• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Sosial Antara Etnis Cina dan Etnis Aceh (Studi Deskriptif Pada Etnis Cina dan Etnis Aceh di Kota Juang Kabupaten Bireuen)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Integrasi Sosial Antara Etnis Cina dan Etnis Aceh (Studi Deskriptif Pada Etnis Cina dan Etnis Aceh di Kota Juang Kabupaten Bireuen)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Integrasi Sosial

Integrasi sosial merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut dapat meliputi ras, etnis, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan lain sebagainya. Apakah dua kelompok masyarakat yang berbeda budaya etnis tidak mungkin dapat di persatukan dan hidup secara berdampingan? Meski di sebagian komunitas, perseteruan antar etnis riskan terjerumus dalam konflik yang berdarah, tetapi ternyata beberapa komunitas yang lain perbedaan yang ada tidak selalu harus berbuntut dengan konflik yang terbuka, keadaan inilah yang membuat adanya masyarakat yang terintegrasi (Bagong, 2010 : 203)

Defenisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka.

Masing-masing integrasi memilik 2 pengertian, yaitu:

a. Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu

b. Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu.

Dalam KBBI disebutkan bahwa integrasi adalah pembauran sesuatu yang tertentu hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Istilah pembauran tersebut mengandung arti masuk ke dalam, menyesuaikan, menyatu, atau melebur sehingga menjadi satu.

(2)

2.1.1 Syarat terjadinya Integrasi

a) Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan-kebutuhan mereka.

b) Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (konsensus) bersama mengenai nilai dan norma.

c) Nilai dan norma sosial itu berlaku cukup lama dan dijalankan secara konsisten. 2.1.2. Bentuk-bentuk integrasi sosial

a) Integrasi Normatif, integrasi yang terjadi akibat adanya norma-norma yang berlaku dimasyarakat, contoh masyarakat Indonesia dipersatukan oleh semboyan Bhineka Tunggal Ika

b) Integrasi Fungsional, integrasi yang terbentuk sebagai akibat adanya fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Contoh Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, mengintegrasikan dirinya dengan melihat fungsi masing-masing, suku bugis melaut, jawa pertanian, Minang pandai berdagang.

c) Integrasi Koersif, integrasi yang terbentuk berdasarkan kekuasaan yang dimiliki penguasa.

2.1.3 Proses Integrasi

Proses integrasi dapat dilihat melalui proses-proses berikut:

1) Asimilasi : berhadapannya dua kebudayaan atau lebih yang saling memengaruhi sehingga memunculkan kebudayaan baru dengan meninggalkan sifat asli.

(3)

2.1.4 Faktor-faktor Pendorong Integrasi Sosial

1) Adanya toleransi terhadap kebudayaan yang berbeda 2) Kesempatan yang seimbang dalam bidang ekonomi

3) Mengembangkan sikap saling menghargai orang lain dengan kebudayaannya 4) Adanya sikap yang terbuka dengan golongan yang berkuasa

5) Adanya persamaan dalam unsur unsur kebudayaan. 6) Adanya perkawinan campur (amalgamasi)

7) Adanya musuh bersama dari luar. 2.1.5. Solidaritas Sosial

Menurut Emile Durkheim (dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2013:130), masyarakat tradisional dan modern tidak memiliki suatu perbedaan dalam hal struktur internal dan fungsi eksternal, tetapi mereka dicirikan oleh berbagai jenis solidaritas kelompok, baik itu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.

Integrasi yang terjadi adalah karena adanya solidaritas yang didasarkan pada pembagian kerja sehingga pembagian kerja ialah syarat hidup bagi masyarakat modern, karena merupakan kewajiban moral. Ia menunjukkan pembagian kerja tersebut sebagai salah satu sumber terpenting dalam solidaritas, karena pada dasarnya manusia yang hidup saling bergantung sehingga perlu adanya aturan-aturan yang mengatur hubungan masyarakat. Pembagian solidaritas tersebut menjadi dua macam, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik didasarkan atas persamaan. Persamaan dan kecenderungan untuk berseragam, inilah yang membentuk struktur sosial masyarakat segmenter dimana masyarakat bersifat homogen dan mirip satu sama lain.

(4)

nilai-nilai keagamaan masih sangat tinggi. Hukuman yang terjadi bersifat represif yang dibalas dengan penghinaan terhadap kesadaran kolektif sehingga memperkuat kekuatan diantara mereka. Persoalan tentang solidaritas dikaitkan dengan sanksi yang diberikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat menekan (refresip).

Hukum-hukum ini mendefenisikan setiap prilaku penyimpangan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai serta mengancam kesadaran kolektif masyarakat. Hukuman refresif tersebut sekaligus bentuk pelanggaran moral oleh individu maupun kelompok terhadap keteraturan sosial. Sanksi dalam masyarakat dengan solidaritas mekanik tidak dimaksudkan sebagai suatu proses yang rasional. Singkatnya, solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” yang dilakukan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen

total diantara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politk, bahkan kepercayaan atau agama.

2.1.6. Bentuk-bentuk interaksi

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan

(competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Suatu

(5)

menelaah proses-proses interaksi tersebut di dalam kelangsungannya Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2007:64).

Bentuk-bentuk interaksi sosial terbagi menjadi dua, diantaranya adalah asosiatif yaitu interaksi sosial yang mengarah pada bentuk penyatuan dan disosiatif, yaitu interaksi sosial yang mengarah pada bentuk pemisahan.

Proses-proses interaksi yang pokok adalah sebagai berikut. 1. Proses Asosiatif

Bentuk interaksi sosial asosiatif adalah interaksi sosial yang melahirkan kerjasama. Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial asosiatif diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Kerjasama, yaitu suatu bentuk interaksi sosial dimana ada usaha yang dilakukan bersama-sama antara individu ataupun kelompok untuk mencapai suatu tujuan bersama. Bentuk interaksi ini timbul karena adanya kesamaan,kepentingan,atau tujuan dan pandangan antara individu di dalamnya.

b. Akomodasi, yaitu suatu proses dalam hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi yang menunjuk pada suatu proses dimana makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Ada beberapa bentuk-bentuk akomodasi, di antaranya adalah sebagai berikut: Toleransi (suatu sikap yang di ambil untuk menghindari suatu perselisihan) kompromi (interaksi sosial dimana terjadi sikap saling pengertian antar pihak, sehingga terjadi suatu penyelesaian terhadap perselisihan. Kompromi sering disebut juga dengan perundingan). Koersi (suatu bentuk akomodasi, dimana proses pelaksaannya dilakukan dengan cara paksaan. Bentuk koersi ini terjadi apabila satu pihak memiliki posisi yang lebih kuat).

(6)

tindak, sikap, dan proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama.

d. Akulturasi yaitu proses sosial dalam masyarakat yang terdapat unsur kebudayaan baru yang timbul sebagai akibat pergaulan orang-orang dari kelompok sosial lainnya.

e. Amalgamasi merupakan istilah perkawinan campuran antar etnis ataupun proses sosial yang meleburkan berbagai kelompok budaya yang ada disuatu wilayah yang sama menjadi kesatuan.

2.2 Teori Interaksionis Simbolik

Interaksionis simbolik adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsug secara sadar. Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vocal, gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud yang di sebut dengan simbol.

Setiap makhluk hidup merupakan mahkluk sosial, yang tidak hanya berlaku bagi manusia. Seperti semut, ulat dan hewan lainnya juga hidup berkumpul dalam kelompok tertentu. Akan tetapi dasar dari kehidupan bersama hewan-hewan tadi adalah dasar fisiologis dan naluriah. Sedangkan dasar kehidupan bersama dari manusia adalah komunikasi terutama lambang-lambang, sebagai kunci untuk memahami kehidupan sosial manusia.

(7)

interaksi orang belajar memahami simbol-simbol konvensional dan dalam satu pertandingan mereka belajar menggunakannya sehingga mampu memahami aktor-aktor lainnya.

Bagi blumer (dalam Margaret M. Poloma 2010:2) interaksionis simbolik bertumpu pada tiga premis:

1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2) Makna tersebut berasa dan “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”

3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung. Keistimewaan pendekatan kaum interaksionis simbolik ialah manusia dilihat saling menafsirkan atau membatasi masing-masing tindakan itu menurut mode stimulus-respon. Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu. Manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol dan diperlukan kemampuan untuk komunikasi antarpribadi dan pikiran subjektif.

Kemampuan manusia menggunakan simbol suara yang dimengerti bersama memungkinkan perluasan dan penyempurnaan komunikasi jauh melebihi apa yang mungkin melalui isyarat fisik saja (Wirawan, 2012:124). Seperti masyarakat di Kecamatan. Kota Juang Kabupaten Bireuen, dimana dengan berkomunikasi mereka akan menggunakan simbol-simbol etnis mereka masing-masing dan menunjukkan identitas mereka dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya.

2.3 Adaptasi Sosial Budaya

(8)

sosial. Lingkungan tersebut mempunyai aturan berupa norma-norma yang membatasi tingkah laku individu dan proses penyesuian tersebut merupakan proses adaptasi sosial.

Soerjono soekonto (2007:10) memberikan beberapa batasan pengertian adaptasi sosial, yaitu:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketengangan. 3. Proses perubahan untuk menyesesuaikan dengan situasi yang berubah. 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan. 6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.

Salah satu adaptasi sosial tersebut adalah adaptasi budaya yang terdiri dari dua kata masing-masing makna yakni, kata adaptasi dan budaya, adaptasi adalah kemampuan atau kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk dapat tetap hidup dengan baik. Sedangkan budaya atau kebudayaan adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Dengan kata lain kebudayaan mencakup segala yang di dapat atau yang di pelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya mencakup segala cara-cara atau pola pikir, merasakan dan bertindak.

(9)

2.4 Karakteristik Masyarakat Aceh

Aceh dilatarbelakangi oleh berbagai sukubangsa dan budaya yang merupakan suatu integrasi antar suku bangsa sehingga pada masa kerajaan Aceh Darussalam disebut dengan suku bangsa Aceh.

Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal wali, karong, kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan. Agama islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh dijuluki dengan “serambi mekkah”. Dari struktur masyarakat

Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya.

Suku Aceh adalah salah satu kelompok “asal” di daerah Aceh yang kini merupakan

Provinsi Aceh. Orang Aceh biasa menyebut dirinya dengan “ureueng Aceh”. Suku Aceh

adalah penduduk asli yang tersebat populasinya di daerah Provinsi Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Selatan dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan oleh suku Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, diantaranya dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.

Suku Aceh atau Suku yang menggunakan bahasa Aceh umumnya hidup di daerah pesisir Aceh. Suku Aceh ini merupakan yang terbanyak diantara sub-suku Aceh yang lainnya. Suku Aceh mempunyai peranan yang baik di bidang ekonomi, politik dan sosial keagamaan. Suku Aceh ini berbicara dalam bahasa Aceh dan berbudaya Aceh serta mempunyai peranan dalam pengembangan agama Islam di Aceh. Suku

(10)

memperkuat sistem dan struktur masyarakat Aceh selanjutnya membentuk suatu peradaban Aceh yang Islami.

Suku Aceh atau yang sering disebut dengan Aceh pesisir merupakan masyarakat yang mayoritas hidup dan berkembang sebagaimana sub-suku lainnya. Suku aceh merupakan mayoritas dominan dalam segi politik, ekonomi, dan perdagangan di Aceh. Suku Aceh ini juga sering diidentikkan dengan pekerja keras, tahan akan tantangan dan giat serta ulet dalam segala bidang. Suku Aceh atau Aceh pesisir merupakan salah satu suku yang sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik dengan para pendatang atau apabila mereka keluar daerah. Realita tersebut terlihat dengan banyaknya para tokoh politik, pendidikan dan para saudagar dari Suku Aceh yang memainkan peranannya di Aceh maupun di tingkat pusat. Di Provinsi Aceh terdapat pula beberapa suku bangsa lainnya, sekaligus antar suku tersebut mempunyai budaya sendiri dan berbeda satu dengan yang lainnya. Berbagai suku tersebut diantaranya, Suku Gayo, Suku Tamiang, Suku Alas, Suku aneuk Jamee (pendatang), Suku Kluet, Suku Melayu Singkil, Suku Defayan, dan Suku Sigulai.

(11)

Etnik Tamiang merupakan salah satu sub-etnis Aceh yang menurut sejarah merupakan turunan melayu dari Kerajaan Sriwijaya. Etnik ini berlayar ke daerah Sumatera bagian barat karena memudarnya Kerajaan Sriwijaya. Etnik ini merupakan etnik pendatang ke Aceh, karena sebelumnya di ujung sumatera tersebut sudah ada penghuninya. Oleh karena itu mereka singgah di daerah Kuala Simpang. Etnik ini identik dengan Melayu Riau dan Melayu Malaysia. Akan tetapi secara keseluruhan etnik ini dapat menyatu dengan etnik Aceh, karena kelembutan dan keramahan etnik Melayu tersebut. Etnik Tamiang sering disebut Melayu Tamiang atau Aceh Tamiang. Dilihat dari bahasa dan warna kulitnya memang lebih banyak Melayunya dibandingkan dengan Acehnya. Demikian juga kebudayaan mereka hampir sama dengan kebudayaan Melayu Deli dan Suku Melayu lainnya di Semenanjung Malaka. Aceh Tamiang selain memakai bahasa melayu sebagai bahasa pengantar, sekaligus budayanya mirip dengan etnik Melayu lainnya di Nusantara.

Sedangkan etnis Alas merupakan etnik yang tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara dan Hulu Sungai Singkil. Secara Antropologi Etnik Alas ini mendekati etnik Karo, yang ada di Sumatera Utara. Demikian juga bahasa mereka pun hampir dengan bahasa Karo. Namun demikian etnis Alas ini hidup dan berkembang serta berbudaya dengan budayanya sendiri. Mereka juga umumnya tinggal di daratan tinggi Aceh Tenggara. Etnis Alas sampai saat ini di perdesaan masih memakai marga, akan tetapi marganya pun berbeda dengan marga Batak, selain karena kedekatan budaya sekaligus berdekatan dengan Sumatera Utara. Demikian juga dengan budaya baik pakaian ataupun bahasanya mirip dengan budaya dan bahasa Batak.

(12)

Bahkan etnis Alas menurut cerita berasal dari berasal dari etnis Kleut ini. Dan etnis Singkil adalah satu etnis yang hidup di Kabupaten Aceh Singkil. Etnis ini mirip bahasanya dengan etnis Melayu dan bahasa kleut dan bahasa Batak Karo.

Terakhir adalah etnik Defayan dan Singulai. Etnik ini hidupnya di kabupaten Simeulu atau Pulau Simeulu. Etnik ini mendekati turunan dari etnis Nias Sumatera Utara. Akan tetapi etnis Defayan dan Singulai semuanya menganut agama islam dan berbudaya seperti budaya islam. Secara antropologi etnis ini jika dilihat bentuk mukanyapun mendekati etnis Nias dan kebanyakan mereka berkulit agak putih. Inilah etnik-etnik Aceh yang hidup dan berkembang saat ini. Mereka umumnya beragama Islam dan tunduk kepada syariat Islam. Etnik-etnis Aceh tersebut disatukan kedalam satu bangsa pada masa Kerajaan Islam dengan nama Bangsa Aceh (Rani Usman 2003:38-42).

2.5 Etnis Cina di Indonesia

Indonesia adalah negara yang multikultural dan multi etnis, akan tetapi golongan keturunan yang paling sulit kedudukannya dalam masyarakat Indonesia adalah masyarakat etnis Cina. Etnis Cina memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, dan khususnya mempunyai keyakinan keagamaan yang lain sama sekali dari masyarakat yang terdapat di Indonesia.

(13)

kebudayaan atau tradisi leluhur. Ekslusivisme orang Cina itu disebabkan oleh kehendak mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas. Jika memang demikian, maka dalam pemikiran etnis Cina itu masih seperti pola pikir masa silam pada masa penjajahan.

Etnis Cina adalah salah satu kelompok masyarakat non pribumi yang bermigrasi ke Indonesia. Mereka memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang migrasi yang besar dari Malaysia dan Dataran Cina. Mereka didatangkan karena tenaganya dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda. Kedudukan istimewa etnis Cina mengakibatkan kehidupan mereka terpisah dari kelompok masyarakat pribumi. Keberadaan etnis Cina di Indonesia menimbulkan berbagai masalah dibandingkan dengan keberadaan orang asing lainnya seperti orang Arab, mdia, Eropa, dan sebagainya.

Di Indonesia telah terjadi beberapa peristiwa tindak kerusuhan antara etnis Cina dengan pribumi. Penyebab kerusuhan tersebut sebahagian besar berkisar pada masalah ekonomi, yang menunjukkan bahwa golongan pribumi merasa tidak puas akan pemerataan pendapatan dan pemerataan kegiatan usaha. Jika dilihat dari format negara Indonesia yang indigenous nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah menempatkan etnis Cina sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya. Di zaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Cina adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya.

(14)

adat istiadat, bahasa, agama, struktur ekonomi, serta partisipasi dalam bidang politik. Sebaliknya, proses integrasi orang Cina cepat beijalan, karena mereka sudah meninggalkan adat istiadat budaya Cina bahkan hampir semua generasi mudanya secara sempurna berasimilasi dengan masyarakat Thai dan memakai nama, adat, nilai orang Thai, dan menghilangkan identitas kesetiaan pada tanah leluhurnya.

Di beberapa daerah dimana terdapat orang Cina dan pribumi hidup dalam satu wilayah, pada umumnya diakui bahwa hubungan sosial diantara mereka kurang harmonis, sehingga masih terbentuk stereotipe-stereotipe yang kuat tentang etnis Cina di Indonesia. Sebaliknya etnis Cina pun mempunyai stereotipe tertentu tentang orang pribumi meskipun jarang dilontarkan secara terbuka. Orang selalu beranggapan bahwa karakteristik atau perilaku tiap individu berlaku sama dalam satu kelompok primordial. Oleh karena itu, permasalahan kecil pada tingkat individu dapat meluas pada tingkat kelompok etnis sehingga akibatnya dapat menjadi masalah suku, agama dan ras (SARA).

(15)

stereotipe mengenai etnis lainnya, tetapi hubungan kerja sama dan hubungan sosial etnis yang berbeda tetap berlangsung.

Salah satu pencetus stereotipe terhadap etnis Cina adalah disebabkan selain jumlah mereka yang makin lama semakin besar,juga disebabkan peranan mereka yang menonjol dalam kehidupan ekonomi di negara Indonesia. Akibat kelebihan mereka dalam bidang ekonomi, maka persepsi warga negara Indonesia asli (pribumi) terhadap mereka selalu bersifat negatif, karena ada anggapan bahwa mereka memperoleh kekayaan secara tidakjujur, sehingga timbullah tuduhan- tuduhan seperti : sombong, licik dalam berusaha, suka memberi hadiah/menyogok untuk melicinkan usaha, hidup secara eksklusif, tinggal di pusat kota dalam gedung tembok yang berpagar besi dari luar dan dalam, seolah-olah menganggap semua warga pribumi sebagai pencuri/ orang-orang nakal. warga masyarakat Cina selain sebagai pedagang, buruh juga bekerja sebagai karyawan di pabrik atau industri, seperti pabrik plastik, kayu lapis, bir dan industri pengecoran logam miliki Cina. Mereka yang bekerja sebagai karyawan pabrik itu pada umumnya mempunyai penghasilan yang cukup, seperti tampak dari bangunan rumah mereka dan perlengkapannya. Gaji di pabrik atau perusahaan lainnya antara karyawan pribumi dengan karyawan etnis Cina tidak sama besamya dan pada umumnya gaji karyawan Cina lebih besar dibandingkan karyawan pribumi.

(16)

Pada umumnya etnis Cina adalah pedagang biasanya akan selalu berbelanja kepada grosir milik etnis Cina juga, karena itu harga yang diberikan grosir lebih murah dibandingkan bagi pedagang pribumi atau masyarakat setempat. Ketika berbelanja dengan pedagang etnis Cina di Kota Medan, pada umumnya orang pribumi harus hati-hati kalau tidak mau tertipu. Kadangkala pedagang Cina pertama sekali menawarkan harga barang dagangannya tiga kali lipat atau bahkan samapai lima kali lipat dari harga normal suatu barang. Jika berbelanja dengan etnis Cina seringkali masyarakat pribumi harus terlebih dahulu tahu harga normal suatu barang dan biasanya yang menjadi harga standart adalah harga yang terdapat di swalayan. Sterotipes (prasangka- prasangka) tersebut sebenarnya dapat berkurang apabila batas-batas sosial yang menghambat terwujudnya hubungan baik apabila suatu arena.

Interaksi yang dapat mengakomodasi sikap-sikap yang tidak bersahabat. Hal ini dapat dilakukan pada tingkat kelurahan seperti menyambut hari kemerdekaan, gotongroyong, karang taruna, atau kegiatan olah raga yang melibatkan semua golongan etnis atau bahkan dengan perkawinan campur etnis Cina dengan etnis pribumi yang sudah barang tentu yang seagama. Kegiatan tersebut mungkin dapat menjembatanai sikap-sikap yang tidak bersahabat sehingga dapat lebih lunak. Di sisi lain, ada anjuran pemerintah agar warga negara keturunan Cina mengganti nama-nama mereka yang sesuai/ "berbau" Indonesia asli. Penggunaan huruf atau bahasa Cina tidak boleh digunakan di sekolah-sekolah. Akan tetapi, masih saja terdapat jurang (gap) antara pribumi dan non-pribumi Cina, sehingga masih potensial untuk sewaktu-waktu dapat menimbulkan benturan – benturan kembali.

2.6 Etnisitas dalam perspektip Max Weber

(17)

budayanya. Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya.

Kelompok etnik pada umumnya dipahami sebagai suatu populasi orang atau penduduk yang memiliki ciri-ciri yaitu :

1) Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan

2) Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya

3) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan

4) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Secara eksplinsif, Weber (dalam Yesmil anwar dan adang 2013:137) terlibat dengan hubungan etnis dan menyediakan beberapa model yang terintegrasi dan koheren untuk penjelasan hubungan antar etnik, model-model itu adalah sebagai berikut :

1. Etnisitas sebagai bentuk dari status kelompok.

Kelompok etnis sebagai kelompok yang menyuguhkan kepercayaan subjektif di dalam keturunan mereka karena adanya tipe fisik yang mirip. Hal yang krusial dari prinsip ini adalah etnisitas ada hanya ada didasar dari kepercayaan kelompok tertentu. lalu etnisitas berakar di dalam satu kepercayaan yang mahakuasa. Selain itu, etnisitas ternyata diperkuat dan di tegaskan di ranah kultural atau kessamaan fisik atau pada dasar dari pembagian ingatan bersama.

3. Etnisitas sebagai mekanisme dari terpaan monopolistik sosial.

(18)

bukan anggota kelompok dari memperoleh keuntungan simbolik atau material dari kelompok mereka.

3. Keragaman bentuk etnik dari organisasi sosial.

Meskipun sebagian besar mereka beroperasi sebagai status kelompok, kelompok etnis dapat menggunakan bentuk kelas, kasta dan tanah. Dengan adanya fenomena kasta etnis, dimana kelompok, perbedaan kasta jauh lebih kaku dan mendekati kelompok sosial.

4. Etnisitas dan mobilisasi politik.

Weber mendefenisikan etnisitas dalam istilah dinamika aktivitas politik. menurutnya, eksistensi dari komunitas politik merupakan prasyarat bagi perilaku kelompok etnis. Kesadaran kelompok terutama dibentuk oleh pengalaman politik secara umum, bukan dengan

common descent.

Dilihat dari empat prinsip utama diatas,status kelompok merupakan hal yang paling sering menjelaskan kelompok etnis. Status kelompok etnis membuat orang-orang percaya bahwa mereka sama dari segi kultur, common descent, serta bahasa. Tak hanya itu, mereka juga percaya bahwa semua itu adalah milik mereka. Contohnya ada disekitar kita, bila ada seseorang berbicara Aceh, kita bisa menduga kalau ia berasal dari suku Aceh. Begitu juga yang ditemukan pada masyarakat Kota Juang yaitu terdapatnya etnis-etnis dari berbagai jenis etnis yang ada di Indonesia. Mereka menempati satu wilayah dan tinggal bersamaan secara berdampingan dengan etnis lain dan masing-masing etnis memiliki karakteristiknya sendiri yang dapat menunjukkan identitas etnis yang mereka miliki.

3.1 Defenisi Konsep 1. Integrasi sosial

(19)

2. Masyarakat

Masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.

3. Adaptasi sosial

Adaptasi sosial adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi.

4. Adaptasi Budaya

Adaptasi budaya merupakan sebuah proses yang berjalan secara ilmiah dan tidak dapat dihindari dimana seorang individu beruaha untuk mengetahui segala sesuatu tentang budaya dan lingkungannya yang baru sekaligus memahaminya.

5. Toleransi

Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.

6. Kerja sama

Kerja sama adalah suatu bentuk interaksi antara orang-perorang atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan yang bersama.

7. Etnis Aceh

(20)

8. Etnis Cina (Cina)

Salah satu etnis di Indonesia yang asal usul dari Tiongkok. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Cina atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin zhonghua dalam dialek Hokkian di lafalkan sebagai Cina.

9. Kelompok Etnis

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu Google Maps memberikan fitur yang cukup lengkap yang dapat memberikan pentunjuk arah pada pengguna ke suatu lokasi sehingga akan sangat memudahkan dalam proses

Jika berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi oleh Pihak Pertama ternyata Pihak Kedua tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan yang telah disepakati, maka Pihak Kedua wajib

Biotechnology Second Edition Volume 9: Enzymes, Biomass, Food and Feed.. VCH Verlagsgesellschaft

penulisan skripsi ini dengan judul “ HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KESEPIAN PADA LANJUT USIA di PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI

Keterampilan proses itu meliputi keterampilan mengamati dengan seluruh alat indera, keterampilan menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan

Bagi Investor, yaitu diharapkan agar dapat menjadi faktor penentu keputusan yang akan diambil dalam melakukan aktivitas investasi saham pada perbankan yang

Tingkat akurasi tersebut diperoleh antara lain dengan parameter DWT dekomposisi level 3, karena dekomposisi level 3 sudah mampu menghasilkan vektor ciri lebih

Dengan kata lain, fakta politik dunia dibuat oleh teori internasional realisme untuk menjadi masuk akal secara alamiah dan universal serta tidak memberi ruang bagi interpretasi