• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alih Kode dan Campur Kode Dalam Percakapan di Pasar Batu 12 Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara : Kajian Sosiolinguistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Alih Kode dan Campur Kode Dalam Percakapan di Pasar Batu 12 Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara : Kajian Sosiolinguistik"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep

Sesuai dengan topik, dalam tulisan ini digunakan beberapa konsep yaitu alih kode, campur kode,diglosia, kedwibahsaan dan interferensi.

2.1.1. Alih Kode

Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke

kode yang lain. Misalnya penutur yang menggunakan bahasa Indonesia beralih

menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek

ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual.

Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya

menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih

cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai

dengan konteksnya. Berbagai tujuan dari si pelaku tindak tutur yang melakukan

alih kode dapat terlihat dari tuturan yang dituturkannya.Beberapa ahli telah

memberikan batasan dan pendapat mengenai alih kode.

(2)

kode B, peralihan bahasa seperti itu disebut sebagai alih kode. Sejalan dengan Suwito, Dell Hymes (1975:103) dalam Rahardi (2010:24) memberi pengertian bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari suatu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam.

Poedjosoedarmo dalam Rahardi (2010:24) menjelaskan bahwa seseorang

sering mengganti kode bahasanya saat bercakap-cakap. Pergantian itu dapat

disadari atau bahkan mungkin pula tidak disadari oleh penutur. Gejala alih kode

semacam initimbul karena faktor komponen bahasa yang bermacam-macam.

Chaer dan Agustina (1995:141) menambahkan bahwa alih kode adalah “peristiwa

pergantian bahasa atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau

juga ragam resmi ke ragam santai”. Jadi dalam alih kode, pemakaian dua bahasa

atau lebih ditandai oleh kenyataan bahwa masing-masing bahasa masih

mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, dan fungsi

masing-masing bahasa itu disesuaikan dengan relevan dengan perubahan

konteksnya.

Chaer dan Agustina (2010:107) mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala peralihan bahasa karena berubahnya situasi. Sedangkan Hymes dalam Chaer dan Agustina (2010:107-108) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa.

Chaer dan Agustina (2010:108) mengemukakan pokok persoalan

(3)

terdapat penyebab alih kode diantaranya yaitu (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke inforrmal, (5) perubahan topik pembicaraan.

Pertama, pembicara atau penutur. Seorang penutur sering melakukan alih kode untuk mengejar suatu kepentingan, dan mendapatkan keuntungan atau

manfaat. Contohnya, dalam suatu kantor pemerintah, banyak tamu yang beralih

kode ke dalam bahasa daerah ketika bercakap-cakap dengan orang yang

ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan sebagai satu

masyarakat tutur. Dengan demikian, si penutur akan merasa lebih dekat dengan

lawan bicaranya.

Kedua, pendengar atau lawan tutur/ mitra tutur. Biasanya, seorang penutur berusaha mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tuturnya. Contohnya, seorang penjual cinderamata yang melakukan alih kode ke dalam bahasa asing untuk mengimbangi kemampuan berbahasa pembelinya (turis). Dengan demikian, terjalin komunikasi yang lancar dan barang dagangannya dibeli turis tersebut.

Ketiga, perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga. Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur.

Keempat, perubahan formal ke informal atau sebaliknya. Berubahnya suasana informal ke bahasa Indonesia ragam resmi (baku) sebagai ciri suasana

formal. Contohnya, sebelum perkuliahan di mulai situasinya adalah informal,

(4)

Kelima, perubahan topik pembicaraan. Perubahan topik pembicaraan dapat juga menjadi penyebab terjadinya alih kode.

Penyebab-penyebab alih kode ini biasanya sangat berkaitan dengan verbal repertoire yang terdapat dalam suatu masyarakat tutur serta bagaimana status sosial yang dikenakan oleh para penutur terhadap bahasa-bahasa atau ragam-ragam bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu. Dalam masyarakat tutur tertentu, terutama yang mengenal tingkatan sosial bahasa (undak usuk), ada alih kode yang terjadi tidak secara drastis, melainkan berjenjang menurut satu kontinum, sedikit demi sedikit, dari yang dekat sampai yang jauh perbedaannya, sehingga alih kode tidak terasa mengagetkan.

Chaer dan Agustina (2010:114) membedakan alih kode menjadi dua macam yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam repertoire masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

2.1.2. Campur Kode

(5)

alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Pada campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur hanyalah serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi atau keotonomiannya sebagai sebuah kode.

Seorang penutur misalnya yang dalam berbahasa Indonesia menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode yang menyebabkan munculnya satu ragam bahasa Indonesia yang ke Jawa-Jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang ke Sunda-Sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda).

Suwito (1985:401) mengatakan bahwa campur kode adalah penyusupan unsur-unsur kalimat dari suatu bahasa kedalam bahasa yang lain, berwujud kata, frasa, pengulangan kata, ungkapan atau idiom. Thelander (dalam Suwito 1985:76) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam peristiwa campur itu terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang sama.

(6)

Menurut Suwito (1985:77), beberapa faktor penyebab terjadiya peristiwa campur kode dikategorikan menjadi dua, yaitu: 1. Berlatar belakang pada sikap penutur (attitudinal type) yang meliputi (a) untuk memperhalus ungkapan, (b) untuk menunjukkan kemampuannya, (c) perkembangan dan perkenalan budaya baru. 2. Berlatar belakang pada kebahasaan (linguistic type) yang meliputi (a) lebih mudah diingat, (b) tidak menimbulkan kehomoniman, (c) keterbatasan kata, (d) akibat atau hasil yang dikehendaki.

2.1.3. Diglosia

Ferguson dalam Chaer dan Agustina (2010:93) merumuskan diglosia sebagai berikut:

1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu bahasa terdapat juga sebuah ragam lain.

2. Dialek-dialek utama itu, diantaranya bisa berupa dialek standar, atau sebuah standar regional.

3. Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri: - Sudah (sangat) terkodifikasi,

- Gramatikalnya lebih kompleks,

- Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati,

- Dipelajari melalui pendidikan formal,

(7)

- Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari.

Ferguson dalam Chaer dan Agustina (2010:92) menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi

dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.

2.1.4. Kedwibahasaan

Secara harfiah, bilingualisme atau kedwibahasaan yaitu berkenaan

dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik,

secara umum, kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh

seorang penutur dalam pegaulannya dengan orang lain secara bergantian (Chaer

dan Agustina 2010:84). Bilingualisme atau kedwibahasaan adalah kemampuan

menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya (Robert Lado dalam Chaer dan Agustina 2010:86). Menurut Lado penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh.Orang yang menggunakan dua bahasa atau lebih disebut sebagai dwibahasawan atau bilingual (Chaer dan Agustina 2010:86).

(8)

yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penuturnya (Mackey dalam Chaer dan Agustina 2010:87). Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud oleh Mackey bahasa sama halnya dengan langue. Tetapi Weinrich dalam Chaer dan Agustina (2010:87) memberi pengertian bahasa dalam arti luas yaitu tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Berbeda dengan Mackey,Oskaar dalam Chaer dan Agustina (2010:91) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok.Hal itu dikarenakan bahasa itu penggunanya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antara kelompok. Bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok (Chaer: 1994).

Seseorang dikatakan bilingual bila mampu menggunakan dua bahasa secara berdampingan, tidak dituntut adanya penguasaan penuh melainkan hanya dengan penguasaan minimal atas bahasa kedua, seseorang sudah disebut bilingual.Kedwibahasaan ditandai dengan berbagai macam gejala seperti alih kode, campur kode, interferensi, integrasi dan pemertahanan atau pergeseran bahasa. Chaer dan Agustina (2010: 88) mengatakan bahwa apa yang disebut dua bahasa dalam bilingualisme termasuk juga dua variasi bahasa.

(9)

2.1.5. Interferensi

Menurut Chaer dan Agustina (2010:120) istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian; dan penutur yang multilingual adalah penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergtantian.

Hartman dan Stork dalam Chaer dan Agustina (2010:121) tidak menyebut interferensi itu sebagai “pengacauan” atau “kekacauan”, melainkan “kekeliruan” yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.

Interferensi yang dimaksud oleh Weinreich dalam Chaer dan Agustina (2010:122) adalah interferensi yang tampak dalam perubahan sistem suatu bahasa yaitu mengenai sistem fonologi, sistem morfologi, dan sistem sintaksis.

(10)

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Sosiolinguistik

Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara

bahasa dan masyarakat penuturnya.Ilmu ini merupakan kajian kontekstual

terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang

alami. Sosiolinguistik berasal dari kata “sosio” dan “linguistic”. Sosio sama

dengan kata sosial yaitu berhubungan dengan masyarakat. Linguistik adalah

ilmu yang mempelajari dan membicarakan bahasa khususnya unsur- unsur

bahasa dan antara unsur-unsur itu. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian yang

menyusun teori-teori tentang hubungan masyarakat dengan bahasa.

Sosiolinguistik juga mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan

bahasa khususnya perbedaan- perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang

berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (Nababan 1993:2).

Abdul Chaer mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antar

disiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa

itu di dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004:2).

(11)

2.2.2. Etnografi Komunikasi

Etnografi komunikasi adalah suatu bidang yang mengkaji bahasa dalam masyarakat. Dengan terbitnya ‘Etnografi Pertuturan’ pada tahun 1962 yang saat ini disebut ‘Etnografi Komunikasi’, Hymes telah meluncurkan suatu disiplin baru yang sintesis yang memberi tumpuan kepada keadaan pola perlakuan komunikasi sebagai salah satu daripada sistem kebudayaan, bagaimana ia berfungsi dalam konteks keseluruhan kebudayaan serta bagaimana ia dikaitkan dengan pola-pola dalam sistem-sistem berkaitan yang lain.

Fokus etnografi komunikasi adalah komuniti bahasa, yaitu cara komunikasi di dalam komuniti bahasa itu disusun dan diatur sebagai sistem kepada peristiwa komunikasi, dan cara hal-hal ini berinteraksi dengan sistem lain dalam kebudayaan. Etnografi komunikasi juga menitik beratkan usaha mencari kelaziman dalam cara menggunakan bahasa.

Bagi sosiolinguistik, etnografi komunikasi melibatkan rakaman pertuturan dalam pelbagai konteks. Gumpers, 1970: 9 (dalam Muriel Saville-Troike, 1991: 9) walaupun setelah bahan-bahan itu di rakamkan, kadangkala tanpa pengetahuan etnografi tentang norma sosial yang mengawal pemilihan bentuk linguistik dalam situasi yang di rakamkan itu adalah mustahil untuk menilai kepentingan sosialnya.

(12)

Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2010:48) meringkas komponen-komponen tersebut menjadi sebuah akronim SPEAKING yang terdiri dari delapan huruf yaitu:

S = Setting and scene P = Participants

E = Ends : purpose and goal A = Act sequences

K = Key : tone or spirit of act I = Instrumentalities

N = Norms of interaction and interpretation G = Genres

Setting and scene, setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung.Sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan.Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.Misalnya berbicara berbicara dilapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan dalam situasi ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu orang banyak membaca dan dalam keadaan sunyi.

(13)

Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.Peristiwa tutur yang terjadi di ruang sidang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda.Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha membeberkan keputusan yang adil.

Act Sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran berkenaan dengan dengan kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya. Isi Ujaran berkenaan dengan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk dan isi ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta berbeda satu dengan yang lainnya.

Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan, misalnya dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek dan sebagainya. Atau dapat ditunjukkan juga dengan gerak tubuh dan isyarat.

Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon dan juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan seperti bahasa, dialek, ragam atau register.

Norms of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi dan juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Misalnya berhubungan dengan cara berinterupsi, cara bertanya, dan sebagainya.

(14)

Dari pemaparan di atas, kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori sosiolinguistik yang mencakup alih kode dan campur kode serta etnografi komunikasi yang berlandaskan pada teori Hymes. Teori tersebut memiliki sebuah komponen yang tergabung dalam kata SPEAKING.

2.4. Tinjauan Pustaka

Penulisan karya ilmiah tentunya tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dan penelitian yang dilakukan sebelumnya.

Penelitian yang berkaitan dengan alih kode pernah dilakukan oleh Sri Sutrisni (2005) dalam tesisnya yang berjudul Alih Kode Dan Campur Kode Dalam Wacana Interaksi Jual Beli Di Pasar Johar Semarang, menyimpulkan

(15)

Dhanang Tri Atmojo (2013) dalam skripsinya yang berjudul Alih Kode Dan Campur Kode Dalam Kelompok Masyarakat Perantau Di Desa Kedung

Bagong, Sidomakmur, Widodaren, Ngawi, yang menjelaskan tentang alih kode

dan campur kode dengan kode-kode dasar seperti bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penelitian ini menggunakan metode padan dalammenganalisis data. Dari hasil penelitinnya, Dhanang menyimpulkan faktor-faktor penentu alih kode pada penelitian pemilihan bahasa pada masyarakat perantau di desa Kedung Bagong, Sidomakmur,Widodaren,Ngawi yang ditentukan berdasarkan jenis alih kode.Selain itu, Dhanang juga mengatakan bahwa perubahan bahasa terjadi karena adanya kehadiran orang ketiga.

Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Rulyandi, Muhammad Rohmadi, dan Edy Tri Sulistyo (2014) dengan judul “Alih Kode Dan Campur Kode Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SMA” dimuat dalam jurnal

Paedagogia, Volume 17 (No) 1 Tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan wujud alih kode (AK) dan campur kode (CK), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya AK dan CK, serta dampak AK dan CK dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiolinguistik.

Diyah Atiek Mustikawati (2015)dengan judul “Alih Kode dan Campur Kode Antara Penjual dan Pembeli” dimuat dalam jurnal Dimensi Pendidikan dan

Pembelajaran Volume 3 No (2) Tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk

(16)

alih kode yang terjadi adalah peralihan penggunaan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Begitu juga dengan campur kode, wujud campur kode yang ditemukan adalah campur kode yang melibatkan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam bentuk penyisipan unsur-unsur bahasa Indonesia ke dalam unsur-unsur bahasa Jawa.Faktor- faktor penentu yang mempengaruhi terjadinya calih kode dan campur kode adalah penutur, mitratutur, kehadiran penutur ketiga, latar belakang pendidikan, situasi kebahasaan, dan tujuan pembicaraan.

Ginanjar Arif Wijaya (2016) dalam skripsinya yang berjudul Campur Kode

Dan Alih Kode Tuturan Dalam Perdagangan Di Pasar Klewer Surakarta.Metode

yang digunakan adalah kualitatif deskriptif.Ginanjar Arif Wijaya menjelaskan

bahwa di dalam proses jual beli di pasar, khususnya pasar klewer Surakarta tidak

hanya terjadi peristiwa campur kode melainkan juga alih kode. Wujud alih kode

yang terjadi di pasar ini ada dua yaitu (1) Alih kode yang berwujud alih bahasa;

dan (2) Alih kode yang berwujud alih tutur.Dia juga menjelaskan tentang

faktor-faktor penyebab alih kode yang terjadi di pasar klewer Surakarta.

Anisafatul Fawaidati Khusnia S.S (2016) dalam tesisnya yang berjudul Alih

Kode Dan Campur Kode Dalam Percakapan Sehari-hari Masyarakat Kampung

Arab Kota Malang. Dalam Tesisnya Anisafatul menjelaskan tentang alih kode dan

campur kode pada pola komunikasi masyarakat kampung Arab Kota Malang. Alih

kode dan campur kode yang ditemukan dalam penelitiannya ada tiga kode

bahasa yaitu bahara Arab, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Anisafatul juga

mengatakan proses berbahasa di kampung Arab Kota Malang juga dipengaruhi

(17)

yakni dari Arab, agama berupa dalil-dalil teologis yang mengutamakan bahasa

Arab, keturunan sebagai eksklusifitas terhadap ras atau darah Arab, interaksi

simbol bahasa berupa pertukaran simbol bahasa antara bahasa Arab, Indonesia

dan Jawa. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Hymes tentang

etnografi komunikasi.

Wa Ode Marni (2016) dengan judul “Campur Kode Dan Alih Kode Dalam Peristiwa Jual Beli Di Pasar Labuan Tobelo Kecamatan Wakorumba Utara

Kabupaten Buton Utara” dimuat dalam jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra),

Volume 2 (No) 1 Tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk campur kode dan bentuk alih kode dalam Peristiwa Jual Beli di Pasar Labuan Tobelo Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif. Penelitian ini juga menyimpulkan faktor penyebab alih kode dan campur kode dalam peristiwa jual beli di pasar labuan Tobelo Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara. Faktor tersebut yaitu kedekatan emosional pembicara dengan lawan bicara atau dipengaruhi oleh keakraban pembicara dengan lawan bicara dalam suasana santai dan akrab.

(18)

2.5. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan alih kode dan campur kode dalam percakapan di Pasar Batu 12 Kabupaten Aceh Utara adalah penelitian Tri Sutrisni tentang Alih Kode dan Campur Kode Dalam Wacana InteraksiJual Beli di Pasar Johar Semarang. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh Tri Sutrisni, maka pemasalahan alih kode dan campur kode yang terjadi dalam wacana interaksi jual beli di pasar Johar Semarang meliputi bentuk alih kode dan campur kode serta faktor terjadinya alih kode dan campur kode.

Bentuk alih kode dalam penelitiannya meliputi alih kode yang berwujud alih bahasa, alih kode dari bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa, alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, alih kode dari bahasa Jawa tingkat tutur ngoko ke tataran krama, alih kode dari bahasa Jawa tingkat tutur krama ke tuturan ngoko. Faktor terjadinya alih kode meliputi kemarahan terhadap pembeli, kejengkelan pembeli pada penjual, maksud tertentu pembeli, penjual menyesuaikan diri dengan kode yang dipakailawan bicara, ekspresi keterkejutan pembeli, kehadiran calon pembeli lain pada saat tawar menawar berlangsung, bercanda pada pembeli, basa-basi penjual pada pembeli.

Bentuk campur kode dalam penelitiannya meliputi campur kode intern dan campur kode ekstern. Campur kode intern dapat berwujud kata, frasa, dan perulangan kata. Campur kode ekstern mencakup unsur bahasa Arab dan bahasa Cina.

Faktor terjadiya campur kode meliputi (1) identifikasi peranan dan (2) identifikasi ragam.

(19)

Referensi

Dokumen terkait

percakapan alih kode yang terjadi adalah dari bahasa Sunda ke dalam

Hasil penelitian menunjukkan terjadi alih kode yaitu alih kode intern sebanyak 41 kali dan alih kode ekstern sebanyak 9 kali dan campur kode yaitu campur

sepuluhewu dalam bahasa Indonesia berarti berapa dan sepuluh ribu, masuk ke dalam tuturan berbahasa Indonesia yaitu piroitu tomatnya? dan satu kilo sepuluhewu. Faktor

Pembeli 1 : iih bagus beli yang bagus sekalian kok, kek gini tiga lapan Penjual : udah tiga puluh lapan ribu lima ratus saya kasih, hihihi. (sambil ketawa) Pembeli 1

Bentuk-bentuk campur kode dan alih kode tersebut terjadi kemiripan dengan campur kode pendapat para ahli hanya pembedanya dengan bentuk campur kode pada

d) Alih kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Inggris 35.. Fungsi Alih Kode ... Faktor yang Melatarbelakangi Alih Kode ... Campur Kode dalam Khotbah Jangkep Sinode GKJ ...

Faktor yang Melatarbelakangi Alih Kode dan Campur Kode dalam Tuturan Bahasa Jawa di Pasar Gagan, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali ... Faktor yang Melatarbelakangi Alih

Merangkum beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah suatu penggantian kode bahasa satu ke bahasa lain saat proses komunikasi, sedangkan campur kode