PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
SEBAGAI BAHAN PENGAWET IKAN TERI NASI (Stolephorus
commersonii, Lac.) SEGAR UNTUK TUJUAN TRANSPORTASI
Oleh :
Harun Al Rasyid (F34063508)
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
SEBAGAI BAHAN PENGAWET IKAN TERI NASI (Stolephorus
commersonii, Lac.) SEGAR UNTUK TUJUAN TRANSPORTASI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Harun Al Rasyid
F34063508
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul skripsi : Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Segar Untuk Tujuan Transportasi
Nama : Harun Al Rasyid NIM : F34063508
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Tatit K. Bunasor, MSc. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA.
NIP. 19480107 197301 2001 NIP. 19631026 199002 1001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
Prof. Dr. Ir. Nastiti S. Indrasti
NIP. 19621009 198903 2001
Harun Al Rasid F34063508. Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Segar Untuk Tujuan Transportasi. Dibawah bimbingan Tatit. K. Bunasor dan Sapta Raharja. 2010.
RINGKASAN
Asap cair merupakan suatu campuran dispersi asap dalam air yang dihasilkan dengan cara destilasi kering bahan baku pengasap seperti kayu, lalu dilanjutkan dengan proses kondensasi. Asap cair berasal dari bahan alami yaitu pembakaran hemiselulosa, selulosa, dan lignin dari kayu-kayu keras sehingga menghasilkan senyawa yang memiliki efek desinfektan, dan antioksidan seperti senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton, dan piridin. Pemanfaatan asap cair mencakup industri makanan sebagai pengawet, bioinsektisida, dan desinfektan.
Pengangkutan merupakan salah satu proses yang penting dalam penanganan pasca panen. Penanganan ikan yang kurang baik dan tepat selama transportasi (jangka waktu lebih dari 7 hari) akan mempengaruhi kualitas ikan, baik sifat fisik atau kimia pada ikan. Penggunaan es sebagai pengawet ikan memiliki beberapa kelemahan, diantaranya bersifat kamba, jika mencair menambah berat beban angkutan, dan mengurangi sifat tekstur daging ikan. Adanya kelemahan tersebut mendorong penggunaan asap cair sebagai bahan pengawet selama penanganan transportasi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui lama jangka waktu pengawetan terhadap ikan teri nasi segar menggunakan asap cair tempurung kelapa selama 9 hari waktu penyimpanan, serta pengaruh penggunaan asap cair sebagai pengawet terhadap sifat fisik dan kimia ikan teri nasi. Pada penelitian ini sebelumnya dilakukan analisa proksimat pada ikan teri nasi segar dan analisis asap cair. Setelah analisis awal, dilakukan proses perendaman dalam asap cair. Faktor-faktor dalam rancangan penelitian ini terdiri atas, (a) konsentrasi asap cair yang digunakan dengan 2 taraf yakni : a1 = 20%, a2 = 30 % dan (b) lama perendaman
dalam asap cair dengan 3 taraf, yakni : b1 = 15 menit, b2 = 30 menit dan b3 = 45
dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu kamar selama 9 hari, diamati tiap 2 hari (hari ke- 1, 3,5, 7 , dan 9). Selama penyimpanan dilakukan pengamatan terhadap kadar air, kadar protein dan uji Total Plate Counts (TPC), kapang dan khamir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa asap cair tempurung kelapa yang digunakan memiliki kualitas yang baik dengan kriteria, komponen kimia spesifik dominan berupa fenol dengan luas persen area 21,55 %, nilai pH 3,29, kadar asam 37 %, dan kadar fenol 38 %. Komposisi gizi dari ikan teri nasi segar, yaitu kadar air 80,39 %, kadar abu 3,25 %, kadar lemak 2,45 %, dan kadar protein 13,74 %. Berdasarkan uji ANOVA diperoleh perlakuan terbaik pada konsentrasi asap cair 30 % lama perendaman 45 menit dengan menghasilkan kadar fenol sebesar 0,68 %. Proses pengawetan melalui perendaman asap cair pada ikan teri nasi
(Stolephorus commersonii, Lac.) mampu mempertahankan kesegarannya sampai
Harun Al Rasid F34063508. Utilization of Coconut Shell Liquid Smoke as Preservative for Fresh Rice Anchovy Fish ( Stolephorus Commersonii, Lac.) For Transportation Purpose. Supervised by Tatit. K. Bunasor and Sapta Raharja. 2010.
SUMMARY
Liquid smoke is a smokes that disperse in water resulted by dry pyrolisation of raw smoked material (such as wood), and next step is processed by condensation. Liquid smoke derive from natural material which is burning of hemicellulose, cellulose, and lignin of hardwoods, with the result that compound has disinfectant and antioxidan effect, like acid compound and derivative compound, alcohol, phenol, aldehyde, carbonil, keton, and piridin. The utilization of liquid Smoke includes the food industry as preservative, bioinsectisida, and disinfectant.
Transportation is one of important process in post-harvest handling. Handling fish unappropriately during the transportation (a period of more than 7 days) will be affect the quality of fish either physically or chemically. The use of ice as fish preservative has some weaknesses, among others requiring a lot of spaces, if the ice melts it will gain the transport burden, and lessen the fish flesh texture. Due to the weaknesses, it encourages the utilization of liquid smoke as preservative during handling the transportation.
The aims of research to find out the long term preservation of fresh rice anchovy fish by using coconut shells liquid smoke for 9 days of storage times, as well as finding out the effect of using liquid smoke as preservative toward the physical and chemical characteristic of fresh rice anchovy fish. At the beginning this research ws carried out by proximate analysis on fresh rice anchovy fish and liquid smoke analysis and also analyzed liquid smoke. After doing both analysis, then is continued by soaking process in liquid smoke. The factors in this observational design consist of, (a ) liquid smoke concentration that utilized by 2 levels namely: a 1 = 20%, a 2 = 30 %, and (b) soaking long times in liquid smoke
with 3 levels, namely: b 1 = 15 minutes, b 2 = 30 minutes and b 3 = 45 minutes.
storaging at the room temperature for 9 days and observed every 2 days (1st day, 3,5, 7, and 9). During the storage, it was observed on water contents, protein rate and Total Plate Counts (TPC) test, mould and khamir.
The result of the research showed that the coconut shells liquid smoke which utilized has good quality with criteria, specific chemical component dominant as phenol broadly area percent 21,55 %, pH 3,29, acid contents 37 %, and phenol content 38 %. Nutrient composition of fresh rice anchovy fish, which is water content 80,39 %, ash rate 3,25 %, fat rate 2,45 %, and protein rate 13,74 %. Based on ANOVA test, it was obtained the best result on liquid smoke concentration 30 % soaking long times 45 minutes which is 0,68 % of phenol content. The preservation process through soaking liquid smoke of fresh rice anchovy fish (Stolephorus commersonii, Lac.), it can keep its freshness until the 9th day. It can be seen from the observation result on protein rate which approaches to assess early protein rate (13,74 %) which is 13,17 %. and microorganism amount that stills at under safe zona according to SNI 02-2725-1992 (BSN, 02-2725-1992), which is totaled microbe 7 x 10² colonies / grams and full scale moulds and khamir 2 x 10² colonies / grams.
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “ Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Segar Untuk Tujuan Transportasi.” adalah hasil karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Oktober 2010
Yang Membuat Pernyataan
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama Harun Al Rasyid dilahirkan di Sumenep pada 19 Maret 1988. Penulis adalah putra keempat dari pasangan Bapak H. Moh Sidqie Dafir dan Ibu Samahah. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan Sumenep Madura pada tahun 1994. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di SD Pragaan Laok I pada 1995-2000, SLTPN 2 Pamekasan 2000-2003, dan SMAN 1 Pamekasan 2003-2006. Penulis melanjutkan studinya di perguruan tinggi IPB melalui USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada 2006.
Selama menjalani studi di IPB penulis aktif di organisasi BEM Fateta IPB Departermen Polkastrat 2008, FBI Fateta Divisi Syiar 2008, dan DKM Alhurriyah IPB 2007. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan mengajar tingkat SD, SMP, dan SMA di Bimbingan Belajar Primagama 2009 dan Nurul Fikri 2010.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang menciptakan akal, penglihatan, pendengaran sehingga penulis diberikan kemudahan dalam menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berjudul “Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Ikan Teri Nasi (Stolephorus Commersonii, Lac.) Untuk Tujuan Transportasi” ini. Sudah seharusnya orang yang beriman dan berilmu senantiasa berpikir dan menuliskan apa yang disaksikannya atas penciptaan langit dan bumi. Sebagaimana firman Allah surat Al-A’limran ayat 190-191:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Selain itu, penulis menyadari bahwa karya tulis ini berhasil dengan dukungan dan bantuan semua pihak baik secara moril maupun spiritual. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Dr. Tatit K. Bunasor, MSc sebagai dosen pembimbing I atas bimbingan dan arahannya dalam bidang akademik selama masa studi di IPB, khususnya selama pelaksanaan kegiatan penelitian dan penulisan tugas akhir (skripsi).
2. Dr. Sapta Raharja, DEA sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan banyak masukan serta saran selama penulis melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi.
3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan serta saran dalam penulisan tugas akhir (skripsi). 4. Keluarga tercinta : Ayahanda Moh. Sidqie Dafir, Ibunda Samahah,
memberikan dukungan spiritual, semangat, dan kasih sayangnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB dengan lancar.. 5. Keluarga besar “Rumah Tercinta”, Agroindustrialist Mounteners, teman-
TIN 43 jaya, khususnya Eko Prames Swara, Cucu Rina Purwaningrum, dan Sidik Ardhi Irawan yang telah memberikan saran kritik, dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh Staf laboratorium Teknologi Industri Pertanian, khususnya Bapak Edi Sumantri dan Ibu Egnawati Sari yang telah memberikan bantuan moril sehingga penulis dimudahkan dalam menyelesaikan penelitian.
7. Seluruh pihak yang turut membantu suksesnya kegiatan serta penyusunan laporan tugas akhir ini.
Dalam pelaksanaan penelitian ataupun dalam penyusunan laporan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan. Penulis menerima segala masukan yang bermanfaat terutama untuk kegiatan penelitian di masa yang akan datang.
Demikianlah laporan skripsi ini dibuat, semoga berkenan, dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Bogor, Oktober 2010
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI……….i
DAFTAR TABEL………...iii
DAFTAR GAMBAR………..iv
DAFTAR LAMPIRAN………v
I. PENDAHULUAN………...1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. TUJUAN ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA………3
A. ASAP CAIR ... 3
B. KOMPONEN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA ... 4
C. KEAMANAN PANGAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA ... 6
D. PENGAWETAN DENGAN ASAP CAIR ... 7
E. AKTIVITAS ANTIMIKROBA ASAP CAIR ... 9
F. PEMURNIAN ASAP CAIR DENGAN DESTILASI ... 10
G. IKAN TERI NASI (Stolephorus commersonii, Lac.) ... 10
G. TRANSPORTASI………13
III. METODOLOGI PENELITIAN………...14
A. BAHAN DAN ALAT ... 14
1. Bahan………..14
2. Alat………..14
B. METODE PENELITIAN ... 14
1. Penelitian pendahuluan………...14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………..17
A. ANALISIS ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA ... 17
1. Komponen spesifik pada asap cair………..17
2. Nilai pH………...18
3. Kadar asam………..19
4. Kadar fenol………..21
B. ANALISIS IKAN TERI NASI (Stolephorus commersonii, Lac.) SEGAR ... 22
C. PROSES PERENDAMAN (ANALISIS KADAR FENOL) ... 24
D. ANALISIS SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG………27
1. Analisis kadar air………..27
2. Analisis mikrobiologi………..29
3. Analisis kadar protein……….33
V. KESIMPULAN DAN SARAN………...36
A. KESIMPULAN…………...36
B. SARAN…………...36
DAFTAR PUSTAKA………....37
LAMPIRAN………...43
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Komposisi kimia tempurung kelapa………...4
Tabel 2. Klasifikasi tingkat toksisitas zat kimia berdasarkan nilai LD50…………7
Tabel 3. Komposisi kimia ikan teri segar………...12
Tabel 4. Senyawa dominan asap cair hasil deteksi GC-MS………...17
Tabel 5. Hasil analisa proksimat ikan teri nasi………...22
Tabel 6. Hasil analisa proksimat Hardinsyah dan Briawan (1990)………23
Tabel 7. Hasil uji jumlah total mikroba awal ikan teri nasi ………..24
Tabel 8. Nilai rata-rata kadar fenol ikan teri setelah direndam dalam asap cair…25 Tabel 9. Nilai rata-rata kadar air selama penyimpanan………..27
Tabel10.Nilai rata-rata TPC ikan teri nasi selama penyimpanan………...30
Tabel11. Nilai rata-rata jumlah kapang dan khamir selama penyimpanan………32
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Diagram alir metode penelitian………16Gambar 2. Histogram senyawa dominan asap cair tempurung kelapa…………..18 Gambar 3. Formulasi produksi asam asetat………...20 Gambar 4. Histogram hasil uji kandungan gizi ikan teri nasi………63 Gambar 5. Nilai rata-rata kadar fenol setelah direndam dalam asap cair………..63 Gambar 6. Histogram nilai rata-rata kadar air selama penyimpanan……….64 Gambar 7. Histogram nilai rata-rata total bakteri selama penyimpanan…………64 Gambar 8. Histogram nilai rata-rata kapang dan khamir selama penyimpanan…65 Gambar 9. Histogram nilai rata-rata kadar protein selama penyimpanan………..65 Gambar10.Gambar ikan teri nasi segar………..66
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Prosedur analisis asap cair tempurung kelapa………...44
Lampiran 2. Prosedur analisis proksimat dan uji kesegaran ikan teri nasi………46
Lampiran 3. Hasil lengkap senyawa dominan asap cair GC-MS………..49
Lampiran 4. Penentuan kadar asam dan kadar fenol……….55
Lampiran 5. Uji ANOVA dan Uji Lanjut beda nyata jujur………...56
Lampiran 6. Data standar fenol……….58
Lampiran 7. Data mentah kadar fenol proses perendaman………...59
Lampiran 8. Data mentah kadar air selama penyimpanan………....61
Lampiran 9. Data mentah kadar protein selama penyimpanan……….62
Lampiran10. Histogram nilai gizi dan nilai rata-rata kadar fenol………..63
Lampiran11. Histogram nilai rata-rata kadar air dan total bakteri……….64
Lampiran12. Histogram nilia total kapang, khamir dan kadar air……….65
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Asap cair merupakan suatu campuran dispersi asap dalam air yang
dihasilkan dengan cara destilasi kering bahan baku pengasap seperti kayu, lalu
dilanjutkan dengan proses kondensasi. Asap cair berasal dari bahan alami yaitu
pembakaran hemiselulosa, selulosa, dan lignin dari kayu-kayu keras sehingga
menghasilkan senyawa yang memiliki efek desinfektan, dan antioksidan seperti
senyawa asam dan turunannya, alkohol, fenol, aldehid, karbonil, keton, dan
piridin.
Pemanfaatan asap cair sangat luas, mencakup industri makanan sebagai
pengawet, bioinsektisida, dan desinfektan. Prospek penggunaan asap cair yang
sangat luas ini memiliki keunggulan dibandingkan penggunaan bahan kimia
sintetik. Asap cair lebih mudah diaplikasikan karena penggunaan konsentrasi asap
cair dapat dikontrol. Saat ini penggunaan asap cair lebih banyak diaplikasikan
pada produk daging dan ikan.
Ikan merupakan sumber protein hewani dengan jumlah produksi paling
tinggi sehingga kontribusinya terhadap penyediaan protein hewani paling besar.
Diantara berbagai jenis ikan yang memiliki nilai protein tinggi adalah ikan teri,
khususnya ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.). Nilai gizi ikan teri
cukup tinggi, terutama sebagai sumber protein dan mineral, sedangkan kandungan
lemak dan vitaminnya rendah (Bogstorm, 1965). Produk olahan ikan teri yaitu
ikan teri asin yang menjadi salah satu produk termahal diantara jenis lainnya.
Harga ikan teri nasi basah Rp 48.000/kg. Ikan teri memiliki nilai ekonomis
penting diantara 55 spesies ikan setelah ikan layang, kembung, lemuru, tembang,
dan tongkol. Data Dirjen Perikanan menunjukkan adanya kenaikan produksi ikan
teri sebesar 11,73% selama tahun 1990-1993 (Direktorat Jenderal Perikanan,
1995). Ikan teri termasuk jenis ikan yang rentan terhadap kerusakan
(pembusukan), apabila dibiarkan cukup lama akan mengalami perubahan akibat
ditangkap harus segera mendapat proses pengolahan diantaranya, melalui
pengawetan.
Pengangkutan merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam
penanganan pasca panen. Penanganan atau pengawetan ikan yang kurang baik dan
tepat selama transportasi terutama dalam jangka waktu lebih dari 7 hari (antarkota
atau antarpulau) akan mempengaruhi kualitas ikan, baik sifat fisik atau kimia pada
ikan. Penggunaan es sebagai pengawet ikan memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya bersifat kamba, jika mencair menambah berat beban angkutan,
mengurangi sifat tekstur daging ikan, serta membutuhkan jumlah es yang banyak.
Adanya kelemahan tersebut mendorong penggunaan asap cair sebagai bahan
pengawet organik selama penanganan transportasi.
B. TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan ikan teri nasi
(Stolephorus commersonii, Lac.) segar yang disimpan selama 9 hari terhadap
perlakuan asap cair serta mengetahui pengaruh konsentrasi asap cair tempurung
kelapa dan lama waktu perendaman terhadap sifat fisik dan kimia ikan teri nasi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. ASAP CAIR
Asap cair merupakan sistem komplek, terdiri dari fase cairan terdispersi
dan medium gas sebagai pendispersi. Asap cair merupakan suatu campuran
larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air yang diperoleh dari hasil
pirolisa kayu (Putnam et al, 1999). Menurut Maga (1988), asap cair merupakan
suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air yang diperoleh
dari hasil pirolisa kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni.
Asap cair diproduksi dengan cara pembakaran tidak sempurna yang
melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik
dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi
oksidasi, depolimerisasi, dan kondensasi (Girrard, 1992). Asap cair diperoleh
secara destilasi kering bahan baku, misalnya tempurung kelapa, sabut kelapa, atau
kayu pada suhu 400 °C selama 90 menit lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi
dalam kondensor berpendingin air (Karseno et al, 2002).
Asap cair dengan bahan baku tempurung kelapa diproduksi dengan cara
tempurung kelapa dibakar dalam suatu wadah yang tahan terhadap tekanan. Media
pendingin yang digunakan pada kondensor adalah adalah air yang dialirkan
melalui pipa inlet dan keluar dari pipa outlet secara berlawanan terhadap asap
yang masuk, kemudian wadah bahan baku dipanaskan selama satu jam. Asap yang
keluar dari hasil pembakaran tidak sempurna tersebut dialirkan ke kondensor dan
dikondensasikan menjadi asap cair (Hanendyo, 2005).
Menurut Pszczola (1995) dan Chen dan Lin (1997), asap cair mempunyai
kelebihan, yaitu (1) selama pembuatan asap cair, senyawa Polisiklik Aromatik
Hidrokarbon dapat dihilangkan, (2) konsentrasi pemakaian asap cair dapat diatur dan dikontrol serta kualitas produk akhir menjadi lebih seragam, (3) polusi udara
dapat ditekan dan (4) pemakaian asap cair lebih mudah yaitu dengan cara
direndam atau disemprotkan serta dicampurkan langsung ke dalam bahan pangan.
Siskos et al. (2007), menyatakan bahwa asap cair mengandung beberapa
zat anti mikroba, antara lain adalah asam dan turunannya (format, asetat, butirat,
alkohol), aldehid (formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural),
hidrokarbon (silene, kumene, dan simene), keton (aseton, metil etil keton, metil
propil keton, dan etil propil keton), fenol, piridin dan metil piridin.
Komposisi asap cair menurut Maga (1988) adalah air 11 – 92 %, fenol 0,2
– 2,9 %, asam 2,8 – 4,5 %, karbonil 2,6 – 4,6 %, ter 1 – 17%. Sedangkan menurut
Bratzlerr et al. (1969) menyatakan bahwa komponen utama kondensat asap kayu
adalah karbonil 24,6%, asam karboksilat 39,9% dan fenol 15,7%.
B. KOMPONEN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu
keras, tetapi mempunyai kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah.
Pirolisa tempurung kelapa menghasilkan senyawa fenol 4,13%, karbonil 1,30%
dan keasaman 10,2%. (Tranggono et al.,1996; Darmadji, 1995). Tempurung
merupakan lapisan keras dengan ketebalan 3 – 5 mm. sifat kerasnya disebabkan
oleh banyaknya kandungan silika (SiO2) pada tempurung tersebut. Selain itu,
tempurung juga banyak mengandung lignin. Sedangkan kandungan methoxyl
dalam tempurung hampir sama dengan yang terdapat dalam kayu. Namun, jumlah
kandungan unsur-unsur itu bervariasi tergantung lingkungan tumbuhnya.
Komposisi kimia tempurung kelapa menurut Djatmiko et al. (1985) disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Tempurung Kelapa
Komponen Persentase (%)
Abu 0,23
Lignin 33,30
Selulosa 27,31
Pentosan 17,67
Metoxil 5,39
Sumber : Djatmiko et al., (1985)
Menurut Tranggono et al. (1996) asap cair tempurung kelapa memiliki 7
komponen dominan, yaitu fenol, 3-metil-1,siklopentadion, metoksifenol,
benzyl alkohol yang semuanya larut dalam eter. Sedangkan Guillen et al. (1995), mengemukakan bahwa asap cair komersial memiliki empat macam komponen
dominan yaitu 3-methyl-1,2-cyclopentadion, 3 hydroxy-2-methyl-
4H-pyran-4-one, 2-methoxyphenol orguaiacol, dan 2,6-dimethoxyfenol. Gumanti (2006)
melaporkan bahwa komponen kimia destilat asap tempurung kelapa mengandung
total fenol (5,5%), metil alkohol (0,37%), dan total asam (7,1%).
Berdasarkan penelitian, Luditama (2006) menyatakan bahwa dari hasil
analisis GC-MS, senyawa dominan dari asap cair kondensat sabut kelapa adalah
fenol (C6H6O, BM = 94) dengan luas area bervariasi antara 31,93 – 44,30%. Hasil
ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tranggono et al. (1996), yang
menggunakan bahan baku berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa pada suhu
pembakaran 350 – 400 °C, dimana senyawa dominan dari asap cair adalah fenol
dengan luas area sebesar 44,13%. Luditama (2006), menambahkan bahwa asap
cair sabut kelapa memiliki kadar fenol yang lebih besar dibandingkan pada asap
cair tempurung kelapa. Asap cair sabut kelapa memilki fenol sebesar 44,10 –
44,30%, sedangkan asap cair tempurung kelapa memiliki kadar fenol sebesar
31,93 – 34,45%.
Fenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan
antimikroba pada asap cair. Selain itu, fenol juga memberikan efek antioksidan
pada bahan makanan yang akan diawetkan. Identifikasi fenol terhadap kualitas
asap cair yang dihasilkan dapat mewakili kriteria dari mutu asap cair tersebut,
sehingga hasilnya bisa diaplikasikan pada semua produk pengasapan. Yulistiani
(1997) mendapatkan data kandungan fenol dalam asap cair tempurung kelapa
sebesar 1,28 %. Gumanti (2006) mendapatkan data kandungan senyawa kimia
dalam asap cair yaitu fenol sebesar 5,5 %, methyl alkohol 0,37 %, dan total asam
sebesar 7,1 %. Sedangkan Zuraida (2007) mendapatkan data kandungan empat
senyawa terbesar dalam asap cair adalah senyawa fenol, Pyrogallol 1,3-dimethyl
eter sebanyak 15,64 %, 2-methoxy-p-cresol sebanyak 11,53%, Pyrogallol
C. KEAMANAN PANGAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
Salah satu komponen kimia yang diketahui bersifat karsinogenik dan biasa
ditemukan pada produk pengasapan adalah benzo[a]pirene (Guillen et al, 1995;
Kazerouni et al, 2001; Stolyhwo & Sikorski, 2005). Benzo[a]pirene adalah senyawa yang tergolong dalam Polisiklik Aromatic Hidrokarbons (PAH). Dalam
keadan murni berbentuk kristal (bubuk), berwarna kuning dengan titik cair 179 °C
dan titik didih 312 °C. Berat molekulnya 252, tidak larut dalam air, sedikit larut
dalam alkohol, larut dalam benzene, toluene dan xylene (Jaya et al, 1997).
Polyciclic Aromatic Hydrokarbons (PAH) diketahui terdapat dalam asap kayu dan dengan mudah diserap oleh bahan pangan selama proses pengasapan
berlangsung. Anastasio et al. (2004) menyatakan bahwa asap cair tidak
menunjukkan karsinogenik atau sifat-sifat toksik lain dari hasil pengujian
Polyciclic Aromatic Hydrokarbons (PAH), sedangkan Muratore et al. (2007) melaporkan bahwa asap cair mempunyai sifat antibakterial, mudah diaplikasikan
dan lebih aman dari asap konvensional, karena fraksi tar yang mengandung
hidrokarbon aromatik dapat dipisahkan, sehingga produk asap cair bebas polutan
dan karsinogenik.
Langkah pertama yang dilakukan untuk menentukan keamanan suatu zat
kimia/zat pencemar terhadap organisme adalah uji toksisitas dengan menentukan
nilai LD50 (Median Lethal Dose) yaitu suatu uji sederhana dari tingkatan
toksisitas suatu zat/bahan/ senyawa terhadap objek uji yang diteliti. Makna LD50
sendiri diturunkan secara satistik dari dosis zat/bahan/senyawa yang menyebabkan
kematian hewan uji sebanyak 50% berdasarkan data pengamatan pada waktu
tertentu (Anderson et al, 2005). Berkenaan dengan bahaya oleh suatu zat,
Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2001 mengklasifikasikan tingkat toksisitas
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Toksisitas Zat Kimia Berdasarkan Nilai LD50
Tingkat Toksisitas LD50Oral Kriteria Toksik
1 < 5 Super Toksik
Berdasarkan tabel tersebut semakin rendah nilai LD50, maka semakin
toksik zat kimia tersebut. Dosis yang dianjurkan adalah 15.000 mg/kg BB hewan
atau objek uji. Bila nilai lebih besar dari 15.000 mg/kg BB, maka zat tersebut
masuk dalam kriteria tidak toksik.
Berdasarkan penelitian Zuraida (2007) bahwa asap cair bersifat aman
sebagai pengawet pangan. Data yang dihasilkan menunjukkan bahwa nilai LD50
akut (pengamatan 14 hari) dari sampel asap cair lebih besar dari 15.000 mg/kg
BB. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2001 yang
menyatakan bahwa nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg BB tidak bersifat
toksik.
D. PENGAWETAN DENGAN ASAP CAIR
Pengasapan terdiri dari dua jenis yaitu pengasapan tradisional dan
pengasapan modern. Maga (1988) menyatakan bahwa berdasarkan suhu
pengasapan dikenal dua jenis pengasapan yaitu pengasapan dingin dan
pengasapan panas. Proses pengasapan panas, suhunya mencapai 55 – 80 °C,
sedangkan pengasapan dingin suhunya 25 – 40 °C. Kedua proses pengasapan ini
termasuk pengasapan tradisional. Sedangkan pengasapan modern merupakan
pengasapan dengan fase gas dan dengan destilat asap.
Pengasapan di Indonesia masih menggunakan metode pengasapan panas,
seperti pengasapan ikan bandeng di Sidoarjo Jawa Timur dan pengasapan ikan
pari di rembang dan Jepara. Zuraida (2007) mengemukakan bahwa kelemahan
untuk menghasilkan warna dan flavor yang diinginkan cenderung sulit dikontrol,
pencemaran lingkungan, kebakaran, dan adanya residu tar dan senyawa Polycyclic
Aromatic Hydrokarbons (PAH) yang berbahya bagi kesehatan. Oleh karena itu, penggunaan asap cair diharapkan dapat menggantikan serta memperbaiki kualitas
yang dihasilkan proses pengasapan panas. Darmadji (2002) menyatakan bahwa
penggunaan asap cair lebih mudah aplikasinya yaitu pemberian aroma asap pada
makanan lebih praktis karena hanya dengan mencelupkan produk makanan
tersebut dalam asap cair.
Aplikasi asap cair dalam pangan bisa dilakukan dengan berbagai metode,
yaitu pencampuran, pencelupan atau perendaman, penyuntikan, pencampuran
asap cair pada air perebusan, dan penyemprotan. Metode pencampuran biasanya
digunakan pada produk daging olahan, flavor ditambahkan dalam jumlah yang
bervariasi.Metode ini dapat digunakan pada ikan, emulsi daging, bumbu daging
pangan, mayonaise, sosis, dan keju oles (Kostyra & Pikielna, 2007).Pencelupan
atau perendaman dapat menghasilkan mutu organoleptik yang tinggi terutama
pada produk hasil olahan daging pada bagian bahu dan perut, sosis dan keju itali
(Martinez et al, 2007).Metode penyuntikan diaplikasikan pada daging terutama bagian perut. Metode pencampuran asap cair pada air perebusan bisa digunakan
dalam pengolahan fillet ikan asap, bandeng presto maupun bakso ikan. Asap cair
dicampurkan ke dalam air yang digunakan untuk merebus. Kelebihan metode ini,
komponen-komponen asap lebih banyak yang terdistribusi ke dalam produk dan
juga melapisi bagian luar produk (Siskos et al, 2007). Metode penyemprotan biasa
digunakan dalam pengolahan daging secara kontinyu (Martinez et al, 2007).
Penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam beberapa proses
pengolahan ikan cukup banyak dilakukan oleh penelitian sebelumnya. Hasil
penelitian Haras (2004) menyebutkan bahwa ikan cakalang yang direndam dalam
asap cair tempurung kelapa 2% selama 15 menit dan disimpan pada suhu kamar
mulai mengalami kemunduran mutu pada hari ke-4. Febriani (2006) menyatakan
bahwa ikan belut yang direndam asap cair tempurung kelapa 30% selama 15
menit dapat awet pada suhu kamar sampai hari ke-9. Gumanti (2006)
menyebutkan bahwa mie basah yang dicampur asap cair tempurung kelapa 0,09%
Tawali (2006) juga melaporkan bahwa ikan kembung yang direndam dalam
redistilat asap cair tempurung kelapa sebesar 1,55 mg/100 g selama 30 detik dan
dikombinasikan dengan penambahan bumbu-bumbu, dapat meminimalkan
kandungan histamine selama 20 hari penyimpanan pada suhu dingin (5 °C),
sedangkan menurut Siskos et al. (2007), asap cair komersial konsentrasi 2%
dalam 2 liter air pengukus filet ikan trout (Salmo gairdnerii) yang dikombinasi
dengan waktu pengukusan selama 30 menit dapat mengawetkan filet ikan trout
sampai 25 hari pada suhu penyimpanan 4 ± 1 °C.
E. AKTIVITAS ANTIMIKROBA ASAP CAIR
Aktivitas antimikroba asap cair terutama disebabkan adanya senyawa
kimia yang terkandung dalam asap seperti fenol, formaldehid, asam asetat, dan
kreosat yang menempel pada bagian permukaan bahan akan menghambat
pembentukan spora dan pertumbuhan beberapa jenis jamur dan bakteri (Siskos et
al, 2007). Menurut Lebois et al. (2004), senyawa fenol dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan memperpanjang fase lag.
Sokolov et al. (1972) dikutip oleh Daun (1979), menyatakan bahwa mencelupkan pangan dalam destilat asap akan mencegah pembentukan agregat
protein pada saat pengeringan sehingga meningkatkan nilai biologis dari produk
yang dihasilkan. Disamping itu efek antioksidan dari asap dapat menghindarkan
vitamin-vitamin larut lemak yang ada dalam bahan pangan dari degradasi oksidasi
(Haras, 2004).
Menurut Darmadji (1996) keasaman mempunyai peranan penting dalam
menghambat mikroba. Aktivitas bakteri pembusuk dan patogen yang diuji dapat
dihambat oleh aktivitas antimikroba asap cair (pH 4,0). Menurut Girrard (1992),
ketahanan bakteri terhadap perlakuan asap sangat berbeda-beda, ada yang sangat
peka (bakteri patogen dan pembusuk) dan ada yang sangat tahan seperti
micrococcus dan bakteri asam laktat, sedangkan pada pH sekitar 6,0 aktivitas
antimikroba asap cair mulai berkurang. Asap lebih efektif menghambat
pertumbuhan sel vegetatif daripada menghambat pertumbuhan spora bakteri dan
aktivitas germisidal asap akan meningkat dengan naiknya suhu dan konsentrasi
F. PEMURNIAN ASAP CAIR DENGAN DESTILASI
Unit operasi destilasi merupakan metode yang digunakan untuk
memisahkan komponen-komponen yang ada di dalam suatu larutan atau cairan,
yang tergantung pada distribusi komponen-komponen yang ada di dalam suatu
cairan atau larutan antara fase uap dan fase cair. Semua komponen tersebut
terdapat dalam kedua fase tersebut. Fase uap terbentuk dari fase cair melalui
penguapan pada titik didihnya (Geankoplis, 1983). Destilasi dilakukan untuk
menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya, seperti
poliaromatik hidrokarbon, dan tar, melalui pengaturan suhu didih sehingga
diharapkan didapat asap cair yang jernih, bebas tar dan benzopiren (Darmadji,
2002). Senyawa utama yang terkandung dalam tar yang merupakan hasil proses
destilasi adalah senyawa fenol yang terdapat dalam jumlah yang sedikit terutama
terdiri dari senyawa piridin dan quinolin (Holleman, 1903).
G. IKAN TERI NASI (Stolephorus commersonii, Lac.)
Ikan teri terutama berukuran kecil dengan panjang sekitar 6 – 9 cm, namun
ada pula yang berukuran relatif panjang hingga mencapai 17,5cm (Hoetomo et al,
1987). Ciri-ciri ikan teri antara lain bentuk tubuhnya panjang (fusiform) atau
termampat samping (compressed), disamping tubuhnya terdapat selempang putih
keperakan memanjang dari kepala sampai ekor. Ikan teri memiliki sisik kecil,
tipis, dan sangat mudah lepas. Tulang rahang atas memanjang mencapai selah
insang. Sirip kaudal bercagak dan tidak bergabung dengan sirip anal serta duri
abdominal hanya tergabung antara sirip pectoral dan ventral berjumlah tidak lebih
dari tujuh buah. Sirip dorsal umumnya tanpa duri pradorsal, sebagian atau
seluruhnya di belakang anus, pendek dengan jari-jari lemah sekitar 16 – 23 buah.
Jari-jari lemah teratas pada sirip pectoral tidak memanjang. Giginya terdapat pada
rahang, langit-langit dari pelatin dan mempunyai lidah.
Saanin (1984) menjelaskan klasifikasi ikan teri sebagai berikut:
Phylum : Chordata Kelas : Pisces
Famili : Clupeidae Genus : Stolephorus Spesies : Stolephorus sp.
Ikan teri termasuk salah satu jenis ikan kecil yang hidup di permukaan
perairan (pelagis). Menurut klasifikasi, ikan teri adalah semua jenis dari marga
Stolephorus dari anak suku Engraulinae, anggota dari suku Engraulidae. Ikan teri bersama-sama dengan ikan tembang dan lemuru merupakan anggota dari
kelompok yang lebih besar yaitu bangsa Cluipeiformes. Semua marga dari anak
suku Engraulinae ditandai dengan adanya sisik abdominal yang berujung tajam pada tunas tubuhnya, mulutnya lebar dan moncong yang menonjol serta rahang
yang dilengkapi dengan tulang tambahan (Hoetomo et al, 1987).
Menurut Hoetomo et al.,(1987), ada sembilan jenis Stolephorus di perairan
Indonesia, yaitu :
1. Stolephorus devisi (WHITLEY)
2. Stolephorus heterolobus (RUPPELL)
3. Stolephorus buccaneri (STRASBURG)
4. Stolephorus commersonii (LACEPEDE)
5. Stolephorus indicus (HAN HASSELY)
6. Stolephorus insularis (HARDENBERG)
7. Stolephorus baganensis (HARDENBERG)
8. Stolephorus tri (BLEEKER)
9. Stolephorus dubiosis (WONGRATANA)
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan yang digunakan di Indonesia dan
sekitarnya (Malasyia, Filipina, dan Irian), sebaiknya menggunakan klasifikasi
Bleeker. Berdasarkan klasifikasi Bleeker ikan teri nasi taksonominya sebagai
berikut:
Kelas : Pisces
Ordo : Malacopterygii
Familia : Clupeidae
Subfamilia : Engraulinae
Genus : Stolephorus
Spesies : Stolephorus commersonii Lac
Ikan teri memiliki nilai gizi yang cukup tinggi. Komposisi nilai gizi ikan
teri dalam bentuk segar dan olahannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Ikan Teri segar dan Berbagai Olahannya dalam 100 g bahan
*Hardinsyah dan Briawan (1990)
Ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak karena sangat cocok
untuk pertumbuhan mikroba baik patogen maupun nonpatogen. Ikan teri basah
memiliki nilia aw yang tinggi. Hal ini karena ikan teri segar memiliki nilai kadar
air 80% (Hardinsyah dan Briawan, 1990). Ikan dari perairan pantai seringkali
tercemar oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus yang dapat menular saat
perikanan umumnya merupakan bakteri air seperti V. vulnivicus dan V. cholera (Adams dan Motarjemi, 1999). Bakteri yang sering ditemukan pada ikan teri asin
adalah jenis Alcaligenus, Pseudomonas, Flavobacterium, dan Corynebacterium (Hadiwiyoto, 1993).
H. TRANSPORTASI
Pengangkutan merupakan salah satu proses yang penting dalam
penanganan pasca panen. Saluran distribusi produk pertanian memiliki rantai yang
panjang sehingga akan sangat mempengaruhi mutu komoditas pada saat sampai
ditujuan karena sifat dari produk pertanian yang mudah rusak.
Menurut Tirtosoekotjo (1992) perlakuan yang kurang sempurna selama
pengangkutan dapat mengakibatkan jumlah kerusakan yang dialami oleh komoditi
pada waktu sampai ditempat tujuan mencapai lebih kurang 30 – 50 %. Pada
umumnya hambatan yang menyebabkan penurunan mutu tersebut adalah kegiatan
penanganan pascapanen yang tidak sempurna dan tidak tepat. Kegiatan
penanganan pascapanen meliputi masalah tempat pengumpulan, sortasi,
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan teri nasi
(Stolephorus commersonii, Lac.) segar diproleh dari pasar Super Indo Bogor,
asap cair yang telah dimurnikan dari CV. Oka, bahan-bahan untuk analisis
kimia dan mikrobiologi.
2. Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini, antara lain meliputi
wadah baskom, timbangan, autoklaf, oven, neraca analitik, desikator, GC-MS,
pH meter, spektrofotometer dan alat-alat gelas lainnya seperti labu
erlenmeyer, tabung reaksi, pipet, bunsen, cawan petri, dan gelas piala.
B. METODE PENELITIAN
1. Penelitian Pendahuluan
a. Analisis asap cair tempurung kelapa
Asap cair yang telah dimurnikan dianalisis kandungan kimianya.
Parameter yang diukur antara lain komponen spesifik kimia asap cair, nilai
pH, kadar asam, dan kadar fenol. Prosedur analisis disajikan dalam
Lampiran1.
b. Analisis ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) segar awal
Analisis yang dilakukan pada ikan teri segar, yaitu kadar air, kadar
protein, kadar lemak, kadar abu, TPC, kapang dan khamir. Prosedur analisis
disajikan dalam Lampiran 2.
2. Penelitian Utama
a. Rancangan percobaan
Rancangan yang dipergunakan adalah rancangan acak lengkap pola
faktorial dengan dua kali ulangan. Faktor-faktor dalam rancangan ini terdiri
atas, (a) konsentrasi asap cair yang digunakan dengan 2 taraf yakni : a1 = 20%,
a2 = 30% dan (b) lama perendaman dalam asap cair dengan 3 taraf, yakni : b1
waktu lama perendaman berdasarkan penelitian Haras (2004). Model
rancangan yang digunakan adalah:
Y=
µ
+a
i +b
j + (ab
)ij +ε
Y : Pengamatan hasil percobaan
µ : rataan umum
a
i : Faktor ke-i, dalam hal ini konsentrasi asap cairb
j : Faktor ke-j, dalam hal ini lama perendaman dalam asap cair(
ab)ij : Interaksi kedua faktor
Ε
: Galat sisa
Uji lanjut dilakukan dengan Uji Beda Nyata Jujur dengan rumus:
Q Hit = Qα(p, dbs) X Sy
dimana Qα(p, dbs) = nilai baku q pada taraf uji α, jumlah perlakuan p dan derajat bebas galat (dbs).
b. Perlakuan percobaan
Pada penelitian ini sebelumnya dilakukan analisis proksimat pada ikan teri
nasi segar dan analisis asap cair. Setelah analisis awal, dilakukan proses
perendaman dalam asap cair Ikan teri segar direndam ±5 cm di bawah
permukaan asap cair selama 15, 30, 45 menit di dalam asap cair dengan
konsentrasi 20%, 30% dengan 2 kali ulangan. Kemudian ikan teri segar pada
masing-masing perlakuan dilakukan pengamatan terhadap kadar fenol. Hasil
terbaik dari perlakuan tersebut dilanjutkan dengan penyimpanan selama 9 hari.
Selama penyimpanan dilakukan pengamatan tiap dua hari terhadap kadar air,
Sumber : Modifikasi metode Haras (2004)
Gambar 1.Diagram alir metode penelitian
Analisis asap cair
(komponen spesifik kimia asap cair, nilai pH, kadar asam, dan kadar fenol)
Analisis ikan teri nasi segar
Perlakuan konsentrasi (20 % dan 30 %) sebanyak 450 ml dan lama perendaman (15, 30,
dan 45 menit)
Penyimpanan Suhu kamar 9 hari dalam wadah tertutup
(analisa tiap 2 hari)
Uji proksimat dan uji TPC , kapang dan khamir
Uji kadar fenol
Uji kadar protein, kadar air, dan uji TPC,
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. ANALISIS ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
1. Komponen spesifik pada asap cair
Analisis komponen spesifik pada asap cair dilakukan dengan GC-MS.
Campuran senyawa yang dilewatkan pada kromatografi gas akan terpisah
menjadi komponen-komponen individual. Tujuh senyawa dominan dari
masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Senyawa Dominan Asap Cair Tempurung Kelapa Hasil Deteksi GC-MS
Komponen Senyawa Spesifik Waktu Retensi (menit)
Nilai Persen Area (%)
Fenol 10.53 21.55
2-methoxy fenol 12.48 4.44
furfural,2-
furancarboxaldehid 8.04 3.98
2-methyl fenol 11.78 1.73
2-methoxy,4-methyl fenol 14.11 0.89
3-methyl fenol 12.10 0.72
2-methoxy benzeneethanol 15.41 0.43
Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa senyawa dominan pada
asap cair tempurung kelapa adalah fenol (C6H6O, BM = 94) dengan luas area
bervariasi dengan rata-rata 21,55 %. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Luditama (2006), dimana senyawa asap cair tempurung kelapa paling
dominan yang dihasilkan adalah fenol, dengan luas area 31,93 % untuk suhu
pembakaran 500 ºC dan luas area 34,45 % untuk suhu pembakaran 300 ºC.
Demikian pula Tranggono, et al., (1996) dimana senyawa dominan dari asap
cair hasil penelitiannya adalah fenol dengan luas area sebesar 44,13 %.
Fenol dan turunannya menjadi senyawa paling dominan pada asap cair
tempurung kelapa. Hal ini, dikarenakan komponen paling dominan pada
komposisi kimia tempurung kelapa adalah lignin. Menurut Djatmiko et al.,
(1985) komposisi kimia paling dominan pada tempurung kelapa adalah lignin
yang terjadi pada suhu 300 ºC dan berakhir pada suhu 450 ºC (Girrard, 1992).
Kadar maksimum senyawa fenol tercapai pada suhu pirolisis 600 ºC (Hamm
dan Potthast, 1976 dalam Girrard, 1992). Pada lampiran 3 dapat dilihat hasil
lengkap senyawa penyusun dominan asap cair tempurung kelapa hasil deteksi
GC-MS.
Gambar 2. Histogram Senyawa Dominan Asap Cair Tempurung Kelapa
Darmadji (1995), menyebutkan bahwa senyawa fenol berperan sebagai
antimikrobial. Sifat bakteriosidal dari pengasapan adalah faktor nyata dalam
perlindungan nilai gizi produk yang diasap terhadap perusakan biologis
(Harris dan Karmas, 1989). Efek fungisidal dalam asap disebabkan oleh fenol
dan formaldehid (Daun, 1979; Toth dan Potthast, 1984). Fenol selain bersifat
bakteriosidal juga sebagai antioksidan. Sifat ini terutama pada senyawa fenol
dengan titik didih tinggi, seperti 2,6-dimethoksi fenol,
2,6-dimethoksi-4-metil-fenol dan 2,6-dimethoksi-4-ethyl 2,6-dimethoksi-4-metil-fenol (Pearson dan Tauber, 1973).
2. Nilai pH
Salah satu yang menjadi parameter bagus tidaknya kualitas asap cair
yang dihasilkan adalah nilai pH. Nilai pH juga menunjukkan tingkat proses
penguraian komponen kayu yang terjadi untuk menghasilkan asam organik
pada asap cair. Jika nilai pH asap cair rendah hal ini menunjukkan bahwa
kualitas asap cair yang digunakan tinggi, karena secara keseluruhan
berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan produk asap maupun sifat
Hasil pengukuran nilai pH pada asap cair tempurung kelapa adalah
3,29. Nilai pengukuran pH ini menunjukkan bahwa kualitas asap cair yang
digunakan sebagai pengawet memiliki kualitas yang tinggi. Hal ini karena
nilai pH yang dihasilkan memiliki nilai yang rendah. Selain itu nilai pH asap
cair yang digunakan sesuai dengan kualitas Wood Vinegar asal Jepang.
Menurut Japan Wood Vinegar Association (2001) nilai pH standar asap cair
berkisar antara 1,5 – 3,7.
Menurut Luditama (2006), nilai pH asap cair tempurung kelapa
memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan asap cair yang berbahan
baku sabut kelapa. Hal ini dikarenakan tempurung kelapa memiliki komponen
hemiselulosa dan selulosa lebih besar daripada sabut kelapa sehingga jumlah
asam yang dihasilkan lebih besar. Hemiselulosa dan selulosa adalah
komponen kayu yang apabila terdekomposisi akan menghasilkan
senyawa-senyawa asam organik seperti asam asetat yang merupakan turunan dari asam
karboksilat. Menurut Grimwood (1975), tempurung kelapa mengandung
hemiselulosa 8,8 % dan selulosa sebesar 19,24 %, sedangkan sabut kelapa
memiliki kandungan hemiselulosa, yang merupakan penghasil asam organik
ketika dibakar, sebesar 7,69 % dan selulosa sebesar 18,24 %. Selain itu,
menurut Luditama (2006), tinggi rendahnya nilai pH pada asap cair
dipengaruhi oleh kadar fenol, suhu pirolisis dan sitem destilasi. Semakin
tinggi kadar fenol, suhu pirolisis dan suhu destilasi dari asap cair, semakin
rendah pula nilai pH dari asap cair tersebut.
3. Kadar asam
Kadar asam merupakan salah satu sifat kimia yang menentukan
kualitas dari asap cair yang diproduksi. Asam asetat merupakan senyawa asam
organik yang memiliki peranan tinggi dalam asap cair. Asam asetat
kemungkinan terbentuk sebagian dari lignin dan sebagian dari komponen
karbohidrat dari selulosa. Browning (1963) menggambarkan pembentukan
CH2OH CH2OH
CH2OH
HO O HOH
OH OH OH OH
CH2OH OH OH
CH2 CH2OH
HO HO
OH OH OH HO
-H2O -H2O HO OH
CH2OH CH2OH
CH2
HOH HOCH O
OH OH O
OH OH
-H2O
C6H10O5 Dedidration and Charring
Sumber : Browning (1963)
Gambar 3. Formulasi Produksi Asam Asetat
Lalu jika (C6H10O5)n dihidrolisis akan membentuk glukosa :
(C6H10O5) + nH2O (C6H12O6)
C6H12O6 CH3COOH
Sifat senyawa-senyawa asam pada asap cair bersifat antimikroba. Jika
asam organik berada bersama fenol maka sifat antimikroba senyawa-senyawa
asam semakin meningkat. Senyawa asam organik terbentuk dari pirolisis
komponen-komponen kayu seperri hemiselulosa dan selulosa. Penentuan
kadar asam ini dilakukan dengan GC-MS. Hasil lengkap penentuan kadar
asam disajikan di Lampiran 4.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa asap cair tempurung kelapa
memiliki kadar asam sebesar 37 %. Kadar asam yang diperoleh pada
penelitian ini sesuai dengan penelitian Luditama (2006) yaitu berkisar antara
berkisar antara 9,58 sampai 59,93 %. Menurut Luditama (2006), keasaman
dari asap cair dipengaruhi oleh kadar fenol pada asap cair tersebut. Semakin
tinggi kadar fenol, maka asap cair akan menjadi semakin asam. Selain itu
menurut Luditama (2006), kadar asam dari asap cair dipengaruhi oleh suhu
fraksi destilasi dan suhu pirolisis sebelum destilasi. Semakin tinggi suhu fraksi
destilasi, maka kadar asamnya semakin besar. Semakin rendah suhu pirolisis
maka kadar asamnya semakin besar. Perbedaan jumlah kadar asam ini
dikarenakan asam organik yang dihasilkan dari dekomposisi komponen
hemiselulosa dan selulosa mengalami proses pirolisis pada suhu pembakaran
dibawah 300 ºC. Asap cair pada suhu pembakaran 500 ºC memiliki kadar
asam yang lebih rendah karena menurut Maga (1988) pada suhu pembakaran
diatas 300 ºC senyawa-senyawa fenol, guaikol, dan siringol telah
terdekomposisi dari lignin sehingga mempengaruhi kadar asam asap cair.
4. Kadar fenol
Kadar fenol merupakan zat aktif yang memiliki sifat antimikroba dan
efek antibakteri pada asap cair. Selain itu, fenol juga dapat memberikan efek
antioksidan kepada bahan makanan yang diawetkan. Identifikasi fenol
terhadap kualitas asap cair yang dihasilkan, diharapkan dapat mewakili
kriteria dari mutu asap cair tersebut, sehingga dapat dinyatakan bahwa asap
cair yang digunakan sangat sesuai dengan aplikasi produk yang diawetkan.
Pengukuran kadar fenol pada asap cair dilakukan dengan GC-MS.
Hasil lengkap penentuan kadar fenol disajikan di Lampiran 4. Kadar fenol
Luditama (2006) yang berkisar antara 0,44 – 0,78 % dan hasil penelitian Maga
(1988) yaitu antara 0,2 – 2,9 %. Menurut Luditama (2006), suhu pirolisis atau
pembakaran 300 ºC dan 500 ºC dari suatu bahan tidak mempengaruhi kadar
fenol dari asap cair. Akan tetapi, perbedaan kadar fenol pada asap cair
dipengaruhi oleh perbedaan kandungan lignin pada bahan pengasap. Lignin
merupakan komponen kayu yang apabila terdekomposis akan menghasilkan
senyawa fenol. Menurut Djatmiko, et al. (1985), tempurung kelapa memiliki
lignin sebesar 33,30 %, sedangkan menurut Joseph dan Kindagen (1993),
sabut kelapa mengandung lignin sebesar 29,23 %.
Faktor utama yang menentukan kadar fenol dalam asap cair adalah
banyaknya asap yang dihasilkan selama pembakaran. Hal ini terkait pada
faktor suhu dan bahan pengasap yang digunakan. Intensitas pirolisis
berhubungan langsung dengan suhu yang dicapai yang terdiri dari transfer
panas dan keberadan oksigen (reaksi oksidasi). Sedangkan bahan pengasap
berhubungan langsung dengan jenis bahan yang terdiri atas kayu keras
ataupun bahan yang dapat dibakar yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin,
persenyawaan protein dan mineral yang mempengaruhi keberadaan
senyawa-senyawa kimia asap (Djatmiko et al., 1985).
B. ANALISIS IKAN TERI NASI (Stolephorus commersonii, Lac.) SEGAR
Analisis pada ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) segar berupa
analisa komponen gizi atau analisa proksimat. Hasil analisis komponen gizi ikan
teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) dapat dilihat pada Tabel 5. Analisa yang
dilakukan yaitu analisa kadar abu, kadar air, kadar protein, dan kadar lemak.
Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Ikan Teri Nasi
Komposisi Gizi Ikan Teri Nasi
Segar Nilai Persen (%)
Kadar Air 80.39
Kadar Abu 3.25
Kadar Protein 13.74
Kadar Lemak 2.45
Tabel 6. Hasil Analisis Proksimat Menurut Hardinsyah dan Briawan (1990)
Komposisi Gizi Ikan Teri Nasi
Segar Nilai Persen (%)
Kadar Air 80
Kadar Abu ¯
Kadar Protein 16
Kadar Lemak 1
Bahan makanan tersusun dari empat komponen utama, yaitu air, protein,
karbohidrat, dan lemak. Selain empat hal tersebut, makanan memiliki komponen
lain berupa senyawa organik seperti mineral, vitamin atau pigmen-pigmen.
Abu merupakan residu organik dari pembakaran senyawa organik bila
bahan dibakar sempurna dalam tungku pengabuan. Kandungan abu total termasuk
kadar logam merupakan parameter nilai nutrisi dari makanan. Kadar air adalah
kandungan suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah dan berat
kering. Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan, dan hal ini
merupakan salah satu sebab mengapa di dalam pengolahan pangan, air tersebut
sering dikurangi ataupun dikeluarkan dengan cara penguapan atau pengeringan.
Menurut Winarno et al. (1984), keawetan bahan pangan memiliki hubungan yang
erat dengan kadar air yang dikandungnya. Protein merupakan zat makanan yang
penting bagi tubuh karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam
tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1997).
Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga tubuh
manusia. Selain itu, lemak dan minyak merupakan sumber energi yang lebih
efektif dibandingkan karbohidrat dan protein (Winarno, 1997).
Hasil uji proksimat atau kandungan gizi ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Hardinsyah dan Briawan (1990) pada ikan teri. Hasil uji kadar air
diperoleh sebesar 80,39 %, sedangkan hasil penelitian kadar air Hardinsyah dan
Briawan (1990) yaitu sebesar 80 %. Hasil uji kadar protein sebesar 13,74,
sedangkan hasil penelitian kadar protein Hardinsyah dan Briawan (1990) yaitu
sebesar 16 %. Pada hasil uji lemak diperoleh sebesar 2,45 %, sedangkan hasil
Selain dilakukan uji proksimat, pada ikan teri nasi juga diuji jumlah total
mikroba melalui uji TPC dan uji kapang dan khamir. Data hasil uji total mikroba
awal dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Uji Jumlah Total Mikroba Awal Ikan Teri Nasi (Stolephorus commersonii, Lac.)
Analisa Jumlah (koloni/gram)
TPC (Total Plate Count) 5.85 x 10³
Kapang dan Khamir 3.45 x 10³
Berdasarkan uji proksimat, ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.)
segar memiliki kandungan gizi yang sangat baik, yaitu kadar protein sebesar 13,74
% dan kadar lemak sebesar 2,45 %. Hal ini karena kandungan gizi yang dihasilkan
tidak jauh berbeda dengan kriteria kandungan gizi ikan teri (Stolephorus. Sp)
segar pada Direktorat Gizi Depkes (1981), yaitu kadar protein 16 % dan kadar
lemak 1 %. Hasil uji jumlah total mikroba pada Tabel 7, diperoleh uji TPC
sebesar 5.85 x 10³ koloni/gram dan uji kapang dan khamir sebesar 3.45 x 10³
koloni/gram. Hasil ini menunjukkan bahwa produk ikan teri nasi masih bisa
dinyatakan sebagai produk yang layak dikonsumsi dan bisa dipertahankan
keawetan atau kesegarannya. Hal ini karena hasil uji masih berada dibawah zona
aman konsumsi yakni 5 x berdasarkan SNI 02-2725-1992 (BSN, 1992).
C. PROSES PERENDAMAN (ANALISIS KADAR FENOL)
Pada proses perlakuan ini ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.)
direndam di dalam asap cair dengan konsentrasi yang berbeda dan lama waktu
perendaman yang berbeda. Setelah proses perendaman dilakukan proses
pengukuran kadar fenol. Hasil analisis terhadap kadar fenol dapat dilihat pada
Tabel 8. Nilai Rata-Rata Kadar Fenol Ikan Teri Nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) setelah Direndam dalam Asap Cair
Lama Perendaman (menit)
Konsentrasi asap Cair (%)
20% 30%
15 menit 0.37 0.53
30 menit 0.45 0.67
45 menit 0.46 0.68
Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi asap cair dan lama
perendaman dapat mempengaruhi kadar fenol dari ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.) asap cair. Semakin besar konsentrasi asap cair semakin
meningkat kadar fenol ikan teri nasi, semakin lama perendaman dalam asap cair
semakin meningkat kadar fenol dari ikan teri nasi. Hal ini diduga disebabkan
karena pada konsentrasi asap cair lebih tinggi terdapat kandungan fenol yang lebih
tinggi pula dan semakin lama perendaman mempengaruhi pencapaian titik
keseimbangan antara permukaan luar ikan dengan titik pusat dalam ikan terhadap
konsentrasi fenol. Hasil ini sesuai dengan penelitian Haras (2004) yang
menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi asap cair dan semakin lama
perendaman dalam asap cair, maka semakin meningkat kadar fenol dari ikan teri
nasi.
Menurut Reinhold (1993), sebagai antiseptik banyaknya fenol dalam
makanan mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Selain itu, sebagai antioksidan
banyaknya fenol dalam makanan mempengaruhi proses oksidasi sehingga dapat
mempengaruhi mutu bahan makanan tersebut (Girrard, 1992 ; Pszczola, 1995).
Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa penggunaan asap cair dengan
konsentrasi 30 % dan lama perendaman 45 menit memiliki kadar fenol tertinggi
yaitu 0,68 % dan masih dalam batas aman fenol untuk dikonsumsi yaitu 0,02 –
1,00 % (Davidson and Branen, 1981).
Berdasarkan uji Anova didapatkan perbedaan nyata pada perlakuan
kedua perlakuan tersebut dengan nilai F hitung masing-masing sebesar 7200,
1158, dan 72 dan sangat layak untuk dilakukan uji lanjut. (Lampiran 5).
Berdasarkan uji lanjut Beda Nyata Jujur didapatkan perbedaan nyata
terhadap kadar fenol pada perlakuan lama perendaman yang digunakan,
perbedaan tertinggi terdapat pada perlakuan lama perendaman 45 menit dan 15
menit yaitu sebesar 0,125. Pada perlakuan konsentrasi tidak perlu dilakukan uji
lanjut karena perlakuan konsentrasi hanya terdapat dua taraf yaitu 20 % dan 30 %,
sedangkan uji Anova menunjukkan bahwa kedua konsentrasi sudah memberikan
perbedaan nyata. Berdasarkan Tabel 8 jika dihitung nilai rata-rata kadar fenol
pada tiap perlakuan konsentrasi diperoleh bahwa pada perlakuan konsentrasi 30 %
memiliki nilai rata-rata tertinggi yaitu 0,62 % daripada perlakuan konsentrasi 20
% yaitu 0,43 %. Hal ini dikarenakan kandungan fenol lebih banyak pada
konsentrasi asap cair yang tinggi berdasarkan data spesifikasi liquid smoke dari
International Flavor and Fragrances.
Pada uji lanjut interaksi perlakuan antara konsentrasi asap cair dan lama
perendaman asap cair perbedaan tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi
asap cair 20 % lama perendaman 15 menit (kode perlakuan 101) dengan
perlakuan konsentrasi asap cair 30 % lama perendaman 45 menit (kode perlakuan
106) sebesar 0,315. Hal ini menunjukkan kuatnya interaksi antara perlakuan
konsentrasi asap cair dan lama perendaman asap cair terhadap kadar fenol pada
ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.). Hasil ini sesuai dengan penelitian
Haras (2004), yang menunjukkan bahwa perbedaan nyata tertingi terdapat pada
kombinasi antara konsentrasi asap cair paling tinggi dengan waktu perendaman
paling lama (konsentrasi asap cair 2,0 % dan lama perendaman 15 menit) dan
konsentrasi asap cair terendah dengan waktu lama perendaman terendah
(konsentrasi asap cair 0,5 % dan lama perendaman 5 menit). Adapun kombinasi
yang tidak menunjukkan perbedaan nyata antara lain : pada kode perlakuan 103
(konsentrasi 20% 30 menit) dengan 105 (konsentrasi 20% 45 menit) dan 104
D. ANALISIS SELAMA PENYIMPANAN SUHU RUANG
Berdasarkan uji kadar fenol pada proses perendaman didapatkan perlakuan
terbaik yaitu konsentrasi asap cair 30 % lama perendaman 45 menit. Analisa yang
dilakukan selama penyimpanan adalah kadar air, kadar TPC dan kapang khamir,
dan uji protein.
1. Analisis kadar air
Kadar air bahan pangan merupakan jumlah air yang dikandung
tersebut dan sangat berpengaruh pada mutu dan keawetan pangan (Martinez et
al, 2007). Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui pengaruh perendaman asap cair terhadap perubahan kadar air ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.) segar. Hasil pengukuran kadar air selama penyimpanan
disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 6.
Tabel 9. Nilai Rata-Rata Kadar Air Selama Penyimpanan
Pengamatan Rata-rata (%)
Hari 1 79.24
Hari 3 81.63
Hari 5 81.59
Hari 7 81.28
Hari 9 79.03
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air
dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Selain itu,
air merupakan sumber utama yang menjadi pemicu kecepatan mikrobiologi
untuk merusak sumber pangan.
Istilah umum yang sering dipakai untuk air yang terdapat dalam bahan
pangan adalah “air terikat” (bound water). Menurut derajat keterikatan air,
Winarno (1992) menyatakan bahwa air terikat dibagi atas empat tipe. Tipe I,
adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikan
molekul-molekul lain yang mengandung atom-atom O dan N seperti
karbohidrat, protein, atau garam. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses
pembekuan, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan
biasa. Air tipe ini terikat kuat dan sering kali disebut air terikat dalam arti
sebenarnya. Derajat pengikatan air sedemikian rupa sehingga reaksi-reaksi
yang terjadi sangat lambat dan tidak terukur.
Tipe II, yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari
air murni. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II
akan mengakibatkan penurunan aw (water activity). Bila sebagian air tipe II
dihilangkan, pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat
merusak bahan makanan seperti browning, hidrolisis, atau oksidasi lemak
akan dikurangi. Tipe III, adalah air yang secara spesifik terikat dalam jaringan
matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah
yang sering kali disebut air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat
dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi
kimiawi. Tipe IV, adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan
atau air murni, dengan sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh.
Selain itu, Winarno (1992) membagi tipe-tipe air dibagi menjadi dua,
yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi merupakan air yang masuk ke
dalam bahan pangan dan akan menyebabkan pengembangan volume, tetapi air
ini tidak merupakan komponen penyusun bahan tersebut. Misalnya air dengan
beras bila dipanaskan akan membentuk nasi, atau pembentukan gel dari bahan
pati. Air kristal adalah air terikat dalam semua bahan, baik pangan maupun
nonpangan yang berbentuk kristal, seperti gula, garam, CuSO4 dan lain-lain.
Adanya kandungan air yang lebih tinggi akan menunjang
meningkatnya pertumbuhan bakteri serta aktivitas bakteri tersebut dalam
merombak senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa-senyawa sederhana
yang disebut pembusukan. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa pada hari ke-1
proses perendaman dalam asap cair memberikan perubahan terhadap nilai
kadar air pada ikan teri nasi segar yaitu dari 80,39 % (analisa proksimat Tabel
ikan teri nasi memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap
perubahan konsentrasi nilai kadar air pada ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.). Pada pengamatan hari ke-3 nilai kadar air menjadi
bertambah tinggi yaitu 81,63 %, hal ini diduga pada ikan teri nasi sudah mulai
terjadi perombakan senyawa-senyawa kimia dalam bahan pangan, sehingga air
yang terikat pada jaringan bahan pangan memisahkan diri dan meningkatkan
nilai kadar air. Penurunan nilai kadar air secara terus menerus terjadi hari ke-3
sampai hari ke-9, yaitu dari 81,63 % menurun menjadi 81,59 % (hari ke-5),
menjadi 81,28 % (hari ke-7), dan menjadi 79,03 % (hari ke-9). Dilihat dari
nilai dari Tabel 9, nilai penurunan kadar air ini sebenarnya tidak sangat
signifikan. Akan tetapi nilai penurunan kadar air ini bisa disebabkan dua hal,
yaitu pengaruh pemanasan suhu dari sinar matahari pada ruang penyimpanan
dan keasaman dari asap cair. Hal ini karena posisi lemari penyimpanan berada
pada posisi masuknya sinar matahari pada ruangan. Suhu panas dari sinar
matahari akan menyebabkan air yang ada dipermukaan daging (tubuh) ikan
akan menguap terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan pengkerutan
jaringan daging sehingga mempersempit rongga-rongga antar sel dan
pipa-pipa kapiler. Akibatnya air dibagian dalam daging ikan akan lambat menguap
(Van Arsdel and Coplay, 1963). Penguapan air selama penyimpanan erat
kaitannya dengan keadaan keseimbangan antara kelembaban relatif, suhu, dan
kadar air. Aliran udara dapat menyebabkan tekanan parsial uap air di atas
permukaan daging ikan menurun. Hal ini menyebabkan penguapan air dari
daging ikan (Van Arsdel and Copley, 1963). Sedangkan pengaruh tingkat
keasaman asap cair menurut Gomez-Guillen at al. (2003) dapat menyebabkan
ketidaklarutan protein daging, sehingga berakibat pada keluarnya air dari
daging ikan.
2. Analisis mikrobiologi (TPC, Kapang dan Khamir)
Kandungan bakteri dalam suatu produk merupakan salah satu
parameter mikrobiologis dalam menentukan layak tidaknya produk tersebut
dikonsumsi (Kristinsson et al., 2007). Kontaminasi mikroba pada produk
perikanan dapat terjadi saat panen, penanganan, distribusi maupun
bertujuan untuk mengetahui jumlah total bakteri dalam suatu produk dan
mengetahui tingkat pertumbuhannya selama penyimpanan. Hasil analisis TPC
terhadap ikan teri nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) selama penyimpanan
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai Rata-Rata TPC Ikan Teri Nasi Selama Penyimpanan
Pengamatan Jumlah (koloni/gram)
Hari 1 1 x 10²
Hari 3 6.5 x 10²
Hari 5 7.5 x 10²
Hari 7 5 x 10²
Hari 9 7 x 10²
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa hasil analisis pada hari ke-1
jumlah mikroba mengalami penurunan dari keadaan awal 5,85 x 10³
koloni/gram (Tabel 7) menjadi 1 x 10² koloni/gram (Tabel 10). Hasil ini
menggambarkan bahwa fenol dalam asap cair dapat bekerja sebagai antiseptik,
dimana mikroba tidak dapat tumbuh secara maksimal. Menurut Daun (1979),
cara kerja fenol dalam menghambat pertumbuhan mikroba adalah dengan cara
mengganggu metabolisme dari mikroba dengan menghambat pembentukan
spora dari mikroba tersebut dan memperpanjang fase lag.
Pada hari ke3 terjadi kenaikan jumlah mikroba pada sampel ikan teri
nasi (Stolephorus commersonii, Lac.) dari 1 x 10² koloni/gram (hari ke-1)
menjadi 6.5 x 10² koloni/gram (hari ke-3). Demikian pula pada hari ke-5
terjadi kenaikan jumlah mikroba dari 6.5 x 10² koloni/gram (hari ke-3)
menjadi 7.5 x 10² koloni/gram (hari ke-5). Peningkatan jumlah mikroba pada
hari ke-3 dan hari ke-5 dikarenakan oleh sudah mulai menurunnya aktivitas
dari fenol dari asap cair yang terdifusi ke dalam ikan teri nasi (Stolephorus
commersonii, Lac.). Selain itu, terjadinya kenaikan ini menunjukkan bahwa