepada para murid dan orang-orang percaya selama Ia hidup, namun teladan-Nya tentang karakter positif termanifestasi dalam kitab suci (Alkitab) saat ini hingga nanti. Nilai-nilai tersebut kemudian dikembangkan dalam kehidupan saat ini. Sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Lickona bahwa terdapat beberapa nilai moral universal yang bersumber dari agama-agama di dunia. Sebagai contoh, jangan mencontek merupakan bentuk tindakan dari nilai kejujuran. Dalam Alkitab, nilai tersebut adalah pengembangan dari nilai (perintah) jangan mencuri dan berdusta.

(8)

102

Ciri utama, ajaran dan perintah Yesus adalah hal-hal yang membuat karakter Kristen memiliki warna yang berbeda dengan karakter pada umumnya. Hal ini memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai karakter yang menjadi target untuk dilakukan oleh para taruna dan pemuda. Secara umum, bangsa Indonesia memiliki delapan belas nilai yang harus di didik kepada seluruh warga, khususnya para generasi muda. Delapan belas nilai karakter yang dimaksud ialah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.117 Walaupun kedelapan belas nilai tersebut menjadi target yang diupayakan untuk dilakukan oleh berbagai pihak, namun belum menjamin menjadi nilai-nilai karakter Kristen. Alasannya ialah ketika kedelapan belas nilai karakter tersebut didasari oleh motivasi atau alasan yang salah maka tidak sesuai dengan ciri dari nilai karakter Kristen. Kedelapan belas nilai karakter akan menjadi nilai karakter Kristen ketika nilai-nilai itu didasari pada iman atau pengenalan akan Yesus Kristus dengan baik dan benar. Oleh karena itu, dari hasil temuan dalam hasil penelitian menunjukan beberapa kebajikan (virtue) yang menjadi nilai dari karakter Kristen yakni:

1) Nilai yang terutama dan pertama untuk diimplementasikan dalam kehidupan orang-orang Kristen adalah kasih (Matius 22: 36-40). Kasih berawal dari kasih kepada sesama manusia dan makhluk hidup ciptaan Tuhan. Melalui kasih ini sebagai cara bagi orang-orang Kristen untuk dapat mengasihi Allah dengan sungguh.

2) Nilai kasih adalah dasar atau awal bagi nilai-nilai lainya untuk dilakukan. Nilai-nilai tersebut antara lain: sukacita, damai sejahtera, kesabaran,

117

(9)

103

kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, dan penguasaan diri. Nilai-nilai tersebut disebut sebagai buah-buah roh yang ditulis dalam kitab Galatia 5: 22-23.

3) Ketika orang-orang Kristen mampu melakukan nilai kasih serta nilai-nilai lainnya yang menjadi buah-buah roh maka mereka akan memperoleh hidup yang baru. Manusia yang telah berada pada kehidupan ini ditandai dengan nilai-nilai sebagai berikut, kejujuran (berkata jujur, benar, dan sopan), kesabaran, kerja keras, kepedulian (membantu orang yang berkekurangan), keramahan, penuh kasih dan syukur, bertindak positif (baik dan benar), rendah diri. (Efesus 4: 21-5: 21).

Nilai-nilai yang telah diuraikan di atas adalah nilai yang harus ditargetkan tidak hanya GPIB Jemaat Bukit Sion, namun juga seluruh komunitas iman Kristen yang ada di muka bumi. Dengan harapan agar para generasi penerus tidak mudah terpengaruh pada hal-hal buruk.

IV.1.2. Peran Gereja Dalam Pembangunan Karakter Taruna-Pemuda

(10)

104

karakter bagi para taruna dan pemuda. Barometer yang digunakan dari penilaian tersebut ialah pembangunan karakter yang dilakukan oleh satuan pendidikan.

Ketika satuan pendidikan formal membangun karakter naradidik, secara operasional tindakan yang mereka lakukan bersifat utuh dan mendetail. Tujuan, strategi, serta barometer dalam penilaian keberhasilan pendidikan karakter dimiliki oleh satuan pendidikan formal. Sebagai contoh, salah satu strategi yang diupayakan oleh satuan pendidikan formal dalam rangka membangun nilai karakter kejujuran ialah pendidik bertanya kepada naradidik tentang pesan dari orang tua kepada naradidik sebelum pergi sekolah. Hal yang demikian belum diaplikasikan ke dalam jemaat GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan. Jika hal demikian diaplikasikan dalam kehidupan bergereja maka salah satu pertanyaan yang dapat dilontarkan ialah terkait dengan jumlah persembahan yang diberikan orang tua untuk dipersembahkan saat beribadah. Walaupun banyak orang memandang bahwa pertanyaan yang demikian sifatnya privat, namun tidak menjadi soal ketika bertujuan hanya sebatas untuk melihat anak-anak di jemaat ini telah bekarakter. Pembangunan karakter harus dimulai dari hal-hal yang sederhana.118

Peran GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan selama ini masih terfokus pada kehidupan rohani atau spiritualitas jemaat, sehingga masih kurang mengarahkan diri pada kehidupan pendidikan mereka. Selama ini gereja hanya berperan sebagai pembangun iman jemaat dengan cara memfasilitasi ibadah-ibadah serta kegiatan terkait lainnya, seperti pembinaan. Secara nyata hal itu ditunjukan dengan gereja telah berperan sebagai pencerita narasi Kristus.119 Walaupun demikian, gereja tidak seharusnya berhenti dan puas pada perannya tersebut. Gereja harus melaksanakan perannya yang lain, yaitu mengusahakan agar setiap individu yang mendengar

118

Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Srategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: PT GRASINDO, 2007), 132.

119

(11)

105

cerita tersebut dapat menciptakan sejarahnya sendiri. Mereka dapat menciptakan sejarah masing-masing hanya ketika mereka menerapkan narasi serta didukung dengan melihat contoh juga meneladani tindakan maupun sikap yang dilakukan oleh setiap orang-orang Kristen yang pantas menjadi panutan. Gereja seharusnya lebih memperdalam perannya dalam menceritakan narasi Kristus. Dalam artian bahwa gereja harus terus menceritakan narasi itu turun temurun sebab, dalam narasi Kristus terdapat tindakan maupun sikap Kristus yang baik. Tindakan dan sikap tersebut kemudian menjadi nilai-nilai karakter Kristen yang harus dilakukan oleh orang-orang Kristen. Dengan demikian, melalui narasi tersebut Kristus dijadikan sebagai figur teladan bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya. Atau secara singkat dapat dikatakan bahwa melalui narasi Kristus akan menciptakan suatu komunitas yang berkarakter Kristen. Hal itulah yang dalam teori yang diusung oleh Hauerwas disebutnya sebagai tugas sosial gereja yaitu menjadi gereja yang berkarakter kuat serta padat. Dengan demikian, untuk dapat melaksanakan perannya dalam membangun karakter, gereja harus menjadi komunitas karakter yang menjadi teladan bagi dunia. Peran lainnya yang telah dijalankan oleh jemaat ini ialah sebagai pendukung dan yang mengkonfirmasi penggunaan seluruh buku pedoman renungan dan pedoman pengajaran, khususnya dalam hal ini Sabda Bina Taruna dan Sabda Bina Pemuda.

Dari hasil penelitian yang kemudian dianalisis lebih dalam maka ditemukan hasil berupa beberapa alasan yang menyebabkan GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan belum maksimal dalam melaksanakan perannya tersebut. Alasan-alasan tersebut antara lain:

(12)

106

pelayanan yang sifatnya rohani atau spiritual adalah lebih penting. Hal ini nampak dari hasil pengamatan di lapangan yang menunjukan bahwa kegiatan-kegiatan yang terprogram didominasi oleh kegiatan-kegiatan-kegiatan-kegiatan spiritualitas, seperti ibadah, persiapan. Selain itu juga adanya paradigma yang kurang mengukur dampak positif dari suatu program maupun kegiatan yang dilaksanakan, namun justru memperhitungkan jumlah dana yang dikeluarkan.120 Paradigma lainnya yang mendukung ialah paradigma yang menganggap bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi atau budaya tidak dapat dicampur-adukan di dalam gereja.121

b. Kurangnya kekompakan dalam diri perangkat gereja.122 Hal ini bersumber dari perbedaan pemikiran antara yang satu dengan lainnya. Kurangnya kekompakan tidak hanya terjadi antara pelayan dalam satu PELKAT, namun juga antara pendeta dengan pendeta, pendeta dengan majelis dan pelayan PELKAT, dan antar sesama majelis.

c. Kurangnya pemahaman yang utuh tentang konsep pendidikan karakter. Hanya sebagian kecil dari pendeta, majelis, jemaat, dan pelayan PELKAT PT maupun GP yang memahami konsep pendidikan karakter secara utuh. Sebagai contoh kurangnya pemahaman terkait dengan cara karakter dapat berkembang.

d. Kurangnya kesadaran dalam memberikan diri untuk aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diupayakan gereja untuk membangun karakter.

e. Gereja juga kurang memberdayakan individu-individu yang berlatar belakang pendidikan dan berkompetensi dalam bidang-bidang ilmu lainnya yang dapat mendukung, seperti agama, psikologi, sosial, ekonomi, budaya, dan bahasa.

120

Wawancara kedua dengan Pdt. Bpk. Jimmy H.K. Iroth, S.Th (Ketua Majelis Jemaat GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan), pada hari: Rabu, 13 Agustus 2014, pukul 13.00 WITA.

121

Wawancara dengan Pnt. Bpk. Wuri Sumampouw, M,h, (PHMJ ketua I yang membidangi Pelayanan dan Kesehatan (PELKES) serta pengajar katekisasi) pada hari: Kamis, 07 Agustus 2014, pukul 17.14 WITA

122

(13)

107

Agar gereja dapat melaksanakan perannya secara maksimal, gereja perlu terlebih dahulu mengatasi penyebab-penyebab diatas. Sebab, melalui penyebab-penyebab tersebut akan memunculkan kendala-kendala baru yang lebih banyak. Oleh karena itu, gereja harus mengambil tindakan yang efektif dan tepat guna. Tindakan yang dimaksud ialah membekali mereka dengan mengadakan pembinaan tentang konsep pendidikan karakter yang bersifat teori. Di dalam konsep tersebut, juga dibahas tentang komunikasi yang berada dalam poin relasi. Komunikasi yang tegas sangat penting untuk dilakukan oleh gereja. Dengan komunikasi yang tegas maka nilai-nilai karakter dan strategi untuk membangun karakter dapat disampaikan kepada setiap pihak di dalam gereja.

Tidak berhenti pada hal-hal yang bersifat teori, namun perlu menindak-lanjuti pembinaan tersebut dengan pelatihan. Pelatihan sangat berguna melihat kemampuan secara langsung dalam prakteknya. Kedua kegiatan tersebut harus dilakukan gereja dalam beberapa kali pertemuan. Hal ini dimaksudkan agar tertanam secara mendalam tentang hal-hal yang diberikan dalam pembinaan terkait dengan pendidikan karakter.

(14)

108

Dari uraian di atas secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam rangka melaksanakan peran GPIB Jemaat Bukit Sion dalam membangun karakter para taruna dan pemuda, gereja harus terlebih dahulu melaksanakan perannya dalam hal mengatasi kelima faktor di atas. Kedua peran itu tidak dapat dipisahkan dalam mewujudkan peran utama gereja sebagai pendidik. Peran utama ini tentunya berkaitan dengan pendidik. Agar peran ini juga menjadi maksimal maka gereja ini tidak boleh melupakan mutu dari pendidik. Strategi yang dapat dilakukan gereja terkait hal ini ialah dengan menetapkan persyaratan bagi tenaga pendidik. Tenaga pendidik tidak hanya pada ketiga Pelayanan Kategorial (PELKAT): Pelayanan Anak (PA); Persekutuan Taruna (PT); dan Gerakan Pemuda (GP), namun juga pada kelas katekisasi. Individu yang ingin melayani di tmpat-tempat tersebut, seharusnya tidak hanya memahami ajaran Kristen; memiliki dan mampu menjadi teladan dalam melakukan karakter Kristen; memiliki keinginan kuat untuk melayani, namun juga harus mengetahui perkembangan dunia sekuler; secara psikologis perkembangan dan kebutuhan dari individu-individu yang dilayani. Tidak kalah pentingnya yaitu pertimbangan usia yang produktif. Usia yang demikian memiliki daya pikir kreatif; inovatif yang tinggi serta efisien untuk menghasilkan karya-karya yang dapat membantu pelayanannya.

IV.1.3. Strategi GPIB Jemaat Bukit Sion dalamPembangunan Karakter

Taruna-Pemuda

(15)

109

pendidikan secara singkat yang menawarkan character building dengan materi pelajaran yang hanya memuat motivasi untuk melakukan karakter. Pada hakekatnya proses yang demikian kuranglah efektif. Membangun karakter harus dilalui seseorang dengan mengikuti serangkaian proses. Karakter tidak hanya terbentuk dari penghargaan yang diberikan kepada pihak yang bertugas membangun karakter (seperti keluarga, guru, dan para tokoh diberbagai lini kehidupan), melainkan perlunya kesadaran dan keinginan untuk melakukan transformasi, sehingga muncul dalam diri suatu komitmen untuk melakukan nilai-nilai yang diajarkan.

Melalui uraian di atas ingin ditegaskan bahwa proses yang panjang adalah hal yang penting dalam pembangunan karakter. Oleh karena itu pembangunan karakter dapat dibentuk dimana dan kapan pun dengan cara yang berulang terus menerus. Melalui konsep tersebut dapat meninjau kegiatan mana yang termasuk dalam pembangunan karakter. Salah satunya ialah ketika ditemukan perbincangan yang dilakukan antara presbiter dengan satu atau lebih taruna maupun pemuda maka kegiatan tersebut bukan termasuk dalam upaya pembangunan karakter. Kegiatan tersebut hanya sebatas perbincangan biasa atau berupa nasihat. Kegiatan yang termasuk dalam membangun karakter ialah suatu tindakan yang dilakukan berulang dan terus menerus hingga menjadi kebiasaan serta di dalamnya tersirat nilai-nilai karakter yang harus diwujud-nyatakan.

(16)

110

mengikuti kegiatan-kegiatan, khususnya ibadah dan persiapan. Oleh karena itu, disiplin menjadi hal yang kontroversi karena membagi dua kubuh yaitu pro dan kontra. Hal ini terjadi karena masih adanya paradigma mereka yang menganggap bahwa kedisiplinan adalah cara yang keras atau seperti militer. Dengan demikian menunjukan bahwa mereka kurang memahami arti pentingnya disiplin diri. Disiplin dapat dikatakan sebagai tanggung jawab yang utama bagi mereka yang ingin sukses. Dengan seseorang mampu mendisiplinkan diri maka orang tersebut mampu memimpin diri sendiri.

Mendisiplinkan individu-individu yang belum terbiasa adalah hal yang tidak mudah. Walaupun demikian, hal itu dapat dilakukan ketika ada kerjasama dari para presbiter yang memimpin. Menyepakati toleransi waktu dan dampak dari keterlambatan adalah hal yang penting untuk mengajarkan kedisiplinan di dalam gereja. Disiplin adalah hal yang penting untuk seseorang dapat melakukan karakter Kristen. Dengan gereja mampu mendisiplinkan para taruna dan pemuda dari hal yang kecil maka gereja akan mampu menghasilkan generasi-generasi penerus yang sukses, baik di bidang rohani maupun di seluruh bidang kehidupan.

Dalam pembangunan karakter oleh gereja, tidak hanya membutuhkan disiplin namun juga harus memiliki tolak ukur yang spesifik sebagai acuan untuk menilai keberhasilan para taruna dan pemuda dalam bertindak. Gereja dapat merancang alat ukur tersebut bersama dengan kemitraan yang terkait, yaitu keluarga; sekolah; dan lembaga-lembaga lainnya. Gereja perlu merancang alat ukur bersama dengan mereka sebab, gereja tidak hidup setiap hari bersama anak-anak taruna dan pemuda. Cara yang dapat dilakukan oleh gereja terkait dengan hal ini antara lain:

(17)

111

mencintai, dan melakukan nilai-nilai karakter Kristen. Di samping itu, pada kebersamaan ini gereja dan yang lainnya harus membuat jadwal pertemuan untuk membahas hal-hal yang terkait, misal perkembangan anak-anak taruna dan pemuda dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, serta yang terpenting adalah melakukan evaluasi. Evalusai merupakan hal yang penting sebab, seluruh pihak dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan yang selama ini ada.

2) Gereja bersama kemitraannya mendaftarkan nilai-nilai karakter Kristen yang ditargetkan secara berkala dan memperhatikan tingkat perkembangan secara menyeluruh dari para taruna dan pemuda. Nilai-nilai tersebut pada akhirnya akan menjadi barometer yang sesuai untuk menilai keberhasilan proses maupun hasilnya. Sebagai contoh, pada tahap pertama mereka ditargetkan untuk mampu berbuat jujur.

3) Membagi tugas dalam kaitannya membiasakan para taruna dan pemuda dalam melakukan nilai-nilai karakter Kristen. Selain itu juga, membagi tugas dalam hal mengamati perkembangan mereka secara berkala.

Dalam proses membangun karakter pada diri taruna dan pemuda, gereja tidak dapat mengupayakannya secara pribadi, melainkan dengan bantuan dan adanya kemitraan dengan berbagai pihak khususnya keluarga. Di mana sebagai keluarga Kristen berperan dalam membentuk karakter Kristen dengan mendorong anak-anak mereka untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja, khususnya ibadah Persekutuan Taruna (PT) dan Gerakan Pemuda (GP). Gereja juga dapat menjalin kemitraan dengan pihak-pihak lain, seperti kepolisian, medis, dan tokoh-tokoh masyarakat maupun agama lainnya.

(18)

112

pembiasaan, keteladanan, pembinaan disiplin, CTL (Contextual Teaching and Learning), bermain peran, dan pembelajaran partisipatif. Sebagian besar dari model tersebut dari hasil obeservasi dan wawancara ditemukan bahwa GPIB Jemaat Bukit Sion telah menggunakannya untuk membangun karakter Kristen bagi jemaat, khususnya para taruna dan pemuda. Walau secara khusus gereja belum mengetahui bahwa model-model yang selama ini digunakan adalah model-model yang dapat membantu dalam membangun karakter Kristen. Hal ini lebih mempertegas akan kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang pendidikan karakter, yang seharusnya dilakukan gereja sebagai upaya dari peran gereja dalam menghasilkan jemaat-jemaat yang berkarakter.

Bentuk nyata dari beberapa model yang diuraikan di atas tertuang dalam pembinaan. Pembinan adalah cara utama yang hingga kini dipergunakan oleh gereja, khususnya GPIB Jemaat Bukit Sion. Pada dasarnya pembinaan bersifat baik karena sebagai salah satu upaya yang dipilih oleh gereja dalam mendidik jemaatnya. Namun, dalam setelah dikaji lebih dalam, ditemukan bahwa dalam pembinaan terdapat beberapa kelemahan, yaitu:

(19)

113

narkoba yang telah sembuh untuk dapat membagikan pengalaman buruknya ketika menjadi pengguna. Atau dengan membuat drama tentang dampak mengunakan narkoba, yang disutradarai oleh anggota BNN dan pihak kepolisian. Dengan contoh tindak lanjut yang demikian, para taruna dan pemuda dapat langsung melihat dan mengambil nilai-nilai karakter yang positif. Metode yang demikian sesuai dengan teori dalam pendidikan karakter, di mana gereja semestinya memberikan kesempatan kepada anak-anak taruna dan pemuda untuk mengalami sendiri sifat-sifat tersebut secara langsung. Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai.123 2) Pembinaan yang digunakan dominan mengarah pada bidang rohani dan hanya

sebagian kecil yang menyentuh pada bidang-bidang lain dalam kehidupan jemaat, seperti budaya; politik; kenegaraan; sosial, termasuk pendidikan karakter. Hal penting ini bukanlah tugas gereja yang baru muncul masa kini, melainkan telah ada sejak zaman zending. Di mana gereja-gereja telah menjalankan berbagai kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan; kesehatan; pelayanan sosial; politik; ekonomi; budaya; militer; pertanian dan pengangkutan.124 Gereja yang cenderung melakukan pembinaan yang demikian memperkuat paradigma jemaat yang belum terbuka terhadap bidang kehidupan lainnya. Misal saja, paradigma yang menganggap bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi atau budaya tidak dapat dicampur-adukan di dalam gereja. Paradigma yang demikian pada akhirnya membuat gereja menjadi eksklusif serta monoton dalam hal metode.

123

M. Williams, Models of Character Education: Perspectives and Developmental Issues. Dalam Journal of Humanistic Counseling, Education and Development vol 39, Issue 1, September 2000), 32-40.

124

(20)

114

3) Pembinaan yang dilaksanakan masih kurang yang mengarah pada pendidikan karakter.

Jemaat dalam gereja bukan hanya hidup dengan hal-hal yang rohani, namun juga hal-hal lainnya yang mendukung dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, seharusnya gereja lebih berpartisipasi di dalam kehidupan jemaat dengan memberikan pembinaan yang menyentuh semua bidang kehidupan dan terkait dengan membangun karakter Kristen bagi jemaat, khususnya para taruna dan pemuda. Gereja dapat melakukannya dengan cara membuka mata dan hati terhadap dunia di luar gereja (yang sekuler) untuk dapat masuk dalam kehidupan gereja. Maksudnya ialah gereja harus dapat melihat perkembangan yang terjadi terkait dengan kehidupan sekuler serta memilih metode maupun model yang lebih kreatif dan inovatif.

Jemaat Bukit Sion tidak hanya telah menggunakan model-model dalam pendidikan karakter, namun juga telah mengimplementasikan beberapa strategi pendidikan. Strategi yang dimaksud sesuai dengan teori yang diusung oleh Lickona terkait dengan mengusahakan lingkungan yang membangun karakter Kristen. Yang menjadi strategi tersebut antara lain:

1) Gereja secara khusus para pendeta, majelis, dan pelayan kategorial telah berupaya mendorong kesadaran seluruh unsur dalam gereja untuk membangun karakter Kristen. Hanya saja cara yang digunakan dalam hal ini terbatas pada media audio. Secara konkret dalam bentuk khotbah-khotbah. Setelah dikaji menggunakan teori yang digunakan pada bab sebelumnya, cara ini belum dapat dikatakan cukup.

(21)

115

seharusnya tidak hanya mengandalakan penyampaian pesan dengan lambang-lambang auditif, yang hanya dapat ditangkap oleh indera pendengaran, melainkan gereja harus menambah cara lain. Cara tersebut yaitu dengan menggunakan media visual dan audio visual. Tindakan nyata dari pengimplementasian media visual ialah dengan menempatkan poster, gambar maupun logo yang menarik. Sedangkan audio visual dapat dilakukan dengan menayangkan video, film, dan memutar TV pendidikan. Media audio visual diasumsikan sebagai metode yang menarik dan efekif sebab, dengan metode tersebut para taruna dan pemuda dapat belajar tentang nilai-nilai karakter Kristen dengan mendengar dan melihat. Dari hasil penelitian yang dilakukan dalam melihat metode pembelajaran, media audio visual memiliki presentase yang sangat besar yaitu 50% dibanding dengan memisahkan antara audio (20%) dan visual (30%).125 Dengan mengkombinasikan cara-cara tersebut maka dapat memaksimalkan gereja dalam mendorong kesadaran untuk membangung karakter Kristen.

2) Dalam kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Jemaat Bukit Sion, sebagian besar nilai-nilai karakter Kristen telah diitegrasikan di dalamnya. Dengan mengesampingkan kendala dalam memberikan teladan yang baik, pada dasarnya nilai-nilai tersebut telah diajarkan oleh gereja kepada para taruna dan pemuda melalui keteladanan. Hal ini menunjukan bahwa Jemaat Bukit Sion memiliki tekat untuk menjadi komunitas teladan yakni komunitas karakter Kristen.

3) Jemaat Bukit Sion telah mampu mengenali kebajikan-kebajikan yang ditargetkan kepada para taruna dan pemuda. Pengenalan tersebut dipermudah dengan adanya buku pedoman renungan yang disusun oleh sinode. Selain itu juga, melalui tema tahunan GPIB yang berfungsi sebagai acuan dasar bagi

125

(22)

116

jemaat-jemaat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan. Contoh dari tema tahunan 2014-2015 ialah Membangun Kemitraan Antara Umat Demi Keselamatan Bangsa. Dalam tema ini secara implisit terdapat nilai-nilai karakter Kristen seperti kasih, ramah, bertindak benar/ bersikap positif, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, penguasaan diri.

4) Jemaat Bukit Sion telah menjalin dan memperkuat kemitraan dengan keluarga-keluarga yang menjadi jemaatnya. Strategi ini merupakan kesatuan dari dua strategi yang saling bersinergi, yaitu menjalin kemitraan antara gereja dengan keluarga dan memperkuat keluarga. Cara yang digunakan dalam hal ini ialah dalam bentuk ibadah-ibadah yang di dalamnya seluruh unsur keluarga (ayah, ibu, dan anak) mengambil bagian. Selain itu, dengan melakukan perkunjungan. Hal ini menujukan bahwa adanya kesadaran gereja tentang pentingnya keluarga dalam membangun karkater baik dalam diri para taruna dan pemuda.

Keluarga memiliki peran awal dalam membangun karakter mereka. Di dalam keluarga, anak-anak diberikan kesejahteraan emosional, memberi bimbingan moral, serta membantu dalam mempelajari nilai-nilai.126 Memahami peran keluarga tersebut maka gereja seharusnya mengembangkan strategi ini. Sebab, melihat bahwa jemaat Bukit Sion belum mendalam dalam mengimplementasikan strategi ini, khususnya memperkuat kemitraan dengan keluarga melalui program pendidikan. Melihat dalam teori yang diusung oleh Charles Stewar tentang tiga dimensi dasar penguatan keluarga. Di mana salah satunya ialah gereja harus mengembangkan pelayanan keluarga melalui program pendidikan, seperti mengadakan Pendalaman Alkitab maupun kelompok belajar. 5) GPIB Jemaat Bukit Sion telah menciptakan kelompok kepemimpinan. Serupa

dengan gereja pada umumnya, kelompok kepemimpinan dalam jemaat ini terdiri

126

(23)

117

dari para pendeta, majelis, dan pengurus PELKAT. Mereka diklasifikasikan dalam kelompok ini sebab, dengan pengetahuan, wawasan, serta kemampuan mereka dalam melayani jemaat, mereka dapat mengkoordinir usaha dan pelaksanaan pembangunan karakter. Tidak hanya itu, mereka juga dituntut untuk dapat menghimpun jemaat serta berbagai wawasan lainnya, ketrampilan, dan pengalaman yang akan digunakan untuk menghadapi kendala-kendala dalam pelayanan, termasuk dalam membangun karakter para taruna dan pemuda. Dengan demikian, kelompok ini juga berperan dalam membangun karakter, khususnya dalam memberikan teladan yang berkarakter Kristen.127

6) Gereja telah memberi peran kepemimpinan kepada para taruna dan pemuda. Hal itu nampak dalam beberapa kegiatan yaitu pertama dalam ibadah hari Minggu. Dalam ibadah ini para taruna dan pemuda dijadwalkan menjadi prokantor atau pun kantoria. Kedua, dalam ibadah-ibadah PELKAT masing-masing. Dalam ibadah ini para taruna dan pemuda dijadwalkan secara bergilir menjadi pendoa syafaat, liturgos, maupun pendoa kolekte. Hal ini dimaksudkan agar mereka belajar mengambil peran sebagai seorang pemimpin.

7) Jemaat ini telah memberi kesempatan bagi setiap anggota jemaat untuk memberi masukan. Beberapa metode yang digunakan dalam strategi ini, pertama, gereja mengadakan kotak saran dan kuisioner yang bertujuan untuk memperoleh feedback dari jemaat untuk kepentingan kualitas pelayanan terhadap jemaat.

Kedua, melalui perkunjungan ke sektor-sektor dalam ibadah gabungan sektor. Perkunjungan ini dilaksanakan oleh Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) setiap bulan, sesuai yang telah dijadwalkan.

8) Jemaat Bukit Sion telah memadukan karakter ke dalam program-program gereja. Sebagai contoh, program dalam Gerakan Pemuda yaitu retreat pemuda. Nilai

127

(24)

118

karakter yang terdapat dalam program tersebut ialah kesetiaan, kebersamaan, dan penuh syukur kepada Tuhan. Demikian halnya dengan program Persekutuan Taruna, contohnya yaitu program Taruna Berpelkes. Maksud dari program ini ialah agar para taruna dapat membangun kerukunan dan kemitraan dengan lingkungan.

Strategi lain yang tidak terdapat dalam teori namun digunakan oleh jemaat ini ialah penggunaan Sabda Bina Taruna dan Sabda Bina Pemuda. Kedua buku ini adalah kurikulum yang spesifik tertuju untuk mendidik para taruna dan pemuda sesuai dengan ajaran Kristen. Oleh karena itu, para pelayan dan pengurus baik taruna maupun pemuda sangat mengandalkan kedua buku ini. Jika dikaji lebih dalam ditemukan kelebihan dan kekurangan dari kedua buku ini, antara lain:

a) Sabda Bina Taruna

(25)

119

masalah di atas maka menunjukan bahwa tim yang membuat buku ini kurang memiliki pengetahuan tentang teori kurikulum PAK. Di mana dalam teori tersebut dijelaskan tentang komponen-komponen kurikulum, termasuk di dalamnya gagasan utama atau tujuan umum dan tujuan khusus. Persyaratan dalam merancang tujuan umum ialah menggunakan kata-kata kerja yang bersifat abstrak, tidak dapat secara langsung dilihat; diukur; didengar; digenggam. Sebagai contoh, mensyukuri, memahami, mewujudkan, menerima. Sebaliknya dengan tujuan khusus yaitu menggunakan kata-kata kerja yang sifatnya konkret, dapat secara langsung dilihat; diukur; didengar; digenggam. Sebagai contoh, menjelaskan, menuliskan, menceritakan, bernyanyi.128 Dalam tujuan-tujuan tersebut, yang terdapat dimensi karakter ialah gagasan utama. Sebagai contoh nilai yang terintegrasi dalam gagasan utama ialah penuh syukur, bertindak benar, bertanggung jawab. Hal ini berbeda dengan tujuan umum. Di mana sangat jarang ditemui dimensi karakter pada tujuan khusus.

Komponen kedua yang membentuk ialah materi. Materi adalah bagian di mana para pelayan dapat menjelaskan maksud dari ayat Alkitab yang dikaitkan dengan tujuan, dan strategi dalam mendidik para taruna. Oleh karena itu dalam materi terdapat berbagai wawasan dan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan Teologis. Materi yang dipaparkan telah bersifat aktual, dan memberi kontribusi kepada para taruna, serta telah memasukan nilai-nilai karakter tertentu untuk ditargetkan kepada para taruna dan pelayan.

Strategi adalah komponen berikutnya. Dalam komponen ini ditemukan bahwa kurangnya kreatifitas yang diberikan dalam penyampaian pembelajaran. Hal ini ditunjukan dengan penggunaan strategi yang sama dalam tiap pertemuan, yakni menggunakan strategi penyampaian cerita dan diskusi. Jika mengkaji lebih jauh,

128

(26)

120

kedua strategi yang dominan digunakan mengarahkan diri pada aras kognitif. Atau dengan kata lain, Sabda Bina Taruna masih memfokuskan diri pada perkembangan intelektual para taruna. Kurangnya kreatifitas yang diberikan dalam buku ini juga menunjukan bahwa para pelayan dalam masing-masing jemaat diberikan kesempatan dalam mengeksplore kreatifitas yang mereka miliki untuk mengolah materi menjadi menarik dan sedemikian rupa disampaikan kepada para taruna. Namun kesempatan tersebut hanya digunakan oleh beberapa dari pelayan, dan sebagiannya lagi lebih memilih menggunakan strategi penyampaian yang serupa yang tertulis dalam Sabda Bina Taruna. Dari masalah ini menunjukan bahwa kurangnya pemahaman terkait pembelajaran yang menarik dan kreatif. Untuk melakukan hal itu, para pelayan dapat menggunakan sembilan kecerdasan (multiple intelegence) yang masing-masing dimiliki oleh taruna.

(27)

121 b) Sabda Bina Pemuda

Perbedaan dengan Sabda Bina Taruna ditemui dalam buku Sabda Bina Pemuda. Secara nyata tidak dapat ditemui pembagian atas keempat komponen yang membentuk kurikulum sebab, buku ini lebih condong pada kumpulan dari khotbah-khotbah. Oleh karena itu, komponen yang menyusunnya ialah komponen-komponen yang membentuk suatu khotbah. Komponen-komponen tersebut yaitu pendahuluan, isi, penutup.129 Dalam pendahuluan dikemukakan hal-hal yang menarik perhatian, baik itu berupa pertanyaan, persoalan yang hangat dibicarakan, peristiwa atau pengalaman yang menjadi bahan pembicaraan, serta perasaan yang meliputi hati pendengar. Dalam isi yang harus dilakukan ialah mengaitkan antara hal-hal yang digunakan dalam pendahuluan, penafsiran, Bagian lainnya yang terdapat dalam buku ini ialah kesimpulan. Kesimpulan merupakan bagian internaldari penutup. Kesimpulan merupakan pengulangan beberapa bagian yang dianggap penting atau menjadi inti dari pewartaan firman Tuhan, dan juga yang telah disesuaikan dengan situasi maupun kondisi dari para pemuda. Atau dengan kata lain dalam bentuk poin-poin penting yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Penutup menjadi penggerak bagi para pemuda agar dengan sukarela serta tulus melakukan kehendak Allah.

Dengan mengetahui bahwa Sabda Bina Pemuda adalah berbentuk renungan maka strategi yang digunakan tentunya dengan menggunakan metode khotbah, namun hanya bersifat monolog. Serupa dengan kasus dalam strategi yang terdapat di Sabda Bina Taruna, strategi yang digunakan oleh para pelayan firman dalam menyampaikan materi yang terdapat dalam Sabda Bina Pemuda dianggap masih kurang kreatif.

129

(28)

122

Dengan melihat komponen-komponen yang menyusun kurikulum Sabda Bina Pemuda maka tujuan hanya tersirat berupa nasihat, peringatan, dan ajakan kepada para pemuda untuk melakukan hal-hal yang baik, yang sesuai dengan pembacaan Alkitab dan topik. Jika ditempatkan dalam ketiga komponen di atas, nasihat, peringatan, dan ajakan tersebut berada dalam bagian penutup. Walaupun demikian, dimensi karakter sangat nampak di dalamnya. Contohnya, renungan tanggal 1 Juli 2014 dengan pembacaan Alkitab dari kitab 2 Timotius 3: 14. Nilai karakter yang ditargetkan ialah keteladanan.

Terlepas dari kekurangan dan masalah yang terdapat dalam Sabda Bina Taruna dan Sabda Bina Pemuda, menunjukan bahwa di sisi lain jemaat ini telah sadar akan pentingnya pembangunan karakter bagi para taruna dan pemuda serta sadar akan peran gereja dalam hal itu. Oleh karena itu, gereja mendidik para taruna dan pemuda menggunakan kurikulum tersebut. Namun, di sisi lain segala upaya yang dilakukan oleh gereja tidak lepas dari kendala. Dari hasil penelitian ditemukan beberapa kendala yang cukup menghambat peran gereja. Kendala-kendala yang dimaksud ialah: pertama, terkait dengan metode atau cara yang dapat digunakan gereja dalam membangun karakter. Perkembangan yang terjadi dalam diri para taruna dan pemuda berpengaruh pada perubahan metode pengajaran. Ketika taruna, gereja tidak dapat lagi mengandalkan metode bercerita. Atau menggunakan kemarahan untuk mengajar. Perubahan demikian terjadi juga ketika mereka telah berada pada Gerakan Pemuda. Gereja tidak lagi dapat secara lebih mendalam mengindoktrinasi ajaran-ajaran dan nilai-nilai Kristen sama seperti yang dilakukan ketika Sekolah Minggu dan Persekutuan Taruna.

(29)

123

tidak memiliki metode khusus yang dibakukan dalam hal mendidik. Ketidaksetjuan terhadap pengadopsian metode tersebut secara tidak langsung membatasi kreativitas dalam mengeksplore kemampuan para pendidik. Selain itu juga menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang besar antara dunia pendidikan secara umum dan secara khusus yang dilakukan oleh gereja. Di mana seluruh strategi yang dilakukan oleh satuan pendidikan tidak dapat digunakan di gereja. Hal tersebut juga menunjukkan kurangnya pemahaman dari jemaat tentang peran dari tiga pilar pendidikan. Keluarga, satuan pendidikan, serta masyarakat termasuk di dalamnya gereja sebagai komunitas agama Kristen adalah tiga pilar yang melaksanakan pendidikan bagi naradidik. Ketiga pilar tersebut tidak dapat dipisahkan. Mereka bekerjasama dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada alinea kedua melalui Pendidikan Nasional.130

Pembangunan karakter sangat penting untuk dilakukan sedini mungkin dan dalam hal ini terjadi pada masa taruna. Tujuannya ialah membentuk suatu pola yang menghasilkan kebiasaan yang tertanam kuat dalam diri. Ketika pola tersebut dibangun sedini mungkin maka akan dibawa hingga mereka beranjak di tingkat yang lebih tinggi, yaitu pemuda dan seterusnya. Dalam pembangunan pola yang demikian diperlukan suatu keteladanan dari pihak-pihak sekitar yang terkait. Keteladanan sama halnya dengan kedisiplinan yaitu menjadi hal yang penting serta sulit untuk dilaksanakan.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa gereja tidak menyadari tindakan yang dilakukan menjadi teladan yang buruk. Inilah yang menjadi kendala yang kedua.

Hal itu dibuktikan dengan ditunjukkannya keteladanan yang kurang baik oleh beberapa orang yang lebih tua dari para taruna dan pemuda. Memiriskan hati

130

(30)

124

ketika ditemukannya beberapa dari mereka yang termasuk majelis atau pengurus kategorial. Keteladanan yang buruk pertama ditunjukkan oleh adanya bapak-bapak yang merokok di lingkungan gereja, yang keluar dari gedung gereja pada saat doa syafaat, serta kumpul-kumpul hingga larut malam diikuti dengan kegiatan minum minuman beralkohol di lingkungan gereja atau saat ibadah selesai. Tindakan dan sikap ini telah menjadi kebiasaan dalam diri mereka. Dengan pola yang demikian tentunya menarik perhatian khususnya para pemuda untuk terlibat. Keteladanan buruk yang kedua ditunjukkan oleh segelintir orang tua yang kurang memberikan teladan serta motivasi bagi anak-anaknya untuk terlibat aktif dalam kegiatan Persekutuan Taruna maupun Gerakan Pemuda.

(31)

125

belum ada ketika masalah muncul sebab, aturan hanya terdiri dari rumusan kata-kata dan bersifat pasif yang hanya dapat mengatur. Namun sebaliknya, masalah bersifat dinamis yaitu selalu berubah-ubah setiap saat.

Jika dikaji lebih dalam, kendala-kendala yang menghambat pembangunan karakter oleh Jemaat Bukit Sion adalah kurangnya dukungan serta kebersamaan dari seluruh unsur dalam gereja. Selain itu juga kurangnya pengetahuan bahwa pendidikan yang diberikan oleh gereja adalah barometer pendidikan agama di sekolah. Selain itu juga, seluruh yang diajarakan di gereja, baik dalam konteks formal maupun non-formal seharusnya menjadi dasar anak-anak untuk bertindak di sekolah dan keluarga. Bukan sebaliknya, seperti yang terjadi saat ini, yaitu pendidikan agama di sekolah justru menjadi barometer dalam anak mengetahui dan bertindak di gereja dan keluarga. Jadi dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3: Pendidikan Agama di Sekolah menjadi Barometer

Gambar 4: Pendidikan Agama di Gereja menjadi Barometer

Gereja harus secara tegas mengatasi kendala-kendala yang muncul. Berawal dari perubahan paradigma yang dimiliki oleh seluruh unsur dalam gereja terkait dengan memisahkan gereja dengan dunia sekuler. Gereja perlu mengadopsi hal-hal luar yang dibutuhkan untuk digunakan. Hal-hal-hal tersebut dikondisikan dengan keadaan yang ada di gereja dan diolah dengan kreatif dan inovatif menjadi kegiatan pendidikan karakter yang menarik bagi para taruna dan pemuda. Dengan demikian, GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan dapat memberikan pendidikan karakter yang berbeda dengan pendidikan karakter umumnya. Sebab

(32)

126

menurut Trofin dalam teorinya memaparkan bahwa pendidikan yang diberikan di dan oleh gereja harus menyesuaikan dengan interpretasi tradisi, kebenaran, dan situasi yang ada dalam kehidupan termasuk situasi sekitar masyarakat di mana gereja berdomisili.131 Untuk mengolah pendidikan yang demikian, para pendeta, majelis, dan pelayan kategorial dituntut untuk mengembangkan kekreativitasan yang mereka miliki. Dengan mengkonsepkan secara kreatif akan kegiatan dalam rangka membangan karakter, akan sangat membantu dalam menarik perhatian para taruna dan pemuda untuk bersedia terlibat aktif dalam setiap kegiatan gereja. Hal ini harus dilakukan oleh gereja. Penyebabnya ialah ketika mengkaji lebih dalam tentang ketidak-aktifan mereka, ditemukan salah satu penyebabnya ialah ketidak-tertarikan dengan kegiatan gereja. Mereka merasa bahwa dunia sekulerlah yang sesuai dengan kebutuhan mereka di masa

muda. Kehidupan sekuler memberikan mereka rasa “gaul” dengan menyediakan

berbagai kegiatan yang sesuai dengan diri mereka masing-masing.

Gereja harus perlahan mengejawantahkan pendidikan karakter secara nyata. Salah satunya dengan memiliki tim khusus yang menangani pendidikan karakter di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan. Tim khusus tersebut terdiri dari pendeta, majelis, dan jemaat yang memiliki motivasi dalam menghasilkan generasi penerus yang berkarakter Kristen. Selain itu juga, individu-individu yang masuk dalam tim ini berkompetensi dalam bidang kehidupan yang berbeda-beda, memahami pendidikan karakter, serta mampu mengikuti perkembangan dalam kehidupan sekuler.

Suatu tim pada umumnya memiliki tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan. Adapun fungsi dari tim ini ialah tidak hanya sebagai perancang pembangunan karakter melalui pendidikan, namun juga sebagai pelaksana dan

131

(33)

127

pengajar. Walaupun demikian, seluruh individu dalam gereja dapat ikut serta membantu dalam kegiatan yang telah direncanakan oleh tim khusus. Dengan demikian, yang berperan dalam pembangunan karakter Kristen tidak hanya segelintir orang, namun seluruh yang termasuk dalam GPIB Jemaat Bukit Sion Balikapapan.

Adapun tugas yang harus dilakukan oleh tim ini ialah mengurusi pendidikan karakter di gereja akan sangat berperan penting untuk menghasilkan generasi penerus Kristen yang berkarakter. Tim ini tidak hanya merancang strategi, merumuskan nilai-nilai karakter Kristen yang menjadi target untuk dilakukan, namun juga dapat mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan anak-anak taruna dan pemuda terkait dengan moral dan karakter mereka. Hal itu dapat dilakukan dengan perkunjungan yang terjadwal secara khusus pada anak-anak yang memiliki masalah. Tidak terbatas pada mereka yang memiliki masasalah, perkunjungan dapat dilakukan oleh tim ini kepada seluruh anak-anak yang ada dengan tujuan mengetahui perkembangan dari karakter mereka. Hal ini muncul sebagai praksis dari keadaan gereja yang belum menyentuh pendidikan karakter di gereja secara dalam. Dengan adanya tim ini mereka akan berupaya menghasilkan ide-ide yang kreatif dan inovatif dalam membangun karakter para taruna dan pemuda.

(34)

128

melalui pendidikan.132 Tahap-tahap tersebut jika diimplikasikan dalam gereja yaitu pertama, membuat perencanaan secara matang. Dalam tahap ini yang dilakukan ialah membuat konsep pendidikan karakter, baik mulai dari tujuan umum maupun khusus dari suatu kegiatan; menentukan strategi yang akan digunakan; memilih nilai-nilai karakter yang akan ditargetkan kepada naradidik; mempertimbangkan teori tentang otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral, serta sosio kultural. Pada tahap selanjutnya, seluruh yang telah direncanakan pada tahap awal dikembangkan melalui berbagai kegiatan. Ketika telah melaksanakan dalam jangka waktu yang ditentukan, diperlukan tahap evaluasi. Tahap ketiga ini berguna dalam rangka melihat dan menilai segala yang terkait, mulai dari kinerja pendidik hingga kegiatan yang telah terlaksana.

IV1.4. Kesesuaian Peran dan Strategi dengan Teori Pembangunan Karakter

Dari uraian yang panjang tentang peran dan strategi yang telah diupayakan oleh GPIB Jemaat Bukit Sion selama ini dapat dikatakan telah cukup sesuai dengan teori pembangunan karakter, khususnya melalui pendidikan. Dikatakan demikian sebab, dari hasil penelitian ditemukan hasil tentang beberapa peran yang telah dilakukan jemaat ini untuk membangun karakter. Peran tersebut antara lain: a) membangun iman Kristen melalui memfasilitasi ibadah serta kegiatan-kegiatan terprogram lainnya; b) sebagai pencerita narasi Kristus kepada jemaat, khususnya para taruna dan pemuda; c) sebagai pendukung dan yang mengkonfirmasi penggunaan seluruh buku pedoman renungan dan pedoman pengajaran, khususnya dalam hal ini Sabda Bina Taruna dan Sabda Bina Pemuda.

Peran-peran yang telah dijalankan oleh GPIB Jemaat Bukit Sion tersebut, salah satunya telah sesuai dengan teori pembangunan karakter Kristen yang diusung oleh

132

(35)

129

Hauerwas. Di mana menurutnya secara singkat dapat dinyatakan bahwa gereja memiliki dua peran utama yaitu, pertama sebagai pencerita narasi Kristus secara turun temurun. Lebih dalam lagi dari peran tersebut terdapat peran kedua yang juga penting dalam pembangunan karakter para taruna dan pemuda, yaitu peran gereja sebagai komunitas karakter yang menjadi teladan bagi dunia. Dari teori ini menunjukan secara nyata bahwa jemaat ini belum memperdalam/meneruskan peran pencerita narasi Kristus, yakni peran sebagai komunitas teladan yaitu menjadi komunitas karakter Kristen. Penyebab dari belum dijalankannya peran ini ialah kurangnya kebersamaan dan persatuan dari seluruh unsur dalam gereja ini dalam membangun karakter baik bagi para generasi penerus gereja. Di mana pembangunan tersebut dilakukan dengan memberikan keteladanan. Dengan belum dijalankannya peran ini maka berakibat pada tindakan para taruna dan pemuda yang kurang berkarakter Kristen. Tindakan yang meresahkan para orang tua, pendeta, majelis, dan pelayan PELKAT (Pelayanan Kategorial). Tindakan-tindakan tersebut antara lain: tingkat keaktifan para generasi muda terhadap kegiatan-kegiatan gereja, khususnya dalam persekutuan, semakin menurun. Selain itu juga masih banyak dari mereka yang merokok, mengkonsumsi minuman keras, mudah berkata yang tidak sopan, kurangnya keberanian dalam berkata jujur, kurangnya disiplin (khususnya dalam disiplin waktu).

(36)

130

dalam strategi, gereja belum meneruskan pengimplementasian terhadap seluruh strategi yang dapat mendukung peran gereja untuk membangun karakter. Dua strategi yang belum diimplementasikan oleh jemaat ini ialah: gereja mengenali karakter yang baik dan memberi penghargaan dan yang kedua yaitu gereja memberikan pelatihan kepemimpinan.

Jika dikaji secara mendalam tedapat penyebab mengapa gereja belum mengimplementasikan strategi-strategi tersebut. Untuk strategi gereja mengenali karakter yang baik dan memberi penghargaan penyebabnya ialah gereja memiliki sejumlah kegiatan yang harus diurus, sehingga tidak adanya tindak lanjut dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Hal ini menunjukan bahwa kurangnya totalitas gereja terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan nampak hanya menjadi bentuk nyata untuk menunjukan keeksistensian gereja. Penyebab lainnya yaitu jumlah jemaat yang sangat banyak sehingga gereja menemui kesulitan dalam memperhatikan, mengakui dan merayakan karakter baik yang dilakukan oleh tiap jemaat.

Strategi kedua yang belum diterapkan oleh jemaat ini ialah memberikan pelatihan kepemimpinan. Strategi ini terfokus pada kandidat dalam kelompok kepemimpinan. Pelatihan ini penting bagi mereka dengan alasan bahwa para kandidat perlu lebih dipersiapkan untuk mampu menghadapi tantangan, melatih mereka untuk mampu bekerja pada kondisi dan subyek yang berbeda-beda.133 Diasumsikan yang menjadi penyebab jemaat ini belum menerapkan strategi ini ialah kurangnya sumber daya insani dari jemaat yang mampu memberikan pelatihan kepada kandidat dalam kelompok kepemimpinan. Selain itu terkait dengan paradigma jemaat yang menganggap bahwa peran gereja hanyalah pembangunan iman Kristen melalui pelayanan. Oleh karena itu, jemaat

133

(37)

131

menganggap bahwa para kandidat tersebut telah beriman penuh kepada Allah, sehingga mereka dipercaya dapat melakukan segala sesuatu yang menjadi tugasnya, termasuk dalam memimpin jemaat.

Dari uraian tentang kesesuaian antara peran dan strategi yang telah dilaksanakan oleh Jemaat Bukit Sion dengan teori pembangunan karakter maka dapat digambarkan melalui skema di bawah ini.

IV.2. Refleksi Teologi

Pada dasarnya setiap gereja yang ada mengetahui tentang perannya dalam mendidik. Gereja tidak hanya mendidik seluruh anggota tubuhnya, melainkan juga mendidik setiap orang. Ini menjadi amanat yang diberikan Tuhan kepada gereja, seperti yang dituliskan dalam Matius 28:20 tertulis: “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah

Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamusenantiasa sampai kepada

(38)

132

tersebut yang juga menjadi nilai-nilai karakter Kristen yang harus dilakukan oleh setiap orang, khususnya para taruna dan pemuda.

Dalam ayat Matius 28:20 tidak hanya berisi tentang amanat, namun juga janji Tuhan kepada mereka yang melakukan amanat tersebut. Oleh karena itu, ketika gereja melaksanakan amanat, peran, tugas, perintah, ataupun tanggungjawab tersebut, maka gereja akan berkat Tuhan berupa penyertaan-Nya akan dirasakan gereja selamanya. Bagaimanapun keadaan kehidupan gereja, baik itu banyaknya masalah yang menjadi kendala ataupun ketidakmampuan yang dimiliki gereja, Tuhan senantiasa memberkati dengan Roh Kudus dan firman-Nya. Walaupun terselip janji Tuhan, namun gereja tidak menjadikan janji tersebut sebagai motivasi dalam melakukan peran atau tugasnya dalam membangun karakter Kristen bagi para taruna dan pemuda. Gereja melakukan hal itu sebagai respon akan kasih setia Tuhan dalam kehidupan ini. Gereja mewujudnyatakannya dengan bersikap taat dalam menerima dan menjalankan perannya tersebut.

Tuhan tidak memberikan amanat, peran, tugas, perintah, ataupun tanggungjawab hanya kepada gereja, namun juga kepada masing-masing individu yang percaya kepada-Nya. Amanat yang demikian ialah “Hai anakku, berpeganglah pada perkataanku, dan simpanlah perintahku dalam hatimu. Berpeganglah pada perintahku, dan engkau akan

hidup; simpanlah ajaranku seperti biji matamu. Tambatkanlah semuanya itu pada jarimu,

dan tulislah itu pada loh hatimu.” (Amsal 7: 1-3). Dari ayat tersebut lebih tepat menunjukan tugas ataupun tanggungjawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anak-anak Tuhan. Dalam hal ini para taruna dan pemuda yang telah menerima ajaran-ajaran yang diperintahkan oleh Tuhan dan diberikan melalui gereja.

(39)

133

melalui gereja, c) berpeganglah pada perintah tersebut, d) simpanlah ajaran yang telah diberikan seperti biji mata, e) tambatkanlah semuanya itu pada jari, dan f) tulislah itu pada loh hati. Tindakan-tindakan tersebut dapat menuntun secara praktis apa yang harus dilakukan para taruna dan pemuda. Mereka tidak hanya mendengar dan mengetahui, namun juga menyimpan dan menjaganya dengan baik dan benar di dalam hati mereka. Ketika perintah yang berbentuk nilai-nilai tersebut telah disimpan di dalam pikiran dan hati, tentunya setiap tindakan maupun sikap yang nampak adalah nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, para taruna dan pemuda akan mendasarkan setiap tindakan dan sikap hanya pada perintah dan ajaran Tuhan melalui gereja. Ketika mereka telah mampu melakukan yang demikian maka tanda-tanda sebagai manusia baru tentunya dapat mereka tunjukan. Tanda-tanda tersebut antara lain: kejujuran (berkata jujur, benar, dan sopan), kesabaran, kerja keras, kepedulian (membantu orang yang berkekurangan), keramahan, penuh kasih dan syukur, bertindak positif (baik dan benar), rendah diri. (Efesus 4: 21-5: 21).

Di setiap amanat yang diberikan Tuhan kepada seluruh pihak, terselip janji yang indah. Janji tersebut akan mendatangkan kebaikan hanya bagi mereka yang melakukan amanat Tuhan. Hal itu tidak hanya nampak pada amanat dan tugas kepada gereja, namun juga pada setiap taruna dan pemuda yang melakukan perintah-perintah Tuhan. Janji Tuhan yang dimaksud dalam Amsal 7: 1-3 ialah memperoleh kehidupan (ay 2). Jadi, jika dikaitkan dengan pembangunan karakter bagi para taruna dan pemuda maka ketika mereka bersedia memahami, mencintai, dan melakukan perintah Tuhan yang terwujud dalam nilai-nilai karakter maka kehidupan akan diberikan Tuhan kepada mereka. Kehidupan yang dimaksud ialah keberhasilan dan kesuksesan dalam hidup bersama Tuhan.

(40)

134

Gambar

Gambar 3: Pendidikan Agama di Sekolah menjadi Barometer

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan energi

Pe%$iapan

Pada penelitian ini dibangun sebuah sistem monitoring server menggunakan Nagios dengan pengiriman pesan notifikasi status server apabila mengalami gangguan melalui

rasionalitas penggunaan antijamur pada pasien penderita Infeksi Menular Seksual di Puskesmas se kabupaten Banyumas.. Metode Penelitian: Jenis penelitian ini adalah observasional

Penggambaran keadaan Siti Ningrum yang demikian tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan pengarang, yaitu Tirto Adhi Soerjo, yang lewat pikiran dan tindakan Busono sebagai

Sekarang saja memberitahu dengan resmi kepada Saudara- saudara, djikalau dibenarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, Insja Allah Subhanahu Wata’ala, hari lusa saja akan

Dari hasil uji biokimia ketiga isolat bakteri yang diisolasi dari usus udang windu ( Paneus monodon) berdasarkan acuan buku Cow£in and Steel's (1992) masing - masing adalah isolat

Serum tersebut tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen brown akan bereaksi dengan reagen  blue.. Ketika diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet