• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tato sebagai Representasi Spiritual Orang-Orang Bertato T2 752014027 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tato sebagai Representasi Spiritual Orang-Orang Bertato T2 752014027 BAB II"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TUBUH, TATO DAN SPIRITUAL

2.1Pengantar

Tato adalah bentuk modifikasi dekoratif dan permanen yang melekat

pada tubuh, dan dianggap sebagai sebuah modifikasi yang tidak normal dan sehat

karena prosesnya yang tidak alamiah. Oleh karena tato diletakkan pada tubuh,

maka itu mudah menjadi sorotan orang lain. Bab ini akan memaparkan bagaimana

orang-orang bertato menarik perhatian dan dikenakan sebuah stigma yang negatif

oleh orang lain di dalam masyarakat, yakni pertama-tama dengan menjabarkan

bagaimana tubuh di dalam konteks sosial dan bagaimana tato dipandang sebagai

sebuah modifikasi yang tidak lazim di masyarakat, hingga pada penjabaran

mengenai sejarah dan perkembangan tato hingga zaman sekarang.

Rekam jejak perjalanan tato, yang ternyata merupakan tradisi di beberapa

kebudayaan dan zaman, menunjukkan adanya keterkaitan dengan upaya

merepresentasikan spiritual anggota masyarakat tersebut di dalam tato, untuk

itulah di akhir Bab ini juga akan dipaparkan makna spiritual di dalam perspektif

psikologi dan konseling, agama, seni, dan sosiologi. Bab ini akan mengantarkan

pada pemahaman bagaimana tato, yakni gambaran-gambaran permanen yang

(2)

14

2.2Tubuh dan Modifikasi Tubuh

2.2.1 Tubuh dalam Konteks Sosial

Tubuh “fisik” menyediakan pondasi metaforis untuk berpikir tentang tubuh “sosial”. Para pengamat sosial yang menjelaskan masyarakat sebagai

sebuah sistem yang terbentuk dari beragam bagian yang saling berhubungan dan

bekerja sama kurang lebih secara harmonis, secara khusus menyajikan sistem

sosial sebagai kesehatan secara umum dimana tubuh digambarkan secara ideal

sebagai sesuatu yang natural dan sehat, berkembang agar beradaptasi terhadap

perubahan di lingkungan sekitar, dan terkadang menderita karena “penyakit”

seperti penyimpangan dan masalah-masalah sosial.1 Seiring kebangkitan

positivisme biogenik dalam teori kriminologi, tubuh manusia menjadi fokus

terang terhadap teori sosio-etiologis dimana tubuh diduga menentukan gerakan

seseorang ke dalam sebuah pola pelanggaran hukum atau menyatakan

kecenderungan fisiologisnya untuk berbuat jahat, oleh karena tubuh juga menjadi

media menyalurkan pikiran dan kehendak.2 Tubuh diharapkan berkembang

melalui proses yang normal dan alami, dan ketika seseorang memodifikasi

tubuhnya secara sengaja baik secara permanen maupun sementara, maka

tindakannya dianggap tidak etis.

Sosiolog Turner yang telah memfokuskan karyanya pada tubuh,

memaparkan bagaimana sosiologi klasik, yang berkembang sebagian dengan

penjelasan biologis bagi tindakan sosial, menegaskan hukum dan struktur sosial

rasional. Teori klasik, sejauh berbicara mengenai tubuh, mangasumsikan

1 Peter Corrigan, The Dressed Society: Clothing, the Body and Some Meanings of the

World (London: Sage Publications, 2008), 80.

2 Clinton R. Sanders, “Viewing the Body: An Overview, Exploration and Extension”

(3)

15 rasionalitas pada bagian aktor-aktor sosial dan mempersepsikan tubuh sebagai

pembatas terhadap rasionalitas dan alasan.3 Alasan menjanjikan sejumlah besar

kebaikan yang tidak diharapkan dapat disediakan oleh tubuh.

Tubuh hidup, menua, melemah, sedangkan alasan bekerja sesuai logika

hukum universal dan menghasilkan kebenaran-kebenaran kekal. Tubuh

membedakan seseorang dengan yang lain, dan merupakan denominator umum,

merupakan subjek terhadap kehendak, emosi, dan dorongan-dorongan yang

mengerikan di luar kendali subjek. Pikiran rasional waspada, dan merupakan

proses kesadaran diri yang dapat dilakukan subjek dalam konteks otonomi dan

pilihan.4 Tubuh sosial merupakan satu kesatuan dengan tubuh fisik, dimana dalam

keterhubungannya dengan sesama manusia, tubuh fisik mengambil peran.

Tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam interaksinya terhadap sesama

dikendalikan oleh kognisi dan kesadaran di dalam tubuh manusia. Proses biologis

dan psikologis yang terjadi di dalam tubuh mendorong tindakan-tindakan

seseorang, itu sebabnya tubuh menjadi pembeda antara seseorang dengan yang

lain.

Gallagher, dalam hal ini juga berpendapat sama, yakni bahwa tubuh

dirasakan dan memainkan peran dalam kognisi dan kesadaran. Ia menjelaskan hal

tersebut dalam dua konsep yakni body image dan body schema. Bagaimana

seseorang bersikap, memandang, dan meyakini sesuatu dan terhadap orang lain itu

menjadi bagian dari peran body image, dimana proses dari sistem tersebut

3 Bryan S. Turner, “Recent Developments in the Theory of the Body” dalam Mike

Featherstone, Mike Hepworth, Bryan S. Turner (Penyunting), The Body: Social Process and Cultural Theory (London: Sage Publications, 1991), 4.

4 Victoria Pitts, In the Flesh: The Cultural Politics of Body Modification (New York:

(4)

16

dikendalikan oleh body schema.5 Bagian tubuh yang terlihat dan dapat dirasakan

oleh orang lain ialah body image, sedangkan sistem di dalam tubuh, yang tidak

terlihat oleh orang lain ialah body schema.

Body image terdiri atas sebuah sistem persepsi, sikap, dan keyakinan

yang bersinggungan dengan tubuh dari seseorang itu sendiri. Body schema, yang

terkait dengan biologi, merupakan sebuah sistem kapasitas sensori-motor yang

berfungsi tanpa kesadaran maupun pemantauan persepsi yang memposisikan

tubuh sebagai sebuah objek.6 Perbedaannya terletak pada persepsi dan keyakinan

terhadap sesuatu dan kapasitas gerak atau kemampuan untuk melakukan sesuatu.

Tubuh, dalam perkembangan pemikiran berikutnya, sering diasumsikan

tetap, fakta material yang akan dilampaui oleh alasan. Sosiologi modern abad

ke-20 melihat tubuh sebagian besarnya menjadi sebuah sistem organis yang juga

dialokasikan pada disiplin ilmu lainnya, seperti fisiologi maupun biokimia, atau

menjadi bagian dari syarat-syarat tindakan, yakni pembatas lingkungan.

Fungsionalisme, misalnya, menganggap sebuah model ekonomi sebagai aktor

rasional, dan tubuh dengan demikian menjadi eksternal terhadap aktor, yang

muncul sebagai agen pembuat keputusan..7 Tubuh menjadi pelaksana atau aktor di

dalam situasi sosial, yang dikendalikan oleh pikiran rasional.

Goffman melihat tubuh sebagai sebuah situs untuk mempertunjukkan diri

yang tidak memiliki ontologi penting atau inti. Diri, dari perspektif ini, dibuat dari

beragam bagian yang diperankan oleh orang-orang, dan tujuan kunci aktor-aktor

5 Shaun Gallagher, How the Body Shapes the Mind (New York: Oxford University

Press, 2005), 24.

6 Gallagher, How the Body, 24. Shaun Gallagher, “The Body in Social Context: Some

Qualifications on the ‘Warmth and Intimacy’ of Bodily Self-consciousness” dalam Grazer Philosophische Studien Volume 84 Issue 1 (2012), 107.

7Turner, “Recent Developments” dalam Featherstone, Hepworth, Turner (Penyunting),

(5)

17 sosial adalah menciptakan dan menopang kesan-kesan tertentu terhadap

orang-orang yang melihatnya.8 Kesan pertama di dalam kehidupan sehari-hari menjadi

hal yang penting ketika berpapasan dengan orang lain. Ketika seseorang muncul

di hadapan orang lain, maka ia secara sadar akan memproyeksikan situasi

tersebut, dimana konsepsi mengenai dirinya adalah bagian yang penting.

Fernàndez, dalam penelitiannya terhadap kelompok etnis Mbororo,

menemukan hal serupa bahwa tubuh berfungsi sebagai sebuah ruang yang

menandakan asal koordinat khusus untuk menciptakan sebuah medan simbolis

dari konvensi sosial. Tubuh menjadi sebuah daerah yang secara serempak

mendiami dan didiami, sebuah ruang bagi konstruksi dan pertunjukan identitas

pribadi maupun kelompok, yang biasanya bersifat sosial. 9 Artinya, tubuh

memiliki peran dasar di dalam interaksi sosial yang menghasilkan sebuah

presentasi sosial. Fernàndez membuktikannya dengan tato wajah dan skarifikasi

yang dipakai oleh masyarakat etnis Mbororo sebagai penyataan ‘menjadi subjek’.

Subjektifikasi tersebut dimaksudkan oleh mereka sebagai bahasa yang

mengekspresikan identitas budaya.

Tubuh, berdasarkan paparan pendapat para ahli di atas, menjadi sebuah

lokasi dimana masyarakat dapat bertemu dan menggambarkan

pengaruh-pengaruhnya dalam interaksi terhadap orang lain. Tubuh menjadi aktor-aktor

sosial yang memainkan peran-peran tertentu. Identitas tiap-tiap orang

tergambarkan di dalam kehadiran tubuh tersebut dalam fungsi-fungsi sosialnya,

8 Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of

Edinburgh, 1956), 3, 8-9.

9Cristina Enguita Fernàndez, “Managing Ethnicity through the Body: Tattoo and Facial

(6)

18 itu sebabnya tubuh dapat digunakan sebagai situs untuk mempertunjukkan diri

dalam usaha untuk menghadirkan diri di hadapan orang lain.

Tubuh, meskipun demikian, bukanlah semata “lokasi” fisik dimana

masyarakat menggambarkan pengaruh-pengaruhnya, melainkan “sumber” materi

hubungan dan kategori sosial, dan “alat” sensual yang melaluinya orang-orang

terikat pada atau tersisihkan dari bentuk sosial.10 Masyarakat ada sebelum

kelahiran setiap generasi baru, dan pola-pola dominan institusi dan relasi sosial

mendesak pengaruh yang tak terelakkan pada perkembangan subjek-subjek yang

terkandung di dalamnya.11 Hal ini yang Durkheim coba analisis dalam upaya

mendirikan proses fundamental pengaturan konstitusi seluruh masyarakat, yakni

bahwa ia melihat tubuh sebagai “lokasi” terbaik bagi masyarakat. Secara khusus,

moralitas biasa yang mengubah sekumpulan orang menjadi suatu masyarakat,

bagi Durkheim, terekspresikan melalui rangka simbolis yang tidak hanya

membentuk kesadaran dan hati nurani para anggotanya, melainkan juga bagian

luar dari tubuh mereka. Hal tersebut muncul ketika nilai-nilai sosial

mempengaruhi ukuran fisik, bentuk dan rupa populasi sosial.

Durkheim melihat tubuh sebagai lokasi yang dikelilingi oleh serangkaian

kesan dan larangan totemis yang mencari gabungan aturan moral masyarakat

dengan menetapkan bagaimana orang-orang berhubungan dengan topografi dan

melihat daging (tubuh) mereka sendiri dan daging (tubuh) setiap generasi baru.12

Gambar yang tercap pada daging tubuh merupakan cara representasi terpenting

10 John Evans, Brian Davies, Jan Wright (Penyunting), Body Knowledge and Control:

Studies in the Sociology of Physical Education and Health (London and New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2005), xvii.

11 Evans, Davies, Wright (Penyunting), Body Knowledge, xvii.

12 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: The Free

(7)

19 yang ada, sebab tubuh berbagi dalam kehidupan biasa, yang di dalamnya

orang-orang diarahkan secara insting, untuk melukiskan maupun memberi cap pada

tubuh mereka apa yang mengingatkan mereka akan kehidupan.13 Cap atau gambar

pada tubuh yang dimaksud oleh Durkheim dalam hal ini peneliti pahami sebagai

tanda kesukuan semacam tato dan skarifikasi. Fitur dasar norma-norma

kebudayaan tersebut mengangkat identitas dan kepemilikan terhadap anggota

kelompok atau suku. Penggunaannya sebagai bagian dari norma yang diaturkan

ialah sebagai identitas dan ingatan terhadap pengalaman kehidupan yang telah

dilalui oleh masing-masing pribadi. Tubuh, dalam hal ini, menjadi media untuk

menyampaikan cerita kepada orang lain.

Orang-orang adalah tubuh. Setiap orang menghuni tubuhnya sendiri dan

berhubungan dengan orang lain melalui tubuh mereka. Melihat tubuh sebagai

objek pertama individual dan paling alami akan menolong untuk tiba pada cara

orang-orang paham bagaimana menggunakan tubuh mereka dari masyarakat yang

satu ke masyarakat yang lain.14 Pemikiran tentang tubuh, kemudian berkembang

menjadi dua yaitu diri dan masyarakat, yang kadang-kadang menyatu karena

begitu dekat, terkadang juga jauh berpisah, yang memunculkan penjabaran

makna.

Setiap simbol alamiah yang berasal dari tubuh, memuat pemaknaan

sosial dan setiap budaya membuat seleksinya sendiri dari wilayah simbolisme

tubuh, yang terkait dengan tubuh secara sosial, bukan secara fisik. Eksplorasi

mengenai donasi permukaan tubuh untuk tato dalam penelitian ini akan

13 Durkheim, The Elementary Forms, 223.

14Chris Shilling, “Afterword: Body Work and the Sociological Tradition” dalam Julia

(8)

20 mengantarkan kepada pemahaman bagaimana tubuh telah dianggap sebagai objek

fisik dan konstruksi sosial, yang dapat terlihat pada peran sentral tubuh dalam

mediasi hubungan sosial, dan bagaimana orang menanggapi tubuh yang hidup dan

mati (mayat) secara historis dan kultural tertentu.

2.2.2 Modifikasi Tubuh

Manusia menjalani perubahan secara fisik sebagai bagian menjadi dan

bersama dengan tubuh lain dalam dunia materi dan sosial.15 Tubuh, sebagai suatu

kesatuan budaya dan biologis yang lahir secara serempak, dengan seketika

mengalah pada proses modifikasi saat kelahiran, berakhir ketika kebekuan saraf di

tubuh yang gemuk akhirnya tersingkap. Sepanjang rangkaian kehidupan, tubuh

berkembang, misalnya dalam tinggi, massa otot, dan ketangkasan mental dan

fisik, dan merosot tanpa bisa diacuhkan, menderita luka, mengalami kerusakan tak

terduga dan kegagalan fungsi.

Praktek modifikasi tubuh biasanya dicirikan sebagai tindakan dimana

seseorang memainkan peran perantara dalam perubahan jasmaninya.16

Pengalaman dan proses secara fisik, seperti penuaan, penyakit, dan kematian

dirasakan sama di manapun, namun pemahaman terhadap pengalaman dan proses

tersebut bergantung pada diri pribadi masing-masing dan konteks budaya di mana

seseorang tinggal. Di negara Barat misalnya, orang-orang dipandang sebagai yang

bertanggung jawab atas apa yang terjadi terhadap tubuhnya masing-masing,

secara khusus berkaitan dengan kesehatan dan pengindahan. Sedikit banyaknya,

15 Mary Kosut, Tattoos and Body Modification” dalam International Encyclopedia of

the Social and Behavioral Sciences 2nd Edition Volume 24 (2015), 32.

16Will Johncock, “Modifying the Modifier: Body Modification as Social Incarnation”

(9)

21 semua orang diharapkan berpartisipasi dalam modifikasi dan persembahan tubuh,

tanpa memperhatikan akses kepada sumber dan tingkatan kesempatan, terutama di

negara-negara modern secara teknologi dan makmur.17 Proses tersebut dijalani

demi membangun sebuah penampilan yang menarik dari tubuh dan dapat

menghadirkan kedirian masing-masing pribadi.

Demi menunjukkan identitas dirinya, menurut Shilling, orang-orang

terlibat dalam berbagai “proyek tubuh” yang mengusahakan konstruksi pribadi

untuk kepentingan kesehatan dan keindahan tubuh.18 Bagi orang-orang yang

berkeinginan untuk perubahan telah benar-benar terwujud dalam daging mereka

sendiri, tubuh mereka menjadi layar yang melaluinya budaya dapat melihat atau

jatuh untuk melihat budaya itu sendiri tercermin. Wegenstein menemukan bahwa

orang-orang yang dikelilingi oleh tubuh-tubuh hasil make-over dapat

menghasilkan keinginan bagi seseorang untuk melakukan hal yang sama namun

juga menghasilkan tatapan yang melingkar, yakni “aku melihat diriku dalam

tubuh orang lain, dan tubuh-tubuh orang lain memberitahuku bagaimana

penampilanku”.19 Wegenstein menyebut tatapan itu sebagai ‘tatapan kosmetik’

yang melaluinya tindakan melihat tubuh orang sendiri dan tubuh orang lain

diinformasikan melalui teknik, ekspektasi, dan strategi modifikasi tubuh. Ada juga

tatapan bermoral, yakni sebuah cara melihat tubuh selayaknya menanti

penyempurnaan spiritual dan fisik yang hadir dalam struktur tubuh sebagai

kekurangan atau kebutuhan. Seseorang harus menghendaki yang terbaik untuk

dirinya, baik di dalam maupun di luar.

17 Kosut, Tattoos and Body, 32.

18 Chris Shilling, The Body and Socia l Theory (London: Sage Publications, 2003), 4-5. 19 Bernadette Wegenstein, The Cosmetic Gaze: Body Modification and the Construction

(10)

22 Lebih jauh lagi, Lemma, dalam penelitiannya terhadap seorang laki-laki

yang menggambarkan masa-masa traumatis dalam kehidupannya dengan banyak

tato, menemukan adanya ketergantungan antara seseorang dengan orang lain yang

mendorongnya untuk melakukan modifikasi tubuh dalam rangka untuk dapat

diterima. Bentuk dari sebuah modifikasi tubuh semakin kompulsif dan ekstrim

merefleksikan kesulitan dalam mengintegrasikan kenyataan hidup yang paling

mendasar, yakni bahwa manusia tidak bisa melahirkan dirinya sendiri. Ini

benar-benar dirasakan oleh tubuh.20 Seseorang akan melihat ke dalam bagaimana orang

lain menatap dirinya, sehingga ia akan melakukan modifikasi tubuh demi

menyesuaikan dengan bagaimana orang lain ingin melihatnya.

Setiap orang berinteraksi dengan orang lain di dalam tubuhnya.

Penampilan saat menghadirkan diri di tengah-tengah orang lain sangat

mempengaruhi besarnya kemungkinan penerimaan terhadap diri orang tersebut.

Hal ini pula yang mendorong orang-orang untuk melakukan modifikasi tubuh

ketika dirasa bahwa dirinya kurang diterima, atau demi penerimaan yang lebih

besar. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ketika orang lain melihat kehadiran

seseorang, maka tatapan yang diungkapkan kurang lebih merupakan tatapan

kosmetik. Jika seseorang kurang menarik, maka penerimaan terhadap dirinya pun

seringkali kurang.

Perasaan diinginkan itu, menurut Turner, ialah alami sebab pada

dasarnya manusia seringkali memiliki kebutuhan dan itu karena manusia memiliki

tubuh. Kebutuhan seperti makan dan minum, juga tidur menjadi bagian mendasar

dari tubuh karena sistem organiknya. Di dalam filosofi sosial, kebutuhan tubuh

20 Alessandra Lemma, Under the Skin: A Psychoanalytic Study of Body Modification

(11)

23 yang secara terbuka bukanlah kebutuhan fisik, melainkan persahabatan atau relasi

dan menghormati diri.21 Hal senada juga ditemukan oleh Atkinson dalam

penelitiannya mengenai modifikasi tubuh, yakni bahwa mengembangkan

penampilan tubuh yang lebih baik itu merupakan kendaraan menuju perolehan

pengakuan, kekaguman, dan keterlibatan di dalam kelompok yang dikenal secara

menguntungkan.22 Tubuh diharapkan dapat lebih diterima dalam setiap interaksi

sosial, sehingga keinginan tersebut diteruskan pada kognisi, yang menjadikan

‘pengembangan’ tubuh tersebut sebagai sebuah kesadaran diri dan keputusan

berwawasan luas. Objektifikasi sebagai sebuah keinginan dan konsekuensi

menjadi suatu elemen semacam keputusan.

Covino memahami hal tersebut di dalam tiga poin penting, yakni

pertama-tama bahwa kehinaan diri diciptakan dan didukung oleh imajiner

pembedahan estetis; kedua, bahwa keadaan kehinaan itu dicirikan dengan

keterasingan, proses kehinaan (membersihkan diri sendiri dari ke-tidak

diingin-kan) yang merupakan suatu tindakan orientasi untuk sebuah penyambutan

komunitas yang dihuni oleh tubuh-tubuh pantas dan bersih. Ketiga, imajiner

pembedahan estetis menggambarkan tubuh yang dikembangkan sebagai sebuah

kebutuhan demi integrasi komunal, sekalipun integrasi tersebut bersikeras bahwa

pasien pembedahan estetis merupakan perantara otonomi.23 Itu sebabnya,

pemberian diri untuk terlibat di dalam industri estetis menuntut kehendak cerdas

dan berwawasan demi identifikasi dan komunitas, dengan menunjukkan harapan

21 Bryan S. Turner, The Body and Society-Third Edition (Los Angeles: Sage

Publications, 2008), 17.

22Michael Atkinson, “Tattooing and Civilizing Processes: Body Modification as Self

-control” dalam Canadian Review of Sociology/ Revuecanadienne de sociologie Volume 41 Issue 2 (May 2004), 133.

23 Deborah Caslav Covino, Amending the Abject Body: Aesthetic Ma keovers in

(12)

24 akan tubuh-tubuh sempurna yang cocok dengan intelektual, emosional, dan

spiritual diri.

Modifikasi tubuh, dalam hal untuk dapat diterima di dalam interaksi

dengan tubuh-tubuh lain tersebut, berputar baik di sekitar bidang biologis,

teknologi-medis, maupun antar perseorangan, dimana orang-orang

mengadopsinya untuk memperoleh kembali tubuh-tubuh yang trauma oleh karena

penyakit-penyakit traumatis semacam AIDS, kanker, dan penyakit patologis lain

yang kronis. Tubuh dimodifikasi sebagai upaya pertahanan ataupun tanggapan

pencegahan terhadap penyakit-penyakit traumatis tersebut.24 Modifikasi tubuh,

dengan demikian, menjadi bagian dari sifat dasar kedua dari seseorang, sebuah

tanggapan yang dipelajari untuk penyakit dan sebuah taktik untuk pulih dari tubuh

yang rusak.

Persepsi-persepsi sosial seringkali dirasakan oleh individu sebagai satu

proses dan bentuk tekanan-tekanan yang mengharuskan seseorang untuk berbuat

sesuatu. Proses menghadapi tekanan-tekanan itu umumnya dihadapi dengan

strategi-strategi tertentu agar manusia dapat hidup di dalamnya, salah satunya

ialah modifikasi tubuh, yang memang sering dimaksudkan untuk mempercantik

diri atau memberi kesan menarik pada tubuh. Proses pembedahan estetis menjadi

pilihan bagi beberapa orang, namun tidak sedikit juga memilih skarifikasi, tato,

dan tindik sebagai media memperindah diri. Semua cara tersebut, sekalipun

beresiko, mengarah pada satu syarat, yakni dapat diterima selama seseorang

berusaha untuk terlihat lebih baik, yang disesuaikan dengan kehendak bebas dari

si pemilik tubuh. Tampil menarik sebaiknya mempertimbangkan kesehatan

24 Michael Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis of a Body Art (Toronto Buffalo

(13)

25 sebagai sebuah opsi dan ekspektasi bagi tiap-tiap orang sebab teknologi dan setiap

layanan modifikasi tersebut ada untuk menopang integritas biologi tubuh.

2.2.3 Tato sebagai Modifikasi Tubuh

Kulit, kanvas dimana melaluinya perbedaan-perbedaan manusia dapat

ditulis dan dibaca, telah menjadi sebuah topik menarik yang berkelanjutan dalam

antropologi dan disiplin ilmu lainnya yang berkaitan mulai dari deskripsi

mula-mula orang-orang aneh hingga teori postmodern mengenai tubuh dalam

masyarakat kontemporer. Kulit, sebagai cara yang dapat dilihat dalam hal

melukiskan identitas pribadi dan perbedaan budaya, bukanlah semata sebuah

kesenangan yang sangat ditekuni di banyak kebudayaan, melainkan juga menjadi

pembicaraan yang diminati oleh para sarjana ilmu sosial dan kemanusiaan.25

Secara perspektif antropologis dan historis, dapat diperdebatkan bahwa di mana

ada kulit dan peluang, di sana akan ditemukan tubuh bertato.

Tato merupakan sebuah luka tusukan yang masuk ke dalam kulit dan

diisi dengan tinta. Seseorang harus melalui proses kulitnya ditembus dengan

jarum. Seniman tato, atau pembuat tato menggunakan mesin tato untuk menembus

kulit dengan jarum dan memasukkan tinta ke area kulit yang ditembus tersebut,

menggambarkan sketsa yang diinginkan klien. Tinta masuk melewati lapisan

epidermis, lapisan teratas dari kulit, ke dalam lapisan dermis, lapisan kedua yang

merupakan terdalam dari kulit. Tato menjadi permanen karena sel lapisan dermis

stabil. Jika sang seniman tato tidak mencapai lapisan dermis, maka pekerjaannya

akan menghasilkan tato yang kelihatan kasar dan tidak rata, sementara jika

25 Enid Schildkrout, “Inscribing the Body” dalam Annual Review of Anthropology

(14)

26 mencapai terlalu dalam, maka akan menghasilkan pendarahan dan rasa sakit yang

besar.26 Dapat dikatakan bahwa keberhasilan sebuah proses menato tubuh sangat

bergantung pada seniman tatonya. Setiap orang yang menginginkan sebuah tato

perlu meyakinkan kecakapan dari sang seniman.

Beberapa orang tidak memiliki keberanian untuk melakukan tato karena

takut melukai dirinya sehingga memberikan trauma terhadap kulitnya. Tidak

sedikit pula yang justru lebih berani mengambil resiko body painting, yakni

semacam tato yang bukan permanen, demi mengalami tato pada kulitnya namun

tanpa rasa sakit saat pengaplikasiannya. Praktek tersebut biasanya menggunakan

pewarna rambut bubuk, yang jika tidak sesuai dengan kulit yang menerimanya

akan dapat mengakibatkan peradangan dimana kulit melepuh dan akhirnya

terluka. Hal ini terkesan menggelikan, yakni bahwa mereka tidak menginginkan

tato namun mencoba ‘tiruannya’ yang juga beresiko menimbulkan rasa sakit yang

besar. Tato, bagaimanapun, ialah ketika gambar yang diguratkan pada kulit

menjadi permanen.

Pertatoan, sejak awal tahun 1990-an, telah berbunga sebagai proyek

tubuh yang populer, meningkat dari sekedar praktek kebudayaan subkultur

marjinal yang hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa orang tertentu saja

hingga menjadi sesuatu yang diadopsi secara aktif oleh gabungan orang-orang

dari latar belakang sosial berbeda-beda.27 Sebuah penelitian seorang Italia pada

tahun 2010, misalnya, yang dimasukkan di dalam National Library of Medicine

26 Leanne Currie-McGhee, Tattoos, Body Piercings, and Health (United States:

Reference Point Press, 2014), 11.

(15)

27

Amerika, menemukan bahwa 4 persen orang dewasa Italia menggunakan tato.28

Di Amerika, survei pada tahun 2012 menemukan bahwa ada sekitar 21% orang

dewasa memiliki setidaknya satu gambar tato di tubuhnya.29 Banyak ilmuan sosial

yang menggali tentang alasan tato begitu populer di Barat pada akhir abad ke-20

dan awal abad ke-21. Jawabannya beragam, antara lain bahwa tato semakin

diterima secara sosial, tato merupakan alat untuk menggambarkan kepribadian,

tato merupakan suatu cara untuk menampilkan keanggotaan sosial maupun

politik, dan yang paling komprehensif ialah bahwa tato itu efektif. Tato sangat

fungsional pada tingkatan mikro dan makro sosial.30 Tato merupakan bentuk

modifikasi tubuh permanen yang tertua dan terluas penggunaannya.

Di dalam konteks budaya, menurut Kosut, tato mungkin dilihat dan

dialami secara positif, namun ada orang-orang lain yang nampaknya akan selalu

berpikir rendah terhadap tato, bukan sebagai modifikasi tubuh melainkan sebagai

mutilasi tubuh. Istilah terdahulu “modifikasi” menunjukkan bahwa seseorang

terlibat dalam karya diri atau tubuh yang beralasan untuk batas tertentu.

Sementara istilah “mutilasi” menunjukkan sebuah perilaku yang berhubungan

dengan penyakit fisik maupun mental dan penderitaan.31 Menurut Pitts menandai

tubuh, baik tato maupun skarifikasi, dibaca sebagai pesan berbahaya yang

menyatakan esensi diri pribadi individual, khususnya kesehatan mentalnya, yang

seringnya dilihat sebagai penggolongan gangguan kepribadian, depresi, atau

28 Leanne Currie-McGhee, Tattoos, Body Piercings, and Teens (United States:

Reference Point Press, 2014), 8-9.

29 Kris Hirschmann, Tattoos, Body Piercings, and Art (United States: Reference Point

Press, 2014), 6.

(16)

28

masalah psikologis lainnya.32 Orang-orang yang tidak memiliki kesehatan mental

yang baik cenderung dianggap mudah untuk melukai dirinya sendiri, itu sebabnya

tidak sedikit yang memandang orang-orang bertato sebagai orang yang memiliki

riwayat gangguan psikologis.

Wohlrab dan rekan-rekannya, akan tetapi menemukan hal yang

bertentangan dengan temuan Pitts tersebut. Mereka menemukan bahwa karakter

bertato dinilai lebih sehat dan secara fisik lebih memikat dibandingkan dengan

karakter yang tidak bertato.33 Hal tersebut dikarenakan modifikasi secara umum

diyakini meningkatkan daya tarik dan daya tarik menunjukkan kualitas pasangan.

Peningkatan daya tarik fisik melalui modifikasi tubuh, seperti tato, merupakan

bukti dalam sebuah jangkauan luas kebudayaan dan belakangan telah menjadi

populer di kalangan masyarakat Barat.

Modifikasi tubuh, bagaimanapun, menyesuaikan terhadap tujuan

pemakaiannya, yakni karena alasan medis, yang mungkin saja untuk menutupi

kekurangan karena bekas luka atau operasi, dan dapat juga karena alasan non

medis, yakni untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam memikat lawan jenis

atau menjadi yang unggul di antara sesama jenis kelamin. Pertatoan modern

berkembang kontradiktif dalam zaman sekarang dan menjadi populer dalam

mimbar media utama, sekalipun dalam waktu yang sama pula dianggap sebagai

yang tidak dapat diterima, jika tidak sebagai kategori yang berbahaya.

Tato, dalam budaya kontemporer Barat, memiliki sejumlah makna dan

dikondisikan di dalam jangkauan konteks sosial yang luas. Motivasi pribadi untuk

32 Pitts, In the Flesh, 25.

33 Silke Wohlrab, Bernhard Fink, Peter M. Kappeler, Gayle Brewer, “Perception of

(17)

29 mendapatkan tato bervariasi secara luar biasa, dan kelas sosial, gender, ras,

seksualitas, profesi kerja, usia, dan lokasi geografis mungkin mempengaruhi

pengalaman dan pemilihan tato. Praktek tato lintas budaya tertentu menegaskan

ketidakstabilan dan sifat dapat ditempa dari tubuh dalam budaya konsumer

kontemporer yang diambil untuk diberikan agar mereka dengan tingkat ekonomi

modal akan dapat terlibat dalam beberapa macam tindakan atas tubuh atau diri

demi pemeliharaan, perbaikan, kesehatan, kecantikan, dan tuntutan awet muda.

Peningkatan dalam popularitas tato bertepatan dengan meningkatnya

popularitas bentuk-bentuk lain dari modifikasi tubuh. Pada akhirnya, tubuh yang

membebaskan diri, yang modern, dipahami sebagai suatu situs transformasi dan

penyesuaian yang potensial, entah melalui rezim-rezim makanan dan ritual

kecantikan, ataupun sebagai tato yang lebih non-normatif dan secara potensial

terlihat menjadi stigma. Tubuh bukanlah objek yang statis yang telah diberikan

kepada manusia,34 melainkan sebuah perantara yang fleksibel dan dapat diubah

sehingga manusia dapat mengolah lagi dan secara potensial menciptakan kembali

ke dalam suatu bentuk yang lebih fungsional dan menarik.

Bertolak dari ketaatan terhadap modifikasi tubuh sebagai suatu proses

dari konstruksi identitas pribadi tersebut, Atkinson memandang itu sebagai tiang

pondasi lain yang di atasnya usaha penelitian terhadap proyek tubuh sebaiknya

dibangun. Mengingat litani teknik modifikasi tubuh yang tersedia, perlu untuk

mempertanyakan kapan dan mengapa seseorang memilih untuk mengubah sebuah

aktivitas jasmani di dalam proses penciptaan-diri, redefinisi, dan representasi.35

Menggunakan tubuh untuk menandakan dan menampilkan identitas merupakan

34 Kosut, Tattoos and Body”, 32.

(18)

30 aktivitas dasar dalam proses komunikasi-sosial, dan semacam pengakuan

mungkin menjadi titik keberangkatan dalam pengkajiannya terhadap tato.36

Proyek modifikasi tubuh semacam menato dilihat sebagai sumber konstruksi

identitas karena poyek tersebut menegaskan maksud seseorang untuk menjadi

bebas dan berbeda, atau karena proyek tersebut dilakukan untuk alasan yang

sangat pribadi.

Tato, bagaimana pun juga sebaiknya tidak dibungkal bersama

bentuk-bentuk ekspresi sartorial dan trendi sesaat, sebab tindakan memberi diri untuk

ditato biasanya meliputi tiga tahapan yang berbeda variasi panjangnya, yakni

sebelum perencanaan, penerimaan tato, dan proses pemulihan dan perawatan

sesudah.37 Terlebih bahwa perilaku menato dapat dilihat sebagai sebuah upaya

untuk mengenalkan sebuah subkultur, yakni dalam mana orang-orang bertato

telah sedang menciptakan tubuh yang menggambarkan diri mereka terhadap

orang-orang lain di sekitarnya,38 bukan berarti bahwa menato merupakan sebuah

gerakan primitif yang modern.39 Menato tetaplah merupakan sebuah tindakan

modifikasi tubuh yang eksotis. Seni tato dalam karya tubuh memberikan sebuah

dimensi keindahan dan menarik banyak orang.

36 Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis, 21. Jung Mee Mun, Kristy A. Janigo, dan Kim

K.P. Johnson, “Tattoo and The Self” dalam Clothing and Textiles Resea rch Journal Volume 30 Issue 2 (2012), 135-136.

37 Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis, 33.

38 Ken Gelder, Subcultures: Cultural Histories and Social Practice (New York:

Routledge, 2007), 122.

39 Matt Lodder, “The Myths of Modern Primitivism” dalam European Journal of

(19)

31

2.3Pengertian dan Sejarah Perkembangan Tato

2.3.1 Sejarah Istilah Tato

Istilah “tato” (Ind.) yang diadaptasi dari istilah tattoo (Eng.) dibentuk

dari istilah tatau yang muncul dalam bahasa-bahasa Samoa, Tahiti, dan Tonga40,

yang berarti “menandai sesuatu” namun juga memiliki pertalian dengan istilah

Polinesia ta, artinya “mencoreng sesuatu”.41 Pengalihbahasaan istilah inilah yang

membentuk kata tattoo dalam Bahasa Inggris sebagaimana istilah Tätowierung

dalam Bahasa Jerman dan istilah tatouage dalam Bahasa Prancis, namun tatau

dalam Bahasa Samoa digunakan untuk menunjukkan bentuk tunggal dan jamak.42

Tato dapat dipahami sebagai tanda atau suratan yang diguratkan ke dalam kulit.

Tato merupakan sebuah seni yang sangat canggih dari orang-orang

Polinesia kuno yang telah disebarkan dan ditiru secara luas di seluruh dunia. Bagi

orang Polinesia, tubuh menjadi kanvas keramat. Tato tradisional

orang-orang Polinesia menggunakan sisir jarum yang tajam terbuat dari tulang-tulang

dan cangkang kerang untuk menusuk kulit dengan bahan celupan alami, seperti

jelaga dari buah kemiri yang dibakar. Prajurit Polinesia menyelimuti diri mereka

dengan tato-tato, bahkan hingga kelopak mata dan lidah, demi memberi kesan

galak. Laki-laki dan perempuan pun menggunakan tato untuk menunjukkan status

40 Tahiti adalah sebuah pulau Polinesia yang kadang-kadang ditempati oleh penduduk

Tonga dan Samoa selama millenium pertama Masehi. Pertama kali ditemukan oleh penjelajah Inggris, Samuel Wallis pada tahun 1767, dan dikunjungi oleh Kapten James Cook dalam pelayaran keduanya pada tahun 1774. Awak kapal Cook sempat mencatat dan menggambarkan gambar-gambar pertama dari gaya-gaya tato penduduk, juga membawa pulang seorang Tahiti bertato yang bernama Omai untuk diperlihatkan di Eropa. Perjalanan pertama Cook ke Tahiti juga terkemuka karena dari perjalanan inilah orang-orang Barat pertama kali terbuka terhadap kata Bahasa Tahiti tatau, yang kemudian menjadi kata Bahasa Inggris tattoo. Margo DeMello, Encyclopedia of Body Adornment (London: Greenwood Press, 2007), 255.

41 Charles Taliaferro dan Mark Odden, Tattoos and The Tattooing Arts in Perspective:

An Overview and Some Preliminary Observations dalam Robert Arp (Penyunting), Tattoos: Philosophy for Everyone: I Ink therefore I am (United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2012), 4.

42 Juniper Ellis, Tattooing The World: Pasific Designs in Print and Skin (New York:

(20)

32 mereka di masyarakat atau secara sederhana untuk menunjukkan bahwa mereka

telah diberkati oleh dewa.43 Tato sejak permulaan sejarahnya merujuk pada

lukisan yang diaplikasikan pada tubuh yang bertujuan sebagai tanda, yakni

kedudukan sosial, keberanian, dan pertanda diberkati oleh dewa. Hal tersebut pun

ditemukan oleh Kapten James Cook dalam pelayarannya ke Polinesia.

Catatan jurnal Kapten Cook menandakan awal dari sejarah modern tato.

Kapten Cook menuliskan tentang keikutsertaan orang-orang Tahiti dalam praktek

menato. Baik laki-laki maupun perempuan melukis tubuhnya dengan apa yang di

dalam bahasa mereka disebut tattow. Hal ini dilakukan dengan menatah warna

hitam di bawah kulit mereka, sedemikian rupa supaya menjadi tidak terhapuskan.

Perempuan secara umum memiliki gambar Z yang sederhana pada setiap tulang

sendi jari-jari tangan dan kaki, laki-laki pun demikian.44 Pengaplikasian tato

adalah dengan menggunakan bahan-bahan tradisional yang tentunya masih

dikerjakan secara manual (hand tapping). Desain-desain gambar yang dikenakan

adalah sesuai dengan tujuan yang hendak ditunjukkan sebagai tanda, sehingga

lewat desain gambar tersebut ada informasi yang didapat tentang seseorang yang

mengenakannya.

Metode tattowing mereka menggunakan suatu pigmen dari jelaga sebagai

warna, yang dipersiapkan dari “smoak”, sejenis kacang berminyak. Itulah yang

mereka gunakan, bukan lilin. Alat yang digunakan untuk menusukkannya ke

bawah kulit terbuat dari potongan tulang atau kulit atau kerang yang sangat tipis,

berukuran mulai dari seperempat inci ke satu inci dan setengah luas, dan setengah

43 Claire O’Neal, Polynesian Cultures in Perspective (United State: Mitchell Lane

Publishers, 2015), 50-51.

44 James Cook, Captain Cook’s Journal during The First Voyage Round The World

(21)

33 panjang, tergantung tujuan penggunaannya. Salah satu ujung dipotong menjadi

gigi tajam, dan ujung lainnya dipasangkan sebuah pegangan. Bagian gigi

dicelupkan ke dalam cairan hitam, kemudian digerakkan dengan pukulan tajam

dan cepat pada pegangan dengan sebuah tongkat ke dalam kulit, begitu dalam

sehingga setiap coretan diikuti oleh sedikit darah. Bagian yang ditandai

meninggalkan luka hingga beberapa hari sebelum itu sembuh.45 Hal itu tentu saja

merupakan operasi yang menyakitkan karna peralatan dan prosesnya yang sangat

tradisional, dengan bahan yang sangat alami.

Pertatoan baru terkenal setelah penemuan Kapten Cook dalam

perjalanannya, dan nampaknya menato dan skarifikasi atau karya-karya kulit

memang telah menjadi bagian dalam masyarakat di daerah Pasifik. Orang-orang

Polinesia memang tidak mengawali seni menghias tubuh mereka dengan

tanda-tanda permanen, namun karena penjelajahan orang-orang Eropa dan Amerika

pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, seni tersebut ditangkap dengan

kedatangan para pelaut, yang memperoleh tato di Polinesia, kemudian

mempopulerkannya ketika pulang.

2.3.2 Jejak Kuno Tato Pra Sejarah

Orang-orang Polinesia mula-mula membawa formula seni tersebut dan

desain orisinilnya bersama mereka dari tempat asalnya di Barat daya Pasifik, juga

Melanesia dan Austronesia (Asia Tenggara). Mereka tetap membawa seni

tersebut, di manapun mereka selanjutnya menetap di seluruh Pasifik, dan

(22)

34

dianggap sebagai ritus bagian budaya di antara penduduk pulau.46 Penemuan

terhadap serpihan-serpihan kecil dan alat-alat yang terbuat dari bebatuan kwarsa

dan obsidian sejak pertengahan hingga akhir periode Holosen situs-situs

arkeologis di Melanesia menunjukkan bahwa alat-alat tersebut memang

digunakan untuk menusuk dan memotong kulit halus. Kononenko, dalam

penelitiannya menemukan tentang penggunaan alat-alat tersebut untuk sebuah

karya-kulit di Melanesia.47 Menurutnya, menato dengan memotong dan menusuk

ke dalam kulit itu sudah menjadi sebuah aspek integral dari perilaku sosial

masyrakat di sekitar Pasifik.48 Rekaman historis dan etnografis menggambarkan

sumber data yang kaya terhadap penggunaan alat-alat batu bagi modifikasi kulit

manusia melalui penusukan dan pemotongan. Penggunaanya ditujukan untuk

pengobatan medis, menato, dan skarifikasi.

Distribusi alat-alat batu tersebut memungkinkan dua hal terjadi. Pertama,

praktek mula-mula skarifikasi dan tato pada tubuh manusia dengan memotong

mungkin berkembang setidaknya pada pertengahan Zaman Holosen, dan menjadi

salah satu fitur aktivitas sosial populasi lokal di Britania Baru Barat, misalnya,

dan mungkin saja di tempat-tempat lain. Kedua, menato dengan menusuk

nampaknya merupakan praktek yang paling banyak muncul di akhir zaman

tersebut. Kemudian teknik-teknik menato berubah seiring dengan munculnya

sistem sosial yang berbeda di Melanesia, begitu pula dengan alat-alat yang

digunakan.49 Penemuan tersebut membuktikan betapa tuanya aktivitas menato ini

46 Robert D. Craig, Handbook of Polynesian Mythology (California: ABC-CLIO, 2004),

245.

47 Nina Kononenko, “Middle and Late Holocene Skin-working Tools in Melanesia:

Tattooing and Scarification?” dalam Archaeology in Oceania Volume 47 Issue 1 (April 2012), 14.

(23)

35 dalam peradaban manusia. Tidak hanya penemuan alat-alat menato dan skarifikasi

itu saja, para arkeolog juga menemukan aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan

oleh para nenek moyang yang merujuk pada kegiatan menato.

Ada beberapa mumi dan banyak barang-barang tembikar atau hasil

kerajinan tangan yang telah menampilkan tato sebagai kesehatan, kekuatan, dan

keindahan tubuh. Ketika Ötzi pertama kali diteliti, para arkeolog terkejut karena

mereka tidak pernah melihat tato-tato Zaman Tembaga sebelumnya, dan karena

teknik akupuntur sebagai pengobatan bagi derita tulang sendi, rematik, dan radang

sendi dikira berasal dari Asia lebih dari 2000 tahun kemudian.50 Kulit dijadikan

kanvas yang pertama bagi seni. Kayu, batu, arang, dan alat semacam gigi

digunakan untuk menorehkan ide-ide estetis di dalam permukaan tubuh.

Kebiasaan masyarakat berbudaya pada zaman-zaman lampau tersebut

menampilkan berbagai tujuan yakni sebagai ungkapan seni, pengobatan, tanda

kekuatan dan identitas hidup, dan tanda kekuatan supranatural.

Arca-arca Zaman Batu, seperti Venus of Wilendorf, tidak bertanda, dan

torehan pada tubuh arca hanya muncul setelah permulaan Zaman Neolitikum,

yakni ketika keramik pertama kali dibuat dan dihias. Pada zaman tersebut,

orang-orang menggores pot-pot dengan mengambil titik yang tajam dan memotong

tanah liat. Jika pot merupakan sebuah metafor untuk tubuh, maka proses mengukir

tersebut dapat dianggap sebagai menato. Praktek seperti itu mungkin saja ada di

Zaman Batu, namun tidak ada bukti-bukti untuk pertatoan sebelum 7000 tahun

yang lalu. Kemungkinan hal itu hanya ada setelah pot pertama dihias, orang-orang

mulai bermaksud membuat perubahan permanen pada tampilan kulit mereka

50Jarett A. Lobell dan Eric A. Powell, “Ancient Tattoos” dalam Archaeology Volume

(24)

36

sendiri.51 Tato dihadirkan sebagai sesuatu yang mirip dengan perhiasan atau

dandanan pada tubuh, namun berbeda dengan perhiasan, tato merupakan

perhiasan pribadi yang akan digunakan oleh si pemilik tubuh selamanya. Tato

memungkinkan untuk mewujudkan kekuatan seseorang.

Pada penduduk asli Amerika, banyak bukti mengenai tato datang dari

pot-pot keramik yang menyerupai kepala manusia bertato ditemukan.

Bejana-bejana tersebut seringnya dihias dengan motif-motif burung, yang nampaknya

berkaitan dengan Sang Manusia Burung, dewa yang menjamin adanya matahari

setiap hari dan melambangkan kemenangan hidup setelah kematian. Tato-tato

tersebut biasanya berbentuk bulu atau cakar hewan liar di sekitar mata. Mereka

menjadi ciptaan supranatural dengan menato diri dengan motif-motif burung.52

Para dukun dalam masyarakat Moche di Peru, dengan cara yang sama juga,

digambarkan dengan manusia berbentuk hewan, mungkin untuk menunjukkan

kemampuan mereka untuk merubah bentuk dalam keadaaan kesurupan.53

Barang-barang keramik peninggalan yang berhiaskan gambar-gambar yang menyerupai

tato tersebut kemudian dianggap sebagai representasi budaya pertatoan kuno,

karena jika masyarakat tersebut tidak pernah mengaplikasikan guratan-guratan

tersebut pada kulit tubuh mereka sendiri, maka pot-pot keramik tersebut, yang

umumnya menyerupai bentuk manusia, tidak akan dihias seperti itu.

Peradaban manusia pada zaman tersebut tidak hanya melibatkan tubuh

pada sebuah proyek modifikasi, namun juga menerapkannya pada produk-produk

tembikar hasil pekerjaan tangan mereka. Motif-motif yang menyerupai tato

tersebut menyimbolkan sebuah makna dan cerita dari kebudayaan mereka sendiri.

(25)

37 Tato-tato itu sendiri dimaksudkan untuk alasan estetis, baik untuk memperindah

tubuh maupun sebagai hiasan pada barang tembikar yang dihasilkan, sehingga di

dalam barang-barang tembikar tersebut terpatri cerita kehidupan budaya mereka.

2.3.3 Tato sebagai Budaya Universal

Sejarah mengungkapkan pertatoan sebagai praktek manusia yang

universal yang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Polinesia dan suku-suku

kuno di Benua Eropa dan Asia. Mereka mempraktekkan pertatoan, dengan

menghias tubuh mereka sendiri dengan desain abstrak dan mengembangkan

patung-patung ukiran. Hal menarik dari praktek tersebut adalah makna dari

praktek itu sendiri.

Mempersembahkan dan menghias tubuh merupakan aspek seni

orang-orang Polinesia dan Mikronesia. Tubuh itu sendiri dihias dengan tato dan pakaian

serta perhiasan merupakan hiasan kedua. Setiap kebudayaan memiliki gaya

sendiri dan setiap makna dan simbolisme yang berbeda.54 Tato menghormati

peristiwa-peristiwa khusus,55 seperti bagian ritus utama, kemenangan di

pertempuran, partisipasi dalam pesta besar, dan peringatan terhadap

peristiwa-peristiwa tersebut, dan juga menjadi penanda kedewasaan.

Tatau mengantarkan sebuah kendaraan ke dalam bahasa, dimana pola-polanya menandakan status kendaraan tersebut sebagai pakaian untuk hidup.

Berpakaian bukanlah demi menutupi ketelanjangan melainkan untuk

menunjukkan bahwa seseorang siap untuk kehidupan, untuk kedewasaan dan

pelayanan bagi masyarakat, bahwa seseorang telah menang dari rasa sakit fisik

54 Adrienne L. Kaeppler, The Pacific Arts of Polynesia and Micronesia (New York:

Oxford University Press, 2008), 111.

(26)

38 dan siap untuk menghadapi tuntutan-tuntutan hidup, dan akhirnya menguasai yang

paling menuntut aktivitas yakni bahasa atau seni berpidato.56 Menato menjadi

bagian dari sebuah proses yang lebih dari perorangan, dimana memiliki sebuah

tato adalah sebuah ‘cara hidup’ bagi mereka. Berbeda dengan sejarah pertatoan di

Mikronesia dan Polinesia, di Jepang dan di Cina, sejarah tato diawali dengan

penggunaannya untuk menandakan kaum budak dan para pelaku kriminal.

Di Jepang, tato digunakan sebagai tanda pengingat visual dari

superioritas Jepang terhadap kaum pedagang. Sekitar tahun 1790-an, pedagang

Ainu ditandai dengan garis hitam pada lengannya untuk menandakan bahwa ia

telah menerima secangkir saké di pos perdagangan. Hal tersebut merupakan

dorongan untuk mengumpulkan lebih banyak hasil tangkapan laut bagi

perdagangan Nagasaki.57 Tanda-tanda di lengan tersebut dapat dispekulasikan

sebagai sebuah tanda yang tidak manusiawi yang menempatkan Ainu pada posisi

yang lebih rendah terhadap rekan saudagarnya.

Di Cina, para penguasa zaman sebelum modern menggunakan tato

sebagai bentuk lanjutan dari hukuman badani. Mencap, mencoreng, menusuk dan

membuatnya menjadi gelap, mengukir karaker (aksara kata dalam Bahasa Cina),

menato teks, dan memberi pola pada tubuh. Misalnya untuk hukuman bagi

seorang perampok, maka aksara “perampokan” ditato pada pipi atau dahi si

perampok,58 hal tersebut cukup menyampaikan pesan terhadap masyarakat di

tempat-tempat umum, dan menjadi penghinaan yang ekstrim baginya kemana pun

ia pergi.

56 Ellis, Tattooing The World, 35 mengutip Albert Wendt, “Tatauing the Post-Colonial

Body” dalam SPAN (1996).

57 Brett L. Walker, The Conquest of Ainu Lands: Ecology and Culture in Japanese

Expansion, 1590-1800 (London: University of California Press, 2001), 95-96.

(27)

39 Fungsi tersebut, akan tetapi, mengalami perubahan pada zaman Dinasti

Song. Sejarah mencatat bahwa para tentara juga menggunakan tato. Berbeda

dengan tato yang dimaksudkan untuk menghukum, tato-tato tersebut justru untuk

menunjukkan kesetiaan dan keberanian. Salah satunya berupa slogan berbunyi,

“Dengan hati yang murni membela kerajaan” yang diguratkan di wajah mereka.59

Itulah permulaan aksi menato teks di tubuh sebagai bentuk ekspresi kebajikan

Cina, kesetiaan, patriotisme, dan bakti.

Di Indonesia, kebudayaan tato banyak dikenal di dalam masyarakat

Mentawai dan Dayak. Tato dikerjakan dengan cara hand tapping, dan memiliki

keterkaitan dengan cara hidup. Di Mentawai, tato dikenal dengan istilah “titi”.

Schefold, dalam penelitiannya mengenai perburuan kepala di Pulau Siberut,

Mentawai, menemukan bahwa tato tidak ada hubungannya dengan ritus tertentu

ataupun aktivitas spesialis. Tato diperlakukan sebagai sumbangan kebudayaan

terhadap proses natural pertumbuhan kedewasaan tubuh seorang laki-laki ataupun

perempuan. Tato-tato tersebut juga mengandung pola-pola spesifik yang

berhubungan dengan perburuan kepala (kebiasaan ini telah lama ditinggalkan oleh

masyarakat Mentawai). Pemburu kepala yang berhasil digelari dengan sebuah

gambar tato menyerupai kodok pada perutnya, sebagai simbol dari korbannya dan

juga pola spiral tertentu di dahi dan bahunya. Selain itu, setiap anggota kelompok

pemburu kepala diberikan tato menyerupai manset yang melingkar pada

lengannya bagian bawah dan betisnya (mungkin ada hubungannya dengan fakta

(28)

40 bahwa tanda kenang-kenangan yang sering dibawa pulang mencakup bagian kaki

dan tangan).60

Berbeda dengan Schefold yang memahami tato sebagai simbol

kedewasaan laki-laki dan perempuan serta simbol keberhasilan dari kebiasaan

perburuan kepala zaman dulu, Durga yang merupakan seniman tato dari Indonesia

yang menekuni tato tradisional, memahami tato sebagai kekayaan yang dibawa

sampai mati. Makna tato bagi masyarakat Mentawai secara dalam dipahami oleh

Durga sebagai keselerasan antara kehidupan manusia dengan roh nenek moyang.

Desain-desain tato Mentawai tidak diciptakan untuk diaplikasikan pada

tubuh sebagai motif tunggal atau berdiri sendiri, melainkan dirancang secara

kontekstual untuk keseluruhan tubuh, yakni mulai dari wajah, leher, dada,

punggung, tulang rusuk, perut, tungkai dan lengan, tangan, jari-jari, pinggul,

pantat, paha, dan tulang kering. Desain dan motif-motif keseluruhannya tercipta

dari garis-garis, titik-titik, persilangan dan geometris lainnya, sebagaimana

bentuk-bentuk simetris yang sederhana, namun itu membentuk garis-garis tegas

melintasi tubuh dan sangat berhubungan dengan setiap bagian tubuh dan anatomi

manusia.61

Each motive and element of Mentawai tattoo has a strong correlation with the way of living of the Mentawaian, its nature and animism

religion, which is called Arat Sabulungan. Arat: custom; Sabulungan: the

spirits that inhabit foliage; Bulu: leaf (symbol of nature). Titi is an

identity or recognition for each person or each tribe in Mentawai and is

an eternal outfit. Titi is a stage towards perfecting body and soul in order

to achieve eternal harmony together with ruler of nature and ancestral

spirits. In the religious concept of AratSabulungan, the three main rulers

of the nature, namely: Taikamanua (ruler spirit of the sky), Taikaleleu

60Reimar Schefold, “Ambivalent Blessings: Head-Hunting on Siberut (Mentawai) in a

Comparative Southeast Asian Perspective” dalam Anthropos: International Review of Anthropology and Linguistics Volume 102 Issue 2 (2007), 485.

61 Durga, ‘Press Release: Durga Tattoo and Traditional Hand-Tapping Tattoo’ dalam

(29)

41

(ruler spirit of the forest, land, mountain), Taikokoat (ruler spirit of the

sea, river or water).62

Tato memiliki kesatuan makna spiritual dan alamiah yang mengarahkan

tubuh dan jiwa pada kesempurnaan untuk mencapai harmonisasi antara roh nenek

moyang dan alam. Ini menunjukkan kedekatan masyarakat Mentawai dengan

alam. Suku Mentawai memandang tato sebagai suatu hal yang sakral dan

berfungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Bagi orang Mentawai, tato

merupakan busana abadi yang dapat dibawa mati, atau dengan kata lain, tato

tradisi orang Mentawai hanya menjadi sebuah karya seni selama manusia yang

memakainya hidup.

Di sana terdapat sebuah pohon ‘sago’, yang merupakan bahan pokok

utama makanan dan sumber kebutuhan hidup dalam kehidupan masyarakat

Mentawai. Beberapa tato Mentawai diciptakan berdasarkan konsep pohon

tersebut. Demikian pula dengan elemen visual yang menggambarkan

hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan diadaptasi sebagai titi. Masing-masing motif tato

untuk laki-laki dan perempuan berbeda, namun masih memiliki beberapa

kesamaan. Perbedaannya terletak pada motif dan bentuk dari beberapa daerah di

Mentawai. Hanya di Pulau Siberut, yang memiliki bukti tradisi tato. Di Pulau

Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, tato telah lenyap.63

Seni tubuh lainnya yang terkenal di Indonesia ditemukan dalam

masyarakat Dayak, sebuah kesatuan suku semi-nomadic yang hidup secara

tradisional di hutan-hutan dan pegunungan. Di Borneo, tempat di mana

masyarakat Dayak tinggal, tato dikenal dengan berbagai istilah menurut

(30)

42 daerahnya, yakni “pantang”, “tutang”, “tedak”, “betik”, “purung”, dan “tatu”.64

Sama halnya dengan tato Mentawai, tato Dayak yang terdiri dari garis-garis hitam

tebal, terinspirasi oleh alam, seperti bunga, dedaunan, dan binatang. Semua itu

menandakan perjalanan seseorang melalui kehidupan. Sebelum perburuan kepala

dilarang, orang Dayak juga menerima tato di tangannya ketika mereka memenggal

leher musuhnya.65

Menato, bagi orang Dayak , merupakan kegiatan dan tanda yang suci. Itu

tidak semata untuk memuaskan hasrat orang-orang primitif akan ornamentasi,

bukan pula sebagai substitusi terhadap pakaian. Bagi para lelaki, menato

dimaksudkan sebagai tanda mereka telah berpartisipasi dalam pekerjaan

berbahaya, sementara bagi para perempuan dimaksudkan sebagai tanda bahwa

mereka telah memasuki tahap baru kehidupan.66 Menato memiliki makna yang

dalam dan memiliki makna religius yang penting, dan merupakan sebuah ritus

inisiasi.

Sama seperti ritus-ritus lainnya, ritus ini juga terdiri dari ‘meninggalkan’

dan ‘menjadi yang baru’, kematian dan kehidupan. Itu sebabnya para lelaki

mengesampingkan pakaian yang biasa dan mengambil pakaian-kulit, selayaknya

orang-orang yang menjadi janda atau duda yang memakai pakaian berbahan yang

sama setelah kematian suami maupun istrinya hingga pesta jenazah diadakan dan

64Durga, ‘Press Release’.

65 Corey Charlton, ‘Indonesian Tattoo Artists Revive Ancient Tribal Tradition of

Painstakingly Tapping Ink by Hand into Subject’s Skin Using Needles Mountedon Sticks’ dalam

http://www.dailymail.co.uk/news/article-3384865/Indonesian-tattooists-revive-tribal-traditions.html diunduh pada 5 Juni 2016.

66 Hans Schärer, Ngaju Religion: The Conception of God among a South Borneo People

(31)

43 mereka juga telah diselamatkan dan telah kembali ke kehidupan. Mereka akan

mengenakan kembali pakaian yang baru setelah ditato seluruhnya.67

Beberapa kebudayaan yang dipilih oleh peneliti sebagai yang

membudayakan tato memberi kesan bahwa tato bukanlah sebuah produk

globalisasi, namun justru diupayakan dalam tradisi kuno yang sarat makna. Tidak

sedikit di antara para penggemar tato di masa kini mengaplikasikan tato-tato

tradisional dari daerah-daerah tersebut dan meyakininya sebagaimana tato-tato

tersebut diberi makna. Menghias tubuh dengan tato-tato menjadi cara tersendiri

untuk memaknai hidup dan tubuh yang diberikan Sang Pencipta.

Memang ada beberapa tato yang dimaksudkan untuk menandakan sebuah

perihal yang tidak baik, semacam kriminalitas dan tingkat kedudukan sosial yang

rendah, namun hal tersebut tidak serta merta melenyapkan makna luhur dan

spiritual tato dalam kebudayaan masyarakat lain. Hal ini masih berlangsung

hingga saat ini, dimana para penggemar tato membubuhkan alasan dan makna

positif dalam tato yang diaplikasikan ke tubuhnya.

Begitu tuanya usia tradisi ini, sehingga peneliti beranggapan bahwa tato

merupakan budaya yang masih terus berkembang dengan zaman, sekalipun masih

ada yang mengupayakan untuk tetap mengalami tradisi tato kuno yang diproses

dengan cara manual (hand tapping method). Seiring ide manusia yang

menghadirkan banyak peralatan canggih untuk mempermudah hidup, alat

pengukir tato pun tak luput dari kemajuan zaman. Para penggemar tato masa kini,

banyak yang menggunakan cara mekanik tersebut, karena dianggap tidak lebih

sakit dari cara tradisional.

(32)

44

2.4Tato Kontemporer

Teknik manual yang digunakan dalam pertatoan tradisional atau

pertatoan kuno dikenal dengan sebutan “hand tapping”68 dimana karakter rasa

sakitnya terasa lebih besar dan tempo pembuatannya lebih lama. Sarana untuk

mengaplikasikan tato telah berevolusi. Apa yang digunakan untuk mengukir dan

mengaplikasikan warna pada tato di zaman modern ini tidak lagi terbuat dari batu

dan potongan tulang, melainkan sebuah mesin. Perkembangan tato kemudian

diwarnai oleh penemuan mesin tato. Salah satu hal mendasar yang mungkin

membuat tato semakin banyak diminati dan berkembang dalam peradaban

manusia ialah penemuan alat dan cara mengaplikasikan tato tersebut pada kulit

tubuh, dan media memberitakannya kepada dunia.

Adalah Samuel O’Reilly, seorang seniman tato Amerika dan bersaudara

sepupu dengan seniman tato Inggris, Tom Riley, yang terinspirasi oleh desain

pengukir untuk menciptakan dan mendapatkan hak paten untuk mesin tato yang

pertama kali, yakni pada 8 Desember 1891. Pada tahun 1904, Charlie Wagner,

murid O’Reilly dan seniman Amerika pertama yang dengan sukses mengaplikasikan tato kosmetik, mengembangkan desain O’Reilly dan

menciptakan mesin tato bergulungan rangkap yang tetap tidak berubah sampai

hari ini.69 Berpedoman pada desain printer autografis Thomas Edison, alat

tersebut menjadi sebuah alat pengukir yang digerakkan oleh mesin, dan dapat

68Durga, ‘Press Release: Durga’

69 Karen L. Hudson, Living Ca nvas: Your Total Guide to Tattoos, Piercings, and Body

(33)

45

mempercepat proses menato sambil lebih meningkatkan kualitas hasil akhirnya.70

Itulah awal kelahiran sebuah mesin untuk mempermudah pengerjaan sebuah tato.

Seni tato, dengan kedatangan mesin listrik tato, mencapai

peningkatannya. Pada tahun 1905, muncul August “Cap” Coleman dengan toko

tato yang mengambang, sebuah kerajinan buatan tangan yang digunakannya untuk

menjelajahi Sungai Ohio dalam pencarian karya. Lima puluh tahun kemudian, ia

menciptakan dampak yang besar terhadap industri tato. Gaya seni grafis yang

menyala dan tebal secara cepat menjadi yang diminati di kalangan para kolektor

dan seniman serupa, mengawali sebuah tren dalam seni tato yang menjadi terkenal

dengan sebutan “Coleman style”.71 Coleman merupakan salah satu yang pertama

kali memahami kerja inti dari mesin tato, dan dikenal sebagai yang memperbaiki

mesin tersebut hingga dapat bekerja dengan mulus. Sayangnya, sekalipun aspek

artistik tato berevolusi, Coleman kurang memperhatikan kebersihan dan sterilitas

jarum dan tinta. Ia menggunakannya dari pelanggan yang satu ke pelanggan yang

lain, dan belum terpikirkan untuk menggunakan sarung tangan.72

Baru-baru ini bahkan ada sebuah mesin baru yang diciptakan untuk

membuat tato, yakni sebuah robot lengan pembuat tato. Pierre Emm dan Johan da

Silveira menciptakan “Tatoué”, sebuah lengan robot industri yang mandiri, yang

dapat melakukan tato yang rumit pada manusia. Bagian tubuh ditangkap

menggunakan scanner 3D untuk dipindai kemudian diunggah ke Dynamo, sebuah

software desain yang mengubah seni ke dalam bahasa yang mudah dipahami oleh

70Damon Root, “Tattoos Vs. The State: Free Speech in Skin and Ink” dalam Reason

(Juni 2016), 20.

71 Ananya Bhattacharya, ‘An Industrial Robot Arm can Perform Intricate Tattoos on

Human Bodies’ dalam http://qz.com/748834/an-industrial-robot-arm-can-perform-intricate-tattoos-on-human-bodies/ diunduh pada 13 Agustus 2016.

(34)

46 komputer, yakni geometri. Ini membantu menerapkan desain ke permukaan

dipindai, serta mengekspor pola dalam bentuk kode untuk robot. Tatoué saat ini

menggunakan jarum yang sama dan tinta sebagaimana senjata tato tradisional.73

Kualitas tinta dan tingkat bakat telah jelas meningkat sejak kelahiran

utama di awal 1900-an tersebut, namun seninya secara umum tetap sama. Mesin

pengukir tato tersebut pun didesain sangat mirip dengan alat pengukir tato

sebelumnya, dan masih dijalankan dengan tangan, yakni dimulai dengan sketsa,

kemudian menatahkan warna ke kulit, masih mirip dengan tradisi mula-mulanya.

Memiliki alat pengukir tato yang terbuat dari mesin memang terkesan

tidak lebih menyakitkan dibandingkan dengan alat pengukir tato tradisional,

namun kebersihan dan sterilitas dari alat-alat yang digunakan menjadi

pertimbangan seseorang sebelum memutuskan untuk mengaplikasikan tato di kulit

tubuhnya. Hal itu terkait dengan keamanan kulit dari infeksi atau penyebaran

penyakit menular melalui darah. Banyak orang yang enggan untuk memberi diri

ditato karena alasan tersebut. Jarum dan tinta menjadi momok yang dapat

menyebarkan penyakit menular74 bagi mereka yang belum terinfeksi, dari

ketakutan ini pulalah para pemilik tato dipandang sebagai orang-orang yang tidak

sehat, yang mungkin juga sudah terinfeksi penyakit menular.

Tato, bagaimanapun, berkembang secara fenomenal. Realitas tato pun

tercurahkan dalam berbagai media, terlebih dengan adanya internet, memudahkan

masyarakat umum untuk melihat dan menanyakan persoalan tato. Para seniman

tato pun hadir dengan berbagai akun di media-media sosial, menawarkan ide-ide

73 Bhattacharya, ‘An Industrial”

74 Misalnya syphilis, hepatitis, tuberculosis, dan HIV. Gayle E. Long dan Leland S.

(35)

47

desainnya dan memperkenalkan studio-studio tatonya.75 Realitas tato pun telah

ditampilkan secara luas melalui televisi dengan saluran-saluran dan

program-program penyiaran secara nasional dan internasional, bahkan ada program-program acara

yang menampilkan bahwa sebuah tato dapat disembunyikan di bawah sebuah tato

yang baru, atau sebuah tato yang buruk dapat diperbaiki.76 Entah seseorang

merupakan penggemar tato atau tidak, tidak dapat dipungkiri bahwa tato

mengambil bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut mungkin

tidak akan disadari, namun seni kuno ini telah menjadi seperti bagian besar dari

budaya dan masyarakat yang dapat ditemui setiap hari.

Terlihat perbedaan bagaimana sebelumnya tidak ada mesin pembuat tato,

majalah, internet, dan siaran televisi dibandingkan dengan keadaan modern

sekarang. Masyarakat menjadi dapat melihat bagaimana tato dibuat dan

bagaimana cara seniman tato bekerja. Tentu saja, perkembangan tersebut juga

membuat banyak orang tertarik untuk memiliki tato. Pada kenyataannya, akan

ditemukan orang-orang yang memiliki tato atas dasar fashion yang sedang

terkenal sebagaimana penyebaran dan perkenalannya melalui berbagai media, dan

orang-orang yang memiliki tato atas tujuan yang sama seperti para anggota suku

yang memiliki tato tradisonal, yakni makna yang diceritakan melalui tato tersebut.

Ferreira kemudian mendasarkan pendapatnya dari perjalanan

perkembangan tato tersebut, yakni bahwa tubuh telah menjadi sumber bahan yang

kian diminati oleh budaya kontemporer.77 Hal tersebut jelas terlihat di dalam

pertumbuhan layanan, teknik dan teknologi yang disebut untuk modifikasi dan

75 Alejandra Walzer dan Pablo Sanjurjo, “Media and Contemporary Tattoo” dalam

Communication and Society Volume 29 Issue 1 (2016), 73.

76Walzer dan Sanjurjo, “Media and Contemporary”, 74.

77 Vitor Sérgio Ferreira, “Becoming a Heavily Tattoed Young Body: From a Bodily

(36)

48 (atau) pemeliharaan. Menurutnya, tubuh menjadi modal yang bernilai tinggi di

kalangan generasi muda,78 tidak heran jika peminat tato didominasi oleh

orang-orang muda, dalam upayanya untuk menghadirkan diri di dalam kehidupan sosial.

2.5Spiritual

Istilah spiritual berasal dari kata spiritus (Latin), yang berarti nafas

kehidupan, yang kemudian disadur oleh Bahasa Inggris menjadi spirit. Kata spirit

dapat diartikan sebagai kekuatan hidup yang bernyawa, yang direpresentasikan

dengan gambaran-gambaran seperti nafas, angin, energi dan semangat.79 Kata

spirit menjadi kata yang lumrah diucapkan dalam kehidupan sehari-hari, yang biasanya merujuk pada artinya sebagai energi dan semangat, juga menjadi konsep

kunci terhadap pemikiran-pemikiran religius dan filosofis. Pengertian kata

tersebut juga menunjukkan bahwa spirit terpadu dengan kesejahteraan seseorang,

dan bersifat hakiki, sehingga tanpa itu maka seseorang tersebut tidak dapat hidup

atau bertumbuh dan berkembang.

2.5.1 Spiritual dari Perspektif Psikologi dan Konseling

Washburn, dari segi psikologi dan konseling, memahami spirit sebagai

kekuatan yang menginspirasi ego80 ke arah spiritual yang lebih otentik, dan

memberi petunjuk terhadap manusia sebagaimana spirit itu sendiri

78Ferreira, “Becoming a Heavily”, 304.

79 Geri Miller, Incorporating Spirituality in Counseling and Psychotherapy: Theory and

Technique (New Jersey: John Wiley and Sons, Inc., 2003), 23.

80 Ego merupakan eksekutif kepribadian, yang mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan,

Gambar

Gambar yang tercap pada daging tubuh merupakan cara representasi terpenting
gambar pertama dari gaya-gaya tato penduduk, juga membawa pulang seorang Tahiti bertato yang bernama Omai untuk diperlihatkan di Eropa
gambar tato menyerupai kodok pada perutnya, sebagai simbol dari korbannya dan

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Sikap pada Iklan Produk Susu L-Men Terhadap Persepsi Akan Konsep Tubuh Ideal dengan Status Pernikahan sebagai Variabel Moderator

Pada masyarakat yang mengembangkan nilai solidaritas, penghormatan diberikan kepada individu atau golongan yang mampu menghargai pihak lain sebagai sederajad dan membantu

Hasil penelitian menyatakan ada hubungan riwayat anemia dengan kejadian KEK pada ibu hamil di Puskesmas Jetis II Bantul Yogyakarta, berdasarkan Uji Chi Square didapat

Thus, the chemical modification using NPC-PEG has shown to increase the enzyme stability of modified enzyme 2.5 – 3.2 times compared to the native enzyme, although no change of

Untuk memenuhi diskripsi kerja dari suatu rangkaian terprogram (misal untuk mengendalikan beberapa motor dengan waktu kerja yang berbeda / berurutan), maka diperlukan alat

Hasil: Hasil uji hipotesis I menggunakan Paired Sample t-test diperoleh nilai p<0,05 (p = 0,000) yang berarti pemberian perlakuan sit-up exercise dapat

Mengambil ibrah dari perjuangan Rasullullah SAW dalam dakwah Islam pada periode Mekah dan Madinah untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang.  Mengemukakan pendapat

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh celebrity endorsement yang terdiri dari daya tarik, kepercayaan dan keahlian dalam mempengaruhi minat beli konsumen