• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Pembakaran Dan Atau Penenggen Kapal Dalam Tindak Pidana Perikanan Dari Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prosedur Pembakaran Dan Atau Penenggen Kapal Dalam Tindak Pidana Perikanan Dari Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara, menurut Mr. Soenarko, ialah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah atau teritoir tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.4

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Keberadaan suatu negara tidak mungkin tanpa adanya suatu wilayah tertentu sebab salah satu syarat berdirinya suatu negara ialah wilayah.

5

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau dan luas perairan laut 5,8 juta km² (terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta km², luas perairan kepulauan 2,95 juta km² dan luas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,55 juta km²). Secara geo-politik Indonesia memiliki peran yang sangat strategis karena berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dalam konteks

4

Mr. Soenarko, Susunan Negara Kita I, Hal.10 dalam M. Solly Lubis, 2007, Ilmu Negara, Cetakan Keenam, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 1.

5

(2)

perdaganganglobal (the global supply chain system) yang menghubungkan kawasan Asia-Pasifik dan Australia.6

1. Meningkatnya devisa negara dari hasil ekspor komoditi perikanan laut; Kondisi geografis yang luas dan kaya akan jenis-jenis maupun potensi perikanannya, yang apabila diusahakan secara maksimal dengan tetap berpegang pada penangkapan yang lestari maka akan memberikan dampak :

2. Meningkatnya gizi khususnya protein hewani bagi rakyat; 3. Meningkatnya penghasilan/pendapatan nelayan.7

Laut sebagai wilayah teritorial, merupakan daerah yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya negara yang bersangkutan dengan penerapan hukum yang berlaku di wilayahnya yaitu hukum nasional negara yang bersangkutan. Lautan yang membentang luas dengan posisi untuk menghubungkan wilayah daratan satu dengan yang lain memungkinkan berlakunya hukum yang berbeda, disadari atau tidak pada dasarnya setiap insan manusia mempunyai hak untuk menikmati kekayaan yang terkandung didalamnya, namun masalahnya sekarang ialah bagaimana ketentuan yang mengatur masalah prosedur pemanfaatan kekayaan tersebut.

Penegakan hukum, keamanan dan ketertiban merupakan suatu kondisi yang wajib dilakukan untuk menciptakan situasi yang memungkinkan terselenggaranya Pembangunan Nasional.

6

Laporan Kinerja Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2015, diakses

melal

2017.

7

(3)

Penegakan hukum, keamanan dan ketertiban, tidak mungkin tercapai tanpa kemampuan menegakkan kedaulatan di darat, laut dan udara. Dengan tercapainya kedaulatan di darat dan di laut maka sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan bangsa di segala bidang.

Penyelenggaraan penegakan kedaulatan di darat tidak sesulit dan serumit penegakan kedaulatan di laut karena batas wilayah negara di darat secara nyata dapat dibuat dan dilihat, lain halnya dengan penegakan kedaulatan di laut karena sangat sulit menentukan batas-batas nyata di laut berhubung sifat laut/air yang berbeda dengan darat.

Penegakan kedaulatan di laut, tidak dapat dilaksanakan tanpa memahami batas wilayah/wilayah teritorial serta peraturan-peraturan perundangan yang mendasari penegakan kedaulatan tersebut, yang secara keseluruhan pada hakikatnya bersifat dan bertujuan untuk ketertiban/keamanan (security), untuk kesejahteraan (prosperity) dengan memperhatikan hubungan-hubungan internasional.8

Berkaitan dengan pengelolaan potensi laut Indonesia, terdapat 3 (tiga) jenis laut yang penting bagi Indonesia, yaitu :9

8

Leden Marpaung, 1993, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 1-2.

9

(4)

a. Laut yang merupakan wilayah Indonesia, yaitu wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan Indonesia;10

b. Laut yang merupakan kewenangan Indonesia, yaitu suatu wilayah laut dimana Indonesia hanya mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alamnya dan kewenangan-kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu;11 c. Laut yang merupakan kepentingan Indonesia, artinya Indonesia

mempunyai keterkaitan dengan wilayah laut tersebut meskipun Indonesia tidak mempunyai kedaulatan atau hak-hak berdaulat atas wilayah laut tersebut.12

Untuk mewujudkan suatu pengelolaan sumber daya laut yang optimal, Indonesia harus mengelola ketiga jenis laut tersebut secara sustainable dan menyeluruh bagi kepentingan bangsa Indonesia. Agar dapat optimal, pengelolaan laut Indonesia tidak hanya terbatas pada pengelolaan sumber daya laut saja tapi juga meliputi pengawasan penangkapan ikan, khususnya oleh kapal-kapal asing dan pengaturan zona-zona laut Indonesia sesuai dengan aturan regional maupun hukum internasional.

Di wilayah laut jenis pertama, Indonesia mempunyai kedaulatan mutlak atas ruang maupun kekayaannya, namun mengakui adanya hak lewat/lintas (berdasar prinsip innocent passage, sea lanes passage, dan transit passage) bagi

10

Yang termasuk wilayah laut jenis ini adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial/laut wilayah yang lebarnya 12 mil dari garis pangkal.

11

Yang termasuk jenis laut ini adalah Zona Tambahan (Contiguous Zone), yaitu wilayah laut yangterletak 12 mil di luar Laut Wilayah atau 24 mil dari garis pangkal di sekeliling negaraIndonesia, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang luasnya adalah 200 mil laut darigaris pangkal.

12

(5)

kapal-kapal asing. Sedangkan pada wilayah laut jenis yang kedua, di Zona Tambahan misalnya, pemerintah Indonesia mempunyai kewenangan tertentu untuk mengontrol pelanggaran terhadap aturan di bidang bea cukai/pabean, keuangan, karantina kesehatan, dan pengawasan imigrasi. Di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam, terutama perikanan selain kewenangan lainnya (misalnya untuk memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan penelitian ilmiah kelautan serta pemberian izin pembangunan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan lainnya). Jadi meskipun Indonesia tidak mempunyai kedaulatan mutlak di wilayah ZEE, namun Indonesia mempunyai hak atas penangkapan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah perairan ini. Sedangkan di wilayah laut jenis ketiga, Indonesia mempunyai kepentingan dalam mengelola sumber daya hayati untuk memelihara sustainability dari sumber-sumber kekayaan alam di ZEEI.13

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.14

Pengelolaan sumber daya ikan pada saat ini menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, sebagai acuan bagi peraturan teknis perikanan. Adapun salah

13

Pasal 63-67 Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan adanya keterkaitan yang erat antara pengelolaan dan eksploitasi kekayaan alam hayati di ZEE dan di laut bebas di luarnya.

14

(6)

satu pertimbangan dibentuknya undang-undang tersebut yaitu bahwa pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup nelayan, pembudidaya ikan, dan/atau pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan perikanan dan bahwa kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya perlu dibina.

Bidang kelautan dan perikanan memiliki permasalahan yang kompleks karena keterkaitannya dengan banyak sektor dan juga sensitif terhadap interaksi terutama dengan aspek lingkungan. Terdapat berbagai isu pengelolaan perikanan laut di Indonesia yang berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan, keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di bidang perikanan, ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya perikanan.

Beberapa permasalahan dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, diantaranya adalah terjadinya penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing). Kegiatan illegal fishing yang sering terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal perikanan asing (KIA) yang berasal dari beberapa negara tetangga

(7)

alat-alat tangkap produktif seperti purse seine dan trawl. Kegiatan illegal fishing juga dilakukan oleh kapal perikanan Indonesia (KII).

Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan, antara lain penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Penangkapan Ikan/SIUP, Surat Izin Penangkapan Ikan/SIPI, dan Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan/SIKPI), memiliki izin tapi melanggar ketentuan yang telah ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan ikan, pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, dokumen registrasi kapal, dan perizinan kapal),

transshipment di laut, tidak mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang transmitter), dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara dan/atau bangunan yang membahayakan kelestarian sumber daya ikan.

Kegiatan illegal fishing dan destructive fishing di WPP-NRI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia. Overfishing, overcapacity,

ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan, merupakan dampak nyata dari kegiatan illegal fishing dan destructive fishing.

(8)

internasional karena dianggap tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanan dengan baik.15

Berdasarkan Data Badan Pangan Dunia atau FAO16

Untuk memberantas praktik illegal fishing tersebut, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan agar petugas pengawas di lapangan dapat bertindak tegas, jika perlu dengan menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Hal ini tentunya dilakukan sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku, diantaranya adalah mengamankan terlebih dahulu para awak kapal sebelum melakukan penenggelaman kapal, agar tidak menimbulkan permasalahan baru dan menuai kecaman internasional. Jokowi mengatakan bahwa diperkirakan ada ribuan pelaku illegal fishing di laut Indonesia yang mana mengakibatkan Indonesia mengalami kerugian ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Tindakan tersebut merupakan salah satu kewajiban Negara untuk mengamankan kekayaan alam dan laut Indonesia, yang merupakan dasar filosofis sebagaimana termuat di

(Food and Agriculture

Organization)2008,diperkirakan sebanyak 5.400 kapalnelayan asing yang

kebanyakan dilakukanoleh para nelayan dari Thailand,Filipina,Vietnam, Malaysia, Kamboja, Myanmar,China, Korea, Taiwan, dan Panama telahmelakukan illegal fishing diwilayah perairan laut Indonesia. Adapun potensikerugian yang dialami oleh Indonesiadiperkirakan sebesar 1 juta ton/tahun atau setara dengan Rp. 30 triliun/tahun,yang berlangsung sejak pertengahan 1980-an.

2017.

16

(9)

dalam bagian menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang menyatakan: “perairan yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta laut lepas mengandung sumber daya ikan yang potensial dan sebagai lahan pembudidayaan ikan merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia yang memiliki falsafah hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.”

Untuk merespon instruksi Presiden tersebut, TNI AL, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melaksanakan kegiatan eksekusi penenggelaman kapal ikan asing yang kedapatan melakukan praktek illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Aksi ini menjadi peringatan keras terhadap para pelaku illegal fishing sekaligus juga bentuk komitmen Indonesia dalam pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut Indonesia. Eksekusi penenggelaman kapal ini dilakukan di wilayah perairan Tanjung Pedas, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, pada tanggal 5 Desember 2014.17

Selain itu beberapa kapal asing yang telah dikenakan tindakan tegas berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal diantaranya kapal asing milik

(10)

Thailand yang ditenggelamkan pada 9 Februari 2015.18 Kemudian, empat kapal asing yang berbendera Vietnam ditenggelamkan di Kalimantan. Dari empat kapal tersebut, dua kapal Vietnam ditangkap oleh Kapal Patroli Hiu Macan 001 pada 14 Maret 2015, di perairan Natuna, dan dua kapal lainnya ditangkap oleh Polisi Perairan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat pada 27 Juni 2015 di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar perairan Natuna, yang mana penyidikan kedua kasus tersebut dilakukan oleh Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak.19

Pada 22 Oktober 2015, Indonesia juga menenggelamkan dua kapal asing berbendera Vietnam di perairan Batam, Kepulauan Riau, serta satu kapal berbendera Thailand di perairan Langsa, Aceh. Ketiganya ditangkap oleh Kapal Patroli Hiu Macan 005 pada 7 Maret 2015 dan 22 Oktober 2015 di perairan sekitar Batam.20

(11)

dan Malaysia pada awalnya memprotes kebijakan tersebut. Namun pada akhirnya kedua negara tersebut memberikan respon dengan mulai memberikan peringatan kepada para nelayannya agar tidak menangkap ikan hingga ke wilayah laut Indonesia.

Praktik pembakaran dan penenggelaman kapal ikan asing yang tertangkap tangan mencuri ikan adalah praktik yang lumrah yang juga dilakukan banyak negara lain, seperti China dan Malaysia yang banyak menenggelamkan kapal-kapal ikan Vietnam, serta Australia yang pernah menenggelamkan kapal-kapal ikan asal Thailand. Bahkan kapal-kapal nelayan Indonesia yang tertangkap melintas batas regional pun dibakar. Pemerintah Indonesia tidak pernah memprotes, sepanjang anak buah kapal (ABK) selamat. Dengan demikian, sepanjang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan peraturan hukum, kebijakan ini tidak akan mengganggu hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara asal kapal.21

Landasan hukum terkait tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana di bidang perikanan mengacu pada Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pasal 69 ayat (1) UU Perikanan menentukan bahwa kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 69 ayat (4) menentukan bahwa dalam melaksanakan

21

Zaqiu Rahman, 2015,Penenggelaman Kapal Sebagai Usaha Memberantas Praktik

Illegal Fishing, Diakses melalui

(12)

fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Bukti permulaan yang cukup misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI). Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan dinyatakan bahwa yang dapat dilakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal ialah kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Namun didalam penerapannya kapal ikan Indonesia atau disebut juga dengan kapal nelayan lokal juga ikut diledakkan serta ditenggelamkan.22

Dengan adanya peristiwa tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis mengenai bagaimana kriteria kapal yang seharusnya dapat dilakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman serta bagaimana prosedur pelaksanaan dari pembakaran dan/atau penenggelaman kapal tersebut.

22

Metrotvnews.com

(13)

Kajian dan analisis ini berjudul: Prosedur Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal dalam Tindak Pidana Perikanan dari Perspektif Hukum Pidana di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Perbuatan-perbuatan Apa saja yang Termasuk Tindak Pidana Perikanan Menurut UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 ?

2. Bagaimana Kriteria Kapal yang Dapat Dilakukan Tindakan Pembakaran dan/atau Penenggelaman dalam Tindak Pidana Perikanan ?

3. Bagaimana Prosedur Tindakan Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal dalam Tindak Pidana Perikanan di Indonesia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan apa saja yang termasuk tindak pidana perikanan menurut UU No. 31 Tahun 2004 Jo. UU No. 45 Tahun 2009.

(14)

c. Untuk mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan di Indonesia. 2. Manfaat Penulisan

a. Manfaat Secara Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk memberikan pengetahuan bagi mereka mengenai Tindak Pidana Perikanan, mengetahui apa itu perikanan, kriteria kapal perikanan, wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, serta prosedur dari tindakan khusus pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang melakukan tindak pidana perikanan (illegal

fishing) di Indonesia. dan diharapkan skripsi ini nantinya akan menambah

kepastian hukum dan dapat menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum khususnya di bidang perikanan.

b. Manfaat Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat di bidang perikanan, dan bagi aparat penegak hukum nantinya diharapkan dapat menjalankan peran dan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.

D. Keaslian Penulisan

(15)

berkaitan dengan judul skripsi “Prosedur Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal dalam Tindak Pidana Perikanan dari Perspektif Hukum Pidana di Indonesia”. Sebelumnya telah dilakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum atau Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 21 Maret 2017 yang menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama”, dan tidak terlihat adanya keterkaitan. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah ataupun secara akademik.

(16)

dapat dilakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan, serta prosedur tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan. Sedangkan terhadap skripsi yang telah ada sebelumnya membahas mengenai tugas dan fungsi pengawas perikanan di wilayah laut Indonesia serta hak dan kewajiban kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia, dan penerapan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan dilihat dari kasus yang telah ada di Indonesia.

Dengan demikian, penulisan skripsi ini bukan hasil tiruan atau penggandaan karya tulis orang lain. Oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah sebuah karya tulis ilmiah yang asli. Kalaupun terdapat pendapat atau kutipan dalam penulisan skripsi ini, hal tersebut hanya sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam menyelesaikan skripsi ini. Apabila di kemudian hari terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Perikanan

Di dalam kepustakaan sering dijumpai istilah strafbaar feit atau delict

(17)

delit dalam bahasa Perancis ataupun delik dalam bahasa Indonesia.23

“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” atau sebagai

“de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen welzjin”.

Istilah-istilah tersebut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita dikenal sebagai tindak pidana tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya tindak pidana itu sendiri.

POMPE, secara teoritis, merumuskan bahwa tindak pidana atau strafbaar feit sebagai :

24

Moeljatno, lebih sepakat menyebut tindak pidana dengan sebutan perbuatan pidana. Perbuatan olehnya dijelaskan sebagai suatu yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut, dapat juga perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, adapun yang perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula sehingga tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak

23

P.A.F.Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 192.

24

(18)

karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbantuan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit : pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.25

SIMONS merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.26

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu dinyatakan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;

Alasan dari SIMONS apa sebabnya “strafbaar feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena :

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur delik seperti yang dirumuskan didalam undang-undang; dan

25

Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 59.

26

(19)

c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige handeling”.27

Semua perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum menjadi pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melanggar hukum (wederrechtelijke handeling). Dengan kata lain perbuatan melawan hukum itu, untuk hukum pidana memuat anasir melawan hukum (element van wederrechtelijkheid). Di antara pelanggaran hukum itu ada beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan suatu sanksi istimewa, yang menurut van HAMEL adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar. Pelanggaran hukum seperti inilah yang oleh KUHPidana dikualifikasikan peristiwa pidana (strafbaar feit). Namun Mr. van der HOEVEN tidak setuju apabila perkataan “strafbaar feit” itu harus diterjemahkan dengan perkataan “perbuatan yang dapat dihukum”. Bahkan hal ini dikuatkan oleh SATOCHID KARTANEGARA yang sependapat dengan Mr. Van der Hoeven yang telah menggunakan kata tindak pidana sebagai terjemahan dari

strafbaar feit dalam kuliah-kuliahnya. Oleh karena dari bunyinya Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa yang dapat dihukum itu hanyalah manusia dan bukan perbuatan.28

27

Ibid.

28

(20)

Perbedaan pendapat mengenai makna dari strafbaar feit itu sebenarnya hanya dalam teori saja penting untuk dibicarakan, karena dalam praktek hukum, yang menjadi perhatian dan acuan baik ketika penyidikan dilakukan, surat dakwaan, pembelaan, replik-duplik dan surat tuntutan disusun, surat putusan dibuat dan amar ditetapkan, hanyalah pada unsur-unsur yang ada dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan (konkrit), dan tidak mengacu pada salah satu pendapat teoritis (abstrak). Dalam praktek, untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, maka seorang terdakwa disyaratkan (mutlak) harus memenuhi semua unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut. Jika yang didakwakan itu adalah tindak pidana yang dalam rumusannya terdapat unsur kesalahan dan/atau melawan hukum (yang bersifat subjektif, misalnya dalam Pasal 368, 369, 378, atau 390 KUHP), maka unsur itu harus juga terdapat dalam diri pelakunya, dalam arti harus terbukti. Tetapi jika dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan tidak dicantumkan unsur mengenai diri orangnya (kesalahan), maka unsur itu tidak perlu dibuktikan. Dalam hal ini tidak berarti bahwa pada diri pelaku tidak terdapat unsur kesalahan, mengingat dianutnya asas “tidak ada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).29

Untuk terjadinya atau terwujudnya tindak pidana sudah cukup dibuktikan terhadap semua unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan. Persoalan pertanggungjawaban ini barulah menjadi hal yang penting ketika pidana hendak dijatuhkan. Terwujudnya tindak pidana tertentu tidak dengan demikian diikuti

29

(21)

dengan pidana tertentu. Perihal pertanggungjawaban adalah mengenai hal syarat penjatuhan pidana, bukan syarat untuk terwujudnya tindak pidana.30

Menurut Barda Nawawi Arief, dengan tidak adanya batasan yuridis tentang tindak pidana, dalam praktik selalu diartikan, bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam undang-undang. Hal ini didasarkan pada perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP yang mengandung asas

“nullum delictum sine legs” dan sekaligus mengandung asas “sifat melawan

hukum yang formal”. Padahal secara teoritis dan menurut yurisprudensi serta menurut rasa keadilan, diakui adanya asas “tiada tindak pidana dan pemidanaan tanpa sifat melawan hukum (secara materiil)”. Asas ini sebenarnya juga tersimpul (secara implisit) di dalam “aturan khusus” KUHP, yaitu dengan adanya beberapa perumusan delik di Buku II yang secara eksplisit menyebutkan unsur melawan hukum (misalnya, Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan, Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang). Apabila unsur melawan hukum itu tidak ada/tidak terbukti, maka pelaku tidak dapat dipidana. Ini berarti, di dalam ketentuan itu terkandung asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum” (no liability without unlawfullness).31

Menurut Konsep KUHP Baru, tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun materiil.32

30

Ibid., hal. 78.

31

Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, hal. 80.

32

Ibid., hal. 77.

(22)

(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

Tindak pidana dan tindak pidana perikanan merupakan dua hal yang berkaitan erat, dimana tindak pidana perikanan terdiri dari kata tindak pidana dan perikanan. Aparat penegak hukum dan instansi terkait untuk menyebut tindak pidana di bidang perikanan lebih sering menggunakan istilah illegal fishing. Istilah ini terdapat dalam penjelasan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, tetapi tidak diberikan definisi ataupun penjelasan lebih lanjut tentang apa itu illegal fishing.

Dalam TheContemporary English Indonesian Dictionary, “illegal” berarti tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, sedangkan “fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan.33

33

Peter Salim, 2003, The Contemporary English Indonesian Dictionary, Modern English Press,Jakarta, hal. 65.

(23)

Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, memberi batasan pada istilah “illegal fishing”, yaitu pengertian

illegal, unreported,andunregulated (IUU) fishing yang secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.34

Hal ini merujuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh International Plan

of Action (IPOA) – illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing yang

diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pengertian illegal fishing dijelaskan sebagai berikut :35

1. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu (activities conducted by national or foreign vessels in waters under the jurisdiction of a state, without

permission of that state, or in contravention of its laws and regulation).

2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization (RFMO), tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan

34

Nunung Mahmudah, 2015, ILLEGAL FISHING – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah Perairan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal.87.

35

Mukhtar Api, “Illegal Fishing di Indonesia”, diakses melalui

(24)

konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO. Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional (activities conducted by vessels flying the flag of states that are parties to a relevant regional fisheries

management organization (RFMO) but operate in contravention of the

conservation and management measures adopted by the organization and by

which state are bound, or relevant provisionsof the applicable international

law).

3. Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO (activities in violation of national laws or international obligations, including those undertaken by cooperating stares to

a relevant regional fisheries management organization (RFMO).

2. Pengertian Kapal dan Kapal Perikanan

(25)

Pengertian tentang kapal dirumuskan juga oleh Pasal 309 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yaitu berupa “semua alat pelayaran dengan nama atau sifat apapun juga”. Berdasarkan rumusan tersebut, masih belum dapat memberikan pengertian yang jelas tentang kapal karena tidak dimuat arti dari kata alat pelayaran dalam KUHD tersebut maupun dalam penjelasannya. Mengenai “alat pelayaran”, Wirjono Prodjodikoro menyatakan:

“...kebanyakan ahli hukum di Negeri Belanda dan juga jurisprudensi di sana mengambil pengertian ini dalam arti yang sangat luas, yaitu meliputi semua alat yang dibikin oleh manusia untuk berada dan bergerak di air dengan alat itu. Jadi tidak diperdulikan, apakah alat tersebut dapat digerakkan sendiri atau ditarik oleh alat lain...”.36

Pengertian kapal perikanan tersebut di atas sama dengan pengertian kapal perikanan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Selanjutnya dalam Pasal 309 ayat (2) merumuskan bahwa “kapal” meliputi juga semua alat-alat perkapalan, yang selanjutnya pada Pasal 309 ayat (3) dijelaskan lebih lanjut tentang “alat-alat perkapalan” yakni semua barang-barang yang tidak merupakan bagian dari tubuh kapal, tetapi ditujukan untuk tetap dipakai bersama-sama tubuh kapal dalam pelayaran. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kapal perikanan termasuk dalam bagian pengertian kapal itu sendiri.

Menurut Pasal 1 angka 9 Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, yang dimaksud dengan kapal perikanan adalah:

“kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan.”

36

(26)

Republik Indonesia Nomor 42/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif

(Normative Legal Research) atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.37 Kemudian juga mendasarkan pada karakteristik yang berbeda dengan penelitian ilmu sosial pada umumnya.38 Sedangkan fokus kajiannya adalah hukum positif, hukum positif yang dimaksud adalah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, yaitu suatu aturan atau norma tertulis yang secara resmi dibentuk dan diundangkan oleh penguasa, di samping hukum yang tertulis tersebut terdapat norma didalam masyarakat yang tidak tertulis yang secara efektif mengatur perilaku anggota masyarakat.39

2. Data dan Sumber Data

Pendekatan ini dilakukan untuk mempelajari dan mengkaji permasalahan yang berlaku di tengah masyarakat khususnya di bidang perikanan, sehingga memudahkan penulis untuk menggambarkan dan memaparkan mengenai prosedur pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan di Indonesia.

37

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13-14.

38

Asri Wijayanti & Lilik Sofyan Achmad, 2011, Strategi Penulisan Hukum, CV. Lubuk Agung, Bandung, hal. 43.

39

(27)

Bahan hukum yang menjadi acuan berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.40

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Pada skripsi ini bahan hukum primernya terdiri dari :

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

d) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009;

e) Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United

Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS

1982);

f) Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

g) Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; h) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;

i) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang terkait;

j) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11/PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk

40

(28)

Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu terdiri dari bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,41

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau rujukan bidang hukum.

seperti buku-buku, skripsi-skripsi, surat kabar, artikel internet, hasil-hasil penelitian, pendapat para ahli atau sarjana hukum yang dapat mendukung pemecahan masalah yang diteliti dalam penelitian ini.

42

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mengumpulkan berbagai ketentuan perundang-undangan, dokumentasi, mengumpulkan literatur, serta mengakses internet berkaitan dengan permasalahan dalam lingkup hukum perikanan terutama dari perspektif hukum pidana di Indonesia. Studi kepustakaan dilakukan penulis dengan membaca dan memahami buku-buku, jurnal-jurnal maupun artikel-artikel, serta bahan bacaan yang berkaitan dengan pokok-pokok penelitian dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

41

Ibid.

42

(29)

Penulisan skripsi ini penulis menggunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tinjauan kepustakaan yang bersumber dari buku-buku dan literatur lain. Data yang diperoleh penulis akan dianalisa secara normatif, yaitu membandingkan data yang diperoleh dengan aturan hukum. Setelah keseluruhan data yang diperoleh sesuai dengan bahasannya masing-masing. Selanjutnya, tindakan yang dilakukan adalah menganalisis data. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah analisis kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan analisis.43

G. Sistematika Penulisan

Agar terdapat suatu alur pemikiran yang teratur dan sistematis, maka penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas 5 bab dengan masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab awal yang merupakan pendahuluan skripsi yang berisikan latar belakang pemilihan judul skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan gambaran singkat tentang isi skripsi. Pada bab ini akan mendukung untuk memasuki bab-bab selanjutnya.

BAB II: PERBUATAN-PERBUATAN YANG

43

(30)

TERMASUK TINDAK PIDANA PERIKANAN MENURUT UU NO. 31 TAHUN 2004 JO. UU NO. 45 TAHUN 2009

Bab ini akan membahas tentang faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perikanan, latar belakang dibentuknya Undang-Undang tentang Perikanan, serta perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana perikanan menurut UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009.

BAB III: KAPAL YANG DAPAT DILAKUKAN TINDAKAN

PEMBAKARAN DAN/ATAU PENENGGELAMAN KAPAL DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN

Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang kriteria kapal perikanan dan kewenangan penerbitan izin penangkapan ikan dengan kapal, ketentuan pengoperasian kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia, serta kriteria kapal yang dapat dilakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman dalam tindak pidana perikanan.

BAB IV: PROSEDUR TINDAKAN PEMBAKARAN DAN/ATAU

(31)

Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang penyidik yang berwenang dalam tindak pidana perikanan dan bagaimana proses penyidikannya, serta prosedur pelaksanaan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan di Indonesia menurut peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11/PER-DJPSDKP/2014.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Gastritis disebabkan oleh infeksi kuman hellocobactery pylory ibfeksi mulkosa lambung menunjukan adanya respon inflamsi akut dan jika tidak diabaikan menjadi kronik. Gastritis

Adapun pemberlakuan MEA dalam hal ketenagakerjaan akan menjadi pedang bermata dua bagi negara-negara anggotanya, dengan artian negara yang memiliki tenaga kerja potensial

 Menjawab pertanyaan tentang materi Mengidentifikasi Peninggalan Sejarah Masa Islam di Indonesia yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau lembar kerja yang

Terdapat beberapa masalah yang dirasakan oleh pasien dengan menggunakan prosedur permintaan ambulans yang ada, dimana pada beberapa kasus pasien tidak dapat

Pada kasus klien mengalami penurunan kesadaran disertai di alami penderita ± 2 hari, penurunan kesadaran terjadi secara tiba tiba setelah penderita kejang.saat kejang kaki dan

124.Untuk mengetahui keberhasilan belajar peserta didik, baik selama maupun setelah peserta didik mengikuti pembelajaran tertentu dapat dilihat melalui pengamatan keaktifan

< = 0,05 (0,026 < 0,05) hal ini menunjukkan H 0 ditolak dan H 1 diterima, dengan tingkat kepercayaan 95 % dikatakan bahwa rata-rata nilai hasil belajar peserta didik